ada keajaiban di sini, kepuasan karena tak sepenuhnya tersesat, namun juga tidak sepenuhnya dekat - Ken Otterbourg
Jumat, 26 Februari 2016
SEBUAH PERMINTAAN TOLONG UNTUK PAK ROMAN SARAGIH SITIO
untuk pak roman saragih sitio
sejujurnya saya tak enak mau membicarakan ini ke bapak. setidaknya saya telah mencoba untuk hidup dan berjuang walau jatuh bangun dan perasaan kosong saya ini sejak kecil susah saya sembuhkan. saya telah menyusahkan banyak orang. dan saya sering berpikir telah menyusahkan bapak. hingga membuat saya kadang merasa tak enak dan malu.
saya masih berhutang banyak ke bapak. suatu nanti, jika saya sembuh atau cukup memiliki sesuatu, ijinkan saya untuk melunasinya.
kali ini saya ingin meminta bantuan atau lebih tepatnya pertolongan. lebih baik saya mengakui minta tolong dari pada saya hancur oleh kegelapan saya sendiri. kali ini saya ingin minta tolong secara adil. jangan lagi bapak memberi saya cuma-cuma. saya nyaris tak enak dan merasa sangat picik dan laki-laki yang tak melakukan apa-apa. kali ini, ijinkanlah saya menjual sebagian besar buku saya yang jumlahnya ratusan itu ke bapak. jika bapak masih sanggup dan mau. saya ingin berkata jujur. saya ingin menjual buku-buku itu ke bapak dengan harga murah daripada ke orang lain. lebih baik buku-buku saya, banyak yang sangat langka, berada di tangan bapak.
untuk pak roman saragih sitio
alasan saya ingin menjual buku itu untuk membiayai perjalanan saya ke surabaya, malang, madura, bali dan mungkin kalau sempat lombok. siapa tahu bisa bertemu bapak di sana. dan alasan saya melakukan perjalanan adalah demi mengurangi perasaan hampa saya. setiap hari rasa cemas, lesu, dan menggigil tak kunjung hilang. perasaan bunuh diri bergentayangan setiap hari. dari pada saya hancur, jatuh dalam kegelapan, perasaan sepi, terasing dan jiwa yang rusak dan tak tersembuhkan lagi, lebih baik saya menulis dalam perjalanan saya. menuliskan kisah perjalanan yang berbeda.
saya akan berikan buku-buku saya dengan harga murah asalkan saya mampu menyelesaikan tulisan saya, mengembara di tanah asing. mengelilingi berbagai macam kota untuk tahu apa yang terjadi di dalam kota itu dan kemungkinan di masa yang akan datang. saya harap, buku itu akan sangat bermanfaat kelak. dan saya persembahkan untuk bapak yang telah banyak membantu saya.
saya sudah tak tahu, untuk apa sebenarnya saya di jogja. jogja sudah tak lagi membuat saya hidup. kebosanan setiap hari mencengkram saya kuat. rasa-rasanya saya bagaikan tak ingin berusaha untuk bangkit lagi.
saya sudah sering berusaha bangkit tapi entah kenapa terus gagal. jatuh dalam kengeringan jiwa dan pikiran saya. dari pada saya tak melakukan apa-apa, lebih baik saya menulis kisah tentang Indonesia dari perjalanan saya. saya mampu melakukannya. saya mampu menulis dengan bagus. saya juga yakin, saya akan memberikan gaya dan warna baru bagi kisah perjalanan di negara ini. hanya saja, saya butuh dipercaya dan membantu saya. saya nyaris tak bisa terus-menerus hidup sendiri. inilah alasan kenapa saya butuh bantuan dan memintanya ke bapak.
saya tak ingin menjadi pribadi yang jahat. masih banyak hal, kebaikan yang bisa saya berikan kepada dunia. saya memohon, selamatkanlah sisa terakhir dari sisa baik saya itu. ijinkan saya menulis dengan bantuan bapak, suatu tulisan yang kelak akan dibaca anak-anak muda setelah saya. tulisan yang akan menggugah hati mereka. sebelum saya kembali tak mampu mempercayai kehidupan saya sendiri dan pada akhirnya berhenti menulis.
akhir-akhir ini saya sudah malas untuk menulis. membaca. ke berbagai acara seni dan lainnya. geloranya tak seluar biasa dulu. saya sudah mencoba melakukan apapun untuk membuat jiwa dan hati saya membaik. tapi selalu saja seperti ini dan malah semakin parah.
anak muda ini, dengan banyak bakat dan potensi, apakah akhirnya kalah dengan kejiwaan rapuhnya tanpa menghasilkan apapun yang berguna? ataukah hanya kebenciaan dan keinginan memusnah diri sendiri yang tersisa darinya?
kadang saya membayangkan, anak-anak macam apa kelak generasi setelah saya itu? mungkin mereka akan lebih sakit dari saya. dan saya ingin coba mengerti mereka dan membantu mereka dengan apa-apa yang saya tulis.
saya minta maaf ke pak roman jika terus-menerus merepotkan bapak. mungkin saya pribadi yang tak baik dan entah mengapa sosok yang membuat sakit dan jengkel orang-orang. tapi kali ini, saya benar-benar meminta tolong dengan sungguh-sungguh. dan saya tak mau bapak memberi saya dengan cuma-cuma. biarkan saya menukarnya dengan buku atau apa pun itu yang cukup seimbang.
saya ingin mengembara. berjalan dari kota ke kota. melihat sekitar. menghirup nafas di antara pepohonan dan bau jalan. dari bus ke bus. dari kereta ke kereta. memasuki berbagai toko buku. mengamati. merenung. menulis.
dalam perjalanan, mungkin saya bisa sedikit tersenyum dan mengalihkan rasa sakit yang membebani saya semenjak saya kecil.
terimakasih
arah lalu/merah naga
Minggu, 14 Februari 2016
KOTA, BUKU, DAN PERJALANAN
Hidup
kekurangajaran!
-Albert
Einstein
Dalam buku Einstein karya Walter Isaacson
Buku-buku
menarik hati saya karena merekalah teman satu-satunya. Saya tidak tahu apakah
saya bahagia atau tidak waktu itu; tapi setidaknya saya tahu bahwa begitu saya
membalik setiap halamannya yang menawan, saya pun lupa akan rasa lapar dan
derita, dan itu menyelamatkan saya dari kebencian dan ketakutan. begitu saya
membaca, saya melupakan kesepian mengerikan di mana jam demi jam saya tidak bertemu
siaa-siapa atau melakukan apa-apa.
-Fernando
Baez
Penghancuran
Buku dari Masa ke Masa
Aku
mulai banyak sekali mendengarkan musik. Aku juga mulai banyak membaca buku di
luar buku ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya saja karya Shakespeare maupun
Plato. Aku sangat menyukai King Lear.
-Steve
Jobs (pendiri Apple)
Dalam buku Steve Jobs karya Walter Isaacson
Para
pemikir hebat hidup menyerempet bahaya. Sokrates dipaksa minum racun cemara;
Protagoras menyaksikan bukunya dibakar di Athena; Demokritus harus mencukil
matanya, seperti Oedipus, hanya untuk bisa berpikir; Plato nyaris dibunuh;
Aristoteles harus melarikan diri ke Chalchis karena dituduh murtad. Teolog
Pierre Abelard tidak lolos dari kutukan ini: ia harus menanggung derita
pengebirian atas cinta terlarangnya dengan Heloise.
-Fernando Baez
Penghancuran Buku
dari Masa ke Masa
Perjalanan tanpa sebuah buku
adalah perjalanan yang hampa. Seperti pepatah kuno Islandia, lebih baik
berjalan telanjang kaki daripada tanpa buku.” Dan bagiku, hidup tanpa buku
nyaris seperti ketidakmungkinan. Dan kemanapun aku pergi dan apapun yang hampir
terjadi pada diriku, buku selalu menemani perjalananku. Entah dalam sedikit
kebahagiaan atau saat tenggelam dalam dasar kegelapan yang paling pekat. Buku
adalah hidup. Buku-buku adalah obat dari kesepianku yang nyaris tak biasa
diobati oleh siapapun.
Buku-buku telah
menyelamatkanku dari banyak hal; kesedihan. Kesepian. Putus asa. Perasaan
marah. Kebencian yang sangat liar. Ketidakmenentuan. Kebosanan akut.
Kesendirian. Bahkan perasaan ingin mati. Di dalam dunianyalah aku membangun
rumah untuk berdiam. Saat dunia tak lagi memiliki arah, kacau dan berantakan.
Buku-buku mampu mengurani rasa sakit yang sulit untuk aku jelaskan. Tanpa
sebuah buku, aku tak tahu apakah aku masih ingin melanjutkan hidup. Buku adalah
penemuan yang paling mengagumkan yang mungkin telah menyelamatkan banyak jiwa
yang tersesat. Buku adalah nafas waktu yang diperpanjang.
Aku pun akan membawa buku
kemanapun aku pergi. Dari kota satu ke kota lainnya. Dari satu tempat ke tempat
lainnya. Dan seringkali sangat mengiris hati, ketika aku berpindah dari satu
kota ke kota lainnya, sedikit sekali aku melihat orang-orang yang membawa buku
di tangannya. Seolah-olah buku adalah aib atau hal yang tak penting bagi
kehidupan mereka.
Di Jogja, aku sangat menyukai
membaca di sekitar perempatan 0 km, tepat di sebelah lampu merah. Atau di
kursi-kursi sepanjang jalan itu. Sambil mengamati kota yang berjalan, aku
melahap lembar demi lembar. Seolah-olah, segala perasaan sepi seketika lenyap
atau tak lagi terlalu menyakitkan.
Di kota Jogja yang memiliki
banyak toko buku, ruang kesenian, dan universitas, buku seolah hanya boleh ada
di perpustakaan atau kamar pribadi. Nyaris aku hampir tak pernah melihat
seorang yang memegang buku, entah di pinggir jalanan, bus, cafe, galeri dan
acara seni, atau di manapun. Ketika membaca buku, aku juga mengamati
orang-orang di sekitarku. Jumlah motor dan mobil yang lebih besar daripada
jumlah sepeda yang lewat permenitnya. Pengemis, pengamen, dan gelandangan yang
jumlahnya cukup banyak. Atau tatapan mata yang heran ketika melihat aku yang
sedang asyik membaca lembar dari buku yang ada di tanganku. Kadang, aku
bagaikan orang dari angkasa luar yang jatuh di kota ini. Seorang yang membaca
buku di pinggir jalanan, berbagai macam ruang publik, seolah-olah makhluk asing
yang dianggap aneh atau dikagumi dengan tatapan yang berbinar.
Jika pikiranku sedang
kelelahan dan dunia seolah bagaikan seperti omong kosong. Selain di pinggir
jalan 0 km, aku menikmati membaca di pinggir jalan sekitar Tugu, bundaran dan
lapangan UGM, atau sekitar alun-alun kidul di bawah pohon di sisi barat. Aku
menikmati suasana membaca di tempat terbuka. Mendengarkan musik sambil membaca
dan sesekali mata mengamati sekitar; sebuah kota yang berubah dengan cepat. Seperti
yang dikatakan oleh Eric Weiner dalam The
Geography of Bliss, bahwa “kebanyakan kota lebih besar dari yang
diperlukan. Lebih dari suatu titik tertentu, masalah kehidupan urban mulai
lebih banyak daripada manfaatnya.” Dan Jogja nyaris seperti itu. Dan hampir
semua kota besar lainnya di negara ini.
Membaca buku, di sekitar Graha
Sabha Pramana UGM, sewaktu sore merayap, saat langit menampilkan bercak warna
yang bergonta-ganti, seakan-akan menyaksikan suatu pemandangan yang tak bisa
dijelaskan dengan mudah. Imajinasi akan berkeliaran. Awan-awan yang bergumpal
dan membentuk berbagai macam hal dipikiran. Warna lazuardi yang sangat luas
diselingi berbagai macam burung yang lewat. Dan sesekali pesawat terbang yang
tampak kecil membelah cakrawala. Bahkan alam seringkali melebihi karya seni
paling indah sekalipun. Seolah mengungguli karya para impresionis dan
ekspresionis dunia. Di tempat itulah, seringkali aku membaca halaman demi
halaman diiringi rasa takjub. Seorang laki-laki, yang mengagumi alam di
sekitarnya, dengan buku ada di tangan, di tengah-tengah banyak orang yang
selesai berolah raga atau masih sibuk mengelilingi lapangan di kejauhan. Dan di
tempat itu pun, nyaris tak ada seorang pun yang memegang sebuah buku.
Seringkali, aku asyik dengan dunia lamunku, dan meninggalkan latar belakang
yang tak pernah ada yang mirip dengan diriku. Aku akan menikmati buku-bukuku
sendiri di alam terbuka jika takku temukan orang-orang yang juga menikmatinya.
Seandainya kesepian sangat
menumpuk dan nyaris tak bisa aku atasi, aku pergi ke laut. Parang Tritislah
yang hampir selalu aku datangi. Membaca di hadapan ombak yang bergemuruh.
Menikmati halus pasir di kaki, suara angin dan sentuhannya di seluruh kulit
tubuhku. Membaca menghadap laut yang luas dan langit yang bagai tak terbatas
sangatlah mampu menenangkan diriku. Kadang, aku bagaikan melihat lukisan alam
yang mengagumkan. Atau seolah-olah Vang Gogh atau Monet ada di situ. Sambil
menuliskan catatan perjalanan, puisi, atau perenunganku akan dunia. Aku membawa
bukuku untuk melihat suasa di sekitar yang penuh dengan orang-orang yang sibuk
memercikkan air, membuang sampah di pasir, berlarian kesana-kemari, dan
mencipakan keramaian yang seolah bagaikan hanya sekedar ulangan. Tanpa buku,
perjalanan terasa kurang bagiku. Bahkan ketika ingin melihat laut.
Ketika aku mengamati Jogja aku
melihat kemewahan yang ditelantarkan begitu saja. Dan itu sangatlah jelas
ketika memasuki ruang demi ruang dan tempat demi tempat. Tidakkah harusnya
banyak yang heran, terlebih mereka yang tinggal di Jogja, bahwa kota yang
nyaris memiliki hampir semuanya itu, yang jelas tak dimiliki oleh hampir semua
kota di Indonesia, nyaris sedikit menghasilkan sesuatu. Itulah kekalahan kota
ini. Dan itu sangat terasa ketika kota pelajar tak lagi menyukai buku. Sebuah
kota yang mahasiswa dan pelajar sekolahnya lebih suka pergi ke cafe-cafe, mall,
dan berbagai macam hiburan lainnya. Buku hanya disukai oleh oleh yang tak
begitu waras atau sedikit gila. Tidakkah itu menyedihkan? Seniwan, sastrawan,
penyair, atau ilmuwan yang ada di kota ini, tak sebanding dengan kemewahan dan
kemudahan kota yang harusnya melahirkan banyak jenius besar di masa yang damai.
Apa yang salah dengan Jogja? Di
manakah ribuan, jutaan pelajar dan mahasiswanya? Aku tak tahu. Mungkin banyak
dari mereka lupa memiliki malu. Lebih bangga menjadi pengikut dan konsumen. Dan
jelas, Jogja bukanlah tempat untuk para intelektual yang sesungguhnya hidup.
Kota ini diciptakan untuk pencipta atau orang yang berkarya untuk kedamaian.
Bukan untuk kebaruan. Sedikit orang yang berani keluar garis bahkan
menghancurkan lingkaran. Sangat sedikit orang yang berani memegang prinsip atau
kebenaran. Atau berani gila untuk mencapai sesuatu yang lain.
Hampir setiap waktu aku
membaca di perpustakaan kota atau menikmati suasana perpustakaan baru, Graha
Tama Pustaka di jalan Janti, dekat JEC. Sangat sering memasuki gramedia, Toga
Mas, dan mengobrak-abrik Yusuf Agency yang terletak di dekat UIN. Dan lapak
buku yang ada di Shooping seolah-olah tak asing dengan keberadaan diriku ini.
Selama ini, aku nyaris tak pernah meminjam satu buku pun dari perpustakaan. Aku
selalu membaca bukuku sendiri. Menikmatinya. Menggarisbawahinya jika ada hal
yang bagiku penting. Untuk apa meminjam buku jika aku bisa membelinya dengan
cukup murah di kota ini? dan sangat mudah untuk membangun perpustakaan pribadi
dalam waktu yang cukup singkat. Banyaknya orang yang lebih suka meminjam buku
kadang membuatku berpikir bahwa banyak anak muda yang hidup di kota ini tak
terlalu menganggap buku penting bagi dirinya sendiri. Baiklah, untuk buku-buku
langka dan susah dicari atau mereka yang uangnya pas-pasan, hal semacam itu
sedikit wajar. Tapi yang jelas, sesusah apapun diriku, aku lebih suka membeli
buku dan membacanya di berbagai tempat yang aku suka. Aku pun bisa
menikmatinya. Tak perlu terburu-buru oleh waktu yang mendesakku untuk
mengembalikan apa yang telah aku pinjam. Dan ketika aku butuh, aku bisa menbuka
dan membacanya kembali.
Sejujurnya cukup mudah
mencariku atau menemukanku. Bahkan akan sangat mudah untuk menebak bahwa
seseorang itu adalah aku. Mungkin, aku adalah salah satu orang yang mencoba
mempopulerkan membaca buku di ruang-ruang publik. Di manapun aku berada.
Aku sangat menikmati membaca
buku ketika sedang menunggu acara dimulai. Entah itu di Kedai Kebun, Langgeng
Art Foundation, Bentara Budaya, Institut Francais Indonesia, PKKH UGM dan
berbagai macam ruang dan tempat kesenian. Tentunya, di tengah para seniman yang
juga jarang terlihat membawa buku di tangannya.
Aku juga sangat menikmati
ketika sedang membaca buku di suatu tempat umum, sehabis mengayuh sepeda.
Menunggu bus datang di halte Trans Jogja. Dan yang sangat aku sukai adalah
ketika membaca sambil berdiri di dalam bus. Walau seringkali busnya sangat
penuh sesak dan rem terinjak mendadak. Membaca buku sambil berdiri di dalam bus
adalah pengalaman yang paling membuatku terasa nyaman. Aku pun memiliki
kebiasaan unik tersendiri. Aku sangat suka membaca sambil makan ketika berada
di warung, angkringan, restoran maupun cafe. Dan di mana pun aku berada, aku
hampir selalu membawa buku dan membacanya. Sedangkan di Jogja sendiri, sangat
sedikit terlihat sesosok orang yang sedang membaca buku di berbagai macam ruang
publik kecuali di perpustakaan atau kampus. Itulah kenapa, kemungkinan besar
aku akan sangat mudah dikenali.
Bisa dibilang, aku sangat
menyukai buku dan mencintainya. Sebagai seorang nihilis, buku sangatlah berarti
banyak bagiku. Dan banyak buku yang sudah aku baca, hampir tak terhitung dari
berbagai macam genre bacaan. Dan, ketika aku sedang melakukan perjalanan di
dalam atau luar kota, buku akan selalu menjadi temanku yang paling berharga.
Tanpa pengetahuan, perjalanan hanyalah sekedar ulangan yang percuma.
Di Semarang, aku sangat suka
menikmati membaca buku-bukuku di sepanjang jalan Pahlawan dan Simpang Lima. Aku
juga sering keasyikan membaca di salah satu tempat makan di dekat Undip. Nyaris
terlalu sering berkeliaran di Gramedia Pandanaran atau Pemuda. Atau
menikmatinya lembar demi lembar di sekitar tambak Kaligawe bahkan di
pinggir-pinggir jalan lainnya. Banjir Kanal Barat juga menyenangkan untuk
dijadikan tempat membaca dan melepas lelah pikiran juga hati. Kantin Unisusula
adalah salah satu tempat yang paling aku gemari untuk membaca. Aku bisa sangat
lama di situ. Menghabiskan lembar demi lembar sambil menikmati makanan serta
keramaian yang ada. Selain itu, Unnes dan Undip adalah dua tempat yang juga
layak untuk dijadikan sebagai tempat untuk menghabiskan buku dan bacaan.
Walaupun gairah membaca orang-orang di dalamnya sangatlah minim.
Semarang adalah salah satu
kota panas yang membuat kegiatan membaca sangat melelahkan. Gairah membaca dan
ruang intelektualnya pun sangat minim. Sebuah kota yang sangat gersang dan
hanya dinikmati untuk bersenang-senang. Tapi, sangat banyak kenangan dengan
buku-buku di kota itu. Seperti ketika aku sangat antusias memasuki lapak buku
di pasar Johar dan mencari buku-buku di sekitar Stadion Diponegoro. Beberapa
kali aku tertarik ke perpustakaan daerah kota Semarang. Tapi yang jelas,
Semarang bukan kota yang menarik jika perihal buku. Membeli buku bisa sangat
mahal. Akhirnya sering lari ke Toga Mas. Dan sangat sering uang habis di
Gramedia atau Gunung Agung di Citra Mall karena tak ada kemungkinan lainnya
untuk mendapatkan buku. Itulah kenapa, Jogja adalah surga bagi pencinta dan maniak
buku.
Ketika sedang berada di
Bandung, aku lebih sangat suka untuk menyempatkan diri hingga berjam-jam di
Gramedia yang terletak di jalan Merdeka. Gramedia yang cukup besar dengan
pengunjung yang hampir sebanding dengan Gramedia Pandanaran yang ada di
Semarang. Di Jogja, Gramedianya terasa kecil dan sepi. Entah kenapa, ketika
masuk di Gramedia Merdeka, ada perasaan nyaman ketika melihat tata ruang dan
cukup banyaknya buku-buku yang ada di berbagai lantai. Aku juga sangat suka
ketiika membaca di Alun-alun yang persis berada di depan Masjid Raya. Membaca
menghadap arah Barat di deretan kursi-kursi yang di cat merah yang terkadang
terlihat sangat elegan dari kejauhan. Sambil mengamati keramaian yang jarang
ada di berbagai macam jenis alun-alun ketika pagi atau malam. Tentunya, aku
kadang menyempatkan membaca di pinggir jalan Asia Afrika dan Braga. Di salah
satu kursi yang ada di sepanjang jalan itu, membaca di sekitar tempat itu,
sungguh menyenangkan. Sayangnya aku tak sempat untuk menikmati buku-buku di
Palasari.
Dan entah kenapa, aku sangat
nyaman di persewaan komik dan buku yang terletak di jalan Banda; Pitimoss Fun
Library. Dari siang aku berada di situ. Melahap berbagai macam komik hingga
malam menjelang. Bandung adalah salah satu kota yang cukup nyaman untuk memikirkan
sesuatu dan tentunya membaca. Aku akan bilang, Bandung adalah kota kedua yang
ingin aku tinggali setelah Jogja. Kota yang cukup pantas untuk aku tempati dan
memikirkan banyak hal dalam beberapa waktu. Dan suatu saat nanti, aku ingin
membaca di berbagai macam pantai di Bali dan berbagai macam tempat di dalamnya.
Sayang, aku belum pernah ke sana. Walaupun begitu, Bandung adalah kota yang
masih tak layak untuk ditinggali dalam waktu yang lama. Haya ada sedikit yang
menggembirakan di sana bagi seorang macam aku. Jika Jogja membosankan bagiku.
Bandung akan menjadi tempat yang sangat membosankan kecuali hanya sekedar untuk
hidup di dalamnya. Dalam banyak hal, Bandung tak seramai dan seaktif Jogja;
dari segi intelektual, budaya dan lainnya. Bandung telah ditetapkan sebagai
salah satu kota kreatif dunia oleh UNESCO. Tapi, setelah aku memasukinya, aku
kecewa. Dan apa yang dirasakan oleh Andre Vltchek pun mungkin sama dengan yang
aku rasakan ketika ia mengkritik tajam kota yang terlalu banyak pusat
perbelanjaan atau mall itu. Bahkan untuk mencari warnet dan angkutan pun sangat
susah. Masih banyak sampah di sana-sini walau kota itu seolah terlihat bersih.
Aku akui, jika menyangkut kebersihan, Jogja adalah kota terburuk di banding
lainnya. Terlebih Bandung yang terlihat rapi dari mulai alun-alun hingga Dago
atas. Aku cukup menikmati membaca di kota itu.
Ketika berada di Bogor, tempat
yang paling nyaman dan sangat menyenangkan untuk membaca adalah di Kebun Raya
Bogor. Aku bisa membaca sambil tiduran di kursi kayu yang tersedia di dalamnya.
Sambil mendongakkan mata menembus celah di antara kanopi pohon-pohon yang
tumbuh menjulang. Mendengarkan berbagai macam kicau burung yang sangat membius
dan menenangkan hati. Sebuah tempat kedua paling nyaman di antara pepohonan dan
kicau burung setelah Unissula Semarang. Atau, aku rebahkan diriku di lantai
tanah dengan daun kering yang berserakan, diapit oleh berbagai jenis pohon yang
sangat mengagumkan. Sayang, seperti banyak kebiasaan pejabat dan masyarakat
pada umumnya. Kebun raya itu tak terawat dengan baik dan banyak sampah di
sana-sini. Di berbagai macam candi, tempat wisata, kebun binatang, pantai dan
banyak lainnya, sampah selalu ada di mana-mana. Itulah Indonesia. Bahkan, di
kebun Raya Bogor, aku sempat menemukan satu jenis baru spesies tanaman yang
memiliki buah lonjong plastik bernama Fanta. Sungguh mengagumkan.
Solo juga tempat yang cukup
nyaman untuk digunakan membaca. Walau aku tak pernah membaca terlalu lama di
kota itu karena aku hampir tak memiliki banyak waktu ketika berada di dalamnya.
Sedangkan Pekalongan, sangat menyenangkan ketika membaca di angkotan kota.
Purwodadi, tempat yang paling asyik dan sangat menenangkan terletak di Simpang
Lima. Sayangnya aku belum pernah menyempatkan diri membaca buku ketika berada di
Batang, Salatiga, Magelang, Kendal, Kudus, Demak, Jepara, Pati dan Rembang.
Begitu juga ketika di Malang dan Surabaya. Walau pernah memasuki tempat-tempat
itu, aku belum pernah menikmati suasana membaca di dalamnya. Kelak, aku ingin
mendapatkan kesan membaca di berbagai macam kota di Indonesia; terlebih Jawa.
Dan aku sangat ingin tahu akan gairah membaca di kota-kota yang tersebar di
pulau Jawa dan Indonesia.
Jakarta, mungkin yang paling
membuatku betah hanyalah perpustakaan milik Freedom Institute. Perpustakaan
yang sangat nyaman dengan buku-buku yang mempesona. Beberapa hari aku habiskan
di perpustakaan itu dan aku benar-benar terbuai ketika berada di dalamnya.
Itulah tempat ternyaman dan elegan ketika aku sedang membaca buku. Perpustakaan
terbagus yang pernah aku masuki di beberapa kota yang ada. aku pun bisa membaca
buku-buku yang sangat susah aku cari, dari mulai karya Nietzsche, Richard
Dawkins, Lomborg dan lainnya. Sedang toko buku terbesar di Asia Tenggara, yaitu
Gramedia yang terletak di jalan Matraman, sangatlah mengecewakan, sepi, dan tak
menyenangkan. Aku sangat tak puas berada di dalamnya. Sedangkan ketika berada
di perpustakaan Nasional, aku bagaikan berada di dalam tanah pekuburan.
Sangatlah sepi. Dan cara meminjamnya pun sangat menyebalkan.
Jika perpustakaan Nasional
saja sangat buruk dan mengecewakan, bagaimana dengan wajah perpustakaan lainnya
di berbagai daerah terlebih bagaimana dengan warganya?
Menuju jakarta, membaca bisa
sangat menarik ketika berada di kereta yang bertolak dari Bogor. Jakarta
sendiri, kota yang nyaris tak menyenangkan untuk mengembangkan ide dan
pemikiran bahkan inovasi. Angkutan umum yang mengerikan. Kota yang sangat
panas. Dan sangat membosankan. Kota Tua mungkin bisa sedikit menghibur. Tapi
terlihat tak begitu elegan dan istimewa. Kota tua adalah kemegahan kolonial
masa lalu yang rusak di sana-sini. Mirip dengan kota tua semarang yang terlihat
berantakan. Tak terurus dengan baik. Yang aku lihat pada waktu itu hanyalah
pengunjung asing yang sedang membuka buku-mungkin Lonely Planet-untuk mencari
tahu sejarah Jakarta. Sedang orang yang berada nyaris di dalamnya hampir setiap
waktu, tak sedikit pun terlihat memegang buku. Walau ada satu dua orang di
sekitar cafe kota lama dan Trans Jakarta. Tapi sangat tak sebanding.
Memasuki berbagai macam kota,
melihat dan mengamati sekitar, mencari para pesepeda dan pembaca buku, sambil
membaca buku di berbagai macam tempat di dalamnya, adalah suatu pengalaman yang
ingin aku nikmati lagi dan tentunya aku teruskan ke kota-kota lainnya.
Entah di dalam bus atau kereta api, di halte, stasiun atau
pun terminal, aku selalu menyempatkan diri membuka bukuku. Kadang, aku
menemukan satu dua orang yang membaca di tengah ratusan atau bahkan ribuan
orang yang hilir mudik. Secara keseluruhan, seperti sangat jelas dari banyak
penelitian mengenai negara ini, membaca buku masihlah sangat rendah dan membaca
buku di tempat umum masih terkesan memalukan. Karena membaca buku di sebuah
negara seperti Indonesia berkaitan erat dengan mental, psikologis, budaya, gaya
hidup serta filosofi diri. Kita bisa melihat itu semua dari sedikitnya buku
yang ada di jalan-jalan dan ruang publik bahwa masyarakat di negara ini,
belumlah siap untuk menjadi penemau dan pencipta. Lebih banyak yang menyukai
menjadi konsumen dan pengikut buta.
Di masa yang damai semacam
ini, sangatlah mengherankan melihat banyak orang menyia-nyiakan berlimpahnya
buku yang ada. Suatu saat nanti, mungkin akan banyak buku yang disensor,
dibakar, atau dilarang terbit. Dan banyak buku yang hari ini aku baca, tentunya
banyak orang baca dan dijadikan rujukan untuk bidang akademis maupun kehidupan,
lahir dari orang-orang yang dulunya hidupnya tak mudah, terancam, terusir
bahkan mati dibakar. Sedang banyak dari orang hari ini, sama sekali tak begitu
menghargai setiap buku yang ada, yang telah menjadi diri kita selama
bertahun-tahun hingga sekarang. Kelak akan ada masanya masyarakat negara ini
akan sangat menyesal. Sungguh-sungguh sangat menyesal.
Aku selalu teringat dengan
kata-kata Walter Isaason dalam bukunya The
Innovators, bahwa “hal terakhir yang membuat saya terkesan ialah betapa
kreativitas sejati pada era digital dicetuskan oleh orang-orang yang mampu
menghubungkan seni dan sains. Mereka meyakini keindahan itu penting.” Sama
halnya dengan salah satu buku yang mempesona dari David Brooks, Bobos In Paradise, “kekuatan budaya abad
informasi telah menciptakan orang-orang bisnis yang mengidentifikasi diri
mereka sebagai semi-seniman dan semi-intelektual, sekarang intelektual tampak
lebih seperti orang-orang bisnis. Kita sekarang menggunakan isttilah-istilah
seperti “pasar ide-ide”, “hak milik intelektual”, dan “ekonomi perhatian” untuk
membaurkan dunia pemikiran dengan dunia pasar. Kaum intelektual telah melihat
perincian pekerjaan mereka mengalami transformasi. Mereka, yang dulu begitu
jauh, sekarang berbaur dengan semua elite terdidik, sehingga melahirkan jenis
intelektual baru bagi abad baru Bobo (borjuis bohemian).” Pada dasarnya, kita
harus melihat perubahan yang datang dan tentunya berubah. Ketika nyaris semua
hal menerobos masuk ke dalam diri kita, yang sehari-hari duduk sebagai orang
yang menerima dan menggunakan hasil dari olah pikir dan ciptaan orang lain yang
terbilang terletak jauh dari diri kita.
Mengembara dengan buku-buku, menikmatinya,
sambil melihat wajah kota beserta geliat di dalamnya, dan memikirkan banyak hal
lainnya, menjadi sesuatu yang sangat erat dengan diriku sebagai ideapacker dan
filsuf. Berjalan adalah menemukan dan mencari sesuatu lalu setelah itu
menciptakan sesuatu yang lain. Itulah yang aku yakini. Berpikir dalam cara
pandang yang berbeda dan memberikan hal yang baru yang mungkin tak terpikirkan.
Berjalan menikmati keindahan dan juga berpikir akan banyak hal. Itulah yang
mulai sekarang harus kita lakukan.
Selain kota demi kota, aku
juga seperti hampir tak melihat para pendaki gunung, pencinta alam, dan mereka
yang sering memasuki alam membawa bukunya di sana. Di hampir semua foto
mengenai petualangan alam, hampir tak aku temukan sama sekali buku di dalamnya.
Apakah buku juga sangat dihindari bagi mereka yang katanya mencintai alam? Dan
anehnya, dengan banyaknya pencinta alam dan pendaki gunung, sangat banyak
hutan, sungai dan lainnya semakin habis. Apakah selama ini kita berjalan ke
sana-kemari, hanya sekedar berjalan dan untuk diri sendiri?
Di sebuah negara yang nyaris
tak menghargai orang pintar, idealis bahkan jenius ini, aku sangat mengagumi
apa yang pernah ditulis oleh Apple dalam slogan produknya yang berjudul “Think
Different” pada tahun 1997, yang banyak ditulis dan dipengaruhi oleh Steve
Jobs:
Bersulang
untuk mereka yang gila. Lain. Tukang berontak. Biang onar. Aneh sendiri. Yang
berpandangan beda. Yang tidak suka aturan. Yang antikemapanan. Silahkan contoh
mereka, bantah mereka, puji atau cari mereka. Tapi jangan abaikan mereka.
Karena merekalah agen perubahahan. Merekalah yang memajukan umat manusia. Meski
kata orang mereka gila, geniuslah yang kami lihat. Karena si gila yang yakin
bisa mengubah dunia ... bisa mengubah apa saja.
Dan mari kita berjalan,
mengembara ke berbagai tempat, dengan buku di tangan, pikiran yang terbuka dan
keingintahuan yang bagai tak ada habisnya. Kelak, mungkin ada dunia yang akan
kita temukan atau suatu hal besar yang akan menunggu untuk kita temukan.
Aku masih sering malu ketika
membaca The Malay Archipelago karya
Aflred Russel Wallace. Dan aku juga terasa terpukul jika membolak-balikkan buku
Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari
Andrew Goss, Flora Pegunungan Jawa
yang ditulis oleh C.G.G.J. van Steenis, A
Photographic Guide to the Birds of Indonesia karangan Morten Strange, dan
tentunya aku sangat miris jika melihat buku tebal dari Tony Whitten dkk yang
berjudul The Ecology of Java and Bali.
Banyak buku lainnya yang dikarang oleh orang luar di tengah banyaknya orang
yang menganggap diri pencinta alam dan backpacker. Dari buku kumpulan
perjalanan jawa, Jawa Tempo Doeloe
yang disusun oleh James R. Rush hingga Jakarta; Sejarah 400 tahun dari Susan Blackburn. Dan diponegoro pun akhirnya
ditulis oleh seorang Peter Carey dalam Kuasa
Ramalan dan Takdir. Carey,
mengutip Reid, menyebutkan bahwa “90 persen karya ilmiah tentang Indonesia
justru disusun oleh mereka yang tinggal di luar Indonesia, yang sebagian besar
tentunya adalah orang asing. Jika angka ini benar, maka indonesia merupakan
salah satu negara di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya
sendiri pada dunia luar.” Apa yang dikatakan Peter Carey itu sangatlah benar.
Cukup melihat geliat membaca di jalanan, tempat terbuka dan pegunungan, kita
hanyalah sekedar konseumen yang sedang berjalan kesana-kemari.
Berjalan tidak hanya sekedar
berpindah tempat dan membekukannya dalam foto yang bersuara sebagian. Berjalan
adalah di mana kita membuka buku hidup kita yang baru. Kehidupan adalah buku yang
harus kita baca dan cerna. Membaca diri sendiri dan sekitar. Memahaminya.
Menuliskanya. Atau mencoba untuk memberikan sesuatu pemahaman yang lain. Tidak
hanya sekedar mengabadikannya dengan kamera. Banyaknya para pengembara,
petualang, pencinta alam, dan diikuti dengan tanpa keinginan membaca berbagai
macam ilmu pengetahuan lebih dalam dan mencari sesuatu yang belum dicari atau
menceritakan dunia yang kita lewati dengan lebih detail dan sudut pandang baru,
adalah hal yang kelak harus diisi oleh ideapacker.
Entah sudah berapa banyak rasa
letih, uang dan mungkin kepuasaan yang kita alami saat kita berjalan dari satu
tempat ke tempat lainnya. Tapi pada akhirnya, kita pun hanya sekedar buruh yang
sedang berwisata. Seorang konsumen seumur hidup yang semua perlengkapan kita
dibeli dari merek asing. Kalau begitu, perjalanan adalah sekedar melepas sakit,
lelah, hampa, untuk sekedar kembali menjadi buruh, dikendalikan, diatur, dan
diceramahi. Bahkan buku yang kita pegang, dan pemikiran yang ada di dalam otak
kita, sejak dari sekolah, adalah hasil dari orang lain. Mereka yang seringkali
kita sebut dengan orang luar.
Pada akhirnya kita asing
dengan diri kita sendiri. Kita asing dengan sekitar. Dan kita bagai mengembara
di tanah dan air yang tak kita ketahui. Dan tanpa sebuah buku, kebutaan itu
semakin membuat generasi kita tak tahu dengan pasti untuk alasan apa kehidupan
ini harus dijalani.
Jawa, dan Indonesia adalah
rumah yang samar-samar. Dan perjalananku, hanya menegaskan ketidaktahuanku
nyaris terhadap apapun yang telah aku lewati. Karena itulah, buku selalu ada
menemani perjalananku. Mengisi sedikit kekosongan dan banyaknya ketidaktahuan
yang membuat aku terkadang sedih dan frustasi.
Jogjakarta
Selasa 13 februari 2016
02:16
Langganan:
Postingan (Atom)