Minggu, 14 Agustus 2016

SEBELUM KEMBALI MENENGOK JAKARTA













Memikirkan Jakarta, Jawa, dan Indonesia, terasa bagaikan memikirkan makhluk halus. Susah dilihat. Susah ditangkap. Tak mudah untuk dipikirkan. Dan seringkali membuat ngeri siapa pun yang tiba-tiba bertemu dengannya. Semacam hantu yang keluar dari neraka. Itulah Jakarta.

Jakarta, ibu kota neraka. Itulah julukan yang aku berikan terhadap kota yang membuatku jengkel dan frustasi selama seminggu, tepatnya hampir satu tahun yang lalu, pada bulan september 2015. Dan beberapa hari ini, aku akan kembali memasuki neraka itu. pada tanggal 15-18 atau 19 Agustus, aku akan berada kembali di kota tersebut. Bermaksud melihat Leo Kristi yang menggelar konser di Kemayoran. Dan tentunya ingin merasakan apa yang belum aku rasakan beberapa waktu yang lalu.

Sejujurnya aku sudah tak ingin melihat jakarta lagi kalau bukan urusan yang penting. Apalagi merasakannya. Kota itu benar-benar melebihi kata brengsek dan mengenaskan yang pernah ada. Kota itu benar-benar membuatku marah-marah hampir setiap hari. Hingga aku bersumpah aku tak akan pernah mau tinggal di kota sialan itu. Dan aku sempat mengkhayal, seandainya tiba-tiba aku jadi presiden, aku akan menghapus kota mengerikan itu dari peta Indonesia.

Khayalan memesona. Membuat mataku terasa berbinar-binar dengan senyum lebar yang agak menakutkan.

Ibu kota jakarta adalah persemaian penyakit seluruh negeri. Kota yang membuat masalah bukan menyelesaikan masalah. Kota orang-orang yang gilanya, ya ampun, melebihi diriku yang nyaris diambang kegilaan parah ini. Dan Jakarta adalah salah satu kota yang membuat siapa saja susah menjadi orang baik dalam artian tradisional.

Aku harus persiapan mental. Semoga kali ini aku tak akan lebih gila memasuki kota tersebut. Dan sayangnya, hanya memikirkan jakarta saja sebelum tiba di dalamnya, aku benar-benar sudah merasa berada di batas ambang kegilaan. Benar-benar kota yang mengerikan.

Berita-berita terakhir soal Jakarta atau yang berkaitan dengannya membuat kepalaku pusing dan, baiklah, lebih baik aku menyerah soal kota itu.

Menteri pendidikan dan kebudayaan yang  baru, baru saja menjabat ketololannya sudah terasa benar-benar bagaikan gempa bumi. Sekolah seharian penuh atau kokurikuler adalah awal yang buruk dan sangat, yah, memalukan bagi orang setaraf menteri. Aku tak tahu, otak orang itu mungkin ada di belakang planet jupiter. Dan akhir-akhir ini guru semakin menggelisahkan. Sudah kebanyakan tak becus mengajar, malas mengajar, susah ditanyai, dan tak peduli dengan siswanya, oh tidak, malah kian hari semakin berulah menganiyaya murid, pelecehan seksual dan bla bla lainnya. Wah, pendidikan di Indonesia semakin mengagumkan. Setelah beberapa yang lalu kasus pembunuhan dosen, kini kasus pemukulan guru oleh orang tua dan murid. Kasus dan kasus dan kasus lagi. Penolakan kriminalisasi guru. Dan ah, entahlah, aku pusing melihat Negara semacam ini.

Kasus suap kejagung DKI. Remisi Koruptor dipermudah. Kegilaan macam apa lagi ini? Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hapus Hukuman Mati (HATI) melapor, ke komisi kejasaan RI soal eksekusi mati dan korupsi anggaran eksekusi mati. Dan kadang, orang-orang pembela ham di Indonesia memang agak bodoh. Mengenai korupsi anggaran, tak masalah. Tapi menolak hukuman mati di negara konyol semacam ini? Alasannya memang cukup bagus. Banyak kepentingan di pihak penegak hukum mengenai keterburu-bnuruan eksekusi mati. Dan keinginan untuk membuka jaringan narkoba dari para tahanan dari pada langsung membunuhnya begitu saja. Tapi, itu saja tidak cukup. Mungkin lebih tepatnya, hukuman penjara seumur hidup bagi mereka yang mau membantu pihak penegak hukum dan hukuman mati bagi mereka yang menolak. Yah, itu jalan tengah termudah. Tentunya, hukuman yang sama diberlakukan bagi para koruptor dan kasus suap.

AKP Jamal Alkatiri, dicopot dari jabatannya sebagai Wakapolsek karena mabuk dan menodongkan senjata apinya di tempat umum. Baiklah, wakapolsek saja semacam itu? Sidang vaksin palsu yang tak dihadiri oleh semua yang terlibat; RS Harapan Bunda, Kementerian Kesehatan, BPOM, dokter yang terkait, semuanya mangkir dari sidang yang diselenggarakan di Jakarta Timur. Aku tak tahu, apakah itu memalukan atau memang seperti itulah kehidupan banyak kita sehari-hari terlebih mereka yang ada di Jakarta? Coba bayangkan, dari mulai guru tak senonoh hingga vaksin palsu? Betapa mengerikannya kehidupan anak-anak Indonesia.

Dan kini Jakarta lagi heboh dengan kasus Pilkada 2017. Siapa yang akan maju dan terpilih menjadi gubernuer jakarta berikutnya? Belum apa-apa saja sudah ribu sana ribut sini. Para partai berkelompot dan jika melihat sedikit peluang, kabur dari kelompotan.

Aku ingin cepat-cepat ke Suarabaya sebelum Risma maju ke jakarta dan meninggalkan kota itu untuk seterusnya. Solo sepeninggalan Jokowi jadi sesak dan bagai tak terurus. Apakah Surabaya akan mengalami hal yang sama? Mungkin. Kekonyolan dunia perpolitikan Indonesia adalah lupa pada pengganti selanjutnya. Apakah walikota dan gubernur pengganti atau selanjutnya akan bisa lebih baik lagi dari yang dahulu atau malah akan lebih buruk dan meninggalkan banyak program yang sudah baik dan layak diteruskan? Di otak perpolitikan Indonesia dari para pendukung dan orang gila di belakangnya hanyalah keinginan untuk, maju, maju, duduki Jakarta tanpa mau berpikir lebih jauh mengenai kota yang nantinya bakal ditinggalkan.

Sikap pragmatis sebelum menyelesaikan tugas kian hari semakin populer di negara ini. Belum selesai mengurusi kota, ingin jadi gubernur. Belum selesai jadi gubernur, eh, jadi presiden. Dan kondisi semacam itu kian populer dan mengkhawatirkan. Apakah Risma akan seperti itu?

Di lain sisi, Ahok juga terlalu keras dan banyak omong. Dua-duanya bagus. tapi kalau yang satu akhirnya meninggalkan posnya sebelum selesai bertugas dan meninggalkan bekas yang permanen bagi kota Surabaya. Maka pada akhirnya, aku hanya bilang; sekarang ternyata era para politisi yang tak menyelesaikan masa tugasnya semakin banyak dan disukai masyarakat. Ini aneh atau malah wajar?

Sedangkan Ahok? Aku ingin lihat apa yang telah diberikan Ahok untuk Jakarta. Dari mulaipenertiban PKL, mobil dan sepeda motor serta parkir liar. Penggunaan plat ganjil-genap. Mengurai proses birokrasi yang berbelit dan banyak lainnya, apakah sudah cukup mengubah wajah Jakarta yang jelek dan mengerikan itu? Di lain sisi, kasus reklamasi dan pengumpulan KTP yang bermasalah. Yah, kekuasaan itu menggoda. Ahok pun rasanya tak tahan dengan aroma dan rasa kekuasaan itu sendiri sehingga menggebu-gebu ingin menduduki kursi gubernur kembali.

Dan jika kita membicarakan Jakarta. Kita butuh sentuhan dari seorang yang memiliki kepekaan akan sikap keras, bertangan besi, rela mati dan tak populer. Ahok hampir melewati itu. Tapi akhir-akhir ini dunia perpolitikan di Indonesia makin konyol. Begitu juga dirinya.

Beberapa hari yang lalu ketika ke Surakarta, aku membaca kumpulan tulisan PK. Ojong yang berjudul Kompasiana di perpustakaan Museum Pers Nasional. Ada bagian tertentu yang membicarakan rasanya hidup dan berjalan di kota neraka itu. Aku belum selesai membacanya. Rasa-rasanya aku akan membacanya habis saat kembali ke sana. Apakah kondisi, suasana, dan peristiwa mengenai Jakarta pada tahun 1950-60-an hampir sama saja dengan kondisi sekarang ini?

Membuka berita Kompas dan lainnya mengenai Jakarta membuat kepala pusing. Terlalu banyak masalah. Terlalu banyak keboborokan. Jika ibu kota saja semacam itu, apa yang layak dan patut dibanggakan?

Pejabat, pemerintah, fisik kota dan jalanan yang tak jelas. Kota neraka memang harus seperti neraka. Butuh orang yang melampaui kegilaanlah yang bisa menyelesaikan masalah kota yang sekarat itu. Dan siapakah yang cukup gila untuk menyelesaikan masalah yang menjadi bagian hidup ibu kota tersebut?

Aku menunggu. Dan Jakarta, ah, aku terpaksa kembali ke sana. Ya ampun!


MENUJU BANDUNG DI MALAM HARI











 

Pulau Jawa sangat bagus untuk pertanian; tanahnya sangat subur. Para petani tidak menanam sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti membeli barang-barang kebutuhan yang sedikit mewah. Bangsa Jawa adalah bangsa petani, dan akhirnya membentuk struktur masyarakat yang khas. Petani mendapat uang dari tanamannya, prajurit dari upahnya, pegawai dari gajinya, para ulama dari sumbangan (zakat), dan pemerintah dari hasil pajak. Kekayaan suatu desa atau satu propinsi tergantung dari luas dan kesuburan tanahnya, sistem pengairannya, serta jumlah kerbau yang dimiliki.
Thomas Stamford Raffles
The History of Java


Bus datang terlambat. Itu sudah biasa. telat 38 menit? Anggap saja itu anugerah. Asal tidak nyasar ke jurang terdekat atau menabrak truk di depan. Telat 38 menit bukan apa-apa. Dan yah, bus ini nyaman. Bahkan lebih nyaman dari yang aku kira. Melebihi harapanku. Melebihi kereta api super ekslusif yang harganya bisa mencapai hampir setengah juta. Hanya dengan seratus enam puluh ribu, aku berada di dalam bus yang awalnya tak menjanjikan. Pahala Kencana rute Jogja-Bandung, yang dilihat dari jauh dan dekat mirip bus bobrok yang sudah terlalu sering di jalan dan digilas oleh ganasnya jalanan pulau Jawa. Tapi inilah kejutannya. Di dalamnya ternyata bus ini benar-benar menyenangkan. Terlihat baru, dengan kursi empuk yang bisa disetel tidur dan tambahan kecil untuk kaki, dan berwarna biru seperti baju yang kukenakan. Sempurna. Setidaknya, aku tak akan terlalu kesakitan malam ini seperti biasanya.

Bus berjalan. Hari ini tanggal 29 juli 2016, dan beberapa hari lagi akan menjadi pergantian bulan. Aku membawa buku catatan, sedikit makanan, buku Eric Weinar yang berjudul The Geography of Bliss dan beberapa isi yang tak perlu dijelaskan yang berada di kedalaman tas. Biarlah menjadi misteri layaknya orang Hindu dan Buddha. Dan aku teringat akan kasus penelantaran anak yang kian meningkat di kota Jogjakarta, 67 kasus dalam 2016. Aku mendapatkannya dari Malioboro Blitz. Dan walikotanya, yang bernama Haryati Suyuti, menginginkan kota yang akan aku tinggalkan ini menjadi kota ramah anak. Ramah anak? Apa? Dengan plastik bergentayangan di mana-mana, becak motor yang suara dan polusinya bisa membuat orang sakit dan gila tiba-tiba, kemacetan yang lebih ganas dari pada penyakit demam, taman kota yang nyaris tak ada, suara bising kendaraan bermesin di mana-mana, dan panas yang mengerikan, masihkah kota Jogja layak sebagai ramah anak? Aku tak tahu. Aku kira, Haryati Suyuti adalah salah satu pelawak paling cerdas di Jogjakarta. Aku rasa, orang itu layak main ludruk atau ketoprak. Dan entah kenapa, aku jadi teringat akan korupsi kebun binatang gembira loka. Aku tak tahu, dari mana ingatan ini tiba-tiba muncul setelah terpendam sekian lama? Yah, bus berjalan, setiap meternya meninggalkan kota yang berantakan ini.

Sampai di Wates km 4.5, bus pun tersendat-sendat. Musim tanam padi pun telah tiba. Terlihat dengan sawah-sawah yang terairi dan padi muda yang baru ditanam. Bangunan terlihat tak rapi, dan kadang lusuh. Tata ruang kota ini memang tak pernah bagus dan layak diberikan penghargaan. Jogja modern memiliki tata ruang yang benar-benar buruk rupa. Dan, ah bus berhenti di terminal Jombor lebih dulu!

Ada dua penumpang perempuan yang tak sengaja duduk di belakanganku. Yang satu dari Tangerang dan bekerja pada institusi pemerintah, sudah memiliki anak, berumur 27 tahun. Yang satunya lagi berasal dari Jawa Timur dan berdomisili di Jogja, sedikit lebih muda dengan pakaian serba merahnya, terlihat sangat laki-laki, kisaran usianya 25 tahunan. Yang satu bernama Dewi Sartika. Yang satunya lagi bernama Fatma. Dan, entah mengapa, aku bagaikan dikelilingi oleh pahlawan nasional. Mereka berdua tertawa saat aku berkata demikian.

Kami banyak bercanda. Kadang diam. Nanti menyambung lagi membicarakan ini dan itu. Dan ada satu laki-laki yang berasal dari Madura, bertubuh kecil, kehitaman, sangat pemalu, dan akan langsung murung kalau diajak bercanda. Aku akhirnya menyerah untuk bercanda dengannya saat candaanku yang terakhir terasa membuatnya patah semangat. Kadang aku ingin berkata, ayolah, kau kan dari Madura yang itu. Ah, tunjukkan kejantananmu. Tapi apa boleh buat. Dia masih meringkuk sedih di sana. Aku merasa bersalah dibuatnya.

Muntilan memiliki cukup banyak sampah di pinggiran jalanannya. Itu agak mengerikan. Matahari pun kian turun hingga hampir gelap ketika sampai di terminalnya yang sangat sepi, suram, hanya ada segelintir tanda kehidupan di dalamnya dan sampah plastik bergentayangan di mana-mana.

Bus melaju kembali. Dan aku mendongakkan kepala di sisi barat bus, terlihat hal yang mengagumkan. Benar-benar mengagumkan. Sileut matahari yang akan habis tenggelam, menyisakan bercak cahaya yang memantul di gumpalan awan yang memanjang bagaikan dua buah kapal luar angkasa yang memancarkan sinar planet Uranus yang terakhir. Naik ke atas, terlihat bintang Sirius bersinar sangat terang dan mengagumkan. Di sebelahnya, terdapat Orion dengan Betelegues yang bersinar cukup terang walau agak redup. Sampai kapan aku bisa menyaksikan keindahan semacam ini lagi sebelum langit tertutupi oleh kabut lampu-lampu dan menandai akhir bagi astronomi Indonesia yang memiliki tempat sangat khas dan khusus yang tak dimiliki oleh dunia lainnya?

Perjalanan adalah percakapan yang tak disangka ada. Entah antara manusia atau manusia dan alam.

Tiba-tiba bus sudah memasuki Terminal Magelang yang bergelombang, sepi, lampu-lampu redup menerangi sekitar, dan, inilah kenyataan Jawa, yang tak akan dikenal di Eropa atau dunia Barat; penjaja makanan yang beraksi. Ada penjual gethuk, dan sejujurnya enak. Tapi aku sedang tak ingin membeli apa pun. Terlebih tahu asin, wingko babat, nasi goreng, arem-arem, kacang rebus, yah akhirnya dua perempuan di belakanganku membeli kacang rebus itu dan sebotol minuman. Dan aku, aku sedang tak ingin diganggu. Aku sudah membawa minuman dan makananku sendiri. Ini benar. Sungguh benar. Walau yang sebenarnya adalah aku sedang dalam tahap penghematan. Maaf, aku bukan Eric Weinar yang bisa keliling dunia dengan mengandalkan kartu kreditnya yang cukup gemuk. Aku hanya memiliki sedikit uang, seperti kebanyakan backpacker pada umumnya walaupun aku ngotot menjuluki diriku sebagai idepacker. Dan aku bukan seorang petualangan yang ada di buku-buku dan film-film yang bisa melintasi berbagai macam rintangan fisik dan mental sekeras apa pun. Maaf. Aku bukan itu semua. Aku sedang dalam masalah krisis keuangan, psikologis dan kebosanan. Lebih tepatnya berada di jurang keputusasaan. 

Aku belum membayar kos yang aku tinggali. Beberapa hutang yang terasa menjengkelkan di kepala. Akhir-akhir ini aku lebih banyak memakan mie instan yang membuat kepalaku pusing sepuluh ribu keliling. Dan tentunya, tubuh yang sakit dan anehnya masih terlihat gemuk. Tidakkah bisa tuhan menurunkan berat badanku saat aku sakit? Ayolah. Tuhan. Berikanlah aku kemurahan hatimu walau sedetik. Berujarlah; kuruskan sedikit anak loyo itu!

Tapi, semua itu tak mungkin.

Entah kenapa, cerita perjalananku selalu terasa mengenaskan dan permulaanku terlihat hampir sama saja. Kali ini aku ke Bandung untuk alasan tertentu dan melihat beberapa tempat yang belum aku lihat.

Bus melewati pusat kota. Hari menjadi malam. Lampu-lampu berkerlap-kerlip mengisi jalanan. Kota Magelang di malam hari terlihat tak terlalu buruk. Dengan sudut pandang yang terbatas, yang aku temukan hanyalah bagian-bagian yang dilewati oleh bus yang berjalan; kota yang cukup bersih walau tak bebas dari sampah. Hotel Grand Aston yang menjulang dan bagaikan keluar dari bawah bumi. Matahari. Benoa Cafe and Art. Pohon-pohon yang masih cukup bisa aku lihat dari mulai pohon pisang, kelapa, pepaya, mahoni, kresen, dan lainnya yang menyatu dengan perumahan sekitar. Trotoar kecil yang rapi. Air selokan atau irigasi yang mengalir deras,  lahan tebu, sawah-sawah dan sampailah di jalan raya Magelang-Purworejo.

Di Salaman ada demo yang tak beraturan dengan bendera Palestina di mana mana. Suara motor yang bising dan para polisi yang sibuk mengatur lalu lintas di sana-sini. Yah, seperti inilah orang bergama di Indonesia. Agama tanpa kesadaran berujung pada ketololan dan akhirnya, menggelikan. Dan bus tiba di ibu kota Purworejo yang cukup rapi, dengan alun-alun yang cukup besar, sedikit sampah terlihat karena mungkin gelap dan pandangan terbatas, tapi terlihat lebih rapi dan bersih dari pada Jogja hari ini. SMA 1 Negeri Purworejo terlihat besar, berada di jalan Tentara Pelajar. Melewati Monumen Jenderal Ahmad Yani, RS Purwa Husada, lalu sawah dan sawah menuju kota berikutnya.

Memasuki Kutoarjo di jalan Diponegoro, aku melihat keadaan cukup ramai. Kota ini memiliki trotoar baru dan terbilang lumayan. Masjid di alun-alun yang agak ramai. Dilihat-lihat, kota ini lebih mirip Jogja atau tepatnya Purwodadi. Keluar kota sedikit saja, sampah sudah ada di mana-mana, pinggiran jalan. Setelah itu, bus memasuki sawah dan sawah. Kegelapan panjang di selingi lampu rumah dan kendaraan. Di persawahan berbagai macam kota kecil-menengah inilah, aku menyukai langit yang ada di atas sana. Sungguh sangat indah ketika lampu-lampu belum terlalu banyak menyentuhnya. Aku sedang membayangkan akhir astronomi Indonesia dalam keistimewaan akan pengalaman mengamati. Keindahan ini akan habis.

Bus melewati Butuh, dan tak banyak yang aku amati dan lihat. Hanya padi-padi yang berusia 3 mingguan yang menghampar di mataku. Bus akhirnya tiba di Kebumen.

Kebumen terlihat biasa. Sub urban. Lebih banyak sampah terlihat di sini. Ruko-ruko yang kusam. Dan mataku tiba-tiba menangkap moto kota ini, Kebumen Beriman. Apa? Serius? Untung aku tak muntah atau pingsang. Terlihat penjual singkong di jalanan. Dan entah kenapa, mungkin aku berada di alam mimpi sebentar.

21:35 bus menepi di rumah makan, Rumah Lestari, Kebumen. Di sini aku dapat tahu, ayam, brokoli, nasi dan teh. Sambil mengisi tab, aku makan ditemani The Geography of Blissnya Eric Weiner. Makan sambil membaca buku adalah hal yang paling aku sukai. Di tempat makan ini, aku buka lebar-lebar buku Eric Weiner itu, mirip orang gila di kerumunan orang normal. Dan beberapa pasang mata melihat dengan penasaran, seolah-olah aku sejenis binatang yang lari dari kebun binatang.

“Orang genius lebih, bukan kurang, terhubung dengan lingkungan mereka dibandingkan kita semua. Mereka melihat hal-hal yang tak terlihat oleh kita,” ungkap Weinar dalam bukunya. Lalu aku memandang sekeliling.

Beberapa orang yang berada satu bus denganku. Beberapa di antaranya terpelajar dalam artian konvensional. Sekumpulan orang yang terlihat berada dan sangat berkecukupan dari tampil fisik, cara mereka berpakaian, bersikap dan lainnya. Beberapa lainnya rakyat biasa. Dan ada yang terlihat seperti seniman, ibu rumah tangga, pegawai pemerintah dan lainnya. Jawa memiliki banyak orang dari segala jenis usia dan status sosial. Walau hanya di rumah makan ini saja, ada banyak kemungkinan dan pencapaian yang kalau dipikirkan harusnya bisa kita peroleh.

Tapi apa boleh buat. Lingkungan Jawa sepertinya nyaris tak mengijinkan Genius dan orang besar lahir. Kebanyakan mati di usia muda. Entah mati secara pikiran, kebebasan, atau kecewa dan diambil oleh negara lainnya. Sejujurnya aku orang yang sudah bosan dengan berita setiap hari yang membesarkan-besarkan pencapaian para atlet, pelajar peraih emas di olimpiade sains, pemenang lomba musikal, tari, atau apalah itu. Baiklah. Baiklah. Sejak dulu aku tahu orang Indonesia itu pintar dan otaknya luar biasa. Tapi, tidakkah hanya sekedar itu tidaklah cukup? Dari sekian banyak kemenangan dan prestasi internasional, dari mulai juara umum lomba sains hingga para atlet kita yang bersinar terang di dunia, siapa di antara mereka yang benar-benar bertahan lama, mencapai lebih, dan menorehkan sesuatu yang tak mudah dihapus? Berapa banyak pelajar peraih emas kita yang akhirnya gugur dalam kehidupan? Berapa banyak atlet luar biasa kita yang akhirnya dibuang dan tak dipedulikan?

Negara ini adalah sejenis negara parasit yang bisa dengan mudahnya membuang berbagai macam orang yang mengharumkan namanya tanpa mau peduli lebih jauh untuk menyelamatkan mereka, membina mereka lebih jauh, merawat, mengayomi, memberi perhatian dan kemudahan hidup hingga orang-orang yang seharusnya hebat di negara ini bisa lebih hebat lagi. Korea Selatan, India, hingga Tiongkok telah melakukannya. Mereka menyuruh pulang orang-orang hebat mereka dan membiayai kehidupan keluarga mereka agar pikiran dan tenaga mereka bisa bekerja dengan maksimal. Tapi, negara ini, bagaikan kuburan massal para genius, orang kreatif dan tokoh besar berikutnya.

Negara tak menginginkannya. Masyarakat juga tak menginginkannya. Jawa bukan Florence yang menghasilkan para genius pada masanya atau Eddinburg yang mendadak bersinar terang. Ini juga bukan Wina yang telah mencerahkan dunia kita. Atau Kolkata yang cerah dalam tumpukan kolonialisme. Sayangnya, kota-kota di Jawa pun, tak mampu sekedar memingit sedikits saja apa yang ada di Silicon Valley tapi hanya sekedar mengonsumsi apa yang mereka pikirkan, buat dan kerjakan. Apakah Jawa, dan negara ini hanya sampai pada menjadi konsumen terbesar di dunia? Terus-menerus menjadi konsumen?

Apa yang membuat penduduk 250 juta ini, yang nantinya menjadi 260, 270, hingga 300an juta, kalah dibandingkan Bangladesh yang miskin dan rakyat tamil yang jumlahnya tak seberapa? Padahal kita berdiri di era yang nyaris bersamaan.

Mungkin, kita bisa bertanya terhadap kebijakan, sistem, budaya, pandangan masyarakat, dan terutama arah pendidikan kita. Ada yang sangat menarik dari apa yang digambarkan Eric Weinar mengenai si jenius Su yang hidup di Huangzhou masa dinasti Song:

.. apa yang akan terjadi jika seorang polimat seperti Su berjalan memasuki kampus perguruan tinggi modern.

Apakah Anda tertarik pada literatur, Mr. Su? Silahkan melihat-lihat Jurusan Sastra. Oh, Anda Pelukis? Silahkan mampir ke departemen Seni Rupa. Bagaimana? Ilmu teknik yang menarik minat Anda? Kami juga punya jurusan yang bagus untuk itu.

Tapi, saya ingin melakukan semuanya.

Maaf, Mr. Su. Kami tak  bisa membantu soal itu. silahkan kembali setelah Anda memastikan tujuan karir Anda. Sementara itu, jika berkenan, saya bisa mengarahkan Anda ke Layanan Kesehatan Jiwa.

Aku rasa, itu sangat cocok dengan keadaanku hari ini, dan mungkin puluhan atau ratusan orang yang memiliki minat banyak hal, polimat semacam diriku ini? Negara dan masyarakat kita lebih menyukai para spesialis, yang contohnya banyak; pencuri sandal, koruptor, garong siang hari, guru besar berprofesi jabatan, LSM dengan spesialisi uang sokongan luar negeri, polisi lalu lintas yang khusus mencari uang di jalanan, hakim yang memiliki spesialisasi disuap dan membela yang beruang, para anggota DPR yang berspesialisi kepada kepentingan keluarga dan partai.

Seorang polimat semacam ini harus segera dibuang; pembela kebenaran. Keadilan. Aktivis ham. Peneliti. Jurnalis. Penyair. Guru besar. Dosen atau pendidik. Pengusaha sekaligus aktivis lingkungan. Pejabat pemerintah yang menyuarakan kebebasan berpendapat, seorang idealis, atau inovator. Dan banyak lainnya.

Orang di negara ini akan cenderung bilang. Tolong jadilah pengusaha saja dan jangan ikut-ikutan mengurusi lingkungan hidup, kebenaran, apalagi keadilan. Urusi saja kantor. Jangan ikut-ikutan membela hak asasi, jadi sok aktivis atau terkesan bersimpati pada buruh. Diamlah. Cukup saja jadi dosen dan guru. Untuk apa repot-repot jadi pengusaha, budayawan, bahkan penyair sekaligus? Jadilah ilmuwan dan peneliti saja. Tak usah ribut-ribut jadi novelis dan seniman. Adik anak IPA? Tak perlulah suka sejarah, ekonomi, design interior atau malah seni rupa.

Semacam itulah dunia yang hari ini kita tinggali. Itulah alasannya kenapa melakukan percakapan hari ini cenderung membosankan. Orang hanya tahu apa yang dipelajarinya di dalam bidang pilihannya saja. Keluar dari situ, semua orang akan cenderung diam. Menjaga jarak. Dan seperti itulah dua perempuan yang ada di belakang kursi dudukku. Membosankan kalau sedikit melenceng dan benar-benar tak peka terhadap situasi dan wacana lainnya. Ah, apakah itu cukup mengerikan dan menjelaskan kenapa aku nyaris bosan terhadap apapun bahkan perjalanan-perjalanan?

10:20. Bus melewati Banyumas. Pemandangan langit selatan sangatlah luar biasa bagiku. Hamparan rasi bintang dan kemilau di atas sana, benar-benar menakjubkan. Jauh dari peradaban kota, bintang-bintang bagaikan hidup dan terlahir kembali.  Jalanan di kota ini buruk. Terbukti dari laju bus yang naik turun dan berjalan secara kasar. Kota yang kecil. Dan tak banyak yang bisa aku lihat dan catat karena rasa kantuk sudah menjalar ke mata.

Di Lumbir, rumah-rumah berada di dataran lebih tinggi. Di bawah lembah, perbukitan, dan terlihat cukup rapi tapi dengan jalan raya yang sebagian jelek. Dari sini, aku sudah banyak lupa apa yang telah terjadi dan terlewati.

Rasa-rasanya aku sudah tertidur beberapa kali di tengah perjalanan. Banyak hal yang tak tersaksikan mata dan perenunganku. Setidaknya, yah, ada beberapa hal yang aku cukup mengerti secara kilasan. Kota-kota di Jawa, mirip seperti yang dikatakan oleh Geert Mak dalam bukunya Abad Bapak Saya. “Tata kota dan struktur pedesaan didasarkan atas jarak jalan kaki. Setiap inti desa sekaligus merupakan pusat dari suatu wilayah dengan garis tengah kira-kira satu jam jalan kaki, setiap kota yang agak besar mengenal penumpukan manusia,” tulisnya. Dan apa yang malam ini aku lihat seperti apa yang dikenang oleh Geert Mak dengan kampung halamannya di Belanda, “banyak kota waktu itu masih dipotong-potong oleh pertanian dan keadaannya sama saja di sini”. Seperti itulah yang aku lihat sekarang ini ketika melintasi Jawa dengan bus di malam hari.

Jawa, bagaimana pun, masih menjadi tanah pertanian. Tepatnya, pertanian yang sekarat dan mulai ambruk di sana-sini. Sampai kapan kita masih bisa mempertahankan pertanian, sawah dan ladang, atau para petani kita di tengah derasnya modernisasi dan generasi baru yang tak lagi bersentuhan secara emosional dan berkeinginan dengan lahan pertanian milik orang tuanya? Dunia tanpa pertanian yang layak di tengah populasi yang terus meningkat, apakah kelak akan membuat guncangan yang tak sedikit bagi negara ini?

Arus baru budaya, kecenderungan berpikir yang banyak dianut, generasi baru, dunia elektronik dan informasi, urbanisasi yang terus meningkat sehingga membuat jenuh dan frustasi orang-orang yang berada di kota akan membuat dunia kita seperti apa yang digambarkan oleh George Orwell, “ .. tak ada gunanya mencari pekerjaan-satu-satunya pilihan adalah menjadi kriminal”. Kita sedang bergerak dan kini sudah berada di dunia semacam itu. Dan setiap tanah pertanian yang hilang satu persatu. Akan semakin banyak orang yang mati dan menjadi kriminal baru karena kota tak selamanya bisa memenuhi segala keinginan dari mereka yang berada di desa dan pinggiran kota itu sendiri. Bahkan warga kota pun yang sudah lama berada di dalamnya, kian hari semakin sakit dan kecut. Ah, masa kesakitan besar akan segera datang dan menghantam berbagai macam kota di seluruh Jawa. Dan mungkin juga seluruh Indonesia.

Negara dan masyarakat ini terlalu banyak mendiamkan dan memelihara orang-orang jahat dan buruk yang ada di sekitarnya. Dan sebentar lagi, kelak mereka akan memanennya. Siapa yang salah? kita semualah yang salah. Kita semua berperan terhadap dunia yang hari ini ada di depan mata kita. Kitalah yang menciptakan dunia hari ini dan esok hari. Dan kitalah yang menciptakan kota yang sekarat dan tak lagi nyaman untuk kita tinggali dan hirup.

Bus kini berada di jalanan Tasikmalaya-Bandung. Mataku masih terasa berat.




Aku pun mulai mempersiapkan apa yang layak aku masukkan dan jelas, hampir semuanya layak kecuali beberapa cuil bungkus makanan. Sejujurnya, berada di dalam bus antar kota/provinsi pada malam hari nyaris sedang berada di persimpangan antara surga dan neraka. Adakalanya luar biasa mengerikan. Seolah-olah jiwa tiba-tiba bagaikan sedang melayang ke luar tubuh karena kecepatan bus yang membuat jantung berdegup kencang. Terlebih ketika sedang berbelok atau menyalip berkali-kali dengan laju kecepatan yang bisa membuat semua orang di dalamnya mati seketika jika terjadi kesalahan sedikit saja. Di jalanan Jawa, seolah-olah hidup hanyalah kemungkinan untuk hari esok. Jadi bunuh diri yang bakal susah untuk dikenali adalah jadilah seorang sopir, pengemudi mobil atau pengendara motor. Kau bisa berpura-pura bunuh diri kapan pun kamu mau dengan alasan menyalip, sembrono, ugal-ugalan, atau mengantuk, tak terlalu hati-hati, dan segala macam jenisnya yang bisa menutupi tindakan bunuh dirimu. Ini bukan saran. Tapi kenyataan yang sehari-hari harus kita akui bersama bahwa banyak orang mati di jalanan dari pada oleh narkoba, terorisme, bahkan perang sekalipun.

Jalan Tasikmalaya-Bandung ternyata cukup jauh. Banyak kendaraan yang saling menyalip. Entah itu bus, truk atau mobil di pagi yang buta ini. Lampu-lampu perumahan seolah menari-nari naik turun dari dataran rendah ke dataran tinggi. Dunia yang semakin padat dan tak mengijinkan terlalu banyak ruang di huni oleh makhluk hidup lainnya selain manusia. Kita.

Sebenarnya ada semut, kecoa, cicak, kelelawar, dan lainnya juga. Tapi biasanya, yah, mereka tak terlalu begitu penting bagi kita kecuali di majalah-majalah dan acara televisi National Geographic. Filsafat hidup kita terlalu bertumpu pada diri kita sendiri. Film dokumenter semacam Home atau Racing Extinction pun hanya sedikit diketahui masyarakat luas dan hanya berpengaruh terhadap segelintir orang. Dan, ah, Bandung semakin dekat.

Bus memasuki Cileunyi. Suasana jalanan masih terbilang tak terlalu ramai di pagi hari, kira-kira jam 03;- lebih. Aku sudah melakukan persiapan. Bertanya kepada pak sopir mengenai arah jalan. Apakah akan lewat jalan merdeka atau alun-alun? Ternyata tidak.

Bus memasuki jalan A.H. Nasution. Dan sepertinya akan memasuki jalan Jend. A. Yani. Pagi terasa masih cukup dingin. Lebih nyaman sekarang ini dari pada perjalananku hampir satu tahun yang lalu ketika pulang dari Jakarta dengan bus Rosalia Indah yang dinginnya sangat mengerikan. Walau pun begitu, perempuan di belakangku, Fatma, cukup rewel. Dia tak terbiasa menaiki bus. Mengeluh bau ini dan itu. Baiklah. Tak apa. Setidaknya dia bisa melihat sisi lain dari dunianya selama ini. Dan bus hampir memasuki pusat kota. Si Fatma tak tahu harus turun di mana. Sopir sejujurnya juga menggeleng dari tadi. Seorang perempuan yang melakukan perjalanan tapi tak tahu harus turun dan menuju ke mana. Tak ada persiapan. Akhirnya, dirinya memutuskan untuk ikut dengan diriku.

Kami pun diturunkan di jalan Riau atau RE. Martadinata. Jam berada tepat di 04;00. Suasana masih sepi. Aku menghirup kembali udara kota ini. Sebuah kota yang ingin aku jadikan ruang bernafas meninggalkan Jogja yang mati. Sekarat.

Jumat, 05 Agustus 2016

PARASIT KOTA








kemewahan telah menampakkan diri
dan itu tak pernah menjadi pertanda baik.
jangan lupa bahwa hal serupa juga terjadi
di Athena; kemunduran kota itu dapat dilacak
hampir pada saat yang bersamaan dengan
mewabahnya kemewahan dan kegmaran
akan hidangan lezat. jika menyangkut zaman
keemasan, kemewahan adalah peingatan
berbahaya.
Eric Weinar
The Geography of Bliss





parasit kota. begitulah aku menyebutnya.
adalah orang pribumi maupun pendatang yang entah pada akhirnya menjadi pribumi atau tetap menjadi pendatang atau berada di antaranya, yang mana menetap di sebuah kota untuk melanjutkan hidup, menguras dan menyedot segala hal yang dimiliki kota tersebut tanpa timbal balik bagi kota yang dihisapnya- ditinggalinya.

bagi seorang parasit kota, prinsip simbiosis tidak berlaku. terlebih simbiosis mutualisme. kota menyediakan semua kebutuhan yang diinginkan oleh seorang, sekumpulan orang atau masyarakat luas yang datang hanya untuk nantinya ditinggalkan atau diabaikan begitu saja tanpa pernah mau memikirkan, berkeinginan atau malah bertindak untuk mengembalikan atau membuat kota yang pernah dan terus ditinggalinya menjadi lebih baik.

mengingat kota-kota di Jawa (mungkin juga seluruh Indonesia) nyaris hampir banyak yang berantakan dan kacau, yang ada dipikiranku, mengapa banyaknya orang-orang terpelajar malah membuat kota-kota yang ada malah semakin kacau dan rusak?

salah satu kesimpulanku, dengan beberapa kesimpulan lainya adalah bahwa hampir semua orang lebih suka memposisikan diri sebagai parasit kota. mementingkan diri sendiri dengan mirip tumbuhan atau hewan parasit yang ada. kota dianggap sebagai sumber yang harus dikuras demi pendidikan, raihan prestasi, kerja, lari dari kenyataan, menyembuhkan diri atau hal-hal gila lainnya yang cukup bisa menghibur dan menenangkan tanpa harus memiliki tanggung jawab akan nasib kota itu sendiri.

yah, parasit kota bisa siapa saja; mahasiswa (ini yang paling banyak. benar-beanr sangat banyak), pejabat pemerintah dari pusat hingga rukun tangga, arsitek, insinyur, dokter, bidan, paramedis, perawat, farmakolog, sejarawan, budayawan, seniman, penyair, sastrawan, atlet, agamawan, juru dakwah berbagai agama, karyawan atau pegawai berbagai institusi, pekerja lepas dan swasta, para pelajar sekolah, pengusahan, ilmuwan, peneliti, guru, dosen, guru besar, para profesor, feminis, penganjur hak asasi manusia, pengacara, polisi, hakim, berbagai penegak hukum, pegawai negeri, jurnalis, hingga para gelandangan, pengemis, pencopet, bahkan walikota, gubernur maupun presiden dan banyak lainnya yang bisa kau sebut sendiri.

mereka semua hidup di dalam sebuah kota tanpa memiliki keinginan untuk memperbaiki, menjaga, atau melestarikan kebaikan di dalam kota itu. keinginan para parasit kota hanya sekedar ingin mengisap apa yang dimiliki kota itu demi tujuan hidup dan kepentingan pribadinya.banyak di antara mereka sering berkata 'aku suka tempat ini', dan "aku cinta dan nyaman dengan kota ini' dan sebagainya. maksud dari itu jelas, kebanyakan dari mereka menganggap suka dan cinta hanya untuk diri mereka sendiri. mereka merasa nyaman di kota itu sampai kota itu kelak sudah tak nyaman lagi tanpa timbal balik untuk kota yang pernah ditinggalinya. dan hal semacam itu banyak. 

karena banyak orang terpelajar kita adalah parasit kota. maka hari ini kita melihat dari mulai Jogja yang terpelajar dan berbudaya, Jakarta yang menjadi tempat pemerintahan, perpolitikan dan segala kebijakan dibuat, Bandung tempat para elit bersenang-senang, Semarang zona industri dan kenyamanan yang semakin menggeliat, Solo yang adalah kembaran Jogja tapi lebih teratur dan indah, Surabaya pusat perdagangan dan lalu lintas internasional menuju jalur Bali yang semakin terbuka. apa yang bisa kita lihat hari ini adalah kekacauan, kekumuhan, sampah di mana-mana, sungai tercemar, pohon habis, udara panas dan menyesakkan, polusi mengerikan, kenyamanan yang kian langka, status qua di mana-mana, perpolitikan kacau, kebijakan yang disalah gunakan atau tak digubris, pejabat yang menjadi pencuri, guru besar yang hidup untuk jabatan dan kenyamannya sendiri, para mahasiswa yang bisanya hanya menghabisi setiap isi kota yang sementara ditinggalinya lalu pergi setelah puas merusak yang bisa dirusaknya, anak-anak sekolah yang dididik dan lebih suka bersenang-senang dan meraih prestasi untuk diri sendiri, para pengusaha yang mengeringkan persedian air dan merusak banyak hal, orang-orang kaya baru dan lama yang lebih suka memamerkan mobilnya kemanapun ia pergi walau membuat macet setiap hari dan anehya, dia juga terpelajar dan berpendidikan?, hingga para pengemis dan pemulung yang mencari sampah-sampah untuk dijual bagi dirinya sendiri. dari semua daftar orang terpelajar yang jumlahnya sangat banyak yang kebanyakan dari mereka adalah parasit kota. aku akan memilih para pemulung sebagai parasit kota yang baik dan tak terlalu merugikan kota itu sendiri. 

kota-kota di Jawa yang aku lihat, mengalami semacam pengabaikan yang luar biasa hingga pada taraf yang nyaris mengerikan. atau yah, sejujurnya sinting. sangat sinting. 

di dunia semacam ini, jangan pernah kagum dengan jabatan guru besar atau rektor pada sebuah universitas bersama ribuan atau bahkan jutaan mahasiswanya dari Universitas Indonesia, Gadjah Mada, ITB, Udayana, Diponegoro dan kau bisa menambahkannya sendiri sesukamu. yah sesukamu, jika kau masih memiliki hati nurani yang langka. 

coba lihat UI dan lihatlah Jakarta yang berantakan hingga hari ini. lihatlah UGM, yang nyaris konyol dan tak becus mengurusi kota luar biasa kecil semacam Jogja ini. ITB? Bandung kian hari berantakan dan menyedihkan. dan aku tak perlu repot-repot menuliskan yang lainnya jika kalian juga bisa berpikir dan menambahkannya sendiri. yah, kota yang rusak dan kian bobrok menunjukkan jati diri orang yang tinggal di dalamnya. entah dia guru besar, profesor, pembela keadilan, ham, bahkan walikota dan presiden sekalipun. 

karena selama ini kota-kota dianggap sebagai sumber daya yang diperas dan hanya untuk diperas, maka terjadilah yang hari ini aku sebut sebagai kegilaan kolektif. kesalahan atau pengrusakan yang dilakukan bersama-sama atau banyak sekali orang sehingga menjadikan hal itu wajar, biasa atau tak perlu dianggap pusing karena sudah menjadi normal dan tak dipusingkan lebih jauh. kegilaan kolektif adalah cara berpikir yang paling banyak diyakini oleh parasit kota. karena semua orang merusak kota tanpa adanya perlawanan besar dari pihak lainnya, akhirnya seolah-olah hal itu biasa demi tujuan karir atau kebahagiaan. akhirnya, parasit kota dianggap normal. kota yang rusak dan kacau adalah normal. dan kemacetan dikutuk tanpa merasa diri sendiri yang membuat kemacetan itu. yah, kebutaan diri sendiri itu memang menyenangkan. 

parasit kota mudah ditebak. sangat mudah. kau hanya tinggal menilai apa yang pernah ia lakukan dan coba lakukan untuk kota yang ia tinggali. semakin lama orang tersebut tinggal di kota tertentu. seharusnya dia memiliki tanggung jawab lebih besar untuk memperbaiki kota tersebut. entah lewat pemikiran atau tindakan. yah, memang, ini bukan Athena Kuno. tapi ini menjelaskan, seberapa parah mental warga kota secara keseluruhan? dan anehnya hampir keseluruhan Indonesia? 

aku tak tahu, apakah itu menakutkan atau orang-orang akan berkata biasa saja. 

kita memiliki banyak orang hebat, para pemenang olimpiade internasional yang kian bertambah banyak, kita memiliki banyak suku dan jumlah penduduk yang luar biasa, tapi melihat kota-kota di Jawa, aku harus bertanya, mental dan budaya apa yang sebenarnya hari ini diidap oleh seluruh masyarakat Indonesia sehingga nyaris semua kota yang aku masuki dan lihat berjalan kearah kian mengerikan. semakin terpelajar kita, entah kenapa, kota-kota yang aku lihat semakin konyol dan berantakan. 

mental parasit. aku rasa itu yang paling cocok untuk melihat kecenderungan masyarakat yang berdiam dan hidup di kota-kota Jawa dan mungkin Indonesia (karena aku belum melihat langsung di luar Jawa, hanya di berita dan tv, biarlah para jurnalis dan yang punya uang yang menuliskannya). mental parasit membuat kota-kota tak lagi nyaman dan menyenangkan. 

parasit kota. ya, parasit kota. itulah kenyataan kita sehari-hari yang harus kita terima. dari guru dan dosen yang kau temui setiap hari. teman yang kau siapa, kedua, ketiga atau satu orang tuamu. kekasihmu. guru besar dan rektormu. dan nyaris siapapun yang kau temui hari ini. kebanyakan dari mereka adalah parasit kota. bahkan seringkali begitu juga dengan wali kotanya.

Rabu, 03 Agustus 2016

JOGJA DI PAGI HARI







Aku memutuskan untuk menunggu. dingin. sangat dingin. menolak tawaran ojek yang nyaris seperti badut. tiga puluh ribu hanya ke Malioboro? aku siap menunggu. aku sejenis makhluk tahan banting kalau menyoal hal konyol yang terlalu konyol. walau pada dasarnya, aku sedang memakai celana pendek, tubuh sangat panas dan lelah, memang tindakkan konyol tersendiri. tapi tiga puluh ribu dengan jarak sedekat itu adalah kekonyolan yang tak bisa dimaafkan. dan perasaan jengkel mengenai jalan raya Bandung yang luar biasa brengsek masih terngiang di kepala. jalan raya bandung memang benar-benar brengsek dan keparat! 

jam 04;- sekian, 02 Agustus 2016, dan ingin sekali aku tarik dewa Ra agar bergerak lebih cepat dari kasurnya. menunggu itu terkadang menyenangkan. tapi dengan tubuh lelah, demam, kemarin sempat ambruk, dan pemaksaan kaki dan tubuh yang berlebihan untuk berjalan selama berpuluh-puluh kilometer, membuat punggungku terasa nyeri dan menggigil.

"pikiran bugar yang tidak terhubung dengan tubuh bugar mengakibatkan kedanya menjadi tak lengkap," ungkap Eric Weinar dalam bukunya The Geography of Genius. sayangnya, otakku juga tak terlalu baik dan lebih mendekati sakit. yah, apa boleh buat?

aku menunggu. tapi bukan menunggu Godot karena aku tak tahu siapa itu Godot. aku sedang menunggu bus Trans Jogja segera tiba di terminal Jombor dan membawaku keluar dari waktu yang kelambanannya setara dengan semut berjalan antar kota. aku membuka buku Eric Weiner, membacanya, menikmatinya, sambil menyaksikan lalu lalang bus, berhenti dan berjalan di depanku, yang sedang menunggu dengan perasaan jemu di depan Indomart sambil memandang Gapura yang bertuliskan Terminal Jombor. menjemukan serta menyakitkan karena menahan kencing.

singkat cerita. aku melihat Trans Jogja dari arah selatan masuk ke terminal, dan seketika, aku naikkan pantatku dari kursi dudukku, lalu kaki berjalan, menyeberang, dan sampailah aku di halte di mana bus sedang berhenti. setengah enam, bus baru berangkat, kata petugas karcis. dan bereslah, aku pun mencari lahan gelap untuk menuntaskan maksud terselubungku setelah toilet masih tergembok layaknya penjara tingkat teratas. di mana-mana, terminal sangat menakutkan bagi mereka yang berhasrat membalas dendam terhadap dorongan mengeluarkan air seni atau tinja.

tak lama kemudian, bus berangkat, hanya ada aku seorang si penumpang berkulit gelap. yang lain hanyalah sopir dan kernet. jalanan masih terlihat pucat dan gelap. kendaraan terlihat tak terlalu banyak. Bandung adalah kota yang indah di kala fajar. Jogja masih terlihat jelek di kala Fajar. hanya saja, terdapat sedikit ruang untuk bernafas di pagi hari.

aku sampai di Malioboro. Trotoar yang bagai tak selesai-selesai dibangun terlihat menyebalkan dan tak enak dipandang. aku pun memutuskan berjalan kaki di sisi Barat tempat penjual berbagai macam manik-manik, segala jenis baju dan mainan masih berada di tempat tidurnya masing-masing. hanya ada satu-dua orang yang sibuk dengan barang dagangannya. yang lainnya mungkin sedang berada dilapisan terdalam nerakanya Dante. dan Malioboro, atau Jogja di pagi hari sungguh mengerikan, buruk rupa, menyedihkan, menyeramkan, kacau balau, sangat tak sedap, terkesan tak terpelajar, sangat jauh dari kesan budaya dan seni, nyaris membuat mata ingin copot dan meloncat menjadi seekor katak terakhir yang mati karena wabah jamur di Brasil.

Malioboro di pagi hari adalah horor.

 

aku memutuskan berjalan kaki. yah berjalan kaki. di era Jawa Modern, berjalan kaki hampir masuk museum. sekarang rodalah yang berjalan. dan aku masih teringat bacaanku, tentunya dari buku The Geography of Genius yang aku pegang sejak beberapa hari yang lalu hingga pagi buta ini, mengenai orang Yunani Athena Kuno yang menelurkan banyak filsuf, seni dan kejeniusan, "mereka adalah pejalan  yang hebat sekaligus pemikir yang hebat dan lebih suka berfalsafah selagi dalam perjalanan". dan aku pun berjalan kaki, menyusuri Malioboro dan mencoba melihat wajahnya di pagi yang masih cukup sepi.

aku berjalan kaki. mungkin juga berfilsafat, sedikit merenung, dan terlalu banyak mengeluh akibat nyeri di sekitar punggung karena tas yang cukup berat. berjalanan kaki membantu menghilangkan penderitaan. tapi itu hanya berlaku saat suasana memungkinkan atau kau sedang menikmati kekacauan. tapi kali ini, Malioboro terlihat sangat menyedihkan. tak terurus. kotor. berantakan. sampah di mana-mana dari ujung utara sampai selatan. bangunan kusam dan rusak di sana-sini. bau. pedagang kaki lima yang tak teratur dan bagaikan tumpukkan mayat yang ditinggalkan. berjalan kaki di Malioboro di saat pagi hari, sepi, hanya satu dua orang yang lewat, membuat harapan akan tempat bersejarah itu menjadi lebih indah terasa tamat seketika. 

di pagi hari, Malioboro tampak menjijikan. apakah itu berarti orang-orang yang menghuninya juga sama saja? kota dan orang di dalamnya, serupa?

aku menangguhkan segera langsung ke kamar, menikmati tidur dan berguling-guling sepuasnya untuk mengharapkan kenyataan yang bodoh dan gila. aku tersaruk-saruk berjalan kaki. memandangi sisi Timur yang berantakan karena belum selesai pembangunannya. berharap ada penjual nasi yang pas mampir di mataku. tapi tak ada. ada beberapa di depan Mall Malioboro dan lainnya, tapi tak menumbuhka minatku. kondisinya tak menyenangkan untuk mengamati jalan. terlebih aku harus berhitung mengenai kondisi kantongku yang sedang bernafas dalam air. 

aku berjalan kaki. sampah. sampah. ya sampah. mungkin sudah jadi warga baru Jogja. menjadi makhluk istimewa dan harus dijunjung tinggi layaknya dewa-dewa berbentuk monyet dan sapi yang tersebar di India. dan tib-tiba aku teringat Umbu Landun Parangi yang sering berada di jalan keramat ini. begitu juga banyaknya seniman, budayawan dan lainnya. tapi entah mengapa, apa yang dilakukan oleh sekian banyak sastrawan, seniman, budayawan, ahli agama, pemerintah kota, wali kota, bahkan gubernur-sultannya? apakah mengurus Malioboro saja tidak becus, heh? 

Jogja, dengan Malioboronya mungkin adalah omong kosong yang bersejarah. menandakan sifat luas dari masyarakat yang menghuninya. masyarakat yang terfokus pada diri sendiri dan terlambat berpikir. atau, yah, catat kehendak. sering membuat karya seni, puisi, novel, cerpen, pentas teater, berbagai acara musik, budaya dan lainnya, tapi mengurus sampah, keteraturan, kebersihan, di kota kecil ini saja hampir tak mampu? tidakkah itu cacat besar bagi para seniman dan lainnya?

tinggal melihat wajah kota ini, kau akan tahu, jati diri sebagian seniman, budayawan, penyair, sastrawan, dan entah apapun itu di kota ini. berjalan di Malioboro adalah bagaikan berjalan di tengah kesemrawutan yang impoten.

yah, Athena, Hangzou, Paris, dan banyak kota lainnya adalah kota-kota yang memiliki kekumuhan dan kekacauannya sendiri. tapi mereka mendapatkan para jenius, pemikir, seniman, dan banyak tokoh besar yang hari ini kita baca dan ikuti? dan, kekacauan, kekotoran di kota ini hanya membuat siapa saja cukup berambisi menjadi biasa. perbedaan konyol yang membuat mual.

dan di pagi hari, Jogja terlihat sangat menyedihkan dan konyol.



aku mencari toilet. berjalan melewati pasar Bringharjo yang terkesan angker dan tak bersih. kembaran Malioboro. toilet umum tutup atau tepatnya dikunci dan disembunyikan layaknya barang mewah yang mahal. banyak gelandangan tidur dengan nyenyak di tempat ini. kota seni, budaya, dan pariwisata yang anehnya, terkesan miskin dan tak terurus. entah orang sinting macam mana yang memelihara keadaan semacam ini.

berjalan ke Taman Budaya Yogyakarta, masih dibersihkan hingga jam sembilan. Shopping pun tutup. toilet pos satpam Taman Pintar pun masih terkunci rapat dan rapi. dan otakku berteriak, dasar kota sialan! sudah bau kencing, sampah di mana-mana, berantakan, cari toilet saja susah! benar-benar kota menyedihkan dibalik keindahannya yang memesona dan meninabobokan.

aku pun berjalan lagi. yah, berjalan kaki membuat otak lebih banyak berpikir, mencerna dan merasa. mungkin karena banyak orang Jogja, Jawa, Indonesia sekarang lebih banyak menggunakan roda, kemampua merasa, berpikir, dan mencerna keadaan jadi tumpul dan buram. dan ini sangatlah terlihat dari wajah Jogja di pagi hari.

aku pun berhenti. memesan soto di depan Bank Indonesia. anak-anak sekolah lewat. masih banyak di antara mereka yang mengayuh sepeda. itu membuatku cukup tersenyum riang. terlebih jika gadis Tionghoa yang mengayuh sepeda itu lebih luar biasa lagi. ada yang menggunakan motor bertiga. bagus menghemat ruang. dan yang paling menyebalkan dan menjijikkan adalah pengguan mobil yag berisikan satu-dua orang saja. satu sopir dan satu anak. itu benar-benar tindakkan idiot yang sangat tak terpejalar dan tak beradab di era ini. 

lalu, ada tabrakan antar dua sepeda motor. begitulah. dunia jalanan Jogja di pagi hari memang sudah menyedihkan. sedangkan sampah, masih saja mengikutiku sampai di sini. benar-benar menjengkelkan.

makan pun selesai. punggung sakit. mencari bus susah. sedangkan becak meminta harga tiga puluh ribu rupiah. aku pun memutuskan berjalan kaki, kurang lebih 8-9 kilometer dari 0 KM ke Dongkelan, Bantul. dalam hati, aku bisa. masak aku tak bisa dengan jarak segini saja? walau sudah kelelahan luar biasa, aku memutuskan tak menghentikan kendaraan untuk meminta boncengan. kecerobohan yang sombong mengingat tubuh masih sakit.

sesampainya di kamar, ambruklaklah aku. panas meningkat. kesakitan. kejang. tubuh bergetar hebat hampir satu jam. dan pinggul terasa bagaikan ditarik kuat-kuat yang membuat kaki dan pantat susah bergerak dan melangkah. 

hari ini, Jogja juga kota yang bisa membuat sakit. bahkan di pagi hari.



Rabu, 27 Juli 2016

APAKAH AKU HARUS BERHENTI?
















... malu menyadari betapa banyak yang tak aku ketahui, dan bosan dengan sedikit yang kuketahui.
Eric Weiner
The Geography of Genius

Barang siapa pernah dilahirkan, dia sedang menanti jatah dan pelaksanaan hukuman mati?
Pramoedya Ananta Toer
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu




Apakah aku sebaiknya menyerah dan melemparkan teks tak selesai ini ke kotoran anjing terdekat? Untuk apa mempertahankan tulisan bodoh dan konyol ini, yang pada akhir hanya sekedar membuatku berkata, sialan, luar biasa buruk dan menggelikan! Rasa-rasanya aku juga sedang mengidap rasa malu akan kebodohan diriku sendiri seperti yang Eric Weiner rasakan. Dan saat aku mencoba mempertahanakan kewarasan diriku yang terakhir, dunia yang aku lihat malah tepat seperti apa yang dikatakan Lap, tokoh dalam novel Kappa yang ditulis oleh Ryunosuke Akutagawa; saya cuma ingin melihat dunia yang kacau ini dari sudut lain karena dilihat secara biasa sangat suram. Tetapi dilihat dari arah lain pun agaknya sama saja.

Rasa optimisku menciut jadi sedemikian ciutnya. Sampai-sampai aku ingin menjual seluruh perpustakaanku yang tak seberapa, dan berkata, peduli setan dengan ini semua! Peduli setan dengan manusia, orang-orang dan harapan akan masa depan! Lalu menggelandang meninggalkan Jogja yang sudah mirip mayat tak bergerak menuju kota Bandung yang sejujurnya agak mirip mayat yang juga sama-sama tak bergeraknya. Setidaknya, di Bandung banyak tempat seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, “tidak percuma kau memilih menjadi warga Indonesia, tanahnya luas dan lautnya lebih luas lagi untuk berkubur diri.”

Dan beruntunglah aku hidup di negara yang mengagumkan ini. Selama ini aku tak pernah tahu, ternyata Pram bisa juga bercanda yang bagus semacam itu! Dan baiklah, sekarang apa yang masih tersisa dalam diriku ini?

Harapan hidupku mendekati nol. Sementara itu kemampuan menyembuhkan diriku mendekati ujung perbatasan antara gila dan menjadi lebih gila lagi. Dan jika mengingat-ingat kembali keinginanku untuk melihat Jawa, terasa bagaikan igaun konyol yang memalukan. Dan ketika sedang membaca Bersama Mas Pram yang ditulis oleh Keosalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer, aku jadi kian pesimis;

Saya jadi malu kepada diri sendiri. Pulau Jawa yang panjangnya seribu kilometer saja belum saya kenal. Saya belum pernah ke mana-mana. Tak tahu kota Solo, Jogja, Surabaya. Belum tahu Karang Bolong di pantai Samudra Hindia, Terowongan Ijo, terowongan paling panjang di Jawa, dan pulau Nusakambangan di mana konon tumbuh bunga Wijayakusuma. Juga belum tahu pantai Pacitan yang konon bergoa-goa. Saya belum pernah lihat debur ombak Samudra Hindia yang katanya puluhan meter tingginya. Saya hanya pernah bermain di pantai Rembang yang sangat teduh, bahkan boleh dikata hanya beriak. Aduh, saya ingin tahu semua itu. Saya ingin menengok ujung barat di Ujung Kulon sampai semenanjung Blambangan di ujung timur. Alangkah senangnya kalau saya bisa memandang pulau garam, Pulau Madura, walau hanya dari jauh, dari pantai Jawa Timur. Biarlah keinginan saya hanya segitu, dibandingkan dengan keadaan saya sekarang yang hanya nongkrong di Kebon Jahe Kober yang sempit dan pengap.

Tapi keinginan ini saya pendam sendiri. diam-diam saya ingin nanti, entah kapan, keliling Pulau Jawa, naik sepeda, sendiri, dengan cara Sven Hedin, dengan biaya yang bisa saya peroleh sepanjang jalan, entah bagaimana caranya, sampai kemput keliling Jawa. Berapa bulan ya dibutuhkan waktu untuk itu?

Saya tak pernah menyampaikan keinginan ini kepada siapa-siapa, apalagi kepada Mas Pram. Satu-satunya yang saya ajak bicara adalah Mas Wiek. Dan apa komentar Mas Wiek?

“Kesehatanmu itu nggak memungkinkan!”

Dan, herannya, saya setuju dengan pendapatnya itu. Yang betul adalah, nyali saya yang tak memungkinkan. Hanya bagusnya, kegemaran saya membaca tidak berhenti karenanya, bahkan semakin meningkat.

Harapan Koesalah Soebagyo Toer nyaris mirip diriku sendiri. Dan apa saja yang menghalanginya mirip juga apa yang menghalangiku; minimnya uang, waktu, dan tubuh yang sakit-sakitan. Dan yang paling membuatku jengkel adalah kenyataan bahwa tidakkah itu harapan yang hampir seabad yang lalu? Kenyataan itulah yang membuatku ingin depresi sedepresi-depresinya. Ternyata di abad 21 ini, masih ada orang Indonesia, terlebih orang Jawa, yang masih belum pernah mengelilingi Pulau Jawa. Betapa malunya aku. Karena aku salah satu dari orang itu. Abad ke-21 masih belum pernah mengelilingi Jawa, itu sungguh memalukan. Dan aku rasa, kelak akan juga ada yang bilang, abad ke-22 masih belum pernah mengelilingi Jawa, heh? Kamu turis asing ya? Dan bisa jadi abad ke-23, kamu orang Amerika ya, campuran Jerman, atau seperempat Prancis? Oh, berdarah India, Arab, Tingkok, atau bukan asli dari sini? Bahkan bisa jadi kelak akan ada yang bilang, kamu keterunan alien ya, kok wayang, gamelan, bahkan pohon petai dan singkong pun tak tahu?

Dan yang lebih memalukan lagi betapa aku sangat tak mengenal tanah Jawa ini!  Aku benar-benar bagaikan orang asing di tanah kelahiran sendiri. Itu tidak hanya menggelikan. Rasa-rasanya ingin segera menjerumuskan diriku ke jurang atau sumur terdekat.

Setidaknya Pram juga pernah merasa “terasing di negeri sendiri” seperti yang diungkapkan oleh Chris GoGwilt, Andre Vltchek, atau bahkan Pram sendiri, dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian! Dan ketololanku bahkan mirip Minke di Bumi Manusia; pikiranku sedang dipenuhi hal-hal seram, merampas segala yang dikatakan nikmat. Bumiku, bumi manusia ini, kehilangan segala kepastiannya. Semua ilmu dan pengetahuan, yang telah menjadi diriku sendiri, meruap hilang. Tak ada sesuatu yang bisa diandalkan.

Dan inilah aku sekarang. Tolol. Tidak bisa diandalkan. Buta terhadap dirinya sendiri. Merasa tanah kelahirannya bagaikan negeri asing. Orang yang tak becus melakukan apapun. Dan filsuf amatir yang sedang terjebak dan berenang bahkan hampir tenggelam di kolam kecilnya sendiri.

Mengelilingi Jawa itu mudah. Kalau hanya sekedar mengelilingi, aku pasti sudah melakukan jauh-jauh hari. Yang tak mudah adalah tanggung jawab menuliskan pengalaman langsung dari apa yang telah aku alami dan lihat sendiri. Ditambah pertanyaan-pertanyan yang bisa membuatku lebih gila dari biasanya. Apa jadinya negara ini kemudian hari jika warga kotanya kebanyakan terdiri dari orang-orang macam ini? Seandainya pecah perang dunia lagi, apakah Jawa, dan Indonesia secara keseluruhan akan bisa bertahan, atau malah ikut ke dalam perang? Jika kebutuhan kita akan energi dan bahan makan mendekati habis, dengan masyarakat konsumtif yang sangat keterlaluan, apakah kelak kita akan menjadi penjajah? Atau malah dijajah oleh negara lainnya, yang lebih kuat demi sumber daya kita, yaitu tanah dan jumlah manusianya yang bisa diperbudak? Jika mendadak kita semua kaya dan berkecukupan, apakah tingkat gangguan jiwa, depresi dan bunuh diri semakin bertambah banyak dan tak terkendali? Mengingat para psikolog dan psikiter sangat sedikit, pemerintah yang abai, dan individu masyarakat yang semakin jauh dan susah bercakap-cakap? Apa jadinya jika semua orang memiliki mobil dan memenuhi jalanan sementara tanggung jawab sosial dan alam, tanggung jawab akan keberadaan tanah kelahiran, kota, atau tempatnya berdiam sangat kurang dan nyaris tak peduli? Jika mendadak krisis ekonomi menghantam Asia atau negara kita ini, apakah pada akhirnya kita akan saling membunuh dan ingin mendirikan negara masing-masing? Apakah kelak pada akhirnya orang-orang Tionghoa akan kembali dibantai karena sikap mereka yang sangat ekslusif, kesombongan luar biasa akan ras, merasa bukan orang Indonesia dan pencapaian ekonomi mereka? Dan coba bayangkan seandainya beragam bencana alam terjadi di Indonesia di tengah pergulataan poiltik dan perang? Dan masih banyak yang lainnya yang bisa aku pikirkan dan renungkan. Kalau memikirkan semua itu, perjalananku menjadi konyol. Jelas-jelas aku akan kesusahan untuk merenungkan dan menuliskan semua itu. Dalam posisi kejiwaanku hancur, sakit-sakitan, dan keuangan yang mengerikan. Aku benar-benar putus asa. Aku ingin berhenti.

Tapi ..

Yah, dunia selalu memiliki tapi. Sialnya memang begitu. Masalahnya aku memiliki kesukaan akan buku-buku dan ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahuku bisa tiba-tiba meledak dan tentunya menghabiskan anggaran hidupku yang sudah dipangkas dengan memelihara kejiwaanku, sewa kamar, makan, dan sederet hal lainnya. Kalau dipikir-pikir, aku orang gila yang sangat keterlaluan gilanya, masih membeli dan ketagihan melahap berbagai macam buku yang membuatku tertarik, dan tentunya menambah kadar persen kegilaan dalam diriku. Para penerbit dan penjual buku memang sangat keterlaluan. Tidak peka dengan kondisi hidupku yang mengenaskan ini. Saat aku pingin berhenti meneruskan Mengembara Di Tanah Asing, kenapa malah ada banyak buku menarik dan sangat ingin aku miliki?

Gramedia benar-benar membuat aku bangkrut akhir-akhir ini. Sudah berapa ratus ribu atau juta yang aku belikan buku karena bazar buku yang ada menawarkan beberapa buku yang menggiurkan? Karena aku orang bodoh, jadilah aku membeli banyak buku selama berhari-hari. Seperti orang kesetanan yang lupa daratan dan tuhan. Dan untuk apa setan susah-susah memikirkan tuhan? Yang paling menarik adalah buku-buku petualangan dan perjalanan. Tak ada buku porno atau panduan tidur menggairahkan bersama kambing di pameran itu.

Aku mendapatkan Between a Rock and a Hard Place karya Aron Ralston. Buku menegangkan yang difilmkan menjadi 127 Hours, yang membuat aku malu akan gariah bertahan hidupnya. Seandainya yang terjepit itu aku, sumpah, aku akan langsung bunuh diri di tempat. Lagian, siapa yang juga peduli kalau aku mati? Dan lebih menjengkelkan lagi, siapa yang peduli aku masih hidup? Ada buku Lost In The Jungle dari Yossi Ghissberg. Wanderlove yang ditulis Kirsten Hubbard yang kujual sebelum aku baca. Dan yang paling membuat aku senang adalah sebuah buku dengan sampul muka yang sangat tak meyakinkan sama sekali, Bikepacker Nekat dari Danny Bent. Ternyata buku itu cukup menyenangkan dengan gaya bahasa yang membuatku kembali ingin meneruskan pengembaraanku. Padahal aku sudah mendapatkan buku Bersama Mas Pram dari Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer, Klub Film oleh David Gilmour,  dan banyak lainnya.

Dan ketika aku bergentayangan di dalam Gramedia, aku tak mampu menahan godaan buku Babad Ngalor Ngidul dari Elizabeth D. Inandiak. Buku itu membuat aku sedih dan malu sebagai orang Jawa. Kebanyakan orang asing lebih Jawa dan Indonesia dari pada diriku sendiri. Dan Inandiak mampu menulis dengan sangat baik! Aku tak mampu menghindarkan diri terayu oleh George Orwell, Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London. Buku yang menunjukkan padaku bahwa seorang penulis terkenal pun bisa sangat miskin dan menderita. Penggambaran dia akan orang miskin dan gelandangan Paris bisa aku gunakan untuk novelku kemudian hari. Yah, kalau aku masih beruntung, agak hidup.

Saat kemarin di Surakarta, 25 juli 2016, aku menyelonong di deretan rak buku Gramedia Surakarta, tak sengaja menemukan buku yang membuatku hampir melonjak kegirangan. The Geography of Genius karya Eric Weiner. Aku benar-benar bahagia. Sontak gairah pengembaraanku, keinginan untuk meneruskan melihat Jawa dan menggagas istilah Ideapacker menyala secara tiba-tiba. Aku pun cepat-cepat membaca pendahuluan buku itu, diiringi gerak menunduk dan mengiyakan penjabarannya mengenai kejeniusan. Buku yang harus aku miliki dengan segera! Masalahnya, aku tak memiliki uang. Baiklah, aku terpaksa meneruskan membaca sambil duduk, menelusuri halaman demi halaman lagi, dan tersedot dalam dunianya. Aku harus beli ini! pikiranku bergejolak. Uang dari mana? Aku tak peduli jika nanti harus menjual buku-bukuku yang lainnya. Pokoknya, aku ingin segera memilikinya. Secepatnya. Apakah aku harus menjual diriku, seperti Faust menjual jiwanya? Yah itu tak mungkin. Lagian, aku juga sangat jauh dari kata tampan. Malah mulai kegemukan dan tambun.

Entah mengapa, Gramedia Surakarta selalu mirip kuburan pelosok desa atau bahkan rasa-rasanya mirip di pegunungan atau di dalam hutan rimba yang jarang ada orang, terlebih masyarakat terpelajar. Kadang aku bertanya, apakah benar sekarang aku di Surakarta, Solo? Dan jalanannya lebih mengerikan lagi. Kemacetan adalah buku bagi kota Surakarta yang sebentar lagi sekarat.

Dan saat aku memikirkan buku itu malam harinya, esok paginya tiba-tiba ada beberapa buku yang nongol begitu saja di Instagram milik Kepustakaan Populer Gramedia. Buku itu milik Fyodor Dostoyeski berjudul Catatan Dari Bawah Tanah, yang sangat luar biasa aku inginkan sejak lama. Astaga! Bagaimana ini, bagaimana ini? Apakah aku harus merampok Gramedia demi sebuah buku? Mendandani diri ala V for Vendeta atau Joker dalam Batman? Masuk ke Gramedia dengan menggengam sebatang pisang lezat berwarna kuning cerah dan menganggapnya sebagai senjata dari planet entah apa? Lalu berkata, jangan bergerak! Serahkan buku-buku kalian!

Itu jelas-jelas ide bodoh yang akan ditertawakan dari anak kecil sampai orang tua jompo yang kehilangan gigi-giginya. Dan nyaris jenis perampokan paling tak keren dan idiot yang pernah ada. Merampok demi buku? Apa? Apa aku tak salah dengar? Apakah itu kenyataan? Serius? Bolehkan aku menabrakkan diriku ke truk sekarang juga? Sumpah, apakah itu kenyataan dan benar-benar nyata? Kok ada perampok bodoh semacam itu ya? Merampok buku? Itu orang bodoh, gila atau memang sudah tak lagi mengenal dunia nyata? Menurutmu, apa perampok itu terkena delusi? Atau jangan-jangan tuhan sudah menghampirinya?

Dengan mudahnya aku menyingkirkan ide tak mungkin itu.

Awal mula hidupku memang mirip Dokter Victor Frankenstein dalam novel mengagumkan, Frankenstein milik Mary Shelley. Dan kali ini, perasaanku menirukan kata-kata Frankenstein itu sendiri, “aku sendiri penuh dengan semangat menyala-nyala. Aku sangat berminat dan haus akan ilmu pengetahahuan.” Dan perasaan haus akan ilmu pengetahuan jika tidak terjembatani oleh lingkungan sosial, merasa diri tak ada yang bisa diajak bicara dan bertukar pikiran secara seimbangnya efeknya bisa mematikan. Mary Shelley sungguh luar biasa untuk ukuran zaman itu sebagai seorang wanita. Dan yah, perempuan, karena para feminis mungkin akan berang dengan pemakaian kata itu. Dengan mulut Frankenstein ia mewakili kegelisahan diriku dan apa yang sering dialami oleh mereka yang tergoda dengan rayuan ilmu pengetahuan. “sungguh aneh hakikat ilmu pengetahuan! Sekali masuk ke otak, ilmu pengetahuan akan terus berpegangan erat-erat seperti kancing-kancingan melekat pada batu. Kadang-kadang aku ingin sekali membuang semua pikiran dan perasaan. Tapi aku juga sudah mengetahui hanya ada satu cara untuk mengatasi kepedihan duka, yaitu kematian.”

Biarlah jika pada akhirnya mati. Memang itulah satu-satunya cara terakhir untuk keluar dari sakit yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan. Tapi, tidakkah masih ada cara yang lain? Meneruskan pengembaraanku dan menuliskannya?

Sejujurnya aku sudah sangat letih dan muak dengan semua ini. Akan sangat menyenangkan jika aku bisa melempar semua pikiran dan tulisanku ke jurang paling dalam atau membakarnya tanpa sisa. Atau menjadikannya api unggun saat kedinginan atau pura-pura berkemah entah di mana. Aku rasa itu lebih berguna. Bisa mengusir nyamuk-nyamuk genit dan tak tahu malu.

Dan yang lebih mudah kalau aku menyerahkan diri ke laut. Dan mungkin akan jadi salah satu budak Nyi Blorong atau Ratu Pantai Selatan seperti mimpiku beberapa waktu yang lalu. Jogja memang bisa membuat banyak orang bunuh diri dengan sukses dan mengagumkan. Bahkan baru beberapa waktu di Jogja saja, ada kabar mengenai seorang musisi yang menabrakkan dirinya ke kereta api. Jogja memang kota kematian yang penuh dengan hura-hura. Sebuah kota yang pada akhirnya gagal memenuhi dirinya sebagai kota budaya dan seni. Kota penyembuh jiwa-jiwa sakit yang pada akhirnya ketularan menjadi sakit juga.

Kota yang sakit membuat orang-orang menjadi sakit. Tapi orang-orang yang sakit berkumpul di satu tempat menjadikan kota menjadi sakit dan berpenyakit. Itulah tepatnya Jogja hari ini. Dan aku benar-benar ingin segera keluar darinya dan mencari tempat baru yang cukup bisa membuat bernafas. Aku sudah semakin kesusahan bernafas di Jogja. Aku ingin menuju Bandung dan mungkin, yah mati di sana setelah selesai menulis?

Entah berapa banyak orang bodoh yang menganggap kota itu sebagai rumah dan nyaman di dalamnya tapi tak berkepentingan untuk memperbaikinya. Itu sama dengan eksplotasi sebuah kota demi kesenangan. Mengeksploitasi kota untuk kesenangan itu memang berbahaya. Semua orang beramai-ramai pergi ke kota tertentu. Mencari kesenangan dan kebahagiaan  di dalamnya. Mengurasnya habis-habisan tanpa pernah berpikir bahwa kian hari akan semakin banyak orang yang juga merasa ingin menguras sumber kesenangan itu. Hari demi hari semua orang hanya ingin bersenang-senang menghilangkan lelah, omong kosong hidup, kebosanan, kerja yang bagaikan neraka, dan banyak lainnya, tanpa peduli akan kota itu sendiri. Kesehatan kota diabaikan, selalu diabaikan, diacuhkan, hingga akhirnya terkuras habis isinya, dan sakitlah ia, kota itu. Kota pun sakit parah. Dan anehnya, orang-orang mengelak berkata bahwa kota itu sekarang sudah sakit dan tak mau untuk menyembuhkannya. Orang-orang sakit yang kepeduliannya hanya dirinya sendiri biasanya membuat kota yang awalnya sehat menjadi sakit-sakitan dan akhirnya ambruk. Orang sakit di sebuah kota yang sakit. Kau bisa membayangkan sendiri apa hasilnya. Seperti itulah akhir dari kota-kota di Jawa.

Dan pada akhirnya, orang-orang sakit ini, yang terlalu egois, meninggalkan kota yang dibuatnya sakit dan menuju ke alam yang cukup sehat atau bahkan masih sangat sehat. Berbondong-bondonglah orang-orang kota yang sakit pergi ke berbagai macam tempat wisata alam atau alam liar. Orang-orang kota ini tak berpikir lebih dulu mengubah sudut pandang dunianya, dirinya sendiri dan menyembuhkan kota tempat ia tinggal. Tapi langsung merasa kota yang ia tinggali sudah tak nyaman, dan pergilan mereka semua mencari penyembuhan diri dari kota yang sudah susah untuk bernafas. Padahal, mereka semua sedang melarikan diri dari kota yang telah mereka buat. Melarikan diri. Melupakan masalah. Lalu mengeksploitasi alam untuk bersenang-senang karena kota sudah habis. Menikmati alam bukan mencintainya. Seperti menikmati kota bukan mencintai kota. Dan yakinlah, tak lama lagi semua yang dibanggakan itu; keindahan, rasa sejuk, nyaman, damai, kagum, perasaan mistis dan gaib, berbagai hal yang menyenangkan dari alam sebentar lagi akan tamat.

Bayangkanlah lagi. Orang kota yang sakit dan egois. Meninggalkan kota yang habis ia hisap segala macam kesenangan yang ada di dalamnya. Lalu tanpa mau tahu untuk menyembuhkan dan memulihkan kota itu kembali, meninggalkannya begitu saja guna mencari kesenangan yang lainnya untuk kepuasaan diri sendiri. Tiba-tiba ia pergi ke alam yang tak terlalu banyak manusia, merasa damai di dalamnya. Dan marilah kita berpikir bersama. Sampai kapan alam akan terus seperti itu?

Kemudian hari, orang-orang kota yang mirip seperti dia juga mengikuti jejak langkah dan pemikirannya. Berbondong-bondong ke alam, menghisap habis keindahan, perasaan damai, ketentraman, dan segala yang ada di alam itu. Lalu apa yang akan terjadi ketika ribuan bahkan jutaan orang sakit yang egois dan tak sadar diri pergi ke alam setelah menghancurkan habis kota-kota? Sampai kapan alam liar maupun buatan itu akan bertahan? Omong kosong dan tragedi Everest adalah salah satu cerminan dari polah tingkah kita yang nyaris hampir semuanya hidup di sebuah kota. Tapi siapa yang peduli? Toh, orang lain juga melakukannya. Begitulah kebanyakan pikiran orang-orang.

Jika perilaku kebanyakan kita semacam itu. Maka sakitlah kota maupun alam itu sendiri. Tak akan ada lagi tempat untuk bersenang-senang dan melepas lelah. Pada akhirnya semua dari kita akan gila dan mungkin pecahlah perang baru.

Satu-satunya cara adalah kita sembuhkan kota lebih dulu dan berubah mulai sekarang. Perilaku dan sudut pandang kita akan kota dan segala yang dihasilkannya memengaruhi alam dan tempat-tempat terpencil lainnya. Jika orang kota membutakan diri dan tak mau berubah. Jawabannya sudah jelas. Perasaan frustasi, tertekan, depresi, bunuh diri, amarah yang susah dikendalikan, beban mental dan lainnya yang semakin menumpuk. Dan semakin hancurnya dua lingkungan yang harusnya bisa dicegah dengan otak kita yang terpelajar dan berbau kota yang sarat dengan ilmu pengetahuan.

Yah, berubah itu memang tak gampang. Dan kita semua seolah merasa nyaman dengan penyakit Belanda yang kita miliki. Tanah air subur dan sangat luas, sumber daya melimpah, keindahan yang masih banyak bisa kita temui di mana-mana untuk tujuan wisata dan bersenang-senang. Lalu kita malas untuk berpikir. Kita malas untuk bertindak. Kita masih bisa ke Lombok, beberapa tempat di Bali, Jawa, Raja Ampat, Larantuka, Labuan Bajo, dan sekian banyak lainnya, merasa semua keindahan itu sebentar lagi tak akan hilang dan menjadi tempat yang sesak dan membosankan. Rusak. Jika semua sudah hilang dan tak lagi menyenangkan, kita berbondong-bondong ke luar Indonesia. Membawa pikiran dan sudut pandang konyol kita akan dunia dan menghancurkan tempat-tempat lainnya; mungkin Afrika, Amerika Selatan atau tetannga Asia Tenggara kita? Atau kita bangga bepergian dan memasuki berbagai macam kota di Eropa dan Amerika Serikat. Menikmati keteraturan, kebersihan dan keindahan arsitekturnya sambil mengutuki negara dan kota-kota tempat tinggal kita sendiri. Tak merasa bahwa kitalah yang membuat kacau dan rusak kota-kota yang ada di negara kita sendiri. Uang bisa sedikit membeli kesenangan dan keindahan. Tapi entah sampai kapan.

“Hampir semuanya adalah kota. Kita mungkin terinspirasi oleh alam—berjalan-jalan di hutan, bunyi air terjun-tapi suatu hal tentang nuansa perkotaan sangat kondusif dengan kreativitas. Jika dibutuhkan seisi desa untuk membesarkan seorang anak, seperti pepatah Afrika, dibutuhkan seisi kota untuk membesarkan seorang genius,” kata Eric Weiner dalam The Geography of Genius. Dan seperti itulah memang. Karena kota sakit dan seluruh masyaraknya sakit, seorang pemecah masalah, genius yang akan membuat berbagai terobosan dan penemuan, para pemikir kreatif dan orisinil pun disingkirkan karena tidak kondusif dengan sikap bersenang-senang yang konyol tadi. Masyarakat tidak membutuhkan orang baik dan genius yang memecahkan masalah bangsa tapi masyarakat membutuhkan para koruptor dan oportunis karena nyaris seluruh lapisan masyarakat telah menjadi koruptor dan oportunis.

“Seperti semua budaya, budaya keluarga dapat menumbuhkan kreativitas atau malah menggilasnya,” tandas Eric Weiner sekali lagi. Dan pasti tentunya budaya masyarakat dan negara-bangsa yang ikut membuat segala di sekitarku hari ini menjadi kacau. Dan di masyarakat dan negara semacam itulah sekarang aku berada. Di kota yang babak beluk oleh kepentingan dan keegoisan masing-masing. Dan hidupku jadi bertambah berat dibuatnya. “Ya, hidup memang berat, tapi masalahnya bukan hidup itu sendiri, melainkan tatanan masyarkatnya, “ celetuk Koesalah Soebagyo Toer. Rasa-rasanya aku sudah tak terselamatkan. Atau mungkin aku harus berhenti dan tak lagi menyelesaikan angan-angan absurd ini, Mengembara Di Tanah Asing. Menjual seluruh buku dan apa yang aku miliki dan kabur dari peradaban gila ini. Tapi, apakah itu menyelesaikan masalah? Atau pada akhirnya, hanya kematianlah yang akan mengerti diriku ini?