Memikirkan
Jakarta, Jawa, dan Indonesia, terasa bagaikan memikirkan makhluk halus. Susah
dilihat. Susah ditangkap. Tak mudah untuk dipikirkan. Dan seringkali membuat
ngeri siapa pun yang tiba-tiba bertemu dengannya. Semacam hantu yang keluar
dari neraka. Itulah Jakarta.
Jakarta,
ibu kota neraka. Itulah julukan yang aku berikan terhadap kota yang membuatku
jengkel dan frustasi selama seminggu, tepatnya hampir satu tahun yang lalu,
pada bulan september 2015. Dan beberapa hari ini, aku akan kembali memasuki neraka
itu. pada tanggal 15-18 atau 19 Agustus, aku akan berada kembali di kota
tersebut. Bermaksud melihat Leo Kristi yang menggelar konser di Kemayoran. Dan
tentunya ingin merasakan apa yang belum aku rasakan beberapa waktu yang lalu.
Sejujurnya
aku sudah tak ingin melihat jakarta lagi kalau bukan urusan yang penting. Apalagi
merasakannya. Kota itu benar-benar melebihi kata brengsek dan mengenaskan yang
pernah ada. Kota itu benar-benar membuatku marah-marah hampir setiap hari. Hingga
aku bersumpah aku tak akan pernah mau tinggal di kota sialan itu. Dan aku
sempat mengkhayal, seandainya tiba-tiba aku jadi presiden, aku akan menghapus
kota mengerikan itu dari peta Indonesia.
Khayalan
memesona. Membuat mataku terasa berbinar-binar dengan senyum lebar yang agak
menakutkan.
Ibu
kota jakarta adalah persemaian penyakit seluruh negeri. Kota yang membuat
masalah bukan menyelesaikan masalah. Kota orang-orang yang gilanya, ya ampun,
melebihi diriku yang nyaris diambang kegilaan parah ini. Dan Jakarta adalah
salah satu kota yang membuat siapa saja susah menjadi orang baik dalam artian
tradisional.
Aku
harus persiapan mental. Semoga kali ini aku tak akan lebih gila memasuki kota
tersebut. Dan sayangnya, hanya memikirkan jakarta saja sebelum tiba di
dalamnya, aku benar-benar sudah merasa berada di batas ambang kegilaan.
Benar-benar kota yang mengerikan.
Berita-berita
terakhir soal Jakarta atau yang berkaitan dengannya membuat kepalaku pusing
dan, baiklah, lebih baik aku menyerah soal kota itu.
Menteri
pendidikan dan kebudayaan yang baru,
baru saja menjabat ketololannya sudah terasa benar-benar bagaikan gempa bumi. Sekolah
seharian penuh atau kokurikuler adalah awal yang buruk dan sangat, yah,
memalukan bagi orang setaraf menteri. Aku tak tahu, otak orang itu mungkin ada
di belakang planet jupiter. Dan akhir-akhir ini guru semakin menggelisahkan.
Sudah kebanyakan tak becus mengajar, malas mengajar, susah ditanyai, dan tak
peduli dengan siswanya, oh tidak, malah kian hari semakin berulah menganiyaya
murid, pelecehan seksual dan bla bla lainnya. Wah, pendidikan di Indonesia
semakin mengagumkan. Setelah beberapa yang lalu kasus pembunuhan dosen, kini
kasus pemukulan guru oleh orang tua dan murid. Kasus dan kasus dan kasus lagi.
Penolakan kriminalisasi guru. Dan ah, entahlah, aku pusing melihat Negara
semacam ini.
Kasus
suap kejagung DKI. Remisi Koruptor dipermudah. Kegilaan macam apa lagi ini?
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hapus Hukuman Mati (HATI) melapor, ke komisi
kejasaan RI soal eksekusi mati dan korupsi anggaran eksekusi mati. Dan kadang,
orang-orang pembela ham di Indonesia memang agak bodoh. Mengenai korupsi
anggaran, tak masalah. Tapi menolak hukuman mati di negara konyol semacam ini?
Alasannya memang cukup bagus. Banyak kepentingan di pihak penegak hukum
mengenai keterburu-bnuruan eksekusi mati. Dan keinginan untuk membuka jaringan
narkoba dari para tahanan dari pada langsung membunuhnya begitu saja. Tapi, itu
saja tidak cukup. Mungkin lebih tepatnya, hukuman penjara seumur hidup bagi
mereka yang mau membantu pihak penegak hukum dan hukuman mati bagi mereka yang
menolak. Yah, itu jalan tengah termudah. Tentunya, hukuman yang sama
diberlakukan bagi para koruptor dan kasus suap.
AKP
Jamal Alkatiri, dicopot dari jabatannya sebagai Wakapolsek karena mabuk dan
menodongkan senjata apinya di tempat umum. Baiklah, wakapolsek saja semacam
itu? Sidang vaksin palsu yang tak dihadiri oleh semua yang terlibat; RS Harapan
Bunda, Kementerian Kesehatan, BPOM, dokter yang terkait, semuanya mangkir dari
sidang yang diselenggarakan di Jakarta Timur. Aku tak tahu, apakah itu
memalukan atau memang seperti itulah kehidupan banyak kita sehari-hari terlebih
mereka yang ada di Jakarta? Coba bayangkan, dari mulai guru tak senonoh hingga
vaksin palsu? Betapa mengerikannya kehidupan anak-anak Indonesia.
Dan
kini Jakarta lagi heboh dengan kasus Pilkada 2017. Siapa yang akan maju dan
terpilih menjadi gubernuer jakarta berikutnya? Belum apa-apa saja sudah ribu
sana ribut sini. Para partai berkelompot dan jika melihat sedikit peluang,
kabur dari kelompotan.
Aku
ingin cepat-cepat ke Suarabaya sebelum Risma maju ke jakarta dan meninggalkan
kota itu untuk seterusnya. Solo sepeninggalan Jokowi jadi sesak dan bagai tak
terurus. Apakah Surabaya akan mengalami hal yang sama? Mungkin. Kekonyolan
dunia perpolitikan Indonesia adalah lupa pada pengganti selanjutnya. Apakah
walikota dan gubernur pengganti atau selanjutnya akan bisa lebih baik lagi dari
yang dahulu atau malah akan lebih buruk dan meninggalkan banyak program yang
sudah baik dan layak diteruskan? Di otak perpolitikan Indonesia dari para
pendukung dan orang gila di belakangnya hanyalah keinginan untuk, maju, maju,
duduki Jakarta tanpa mau berpikir lebih jauh mengenai kota yang nantinya bakal
ditinggalkan.
Sikap
pragmatis sebelum menyelesaikan tugas kian hari semakin populer di negara ini.
Belum selesai mengurusi kota, ingin jadi gubernur. Belum selesai jadi gubernur,
eh, jadi presiden. Dan kondisi semacam itu kian populer dan mengkhawatirkan.
Apakah Risma akan seperti itu?
Di
lain sisi, Ahok juga terlalu keras dan banyak omong. Dua-duanya bagus. tapi
kalau yang satu akhirnya meninggalkan posnya sebelum selesai bertugas dan
meninggalkan bekas yang permanen bagi kota Surabaya. Maka pada akhirnya, aku
hanya bilang; sekarang ternyata era para politisi yang tak menyelesaikan masa
tugasnya semakin banyak dan disukai masyarakat. Ini aneh atau malah wajar?
Sedangkan
Ahok? Aku ingin lihat apa yang telah diberikan Ahok untuk Jakarta. Dari
mulaipenertiban PKL, mobil dan sepeda motor serta parkir liar. Penggunaan plat
ganjil-genap. Mengurai proses birokrasi yang berbelit dan banyak lainnya,
apakah sudah cukup mengubah wajah Jakarta yang jelek dan mengerikan itu? Di
lain sisi, kasus reklamasi dan pengumpulan KTP yang bermasalah. Yah, kekuasaan
itu menggoda. Ahok pun rasanya tak tahan dengan aroma dan rasa kekuasaan itu
sendiri sehingga menggebu-gebu ingin menduduki kursi gubernur kembali.
Dan
jika kita membicarakan Jakarta. Kita butuh sentuhan dari seorang yang memiliki
kepekaan akan sikap keras, bertangan besi, rela mati dan tak populer. Ahok
hampir melewati itu. Tapi akhir-akhir ini dunia perpolitikan di Indonesia makin
konyol. Begitu juga dirinya.
Beberapa
hari yang lalu ketika ke Surakarta, aku membaca kumpulan tulisan PK. Ojong yang
berjudul Kompasiana di perpustakaan
Museum Pers Nasional. Ada bagian tertentu yang membicarakan rasanya hidup dan
berjalan di kota neraka itu. Aku belum selesai membacanya. Rasa-rasanya aku
akan membacanya habis saat kembali ke sana. Apakah kondisi, suasana, dan
peristiwa mengenai Jakarta pada tahun 1950-60-an hampir sama saja dengan
kondisi sekarang ini?
Membuka
berita Kompas dan lainnya mengenai Jakarta membuat kepala pusing. Terlalu
banyak masalah. Terlalu banyak keboborokan. Jika ibu kota saja semacam itu, apa
yang layak dan patut dibanggakan?
Pejabat,
pemerintah, fisik kota dan jalanan yang tak jelas. Kota neraka memang harus seperti neraka. Butuh orang yang melampaui
kegilaanlah yang bisa menyelesaikan masalah kota yang sekarat itu. Dan siapakah
yang cukup gila untuk menyelesaikan masalah yang menjadi bagian hidup ibu kota
tersebut?
Aku
menunggu. Dan Jakarta, ah, aku terpaksa kembali ke sana. Ya ampun!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar