Rabu, 16 Maret 2016

MENDEKATI NERAKA







jika Semarang adalah neraka. Jakarta adalah ibu kotanya neraka. lalu Jogja? yah, jogja adalah anaknya neraka. sebuah kota yang mendekati bahkan sudah menjadi neraka sepenuhnya.



Hari ini aku bangun dengan malas-malasan dan sekitar pukul 11:- langsung menuju jalanan yang panasnya bisa membunuh orang jompo mungkin. sebuah kota yang perlahan dengan pasti, bahkan dengan sangat cepatnya, menjadi sangat tidak layak huni.

penderitaan terbesar berjalan atau berkendara motor di jalanan jogja sekitar pukul 09;00-16:00 an adalah panas yang tak lagi malu-malu yang bahkan bisa mengelupaskan kulit. macet. polusi. jalanan yang sempit. dan pemandangan yang nyaris tak ada yang mempesona.

dari Bantul hingga Stasiun Tugu atau Malioboro, hanya jalan Panjaitan, dekat dengan Alun-Alun Selatan yang cukup untuk sekedar berteduh menunggu lampu merah yang lamanya menyakitkan hati. Sesampainya di Mall Malioboro, tubuhku sudah kepanasan dengan keringat berjatuhan seperti hujan. perjalanan sejauh hanya sekitar 7-8 kilometer itu bagaikan menembus lautan api di kedalaman neraka.

memasuki ranjau parkir, aku pun bergegas menuju Mall Malioboro dan tak perlu waktu lama tiba di Gramedia. ketika di Gramedia, ada beberapa buku ekspedisi yang menarik hatiku. dari mulai dari Papua hingga Jakarta. tapi sayang, cukup mahal walau masih bisa dibeli. masalahnya, aku kesitu bukan untuk membeli itu tapi mencari buku yang menyoal Skizofrenia dan ternyata habis. aku pun berputar-putar sebentar di dalam toko buku itu untuk menghilangkan udara panas yang menempel dalam tubuhku dan sesekali merenungi majalah National Geographic Indonesia edisi maret 2016 yang sekarang harganya 60.000. majalah itu lama kelamaan harga makin mengerikan saja.

tak perlu waktu lama aku pun keluar dan toko buku Periplus seolah-olah memanggilku. toko buku yang letaknya nyaris tepat di depan Gramedia Malioboro Mall yang kadang sering aku masuki untuk memesan dan mencari beberapa buku asing yang sulit. tapi hari ini, aku lagi tak memiliki banyak uang. dan aku pun sudah berada di luar mall menuju Stasiun Tugu. panas kembali menampar-nampar bahkan terasa menendang, menginjak, dan menyayat kulit.

jalanan Malioboro, sangat tak menarik. kumuh. kotor. bau tisu di sana-sini. keramaian yang tak teratur. jalan raya yang entah kenapa, sangat tidak elegan dan dipenuhi oleh gelombang naik turun dan beberapa kerusakan yang menyebalkan. tidakkah jalan malioboro adalah jalan keramat semenjak didirikannya kerajaan Jogjakarta? yah, aku rasa, itu sekedar masa lalu. dan di sepanjang Malioboro, trotoar berisikan ranjau sepeda motor yang bagaikan tak terhingga. seolah-olah pengunjung dan wisatawan kota ini bukan orang tapi motor dan motor. dan dekat Mall Malioboro ini, ada perpustakaan yang mirip kamar mayat. yang lebih dikenal dengan Jogja Library Center. dan aku selalu bingung, kata Center di dalam nama perpustakaan itu kegunaannya untuk apa?

cepat-cepat aku menuju Stasiun Tugu dan nyaris mendekati pingsan. keringat berhamburan tak terkendali. kota ini, Jogja, apalagi yang bisa ditawarkannya kecuali kebosanan dan juga kesemerawutan dan tentunya panas?




aku pun berdiri di sebuah pergola tepat di samping Monumen Uap. sesekali mengambil gambar dan memandang pintu masuk Stasiun yang didirikan oleh Hindia Belanda ini. dan tidakkah hampir semua stasiun kereta api adalah bekas dari Belanda? dan seolah mengejak diriku, bahwa bangsaku saja hampir tak becus membuat stasiun kereta. hanya sekedar merawatnya saja sudah kesusahan. dan lebih ironisnya, di sepanjang jalan Malioboro menuju Keraton, bangunan yang tampak megah adalah bekas milik Belanda. bahkan anehnya, Kota Baru lebih suka memilih gaya Belanda sebagai arsitektur utama yang sungguh membuat aku sendiri bingung. apakah kota ini adalah kota yang mempertahankan kelokalannya yang Jawa ataukah malah memelihara kekolonialannya dengan bangga dan terang-terangan? sungguh lucu memang. bahkan Bandung pun juga sama dengan kota ini.




singkat cerita, aku masuk ke dalam Stasiun dan bertanya dengan petugas mengenai reservasi tiket untuk ke Tasikmalaya tanggal 26 maret, yang ternyata harus ke Pasar Kembang. sudah panas, lelah, dan sampai ternyata harus berjalan lagi. aku pun lebih memilih untuk pergi ke Stasiun Lempuyangan. meninggalkan Stasiun Tugu yang nampak sepi dan diisi beberapa pohon ketapang, glodok, dan mungkin tanjung, angsana dan aku jelas buta jenis pohon yang aku lihat itu. dan persetan amat. karena pohon-pohon muda yang jelas-jelas nyaris tak berpengaruh terhadap panasnya kota ini.

aku pun menuju Stasiun Lempuyangan, melewati Kota Baru, atau tepatnya jalan Abu Bakar Ali, Stadiun Kridosono hingga Krasak Timur yang banyak ditumbuhi oleh pohon Tanjung, Beringin dan Angsana. udara di sekitar jalan itu cukup teduh. itulah kelebihan pohon. walau hanya satu pohon, bisa menyegarkan dan meneduhkan diri dari panas matahari yang menyengat. tapi sayangnya, jumlah dan luasan tanah yang dihuni oleh pepohonan kalah jauh dengan luas jalanan, gedung dan segala jenis bangunan lainnya. dan jalanan yang lebih banyak diisi oleh motor dan mobil dengan pemandangan kota yang semrawut, membuat gairah hidup terasa pudar seketika.

bahkan jika siang, sore dan menjelang malam, jalanan kota ini bagaikan tempat siput yang merayap pelan. kemacetan demi kemacetan yang membuat jengkel dan frustasi.

sesampainya di Stasiun Lempuyangan, aku langsung menuju tempat tiket dan melihat berbagai macam jenis orang yang sedang menunggu di deretan kursi. nyaris tak ada pembaca buku di stasiun ini. setelah beberapa saat, aku lihat seorang perempuan muda tengah sibuk dengan handphonenya tapi dipangkuannya terdapat sebuah buku yang berjudul Berani Tidak Populer karya Rusdiono Mukti. perempuan itu cukup cantik dan sebuah buku dipangkuannya! waaw, itu hal yang langka! sedangkan hampir 99,99 persen lainnya, sibuk berdoa dan beribadah kepada gadgetnya masing-masing.

setelah menulis di lembar reservasi, aku pun duduk di samping dua perempuan bule yang sibuk mengobrol dengan bahasa Prancis. dari pada menunggu, aku keluarkan saja buku dari dalam tasku, Pertunjukan Paling Agung di Bumi karya Richard Dawkins. karcis di tanganku berderet angka 1-9-5, dan tentunya masih sangat lama mengingat layar loket menunjukkan angka 174. aku pun mulai tenggelam dalam buku yang aku bawa dan mengutuki kota yang panasnya mendekati neraka ini. atau bahkan lebih tepatnya neraka dunia yang membosankan.




aku membaca di tengah orang-orang yang sibuk dengan Gadget di tangan mereka. mereka menyembah tuhan baru; gadget. seandainya itu buku, aku masih tak terlalu mengeluh dan menggerutu. Stasiun di kota Jogja, kota penuh buku dan mahasiswa, nyaris tak ada orang yang terlihat membaca buku. tidakkah itu penghinaan atau semacam kenyataan yang membuat jengkel dan mata menjadi rusak?

sudahlah, di mana-mana, di semua kota di negara ini, orang membaca di jalanan dan tempat publik adalah aib dan makhluk asing yang layak untuk dimuseumkan. aku tak banyak berharap menemukan seratus pembaca bahkan seribu pembaca buku di jalanan walau populasi sebuah kota di antara 500ribu-10 juta. pada tahun 2012, jumlah penduduk DIY berada di angka 3.514.762 jiwa. dan kota Jogja memiliki penduduk 394.012 jiwa. sementara itu pada tahun 2014, di seluruh Jogja terdapat sekitar 298 ribu mahasiswa dari segala universitas. jumlah ribuan mahasiswa itu, apakah jika aku mengambil hanya seribu saja yang memiliki kegemaran membaca buku dan mempopulerkan gaya buku di jalanan, apakah itu termasuk tidak logis dan ngawur? seribu orang dari beratus ribu orang mahasiswa itu jumlah yang sedikit. dan malah anehnya, nyaris sedikit yang aku lihat membaca di ruang publik kecuali sekedar perpustakaan atau toko buku. itu perkembangan yang sangat menyedihkan bukan?




dan sekarang adalah 2016, tentunya banyak sekali orang-orang baru berdatangan dan bayi-bayi yang baru dilahirkan. dengan mentalitas semacam itu, para pendatang berwajah mahasiswa yang tak menggunakan otaknya dengan baik dan benar, apajadinya kota ini? kota yang mahasiswanya hampir sama dengan penduduk kota Jogjakarta. hal yang paling jelas adalah penduduk kota Jogja tidak semuanya pelajar, terpelajar atau berpendidikan. sementara mahasiswa yang jumlahnya nyaris sebanding dengan penduduk kota, ternyata tak bisa berbuat banyak di kota ini. inilah yang membuat kota Jogja bagiku adalah kota tragedi besar pendidikan Indonesia.

setiap hari semua mahasiswa nyaris menggunakan mobil dan motor yang memenuhi jalanan dan ruang. kemacetan, polusi, jalan retak, dan berbagai bangunan dan menambahkan kesemrawutan salah satu penyebabnya adalah kehadiran mahasiswa yang kesadarannya mirip katak kawin. selain tentunya pemerintah kota yang tak becus dan segudang alasan lainnya.

yah, aku sudah lelah menggerutu dan berceloteh. setelah mendapatkan tiket dengan tujuan Tasikmalaya pada tanggal 26 maret 2016 dengan menggunakan kereta Lodaya Pagi 79 dengan gerbong eksekutif seharga 230ribu dan berkursi satu yang akan datang dari Stasiun Tugu. berangkat pukul 08;00 pagi sampai di Stasiun Tasikmalaya pukul 13;03 siang hari. tiket pulang hanya kelas ekonomi yang murah meriah seharga 90ribu dengan kereta Kahuripan 182 yang berangkat pada pukul22;45 dan akan menurunkanku di Stasiun Lempuyangan pada pukul 04;42 dini hari.

sejujurnya aku ingin langsung ke Bandung, tapi sepertinya banyak tulisan dan gagasanku yang perlu segera diselesaikan. masih banyak puluhan buku yang tebalnya 300-1000 halaman yang perlu dibaca dan direnungi. itu suatu hal yang pasti melelahkanku. alasan lainnya, aku sedang dalam masa kekeringan besar. uangku habis untuk membeli banyak buku pada bulan ini. dan sebelum ke Tasik, aku akan pergi ke Solo untuk melakukan observasi dan lain sebagainya. dari kota ke kota, perjalananku guna menemukan apa yang menjadi bagian dari masyarakat Jawa dan berbagai macam kota pada dewasa ini.

ah, ternyata kini aku sudah berada di Perpustakaan Kota Jogjakarta, mengetik tulisan ini, dan seperti biasa, pembaca buku hanya mudah dilihat di ruang semacam ini dan tentunya Toga Mas dan Gramedia yang berdekatan dengan perpustkaan ini.

sore pun turun, kota masih terasa panas. pendingin ruangan tak mampu mengusir panas di tubuhku. kota ini sebentar lagi akan memanggang siapapun yang ada di dalamnya. kota yang akan mendekati neraka atau pada dasarnya sudah menjadi neraka?


jogja
rabu 16 maret 2016
16;10

Senin, 07 Maret 2016

MERENUNGKAN JAWA




cara terbaik untuk menghilangkan rasa
sakit adalah dengan cara membaca buku
dan melakukan perjalanan.
- merah naga


hari menjelang sore. warna kaca memantulkan gelap dan bau lampu-lampu. udara yang mendingin. suara-suara anak kecil bercampur dengan deru knalpot. angin menyentuh ranting dan dedaunan. lumut dan tumbuhan parasit melilit batang pohon. dunia tiba-tiba begitu hening. walau kekacauan menyelimuti duniaku yang paling dalam.

sore atau malam ini, aku ingin berbicara sedikit tentang Jawa. bukan tentang diriku yang hari ini kehabisan uang dan ditagih oleh ibu kos untuk segera membayar tunggakan. aku ingin bercerita tentang Jawa walau hanya sebentar. seolah-olah, kisah tentang Jawa mampu menghibur diriku yang lelah ini.

Jawa, bagiku kini adalah semacam tanah yang semakin asing. seolah-olah aku bukan hidup dari tanah ini. bagaimana tidak, aku nyaris tak begitu mengenal tanah ini dari pada mereka yang dulu menjajahnya. 
beberapa hari yang lalu, aku tak sengaja bertemu kembali dengan pagelaran wayang kulit di dekat tugu Jogja atau jalan Margo Utomo. hampir setahun di sini aku tak pernah menyaksikan kesenian wayang kulit. tiba-tiba, ketika melintas dan menemukannya, perasaanku begitu rindu dengan masa kanak-kanak dulu. tapi tak seperti dulu. kini, pertemuanku dengan wayang kulit menghasilkan perasaan yang campur aduk. antara diriku yang sekarang dan masa lalu yang jauh.

saat melihat wayang kulit, yang aku dapati adalah sosok-sosok masa lalu. para orang tua yang wajahnya seolah berada di abad yang telah lewat. dan, suara dalang pun nyaris tak lagi aku mengerti. kemampuanku dalam berbahasa jawa kuno pun nyaris hilang. tiba-tiba wayang kulit pun menjadi semakin asing bagiku. bahkan, seluruh peralatan yang dipakai dalam pementasan pun aku banyak lupa. perlu buku The History of Java karya Raffles hanya untuk sekedar mengingatnya. ini sungguh menyedihkan. 

dalam artian tertentu, kadang, aku merasa para orang asing yang menulis Jawa itulah yang seorang Jawa yang sebenarnya. mereka lebih mengenal Jawa dari pada diriku sendiri.

masa lalu yang jauh itu adalah Jawa yang dikenal oleh banyak penjelajah asing sebagai surga dunia. tempat yang sangat eksotis dan penuh dengan nuansa romantisme. tempat di mana Borobudur, Prambanan, Gedung Songo dan lainnya berdiri megah. tempat berbagai macam kerajaan lahir dan tenggelam. tempat sastra kuno yang kini digeluti dengan perasaan kagum oleh orang asing, di tulis oleh para pujangga dan penulis Jawa. tempat di mana, seluruh peradaban dunia ingin memiliki tanah yang subur ini dengan segala cara. dan kini, tiba-tiba, di masaku hidup, Jawa adalah dunia asing.

hampir satu bulan yang lalu, aku menuju pantai selatan untuk menghidupkan diriku kembali. pikiran-pikiranku kini dipenuhi oleh Jawa yang telah hilang. buku-buku yang aku miliki, yang aku baca dan kini aku sedang kumpulkan, bercerita tentang Jawa masa lalu. di sepanjang jalan yang aku lalui, aku menengok kanan dan kiri sisi jalan yang dipenuhi dengan berbagai jenis tetumbuhan yang sedikit sekali yang masih bisa aku kenali. 

aku menemukan kembali perasaan haru ketika aku mampu mengenali pohon kapuk, mahoni, atau sekedar pohon nangka. bahkan ketika mampu teringat akan salah satu jenis bambu yang aku sukai, bambu berwarna kuning yang seringkali disebut sebagai pring peting itu, perasaanku melonjak girang. aku mendapati duniaku yang nyaris hilang di sepanjang jalan menuju laut selatan itu. dari mulai pohon kresen atau talok, pohon petai atau landing, pohon jambu air, palem dan juga pohon kelapa. bahkan di tengah banyaknya rerimbun pepohonan terakhir di pulai Jawa ini, bisa mengenali daun dari pepohonan mangga saja itu sudah sangat luar biasa. pohon akasia pun seringkali aku lupa. hanya beringinlah yang masih mudah untuk langsung aku ketahui. seringkali pohon asem pun perlu waktu untuk ada di pikiranku. semakin banyaknya jenis tetumbuhan di satu tempat, aku semakin kehilangan ingatan. dalam hal ini, semakin dewasa aku, dan bersentuhan dengan dunia kota, aku semakin menjadi laki-laki yang tak mengerti tempat tinggalnya sendiri.

aku pun seringkali kebingungan untuk menyebutkan beberapa gunung yang ada di pulau Jawa terkhususnya antara Semarang dan Jogja. dari mulai gunung Ungaran, Merbabu, Merapi hingga gunung Lawu yang masih kelihatan dari arah sekitar sini. aku tahu nama gunung-gunung yang ada di sepanjang Jawa, tapi aku seringkali lupa dan sering tertukar di mana tempat asal gunung-gunung itu. bahkan aku sering buta jika ada di perjalanan ketika melihat sebuah gunung menyembul dengan begitu mengagumkan. 

jelas, mengenai dunia tumbuhan aku hampir menyerah. tubuh dewasaku semakin hari kian melupakan ingatan dari masa lalu dengan berbagai macam tumbuhan yang aku kenal dengan baik. hanya sedikit yang tersisa dari diriku mengenai hal itu. ketika melihat berbagai macam tumbuhan di sepanjang jalan yang aku lalui, aku sering merasa sedih. sedangkan dengan hewan liar, banyak yang kini tak lagi mampu aku kenal dengan mudah dan tepat.

aku masih bisa membedakan beberapa jenis walet dan layang-layang. aku juga masih mampu untuk mengenal dengan jelas beberapa burung pipit; dari mulai burung gereja, bondol jawa dan bondol rawa, gelatik batu, hingga emprit sawah dan lainnya. aku masih punya kenangan kuat dengan burung alap-alap, beberapa burung penyanyi, burung dara, dan beberapa burung bangau dan air tawar lainnya. atau hewan-hewan yang kini melata dan berjalan dengan kakinya. 

kelak mungkin akan ada orang yang tak tahu apa itu cicak. karena ada beberapa temanku yang tak tahu apa itu kelelawar dalam dunia nyata. bahkan walet pun bentuknya seperti apa, mereka tak tahu. ketika aku bertanya tentang jambu mete pun tak tahu. dalam artian banyak, anak-anak muda di sekitarku dan yang kini hidup di sekitar Jawa, tak tahu apa saja yang ada, hidup, dan bernama di pulau ini. bagi diriku sendiri, Jawa kian menjadi asing. seolah-olah aku lahir dari negeri yang jauh dari pulau ini.

aku masih ingat ketika berada di UGM beberapa waktu yang lalu. ada sebuah diskusi yang pada akhirnya menyangkut juga dengan identitas Jawa yang harusnya mudah dikenal. di sebuah layar, terdapat sebuah gambar yang sangat jelas. bangunan khas Jawa yang anehnya banyak anak muda di dalamnya bahkan tak tahu bangunan apa itu. bangunan itu bernama Joglo. dan aku rasa, kian hari, nama Joglo sebagai bangunan khas Jawa semakin hilang dari ingatan anak-anak muda hari ini. diriku juga semakin kehilangan nama-nama yang dulu pernah aku kenal.

kian hari aku semakin asing di tanah ini. aku bagaikan bukan lahir dari tanah ini. akhir-akhir ini, pikiran semacam itu sungguh sangat menggangguku.

banyak anak muda yang hari ini tinggal di sebuah kota besar, akan semakin asing dengan tanahnya sendiri. banyak dari mereka kehilangan ingatan atau tak tahu sama sekali mengenai nama sebuah pohon, hewan, dan tumbuhan secara nyata. bahkan kebudayaan dan seni pun serta sejarah semakin menjadi hal yang langka dalam diri kita. seringkali aku berpikir, sebenarnya kita ini siapa, jika kita hidup di tanah ini tapi orang asinglah yang lebih tahu akan tanah ini?

mengingat sebuah nama jalan pun kini butuh perjuangan. apalagi mengingat sebuah nama yang bahkan ketika lahir pun kita tak pernah mengetahuinya? 



Jawa semakin asing. tanah ini berganti dengan Natasha, Gramedia, bioskop 21, Carrefour, Gain, Honda, Samsung, hingga facebook dan lainnya. kelak, di masa yang akan datang, mungkin banyak orang tak lagi tahu apa itu pohon bambu. pohon yang dahulu hampir mengusai setiap jengkal tanah di pulau Jawa ini. pohon yang kini kian menghilang digantikan pemukian dan bangunan-bangunan berbahasa asing. pohon yang semakin langka dan tak mudah untuk ditemui lagi di kota-kota besar di pulau Jawa itu akan menjadi tanda bahwa tanah ini adalah sebuah tanah yang tak lagi mampu kita kenali.
kelak, Jawa hanyalah sekedar masa lalu.

Sabtu, 05 Maret 2016

DUNIA ANTARA YANG RAPUH












ketika sebuah kota berdiri, 
kehidupan yang lain menghilang.
- Merah Naga

Macet. Panas. Kumuh dan bau. Baiklah, inilah Jogja. Dan para penulis dari the GOOD TRVLRS journal harus mulai meralat kata-katanya dalam buku yang mereka susun. Mereka bilang dalam bukunya “lalu lintas di kota ini terbilang nyaman untuk anda yang senang menikmati jalanan”. Waaw, luar biasa. aku tak tahu seberapa butakah mereka menulis ataukah para penulisnya sedang sibuk mengkhayal? Nyaman menikmati jalanan? Seandainya ada hal yang semacam itu, setiap hari aku akan naik sepeda dan jalan kaki! Bahkan ketika menuju stasiun Lempuyangan pun kemacetan adalah suatu kebahagian dari kemodernan kota ini. dan entah kenapa, dalam buku mereka yang masih sama, ada kalimat yang sungguh sangat memilukkan hingga nyawaku nyaris saja ditarik-tarik kucing dari neraka tetangga. “hampir di setiap jalan, disediakan area bagi penggowes sepeda. Muda atau tua tidak menjadi batas untuk bersepeda keliling kota. Itulah sebabnya Jogja dijuluki sebagai kota sepeda.” Aku pun mengangguk. Kali ini mereka benar! Ketika berada di jalanan menuju stasiun Lempuyangan, deretan “sepeda” motor ada di mana-mana hingga mirip semut merayap. Kadang tak sengaja mata menemukan para pengayuh sepeda yang bukan motor. Jumlahnya sangat mengagumkan. Dua pengayuh sepeda di pertigaan jalan, satu lagi ada di beberapa kilometer di depan, dan beberapa puluh menit kemudian, ada satu lagi yang berjalan tersuruk-suruk melewati genangan sepeda motor dan mobil. Baiklah, aku coba menghitung jumlah kendaraan bermesin yang dilaui para sepeda itu. satu detik, lebih dari lima ratus buah! Lima menit, seribu! Dan sekian menit lagi, sampai tak tahu lagi berapa banyak jumlahnya. Karena terlalu menggembirakannya perkembangan kendaraan bermesin yang ada, jalanan pun terasa bagaikan surga yang telah hilang. 

Aku pun sampai di Stasiun yang cukup penuh, mencari tempat duduk, menunggu kedatangan kereta. Sambil membolak-balikkan Jawa Tempo Doeloe karangan James R. Rush, mataku juga bergerak kesana-kemari di sekitar stasiun, mencari sesuatu yang langka. Apakah ada pembaca buku di stasiun kota ini, kota pelajar atau bahkan kota di mana toko buku ada di mana-mana dan tentunya kota yang juga seringkali disebut dengan kota pendidikan? Tapi aku tak banyak berharap. Sebelum sampai di stasiun pun aku sudah malas berimajinasi yang bukan-bukan. Para pembaca buku di  jalanan dan tempat umum yang ada di Jogja? Kalau hal semacam itu terjadi, dan banyak, mungkin aku akan terkena serangan jantung mendadak dan malaikat akan mengajakku jalan-jalan dan mampir makan sebentar di warung padang sekitar sebelum diantar ke tempat yang paling membahagiakan di sisi seberang dunia sana yang aku rasa, mungkin akan sangat panas.

Baiklah, mataku tak menemukan satu pun sosok berwajah mahasiswa sedang asyik membaca buku di ruang tunggu luar stasiun ini. mungkin aku salah, mungkin diam-diam mereka membaca di dalam kepala atau buku elektronik mereka. aku pun akhirnya menyerahkan tiket kereta ke petugas pintu masuk, yang seolah sedang memeriksa buronan penjahat yang sedang kabur sebelum diijinkan menginjakkan kaki di sisi dalam stasiun. Setelah stempel dibubuhkan, mataku pun bergerak kesana-kemari. Siapa tahu, ada sesuatu yang menarik di dalam sini, pikirku.

Aku pun masuk dengan tas dipunggung serta tas satunya yang berisikan buku-buku. Mencoba mencari tempat duduk, tapi nyaris penuh. Akhirnya aku pun melepas lelah di sekitar rel kereta. Mengamati deretan kursi yang hampir penuh, dan banyak di antaranya adalah anak muda. Kepalaku pun seketika menarik kedua kakiku untuk berjalan melewati deretan bangku-bangku. Siapa tahu, ada pembaca buku di sini? 

Berjalan di deretan bangku pertama, hanya ada sekumpulan anak muda yang sibuk menundukkan kepalanya untuk berdoa kepada handphonenya. Deretan kedua, anak-anak kecil dan orang tua mereka sedang membuat dunia fantasi di sekitar mereka sendiri. deretan ketiga, waw, akhirnya, ada juga seorang yang terlalu gilanya membawa buku di tempat seperti ini. lalu aku perlahan mendekat, melihat-lihat dengan penuh penasaran apa yang dibaca laki-laki itu. baiklah, kertas putih yang berisikan rumus-rumus! Sedangkan mata berbagai macam orang keheranan menatap kelakuanku yang mungkin sangat aneh. Perduli ah, aku pun melangkankah kaki lagi, dan mataku menyesuri berbagai macam deretan bangku dengan diiringi berbagai macam deretan mata yang seolah-olah semuanya diarahkan kepadaku. Bangku kemudian, berisi orang yang sibuk melamun, merenung, atau mungkin patah hati. Deretan berikutnya, berisi orang yang mengantuk, tegang atau mungkin juga sibuk dengan kepala yang dipenuhi hutang-hutang. Deretan berikutnya, mataku seketika berhenti. Ada perempuan muda memegang sebuah buku! Aku pun semakin mendekat, lalu, baiklah, seorang perempuan yang sedang sibuk menghiasi buku bergambarnya. Tak apalah. Setidaknya ada dua orang gila yang masih mau memegang buku. Lalu aku pun kembali melangkah, beberapa deret di depan, terlihat sosok tua yang sibuk mengarahkan matanya di hamparan koran. Otakku langsung merespon, kenapa selalu orang tua yang hampir mati yang memegang koran? Aku pun terdiam dengan penuh perenungan. Baiklah,  ini Indonesia, hanya orang yang sebentar lagi matilah yang membutuhkan koran dan segala isinya. Bangku berikutnya, ada ibu-ibu yang sibuk dengan laptopnya. Mungkin lagi sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun terus melangkahkan kaki hingga akhirnya tenggelam dalam kenyamaan toilet gratis.

Di dalam toilet, otakku pun berputar-putar. Ada empat orang yang entah bisa disebut sebagai pembaca atau tidak, yang jelas, aku menganggapnya masuk hitungan secara kasar. Lalu sisanya yang jumlahnya banyak itu? mungkin mereka sedang membaca di surga dekat Tuhan dengan hanya memakai jiwanya. Mungkin itu akan terlihat sebagai pengilusian yang keren. 

Stasiun, mirip bandara dan terminal, adalah wajah terdepan dari sebuah kota. Seperti itulah aku mencoba memikirkannya. Jika tak banyak pembaca buku dan pesepeda berada di sekitar tempat-tempat semacam stasiun ini, kemungkinan besar, kotanya pun akan memiliki jiwa yang tak jauh berbeda. Apakah sebegitu menyedihkannya kota Jogja yang aku tinggali? 

Kereta sudah datang. Aku pun segera menuju pintu yang terbuka dan mencari-cari kursi yang akan aku duduki selama lebih dari delapan jam ke depan. Mengenai Jogja, aku akan memikirkannya nanti. Di depanku, terdapat pasangan paruh baya sedang asyik bermesraan tanpa perasaan dan menjadi teman perjalananku dalam diam. Dan kereta pun berderit, memulai keberangkatannya yang nantinya akan membuatku sangatlah tersiksa.

Pelan dan pasti, aku pun meninggalkan kota Jogja yang lahir dari menebangi pepohonan yang dulunya bernama Hutan. Aku rasa, kini hutan masa lalu telah menjadi hutan berbeton dengan segenap bangunan tegak bertemboknya. 

Apakah ada pembaca buku dan pesepeda di Bandung? Aku tak tahu. kereta pun mulai berjalan di dalam kegelapan dan bergoyang-goyang dengan gamang. Aku pun menuju Bandung. Kota yang dijuliki Paris van Java dan sederet nama pujian lainnya.

Tapi, di dalam pikiranku, entah kenapa terbesit suatu hal bahwa setiap kota yang ada, selalu saja menghilangkan kehidupan yang lainnya. apakah kota-kota yang pada akhirnya aku kunjungi telah membuat kehidupan hari ini begitu mengerikan? mataku menatap kaca yang memantulkan warna hitam. kereta terus melaju. menembus sudut Jawa yang tak mudah aku pahami kini.


ANTARA SAKIT DAN AWAL PERJALANAN








barang siapa pergi jauh, dia memerlukan kecerdasan.
orang bodoh harus tinggal di rumah.
- Eddas


Aku terlalu takut meninggalkan gagasanku yang belum selesai aku tulis. Itulah alasan utama kenapa seluruh perjalananku tertunda.  Agustus harusnya menjadi bulan di mana aku akan mengelilingi pulau Jawa dengan membawa ide di kepala yang akhirnya membuatku tak cepat berjalan menenteng ransel.
Perjalanan, atau petualang adalah pertempuran antara membeli buku untuk tulisan-tulisanku atau menikmati dunia dan keluar dari penjara ide-ide. Tapi anehnya, perjalanan ini pun adalah perjalanan ide. Perjalanan pikiran.
Ideapacker, seperti itulah aku menyebut diriku. Seorang yang melakukan perjalanan maupun petualangan untuk menemukan ide-ide, mencarinya atau mencoba sedikit menangkap kilasannya.
Semua orang lebih suka menjadi backpacker secara umum. Karena terlalu umumnya, hingga aku kesusahan mencari buku kisah perjalanan backpacker yang menarik. Sayang, Agustinus Wibowo menempuh jaraknya di luar negeri bukan di tanah ini. Begitu juga Sigit Susanto.
Banyak para backpaker menjadi wujud kosong yang berjalan kesana kemari. Dan banyak dari mereka menyebut dirinya pencinta alam, pendaki gunung, atau petualang nyaris tak menghasilkan apapun. Mereka sekedar memamerkan bendera, sepatu dan tas mahal mereka, berbagai macam peralatan yang tak menghasilkan apapun kecuali foto dan tai miliknya sendiri. Sejujurnya, dunia backpackeran kita dalam keadaan krisis. Orang-orang pergi menenteng tasnya tanpa pikiran. Hingga kemanapun mereka pergi. Sejauh apapun mereka menapak, tak ada sesuatu yang yang luar biasa yang mampu dihasikan. Bahkan mungkin mereka akan sekedar mengabdikan foto dirinya sendiri seandainya mereka berada di bulan dan tak perduli apa yang ada di dalamnya.
Mereka semua selalu saja menghasilkan sampah petualangan.
Gothe pernah berkata, “orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.” Aku rasa, ribuan orang backpacker yang kita miliki otaknya sudah terlanjur berada di pantat bahkan semenjak mereka lahir. Bagaimana tidak? Mereka, dari tahun ke tahun melewati tanah yang sama, desa yang sama, kota yang sama, padang yang sama, sungai yang sama, gunung yang sama, pantai yang sama, hamparan sawah yang hampir sama kecuali ada pengusaha yang tiba-tiba kencing lalu muncullah hotel dan sebagainya. Banyak para petualang kita mengabadikan foto yang nyaris sama. Menjejakkan kakinya di tempat-tempat yang nyaris selalu sama selama berpuluh-puluh tahun.
Mungkin Heraklitus akan menangkis dan berkata, tidak kawan, tak akan pernah ada sesuatu yang sama. Tapi aku lagi tak butuh Heraklitus di sini. Heraklitus mungkin juga akan menggelengkan kepalanya melihat berbagai jenis petualang negara ini yang memiliki berbagai macam kemudahan tapi menulis saja tak becus. Bahkan sama sekali tak kenal akan tanah yang dipijaknya.
Kalau bukan otaknya terlanjur sudah suka berada di pantat, mungkin hari ini kita melihat rak-rak buku berisi berbagai macam kisah yang mencengangkan. Berbagai penemuan. Ide-ide cemerlang yang lahir dari petualangan dan perjalanan ribuan orang selama ini. Tapi, tidak, aku nyaris tak menemukannya. Terakhir yang aku lihat adalah buku Norman Edwin, Catatan Sahabat Sang Alam, 30 Hari Kelilingi Sumatera karya Ary Amhir dan Menyusuri Garis Bumi dari Clement Steve. Ada beberapa buku yang lebih bersifat ekspedisi dan lainnya. Tapi dari ribuan orang yang melakukan petualangan dan menganggap dirinya seorang bacpacker, siapakah di antaranya yang pada akhirnya menjadi seorang naturalis, biolog, ilmuwan, geolog, ahli sejarah, penulis kisah perjalanan yang penuh dengan pengetahuan segar, atau para pengembang ide dan penemu berbagai macam alat dan gagasan baru? Lalu tidakkah perjalanan yang ribuan orang selama ini lakukan adalah sekedar menapaki ulang kebodohan yang sama?
Akhir-akhir ini slogan My Trip My Adventure sudah semakin disukai dan dijadikan semacam ikon. Aku rasa seharusnya ikon yang benar adalah Bokongku adalah Petualanganku. Kita selama ini berpetualang tanpa mengandalkan otak. Tapi sekedar bokong untuk duduk, berjalan dan kembali duduk. Hanya sekedar berganti dari satu tempat ke tempat lainnya. Maka para petualang kita adalah bokong berjalan. Bukan pikiran yang berjalan atau petualang pikiran.
Bagiku, sudah saatnya berkata bahwa pikiranku adalah perjalananku.
JJ Rizal pada suatu kesempatan pernah berkata, “orang baik tanpa pengetahuan adalah kecelakaan.” Maka dari itu, nyaris semua petualangan yang dilakukan oleh ribuan orang di negara ini adalah kecelakaan besar. Kebodohoan yang dilestarikan selama berpuluh-puluh tahun. Petualangan tanpa adanya kecerdasan di dalamnya adalah benar-benar kecelakaan. Mungkin buku Eddas benar, bahwa orang bodoh lebih baik tinggal di rumah. Bahkan seandainya mereka mencapat planet Mars pun, tak akan ada sesuatu yang berguna yang akan dihasilkannya.
Goethe dalam bukunya Faust pernah bertanya, “bagaimana kita melakukanya, agar semua menjadi segar dan baru. Dan selain punya arti juga menyenangkan?.” Maka dari itu, aku akan mengandalkan otakku, perasaanku, tidak hanya sekedar bokong yang aku miliki.
Aku ingin melihat dunia ini dari sudut pandang yang sudah terbentuk semenjak bertahun-tahun lamanya ketika aku mengamati segala sesuatu. Aku selalu mengeluh, mungkin karena aku memang pengeluh, mengenai susahnya menemukan buku yang dibaca di jalan-jalan. Seolah-olah buku adalah aib yang harus disembunyikan dan jangan sampai berada di tempat-tempat umum. Masyarakat yang biasanya maju adalah masyarakat yang mana buku meresap dan menjadi penting dalam hidupnya. Hampir semua peradaban besar dan kemajuan berbagai macam kota, disertai dengan buku-buku yang dibaca luas oleh masyarakat yang ada di dalamnya.
Bahkan ada pepetahan Islandia yang harusnya besok mulai dihapal oleh para petualang kita, yaitu, “lebih baik berjalan telanjang kaki daripada tanpa buku.” Di negara ini, ada perbedaan kecil tapi menentukan. Banyak orang lebih suka bertelanjang bokong dan dada! Pastinya tanpa buku. Mungkin itulah yang menyebabkan Islandia menjadi rumah bagi kreativitas dan kesenangan akan kegagalan demi menikmati suatu proses dan pengalaman. Sedang kita? Ya, bahkan celana dalam pun made in China.
Aku selalu berpikir, sedikitnya para pembaca bukulah yang membuat negara ini terus menerus menjadi konsumen yang gelisah. Kita dijalin oleh identitas rapuh yang ditentukan oleh ribuan barang yang datang dan pergi. Tanpa harus bersusah payah untuk merasakan proses pembuatannya. Kita terasing dengan akar budaya yang kita miliki. Tidakkah banyak anak muda yang lebih hapal dengan logo Samsung atau Apple dari pada jenis-jenis bambu? Berbagai macam spesies barang elektronik lebih mudah diingat dari pada berbagai macam jenis burung? Dan mirisnya, hampir semua petualang besar masa lalu adalah orang-orang asing dan tentunya merekalah yang hampir nyaris menulis semua tentang keadaan alam kita dan kondisi masyarakatnya! Lalu di mana para backpacker dan ribuan petualang kita? Haduh, mereka asyik mengunggah foto di facebook dengan segala macam pose dan senyuman.  Jika orang Yunani menulis ratusan buku dalam masa hidupnya. Kita memposting ribuan foto dalam satu tahun hidup kita. Sepertinya sangat menjanjikan. Atau menyedihkan?
Sama halnya buku, sepeda adalah sesuatu yang langka jika berada di jalanan. Pengembaraanku ini adalah keinginan untuk melihat buku dan sepeda ada di jalan-jalan dan menjadi gaya hidup. Aku rasa, jika para pengguna sepeda sudah semakin nyaman menikmati ruang dan aktivitasnya di jalan-jalan, mereka yang lebih suka berjalan kaki pun akan semakin banyak. Apa yang dilakukan oleh salah satu pengguna sepeda beberapa waktu yang lalu dalam menghentikan tingkah kekanak-kanakan para pengguna motor besar adalah suatu jenis keindahan tertentu. Keajaiban semacam itu jarang terjadi. Selain lebih sehat, menggunakan sepeda akan lebih menghemat ruang, memurnikan lingkungan dan udara, serta menjadikan seseorang lebih mudah untuk bersinggungan dengan yang lainnya. Dan ada semacam pengalaman yang tak akan bisa dimiliki oleh para pengendara mesin yang lain.
Melihat Indonesia dari Sepeda yang ditulis oleh Ahmad Arif lah yang mendorongku untuk mempercepat keinginanku melakukan pengembaraan di pulau Jawa ini. Pulau yang semakin asing bagiku. Pulau yang nyaris tak dijamah oleh para backpacker yang malang melintang hampir nyaris setiap waktu. Orang bisa berpergian kemanapun ia mau. Tapi apakah nanti ia akan lebih mengenal tempat yang ia datangi? Belum tentu. Dalam banyaknya perjalanan, orang lebih cenderung abai dengan banyak hal daripada ingin tahu dan mengenal tempat yang ia pijak. Bahkan tanah kelahiran sendiri pun kita bisa nyaris buta. 
Perjalananku memang tertunda, tapi aku mendapatkan banyak hal dari ketertundaan itu. Aku masih bisa membaca kisah perjalanan Paul Salopek sejauh 34.000 kilometer yang dilakukannya dari mulai Etiophia dengan berjalan kaki dan baru akan selesai selama tujuh tahun kemudian di Afrika Selatan. Aku menyukai jurnalis peraih Pulitzer itu yang ingin menapaktilasi perjalanan nenek moyang kita saat keluar dari Nirwana dan akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tentunya perjalanan itu bukan hanya sekedar perjalanan. Tidak hanya sekedar bokong yang berpindah tempat. Tapi perjalanan itu begitu membuatku kagum karena ada banyak hal di dalam perjalanan itu yang layak untuk dibaca dan direnungkan. Walau aku pun bukan penganut evolusi, membayangkan perjalanan itu saja sudah membuatku terkagum-kagum. Perjalanannya menapaktilasi jalur leluhur kita, menurut pandangannya, dengan berjalan kaki ia namai sebagai Keluar dari Nirwana.
Seperti yang dikatakan oleh Paul Salopek, “berjalaan itu bagaikan bahasa.” Sama halnya dengan membaca buku bersepeda. Ada satu cerminan dari budaya dan peradaban di dalamnya. Dan apa yang aku coba lakukan adalah mencari sisa dari pantulan cermin yang semakin susah dicari itu. Pantulan cermin dari para pembaca buku dan pengayuh sepeda yang semakin kian langka dan susah ditemukan. Lebih mudah melihat payudara yang menyembul dari pada melihat kedua jenis yang aku cari di negara ini.
kenapa harus mengelilingi atau mengembara di tanah Jawa? Jawa adalah tanah dimana diriku tumbuh berkembang dan pusat peradaban nusantara dan Indonesia modern. Jawa adalah miniatur Indonesia. Tempat di mana ribuan anak muda keluar dari tempatnya masing-masing untuk belajar di tanah ini. Jika Jawa adalah tempat yang sehat untuk pikiran dan hati, maka, tempat-tempat lainnya mungkin akan terjangkiti hal yang sama. Begitu juga sebaliknya jika Jawa adalah tanah yang asing dan sakit-sakitan. Karena itulah aku ingin segera memulai pengembaraanku. Menuju ke dalam apa yang dikatakan Paul Salopek sebagai “kehampaan sejarah yang membuat gamang.”
Minggu/23/08/15

PERJALANAN YANG TERTUNDA




barang siapa pergi jauh, dia memerlukan kecerdasan.
orang bodoh harus tinggal di rumah.
- Eddas


Aku terlalu takut meninggalkan gagasanku yang belum selesai aku tulis. Itulah alasan utama kenapa seluruh perjalananku tertunda.  Agustus harusnya menjadi bulan di mana aku akan mengelilingi pulau Jawa dengan membawa ide di kepala yang akhirnya membuatku tak cepat berjalan menenteng ransel.
Perjalanan, atau petualang adalah pertempuran antara membeli buku untuk tulisan-tulisanku atau menikmati dunia dan keluar dari penjara ide-ide. Tapi anehnya, perjalanan ini pun adalah perjalanan ide. Perjalanan pikiran.
Ideapacker, seperti itulah aku menyebut diriku. Seorang yang melakukan perjalanan maupun petualangan untuk menemukan ide-ide, mencarinya atau mencoba sedikit menangkap kilasannya.
Semua orang lebih suka menjadi backpacker secara umum. Karena terlalu umumnya, hingga aku kesusahan mencari buku kisah perjalanan backpacker yang menarik. Sayang, Agustinus Wibowo menempuh jaraknya di luar negeri bukan di tanah ini. Begitu juga Sigit Susanto.
Banyak para backpaker menjadi wujud kosong yang berjalan kesana kemari. Dan banyak dari mereka menyebut dirinya pencinta alam, pendaki gunung, atau petualang nyaris tak menghasilkan apapun. Mereka sekedar memamerkan bendera, sepatu dan tas mahal mereka, berbagai macam peralatan yang tak menghasilkan apapun kecuali foto dan tai miliknya sendiri. Sejujurnya, dunia backpackeran kita dalam keadaan krisis. Orang-orang pergi menenteng tasnya tanpa pikiran. Hingga kemanapun mereka pergi. Sejauh apapun mereka menapak, tak ada sesuatu yang yang luar biasa yang mampu dihasikan. Bahkan mungkin mereka akan sekedar mengabdikan foto dirinya sendiri seandainya mereka berada di bulan dan tak perduli apa yang ada di dalamnya.
Mereka semua selalu saja menghasilkan sampah petualangan.

Gothe pernah berkata, “orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.” Aku rasa, ribuan orang backpacker yang kita miliki otaknya sudah terlanjur berada di pantat bahkan semenjak mereka lahir. Bagaimana tidak? Mereka, dari tahun ke tahun melewati tanah yang sama, desa yang sama, kota yang sama, padang yang sama, sungai yang sama, gunung yang sama, pantai yang sama, hamparan sawah yang hampir sama kecuali ada pengusaha yang tiba-tiba kencing lalu muncullah hotel dan sebagainya. Banyak para petualang kita mengabadikan foto yang nyaris sama. Menjejakkan kakinya di tempat-tempat yang nyaris selalu sama selama berpuluh-puluh tahun.
Mungkin Heraklitus akan menangkis dan berkata, tidak kawan, tak akan pernah ada sesuatu yang sama. Tapi aku lagi tak butuh Heraklitus di sini. Heraklitus mungkin juga akan menggelengkan kepalanya melihat berbagai jenis petualang negara ini yang memiliki berbagai macam kemudahan tapi menulis saja tak becus. Bahkan sama sekali tak kenal akan tanah yang dipijaknya.
Kalau bukan otaknya terlanjur sudah suka berada di pantat, mungkin hari ini kita melihat rak-rak buku berisi berbagai macam kisah yang mencengangkan. Berbagai penemuan. Ide-ide cemerlang yang lahir dari petualangan dan perjalanan ribuan orang selama ini. Tapi, tidak, aku nyaris tak menemukannya. Terakhir yang aku lihat adalah buku Norman Edwin, Catatan Sahabat Sang Alam, 30 Hari Kelilingi Sumatera karya Ary Amhir dan Menyusuri Garis Bumi dari Clement Steve. Ada beberapa buku yang lebih bersifat ekspedisi dan lainnya. Tapi dari ribuan orang yang melakukan petualangan dan menganggap dirinya seorang bacpacker, siapakah di antaranya yang pada akhirnya menjadi seorang naturalis, biolog, ilmuwan, geolog, ahli sejarah, penulis kisah perjalanan yang penuh dengan pengetahuan segar, atau para pengembang ide dan penemu berbagai macam alat dan gagasan baru? Lalu tidakkah perjalanan yang ribuan orang selama ini lakukan adalah sekedar menapaki ulang kebodohan yang sama?
Akhir-akhir ini slogan My Trip My Adventure sudah semakin disukai dan dijadikan semacam ikon. Aku rasa seharusnya ikon yang benar adalah Bokongku adalah Petualanganku. Kita selama ini berpetualang tanpa mengandalkan otak. Tapi sekedar bokong untuk duduk, berjalan dan kembali duduk. Hanya sekedar berganti dari satu tempat ke tempat lainnya. Maka para petualang kita adalah bokong berjalan. Bukan pikiran yang berjalan atau petualang pikiran.
Bagiku, sudah saatnya berkata bahwa pikiranku adalah perjalananku.


JJ Rizal pada suatu kesempatan pernah berkata, “orang baik tanpa pengetahuan adalah kecelakaan.” Maka dari itu, nyaris semua petualangan yang dilakukan oleh ribuan orang di negara ini adalah kecelakaan besar. Kebodohoan yang dilestarikan selama berpuluh-puluh tahun. Petualangan tanpa adanya kecerdasan di dalamnya adalah benar-benar kecelakaan. Mungkin buku Eddas benar, bahwa orang bodoh lebih baik tinggal di rumah. Bahkan seandainya mereka mencapat planet Mars pun, tak akan ada sesuatu yang berguna yang akan dihasilkannya.
Goethe dalam bukunya Faust pernah bertanya, “bagaimana kita melakukanya, agar semua menjadi segar dan baru. Dan selain punya arti juga menyenangkan?.” Maka dari itu, aku akan mengandalkan otakku, perasaanku, tidak hanya sekedar bokong yang aku miliki.
Aku ingin melihat dunia ini dari sudut pandang yang sudah terbentuk semenjak bertahun-tahun lamanya ketika aku mengamati segala sesuatu. Aku selalu mengeluh, mungkin karena aku memang pengeluh, mengenai susahnya menemukan buku yang dibaca di jalan-jalan. Seolah-olah buku adalah aib yang harus disembunyikan dan jangan sampai berada di tempat-tempat umum. Masyarakat yang biasanya maju adalah masyarakat yang mana buku meresap dan menjadi penting dalam hidupnya. Hampir semua peradaban besar dan kemajuan berbagai macam kota, disertai dengan buku-buku yang dibaca luas oleh masyarakat yang ada di dalamnya.
Bahkan ada pepetahan Islandia yang harusnya besok mulai dihapal oleh para petualang kita, yaitu, “lebih baik berjalan telanjang kaki daripada tanpa buku.” Di negara ini, ada perbedaan kecil tapi menentukan. Banyak orang lebih suka bertelanjang bokong dan dada! Pastinya tanpa buku. Mungkin itulah yang menyebabkan Islandia menjadi rumah bagi kreativitas dan kesenangan akan kegagalan demi menikmati suatu proses dan pengalaman. Sedang kita? Ya, bahkan celana dalam pun made in China.
Aku selalu berpikir, sedikitnya para pembaca bukulah yang membuat negara ini terus menerus menjadi konsumen yang gelisah. Kita dijalin oleh identitas rapuh yang ditentukan oleh ribuan barang yang datang dan pergi. Tanpa harus bersusah payah untuk merasakan proses pembuatannya. Kita terasing dengan akar budaya yang kita miliki. Tidakkah banyak anak muda yang lebih hapal dengan logo Samsung atau Apple dari pada jenis-jenis bambu? Berbagai macam spesies barang elektronik lebih mudah diingat dari pada berbagai macam jenis burung? Dan mirisnya, hampir semua petualang besar masa lalu adalah orang-orang asing dan tentunya merekalah yang hampir nyaris menulis semua tentang keadaan alam kita dan kondisi masyarakatnya! Lalu di mana para backpacker dan ribuan petualang kita? Haduh, mereka asyik mengunggah foto di facebook dengan segala macam pose dan senyuman.  Jika orang Yunani menulis ratusan buku dalam masa hidupnya. Kita memposting ribuan foto dalam satu tahun hidup kita. Sepertinya sangat menjanjikan. Atau menyedihkan?
Sama halnya buku, sepeda adalah sesuatu yang langka jika berada di jalanan. Pengembaraanku ini adalah keinginan untuk melihat buku dan sepeda ada di jalan-jalan dan menjadi gaya hidup. Aku rasa, jika para pengguna sepeda sudah semakin nyaman menikmati ruang dan aktivitasnya di jalan-jalan, mereka yang lebih suka berjalan kaki pun akan semakin banyak. Apa yang dilakukan oleh salah satu pengguna sepeda beberapa waktu yang lalu dalam menghentikan tingkah kekanak-kanakan para pengguna motor besar adalah suatu jenis keindahan tertentu. Keajaiban semacam itu jarang terjadi. Selain lebih sehat, menggunakan sepeda akan lebih menghemat ruang, memurnikan lingkungan dan udara, serta menjadikan seseorang lebih mudah untuk bersinggungan dengan yang lainnya. Dan ada semacam pengalaman yang tak akan bisa dimiliki oleh para pengendara mesin yang lain.
Melihat Indonesia dari Sepeda yang ditulis oleh Ahmad Arif lah yang mendorongku untuk mempercepat keinginanku melakukan pengembaraan di pulau Jawa ini. Pulau yang semakin asing bagiku. Pulau yang nyaris tak dijamah oleh para backpacker yang malang melintang hampir nyaris setiap waktu. Orang bisa berpergian kemanapun ia mau. Tapi apakah nanti ia akan lebih mengenal tempat yang ia datangi? Belum tentu. Dalam banyaknya perjalanan, orang lebih cenderung abai dengan banyak hal daripada ingin tahu dan mengenal tempat yang ia pijak. Bahkan tanah kelahiran sendiri pun kita bisa nyaris buta.
Perjalananku memang tertunda, tapi aku mendapatkan banyak hal dari ketertundaan itu. Aku masih bisa membaca kisah perjalanan Paul Salopek sejauh 34.000 kilometer yang dilakukannya dari mulai Etiophia dengan berjalan kaki dan baru akan selesai selama tujuh tahun kemudian di Afrika Selatan. Aku menyukai jurnalis peraih Pulitzer itu yang ingin menapaktilasi perjalanan nenek moyang kita saat keluar dari Nirwana dan akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tentunya perjalanan itu bukan hanya sekedar perjalanan. Tidak hanya sekedar bokong yang berpindah tempat. Tapi perjalanan itu begitu membuatku kagum karena ada banyak hal di dalam perjalanan itu yang layak untuk dibaca dan direnungkan. Walau aku pun bukan penganut evolusi, membayangkan perjalanan itu saja sudah membuatku terkagum-kagum. Perjalanannya menapaktilasi jalur leluhur kita, menurut pandangannya, dengan berjalan kaki ia namai sebagai Keluar dari Nirwana.
Seperti yang dikatakan oleh Paul Salopek, “berjalaan itu bagaikan bahasa.” Sama halnya dengan membaca buku bersepeda. Ada satu cerminan dari budaya dan peradaban di dalamnya. Dan apa yang aku coba lakukan adalah mencari sisa dari pantulan cermin yang semakin susah dicari itu. Pantulan cermin dari para pembaca buku dan pengayuh sepeda yang semakin kian langka dan susah ditemukan. Lebih mudah melihat payudara yang menyembul dari pada melihat kedua jenis yang aku cari di negara ini.
kenapa harus mengelilingi atau mengembara di tanah Jawa? Jawa adalah tanah dimana diriku tumbuh berkembang dan pusat peradaban nusantara dan Indonesia modern. Jawa adalah miniatur Indonesia. Tempat di mana ribuan anak muda keluar dari tempatnya masing-masing untuk belajar di tanah ini. Jika Jawa adalah tempat yang sehat untuk pikiran dan hati, maka, tempat-tempat lainnya mungkin akan terjangkiti hal yang sama. Begitu juga sebaliknya jika Jawa adalah tanah yang asing dan sakit-sakitan. Karena itulah aku ingin segera memulai pengembaraanku. Menuju ke dalam apa yang dikatakan Paul Salopek sebagai “kehampaan sejarah yang membuat gamang.”

Minggu/23/08/15

RENCANA PETUALANGAN








jika nanti aku mati dalam perjalananku,
setidaknya aku telah menuliskan sebagian dari duniaku.
- merah naga



 
ini adalah salah satu rencana perjalanan paling gila yang pernah aku rencanakan selama ini. petualangan yang bukan dilakukan oleh seorang yang kondisi fisik dan jiwanya sedang baik. ini adalah rencana perjalanan dari seorang laki-laki yang setiap hari nyaris sakit secara fisik; sakit punggung, flu berat, demam, terkadang asma, ginjal bermasalah, tifus, dan beberapa lainnya. bisa dibilang, tubuhku hanya optimal sekitar 3-6 jam di jalanan. lebih dari itu, tubuhku akan langsung panas, flu menyertai, punggungku akan terasa sakit luar biasa dan linu, sangat berat sekedar hanya untuk duduk terlebih berdiri, dan tentunya aku akan kelelahan dan kesakitan yang luar biasa secara fisik. seandainya aku terserang demam, aku akan mengalami sakit itu lebih dari seminggu jika tidak aku hentikan semua aktivitas yang aku lakukan. dari segi fisik, mengelilingi jawa dengan kondisi tubuh seperti ini, adalah luar biasa konyol dan tak masuk akal. para petualang biasanya melakukan petualangnya di tengah fisiknya dalam kondisi terbagusnya atau ketika sembuh dari sakit. aku melakukan perjalananku, ketika tubuhku sedang dalam kondisi benar-benar sakit dan mudah jatuh kapanpun. 

di sisi lainnya, aku harus masih bejuang dengan bipolar dan segala macam turunannya yang menyusahkan. gangguan kejiwaan yang aku alami, kemungkinan besar akan mengganggu perjalananku. kondisi emosi yang labill bisa dengan mudah menjerumuskan aku pada kondisi ingin bunuh diri. apa jadinya jika aku memutuskan mati dan mengakhiri hidupku di tengah-tengah perjalananku? hal semacam itu bisa terjadi di tengah-tengah depresiku mulai kambuh kembali akhir-akhir ini. tapi yang jelas, perjalananku ini adalah petualangan di mana aku sudah bosan terhadap apapun. kota Jogja ini, entah kenapa, tak bisa menyembuhkan segala kebosanan dan keingintahuanku. karena itulah aku ingin melakukan petualangan. namun, alasan yang paling tepat dari kenapa aku melakukan perjalanan ini adalah seperti apa yang aku tulis dalam dinding facebook yang aku miliki:
Rencana Petualangan; Melihat Jawa Lewat Buku dan Sepeda

Aku tak tahu lagi harus bagaimana untuk menenangkan pikiran dan meredam segala bentuk kebosanan yang menimpaku berbulan-bulan lamanya. Aku mencoba berpolemik, tapi gagal. Akhirnya, ketika aku membaca buku MELIHAT INDONESIA DARI SEPEDA, ada ide menarik yang ingin aku lakukan bersamaan dengan petualangan yang dulu ingin aku lakukan.

Aku ingin mengunjungi kota-kota besar di jawa. Karena jawa adalah pusat indonesia, dimana banyak perantauan, jadi aku memutuskan ingin mencari para pembaca buku di tempat-tempat publik di berbagai kota besar. Apakah masih ada mereka yang membaca di kereta, bus, halte, tempat nongkrong dll. Tentunya, aku ingin melihat seberapa jauh sepeda menjadi aktivitas keseharian dari generasi muda hari ini. Dan akan luar biasa jika aku mendapatkan seorang pengayuh sepeda yang juga membaca buku ketika sedang beristirahat.

Buku dan sepeda adalah simbol yang cukup penting. Buku adalah simbol ilmu, wawasan, dan rasa ingin tahu yang besar. Sedangkan sepeda adalah simbol dari proses, kesabaran, dan guyup, tenggang rasa, atau kedekatan antara si pengayuh sepeda dengan sekitar; alam, warga, dan mewakili budaya. Lewat dua hal inilah, aku ingin sedikit mengerti, watak masyarakat jawa dan perantauannya hari ini.

Apakah buku dan sepeda telah menjadi nafas dan keseharian bagi masyaRakat jawa, atau indonesia? Itulah yang ingin aku tahu.

Aku akan melakukan petualangan ini, backpackeran, dengan menggunakan berbagai macam moda transportasi umum dengan diiringi jalan kaki. Jika, ada di antara kalian, yang masuk dalam kota yang akan aku kunjungi, mungkin kita bisa bertemu untuk saling tukar cerita dan sapa. Semoga aku bisa mengawalinya di bulan agustus nanti. Dan saatnya untuk menabung. Jika ada kalian yang ingin membantu, entah tempat menginap, barang, atau uang dan lainnya guna membiayai dan memudahnya perjalanan ini, aku akan dengan senang menerimanya.

Merah Naga

 
ini akan menjadi petualangan terbesarku walau itu hanya sekedar jawa. ini juga akan menjadi suatu petualangan yang sangat unik. suatu petualangan yang ingin melihat langsung generasi hari ini dan kemungkinan yang akan datang. aku ingin melihat, adakah para pecinta buku yang membawa bukunya di jalan-jalan? masih adakah seorang yang membaca buku di tempat umum di tengah masyarakat yang membaca seperti itu akan cenderung tak percaya diri dan malu? apakah buku sebagai simbol ilmu pengetahuan dan peradaban telah menjadi ikon atau simbol keseharian generasi muda hari ini atau cenderung dijauhi dan nyaris disingkirkan hampir di semua tempat publik yang ada? masihkah ada para intelektual, penyair, seniman, pemberontakan dan lainnya menenteng bukunya di jalan-jalan dan menganggap buku itu layaknya kamera, tas, atau alat-alat kebutuhan lainnya jika sedang berpergian? ataukah buku masih saja disimpang di tas dan hanya dibaca kalau sedang sendirian? dan banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang sangat memenuhi pikiran dan rasa ingin tahuku.
membaca buku adalah mentalitas, budaya dan juga sangat bersifat psikologis serta cermin dari peradaban. inilah kenapa, membaca buku di tempat-tempat umum sangatlah penting. di negara-negara maju, para pembaca bukunya bisa nyaris ditemui di dalam bus, cafe-cafe di pinggir jalan, kereta, taman, dan tempat-tempat umum lainnya. tapi di Indonesia terlebih Jawa? bagaimana dengan pulau yang berisikan nyaris semua orang seluruh Indonesia ini? karena itulah Jawa adalah cerminan dari generasi muda hari ini dan yang akan datang.
aku sering melihat, orang meneteng kamera, handphone, tablet, tas, dan macam-macamnya hampir di setiap jalan yang ada. tapi buku? menenteng buku? bahkan membaca buku di jalanan? masih adakah hal semacam itu? inilah yang ingin aku cari dari petualanganku kali ini.
membaca buku di tempat umum adalah masalah kepercayaan diri yang luar biasa. bisa dibilang keluar dari arus. membaca buku di perpustakaan itu wajar. tapi membaca buku di persimpangan jalan atau di mall dengan keadaan berdiri, di bus trans yang penuh sesak, adalah hal yang jarang terjadi. membawa kamera kemanapun pergi, dan menentengnya kemana-mana itu adalah wajar. tapi membawa buku di tangan kemana-mana, itu masih sangat tak wajar. hal semacam ini bersifat kebiasaan, dan juga mencerminkan arus pandangan hidup dan tentunnya sisi psikologis yang luar biasa kuat dan menarik. tak mudah membaca buku di tempat umum jikalau secara mental kita lebih mengedepankan rasa malu dan menganggap membaca di tempat umum akan dipandang seperti makluk asing. bahkan bagi orang-orang yang mengaku sebagai pecinta buku, membaca di tempat umum adalah hal yang sangat berat. buku akhirnya selalu disingkirkan dari tempat-tempat umum dan dianggap hanya ada di ruang-ruang sempit pribadi. hal semacam ini, menjadi contoh yang nyata, bahwa simbol peradaban ini dibuang dan nyaris tersingkir dari pusat-pusat kota, ruang publiknya, yang terebar di Indonesia terkhusus Jawa. karena itulah aku ingin menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, geliat berbagai macam kota menyambut keberadaan buku selama ini. masihkah keberadaan buku bagi generasi muda hari ini adalah memalukan jika dia berada di ruang-ruang publik? aku ingin berpertualang dan membuktikannya sendiri dengan mata kepalaku.
kota yang masih menganggap buku adalah aib pribadi jika dimunculkan di ruang publik adalah hal yang ironis. apa yang akan terjadi di kota tersebut? apakah dengan ketiadaan buku-buku di ruang publik, aku akan bisa menyimpulkan perkembangan ilmu pengetahuan, wawasan, dan seberapa jauh rasa ingin tahu generasi muda yang ada di dalamnya? pertanyaan-pertanyaan ini akan aku jawab nanti di perjalanan yang nantinya aku mulai.
lalu, kenapa aku harus menautkannya dengan sepeda? karena buku dan sepeda, adalah salah satu simbol yang identik dengan kemajuan dunia modern. simbol yang lebih ramah dan penuh wawasan dan rasa ingin tahu. selain itu, sepeda berkaitan erat dengan kesabaran, perjuangan akan lingkungan hidup, kesadaran akan hidup sehat, keinginan menjalani proses, pergaulan dengan sekitar yang lebih dekat dan penuh tenggang rasa, dan kekraban yang tak dimiliki oleh para pengguna moda transportasi lainnya. lihatlah mobil, dia adalah sistem tertutup yang nyaris menghalangi seorang untuk melakukan percakapan dan perenungan dengan sekitarnya. dia adalah penjara ikatan sosial. di lain sisi, satu mobil yang digunakan di jalanan, bisa diisi oleh sekitar 20 sepeda. ini juga menandakan, mobil telah hampir menghabisi isi jalanan. begitu juga motor yang seringkali menandakan sisi buruk dari para penggunanya yang tak sabaran, ingin cepat sampai, menghalalkan segalal cara untuk sampai tujuan, dan sangat berisik serta penuh polusi. selain itu, motor juga sedikit membuat penggunanya mampu merasakan, menikmati dan merenungi dunia sekitarnya.
keberadan mobil dan motor yang sangat banyak, mencerminkan kondisi emosi, jiwa, pikiran, dan budaya yang berubah dan kini sedang mendominasi negara ini. dari sini saja kita bisa membayangkan kenapa Senayan saja tidak mau berubah. karena nyaris semua masyarakat ingin kehidupan yang praktis, tertutup, dan sampai tujuan secara nyaman dengan cara apapun. sepeda nyaris tersingkir. walau akhir-akhir ini perilaku dan kegiatan bersepeda diadakan di kota-kota besar, sepertinya hal itu belum cukup memadai dan nyaris gagal. hanya orang-orang tertentu dan segelintir orang yang menggunakan sepeda sebagai hal biasa, kehidupan sehari-hari yang membahagiakan. sepeda hanya digunakan sesekali atau sekedar gengsi dan mengikuti trend. apakah seperti itu? itulah kenapa, aku ingin melihat, seberapa jauh dan sebarapa banyak sepeda berada di jalanan kota-kota besar di Jawa. karena sepeda mencerminkan banyak kondisi diri kita sendiri di dalamnya.
dulu, sepeda identik dengan kemiskinan dan negara jajahan. sepeda diperuntukan bagi orang-orang inlander. tapi kini, nyaris semua dari kita berpendidikan tinggi. dan sepeda pun, makna dan fungsinya mengalami perubahan. seharunya, para pesepeda lebih banyak daripada para penduduknya yang ada. seperti halnya di Belanda, jumlah total sepeda yag dimiliki lebih banyak dari pada jumlah total penduduknya. hingga nyaris hampir semua mahasiswa menggunakan sepeda sebagai sarana menuju kampus. tapi di Indonesia, terlebih Jawa, apakah polusi adalah makna terbaik dari peradaban kita? di mana gengsi adalah salah satu cabang dari banyaknya cabang lainnya? bagi para penduduk yang tidak berpendidikan tinggi cukup wajar. tapi bagi mereka yang terpelajar, apakah polusi adalah salah satu kegiatan untuk menjadi terpelajar? apakah kemacetan adalah salah satu identitas dari keterpelajaran? apakah kecelakaan, sesak, dan saling mendahului adalah simbol dari peradaban? kendaraan adalah cerminan mentalitas, kebiasaan, budaya, dan cara pikir serta cara pandang kita terhadap dunia ini. kendaraan juga menyimbolkan seberapa idealiskah kita, seberapa luaskah pengetahuan kita, seberapa rendah diri dan bijakkah kita terhadap sekitar. jika orang-orang yang memiliki wawasan yang cukup luas terhadap dunia, dia akan lebih suka memakai sepeda jika jaraknya masih terjangkau. karena dunia sedang merayakan gaya hidup hijau dan penyelamatan lingkungan. apakah mungkin, orang-orang terpelajar di indonesia bahkan tidak tahu gaya hidup hijau, berpikir hijau, atau bahkan perkembangan filsafat lingkungan. jika banyak yang berkata ia, betapa sangat tertinggalnya kita nyaris hampir terhadap apapun.
selain ingin melihat gairah akan buku di jalanan. aku juga ingin menyaksikan gairah pengayuh sepeda di berbagai jalanan di ibu kota.
ini akan menjadi petualangan tergilaku. melihat Indonesia hari ini dan yang akan datang lewat para pembaca bukunya dan pengayuh sepedanya. ini akan sangat menarik. di mana, keingintahuanku beserta kebosananku memutuskan diriku untuk menjelajahi kota-kota di jawa. semoga, bulan agustus tahun ini, perjalanan ini akan bisa aku mulai.
aku ingin melihat generasi hari ini. aku juga penasaran akan generasi masa depan nantinya. karena itulah, aku berpetualang.

jogjakarta
minggu 28 juni 2015
15:43