Rabu, 03 Februari 2016

MENGATUR NAFAS SEJENAK







setelah memasuki beberapa kota di Jawa. aku pun berhenti untuk mengatur nafasku kembali. ada yang menggelisahkan dari perjalanan yang aku tempuh. tidak hanya dunia yang aku lihat di luar diriku. tapi apa yang ada dalam diriku sendiri lebih terasa menyakitkan dan menusuk.

sama halnya ketika berada di Jogja. aku melihat dunia yang hilang di sekitarku. Jogja adalah salah satu kegagalan terbesar negara Indonesia modern. dan ketika aku menengok dan mengingat-ngingat masa lalu, Jogja pun menjadi akhir dari Jawa. sebelum dan sesudah perang besar Jawa atau Diponegoro, Jogja tak lagi tahu dirinya sendiri. dan kini, aku bahkan tak tahu Jawa itu seperti apa di kota ini. kecuali bangunan-bangunan yang bersifat era penjajahan yang berdiri megah tanpa pernah serius menghantui orang yang berjalan dan beraktivits di dalamnya. warna kesenian yang nyaris setiap hari lebih disemarakkan dengan wajah-wajah Eropa. dari mulai aliran dan gaya. seni di kota ini seolah hanyut semenjak Raden Saleh melahirkan karya-karyanya. sementara itu, gaya hidup anak muda di kota ini pun semakin liar, tak terlalu banyak pusing dengan orang lain, dan berpakaian terserah mereka mau. semua jelas nyaris menantang tabu dan norma. kadang, di mana kita berbicara kembali ke identitas asal kita kalau kita tak tahu identitas yang mana sebenarnya dari identitas kota ini?

masjid, candi, keraton, atau raut kesenian yang tak tahu lagi mau kemana beserta orang-orang di dalamnya?

hari ini, Jogja benar-benar sebuah kegagalan besar. kota yang sangat sempit dengan semakin banyaknya orang yang berdatangan. sampah di sana-sini. lahan yang semakin hilang. sawah yang berganti bangunan dan gedung-gedung. asap knalpot di mana-mana. trotoar yang hilang entah kemana. wajah kota yang semrawut. kusam. dan tak begitu menggairahkan kecuali hanya untuk orang-orang yang tak terlalu banyak memakai otaknya.

untuk mereka yang tak terlalu banyak berpikir, kota ini hanya untuk ajang mencari foto, berselfie ria, memamerkan gaya fotografi yang sudah tak lagi menarik dan unik karena semua orang bisa melakukannya. dan tentunya, berbagai macam cafe dan tempat belanja yang selalu penuh. itulah Jogja hari ini. dengan anak muda yang mewaris gaya hidup sesukanya ala Barat dan kehidupan sehari-hari yang tak terlalu banyak memikirkan hal-hal besar dan kecil yang penting. kota ini kembali kalah. bahkan kali ini sangatlah telak.

dengan kebebasan yang luar biasa ada di dalam kota ini. sedikit anak muda yang mampu menimbulkan kesan mendalam dalam hal ilmu pengetahuan, kesenian, sastra, atau bahkan keagamaan. semua orang lebih menyukai hidup sekedar hidup. lalu, kota ini pun nyaris tak menciptakan apa-apa kecuali selalu mengambil budaya dan peradaban orang lain.
 
jika melihat berbagai macam universitas di kota ini, pendidikan mengalami hal yang sangat memalukan. benar-benar memalukan. ribuan atau jutaan dari mereka yang menjadi siswa dan mahasiswa dengan segala kemudahan yang ada, tak mampu menimbulkan riak yang akan mengganti arah laju dari gerak ilmu pengetahuan dan peradaban lainnya. pada dasarnya, kota ini hanya sekedar persinggahan untuk bersenang-senang. bukan mencipta atau mencari lagi diri yang hilang. dan siapa yang perduli dengan pengemis di jalanan atau penjual jagung yang kehujanan nyaris setiap hari?

lalu, apa yang terjadi dengan Bandung, Bogor, Jakarta, Semarang, Solo, dan lainnya?

Bandung pun semakin panas. pohon-pohon yang menghilang. berbagai macam kendaraan hilir mudik. bangunan-bangunan yang berantakan, kusam dan tak teratur. sedangkan yang terlihat mewah adalah warisan dari Hindia-Belanda. Mall yang menjulang di mana-mana. dan anak-anak muda yang tak begitu perduli akan siapakah dirinya. dan kemewahan yang tak mampu dimanfaatkan oleh penghuninya. seharusnya, kota ini bisa menjadi tempat tumbuhnya dunia sains, pemikiran, inovasi, penemuan, dan perdebatan intelektual yang sangat intens. tapi? Bandung pun hanya menjadi tempat bersenang-senang atau hanya sekedar mengejar tujuan hidup mapan dan enak. masih banyak area nyaman, menyenangkan dan segar di Bandung. buku-buku yang tersebar di berbagai jalan. tapi, seperti Jogja, kota itu pun gagal dan kalah. begitu juga Bogor yang semakin macet dan Hutan Raya yang sangat tak terurus dan mencerminkan karakter psikologis dan kesadaran dari warga yang menempatinya. lalu Jakarta?

ketika memasuki Jakarta, aku bagaikan memasuki kota yang dalam pikiranku harus langsung dimusnahkan. sebuah kota yang nyaris tak layak ditinggali. kota yang menjadi inti dari neraka sebuah negara. kota yang lebih panas dari Semarang yang bagaikan tungku api. tak terawat. bobrok. miskin. sesak. tercemar. macet. mengerikan. kumuh. menjengkelkan. membuat orang marah dan frustasi. dan kota yang bisa membuat siapa menjadi jahat dan akhirnya membunuh orang lain atau memilih untuk bunuh diri. 

berada di Jakarta, seolah-olah aku sedang berada di suatu tempat yang paling tak diinginkan. perpustakaan dan toko buku yang hanya dimasuki segelintir orang. teriakan klakson di mana-mana. orang-orang yang tak sabaran dan seenakya sendiri. angkutan umum yang sangat tak layak. bangunan yang tampak kusam, kumuh, dan membosankan. sedikit pohon-pohon yang tersisa. entah kenapa, di dalam pikiranku, seandainya aku seketika menjadi pemimpin negara, aku akan langsung menghapus Jakarta dari peta Indonesia.

Jakarta adalah ibu kotanya neraka. kota yang nyaris tenggelam ke dasar laut dan kebudayaan yang nyaris tak jelas. dengan tingkah polah para pemegang kekuasaan yang akan menghancurkan seluruh kawasan lainnya di luar Jakarta yang masih layak.

sedangkan Semarang adalah lembah kegilaan dan tentunya kota yang membuat siapa saja terasa terbakar dan ingin berteriak marah. kota ini hanya layak ditinggali oleh orang-orang yang mementingkan diri sendiri. bukan tempat bagi perjalanan sosok intelektual dan pemikir besar. kota yang sangat sepi bagaikan kuburan. dan semakin hari, bagian utaranya akan diambil oleh laut. sementara perbukitan dan pegunungannya mulai tumbuh beton dan rumah. Semarang adalah rumah bagi siapa saja yang ingin menikmati hidup biasa saja. tempat bagi mereka yang lebih suka kesenangan dan kemewahan hidup yang tak banyak dijejali dengan harapan-harapan besar dan menyelesaikan masalah-masalah rumit.

kota yang sangat panas. makin sesak. rob. banjir. tukang parkir di mana-mana. trotoar yang sangat sempit dan kebudayaan yang nyaris tak ada. diskusi intelektual yang mati. apakah orang yang tinggal di Semarang terdiri dari orang-orang bodoh atau mereka yang akhirnya memilih menjadi biasa-biasa saja?

dan ketika menuju Solo, sebentar lagi dunia yang nyaman itu pun akan berakhir. pada akhirnya, Solo akan menjadi tempat pembuangan dari Jogja yang tak tertampung. ada beberapa tempat budaya dan pertukaran ide, tapi itu pun tak seberapa. dan sejarah kota itu pun sangatlah mementingkan dirinya sendiri. masih terlihat sepeda di sana-sini. trotoar yang cukup lebar dan nyaman. sawah yang luas dan subur. taman dan hutan kota. jalanan yang masih sangat layak di banding Jogja yang jalanannya sangat menyedihkan. tapi, wajah kota itu sebentar lagi tak akan mampu menampung pola tingkah warga kota dan penduduk Jawa Modern.

di mana-mana, kota-kota besar di Jawa semakin tak layak untuk ditinggali. kusam. tak teratur. tercemar. penuh sampah. bising. sesak. dan sangat terkesan kemegahan era kolonial yang masih layak dikagumi bahkan ditinggali dan diambil alih seolah-olah kita tak mampu membuatnya sendiri. dalam arsitektur saja, kita kalah secara telak.

pada akhirnya, aku memutuskan untuk menghentikan perjalanan ke arah timur. aku pun kembali ke buku-buku. sibuk dengan pikiranku dan filsafat yang ingin aku selesaikan. apa gunanya sebuah perjalanan yang hanya sekedar perjalanan?

aku kembali menekuni dunia Jawa dan apa yang mungki kelak akan terjadi. menghirup kota Jogja yang membebaskan sekaligus meresahkan dan terkadang semakin membosankan. kota semu untuk kesenian dan nyaris hampir mati secara intelektual.

beberapa waktu nanti, aku akan ke timur. memasuki Surabaya, Malang, Madura, Bali lalu menuju Lombok. setelah melihat sedikit dari warna kota-kota di Jawa, apa yang masih tersisa dari kita?

kadang, memikirkan identitas diriku sendiri terasa melelahkan dan menyakitkan. dunia ini berjalan ke arah yang semakin menggelisahkan.

tak ada lagi kota yang menggembirakan dan layak di Jawa.

jogjakarta
03 februari 2016
16:25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar