jika Semarang adalah neraka. Jakarta adalah ibu kotanya neraka. lalu Jogja? yah, jogja adalah anaknya neraka. sebuah kota yang mendekati bahkan sudah menjadi neraka sepenuhnya.
Hari ini aku bangun dengan malas-malasan dan sekitar pukul 11:- langsung menuju jalanan yang panasnya bisa membunuh orang jompo mungkin. sebuah kota yang perlahan dengan pasti, bahkan dengan sangat cepatnya, menjadi sangat tidak layak huni.
penderitaan terbesar berjalan atau berkendara motor di jalanan jogja sekitar pukul 09;00-16:00 an adalah panas yang tak lagi malu-malu yang bahkan bisa mengelupaskan kulit. macet. polusi. jalanan yang sempit. dan pemandangan yang nyaris tak ada yang mempesona.
dari Bantul hingga Stasiun Tugu atau Malioboro, hanya jalan Panjaitan, dekat dengan Alun-Alun Selatan yang cukup untuk sekedar berteduh menunggu lampu merah yang lamanya menyakitkan hati. Sesampainya di Mall Malioboro, tubuhku sudah kepanasan dengan keringat berjatuhan seperti hujan. perjalanan sejauh hanya sekitar 7-8 kilometer itu bagaikan menembus lautan api di kedalaman neraka.
memasuki ranjau parkir, aku pun bergegas menuju Mall Malioboro dan tak perlu waktu lama tiba di Gramedia. ketika di Gramedia, ada beberapa buku ekspedisi yang menarik hatiku. dari mulai dari Papua hingga Jakarta. tapi sayang, cukup mahal walau masih bisa dibeli. masalahnya, aku kesitu bukan untuk membeli itu tapi mencari buku yang menyoal Skizofrenia dan ternyata habis. aku pun berputar-putar sebentar di dalam toko buku itu untuk menghilangkan udara panas yang menempel dalam tubuhku dan sesekali merenungi majalah National Geographic Indonesia edisi maret 2016 yang sekarang harganya 60.000. majalah itu lama kelamaan harga makin mengerikan saja.
tak perlu waktu lama aku pun keluar dan toko buku Periplus seolah-olah memanggilku. toko buku yang letaknya nyaris tepat di depan Gramedia Malioboro Mall yang kadang sering aku masuki untuk memesan dan mencari beberapa buku asing yang sulit. tapi hari ini, aku lagi tak memiliki banyak uang. dan aku pun sudah berada di luar mall menuju Stasiun Tugu. panas kembali menampar-nampar bahkan terasa menendang, menginjak, dan menyayat kulit.
jalanan Malioboro, sangat tak menarik. kumuh. kotor. bau tisu di sana-sini. keramaian yang tak teratur. jalan raya yang entah kenapa, sangat tidak elegan dan dipenuhi oleh gelombang naik turun dan beberapa kerusakan yang menyebalkan. tidakkah jalan malioboro adalah jalan keramat semenjak didirikannya kerajaan Jogjakarta? yah, aku rasa, itu sekedar masa lalu. dan di sepanjang Malioboro, trotoar berisikan ranjau sepeda motor yang bagaikan tak terhingga. seolah-olah pengunjung dan wisatawan kota ini bukan orang tapi motor dan motor. dan dekat Mall Malioboro ini, ada perpustakaan yang mirip kamar mayat. yang lebih dikenal dengan Jogja Library Center. dan aku selalu bingung, kata Center di dalam nama perpustakaan itu kegunaannya untuk apa?
cepat-cepat aku menuju Stasiun Tugu dan nyaris mendekati pingsan. keringat berhamburan tak terkendali. kota ini, Jogja, apalagi yang bisa ditawarkannya kecuali kebosanan dan juga kesemerawutan dan tentunya panas?
aku pun berdiri di sebuah pergola tepat di samping Monumen Uap. sesekali mengambil gambar dan memandang pintu masuk Stasiun yang didirikan oleh Hindia Belanda ini. dan tidakkah hampir semua stasiun kereta api adalah bekas dari Belanda? dan seolah mengejak diriku, bahwa bangsaku saja hampir tak becus membuat stasiun kereta. hanya sekedar merawatnya saja sudah kesusahan. dan lebih ironisnya, di sepanjang jalan Malioboro menuju Keraton, bangunan yang tampak megah adalah bekas milik Belanda. bahkan anehnya, Kota Baru lebih suka memilih gaya Belanda sebagai arsitektur utama yang sungguh membuat aku sendiri bingung. apakah kota ini adalah kota yang mempertahankan kelokalannya yang Jawa ataukah malah memelihara kekolonialannya dengan bangga dan terang-terangan? sungguh lucu memang. bahkan Bandung pun juga sama dengan kota ini.
singkat cerita, aku masuk ke dalam Stasiun dan bertanya dengan petugas mengenai reservasi tiket untuk ke Tasikmalaya tanggal 26 maret, yang ternyata harus ke Pasar Kembang. sudah panas, lelah, dan sampai ternyata harus berjalan lagi. aku pun lebih memilih untuk pergi ke Stasiun Lempuyangan. meninggalkan Stasiun Tugu yang nampak sepi dan diisi beberapa pohon ketapang, glodok, dan mungkin tanjung, angsana dan aku jelas buta jenis pohon yang aku lihat itu. dan persetan amat. karena pohon-pohon muda yang jelas-jelas nyaris tak berpengaruh terhadap panasnya kota ini.
aku pun menuju Stasiun Lempuyangan, melewati Kota Baru, atau tepatnya jalan Abu Bakar Ali, Stadiun Kridosono hingga Krasak Timur yang banyak ditumbuhi oleh pohon Tanjung, Beringin dan Angsana. udara di sekitar jalan itu cukup teduh. itulah kelebihan pohon. walau hanya satu pohon, bisa menyegarkan dan meneduhkan diri dari panas matahari yang menyengat. tapi sayangnya, jumlah dan luasan tanah yang dihuni oleh pepohonan kalah jauh dengan luas jalanan, gedung dan segala jenis bangunan lainnya. dan jalanan yang lebih banyak diisi oleh motor dan mobil dengan pemandangan kota yang semrawut, membuat gairah hidup terasa pudar seketika.
bahkan jika siang, sore dan menjelang malam, jalanan kota ini bagaikan tempat siput yang merayap pelan. kemacetan demi kemacetan yang membuat jengkel dan frustasi.
sesampainya di Stasiun Lempuyangan, aku langsung menuju tempat tiket dan melihat berbagai macam jenis orang yang sedang menunggu di deretan kursi. nyaris tak ada pembaca buku di stasiun ini. setelah beberapa saat, aku lihat seorang perempuan muda tengah sibuk dengan handphonenya tapi dipangkuannya terdapat sebuah buku yang berjudul Berani Tidak Populer karya Rusdiono Mukti. perempuan itu cukup cantik dan sebuah buku dipangkuannya! waaw, itu hal yang langka! sedangkan hampir 99,99 persen lainnya, sibuk berdoa dan beribadah kepada gadgetnya masing-masing.
setelah menulis di lembar reservasi, aku pun duduk di samping dua perempuan bule yang sibuk mengobrol dengan bahasa Prancis. dari pada menunggu, aku keluarkan saja buku dari dalam tasku, Pertunjukan Paling Agung di Bumi karya Richard Dawkins. karcis di tanganku berderet angka 1-9-5, dan tentunya masih sangat lama mengingat layar loket menunjukkan angka 174. aku pun mulai tenggelam dalam buku yang aku bawa dan mengutuki kota yang panasnya mendekati neraka ini. atau bahkan lebih tepatnya neraka dunia yang membosankan.
aku membaca di tengah orang-orang yang sibuk dengan Gadget di tangan mereka. mereka menyembah tuhan baru; gadget. seandainya itu buku, aku masih tak terlalu mengeluh dan menggerutu. Stasiun di kota Jogja, kota penuh buku dan mahasiswa, nyaris tak ada orang yang terlihat membaca buku. tidakkah itu penghinaan atau semacam kenyataan yang membuat jengkel dan mata menjadi rusak?
sudahlah, di mana-mana, di semua kota di negara ini, orang membaca di jalanan dan tempat publik adalah aib dan makhluk asing yang layak untuk dimuseumkan. aku tak banyak berharap menemukan seratus pembaca bahkan seribu pembaca buku di jalanan walau populasi sebuah kota di antara 500ribu-10 juta. pada tahun 2012, jumlah penduduk DIY berada di angka 3.514.762 jiwa. dan kota Jogja memiliki penduduk 394.012 jiwa. sementara itu pada tahun 2014, di seluruh Jogja terdapat sekitar 298 ribu mahasiswa dari segala universitas. jumlah ribuan mahasiswa itu, apakah jika aku mengambil hanya seribu saja yang memiliki kegemaran membaca buku dan mempopulerkan gaya buku di jalanan, apakah itu termasuk tidak logis dan ngawur? seribu orang dari beratus ribu orang mahasiswa itu jumlah yang sedikit. dan malah anehnya, nyaris sedikit yang aku lihat membaca di ruang publik kecuali sekedar perpustakaan atau toko buku. itu perkembangan yang sangat menyedihkan bukan?
dan sekarang adalah 2016, tentunya banyak sekali orang-orang baru berdatangan dan bayi-bayi yang baru dilahirkan. dengan mentalitas semacam itu, para pendatang berwajah mahasiswa yang tak menggunakan otaknya dengan baik dan benar, apajadinya kota ini? kota yang mahasiswanya hampir sama dengan penduduk kota Jogjakarta. hal yang paling jelas adalah penduduk kota Jogja tidak semuanya pelajar, terpelajar atau berpendidikan. sementara mahasiswa yang jumlahnya nyaris sebanding dengan penduduk kota, ternyata tak bisa berbuat banyak di kota ini. inilah yang membuat kota Jogja bagiku adalah kota tragedi besar pendidikan Indonesia.
setiap hari semua mahasiswa nyaris menggunakan mobil dan motor yang memenuhi jalanan dan ruang. kemacetan, polusi, jalan retak, dan berbagai bangunan dan menambahkan kesemrawutan salah satu penyebabnya adalah kehadiran mahasiswa yang kesadarannya mirip katak kawin. selain tentunya pemerintah kota yang tak becus dan segudang alasan lainnya.
yah, aku sudah lelah menggerutu dan berceloteh. setelah mendapatkan tiket dengan tujuan Tasikmalaya pada tanggal 26 maret 2016 dengan menggunakan kereta Lodaya Pagi 79 dengan gerbong eksekutif seharga 230ribu dan berkursi satu yang akan datang dari Stasiun Tugu. berangkat pukul 08;00 pagi sampai di Stasiun Tasikmalaya pukul 13;03 siang hari. tiket pulang hanya kelas ekonomi yang murah meriah seharga 90ribu dengan kereta Kahuripan 182 yang berangkat pada pukul22;45 dan akan menurunkanku di Stasiun Lempuyangan pada pukul 04;42 dini hari.
sejujurnya aku ingin langsung ke Bandung, tapi sepertinya banyak tulisan dan gagasanku yang perlu segera diselesaikan. masih banyak puluhan buku yang tebalnya 300-1000 halaman yang perlu dibaca dan direnungi. itu suatu hal yang pasti melelahkanku. alasan lainnya, aku sedang dalam masa kekeringan besar. uangku habis untuk membeli banyak buku pada bulan ini. dan sebelum ke Tasik, aku akan pergi ke Solo untuk melakukan observasi dan lain sebagainya. dari kota ke kota, perjalananku guna menemukan apa yang menjadi bagian dari masyarakat Jawa dan berbagai macam kota pada dewasa ini.
ah, ternyata kini aku sudah berada di Perpustakaan Kota Jogjakarta, mengetik tulisan ini, dan seperti biasa, pembaca buku hanya mudah dilihat di ruang semacam ini dan tentunya Toga Mas dan Gramedia yang berdekatan dengan perpustkaan ini.
sore pun turun, kota masih terasa panas. pendingin ruangan tak mampu mengusir panas di tubuhku. kota ini sebentar lagi akan memanggang siapapun yang ada di dalamnya. kota yang akan mendekati neraka atau pada dasarnya sudah menjadi neraka?
jogja
rabu 16 maret 2016
16;10