Perjalanan
adalah bunuh diri yang ditunda
Merah Naga
Bagaimana rasanya bernapas dan hidup dalam kebudayaanmu sendiri setiap
hari? Bagaimana rasanya tidak terasing dari Tanah Air nenek moyangmu? Aku tak
akan pernah tahu karena aku tumbuh besar dengan mencintai tanah tempatku
dilahirkan, merasa bahwa aku harus melupakan semua jejak warisanku agar
diterima oleh teman-teman Indonesia-ku.
Aku tumbuh dengan membenci warisanku sendiri dan tetap merasa tidak
diterima dengan utuh oleh bangsa yang demi dirinya, telah kubuang banyak hal.
Aku tumbuh dengan mencintai prinsip-prinsip Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika,
dan masih tetap mencintainya, tetapi tidak kulihat mereka dipraktikkan di mana
pun di Tanah Air-ku.
Audrey Yu Jia Hui
Mellow Yellow Drama
Hari ini, aku
berdiri di sebuah dunia yang nyaris hancur. Sebuah dunia di mana aku tak tahu
lagi harus bagaimana menjalani sebuah kehidupan. Bahkan, aku tak tahu tentang
identitas diriku yang sebenarnya. Apakah aku seorang Jawa, Indonesia, Islam,
Kristen, Hindu, atau segenap identitas diri yang lainnya. Seperti halnya
seorang keturunan China yang tertatih-tatih mengingat diri sendiri, apakah dia
seorang Tionghoa, peranakan, China, Indonesia, Jawa, Batak, Sunda, dan segala
macam keyakinan dan kepercayaan yang begitu banyak. Siapakah diriku hari ini?
Itu adalah pertanyaan sulit yang tak mudah aku cari jawabannya. Dan pertanyaan
itulah yang membuatku sakit berkali-kali.
Seseorang yang
mengalami guncangan identitas di masa aku sekarang ini, pasti akan mengerti apa
yang aku rasakan. Siapakah diri kita sebenarnya? Apakah aku orang Barat, Timur
Tengah, India ataukah memang lahir dan dianyam dari salah satu kepulauan di
Indonesia? Dan untuk siapakah aku sebenarnya mengikatkan diri? Apakah pada
ideologi, keyakinan agama, ataukah asal mula yang bersifat kedaerahan? Ataukah
sekedar cukup berkata bahwa aku adalah salah satu anak yang lahir dari negara
ini. Sebuah negara yang pada akhirnya aku tahu, dibangun di atas berbagai macam
pecahan identitas yang tak pernah jelas dan membingungkan.
Aku lahir di
negara ini, langsung menjadi seorang yang tak memiliki identitas yang pasti.
Aku dijerumuskan pada suatu dunia yang tak menentu. Dan semua pihak berebut
hati, pikiran, dan tubuhku. Pada siapakah aku harus mengikatkan diri dan
mengabdikan diriku di dalamnya?
Sebagai anak
muda, aku telah nyaris kehilangan semuanya. Sudah tak ada lagi yang bisa
membuatku tertarik. Kebosanan selalu hinggap di setiap waktu aku membuka mata.
Dan segala macam pengetahuan serta keingintahuan membawa aku pada dunia yang
semakin sulit untuk diterima dan diteruskan. Pada dasarnya, aku sudah tak lagi
memiliki apa-apa. Ketika semua orang masih memiliki negara, agama, dan apa pun
untuk dipercayai. Hari ini, yang masih tertinggal dariku hanyalah hembusan
nafasku. Kehidupan yang pada dasarnya sudah tak lagi mempesonaku sekian lama.
Sebelum aku
kelak dihancurkan oleh kegilaan dan ketidakmenentuan hidupku. Aku ingin memasuki
berbagai macam kota dan melihat berbagai kemungkinan yang kelak akan terjadi.
Di dalam kotalah, segala sesuatunya hilang dan hancur. Kota adalah cerminan di
mana kita akan menjadi apa di masa yang akan datang. Dan apakah masih ada yang
tersisa dari diriku yang aku kenal di masa kecil? Ataukah sejak masa kecil itu,
diriku hanyalah sekedar bayang-bayang dari ketidakjelasan kenyataan yang sudah
sejak lama pun tak pernah jelas? Aku lahir di sebuah tanah yang tak tahu lagi
siapa dirinya. Dunia yang perlahan-lahan makin samar dan hilang.
Di masa yang
damai ini, semua orang sibuk dengan keinginannya hidup dengan tenang tanpa
keinginan untuk mempercepat proses penemuan dan kemandirian sebuah
negara-bangsa. Apa yang terjadi jika tiba-tiba perang besar muncul tak lama
lagi? atau krisis ekonomi memporak-porandakan segala kedamaian yang hari ini
kita nikmati bersama? Sebenarnya, kita tinggal di negara ini untuk apa? Untuk
apa sebenarnya segala macam proses pendidikan kita yang melelahkan dan membuat
frustasi? Apakah untuk diri kita sendiri, agama, negara? Untuk apakah kita
sebenarnya?
Negara ini,
berisikan mayat-mayat hidup yang berkeliaran tanpa tujuan yang pasti. Semua
orang berjalanan gontai dan lelah. Semua orang sakit. Dan semua orang
berpura-pura tersenyum dan menjalani kehidupannya dengan topeng. Semua orang
berpura-pura mencintai segala sesuatunya. Semua orang berpura-pura terikat kuat
dengan jati dirinya. Padahal kita semua tahu, tak ada lagi yang jelas dan pasti
di dunia yang hari kita tinggali. Kita telah kehilangan rumah bagi jiwa kita.
Dan kita pun kelalahan dan semakin kelelahan.
Akan jadi apakah
negara ini jika pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, konsumerisme, bunuh diri,
gangguan jiwa, polusi dan udara yang panas telah menjadi bagian dari darah kita
sehari-hari? Dunia macam apakah yang kelak akan ada di depan sana ketika segala
sesuatunya sangat membingungkan. Ketika kita tak lagi tahu letak dari
kebenaran, yang baik dan buruk, dan apa yang layak dan wajar. Dan ketika semua
yang kita pakai berasal bukan dari kita sendiri. Kita pun lupa akan apa yang
ada di sekitar kita.
Sebagai seorang
yang lahir di tanah Jawa. Aku pun merenung. Apakah Jawa itu sebenarnya? Ketika
kian hari, anak-anak muda sekitarku pun sudah tak lagi tahu nama pohon yang
tumbuh tepat di depan rumahnya atau jalanan yang setiap hari ia lewati. Ketika
anak-anak muda hari ini telah lupa berbagai macam jenis hewan liar yang semakin
susah ditemukan di sudut-sudut kota. Ketika banyak dari kita, generasi muda pun
tak tahu lagi apa itu sejarah dan berbagai macam adat dan tradisi yang ada di
masing-masing tempat kita lahir.
Saat kita telah
lupa dan tak lagi peduli dengan asal mula diri kita sendiri. Setiap hari kita
membangun tubuh, pikiran dan hati kita dengan agama, budaya, ilmu pengetahuan,
dan gaya hidup yang dihasilkan oleh negara dan peradaban yang jauh. Lalu apa
yang tersisa dari kita? Apa yang kelak mampu kita bangun di masa yang akan
datang jika rumah kita sendiri pun terlupa? Ataukah identitas itu hanyalah
sekedar kesenangan semata. Sesuatu yang membuat kita senang dan damai, itulah
identitas kita. Segala sesuatu yang membuat kita sedikit bahagia, itulah
identitas kita.
Hingga pada
akhirnya, aku tak tahu lagi apa itu identitas. Apa itu kepribadian. Dan
siapakah diriku ini sebenarnya. Lebih mudah kalau aku menyebut diriku sendiri
sekedar manusia dari pada seorang Jawa, Madura, Toraja, Tionghoa, Indonesia,
Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Asia atau Eropa. Aku hidup di sebuah negara yang
tak pernah jelas. Maka, aku pun menjadi seorang manusia yang juga tak pernah
jelas. Lalu, sebelum aku mungkin akan bunuh diri. Aku ingin menelusuri sedikit
sisa dari darahku. Dari tempat aku lahir. Apakah yang masih tersisa dan apa
yang kelak mungkin akan terjadi.
Aku pun mencoba
melakukan perjalanan. Menembus rimba. Mengembara di tanah asing.
Jawa, tempat aku
dilahirkan. Adalah tanah asing yang pertama ingin aku masuki kembali. Hari ini
aku nyaris tak lagi mengenal tanah ini. Dan aku pun tak tahu apa itu Jawa.
Seperti kebanyakan orang yang mungkin tak tahu asal mereka masing-masing. Tak
lagi tahu tanah di sekitar mereka hidup. Begitulah aku lahir dan berjalan. Aku
tak tahu tempatku selama ini hidup dan berpijak. Sejak awal, aku adalah
generasi yang hilang dan tak menentu. Dan ketika kota semakin berkembang dan
desa-desa kian hari. Aku tak tahu lagi dirku ini apa dan siapa. Aku harus
berani lagi bertanya pada diriku sendiri walau itu menyakitkan. Apa itu Jawa?
Ataukah mungkin
Jawa tak pernah ada? Seperti berbagai macam suku lainnya di negara ini yang
pada dasarnya tak benar-benar pernah ada? Goenawan Mohamad pernah berkata bahwa
“Jawa memang harus selalu dengan tanda kutip. Jawa yang sebenarnya tidak pernah
ada. Yang ada paling-paling Sala yang berbeda dari Yogya, Yogya Kauman yang
berbeda dari Yogya Keraton, lain pula dengan Banyumas, dan Banyumas Kulon yang
lain dengan Tegal Wetan...”. Dan Jawa yang banyak dikagumi oleh orang-orang
Eropa dulu, Apakah juga Jawa yang lain? Apakah Jawa adalah sebuah sistem
pemerintahan, kebudayaan, bahasa, peradaban, ataukah sebuah wilayah atau pulau?
Yang mana Jawa Barat dan Jakarta hari ini masuk ke dalam Jawa secara wilayah
dan kepulauan ataukah seperti yang dahulu orang-orang masa lalu katakan bahwa
Jawa adalah yang berada di Tengah dan Timur, tidak di Barat yang seringkali
dianggap sebagai tanah asing bagi para raja dan sultan Jawa terdahulu?
Sebagai seorang
yang lahir di Jawa, aku tak tahu apa itu jawa. Apakah Jawa itu pewayangan,
gamelan, tayub, dan candi-candi dengan segala macam ritual hindu yang hari ini
masih tersisa di banyak lapisan masyarakat pedesaan dan sedikit masih mengendap
di sudut-sudut kota? Ataukah Jawa itu bercorak Islam, Kristen, atau Jazz, Rock
and Roll, dan segala macam pemikiran dengan berbagai macam teknologi budaya
dari Eropa dan Timur Tengah bahkan Latin? Apakah Jawa itu kota-kota yang
bangunannya dan pusat pemerintahannya dengan bangga menggunakan bangunan-bangunan
warisan kolonial di Era Belanda dan lainnya? Ataukah Jawa adalah
keraton-keraton yang tentaranya menggunakan baju perang ala Eropa beserta
senjata dan segala macam pernak-perniknya. Apakah Jawa itu hanya sekedar
bahasa? Ataukah Jawa itu adalah sawah-sawah yang menghampar yang mana para
penduduknya hidup bersahaja dan nyaris tahu semua jenis hewan dan tetumbuhan
yang ada di sekitar mereka hidup. Ataukah Jawa adalah anak-anak muda yang lahir
di kota yang bahkan mungkin tak tahu apa itu bambu dan tokoh Mahabarata bahkan
mungkin tak tahu nama orang tuanya sendiri. Lalu apa dan siapakah itu Madura,
Betawi, Minang, Padang, Toraja, Saman, Dayak, Bugis, Batak, Papua bahkan
Tionghoa?
Dan apakah
Indonesia itu? Sebuah negara yang lahir bukan atas dirinya sendiri. Sebuah
negara yang lahir dalam ketidakjelasan dan selalu jatuh pada bayang-bayang.
Sebuah negara yang melahirkan bayi-bayi baru yang tak tahu siapa dirinya
sendiri ketika nanti tumbuh menjadi sosok dewasa yang mampu cukup berpikir.
Di sinilah aku
lahir. Dari sebuah negara yang tak jelas. Dari sebuah budaya dan daerah yang
juga tak pernah jelas. Sebuah dunia yang segala sesuatunya pun tak jelas. Aku
pun perlahan dan pasti, menjadi anak muda yang tak tahu dirinya sendiri. Anak
muda yang bahkan bingung membicarakan benar dan salah. Bingung membicarakan
ketaaan atau kesenangan. Bingung akan agama atau untuk kepentingan diri
sendiri. Bingung akan berbagai macam kebenaran. Bingung akan kegilaan yang
dianggap wajar. Bingung dengan segala hal yang berjalan, berputar, masuk dan
pergi dalam diriku selama ini. Dan aku tak tahu lagi, Tuhan itu berada di jalan
dan sifat yang mana.
Aku pun hidup di
dalam masyarakat yang hampir setiap hari berisikan pembunuhan, intrik politik,
suap dan korupsi, pencabulan, pemerkosaan, sakit jiwa, sejarah yang tak jelas,
oportunisme, egoisme akut, dan permusuhan antara satu dan lainnya. Dalam dunia
seperti itulah, aku dilahirkan dan tumbuh.
Lalu aku pun
memutuskan, sebelum aku mati, gila, atau segala sesuatunya di sekitarku menjadi
berantakan dan hancur. Aku ingin mengenal kembali tanah yang aku hirup.
Membayangkan apa yang masih tersisa dan kelak akan menjadi. Aku lahir di tanah
yang sangat asing. Sebuah tanah yang dikisahkan oleh orang-orang asing.
Dikagumi oleh orang-orang asing. Dan dibentuk oleh orang-orang asing pula.
Aku pun
memutuskan untuk mengembara. Memasuki kota demi kota. Berawal dari Jawa yang
hilang. Lalu menuju berbagai kota lainnya di Indonesia. Apa yang masih terisa dari negara ini dan apa
yang kelak akan hilang dan hancur. Aku pun kembali menuju asal mula. Menembus
ketidaktahuan dan memasuki kegelisahan yang tak akan pernah selesai dan mungkin
tak terpecahkan.
Pada dasarnya,
aku melakukan perjalanan karena sudah bosan menjalani hidup. Ah, aku sudah lama
sekali ingin mati. Kadang bunuh diri adalah pikiran yang memikat. Tapi, otak
ini pun tak kunjung diam. Perasaan ini pun tak kunjung berhenti. Pencarianku
akan segala macam pertanyaan membawaku pada kesimpulan filasafat yang tak akan
mudah diterima oleh semua orang dan bahkan sebagian dari diriku sendiri.
Sementara itu, perjalanan tak pernah menyelesaikan apa pun. Perjalanan hanyalah
menunda rasa sakit, kesepian, dan ketidakberartian. Perjalanan adalah obat bius
yang hanya ada untuk sementara waktu. Dan perjalanan hanya menunda kematian
untuk kesekian kali. Karena itulah, perjalananku adalah sebuah jejak kecil yang
aku ingin tuliskan sebelum semua berakhir. Sebuah rangkaian dari sekian banyak
keinginan untuk menuliskan berbagai macam gagasan-gagasanku. Menembus Jawa dan
Indonesia, adalah gagasan dan separuh dari kekecewaanku akan dunia dan semua
hal. Dan sebelum aku mengakhiri kisah hidupku sendiri. Aku ingin membagikan
dunia yang selama ini aku rasa dan pikirkan.
Aku pun, pada
akhirnya harus tertatih-tatih, mencari sisa dari duniaku yang hilang. Memasuki
dunia asing. Mengembara di tanah yang tak lagi aku mengerti dan pahami. Pada
awalnya adalah ketidakpastian dan berakhir pada ketidakpastiaan yang lainnya.
Dari dunia yang kacaulah, aku memutuskan untuk mengembara di tanah asing. Menembus
diriku sendiri dan semua orang yang tak mengerti untuk apa mereka sebenarnya
ada dan hidup.