Minggu, 14 Agustus 2016

SEBELUM KEMBALI MENENGOK JAKARTA













Memikirkan Jakarta, Jawa, dan Indonesia, terasa bagaikan memikirkan makhluk halus. Susah dilihat. Susah ditangkap. Tak mudah untuk dipikirkan. Dan seringkali membuat ngeri siapa pun yang tiba-tiba bertemu dengannya. Semacam hantu yang keluar dari neraka. Itulah Jakarta.

Jakarta, ibu kota neraka. Itulah julukan yang aku berikan terhadap kota yang membuatku jengkel dan frustasi selama seminggu, tepatnya hampir satu tahun yang lalu, pada bulan september 2015. Dan beberapa hari ini, aku akan kembali memasuki neraka itu. pada tanggal 15-18 atau 19 Agustus, aku akan berada kembali di kota tersebut. Bermaksud melihat Leo Kristi yang menggelar konser di Kemayoran. Dan tentunya ingin merasakan apa yang belum aku rasakan beberapa waktu yang lalu.

Sejujurnya aku sudah tak ingin melihat jakarta lagi kalau bukan urusan yang penting. Apalagi merasakannya. Kota itu benar-benar melebihi kata brengsek dan mengenaskan yang pernah ada. Kota itu benar-benar membuatku marah-marah hampir setiap hari. Hingga aku bersumpah aku tak akan pernah mau tinggal di kota sialan itu. Dan aku sempat mengkhayal, seandainya tiba-tiba aku jadi presiden, aku akan menghapus kota mengerikan itu dari peta Indonesia.

Khayalan memesona. Membuat mataku terasa berbinar-binar dengan senyum lebar yang agak menakutkan.

Ibu kota jakarta adalah persemaian penyakit seluruh negeri. Kota yang membuat masalah bukan menyelesaikan masalah. Kota orang-orang yang gilanya, ya ampun, melebihi diriku yang nyaris diambang kegilaan parah ini. Dan Jakarta adalah salah satu kota yang membuat siapa saja susah menjadi orang baik dalam artian tradisional.

Aku harus persiapan mental. Semoga kali ini aku tak akan lebih gila memasuki kota tersebut. Dan sayangnya, hanya memikirkan jakarta saja sebelum tiba di dalamnya, aku benar-benar sudah merasa berada di batas ambang kegilaan. Benar-benar kota yang mengerikan.

Berita-berita terakhir soal Jakarta atau yang berkaitan dengannya membuat kepalaku pusing dan, baiklah, lebih baik aku menyerah soal kota itu.

Menteri pendidikan dan kebudayaan yang  baru, baru saja menjabat ketololannya sudah terasa benar-benar bagaikan gempa bumi. Sekolah seharian penuh atau kokurikuler adalah awal yang buruk dan sangat, yah, memalukan bagi orang setaraf menteri. Aku tak tahu, otak orang itu mungkin ada di belakang planet jupiter. Dan akhir-akhir ini guru semakin menggelisahkan. Sudah kebanyakan tak becus mengajar, malas mengajar, susah ditanyai, dan tak peduli dengan siswanya, oh tidak, malah kian hari semakin berulah menganiyaya murid, pelecehan seksual dan bla bla lainnya. Wah, pendidikan di Indonesia semakin mengagumkan. Setelah beberapa yang lalu kasus pembunuhan dosen, kini kasus pemukulan guru oleh orang tua dan murid. Kasus dan kasus dan kasus lagi. Penolakan kriminalisasi guru. Dan ah, entahlah, aku pusing melihat Negara semacam ini.

Kasus suap kejagung DKI. Remisi Koruptor dipermudah. Kegilaan macam apa lagi ini? Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hapus Hukuman Mati (HATI) melapor, ke komisi kejasaan RI soal eksekusi mati dan korupsi anggaran eksekusi mati. Dan kadang, orang-orang pembela ham di Indonesia memang agak bodoh. Mengenai korupsi anggaran, tak masalah. Tapi menolak hukuman mati di negara konyol semacam ini? Alasannya memang cukup bagus. Banyak kepentingan di pihak penegak hukum mengenai keterburu-bnuruan eksekusi mati. Dan keinginan untuk membuka jaringan narkoba dari para tahanan dari pada langsung membunuhnya begitu saja. Tapi, itu saja tidak cukup. Mungkin lebih tepatnya, hukuman penjara seumur hidup bagi mereka yang mau membantu pihak penegak hukum dan hukuman mati bagi mereka yang menolak. Yah, itu jalan tengah termudah. Tentunya, hukuman yang sama diberlakukan bagi para koruptor dan kasus suap.

AKP Jamal Alkatiri, dicopot dari jabatannya sebagai Wakapolsek karena mabuk dan menodongkan senjata apinya di tempat umum. Baiklah, wakapolsek saja semacam itu? Sidang vaksin palsu yang tak dihadiri oleh semua yang terlibat; RS Harapan Bunda, Kementerian Kesehatan, BPOM, dokter yang terkait, semuanya mangkir dari sidang yang diselenggarakan di Jakarta Timur. Aku tak tahu, apakah itu memalukan atau memang seperti itulah kehidupan banyak kita sehari-hari terlebih mereka yang ada di Jakarta? Coba bayangkan, dari mulai guru tak senonoh hingga vaksin palsu? Betapa mengerikannya kehidupan anak-anak Indonesia.

Dan kini Jakarta lagi heboh dengan kasus Pilkada 2017. Siapa yang akan maju dan terpilih menjadi gubernuer jakarta berikutnya? Belum apa-apa saja sudah ribu sana ribut sini. Para partai berkelompot dan jika melihat sedikit peluang, kabur dari kelompotan.

Aku ingin cepat-cepat ke Suarabaya sebelum Risma maju ke jakarta dan meninggalkan kota itu untuk seterusnya. Solo sepeninggalan Jokowi jadi sesak dan bagai tak terurus. Apakah Surabaya akan mengalami hal yang sama? Mungkin. Kekonyolan dunia perpolitikan Indonesia adalah lupa pada pengganti selanjutnya. Apakah walikota dan gubernur pengganti atau selanjutnya akan bisa lebih baik lagi dari yang dahulu atau malah akan lebih buruk dan meninggalkan banyak program yang sudah baik dan layak diteruskan? Di otak perpolitikan Indonesia dari para pendukung dan orang gila di belakangnya hanyalah keinginan untuk, maju, maju, duduki Jakarta tanpa mau berpikir lebih jauh mengenai kota yang nantinya bakal ditinggalkan.

Sikap pragmatis sebelum menyelesaikan tugas kian hari semakin populer di negara ini. Belum selesai mengurusi kota, ingin jadi gubernur. Belum selesai jadi gubernur, eh, jadi presiden. Dan kondisi semacam itu kian populer dan mengkhawatirkan. Apakah Risma akan seperti itu?

Di lain sisi, Ahok juga terlalu keras dan banyak omong. Dua-duanya bagus. tapi kalau yang satu akhirnya meninggalkan posnya sebelum selesai bertugas dan meninggalkan bekas yang permanen bagi kota Surabaya. Maka pada akhirnya, aku hanya bilang; sekarang ternyata era para politisi yang tak menyelesaikan masa tugasnya semakin banyak dan disukai masyarakat. Ini aneh atau malah wajar?

Sedangkan Ahok? Aku ingin lihat apa yang telah diberikan Ahok untuk Jakarta. Dari mulaipenertiban PKL, mobil dan sepeda motor serta parkir liar. Penggunaan plat ganjil-genap. Mengurai proses birokrasi yang berbelit dan banyak lainnya, apakah sudah cukup mengubah wajah Jakarta yang jelek dan mengerikan itu? Di lain sisi, kasus reklamasi dan pengumpulan KTP yang bermasalah. Yah, kekuasaan itu menggoda. Ahok pun rasanya tak tahan dengan aroma dan rasa kekuasaan itu sendiri sehingga menggebu-gebu ingin menduduki kursi gubernur kembali.

Dan jika kita membicarakan Jakarta. Kita butuh sentuhan dari seorang yang memiliki kepekaan akan sikap keras, bertangan besi, rela mati dan tak populer. Ahok hampir melewati itu. Tapi akhir-akhir ini dunia perpolitikan di Indonesia makin konyol. Begitu juga dirinya.

Beberapa hari yang lalu ketika ke Surakarta, aku membaca kumpulan tulisan PK. Ojong yang berjudul Kompasiana di perpustakaan Museum Pers Nasional. Ada bagian tertentu yang membicarakan rasanya hidup dan berjalan di kota neraka itu. Aku belum selesai membacanya. Rasa-rasanya aku akan membacanya habis saat kembali ke sana. Apakah kondisi, suasana, dan peristiwa mengenai Jakarta pada tahun 1950-60-an hampir sama saja dengan kondisi sekarang ini?

Membuka berita Kompas dan lainnya mengenai Jakarta membuat kepala pusing. Terlalu banyak masalah. Terlalu banyak keboborokan. Jika ibu kota saja semacam itu, apa yang layak dan patut dibanggakan?

Pejabat, pemerintah, fisik kota dan jalanan yang tak jelas. Kota neraka memang harus seperti neraka. Butuh orang yang melampaui kegilaanlah yang bisa menyelesaikan masalah kota yang sekarat itu. Dan siapakah yang cukup gila untuk menyelesaikan masalah yang menjadi bagian hidup ibu kota tersebut?

Aku menunggu. Dan Jakarta, ah, aku terpaksa kembali ke sana. Ya ampun!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar