Rabu, 03 Agustus 2016

JOGJA DI PAGI HARI







Aku memutuskan untuk menunggu. dingin. sangat dingin. menolak tawaran ojek yang nyaris seperti badut. tiga puluh ribu hanya ke Malioboro? aku siap menunggu. aku sejenis makhluk tahan banting kalau menyoal hal konyol yang terlalu konyol. walau pada dasarnya, aku sedang memakai celana pendek, tubuh sangat panas dan lelah, memang tindakkan konyol tersendiri. tapi tiga puluh ribu dengan jarak sedekat itu adalah kekonyolan yang tak bisa dimaafkan. dan perasaan jengkel mengenai jalan raya Bandung yang luar biasa brengsek masih terngiang di kepala. jalan raya bandung memang benar-benar brengsek dan keparat! 

jam 04;- sekian, 02 Agustus 2016, dan ingin sekali aku tarik dewa Ra agar bergerak lebih cepat dari kasurnya. menunggu itu terkadang menyenangkan. tapi dengan tubuh lelah, demam, kemarin sempat ambruk, dan pemaksaan kaki dan tubuh yang berlebihan untuk berjalan selama berpuluh-puluh kilometer, membuat punggungku terasa nyeri dan menggigil.

"pikiran bugar yang tidak terhubung dengan tubuh bugar mengakibatkan kedanya menjadi tak lengkap," ungkap Eric Weinar dalam bukunya The Geography of Genius. sayangnya, otakku juga tak terlalu baik dan lebih mendekati sakit. yah, apa boleh buat?

aku menunggu. tapi bukan menunggu Godot karena aku tak tahu siapa itu Godot. aku sedang menunggu bus Trans Jogja segera tiba di terminal Jombor dan membawaku keluar dari waktu yang kelambanannya setara dengan semut berjalan antar kota. aku membuka buku Eric Weiner, membacanya, menikmatinya, sambil menyaksikan lalu lalang bus, berhenti dan berjalan di depanku, yang sedang menunggu dengan perasaan jemu di depan Indomart sambil memandang Gapura yang bertuliskan Terminal Jombor. menjemukan serta menyakitkan karena menahan kencing.

singkat cerita. aku melihat Trans Jogja dari arah selatan masuk ke terminal, dan seketika, aku naikkan pantatku dari kursi dudukku, lalu kaki berjalan, menyeberang, dan sampailah aku di halte di mana bus sedang berhenti. setengah enam, bus baru berangkat, kata petugas karcis. dan bereslah, aku pun mencari lahan gelap untuk menuntaskan maksud terselubungku setelah toilet masih tergembok layaknya penjara tingkat teratas. di mana-mana, terminal sangat menakutkan bagi mereka yang berhasrat membalas dendam terhadap dorongan mengeluarkan air seni atau tinja.

tak lama kemudian, bus berangkat, hanya ada aku seorang si penumpang berkulit gelap. yang lain hanyalah sopir dan kernet. jalanan masih terlihat pucat dan gelap. kendaraan terlihat tak terlalu banyak. Bandung adalah kota yang indah di kala fajar. Jogja masih terlihat jelek di kala Fajar. hanya saja, terdapat sedikit ruang untuk bernafas di pagi hari.

aku sampai di Malioboro. Trotoar yang bagai tak selesai-selesai dibangun terlihat menyebalkan dan tak enak dipandang. aku pun memutuskan berjalan kaki di sisi Barat tempat penjual berbagai macam manik-manik, segala jenis baju dan mainan masih berada di tempat tidurnya masing-masing. hanya ada satu-dua orang yang sibuk dengan barang dagangannya. yang lainnya mungkin sedang berada dilapisan terdalam nerakanya Dante. dan Malioboro, atau Jogja di pagi hari sungguh mengerikan, buruk rupa, menyedihkan, menyeramkan, kacau balau, sangat tak sedap, terkesan tak terpelajar, sangat jauh dari kesan budaya dan seni, nyaris membuat mata ingin copot dan meloncat menjadi seekor katak terakhir yang mati karena wabah jamur di Brasil.

Malioboro di pagi hari adalah horor.

 

aku memutuskan berjalan kaki. yah berjalan kaki. di era Jawa Modern, berjalan kaki hampir masuk museum. sekarang rodalah yang berjalan. dan aku masih teringat bacaanku, tentunya dari buku The Geography of Genius yang aku pegang sejak beberapa hari yang lalu hingga pagi buta ini, mengenai orang Yunani Athena Kuno yang menelurkan banyak filsuf, seni dan kejeniusan, "mereka adalah pejalan  yang hebat sekaligus pemikir yang hebat dan lebih suka berfalsafah selagi dalam perjalanan". dan aku pun berjalan kaki, menyusuri Malioboro dan mencoba melihat wajahnya di pagi yang masih cukup sepi.

aku berjalan kaki. mungkin juga berfilsafat, sedikit merenung, dan terlalu banyak mengeluh akibat nyeri di sekitar punggung karena tas yang cukup berat. berjalanan kaki membantu menghilangkan penderitaan. tapi itu hanya berlaku saat suasana memungkinkan atau kau sedang menikmati kekacauan. tapi kali ini, Malioboro terlihat sangat menyedihkan. tak terurus. kotor. berantakan. sampah di mana-mana dari ujung utara sampai selatan. bangunan kusam dan rusak di sana-sini. bau. pedagang kaki lima yang tak teratur dan bagaikan tumpukkan mayat yang ditinggalkan. berjalan kaki di Malioboro di saat pagi hari, sepi, hanya satu dua orang yang lewat, membuat harapan akan tempat bersejarah itu menjadi lebih indah terasa tamat seketika. 

di pagi hari, Malioboro tampak menjijikan. apakah itu berarti orang-orang yang menghuninya juga sama saja? kota dan orang di dalamnya, serupa?

aku menangguhkan segera langsung ke kamar, menikmati tidur dan berguling-guling sepuasnya untuk mengharapkan kenyataan yang bodoh dan gila. aku tersaruk-saruk berjalan kaki. memandangi sisi Timur yang berantakan karena belum selesai pembangunannya. berharap ada penjual nasi yang pas mampir di mataku. tapi tak ada. ada beberapa di depan Mall Malioboro dan lainnya, tapi tak menumbuhka minatku. kondisinya tak menyenangkan untuk mengamati jalan. terlebih aku harus berhitung mengenai kondisi kantongku yang sedang bernafas dalam air. 

aku berjalan kaki. sampah. sampah. ya sampah. mungkin sudah jadi warga baru Jogja. menjadi makhluk istimewa dan harus dijunjung tinggi layaknya dewa-dewa berbentuk monyet dan sapi yang tersebar di India. dan tib-tiba aku teringat Umbu Landun Parangi yang sering berada di jalan keramat ini. begitu juga banyaknya seniman, budayawan dan lainnya. tapi entah mengapa, apa yang dilakukan oleh sekian banyak sastrawan, seniman, budayawan, ahli agama, pemerintah kota, wali kota, bahkan gubernur-sultannya? apakah mengurus Malioboro saja tidak becus, heh? 

Jogja, dengan Malioboronya mungkin adalah omong kosong yang bersejarah. menandakan sifat luas dari masyarakat yang menghuninya. masyarakat yang terfokus pada diri sendiri dan terlambat berpikir. atau, yah, catat kehendak. sering membuat karya seni, puisi, novel, cerpen, pentas teater, berbagai acara musik, budaya dan lainnya, tapi mengurus sampah, keteraturan, kebersihan, di kota kecil ini saja hampir tak mampu? tidakkah itu cacat besar bagi para seniman dan lainnya?

tinggal melihat wajah kota ini, kau akan tahu, jati diri sebagian seniman, budayawan, penyair, sastrawan, dan entah apapun itu di kota ini. berjalan di Malioboro adalah bagaikan berjalan di tengah kesemrawutan yang impoten.

yah, Athena, Hangzou, Paris, dan banyak kota lainnya adalah kota-kota yang memiliki kekumuhan dan kekacauannya sendiri. tapi mereka mendapatkan para jenius, pemikir, seniman, dan banyak tokoh besar yang hari ini kita baca dan ikuti? dan, kekacauan, kekotoran di kota ini hanya membuat siapa saja cukup berambisi menjadi biasa. perbedaan konyol yang membuat mual.

dan di pagi hari, Jogja terlihat sangat menyedihkan dan konyol.



aku mencari toilet. berjalan melewati pasar Bringharjo yang terkesan angker dan tak bersih. kembaran Malioboro. toilet umum tutup atau tepatnya dikunci dan disembunyikan layaknya barang mewah yang mahal. banyak gelandangan tidur dengan nyenyak di tempat ini. kota seni, budaya, dan pariwisata yang anehnya, terkesan miskin dan tak terurus. entah orang sinting macam mana yang memelihara keadaan semacam ini.

berjalan ke Taman Budaya Yogyakarta, masih dibersihkan hingga jam sembilan. Shopping pun tutup. toilet pos satpam Taman Pintar pun masih terkunci rapat dan rapi. dan otakku berteriak, dasar kota sialan! sudah bau kencing, sampah di mana-mana, berantakan, cari toilet saja susah! benar-benar kota menyedihkan dibalik keindahannya yang memesona dan meninabobokan.

aku pun berjalan lagi. yah, berjalan kaki membuat otak lebih banyak berpikir, mencerna dan merasa. mungkin karena banyak orang Jogja, Jawa, Indonesia sekarang lebih banyak menggunakan roda, kemampua merasa, berpikir, dan mencerna keadaan jadi tumpul dan buram. dan ini sangatlah terlihat dari wajah Jogja di pagi hari.

aku pun berhenti. memesan soto di depan Bank Indonesia. anak-anak sekolah lewat. masih banyak di antara mereka yang mengayuh sepeda. itu membuatku cukup tersenyum riang. terlebih jika gadis Tionghoa yang mengayuh sepeda itu lebih luar biasa lagi. ada yang menggunakan motor bertiga. bagus menghemat ruang. dan yang paling menyebalkan dan menjijikkan adalah pengguan mobil yag berisikan satu-dua orang saja. satu sopir dan satu anak. itu benar-benar tindakkan idiot yang sangat tak terpejalar dan tak beradab di era ini. 

lalu, ada tabrakan antar dua sepeda motor. begitulah. dunia jalanan Jogja di pagi hari memang sudah menyedihkan. sedangkan sampah, masih saja mengikutiku sampai di sini. benar-benar menjengkelkan.

makan pun selesai. punggung sakit. mencari bus susah. sedangkan becak meminta harga tiga puluh ribu rupiah. aku pun memutuskan berjalan kaki, kurang lebih 8-9 kilometer dari 0 KM ke Dongkelan, Bantul. dalam hati, aku bisa. masak aku tak bisa dengan jarak segini saja? walau sudah kelelahan luar biasa, aku memutuskan tak menghentikan kendaraan untuk meminta boncengan. kecerobohan yang sombong mengingat tubuh masih sakit.

sesampainya di kamar, ambruklaklah aku. panas meningkat. kesakitan. kejang. tubuh bergetar hebat hampir satu jam. dan pinggul terasa bagaikan ditarik kuat-kuat yang membuat kaki dan pantat susah bergerak dan melangkah. 

hari ini, Jogja juga kota yang bisa membuat sakit. bahkan di pagi hari.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar