Minggu, 14 Februari 2016

KOTA, BUKU, DAN PERJALANAN










Hidup kekurangajaran!
-Albert Einstein
 Dalam buku Einstein karya Walter Isaacson

Buku-buku menarik hati saya karena merekalah teman satu-satunya. Saya tidak tahu apakah saya bahagia atau tidak waktu itu; tapi setidaknya saya tahu bahwa begitu saya membalik setiap halamannya yang menawan, saya pun lupa akan rasa lapar dan derita, dan itu menyelamatkan saya dari kebencian dan ketakutan. begitu saya membaca, saya melupakan kesepian mengerikan di mana jam demi jam saya tidak bertemu siaa-siapa atau melakukan apa-apa.
-Fernando Baez
Penghancuran Buku dari Masa ke Masa

Aku mulai banyak sekali mendengarkan musik. Aku juga mulai banyak membaca buku di luar buku ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya saja karya Shakespeare maupun Plato. Aku sangat menyukai King Lear.
-Steve Jobs (pendiri Apple)
 Dalam buku Steve Jobs karya Walter Isaacson

Para pemikir hebat hidup menyerempet bahaya. Sokrates dipaksa minum racun cemara; Protagoras menyaksikan bukunya dibakar di Athena; Demokritus harus mencukil matanya, seperti Oedipus, hanya untuk bisa berpikir; Plato nyaris dibunuh; Aristoteles harus melarikan diri ke Chalchis karena dituduh murtad. Teolog Pierre Abelard tidak lolos dari kutukan ini: ia harus menanggung derita pengebirian atas cinta terlarangnya dengan Heloise.
-Fernando Baez
 Penghancuran Buku dari Masa ke Masa





Perjalanan tanpa sebuah buku adalah perjalanan yang hampa. Seperti pepatah kuno Islandia, lebih baik berjalan telanjang kaki daripada tanpa buku.” Dan bagiku, hidup tanpa buku nyaris seperti ketidakmungkinan. Dan kemanapun aku pergi dan apapun yang hampir terjadi pada diriku, buku selalu menemani perjalananku. Entah dalam sedikit kebahagiaan atau saat tenggelam dalam dasar kegelapan yang paling pekat. Buku adalah hidup. Buku-buku adalah obat dari kesepianku yang nyaris tak biasa diobati oleh siapapun.

Buku-buku telah menyelamatkanku dari banyak hal; kesedihan. Kesepian. Putus asa. Perasaan marah. Kebencian yang sangat liar. Ketidakmenentuan. Kebosanan akut. Kesendirian. Bahkan perasaan ingin mati. Di dalam dunianyalah aku membangun rumah untuk berdiam. Saat dunia tak lagi memiliki arah, kacau dan berantakan. Buku-buku mampu mengurani rasa sakit yang sulit untuk aku jelaskan. Tanpa sebuah buku, aku tak tahu apakah aku masih ingin melanjutkan hidup. Buku adalah penemuan yang paling mengagumkan yang mungkin telah menyelamatkan banyak jiwa yang tersesat. Buku adalah nafas waktu yang diperpanjang.

Aku pun akan membawa buku kemanapun aku pergi. Dari kota satu ke kota lainnya. Dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan seringkali sangat mengiris hati, ketika aku berpindah dari satu kota ke kota lainnya, sedikit sekali aku melihat orang-orang yang membawa buku di tangannya. Seolah-olah buku adalah aib atau hal yang tak penting bagi kehidupan mereka.





Di Jogja, aku sangat menyukai membaca di sekitar perempatan 0 km, tepat di sebelah lampu merah. Atau di kursi-kursi sepanjang jalan itu. Sambil mengamati kota yang berjalan, aku melahap lembar demi lembar. Seolah-olah, segala perasaan sepi seketika lenyap atau tak lagi terlalu menyakitkan.

Di kota Jogja yang memiliki banyak toko buku, ruang kesenian, dan universitas, buku seolah hanya boleh ada di perpustakaan atau kamar pribadi. Nyaris aku hampir tak pernah melihat seorang yang memegang buku, entah di pinggir jalanan, bus, cafe, galeri dan acara seni, atau di manapun. Ketika membaca buku, aku juga mengamati orang-orang di sekitarku. Jumlah motor dan mobil yang lebih besar daripada jumlah sepeda yang lewat permenitnya. Pengemis, pengamen, dan gelandangan yang jumlahnya cukup banyak. Atau tatapan mata yang heran ketika melihat aku yang sedang asyik membaca lembar dari buku yang ada di tanganku. Kadang, aku bagaikan orang dari angkasa luar yang jatuh di kota ini. Seorang yang membaca buku di pinggir jalanan, berbagai macam ruang publik, seolah-olah makhluk asing yang dianggap aneh atau dikagumi dengan tatapan yang berbinar.

Jika pikiranku sedang kelelahan dan dunia seolah bagaikan seperti omong kosong. Selain di pinggir jalan 0 km, aku menikmati membaca di pinggir jalan sekitar Tugu, bundaran dan lapangan UGM, atau sekitar alun-alun kidul di bawah pohon di sisi barat. Aku menikmati suasana membaca di tempat terbuka. Mendengarkan musik sambil membaca dan sesekali mata mengamati sekitar; sebuah kota yang berubah dengan cepat. Seperti yang dikatakan oleh Eric Weiner dalam The Geography of Bliss, bahwa “kebanyakan kota lebih besar dari yang diperlukan. Lebih dari suatu titik tertentu, masalah kehidupan urban mulai lebih banyak daripada manfaatnya.” Dan Jogja nyaris seperti itu. Dan hampir semua kota besar lainnya di negara ini.

Membaca buku, di sekitar Graha Sabha Pramana UGM, sewaktu sore merayap, saat langit menampilkan bercak warna yang bergonta-ganti, seakan-akan menyaksikan suatu pemandangan yang tak bisa dijelaskan dengan mudah. Imajinasi akan berkeliaran. Awan-awan yang bergumpal dan membentuk berbagai macam hal dipikiran. Warna lazuardi yang sangat luas diselingi berbagai macam burung yang lewat. Dan sesekali pesawat terbang yang tampak kecil membelah cakrawala. Bahkan alam seringkali melebihi karya seni paling indah sekalipun. Seolah mengungguli karya para impresionis dan ekspresionis dunia. Di tempat itulah, seringkali aku membaca halaman demi halaman diiringi rasa takjub. Seorang laki-laki, yang mengagumi alam di sekitarnya, dengan buku ada di tangan, di tengah-tengah banyak orang yang selesai berolah raga atau masih sibuk mengelilingi lapangan di kejauhan. Dan di tempat itu pun, nyaris tak ada seorang pun yang memegang sebuah buku. Seringkali, aku asyik dengan dunia lamunku, dan meninggalkan latar belakang yang tak pernah ada yang mirip dengan diriku. Aku akan menikmati buku-bukuku sendiri di alam terbuka jika takku temukan orang-orang yang juga menikmatinya.





Seandainya kesepian sangat menumpuk dan nyaris tak bisa aku atasi, aku pergi ke laut. Parang Tritislah yang hampir selalu aku datangi. Membaca di hadapan ombak yang bergemuruh. Menikmati halus pasir di kaki, suara angin dan sentuhannya di seluruh kulit tubuhku. Membaca menghadap laut yang luas dan langit yang bagai tak terbatas sangatlah mampu menenangkan diriku. Kadang, aku bagaikan melihat lukisan alam yang mengagumkan. Atau seolah-olah Vang Gogh atau Monet ada di situ. Sambil menuliskan catatan perjalanan, puisi, atau perenunganku akan dunia. Aku membawa bukuku untuk melihat suasa di sekitar yang penuh dengan orang-orang yang sibuk memercikkan air, membuang sampah di pasir, berlarian kesana-kemari, dan mencipakan keramaian yang seolah bagaikan hanya sekedar ulangan. Tanpa buku, perjalanan terasa kurang bagiku. Bahkan ketika ingin melihat laut.

Ketika aku mengamati Jogja aku melihat kemewahan yang ditelantarkan begitu saja. Dan itu sangatlah jelas ketika memasuki ruang demi ruang dan tempat demi tempat. Tidakkah harusnya banyak yang heran, terlebih mereka yang tinggal di Jogja, bahwa kota yang nyaris memiliki hampir semuanya itu, yang jelas tak dimiliki oleh hampir semua kota di Indonesia, nyaris sedikit menghasilkan sesuatu. Itulah kekalahan kota ini. Dan itu sangat terasa ketika kota pelajar tak lagi menyukai buku. Sebuah kota yang mahasiswa dan pelajar sekolahnya lebih suka pergi ke cafe-cafe, mall, dan berbagai macam hiburan lainnya. Buku hanya disukai oleh oleh yang tak begitu waras atau sedikit gila. Tidakkah itu menyedihkan? Seniwan, sastrawan, penyair, atau ilmuwan yang ada di kota ini, tak sebanding dengan kemewahan dan kemudahan kota yang harusnya melahirkan banyak jenius besar di masa yang damai.

Apa yang salah dengan Jogja? Di manakah ribuan, jutaan pelajar dan mahasiswanya? Aku tak tahu. Mungkin banyak dari mereka lupa memiliki malu. Lebih bangga menjadi pengikut dan konsumen. Dan jelas, Jogja bukanlah tempat untuk para intelektual yang sesungguhnya hidup. Kota ini diciptakan untuk pencipta atau orang yang berkarya untuk kedamaian. Bukan untuk kebaruan. Sedikit orang yang berani keluar garis bahkan menghancurkan lingkaran. Sangat sedikit orang yang berani memegang prinsip atau kebenaran. Atau berani gila untuk mencapai sesuatu yang lain.

Hampir setiap waktu aku membaca di perpustakaan kota atau menikmati suasana perpustakaan baru, Graha Tama Pustaka di jalan Janti, dekat JEC. Sangat sering memasuki gramedia, Toga Mas, dan mengobrak-abrik Yusuf Agency yang terletak di dekat UIN. Dan lapak buku yang ada di Shooping seolah-olah tak asing dengan keberadaan diriku ini. Selama ini, aku nyaris tak pernah meminjam satu buku pun dari perpustakaan. Aku selalu membaca bukuku sendiri. Menikmatinya. Menggarisbawahinya jika ada hal yang bagiku penting. Untuk apa meminjam buku jika aku bisa membelinya dengan cukup murah di kota ini? dan sangat mudah untuk membangun perpustakaan pribadi dalam waktu yang cukup singkat. Banyaknya orang yang lebih suka meminjam buku kadang membuatku berpikir bahwa banyak anak muda yang hidup di kota ini tak terlalu menganggap buku penting bagi dirinya sendiri. Baiklah, untuk buku-buku langka dan susah dicari atau mereka yang uangnya pas-pasan, hal semacam itu sedikit wajar. Tapi yang jelas, sesusah apapun diriku, aku lebih suka membeli buku dan membacanya di berbagai tempat yang aku suka. Aku pun bisa menikmatinya. Tak perlu terburu-buru oleh waktu yang mendesakku untuk mengembalikan apa yang telah aku pinjam. Dan ketika aku butuh, aku bisa menbuka dan membacanya kembali.

Sejujurnya cukup mudah mencariku atau menemukanku. Bahkan akan sangat mudah untuk menebak bahwa seseorang itu adalah aku. Mungkin, aku adalah salah satu orang yang mencoba mempopulerkan membaca buku di ruang-ruang publik. Di manapun aku berada.






Aku sangat menikmati membaca buku ketika sedang menunggu acara dimulai. Entah itu di Kedai Kebun, Langgeng Art Foundation, Bentara Budaya, Institut Francais Indonesia, PKKH UGM dan berbagai macam ruang dan tempat kesenian. Tentunya, di tengah para seniman yang juga jarang terlihat membawa buku di tangannya.

Aku juga sangat menikmati ketika sedang membaca buku di suatu tempat umum, sehabis mengayuh sepeda. Menunggu bus datang di halte Trans Jogja. Dan yang sangat aku sukai adalah ketika membaca sambil berdiri di dalam bus. Walau seringkali busnya sangat penuh sesak dan rem terinjak mendadak. Membaca buku sambil berdiri di dalam bus adalah pengalaman yang paling membuatku terasa nyaman. Aku pun memiliki kebiasaan unik tersendiri. Aku sangat suka membaca sambil makan ketika berada di warung, angkringan, restoran maupun cafe. Dan di mana pun aku berada, aku hampir selalu membawa buku dan membacanya. Sedangkan di Jogja sendiri, sangat sedikit terlihat sesosok orang yang sedang membaca buku di berbagai macam ruang publik kecuali di perpustakaan atau kampus. Itulah kenapa, kemungkinan besar aku akan sangat mudah dikenali.

Bisa dibilang, aku sangat menyukai buku dan mencintainya. Sebagai seorang nihilis, buku sangatlah berarti banyak bagiku. Dan banyak buku yang sudah aku baca, hampir tak terhitung dari berbagai macam genre bacaan. Dan, ketika aku sedang melakukan perjalanan di dalam atau luar kota, buku akan selalu menjadi temanku yang paling berharga. Tanpa pengetahuan, perjalanan hanyalah sekedar ulangan yang percuma.

Di Semarang, aku sangat suka menikmati membaca buku-bukuku di sepanjang jalan Pahlawan dan Simpang Lima. Aku juga sering keasyikan membaca di salah satu tempat makan di dekat Undip. Nyaris terlalu sering berkeliaran di Gramedia Pandanaran atau Pemuda. Atau menikmatinya lembar demi lembar di sekitar tambak Kaligawe bahkan di pinggir-pinggir jalan lainnya. Banjir Kanal Barat juga menyenangkan untuk dijadikan tempat membaca dan melepas lelah pikiran juga hati. Kantin Unisusula adalah salah satu tempat yang paling aku gemari untuk membaca. Aku bisa sangat lama di situ. Menghabiskan lembar demi lembar sambil menikmati makanan serta keramaian yang ada. Selain itu, Unnes dan Undip adalah dua tempat yang juga layak untuk dijadikan sebagai tempat untuk menghabiskan buku dan bacaan. Walaupun gairah membaca orang-orang di dalamnya sangatlah minim.

Semarang adalah salah satu kota panas yang membuat kegiatan membaca sangat melelahkan. Gairah membaca dan ruang intelektualnya pun sangat minim. Sebuah kota yang sangat gersang dan hanya dinikmati untuk bersenang-senang. Tapi, sangat banyak kenangan dengan buku-buku di kota itu. Seperti ketika aku sangat antusias memasuki lapak buku di pasar Johar dan mencari buku-buku di sekitar Stadion Diponegoro. Beberapa kali aku tertarik ke perpustakaan daerah kota Semarang. Tapi yang jelas, Semarang bukan kota yang menarik jika perihal buku. Membeli buku bisa sangat mahal. Akhirnya sering lari ke Toga Mas. Dan sangat sering uang habis di Gramedia atau Gunung Agung di Citra Mall karena tak ada kemungkinan lainnya untuk mendapatkan buku. Itulah kenapa, Jogja adalah surga bagi pencinta dan maniak buku.
 
Ketika sedang berada di Bandung, aku lebih sangat suka untuk menyempatkan diri hingga berjam-jam di Gramedia yang terletak di jalan Merdeka. Gramedia yang cukup besar dengan pengunjung yang hampir sebanding dengan Gramedia Pandanaran yang ada di Semarang. Di Jogja, Gramedianya terasa kecil dan sepi. Entah kenapa, ketika masuk di Gramedia Merdeka, ada perasaan nyaman ketika melihat tata ruang dan cukup banyaknya buku-buku yang ada di berbagai lantai. Aku juga sangat suka ketiika membaca di Alun-alun yang persis berada di depan Masjid Raya. Membaca menghadap arah Barat di deretan kursi-kursi yang di cat merah yang terkadang terlihat sangat elegan dari kejauhan. Sambil mengamati keramaian yang jarang ada di berbagai macam jenis alun-alun ketika pagi atau malam. Tentunya, aku kadang menyempatkan membaca di pinggir jalan Asia Afrika dan Braga. Di salah satu kursi yang ada di sepanjang jalan itu, membaca di sekitar tempat itu, sungguh menyenangkan. Sayangnya aku tak sempat untuk menikmati buku-buku di Palasari.

Dan entah kenapa, aku sangat nyaman di persewaan komik dan buku yang terletak di jalan Banda; Pitimoss Fun Library. Dari siang aku berada di situ. Melahap berbagai macam komik hingga malam menjelang. Bandung adalah salah satu kota yang cukup nyaman untuk memikirkan sesuatu dan tentunya membaca. Aku akan bilang, Bandung adalah kota kedua yang ingin aku tinggali setelah Jogja. Kota yang cukup pantas untuk aku tempati dan memikirkan banyak hal dalam beberapa waktu. Dan suatu saat nanti, aku ingin membaca di berbagai macam pantai di Bali dan berbagai macam tempat di dalamnya. Sayang, aku belum pernah ke sana. Walaupun begitu, Bandung adalah kota yang masih tak layak untuk ditinggali dalam waktu yang lama. Haya ada sedikit yang menggembirakan di sana bagi seorang macam aku. Jika Jogja membosankan bagiku. Bandung akan menjadi tempat yang sangat membosankan kecuali hanya sekedar untuk hidup di dalamnya. Dalam banyak hal, Bandung tak seramai dan seaktif Jogja; dari segi intelektual, budaya dan lainnya. Bandung telah ditetapkan sebagai salah satu kota kreatif dunia oleh UNESCO. Tapi, setelah aku memasukinya, aku kecewa. Dan apa yang dirasakan oleh Andre Vltchek pun mungkin sama dengan yang aku rasakan ketika ia mengkritik tajam kota yang terlalu banyak pusat perbelanjaan atau mall itu. Bahkan untuk mencari warnet dan angkutan pun sangat susah. Masih banyak sampah di sana-sini walau kota itu seolah terlihat bersih. Aku akui, jika menyangkut kebersihan, Jogja adalah kota terburuk di banding lainnya. Terlebih Bandung yang terlihat rapi dari mulai alun-alun hingga Dago atas. Aku cukup menikmati membaca di kota itu.






Ketika berada di Bogor, tempat yang paling nyaman dan sangat menyenangkan untuk membaca adalah di Kebun Raya Bogor. Aku bisa membaca sambil tiduran di kursi kayu yang tersedia di dalamnya. Sambil mendongakkan mata menembus celah di antara kanopi pohon-pohon yang tumbuh menjulang. Mendengarkan berbagai macam kicau burung yang sangat membius dan menenangkan hati. Sebuah tempat kedua paling nyaman di antara pepohonan dan kicau burung setelah Unissula Semarang. Atau, aku rebahkan diriku di lantai tanah dengan daun kering yang berserakan, diapit oleh berbagai jenis pohon yang sangat mengagumkan. Sayang, seperti banyak kebiasaan pejabat dan masyarakat pada umumnya. Kebun raya itu tak terawat dengan baik dan banyak sampah di sana-sini. Di berbagai macam candi, tempat wisata, kebun binatang, pantai dan banyak lainnya, sampah selalu ada di mana-mana. Itulah Indonesia. Bahkan, di kebun Raya Bogor, aku sempat menemukan satu jenis baru spesies tanaman yang memiliki buah lonjong plastik bernama Fanta. Sungguh mengagumkan.

Solo juga tempat yang cukup nyaman untuk digunakan membaca. Walau aku tak pernah membaca terlalu lama di kota itu karena aku hampir tak memiliki banyak waktu ketika berada di dalamnya. Sedangkan Pekalongan, sangat menyenangkan ketika membaca di angkotan kota. Purwodadi, tempat yang paling asyik dan sangat menenangkan terletak di Simpang Lima. Sayangnya aku belum pernah menyempatkan diri membaca buku ketika berada di Batang, Salatiga, Magelang, Kendal, Kudus, Demak, Jepara, Pati dan Rembang. Begitu juga ketika di Malang dan Surabaya. Walau pernah memasuki tempat-tempat itu, aku belum pernah menikmati suasana membaca di dalamnya. Kelak, aku ingin mendapatkan kesan membaca di berbagai macam kota di Indonesia; terlebih Jawa. Dan aku sangat ingin tahu akan gairah membaca di kota-kota yang tersebar di pulau Jawa dan Indonesia.

Jakarta, mungkin yang paling membuatku betah hanyalah perpustakaan milik Freedom Institute. Perpustakaan yang sangat nyaman dengan buku-buku yang mempesona. Beberapa hari aku habiskan di perpustakaan itu dan aku benar-benar terbuai ketika berada di dalamnya. Itulah tempat ternyaman dan elegan ketika aku sedang membaca buku. Perpustakaan terbagus yang pernah aku masuki di beberapa kota yang ada. aku pun bisa membaca buku-buku yang sangat susah aku cari, dari mulai karya Nietzsche, Richard Dawkins, Lomborg dan lainnya. Sedang toko buku terbesar di Asia Tenggara, yaitu Gramedia yang terletak di jalan Matraman, sangatlah mengecewakan, sepi, dan tak menyenangkan. Aku sangat tak puas berada di dalamnya. Sedangkan ketika berada di perpustakaan Nasional, aku bagaikan berada di dalam tanah pekuburan. Sangatlah sepi. Dan cara meminjamnya pun sangat menyebalkan.

Jika perpustakaan Nasional saja sangat buruk dan mengecewakan, bagaimana dengan wajah perpustakaan lainnya di berbagai daerah terlebih bagaimana dengan warganya?

Menuju jakarta, membaca bisa sangat menarik ketika berada di kereta yang bertolak dari Bogor. Jakarta sendiri, kota yang nyaris tak menyenangkan untuk mengembangkan ide dan pemikiran bahkan inovasi. Angkutan umum yang mengerikan. Kota yang sangat panas. Dan sangat membosankan. Kota Tua mungkin bisa sedikit menghibur. Tapi terlihat tak begitu elegan dan istimewa. Kota tua adalah kemegahan kolonial masa lalu yang rusak di sana-sini. Mirip dengan kota tua semarang yang terlihat berantakan. Tak terurus dengan baik. Yang aku lihat pada waktu itu hanyalah pengunjung asing yang sedang membuka buku-mungkin Lonely Planet-untuk mencari tahu sejarah Jakarta. Sedang orang yang berada nyaris di dalamnya hampir setiap waktu, tak sedikit pun terlihat memegang buku. Walau ada satu dua orang di sekitar cafe kota lama dan Trans Jakarta. Tapi sangat tak sebanding.

Memasuki berbagai macam kota, melihat dan mengamati sekitar, mencari para pesepeda dan pembaca buku, sambil membaca buku di berbagai macam tempat di dalamnya, adalah suatu pengalaman yang ingin aku nikmati lagi dan tentunya aku teruskan ke kota-kota lainnya.
Entah di dalam  bus atau kereta api, di halte, stasiun atau pun terminal, aku selalu menyempatkan diri membuka bukuku. Kadang, aku menemukan satu dua orang yang membaca di tengah ratusan atau bahkan ribuan orang yang hilir mudik. Secara keseluruhan, seperti sangat jelas dari banyak penelitian mengenai negara ini, membaca buku masihlah sangat rendah dan membaca buku di tempat umum masih terkesan memalukan. Karena membaca buku di sebuah negara seperti Indonesia berkaitan erat dengan mental, psikologis, budaya, gaya hidup serta filosofi diri. Kita bisa melihat itu semua dari sedikitnya buku yang ada di jalan-jalan dan ruang publik bahwa masyarakat di negara ini, belumlah siap untuk menjadi penemau dan pencipta. Lebih banyak yang menyukai menjadi konsumen dan pengikut buta.




 
 
 



Di masa yang damai semacam ini, sangatlah mengherankan melihat banyak orang menyia-nyiakan berlimpahnya buku yang ada. Suatu saat nanti, mungkin akan banyak buku yang disensor, dibakar, atau dilarang terbit. Dan banyak buku yang hari ini aku baca, tentunya banyak orang baca dan dijadikan rujukan untuk bidang akademis maupun kehidupan, lahir dari orang-orang yang dulunya hidupnya tak mudah, terancam, terusir bahkan mati dibakar. Sedang banyak dari orang hari ini, sama sekali tak begitu menghargai setiap buku yang ada, yang telah menjadi diri kita selama bertahun-tahun hingga sekarang. Kelak akan ada masanya masyarakat negara ini akan sangat menyesal. Sungguh-sungguh sangat menyesal.

Aku selalu teringat dengan kata-kata Walter Isaason dalam bukunya The Innovators, bahwa “hal terakhir yang membuat saya terkesan ialah betapa kreativitas sejati pada era digital dicetuskan oleh orang-orang yang mampu menghubungkan seni dan sains. Mereka meyakini keindahan itu penting.” Sama halnya dengan salah satu buku yang mempesona dari David Brooks, Bobos In Paradise, “kekuatan budaya abad informasi telah menciptakan orang-orang bisnis yang mengidentifikasi diri mereka sebagai semi-seniman dan semi-intelektual, sekarang intelektual tampak lebih seperti orang-orang bisnis. Kita sekarang menggunakan isttilah-istilah seperti “pasar ide-ide”, “hak milik intelektual”, dan “ekonomi perhatian” untuk membaurkan dunia pemikiran dengan dunia pasar. Kaum intelektual telah melihat perincian pekerjaan mereka mengalami transformasi. Mereka, yang dulu begitu jauh, sekarang berbaur dengan semua elite terdidik, sehingga melahirkan jenis intelektual baru bagi abad baru Bobo (borjuis bohemian).” Pada dasarnya, kita harus melihat perubahan yang datang dan tentunya berubah. Ketika nyaris semua hal menerobos masuk ke dalam diri kita, yang sehari-hari duduk sebagai orang yang menerima dan menggunakan hasil dari olah pikir dan ciptaan orang lain yang terbilang terletak jauh dari diri kita.

Mengembara dengan buku-buku, menikmatinya, sambil melihat wajah kota beserta geliat di dalamnya, dan memikirkan banyak hal lainnya, menjadi sesuatu yang sangat erat dengan diriku sebagai ideapacker dan filsuf. Berjalan adalah menemukan dan mencari sesuatu lalu setelah itu menciptakan sesuatu yang lain. Itulah yang aku yakini. Berpikir dalam cara pandang yang berbeda dan memberikan hal yang baru yang mungkin tak terpikirkan. Berjalan menikmati keindahan dan juga berpikir akan banyak hal. Itulah yang mulai sekarang harus kita lakukan.

Selain kota demi kota, aku juga seperti hampir tak melihat para pendaki gunung, pencinta alam, dan mereka yang sering memasuki alam membawa bukunya di sana. Di hampir semua foto mengenai petualangan alam, hampir tak aku temukan sama sekali buku di dalamnya. Apakah buku juga sangat dihindari bagi mereka yang katanya mencintai alam? Dan anehnya, dengan banyaknya pencinta alam dan pendaki gunung, sangat banyak hutan, sungai dan lainnya semakin habis. Apakah selama ini kita berjalan ke sana-kemari, hanya sekedar berjalan dan untuk diri sendiri?

Di sebuah negara yang nyaris tak menghargai orang pintar, idealis bahkan jenius ini, aku sangat mengagumi apa yang pernah ditulis oleh Apple dalam slogan produknya yang berjudul “Think Different” pada tahun 1997, yang banyak ditulis dan dipengaruhi oleh Steve Jobs:

Bersulang untuk mereka yang gila. Lain. Tukang berontak. Biang onar. Aneh sendiri. Yang berpandangan beda. Yang tidak suka aturan. Yang antikemapanan. Silahkan contoh mereka, bantah mereka, puji atau cari mereka. Tapi jangan abaikan mereka. Karena merekalah agen perubahahan. Merekalah yang memajukan umat manusia. Meski kata orang mereka gila, geniuslah yang kami lihat. Karena si gila yang yakin bisa mengubah dunia ... bisa mengubah apa saja.


Dan mari kita berjalan, mengembara ke berbagai tempat, dengan buku di tangan, pikiran yang terbuka dan keingintahuan yang bagai tak ada habisnya. Kelak, mungkin ada dunia yang akan kita temukan atau suatu hal besar yang akan menunggu untuk kita temukan.

Aku masih sering malu ketika membaca The Malay Archipelago karya Aflred Russel Wallace. Dan aku juga terasa terpukul jika membolak-balikkan buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Andrew Goss, Flora Pegunungan Jawa yang ditulis oleh C.G.G.J. van Steenis, A Photographic Guide to the Birds of Indonesia karangan Morten Strange, dan tentunya aku sangat miris jika melihat buku tebal dari Tony Whitten dkk yang berjudul The Ecology of Java and Bali. Banyak buku lainnya yang dikarang oleh orang luar di tengah banyaknya orang yang menganggap diri pencinta alam dan backpacker. Dari buku kumpulan perjalanan jawa, Jawa Tempo Doeloe yang disusun oleh James R. Rush hingga Jakarta; Sejarah 400 tahun dari Susan Blackburn. Dan diponegoro pun akhirnya ditulis oleh seorang Peter Carey dalam Kuasa Ramalan dan Takdir. Carey, mengutip Reid, menyebutkan bahwa “90 persen karya ilmiah tentang Indonesia justru disusun oleh mereka yang tinggal di luar Indonesia, yang sebagian besar tentunya adalah orang asing. Jika angka ini benar, maka indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling kurang efektif menjelaskan dirinya sendiri pada dunia luar.” Apa yang dikatakan Peter Carey itu sangatlah benar. Cukup melihat geliat membaca di jalanan, tempat terbuka dan pegunungan, kita hanyalah sekedar konseumen yang sedang berjalan kesana-kemari.






Berjalan tidak hanya sekedar berpindah tempat dan membekukannya dalam foto yang bersuara sebagian. Berjalan adalah di mana kita membuka buku hidup kita yang baru. Kehidupan adalah buku yang harus kita baca dan cerna. Membaca diri sendiri dan sekitar. Memahaminya. Menuliskanya. Atau mencoba untuk memberikan sesuatu pemahaman yang lain. Tidak hanya sekedar mengabadikannya dengan kamera. Banyaknya para pengembara, petualang, pencinta alam, dan diikuti dengan tanpa keinginan membaca berbagai macam ilmu pengetahuan lebih dalam dan mencari sesuatu yang belum dicari atau menceritakan dunia yang kita lewati dengan lebih detail dan sudut pandang baru, adalah hal yang kelak harus diisi oleh ideapacker.

Entah sudah berapa banyak rasa letih, uang dan mungkin kepuasaan yang kita alami saat kita berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya. Tapi pada akhirnya, kita pun hanya sekedar buruh yang sedang berwisata. Seorang konsumen seumur hidup yang semua perlengkapan kita dibeli dari merek asing. Kalau begitu, perjalanan adalah sekedar melepas sakit, lelah, hampa, untuk sekedar kembali menjadi buruh, dikendalikan, diatur, dan diceramahi. Bahkan buku yang kita pegang, dan pemikiran yang ada di dalam otak kita, sejak dari sekolah, adalah hasil dari orang lain. Mereka yang seringkali kita sebut dengan orang luar.

Pada akhirnya kita asing dengan diri kita sendiri. Kita asing dengan sekitar. Dan kita bagai mengembara di tanah dan air yang tak kita ketahui. Dan tanpa sebuah buku, kebutaan itu semakin membuat generasi kita tak tahu dengan pasti untuk alasan apa kehidupan ini harus dijalani.

Jawa, dan Indonesia adalah rumah yang samar-samar. Dan perjalananku, hanya menegaskan ketidaktahuanku nyaris terhadap apapun yang telah aku lewati. Karena itulah, buku selalu ada menemani perjalananku. Mengisi sedikit kekosongan dan banyaknya ketidaktahuan yang membuat aku terkadang sedih dan frustasi.

Jogjakarta
Selasa 13 februari 2016
02:16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar