Rabu, 27 Juli 2016

APAKAH AKU HARUS BERHENTI?
















... malu menyadari betapa banyak yang tak aku ketahui, dan bosan dengan sedikit yang kuketahui.
Eric Weiner
The Geography of Genius

Barang siapa pernah dilahirkan, dia sedang menanti jatah dan pelaksanaan hukuman mati?
Pramoedya Ananta Toer
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu




Apakah aku sebaiknya menyerah dan melemparkan teks tak selesai ini ke kotoran anjing terdekat? Untuk apa mempertahankan tulisan bodoh dan konyol ini, yang pada akhir hanya sekedar membuatku berkata, sialan, luar biasa buruk dan menggelikan! Rasa-rasanya aku juga sedang mengidap rasa malu akan kebodohan diriku sendiri seperti yang Eric Weiner rasakan. Dan saat aku mencoba mempertahanakan kewarasan diriku yang terakhir, dunia yang aku lihat malah tepat seperti apa yang dikatakan Lap, tokoh dalam novel Kappa yang ditulis oleh Ryunosuke Akutagawa; saya cuma ingin melihat dunia yang kacau ini dari sudut lain karena dilihat secara biasa sangat suram. Tetapi dilihat dari arah lain pun agaknya sama saja.

Rasa optimisku menciut jadi sedemikian ciutnya. Sampai-sampai aku ingin menjual seluruh perpustakaanku yang tak seberapa, dan berkata, peduli setan dengan ini semua! Peduli setan dengan manusia, orang-orang dan harapan akan masa depan! Lalu menggelandang meninggalkan Jogja yang sudah mirip mayat tak bergerak menuju kota Bandung yang sejujurnya agak mirip mayat yang juga sama-sama tak bergeraknya. Setidaknya, di Bandung banyak tempat seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, “tidak percuma kau memilih menjadi warga Indonesia, tanahnya luas dan lautnya lebih luas lagi untuk berkubur diri.”

Dan beruntunglah aku hidup di negara yang mengagumkan ini. Selama ini aku tak pernah tahu, ternyata Pram bisa juga bercanda yang bagus semacam itu! Dan baiklah, sekarang apa yang masih tersisa dalam diriku ini?

Harapan hidupku mendekati nol. Sementara itu kemampuan menyembuhkan diriku mendekati ujung perbatasan antara gila dan menjadi lebih gila lagi. Dan jika mengingat-ingat kembali keinginanku untuk melihat Jawa, terasa bagaikan igaun konyol yang memalukan. Dan ketika sedang membaca Bersama Mas Pram yang ditulis oleh Keosalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer, aku jadi kian pesimis;

Saya jadi malu kepada diri sendiri. Pulau Jawa yang panjangnya seribu kilometer saja belum saya kenal. Saya belum pernah ke mana-mana. Tak tahu kota Solo, Jogja, Surabaya. Belum tahu Karang Bolong di pantai Samudra Hindia, Terowongan Ijo, terowongan paling panjang di Jawa, dan pulau Nusakambangan di mana konon tumbuh bunga Wijayakusuma. Juga belum tahu pantai Pacitan yang konon bergoa-goa. Saya belum pernah lihat debur ombak Samudra Hindia yang katanya puluhan meter tingginya. Saya hanya pernah bermain di pantai Rembang yang sangat teduh, bahkan boleh dikata hanya beriak. Aduh, saya ingin tahu semua itu. Saya ingin menengok ujung barat di Ujung Kulon sampai semenanjung Blambangan di ujung timur. Alangkah senangnya kalau saya bisa memandang pulau garam, Pulau Madura, walau hanya dari jauh, dari pantai Jawa Timur. Biarlah keinginan saya hanya segitu, dibandingkan dengan keadaan saya sekarang yang hanya nongkrong di Kebon Jahe Kober yang sempit dan pengap.

Tapi keinginan ini saya pendam sendiri. diam-diam saya ingin nanti, entah kapan, keliling Pulau Jawa, naik sepeda, sendiri, dengan cara Sven Hedin, dengan biaya yang bisa saya peroleh sepanjang jalan, entah bagaimana caranya, sampai kemput keliling Jawa. Berapa bulan ya dibutuhkan waktu untuk itu?

Saya tak pernah menyampaikan keinginan ini kepada siapa-siapa, apalagi kepada Mas Pram. Satu-satunya yang saya ajak bicara adalah Mas Wiek. Dan apa komentar Mas Wiek?

“Kesehatanmu itu nggak memungkinkan!”

Dan, herannya, saya setuju dengan pendapatnya itu. Yang betul adalah, nyali saya yang tak memungkinkan. Hanya bagusnya, kegemaran saya membaca tidak berhenti karenanya, bahkan semakin meningkat.

Harapan Koesalah Soebagyo Toer nyaris mirip diriku sendiri. Dan apa saja yang menghalanginya mirip juga apa yang menghalangiku; minimnya uang, waktu, dan tubuh yang sakit-sakitan. Dan yang paling membuatku jengkel adalah kenyataan bahwa tidakkah itu harapan yang hampir seabad yang lalu? Kenyataan itulah yang membuatku ingin depresi sedepresi-depresinya. Ternyata di abad 21 ini, masih ada orang Indonesia, terlebih orang Jawa, yang masih belum pernah mengelilingi Pulau Jawa. Betapa malunya aku. Karena aku salah satu dari orang itu. Abad ke-21 masih belum pernah mengelilingi Jawa, itu sungguh memalukan. Dan aku rasa, kelak akan juga ada yang bilang, abad ke-22 masih belum pernah mengelilingi Jawa, heh? Kamu turis asing ya? Dan bisa jadi abad ke-23, kamu orang Amerika ya, campuran Jerman, atau seperempat Prancis? Oh, berdarah India, Arab, Tingkok, atau bukan asli dari sini? Bahkan bisa jadi kelak akan ada yang bilang, kamu keterunan alien ya, kok wayang, gamelan, bahkan pohon petai dan singkong pun tak tahu?

Dan yang lebih memalukan lagi betapa aku sangat tak mengenal tanah Jawa ini!  Aku benar-benar bagaikan orang asing di tanah kelahiran sendiri. Itu tidak hanya menggelikan. Rasa-rasanya ingin segera menjerumuskan diriku ke jurang atau sumur terdekat.

Setidaknya Pram juga pernah merasa “terasing di negeri sendiri” seperti yang diungkapkan oleh Chris GoGwilt, Andre Vltchek, atau bahkan Pram sendiri, dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian! Dan ketololanku bahkan mirip Minke di Bumi Manusia; pikiranku sedang dipenuhi hal-hal seram, merampas segala yang dikatakan nikmat. Bumiku, bumi manusia ini, kehilangan segala kepastiannya. Semua ilmu dan pengetahuan, yang telah menjadi diriku sendiri, meruap hilang. Tak ada sesuatu yang bisa diandalkan.

Dan inilah aku sekarang. Tolol. Tidak bisa diandalkan. Buta terhadap dirinya sendiri. Merasa tanah kelahirannya bagaikan negeri asing. Orang yang tak becus melakukan apapun. Dan filsuf amatir yang sedang terjebak dan berenang bahkan hampir tenggelam di kolam kecilnya sendiri.

Mengelilingi Jawa itu mudah. Kalau hanya sekedar mengelilingi, aku pasti sudah melakukan jauh-jauh hari. Yang tak mudah adalah tanggung jawab menuliskan pengalaman langsung dari apa yang telah aku alami dan lihat sendiri. Ditambah pertanyaan-pertanyan yang bisa membuatku lebih gila dari biasanya. Apa jadinya negara ini kemudian hari jika warga kotanya kebanyakan terdiri dari orang-orang macam ini? Seandainya pecah perang dunia lagi, apakah Jawa, dan Indonesia secara keseluruhan akan bisa bertahan, atau malah ikut ke dalam perang? Jika kebutuhan kita akan energi dan bahan makan mendekati habis, dengan masyarakat konsumtif yang sangat keterlaluan, apakah kelak kita akan menjadi penjajah? Atau malah dijajah oleh negara lainnya, yang lebih kuat demi sumber daya kita, yaitu tanah dan jumlah manusianya yang bisa diperbudak? Jika mendadak kita semua kaya dan berkecukupan, apakah tingkat gangguan jiwa, depresi dan bunuh diri semakin bertambah banyak dan tak terkendali? Mengingat para psikolog dan psikiter sangat sedikit, pemerintah yang abai, dan individu masyarakat yang semakin jauh dan susah bercakap-cakap? Apa jadinya jika semua orang memiliki mobil dan memenuhi jalanan sementara tanggung jawab sosial dan alam, tanggung jawab akan keberadaan tanah kelahiran, kota, atau tempatnya berdiam sangat kurang dan nyaris tak peduli? Jika mendadak krisis ekonomi menghantam Asia atau negara kita ini, apakah pada akhirnya kita akan saling membunuh dan ingin mendirikan negara masing-masing? Apakah kelak pada akhirnya orang-orang Tionghoa akan kembali dibantai karena sikap mereka yang sangat ekslusif, kesombongan luar biasa akan ras, merasa bukan orang Indonesia dan pencapaian ekonomi mereka? Dan coba bayangkan seandainya beragam bencana alam terjadi di Indonesia di tengah pergulataan poiltik dan perang? Dan masih banyak yang lainnya yang bisa aku pikirkan dan renungkan. Kalau memikirkan semua itu, perjalananku menjadi konyol. Jelas-jelas aku akan kesusahan untuk merenungkan dan menuliskan semua itu. Dalam posisi kejiwaanku hancur, sakit-sakitan, dan keuangan yang mengerikan. Aku benar-benar putus asa. Aku ingin berhenti.

Tapi ..

Yah, dunia selalu memiliki tapi. Sialnya memang begitu. Masalahnya aku memiliki kesukaan akan buku-buku dan ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahuku bisa tiba-tiba meledak dan tentunya menghabiskan anggaran hidupku yang sudah dipangkas dengan memelihara kejiwaanku, sewa kamar, makan, dan sederet hal lainnya. Kalau dipikir-pikir, aku orang gila yang sangat keterlaluan gilanya, masih membeli dan ketagihan melahap berbagai macam buku yang membuatku tertarik, dan tentunya menambah kadar persen kegilaan dalam diriku. Para penerbit dan penjual buku memang sangat keterlaluan. Tidak peka dengan kondisi hidupku yang mengenaskan ini. Saat aku pingin berhenti meneruskan Mengembara Di Tanah Asing, kenapa malah ada banyak buku menarik dan sangat ingin aku miliki?

Gramedia benar-benar membuat aku bangkrut akhir-akhir ini. Sudah berapa ratus ribu atau juta yang aku belikan buku karena bazar buku yang ada menawarkan beberapa buku yang menggiurkan? Karena aku orang bodoh, jadilah aku membeli banyak buku selama berhari-hari. Seperti orang kesetanan yang lupa daratan dan tuhan. Dan untuk apa setan susah-susah memikirkan tuhan? Yang paling menarik adalah buku-buku petualangan dan perjalanan. Tak ada buku porno atau panduan tidur menggairahkan bersama kambing di pameran itu.

Aku mendapatkan Between a Rock and a Hard Place karya Aron Ralston. Buku menegangkan yang difilmkan menjadi 127 Hours, yang membuat aku malu akan gariah bertahan hidupnya. Seandainya yang terjepit itu aku, sumpah, aku akan langsung bunuh diri di tempat. Lagian, siapa yang juga peduli kalau aku mati? Dan lebih menjengkelkan lagi, siapa yang peduli aku masih hidup? Ada buku Lost In The Jungle dari Yossi Ghissberg. Wanderlove yang ditulis Kirsten Hubbard yang kujual sebelum aku baca. Dan yang paling membuat aku senang adalah sebuah buku dengan sampul muka yang sangat tak meyakinkan sama sekali, Bikepacker Nekat dari Danny Bent. Ternyata buku itu cukup menyenangkan dengan gaya bahasa yang membuatku kembali ingin meneruskan pengembaraanku. Padahal aku sudah mendapatkan buku Bersama Mas Pram dari Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer, Klub Film oleh David Gilmour,  dan banyak lainnya.

Dan ketika aku bergentayangan di dalam Gramedia, aku tak mampu menahan godaan buku Babad Ngalor Ngidul dari Elizabeth D. Inandiak. Buku itu membuat aku sedih dan malu sebagai orang Jawa. Kebanyakan orang asing lebih Jawa dan Indonesia dari pada diriku sendiri. Dan Inandiak mampu menulis dengan sangat baik! Aku tak mampu menghindarkan diri terayu oleh George Orwell, Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London. Buku yang menunjukkan padaku bahwa seorang penulis terkenal pun bisa sangat miskin dan menderita. Penggambaran dia akan orang miskin dan gelandangan Paris bisa aku gunakan untuk novelku kemudian hari. Yah, kalau aku masih beruntung, agak hidup.

Saat kemarin di Surakarta, 25 juli 2016, aku menyelonong di deretan rak buku Gramedia Surakarta, tak sengaja menemukan buku yang membuatku hampir melonjak kegirangan. The Geography of Genius karya Eric Weiner. Aku benar-benar bahagia. Sontak gairah pengembaraanku, keinginan untuk meneruskan melihat Jawa dan menggagas istilah Ideapacker menyala secara tiba-tiba. Aku pun cepat-cepat membaca pendahuluan buku itu, diiringi gerak menunduk dan mengiyakan penjabarannya mengenai kejeniusan. Buku yang harus aku miliki dengan segera! Masalahnya, aku tak memiliki uang. Baiklah, aku terpaksa meneruskan membaca sambil duduk, menelusuri halaman demi halaman lagi, dan tersedot dalam dunianya. Aku harus beli ini! pikiranku bergejolak. Uang dari mana? Aku tak peduli jika nanti harus menjual buku-bukuku yang lainnya. Pokoknya, aku ingin segera memilikinya. Secepatnya. Apakah aku harus menjual diriku, seperti Faust menjual jiwanya? Yah itu tak mungkin. Lagian, aku juga sangat jauh dari kata tampan. Malah mulai kegemukan dan tambun.

Entah mengapa, Gramedia Surakarta selalu mirip kuburan pelosok desa atau bahkan rasa-rasanya mirip di pegunungan atau di dalam hutan rimba yang jarang ada orang, terlebih masyarakat terpelajar. Kadang aku bertanya, apakah benar sekarang aku di Surakarta, Solo? Dan jalanannya lebih mengerikan lagi. Kemacetan adalah buku bagi kota Surakarta yang sebentar lagi sekarat.

Dan saat aku memikirkan buku itu malam harinya, esok paginya tiba-tiba ada beberapa buku yang nongol begitu saja di Instagram milik Kepustakaan Populer Gramedia. Buku itu milik Fyodor Dostoyeski berjudul Catatan Dari Bawah Tanah, yang sangat luar biasa aku inginkan sejak lama. Astaga! Bagaimana ini, bagaimana ini? Apakah aku harus merampok Gramedia demi sebuah buku? Mendandani diri ala V for Vendeta atau Joker dalam Batman? Masuk ke Gramedia dengan menggengam sebatang pisang lezat berwarna kuning cerah dan menganggapnya sebagai senjata dari planet entah apa? Lalu berkata, jangan bergerak! Serahkan buku-buku kalian!

Itu jelas-jelas ide bodoh yang akan ditertawakan dari anak kecil sampai orang tua jompo yang kehilangan gigi-giginya. Dan nyaris jenis perampokan paling tak keren dan idiot yang pernah ada. Merampok demi buku? Apa? Apa aku tak salah dengar? Apakah itu kenyataan? Serius? Bolehkan aku menabrakkan diriku ke truk sekarang juga? Sumpah, apakah itu kenyataan dan benar-benar nyata? Kok ada perampok bodoh semacam itu ya? Merampok buku? Itu orang bodoh, gila atau memang sudah tak lagi mengenal dunia nyata? Menurutmu, apa perampok itu terkena delusi? Atau jangan-jangan tuhan sudah menghampirinya?

Dengan mudahnya aku menyingkirkan ide tak mungkin itu.

Awal mula hidupku memang mirip Dokter Victor Frankenstein dalam novel mengagumkan, Frankenstein milik Mary Shelley. Dan kali ini, perasaanku menirukan kata-kata Frankenstein itu sendiri, “aku sendiri penuh dengan semangat menyala-nyala. Aku sangat berminat dan haus akan ilmu pengetahahuan.” Dan perasaan haus akan ilmu pengetahuan jika tidak terjembatani oleh lingkungan sosial, merasa diri tak ada yang bisa diajak bicara dan bertukar pikiran secara seimbangnya efeknya bisa mematikan. Mary Shelley sungguh luar biasa untuk ukuran zaman itu sebagai seorang wanita. Dan yah, perempuan, karena para feminis mungkin akan berang dengan pemakaian kata itu. Dengan mulut Frankenstein ia mewakili kegelisahan diriku dan apa yang sering dialami oleh mereka yang tergoda dengan rayuan ilmu pengetahuan. “sungguh aneh hakikat ilmu pengetahuan! Sekali masuk ke otak, ilmu pengetahuan akan terus berpegangan erat-erat seperti kancing-kancingan melekat pada batu. Kadang-kadang aku ingin sekali membuang semua pikiran dan perasaan. Tapi aku juga sudah mengetahui hanya ada satu cara untuk mengatasi kepedihan duka, yaitu kematian.”

Biarlah jika pada akhirnya mati. Memang itulah satu-satunya cara terakhir untuk keluar dari sakit yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan. Tapi, tidakkah masih ada cara yang lain? Meneruskan pengembaraanku dan menuliskannya?

Sejujurnya aku sudah sangat letih dan muak dengan semua ini. Akan sangat menyenangkan jika aku bisa melempar semua pikiran dan tulisanku ke jurang paling dalam atau membakarnya tanpa sisa. Atau menjadikannya api unggun saat kedinginan atau pura-pura berkemah entah di mana. Aku rasa itu lebih berguna. Bisa mengusir nyamuk-nyamuk genit dan tak tahu malu.

Dan yang lebih mudah kalau aku menyerahkan diri ke laut. Dan mungkin akan jadi salah satu budak Nyi Blorong atau Ratu Pantai Selatan seperti mimpiku beberapa waktu yang lalu. Jogja memang bisa membuat banyak orang bunuh diri dengan sukses dan mengagumkan. Bahkan baru beberapa waktu di Jogja saja, ada kabar mengenai seorang musisi yang menabrakkan dirinya ke kereta api. Jogja memang kota kematian yang penuh dengan hura-hura. Sebuah kota yang pada akhirnya gagal memenuhi dirinya sebagai kota budaya dan seni. Kota penyembuh jiwa-jiwa sakit yang pada akhirnya ketularan menjadi sakit juga.

Kota yang sakit membuat orang-orang menjadi sakit. Tapi orang-orang yang sakit berkumpul di satu tempat menjadikan kota menjadi sakit dan berpenyakit. Itulah tepatnya Jogja hari ini. Dan aku benar-benar ingin segera keluar darinya dan mencari tempat baru yang cukup bisa membuat bernafas. Aku sudah semakin kesusahan bernafas di Jogja. Aku ingin menuju Bandung dan mungkin, yah mati di sana setelah selesai menulis?

Entah berapa banyak orang bodoh yang menganggap kota itu sebagai rumah dan nyaman di dalamnya tapi tak berkepentingan untuk memperbaikinya. Itu sama dengan eksplotasi sebuah kota demi kesenangan. Mengeksploitasi kota untuk kesenangan itu memang berbahaya. Semua orang beramai-ramai pergi ke kota tertentu. Mencari kesenangan dan kebahagiaan  di dalamnya. Mengurasnya habis-habisan tanpa pernah berpikir bahwa kian hari akan semakin banyak orang yang juga merasa ingin menguras sumber kesenangan itu. Hari demi hari semua orang hanya ingin bersenang-senang menghilangkan lelah, omong kosong hidup, kebosanan, kerja yang bagaikan neraka, dan banyak lainnya, tanpa peduli akan kota itu sendiri. Kesehatan kota diabaikan, selalu diabaikan, diacuhkan, hingga akhirnya terkuras habis isinya, dan sakitlah ia, kota itu. Kota pun sakit parah. Dan anehnya, orang-orang mengelak berkata bahwa kota itu sekarang sudah sakit dan tak mau untuk menyembuhkannya. Orang-orang sakit yang kepeduliannya hanya dirinya sendiri biasanya membuat kota yang awalnya sehat menjadi sakit-sakitan dan akhirnya ambruk. Orang sakit di sebuah kota yang sakit. Kau bisa membayangkan sendiri apa hasilnya. Seperti itulah akhir dari kota-kota di Jawa.

Dan pada akhirnya, orang-orang sakit ini, yang terlalu egois, meninggalkan kota yang dibuatnya sakit dan menuju ke alam yang cukup sehat atau bahkan masih sangat sehat. Berbondong-bondonglah orang-orang kota yang sakit pergi ke berbagai macam tempat wisata alam atau alam liar. Orang-orang kota ini tak berpikir lebih dulu mengubah sudut pandang dunianya, dirinya sendiri dan menyembuhkan kota tempat ia tinggal. Tapi langsung merasa kota yang ia tinggali sudah tak nyaman, dan pergilan mereka semua mencari penyembuhan diri dari kota yang sudah susah untuk bernafas. Padahal, mereka semua sedang melarikan diri dari kota yang telah mereka buat. Melarikan diri. Melupakan masalah. Lalu mengeksploitasi alam untuk bersenang-senang karena kota sudah habis. Menikmati alam bukan mencintainya. Seperti menikmati kota bukan mencintai kota. Dan yakinlah, tak lama lagi semua yang dibanggakan itu; keindahan, rasa sejuk, nyaman, damai, kagum, perasaan mistis dan gaib, berbagai hal yang menyenangkan dari alam sebentar lagi akan tamat.

Bayangkanlah lagi. Orang kota yang sakit dan egois. Meninggalkan kota yang habis ia hisap segala macam kesenangan yang ada di dalamnya. Lalu tanpa mau tahu untuk menyembuhkan dan memulihkan kota itu kembali, meninggalkannya begitu saja guna mencari kesenangan yang lainnya untuk kepuasaan diri sendiri. Tiba-tiba ia pergi ke alam yang tak terlalu banyak manusia, merasa damai di dalamnya. Dan marilah kita berpikir bersama. Sampai kapan alam akan terus seperti itu?

Kemudian hari, orang-orang kota yang mirip seperti dia juga mengikuti jejak langkah dan pemikirannya. Berbondong-bondong ke alam, menghisap habis keindahan, perasaan damai, ketentraman, dan segala yang ada di alam itu. Lalu apa yang akan terjadi ketika ribuan bahkan jutaan orang sakit yang egois dan tak sadar diri pergi ke alam setelah menghancurkan habis kota-kota? Sampai kapan alam liar maupun buatan itu akan bertahan? Omong kosong dan tragedi Everest adalah salah satu cerminan dari polah tingkah kita yang nyaris hampir semuanya hidup di sebuah kota. Tapi siapa yang peduli? Toh, orang lain juga melakukannya. Begitulah kebanyakan pikiran orang-orang.

Jika perilaku kebanyakan kita semacam itu. Maka sakitlah kota maupun alam itu sendiri. Tak akan ada lagi tempat untuk bersenang-senang dan melepas lelah. Pada akhirnya semua dari kita akan gila dan mungkin pecahlah perang baru.

Satu-satunya cara adalah kita sembuhkan kota lebih dulu dan berubah mulai sekarang. Perilaku dan sudut pandang kita akan kota dan segala yang dihasilkannya memengaruhi alam dan tempat-tempat terpencil lainnya. Jika orang kota membutakan diri dan tak mau berubah. Jawabannya sudah jelas. Perasaan frustasi, tertekan, depresi, bunuh diri, amarah yang susah dikendalikan, beban mental dan lainnya yang semakin menumpuk. Dan semakin hancurnya dua lingkungan yang harusnya bisa dicegah dengan otak kita yang terpelajar dan berbau kota yang sarat dengan ilmu pengetahuan.

Yah, berubah itu memang tak gampang. Dan kita semua seolah merasa nyaman dengan penyakit Belanda yang kita miliki. Tanah air subur dan sangat luas, sumber daya melimpah, keindahan yang masih banyak bisa kita temui di mana-mana untuk tujuan wisata dan bersenang-senang. Lalu kita malas untuk berpikir. Kita malas untuk bertindak. Kita masih bisa ke Lombok, beberapa tempat di Bali, Jawa, Raja Ampat, Larantuka, Labuan Bajo, dan sekian banyak lainnya, merasa semua keindahan itu sebentar lagi tak akan hilang dan menjadi tempat yang sesak dan membosankan. Rusak. Jika semua sudah hilang dan tak lagi menyenangkan, kita berbondong-bondong ke luar Indonesia. Membawa pikiran dan sudut pandang konyol kita akan dunia dan menghancurkan tempat-tempat lainnya; mungkin Afrika, Amerika Selatan atau tetannga Asia Tenggara kita? Atau kita bangga bepergian dan memasuki berbagai macam kota di Eropa dan Amerika Serikat. Menikmati keteraturan, kebersihan dan keindahan arsitekturnya sambil mengutuki negara dan kota-kota tempat tinggal kita sendiri. Tak merasa bahwa kitalah yang membuat kacau dan rusak kota-kota yang ada di negara kita sendiri. Uang bisa sedikit membeli kesenangan dan keindahan. Tapi entah sampai kapan.

“Hampir semuanya adalah kota. Kita mungkin terinspirasi oleh alam—berjalan-jalan di hutan, bunyi air terjun-tapi suatu hal tentang nuansa perkotaan sangat kondusif dengan kreativitas. Jika dibutuhkan seisi desa untuk membesarkan seorang anak, seperti pepatah Afrika, dibutuhkan seisi kota untuk membesarkan seorang genius,” kata Eric Weiner dalam The Geography of Genius. Dan seperti itulah memang. Karena kota sakit dan seluruh masyaraknya sakit, seorang pemecah masalah, genius yang akan membuat berbagai terobosan dan penemuan, para pemikir kreatif dan orisinil pun disingkirkan karena tidak kondusif dengan sikap bersenang-senang yang konyol tadi. Masyarakat tidak membutuhkan orang baik dan genius yang memecahkan masalah bangsa tapi masyarakat membutuhkan para koruptor dan oportunis karena nyaris seluruh lapisan masyarakat telah menjadi koruptor dan oportunis.

“Seperti semua budaya, budaya keluarga dapat menumbuhkan kreativitas atau malah menggilasnya,” tandas Eric Weiner sekali lagi. Dan pasti tentunya budaya masyarakat dan negara-bangsa yang ikut membuat segala di sekitarku hari ini menjadi kacau. Dan di masyarakat dan negara semacam itulah sekarang aku berada. Di kota yang babak beluk oleh kepentingan dan keegoisan masing-masing. Dan hidupku jadi bertambah berat dibuatnya. “Ya, hidup memang berat, tapi masalahnya bukan hidup itu sendiri, melainkan tatanan masyarkatnya, “ celetuk Koesalah Soebagyo Toer. Rasa-rasanya aku sudah tak terselamatkan. Atau mungkin aku harus berhenti dan tak lagi menyelesaikan angan-angan absurd ini, Mengembara Di Tanah Asing. Menjual seluruh buku dan apa yang aku miliki dan kabur dari peradaban gila ini. Tapi, apakah itu menyelesaikan masalah? Atau pada akhirnya, hanya kematianlah yang akan mengerti diriku ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar