Minggu, 14 Agustus 2016

MENUJU BANDUNG DI MALAM HARI











 

Pulau Jawa sangat bagus untuk pertanian; tanahnya sangat subur. Para petani tidak menanam sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti membeli barang-barang kebutuhan yang sedikit mewah. Bangsa Jawa adalah bangsa petani, dan akhirnya membentuk struktur masyarakat yang khas. Petani mendapat uang dari tanamannya, prajurit dari upahnya, pegawai dari gajinya, para ulama dari sumbangan (zakat), dan pemerintah dari hasil pajak. Kekayaan suatu desa atau satu propinsi tergantung dari luas dan kesuburan tanahnya, sistem pengairannya, serta jumlah kerbau yang dimiliki.
Thomas Stamford Raffles
The History of Java


Bus datang terlambat. Itu sudah biasa. telat 38 menit? Anggap saja itu anugerah. Asal tidak nyasar ke jurang terdekat atau menabrak truk di depan. Telat 38 menit bukan apa-apa. Dan yah, bus ini nyaman. Bahkan lebih nyaman dari yang aku kira. Melebihi harapanku. Melebihi kereta api super ekslusif yang harganya bisa mencapai hampir setengah juta. Hanya dengan seratus enam puluh ribu, aku berada di dalam bus yang awalnya tak menjanjikan. Pahala Kencana rute Jogja-Bandung, yang dilihat dari jauh dan dekat mirip bus bobrok yang sudah terlalu sering di jalan dan digilas oleh ganasnya jalanan pulau Jawa. Tapi inilah kejutannya. Di dalamnya ternyata bus ini benar-benar menyenangkan. Terlihat baru, dengan kursi empuk yang bisa disetel tidur dan tambahan kecil untuk kaki, dan berwarna biru seperti baju yang kukenakan. Sempurna. Setidaknya, aku tak akan terlalu kesakitan malam ini seperti biasanya.

Bus berjalan. Hari ini tanggal 29 juli 2016, dan beberapa hari lagi akan menjadi pergantian bulan. Aku membawa buku catatan, sedikit makanan, buku Eric Weinar yang berjudul The Geography of Bliss dan beberapa isi yang tak perlu dijelaskan yang berada di kedalaman tas. Biarlah menjadi misteri layaknya orang Hindu dan Buddha. Dan aku teringat akan kasus penelantaran anak yang kian meningkat di kota Jogjakarta, 67 kasus dalam 2016. Aku mendapatkannya dari Malioboro Blitz. Dan walikotanya, yang bernama Haryati Suyuti, menginginkan kota yang akan aku tinggalkan ini menjadi kota ramah anak. Ramah anak? Apa? Dengan plastik bergentayangan di mana-mana, becak motor yang suara dan polusinya bisa membuat orang sakit dan gila tiba-tiba, kemacetan yang lebih ganas dari pada penyakit demam, taman kota yang nyaris tak ada, suara bising kendaraan bermesin di mana-mana, dan panas yang mengerikan, masihkah kota Jogja layak sebagai ramah anak? Aku tak tahu. Aku kira, Haryati Suyuti adalah salah satu pelawak paling cerdas di Jogjakarta. Aku rasa, orang itu layak main ludruk atau ketoprak. Dan entah kenapa, aku jadi teringat akan korupsi kebun binatang gembira loka. Aku tak tahu, dari mana ingatan ini tiba-tiba muncul setelah terpendam sekian lama? Yah, bus berjalan, setiap meternya meninggalkan kota yang berantakan ini.

Sampai di Wates km 4.5, bus pun tersendat-sendat. Musim tanam padi pun telah tiba. Terlihat dengan sawah-sawah yang terairi dan padi muda yang baru ditanam. Bangunan terlihat tak rapi, dan kadang lusuh. Tata ruang kota ini memang tak pernah bagus dan layak diberikan penghargaan. Jogja modern memiliki tata ruang yang benar-benar buruk rupa. Dan, ah bus berhenti di terminal Jombor lebih dulu!

Ada dua penumpang perempuan yang tak sengaja duduk di belakanganku. Yang satu dari Tangerang dan bekerja pada institusi pemerintah, sudah memiliki anak, berumur 27 tahun. Yang satunya lagi berasal dari Jawa Timur dan berdomisili di Jogja, sedikit lebih muda dengan pakaian serba merahnya, terlihat sangat laki-laki, kisaran usianya 25 tahunan. Yang satu bernama Dewi Sartika. Yang satunya lagi bernama Fatma. Dan, entah mengapa, aku bagaikan dikelilingi oleh pahlawan nasional. Mereka berdua tertawa saat aku berkata demikian.

Kami banyak bercanda. Kadang diam. Nanti menyambung lagi membicarakan ini dan itu. Dan ada satu laki-laki yang berasal dari Madura, bertubuh kecil, kehitaman, sangat pemalu, dan akan langsung murung kalau diajak bercanda. Aku akhirnya menyerah untuk bercanda dengannya saat candaanku yang terakhir terasa membuatnya patah semangat. Kadang aku ingin berkata, ayolah, kau kan dari Madura yang itu. Ah, tunjukkan kejantananmu. Tapi apa boleh buat. Dia masih meringkuk sedih di sana. Aku merasa bersalah dibuatnya.

Muntilan memiliki cukup banyak sampah di pinggiran jalanannya. Itu agak mengerikan. Matahari pun kian turun hingga hampir gelap ketika sampai di terminalnya yang sangat sepi, suram, hanya ada segelintir tanda kehidupan di dalamnya dan sampah plastik bergentayangan di mana-mana.

Bus melaju kembali. Dan aku mendongakkan kepala di sisi barat bus, terlihat hal yang mengagumkan. Benar-benar mengagumkan. Sileut matahari yang akan habis tenggelam, menyisakan bercak cahaya yang memantul di gumpalan awan yang memanjang bagaikan dua buah kapal luar angkasa yang memancarkan sinar planet Uranus yang terakhir. Naik ke atas, terlihat bintang Sirius bersinar sangat terang dan mengagumkan. Di sebelahnya, terdapat Orion dengan Betelegues yang bersinar cukup terang walau agak redup. Sampai kapan aku bisa menyaksikan keindahan semacam ini lagi sebelum langit tertutupi oleh kabut lampu-lampu dan menandai akhir bagi astronomi Indonesia yang memiliki tempat sangat khas dan khusus yang tak dimiliki oleh dunia lainnya?

Perjalanan adalah percakapan yang tak disangka ada. Entah antara manusia atau manusia dan alam.

Tiba-tiba bus sudah memasuki Terminal Magelang yang bergelombang, sepi, lampu-lampu redup menerangi sekitar, dan, inilah kenyataan Jawa, yang tak akan dikenal di Eropa atau dunia Barat; penjaja makanan yang beraksi. Ada penjual gethuk, dan sejujurnya enak. Tapi aku sedang tak ingin membeli apa pun. Terlebih tahu asin, wingko babat, nasi goreng, arem-arem, kacang rebus, yah akhirnya dua perempuan di belakanganku membeli kacang rebus itu dan sebotol minuman. Dan aku, aku sedang tak ingin diganggu. Aku sudah membawa minuman dan makananku sendiri. Ini benar. Sungguh benar. Walau yang sebenarnya adalah aku sedang dalam tahap penghematan. Maaf, aku bukan Eric Weinar yang bisa keliling dunia dengan mengandalkan kartu kreditnya yang cukup gemuk. Aku hanya memiliki sedikit uang, seperti kebanyakan backpacker pada umumnya walaupun aku ngotot menjuluki diriku sebagai idepacker. Dan aku bukan seorang petualangan yang ada di buku-buku dan film-film yang bisa melintasi berbagai macam rintangan fisik dan mental sekeras apa pun. Maaf. Aku bukan itu semua. Aku sedang dalam masalah krisis keuangan, psikologis dan kebosanan. Lebih tepatnya berada di jurang keputusasaan. 

Aku belum membayar kos yang aku tinggali. Beberapa hutang yang terasa menjengkelkan di kepala. Akhir-akhir ini aku lebih banyak memakan mie instan yang membuat kepalaku pusing sepuluh ribu keliling. Dan tentunya, tubuh yang sakit dan anehnya masih terlihat gemuk. Tidakkah bisa tuhan menurunkan berat badanku saat aku sakit? Ayolah. Tuhan. Berikanlah aku kemurahan hatimu walau sedetik. Berujarlah; kuruskan sedikit anak loyo itu!

Tapi, semua itu tak mungkin.

Entah kenapa, cerita perjalananku selalu terasa mengenaskan dan permulaanku terlihat hampir sama saja. Kali ini aku ke Bandung untuk alasan tertentu dan melihat beberapa tempat yang belum aku lihat.

Bus melewati pusat kota. Hari menjadi malam. Lampu-lampu berkerlap-kerlip mengisi jalanan. Kota Magelang di malam hari terlihat tak terlalu buruk. Dengan sudut pandang yang terbatas, yang aku temukan hanyalah bagian-bagian yang dilewati oleh bus yang berjalan; kota yang cukup bersih walau tak bebas dari sampah. Hotel Grand Aston yang menjulang dan bagaikan keluar dari bawah bumi. Matahari. Benoa Cafe and Art. Pohon-pohon yang masih cukup bisa aku lihat dari mulai pohon pisang, kelapa, pepaya, mahoni, kresen, dan lainnya yang menyatu dengan perumahan sekitar. Trotoar kecil yang rapi. Air selokan atau irigasi yang mengalir deras,  lahan tebu, sawah-sawah dan sampailah di jalan raya Magelang-Purworejo.

Di Salaman ada demo yang tak beraturan dengan bendera Palestina di mana mana. Suara motor yang bising dan para polisi yang sibuk mengatur lalu lintas di sana-sini. Yah, seperti inilah orang bergama di Indonesia. Agama tanpa kesadaran berujung pada ketololan dan akhirnya, menggelikan. Dan bus tiba di ibu kota Purworejo yang cukup rapi, dengan alun-alun yang cukup besar, sedikit sampah terlihat karena mungkin gelap dan pandangan terbatas, tapi terlihat lebih rapi dan bersih dari pada Jogja hari ini. SMA 1 Negeri Purworejo terlihat besar, berada di jalan Tentara Pelajar. Melewati Monumen Jenderal Ahmad Yani, RS Purwa Husada, lalu sawah dan sawah menuju kota berikutnya.

Memasuki Kutoarjo di jalan Diponegoro, aku melihat keadaan cukup ramai. Kota ini memiliki trotoar baru dan terbilang lumayan. Masjid di alun-alun yang agak ramai. Dilihat-lihat, kota ini lebih mirip Jogja atau tepatnya Purwodadi. Keluar kota sedikit saja, sampah sudah ada di mana-mana, pinggiran jalan. Setelah itu, bus memasuki sawah dan sawah. Kegelapan panjang di selingi lampu rumah dan kendaraan. Di persawahan berbagai macam kota kecil-menengah inilah, aku menyukai langit yang ada di atas sana. Sungguh sangat indah ketika lampu-lampu belum terlalu banyak menyentuhnya. Aku sedang membayangkan akhir astronomi Indonesia dalam keistimewaan akan pengalaman mengamati. Keindahan ini akan habis.

Bus melewati Butuh, dan tak banyak yang aku amati dan lihat. Hanya padi-padi yang berusia 3 mingguan yang menghampar di mataku. Bus akhirnya tiba di Kebumen.

Kebumen terlihat biasa. Sub urban. Lebih banyak sampah terlihat di sini. Ruko-ruko yang kusam. Dan mataku tiba-tiba menangkap moto kota ini, Kebumen Beriman. Apa? Serius? Untung aku tak muntah atau pingsang. Terlihat penjual singkong di jalanan. Dan entah kenapa, mungkin aku berada di alam mimpi sebentar.

21:35 bus menepi di rumah makan, Rumah Lestari, Kebumen. Di sini aku dapat tahu, ayam, brokoli, nasi dan teh. Sambil mengisi tab, aku makan ditemani The Geography of Blissnya Eric Weiner. Makan sambil membaca buku adalah hal yang paling aku sukai. Di tempat makan ini, aku buka lebar-lebar buku Eric Weiner itu, mirip orang gila di kerumunan orang normal. Dan beberapa pasang mata melihat dengan penasaran, seolah-olah aku sejenis binatang yang lari dari kebun binatang.

“Orang genius lebih, bukan kurang, terhubung dengan lingkungan mereka dibandingkan kita semua. Mereka melihat hal-hal yang tak terlihat oleh kita,” ungkap Weinar dalam bukunya. Lalu aku memandang sekeliling.

Beberapa orang yang berada satu bus denganku. Beberapa di antaranya terpelajar dalam artian konvensional. Sekumpulan orang yang terlihat berada dan sangat berkecukupan dari tampil fisik, cara mereka berpakaian, bersikap dan lainnya. Beberapa lainnya rakyat biasa. Dan ada yang terlihat seperti seniman, ibu rumah tangga, pegawai pemerintah dan lainnya. Jawa memiliki banyak orang dari segala jenis usia dan status sosial. Walau hanya di rumah makan ini saja, ada banyak kemungkinan dan pencapaian yang kalau dipikirkan harusnya bisa kita peroleh.

Tapi apa boleh buat. Lingkungan Jawa sepertinya nyaris tak mengijinkan Genius dan orang besar lahir. Kebanyakan mati di usia muda. Entah mati secara pikiran, kebebasan, atau kecewa dan diambil oleh negara lainnya. Sejujurnya aku orang yang sudah bosan dengan berita setiap hari yang membesarkan-besarkan pencapaian para atlet, pelajar peraih emas di olimpiade sains, pemenang lomba musikal, tari, atau apalah itu. Baiklah. Baiklah. Sejak dulu aku tahu orang Indonesia itu pintar dan otaknya luar biasa. Tapi, tidakkah hanya sekedar itu tidaklah cukup? Dari sekian banyak kemenangan dan prestasi internasional, dari mulai juara umum lomba sains hingga para atlet kita yang bersinar terang di dunia, siapa di antara mereka yang benar-benar bertahan lama, mencapai lebih, dan menorehkan sesuatu yang tak mudah dihapus? Berapa banyak pelajar peraih emas kita yang akhirnya gugur dalam kehidupan? Berapa banyak atlet luar biasa kita yang akhirnya dibuang dan tak dipedulikan?

Negara ini adalah sejenis negara parasit yang bisa dengan mudahnya membuang berbagai macam orang yang mengharumkan namanya tanpa mau peduli lebih jauh untuk menyelamatkan mereka, membina mereka lebih jauh, merawat, mengayomi, memberi perhatian dan kemudahan hidup hingga orang-orang yang seharusnya hebat di negara ini bisa lebih hebat lagi. Korea Selatan, India, hingga Tiongkok telah melakukannya. Mereka menyuruh pulang orang-orang hebat mereka dan membiayai kehidupan keluarga mereka agar pikiran dan tenaga mereka bisa bekerja dengan maksimal. Tapi, negara ini, bagaikan kuburan massal para genius, orang kreatif dan tokoh besar berikutnya.

Negara tak menginginkannya. Masyarakat juga tak menginginkannya. Jawa bukan Florence yang menghasilkan para genius pada masanya atau Eddinburg yang mendadak bersinar terang. Ini juga bukan Wina yang telah mencerahkan dunia kita. Atau Kolkata yang cerah dalam tumpukan kolonialisme. Sayangnya, kota-kota di Jawa pun, tak mampu sekedar memingit sedikits saja apa yang ada di Silicon Valley tapi hanya sekedar mengonsumsi apa yang mereka pikirkan, buat dan kerjakan. Apakah Jawa, dan negara ini hanya sampai pada menjadi konsumen terbesar di dunia? Terus-menerus menjadi konsumen?

Apa yang membuat penduduk 250 juta ini, yang nantinya menjadi 260, 270, hingga 300an juta, kalah dibandingkan Bangladesh yang miskin dan rakyat tamil yang jumlahnya tak seberapa? Padahal kita berdiri di era yang nyaris bersamaan.

Mungkin, kita bisa bertanya terhadap kebijakan, sistem, budaya, pandangan masyarakat, dan terutama arah pendidikan kita. Ada yang sangat menarik dari apa yang digambarkan Eric Weinar mengenai si jenius Su yang hidup di Huangzhou masa dinasti Song:

.. apa yang akan terjadi jika seorang polimat seperti Su berjalan memasuki kampus perguruan tinggi modern.

Apakah Anda tertarik pada literatur, Mr. Su? Silahkan melihat-lihat Jurusan Sastra. Oh, Anda Pelukis? Silahkan mampir ke departemen Seni Rupa. Bagaimana? Ilmu teknik yang menarik minat Anda? Kami juga punya jurusan yang bagus untuk itu.

Tapi, saya ingin melakukan semuanya.

Maaf, Mr. Su. Kami tak  bisa membantu soal itu. silahkan kembali setelah Anda memastikan tujuan karir Anda. Sementara itu, jika berkenan, saya bisa mengarahkan Anda ke Layanan Kesehatan Jiwa.

Aku rasa, itu sangat cocok dengan keadaanku hari ini, dan mungkin puluhan atau ratusan orang yang memiliki minat banyak hal, polimat semacam diriku ini? Negara dan masyarakat kita lebih menyukai para spesialis, yang contohnya banyak; pencuri sandal, koruptor, garong siang hari, guru besar berprofesi jabatan, LSM dengan spesialisi uang sokongan luar negeri, polisi lalu lintas yang khusus mencari uang di jalanan, hakim yang memiliki spesialisasi disuap dan membela yang beruang, para anggota DPR yang berspesialisi kepada kepentingan keluarga dan partai.

Seorang polimat semacam ini harus segera dibuang; pembela kebenaran. Keadilan. Aktivis ham. Peneliti. Jurnalis. Penyair. Guru besar. Dosen atau pendidik. Pengusaha sekaligus aktivis lingkungan. Pejabat pemerintah yang menyuarakan kebebasan berpendapat, seorang idealis, atau inovator. Dan banyak lainnya.

Orang di negara ini akan cenderung bilang. Tolong jadilah pengusaha saja dan jangan ikut-ikutan mengurusi lingkungan hidup, kebenaran, apalagi keadilan. Urusi saja kantor. Jangan ikut-ikutan membela hak asasi, jadi sok aktivis atau terkesan bersimpati pada buruh. Diamlah. Cukup saja jadi dosen dan guru. Untuk apa repot-repot jadi pengusaha, budayawan, bahkan penyair sekaligus? Jadilah ilmuwan dan peneliti saja. Tak usah ribut-ribut jadi novelis dan seniman. Adik anak IPA? Tak perlulah suka sejarah, ekonomi, design interior atau malah seni rupa.

Semacam itulah dunia yang hari ini kita tinggali. Itulah alasannya kenapa melakukan percakapan hari ini cenderung membosankan. Orang hanya tahu apa yang dipelajarinya di dalam bidang pilihannya saja. Keluar dari situ, semua orang akan cenderung diam. Menjaga jarak. Dan seperti itulah dua perempuan yang ada di belakang kursi dudukku. Membosankan kalau sedikit melenceng dan benar-benar tak peka terhadap situasi dan wacana lainnya. Ah, apakah itu cukup mengerikan dan menjelaskan kenapa aku nyaris bosan terhadap apapun bahkan perjalanan-perjalanan?

10:20. Bus melewati Banyumas. Pemandangan langit selatan sangatlah luar biasa bagiku. Hamparan rasi bintang dan kemilau di atas sana, benar-benar menakjubkan. Jauh dari peradaban kota, bintang-bintang bagaikan hidup dan terlahir kembali.  Jalanan di kota ini buruk. Terbukti dari laju bus yang naik turun dan berjalan secara kasar. Kota yang kecil. Dan tak banyak yang bisa aku lihat dan catat karena rasa kantuk sudah menjalar ke mata.

Di Lumbir, rumah-rumah berada di dataran lebih tinggi. Di bawah lembah, perbukitan, dan terlihat cukup rapi tapi dengan jalan raya yang sebagian jelek. Dari sini, aku sudah banyak lupa apa yang telah terjadi dan terlewati.

Rasa-rasanya aku sudah tertidur beberapa kali di tengah perjalanan. Banyak hal yang tak tersaksikan mata dan perenunganku. Setidaknya, yah, ada beberapa hal yang aku cukup mengerti secara kilasan. Kota-kota di Jawa, mirip seperti yang dikatakan oleh Geert Mak dalam bukunya Abad Bapak Saya. “Tata kota dan struktur pedesaan didasarkan atas jarak jalan kaki. Setiap inti desa sekaligus merupakan pusat dari suatu wilayah dengan garis tengah kira-kira satu jam jalan kaki, setiap kota yang agak besar mengenal penumpukan manusia,” tulisnya. Dan apa yang malam ini aku lihat seperti apa yang dikenang oleh Geert Mak dengan kampung halamannya di Belanda, “banyak kota waktu itu masih dipotong-potong oleh pertanian dan keadaannya sama saja di sini”. Seperti itulah yang aku lihat sekarang ini ketika melintasi Jawa dengan bus di malam hari.

Jawa, bagaimana pun, masih menjadi tanah pertanian. Tepatnya, pertanian yang sekarat dan mulai ambruk di sana-sini. Sampai kapan kita masih bisa mempertahankan pertanian, sawah dan ladang, atau para petani kita di tengah derasnya modernisasi dan generasi baru yang tak lagi bersentuhan secara emosional dan berkeinginan dengan lahan pertanian milik orang tuanya? Dunia tanpa pertanian yang layak di tengah populasi yang terus meningkat, apakah kelak akan membuat guncangan yang tak sedikit bagi negara ini?

Arus baru budaya, kecenderungan berpikir yang banyak dianut, generasi baru, dunia elektronik dan informasi, urbanisasi yang terus meningkat sehingga membuat jenuh dan frustasi orang-orang yang berada di kota akan membuat dunia kita seperti apa yang digambarkan oleh George Orwell, “ .. tak ada gunanya mencari pekerjaan-satu-satunya pilihan adalah menjadi kriminal”. Kita sedang bergerak dan kini sudah berada di dunia semacam itu. Dan setiap tanah pertanian yang hilang satu persatu. Akan semakin banyak orang yang mati dan menjadi kriminal baru karena kota tak selamanya bisa memenuhi segala keinginan dari mereka yang berada di desa dan pinggiran kota itu sendiri. Bahkan warga kota pun yang sudah lama berada di dalamnya, kian hari semakin sakit dan kecut. Ah, masa kesakitan besar akan segera datang dan menghantam berbagai macam kota di seluruh Jawa. Dan mungkin juga seluruh Indonesia.

Negara dan masyarakat ini terlalu banyak mendiamkan dan memelihara orang-orang jahat dan buruk yang ada di sekitarnya. Dan sebentar lagi, kelak mereka akan memanennya. Siapa yang salah? kita semualah yang salah. Kita semua berperan terhadap dunia yang hari ini ada di depan mata kita. Kitalah yang menciptakan dunia hari ini dan esok hari. Dan kitalah yang menciptakan kota yang sekarat dan tak lagi nyaman untuk kita tinggali dan hirup.

Bus kini berada di jalanan Tasikmalaya-Bandung. Mataku masih terasa berat.




Aku pun mulai mempersiapkan apa yang layak aku masukkan dan jelas, hampir semuanya layak kecuali beberapa cuil bungkus makanan. Sejujurnya, berada di dalam bus antar kota/provinsi pada malam hari nyaris sedang berada di persimpangan antara surga dan neraka. Adakalanya luar biasa mengerikan. Seolah-olah jiwa tiba-tiba bagaikan sedang melayang ke luar tubuh karena kecepatan bus yang membuat jantung berdegup kencang. Terlebih ketika sedang berbelok atau menyalip berkali-kali dengan laju kecepatan yang bisa membuat semua orang di dalamnya mati seketika jika terjadi kesalahan sedikit saja. Di jalanan Jawa, seolah-olah hidup hanyalah kemungkinan untuk hari esok. Jadi bunuh diri yang bakal susah untuk dikenali adalah jadilah seorang sopir, pengemudi mobil atau pengendara motor. Kau bisa berpura-pura bunuh diri kapan pun kamu mau dengan alasan menyalip, sembrono, ugal-ugalan, atau mengantuk, tak terlalu hati-hati, dan segala macam jenisnya yang bisa menutupi tindakan bunuh dirimu. Ini bukan saran. Tapi kenyataan yang sehari-hari harus kita akui bersama bahwa banyak orang mati di jalanan dari pada oleh narkoba, terorisme, bahkan perang sekalipun.

Jalan Tasikmalaya-Bandung ternyata cukup jauh. Banyak kendaraan yang saling menyalip. Entah itu bus, truk atau mobil di pagi yang buta ini. Lampu-lampu perumahan seolah menari-nari naik turun dari dataran rendah ke dataran tinggi. Dunia yang semakin padat dan tak mengijinkan terlalu banyak ruang di huni oleh makhluk hidup lainnya selain manusia. Kita.

Sebenarnya ada semut, kecoa, cicak, kelelawar, dan lainnya juga. Tapi biasanya, yah, mereka tak terlalu begitu penting bagi kita kecuali di majalah-majalah dan acara televisi National Geographic. Filsafat hidup kita terlalu bertumpu pada diri kita sendiri. Film dokumenter semacam Home atau Racing Extinction pun hanya sedikit diketahui masyarakat luas dan hanya berpengaruh terhadap segelintir orang. Dan, ah, Bandung semakin dekat.

Bus memasuki Cileunyi. Suasana jalanan masih terbilang tak terlalu ramai di pagi hari, kira-kira jam 03;- lebih. Aku sudah melakukan persiapan. Bertanya kepada pak sopir mengenai arah jalan. Apakah akan lewat jalan merdeka atau alun-alun? Ternyata tidak.

Bus memasuki jalan A.H. Nasution. Dan sepertinya akan memasuki jalan Jend. A. Yani. Pagi terasa masih cukup dingin. Lebih nyaman sekarang ini dari pada perjalananku hampir satu tahun yang lalu ketika pulang dari Jakarta dengan bus Rosalia Indah yang dinginnya sangat mengerikan. Walau pun begitu, perempuan di belakangku, Fatma, cukup rewel. Dia tak terbiasa menaiki bus. Mengeluh bau ini dan itu. Baiklah. Tak apa. Setidaknya dia bisa melihat sisi lain dari dunianya selama ini. Dan bus hampir memasuki pusat kota. Si Fatma tak tahu harus turun di mana. Sopir sejujurnya juga menggeleng dari tadi. Seorang perempuan yang melakukan perjalanan tapi tak tahu harus turun dan menuju ke mana. Tak ada persiapan. Akhirnya, dirinya memutuskan untuk ikut dengan diriku.

Kami pun diturunkan di jalan Riau atau RE. Martadinata. Jam berada tepat di 04;00. Suasana masih sepi. Aku menghirup kembali udara kota ini. Sebuah kota yang ingin aku jadikan ruang bernafas meninggalkan Jogja yang mati. Sekarat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar