Pulau
Jawa sangat bagus untuk pertanian; tanahnya sangat subur. Para petani tidak
menanam sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga untuk memenuhi
kebutuhan lainnya, seperti membeli barang-barang kebutuhan yang sedikit mewah.
Bangsa Jawa adalah bangsa petani, dan akhirnya membentuk struktur masyarakat
yang khas. Petani mendapat uang dari tanamannya, prajurit dari upahnya, pegawai
dari gajinya, para ulama dari sumbangan (zakat), dan pemerintah dari hasil
pajak. Kekayaan suatu desa atau satu propinsi tergantung dari luas dan
kesuburan tanahnya, sistem pengairannya, serta jumlah kerbau yang dimiliki.
Thomas Stamford Raffles
The
History of Java
Bus
datang terlambat. Itu sudah biasa. telat 38 menit? Anggap saja itu anugerah.
Asal tidak nyasar ke jurang terdekat atau menabrak truk di depan. Telat 38
menit bukan apa-apa. Dan yah, bus ini nyaman. Bahkan lebih nyaman dari yang aku
kira. Melebihi harapanku. Melebihi kereta api super ekslusif yang harganya bisa
mencapai hampir setengah juta. Hanya dengan seratus enam puluh ribu, aku berada
di dalam bus yang awalnya tak menjanjikan. Pahala Kencana rute Jogja-Bandung,
yang dilihat dari jauh dan dekat mirip bus bobrok yang sudah terlalu sering di
jalan dan digilas oleh ganasnya jalanan pulau Jawa. Tapi inilah kejutannya. Di
dalamnya ternyata bus ini benar-benar menyenangkan. Terlihat baru, dengan kursi
empuk yang bisa disetel tidur dan tambahan kecil untuk kaki, dan berwarna biru
seperti baju yang kukenakan. Sempurna. Setidaknya, aku tak akan terlalu
kesakitan malam ini seperti biasanya.
Bus
berjalan. Hari ini tanggal 29 juli 2016, dan beberapa hari lagi akan menjadi
pergantian bulan. Aku membawa buku catatan, sedikit makanan, buku Eric Weinar
yang berjudul The Geography of Bliss
dan beberapa isi yang tak perlu dijelaskan yang berada di kedalaman tas.
Biarlah menjadi misteri layaknya orang Hindu dan Buddha. Dan aku teringat akan
kasus penelantaran anak yang kian meningkat di kota Jogjakarta, 67 kasus dalam
2016. Aku mendapatkannya dari Malioboro Blitz. Dan walikotanya, yang bernama
Haryati Suyuti, menginginkan kota yang akan aku tinggalkan ini menjadi kota
ramah anak. Ramah anak? Apa? Dengan plastik bergentayangan di mana-mana, becak
motor yang suara dan polusinya bisa membuat orang sakit dan gila tiba-tiba,
kemacetan yang lebih ganas dari pada penyakit demam, taman kota yang nyaris tak
ada, suara bising kendaraan bermesin di mana-mana, dan panas yang mengerikan,
masihkah kota Jogja layak sebagai ramah anak? Aku tak tahu. Aku kira, Haryati
Suyuti adalah salah satu pelawak paling cerdas di Jogjakarta. Aku rasa, orang
itu layak main ludruk atau ketoprak. Dan entah kenapa, aku jadi teringat akan
korupsi kebun binatang gembira loka. Aku tak tahu, dari mana ingatan ini
tiba-tiba muncul setelah terpendam sekian lama? Yah, bus berjalan, setiap
meternya meninggalkan kota yang berantakan ini.
Sampai
di Wates km 4.5, bus pun tersendat-sendat. Musim tanam padi pun telah tiba.
Terlihat dengan sawah-sawah yang terairi dan padi muda yang baru ditanam.
Bangunan terlihat tak rapi, dan kadang lusuh. Tata ruang kota ini memang tak
pernah bagus dan layak diberikan penghargaan. Jogja modern memiliki tata ruang
yang benar-benar buruk rupa. Dan, ah bus berhenti di terminal Jombor lebih
dulu!
Ada
dua penumpang perempuan yang tak sengaja duduk di belakanganku. Yang satu dari
Tangerang dan bekerja pada institusi pemerintah, sudah memiliki anak, berumur
27 tahun. Yang satunya lagi berasal dari Jawa Timur dan berdomisili di Jogja, sedikit
lebih muda dengan pakaian serba merahnya, terlihat sangat laki-laki, kisaran
usianya 25 tahunan. Yang satu bernama Dewi Sartika. Yang satunya lagi bernama
Fatma. Dan, entah mengapa, aku bagaikan dikelilingi oleh pahlawan nasional.
Mereka berdua tertawa saat aku berkata demikian.
Kami
banyak bercanda. Kadang diam. Nanti menyambung lagi membicarakan ini dan itu.
Dan ada satu laki-laki yang berasal dari Madura, bertubuh kecil, kehitaman,
sangat pemalu, dan akan langsung murung kalau diajak bercanda. Aku akhirnya
menyerah untuk bercanda dengannya saat candaanku yang terakhir terasa
membuatnya patah semangat. Kadang aku ingin berkata, ayolah, kau kan dari
Madura yang itu. Ah, tunjukkan kejantananmu. Tapi apa boleh buat. Dia masih
meringkuk sedih di sana. Aku merasa bersalah dibuatnya.
Muntilan
memiliki cukup banyak sampah di pinggiran jalanannya. Itu agak mengerikan.
Matahari pun kian turun hingga hampir gelap ketika sampai di terminalnya yang
sangat sepi, suram, hanya ada segelintir tanda kehidupan di dalamnya dan sampah
plastik bergentayangan di mana-mana.
Bus
melaju kembali. Dan aku mendongakkan kepala di sisi barat bus, terlihat hal
yang mengagumkan. Benar-benar mengagumkan. Sileut matahari yang akan habis
tenggelam, menyisakan bercak cahaya yang memantul di gumpalan awan yang
memanjang bagaikan dua buah kapal luar angkasa yang memancarkan sinar planet
Uranus yang terakhir. Naik ke atas, terlihat bintang Sirius bersinar sangat
terang dan mengagumkan. Di sebelahnya, terdapat Orion dengan Betelegues yang
bersinar cukup terang walau agak redup. Sampai kapan aku bisa menyaksikan
keindahan semacam ini lagi sebelum langit tertutupi oleh kabut lampu-lampu dan
menandai akhir bagi astronomi Indonesia yang memiliki tempat sangat khas dan
khusus yang tak dimiliki oleh dunia lainnya?
Perjalanan adalah percakapan yang tak disangka ada.
Entah antara manusia atau manusia dan alam.
Tiba-tiba
bus sudah memasuki Terminal Magelang yang bergelombang, sepi, lampu-lampu redup
menerangi sekitar, dan, inilah kenyataan Jawa, yang tak akan dikenal di Eropa
atau dunia Barat; penjaja makanan yang beraksi. Ada penjual gethuk, dan
sejujurnya enak. Tapi aku sedang tak ingin membeli apa pun. Terlebih tahu asin,
wingko babat, nasi goreng, arem-arem, kacang rebus, yah akhirnya dua perempuan
di belakanganku membeli kacang rebus itu dan sebotol minuman. Dan aku, aku
sedang tak ingin diganggu. Aku sudah membawa minuman dan makananku sendiri. Ini
benar. Sungguh benar. Walau yang sebenarnya adalah aku sedang dalam tahap
penghematan. Maaf, aku bukan Eric Weinar yang bisa keliling dunia dengan
mengandalkan kartu kreditnya yang cukup gemuk. Aku hanya memiliki sedikit uang,
seperti kebanyakan backpacker pada umumnya walaupun aku ngotot menjuluki diriku
sebagai idepacker. Dan aku bukan seorang petualangan yang ada di buku-buku dan
film-film yang bisa melintasi berbagai macam rintangan fisik dan mental sekeras
apa pun. Maaf. Aku bukan itu semua. Aku sedang dalam masalah krisis keuangan,
psikologis dan kebosanan. Lebih tepatnya berada di jurang keputusasaan.
Aku
belum membayar kos yang aku tinggali. Beberapa hutang yang terasa menjengkelkan
di kepala. Akhir-akhir ini aku lebih banyak memakan mie instan yang membuat
kepalaku pusing sepuluh ribu keliling. Dan tentunya, tubuh yang sakit dan
anehnya masih terlihat gemuk. Tidakkah bisa tuhan menurunkan berat badanku saat
aku sakit? Ayolah. Tuhan. Berikanlah aku kemurahan hatimu walau sedetik.
Berujarlah; kuruskan sedikit anak loyo itu!
Tapi,
semua itu tak mungkin.
Entah
kenapa, cerita perjalananku selalu terasa mengenaskan dan permulaanku terlihat
hampir sama saja. Kali ini aku ke Bandung untuk alasan tertentu dan melihat
beberapa tempat yang belum aku lihat.
Bus
melewati pusat kota. Hari menjadi malam. Lampu-lampu berkerlap-kerlip mengisi
jalanan. Kota Magelang di malam hari terlihat tak terlalu buruk. Dengan sudut
pandang yang terbatas, yang aku temukan hanyalah bagian-bagian yang dilewati
oleh bus yang berjalan; kota yang cukup bersih walau tak bebas dari sampah.
Hotel Grand Aston yang menjulang dan bagaikan keluar dari bawah bumi. Matahari.
Benoa Cafe and Art. Pohon-pohon yang masih cukup bisa aku lihat dari mulai
pohon pisang, kelapa, pepaya, mahoni, kresen, dan lainnya yang menyatu dengan
perumahan sekitar. Trotoar kecil yang rapi. Air selokan atau irigasi yang
mengalir deras, lahan tebu, sawah-sawah
dan sampailah di jalan raya Magelang-Purworejo.
Di
Salaman ada demo yang tak beraturan dengan bendera Palestina di mana mana.
Suara motor yang bising dan para polisi yang sibuk mengatur lalu lintas di
sana-sini. Yah, seperti inilah orang bergama di Indonesia. Agama tanpa
kesadaran berujung pada ketololan dan akhirnya, menggelikan. Dan bus tiba di
ibu kota Purworejo yang cukup rapi, dengan alun-alun yang cukup besar, sedikit
sampah terlihat karena mungkin gelap dan pandangan terbatas, tapi terlihat
lebih rapi dan bersih dari pada Jogja hari ini. SMA 1 Negeri Purworejo terlihat
besar, berada di jalan Tentara Pelajar. Melewati Monumen Jenderal Ahmad Yani,
RS Purwa Husada, lalu sawah dan sawah menuju kota berikutnya.
Memasuki
Kutoarjo di jalan Diponegoro, aku melihat keadaan cukup ramai. Kota ini
memiliki trotoar baru dan terbilang lumayan. Masjid di alun-alun yang agak
ramai. Dilihat-lihat, kota ini lebih mirip Jogja atau tepatnya Purwodadi.
Keluar kota sedikit saja, sampah sudah ada di mana-mana, pinggiran jalan.
Setelah itu, bus memasuki sawah dan sawah. Kegelapan panjang di selingi lampu
rumah dan kendaraan. Di persawahan berbagai macam kota kecil-menengah inilah,
aku menyukai langit yang ada di atas sana. Sungguh sangat indah ketika
lampu-lampu belum terlalu banyak menyentuhnya. Aku sedang membayangkan akhir
astronomi Indonesia dalam keistimewaan akan pengalaman mengamati. Keindahan ini
akan habis.
Bus
melewati Butuh, dan tak banyak yang aku amati dan lihat. Hanya padi-padi yang
berusia 3 mingguan yang menghampar di mataku. Bus akhirnya tiba di Kebumen.
Kebumen
terlihat biasa. Sub urban. Lebih banyak sampah terlihat di sini. Ruko-ruko yang
kusam. Dan mataku tiba-tiba menangkap moto kota ini, Kebumen Beriman. Apa?
Serius? Untung aku tak muntah atau pingsang. Terlihat penjual singkong di
jalanan. Dan entah kenapa, mungkin aku berada di alam mimpi sebentar.
21:35
bus menepi di rumah makan, Rumah Lestari, Kebumen. Di sini aku dapat tahu,
ayam, brokoli, nasi dan teh. Sambil mengisi tab, aku makan ditemani The Geography of Blissnya Eric Weiner.
Makan sambil membaca buku adalah hal yang paling aku sukai. Di tempat makan
ini, aku buka lebar-lebar buku Eric Weiner itu, mirip orang gila di kerumunan
orang normal. Dan beberapa pasang mata melihat dengan penasaran, seolah-olah
aku sejenis binatang yang lari dari kebun binatang.
“Orang
genius lebih, bukan kurang, terhubung dengan lingkungan mereka dibandingkan
kita semua. Mereka melihat hal-hal yang tak terlihat oleh kita,” ungkap Weinar
dalam bukunya. Lalu aku memandang sekeliling.
Beberapa
orang yang berada satu bus denganku. Beberapa di antaranya terpelajar dalam
artian konvensional. Sekumpulan orang yang terlihat berada dan sangat
berkecukupan dari tampil fisik, cara mereka berpakaian, bersikap dan lainnya.
Beberapa lainnya rakyat biasa. Dan ada yang terlihat seperti seniman, ibu rumah
tangga, pegawai pemerintah dan lainnya. Jawa memiliki banyak orang dari segala
jenis usia dan status sosial. Walau hanya di rumah makan ini saja, ada banyak
kemungkinan dan pencapaian yang kalau dipikirkan harusnya bisa kita peroleh.
Tapi
apa boleh buat. Lingkungan Jawa sepertinya nyaris tak mengijinkan Genius dan
orang besar lahir. Kebanyakan mati di usia muda. Entah mati secara pikiran,
kebebasan, atau kecewa dan diambil oleh negara lainnya. Sejujurnya aku orang
yang sudah bosan dengan berita setiap hari yang membesarkan-besarkan pencapaian
para atlet, pelajar peraih emas di olimpiade sains, pemenang lomba musikal,
tari, atau apalah itu. Baiklah. Baiklah. Sejak dulu aku tahu orang Indonesia
itu pintar dan otaknya luar biasa. Tapi, tidakkah hanya sekedar itu tidaklah
cukup? Dari sekian banyak kemenangan dan prestasi internasional, dari mulai
juara umum lomba sains hingga para atlet kita yang bersinar terang di dunia,
siapa di antara mereka yang benar-benar bertahan lama, mencapai lebih, dan
menorehkan sesuatu yang tak mudah dihapus? Berapa banyak pelajar peraih emas
kita yang akhirnya gugur dalam kehidupan? Berapa banyak atlet luar biasa kita
yang akhirnya dibuang dan tak dipedulikan?
Negara
ini adalah sejenis negara parasit yang bisa dengan mudahnya membuang berbagai
macam orang yang mengharumkan namanya tanpa mau peduli lebih jauh untuk
menyelamatkan mereka, membina mereka lebih jauh, merawat, mengayomi, memberi
perhatian dan kemudahan hidup hingga orang-orang yang seharusnya hebat di
negara ini bisa lebih hebat lagi. Korea Selatan, India, hingga Tiongkok telah
melakukannya. Mereka menyuruh pulang orang-orang hebat mereka dan membiayai
kehidupan keluarga mereka agar pikiran dan tenaga mereka bisa bekerja dengan
maksimal. Tapi, negara ini, bagaikan kuburan massal para genius, orang kreatif
dan tokoh besar berikutnya.
Negara
tak menginginkannya. Masyarakat juga tak menginginkannya. Jawa bukan Florence
yang menghasilkan para genius pada masanya atau Eddinburg yang mendadak
bersinar terang. Ini juga bukan Wina yang telah mencerahkan dunia kita. Atau
Kolkata yang cerah dalam tumpukan kolonialisme. Sayangnya, kota-kota di Jawa
pun, tak mampu sekedar memingit sedikits saja apa yang ada di Silicon Valley
tapi hanya sekedar mengonsumsi apa yang mereka pikirkan, buat dan kerjakan.
Apakah Jawa, dan negara ini hanya sampai pada menjadi konsumen terbesar di
dunia? Terus-menerus menjadi konsumen?
Apa
yang membuat penduduk 250 juta ini, yang nantinya menjadi 260, 270, hingga
300an juta, kalah dibandingkan Bangladesh yang miskin dan rakyat tamil yang
jumlahnya tak seberapa? Padahal kita berdiri di era yang nyaris bersamaan.
Mungkin,
kita bisa bertanya terhadap kebijakan, sistem, budaya, pandangan masyarakat,
dan terutama arah pendidikan kita. Ada yang sangat menarik dari apa yang
digambarkan Eric Weinar mengenai si jenius Su yang hidup di Huangzhou masa
dinasti Song:
..
apa yang akan terjadi jika seorang polimat seperti Su berjalan memasuki kampus
perguruan tinggi modern.
Apakah Anda tertarik pada
literatur, Mr. Su? Silahkan melihat-lihat Jurusan Sastra. Oh, Anda Pelukis?
Silahkan mampir ke departemen Seni Rupa. Bagaimana? Ilmu teknik yang menarik
minat Anda? Kami juga punya jurusan yang bagus untuk itu.
Tapi, saya ingin melakukan
semuanya.
Maaf, Mr. Su. Kami tak bisa membantu soal itu. silahkan kembali
setelah Anda memastikan tujuan karir Anda. Sementara itu, jika berkenan, saya
bisa mengarahkan Anda ke Layanan Kesehatan Jiwa.
Aku
rasa, itu sangat cocok dengan keadaanku hari ini, dan mungkin puluhan atau
ratusan orang yang memiliki minat banyak hal, polimat semacam diriku ini?
Negara dan masyarakat kita lebih menyukai para spesialis, yang contohnya
banyak; pencuri sandal, koruptor, garong siang hari, guru besar berprofesi
jabatan, LSM dengan spesialisi uang sokongan luar negeri, polisi lalu lintas
yang khusus mencari uang di jalanan, hakim yang memiliki spesialisasi disuap
dan membela yang beruang, para anggota DPR yang berspesialisi kepada
kepentingan keluarga dan partai.
Seorang
polimat semacam ini harus segera dibuang; pembela kebenaran. Keadilan. Aktivis
ham. Peneliti. Jurnalis. Penyair. Guru besar. Dosen atau pendidik. Pengusaha
sekaligus aktivis lingkungan. Pejabat pemerintah yang menyuarakan kebebasan
berpendapat, seorang idealis, atau inovator. Dan banyak lainnya.
Orang
di negara ini akan cenderung bilang. Tolong jadilah pengusaha saja dan jangan
ikut-ikutan mengurusi lingkungan hidup, kebenaran, apalagi keadilan. Urusi saja
kantor. Jangan ikut-ikutan membela hak asasi, jadi sok aktivis atau terkesan
bersimpati pada buruh. Diamlah. Cukup saja jadi dosen dan guru. Untuk apa
repot-repot jadi pengusaha, budayawan, bahkan penyair sekaligus? Jadilah
ilmuwan dan peneliti saja. Tak usah ribut-ribut jadi novelis dan seniman. Adik
anak IPA? Tak perlulah suka sejarah, ekonomi, design interior atau malah seni
rupa.
Semacam
itulah dunia yang hari ini kita tinggali. Itulah alasannya kenapa melakukan
percakapan hari ini cenderung membosankan. Orang hanya tahu apa yang
dipelajarinya di dalam bidang pilihannya saja. Keluar dari situ, semua orang
akan cenderung diam. Menjaga jarak. Dan seperti itulah dua perempuan yang ada
di belakang kursi dudukku. Membosankan kalau sedikit melenceng dan benar-benar
tak peka terhadap situasi dan wacana lainnya. Ah, apakah itu cukup mengerikan
dan menjelaskan kenapa aku nyaris bosan terhadap apapun bahkan
perjalanan-perjalanan?
10:20.
Bus melewati Banyumas. Pemandangan langit selatan sangatlah luar biasa bagiku.
Hamparan rasi bintang dan kemilau di atas sana, benar-benar menakjubkan. Jauh
dari peradaban kota, bintang-bintang bagaikan hidup dan terlahir kembali. Jalanan di kota ini buruk. Terbukti dari laju
bus yang naik turun dan berjalan secara kasar. Kota yang kecil. Dan tak banyak
yang bisa aku lihat dan catat karena rasa kantuk sudah menjalar ke mata.
Di
Lumbir, rumah-rumah berada di dataran lebih tinggi. Di bawah lembah,
perbukitan, dan terlihat cukup rapi tapi dengan jalan raya yang sebagian jelek.
Dari sini, aku sudah banyak lupa apa yang telah terjadi dan terlewati.
Rasa-rasanya
aku sudah tertidur beberapa kali di tengah perjalanan. Banyak hal yang tak
tersaksikan mata dan perenunganku. Setidaknya, yah, ada beberapa hal yang aku
cukup mengerti secara kilasan. Kota-kota di Jawa, mirip seperti yang dikatakan
oleh Geert Mak dalam bukunya Abad Bapak
Saya. “Tata kota dan struktur pedesaan didasarkan atas jarak jalan kaki.
Setiap inti desa sekaligus merupakan pusat dari suatu wilayah dengan garis
tengah kira-kira satu jam jalan kaki, setiap kota yang agak besar mengenal
penumpukan manusia,” tulisnya. Dan apa yang malam ini aku lihat seperti apa
yang dikenang oleh Geert Mak dengan kampung halamannya di Belanda, “banyak kota
waktu itu masih dipotong-potong oleh pertanian dan keadaannya sama saja di
sini”. Seperti itulah yang aku lihat sekarang ini ketika melintasi Jawa dengan
bus di malam hari.
Jawa,
bagaimana pun, masih menjadi tanah pertanian. Tepatnya, pertanian yang sekarat
dan mulai ambruk di sana-sini. Sampai kapan kita masih bisa mempertahankan
pertanian, sawah dan ladang, atau para petani kita di tengah derasnya
modernisasi dan generasi baru yang tak lagi bersentuhan secara emosional dan
berkeinginan dengan lahan pertanian milik orang tuanya? Dunia tanpa pertanian
yang layak di tengah populasi yang terus meningkat, apakah kelak akan membuat
guncangan yang tak sedikit bagi negara ini?
Arus
baru budaya, kecenderungan berpikir yang banyak dianut, generasi baru, dunia
elektronik dan informasi, urbanisasi yang terus meningkat sehingga membuat
jenuh dan frustasi orang-orang yang berada di kota akan membuat dunia kita
seperti apa yang digambarkan oleh George Orwell, “ .. tak ada gunanya mencari
pekerjaan-satu-satunya pilihan adalah menjadi kriminal”. Kita sedang bergerak
dan kini sudah berada di dunia semacam itu. Dan setiap tanah pertanian yang
hilang satu persatu. Akan semakin banyak orang yang mati dan menjadi kriminal
baru karena kota tak selamanya bisa memenuhi segala keinginan dari mereka yang
berada di desa dan pinggiran kota itu sendiri. Bahkan warga kota pun yang sudah
lama berada di dalamnya, kian hari semakin sakit dan kecut. Ah, masa kesakitan
besar akan segera datang dan menghantam berbagai macam kota di seluruh Jawa.
Dan mungkin juga seluruh Indonesia.
Negara
dan masyarakat ini terlalu banyak mendiamkan dan memelihara orang-orang jahat
dan buruk yang ada di sekitarnya. Dan sebentar lagi, kelak mereka akan
memanennya. Siapa yang salah? kita semualah yang salah. Kita semua berperan
terhadap dunia yang hari ini ada di depan mata kita. Kitalah yang menciptakan
dunia hari ini dan esok hari. Dan kitalah yang menciptakan kota yang sekarat
dan tak lagi nyaman untuk kita tinggali dan hirup.
Bus
kini berada di jalanan Tasikmalaya-Bandung. Mataku masih terasa berat.
Aku
pun mulai mempersiapkan apa yang layak aku masukkan dan jelas, hampir semuanya
layak kecuali beberapa cuil bungkus makanan. Sejujurnya, berada di dalam bus
antar kota/provinsi pada malam hari nyaris sedang berada di persimpangan antara
surga dan neraka. Adakalanya luar biasa mengerikan. Seolah-olah jiwa tiba-tiba
bagaikan sedang melayang ke luar tubuh karena kecepatan bus yang membuat
jantung berdegup kencang. Terlebih ketika sedang berbelok atau menyalip
berkali-kali dengan laju kecepatan yang bisa membuat semua orang di dalamnya
mati seketika jika terjadi kesalahan sedikit saja. Di jalanan Jawa, seolah-olah
hidup hanyalah kemungkinan untuk hari esok. Jadi bunuh diri yang bakal susah
untuk dikenali adalah jadilah seorang sopir, pengemudi mobil atau pengendara
motor. Kau bisa berpura-pura bunuh diri kapan pun kamu mau dengan alasan
menyalip, sembrono, ugal-ugalan, atau mengantuk, tak terlalu hati-hati, dan
segala macam jenisnya yang bisa menutupi tindakan bunuh dirimu. Ini bukan
saran. Tapi kenyataan yang sehari-hari harus kita akui bersama bahwa banyak
orang mati di jalanan dari pada oleh narkoba, terorisme, bahkan perang sekalipun.
Jalan
Tasikmalaya-Bandung ternyata cukup jauh. Banyak kendaraan yang saling menyalip.
Entah itu bus, truk atau mobil di pagi yang buta ini. Lampu-lampu perumahan
seolah menari-nari naik turun dari dataran rendah ke dataran tinggi. Dunia yang
semakin padat dan tak mengijinkan terlalu banyak ruang di huni oleh makhluk
hidup lainnya selain manusia. Kita.
Sebenarnya
ada semut, kecoa, cicak, kelelawar, dan lainnya juga. Tapi biasanya, yah,
mereka tak terlalu begitu penting bagi kita kecuali di majalah-majalah dan
acara televisi National Geographic. Filsafat hidup kita terlalu bertumpu pada
diri kita sendiri. Film dokumenter semacam Home
atau Racing Extinction pun hanya
sedikit diketahui masyarakat luas dan hanya berpengaruh terhadap segelintir
orang. Dan, ah, Bandung semakin dekat.
Bus
memasuki Cileunyi. Suasana jalanan masih terbilang tak terlalu ramai di pagi
hari, kira-kira jam 03;- lebih. Aku sudah melakukan persiapan. Bertanya kepada
pak sopir mengenai arah jalan. Apakah akan lewat jalan merdeka atau alun-alun?
Ternyata tidak.
Bus
memasuki jalan A.H. Nasution. Dan sepertinya akan memasuki jalan Jend. A. Yani.
Pagi terasa masih cukup dingin. Lebih nyaman sekarang ini dari pada
perjalananku hampir satu tahun yang lalu ketika pulang dari Jakarta dengan bus
Rosalia Indah yang dinginnya sangat mengerikan. Walau pun begitu, perempuan di
belakangku, Fatma, cukup rewel. Dia tak terbiasa menaiki bus. Mengeluh bau ini
dan itu. Baiklah. Tak apa. Setidaknya dia bisa melihat sisi lain dari dunianya
selama ini. Dan bus hampir memasuki pusat kota. Si Fatma tak tahu harus turun
di mana. Sopir sejujurnya juga menggeleng dari tadi. Seorang perempuan yang
melakukan perjalanan tapi tak tahu harus turun dan menuju ke mana. Tak ada
persiapan. Akhirnya, dirinya memutuskan untuk ikut dengan diriku.
Kami
pun diturunkan di jalan Riau atau RE. Martadinata. Jam berada tepat di 04;00.
Suasana masih sepi. Aku menghirup kembali udara kota ini. Sebuah kota yang
ingin aku jadikan ruang bernafas meninggalkan Jogja yang mati. Sekarat.