jika nanti aku mati dalam perjalananku,
setidaknya aku telah menuliskan sebagian dari duniaku.
- merah naga
ini adalah salah satu rencana perjalanan paling gila yang pernah aku
rencanakan selama ini. petualangan yang bukan dilakukan oleh seorang
yang kondisi fisik dan jiwanya sedang baik. ini adalah rencana
perjalanan dari seorang laki-laki yang setiap hari nyaris sakit secara
fisik; sakit punggung, flu berat, demam, terkadang asma, ginjal
bermasalah, tifus, dan beberapa lainnya. bisa dibilang, tubuhku hanya
optimal sekitar 3-6 jam di jalanan. lebih dari itu, tubuhku akan
langsung panas, flu menyertai, punggungku akan terasa sakit luar biasa
dan linu, sangat berat sekedar hanya untuk duduk terlebih berdiri, dan
tentunya aku akan kelelahan dan kesakitan yang luar biasa secara fisik.
seandainya aku terserang demam, aku akan mengalami sakit itu lebih dari
seminggu jika tidak aku hentikan semua aktivitas yang aku lakukan. dari
segi fisik, mengelilingi jawa dengan kondisi tubuh seperti ini, adalah
luar biasa konyol dan tak masuk akal. para petualang biasanya melakukan
petualangnya di tengah fisiknya dalam kondisi terbagusnya atau ketika
sembuh dari sakit. aku melakukan perjalananku, ketika tubuhku sedang
dalam kondisi benar-benar sakit dan mudah jatuh kapanpun.
di sisi lainnya, aku harus masih bejuang dengan bipolar dan segala macam turunannya yang menyusahkan. gangguan kejiwaan yang aku alami, kemungkinan besar akan mengganggu perjalananku. kondisi emosi yang labill bisa dengan mudah menjerumuskan aku pada kondisi ingin bunuh diri. apa jadinya jika aku memutuskan mati dan mengakhiri hidupku di tengah-tengah perjalananku? hal semacam itu bisa terjadi di tengah-tengah depresiku mulai kambuh kembali akhir-akhir ini. tapi yang jelas, perjalananku ini adalah petualangan di mana aku sudah bosan terhadap apapun. kota Jogja ini, entah kenapa, tak bisa menyembuhkan segala kebosanan dan keingintahuanku. karena itulah aku ingin melakukan petualangan. namun, alasan yang paling tepat dari kenapa aku melakukan perjalanan ini adalah seperti apa yang aku tulis dalam dinding facebook yang aku miliki:
Rencana Petualangan; Melihat Jawa Lewat Buku dan Sepeda
Aku tak tahu lagi harus bagaimana untuk menenangkan pikiran dan meredam segala bentuk kebosanan yang menimpaku berbulan-bulan lamanya. Aku mencoba berpolemik, tapi gagal. Akhirnya, ketika aku membaca buku MELIHAT INDONESIA DARI SEPEDA, ada ide menarik yang ingin aku lakukan bersamaan dengan petualangan yang dulu ingin aku lakukan.
Aku ingin mengunjungi kota-kota besar di jawa. Karena jawa adalah pusat indonesia, dimana banyak perantauan, jadi aku memutuskan ingin mencari para pembaca buku di tempat-tempat publik di berbagai kota besar. Apakah masih ada mereka yang membaca di kereta, bus, halte, tempat nongkrong dll. Tentunya, aku ingin melihat seberapa jauh sepeda menjadi aktivitas keseharian dari generasi muda hari ini. Dan akan luar biasa jika aku mendapatkan seorang pengayuh sepeda yang juga membaca buku ketika sedang beristirahat.
Buku dan sepeda adalah simbol yang cukup penting. Buku adalah simbol ilmu, wawasan, dan rasa ingin tahu yang besar. Sedangkan sepeda adalah simbol dari proses, kesabaran, dan guyup, tenggang rasa, atau kedekatan antara si pengayuh sepeda dengan sekitar; alam, warga, dan mewakili budaya. Lewat dua hal inilah, aku ingin sedikit mengerti, watak masyarakat jawa dan perantauannya hari ini.
Apakah buku dan sepeda telah menjadi nafas dan keseharian bagi masyaRakat jawa, atau indonesia? Itulah yang ingin aku tahu.
Aku akan melakukan petualangan ini, backpackeran, dengan menggunakan berbagai macam moda transportasi umum dengan diiringi jalan kaki. Jika, ada di antara kalian, yang masuk dalam kota yang akan aku kunjungi, mungkin kita bisa bertemu untuk saling tukar cerita dan sapa. Semoga aku bisa mengawalinya di bulan agustus nanti. Dan saatnya untuk menabung. Jika ada kalian yang ingin membantu, entah tempat menginap, barang, atau uang dan lainnya guna membiayai dan memudahnya perjalanan ini, aku akan dengan senang menerimanya.
Merah Naga
ini akan menjadi petualangan terbesarku walau itu hanya sekedar jawa.
ini juga akan menjadi suatu petualangan yang sangat unik. suatu
petualangan yang ingin melihat langsung generasi hari ini dan
kemungkinan yang akan datang. aku ingin melihat, adakah para pecinta
buku yang membawa bukunya di jalan-jalan? masih adakah seorang yang
membaca buku di tempat umum di tengah masyarakat yang membaca seperti
itu akan cenderung tak percaya diri dan malu? apakah buku sebagai simbol
ilmu pengetahuan dan peradaban telah menjadi ikon atau simbol
keseharian generasi muda hari ini atau cenderung dijauhi dan nyaris
disingkirkan hampir di semua tempat publik yang ada? masihkah ada para
intelektual, penyair, seniman, pemberontakan dan lainnya menenteng
bukunya di jalan-jalan dan menganggap buku itu layaknya kamera, tas,
atau alat-alat kebutuhan lainnya jika sedang berpergian? ataukah buku
masih saja disimpang di tas dan hanya dibaca kalau sedang sendirian? dan
banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang sangat memenuhi pikiran dan rasa
ingin tahuku.
membaca buku adalah mentalitas, budaya dan juga sangat bersifat
psikologis serta cermin dari peradaban. inilah kenapa, membaca buku di
tempat-tempat umum sangatlah penting. di negara-negara maju, para
pembaca bukunya bisa nyaris ditemui di dalam bus, cafe-cafe di pinggir
jalan, kereta, taman, dan tempat-tempat umum lainnya. tapi di Indonesia
terlebih Jawa? bagaimana dengan pulau yang berisikan nyaris semua orang
seluruh Indonesia ini? karena itulah Jawa adalah cerminan dari generasi
muda hari ini dan yang akan datang.
aku sering melihat, orang meneteng kamera, handphone, tablet, tas, dan
macam-macamnya hampir di setiap jalan yang ada. tapi buku? menenteng
buku? bahkan membaca buku di jalanan? masih adakah hal semacam itu?
inilah yang ingin aku cari dari petualanganku kali ini.
membaca buku di tempat umum adalah masalah kepercayaan diri yang luar
biasa. bisa dibilang keluar dari arus. membaca buku di perpustakaan itu
wajar. tapi membaca buku di persimpangan jalan atau di mall dengan
keadaan berdiri, di bus trans yang penuh sesak, adalah hal yang jarang
terjadi. membawa kamera kemanapun pergi, dan menentengnya kemana-mana
itu adalah wajar. tapi membawa buku di tangan kemana-mana, itu masih
sangat tak wajar. hal semacam ini bersifat kebiasaan, dan juga
mencerminkan arus pandangan hidup dan tentunnya sisi psikologis yang
luar biasa kuat dan menarik. tak mudah membaca buku di tempat umum
jikalau secara mental kita lebih mengedepankan rasa malu dan menganggap
membaca di tempat umum akan dipandang seperti makluk asing. bahkan bagi
orang-orang yang mengaku sebagai pecinta buku, membaca di tempat umum
adalah hal yang sangat berat. buku akhirnya selalu disingkirkan dari
tempat-tempat umum dan dianggap hanya ada di ruang-ruang sempit pribadi.
hal semacam ini, menjadi contoh yang nyata, bahwa simbol peradaban ini
dibuang dan nyaris tersingkir dari pusat-pusat kota, ruang publiknya,
yang terebar di Indonesia terkhusus Jawa. karena itulah aku ingin
menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, geliat berbagai macam kota
menyambut keberadaan buku selama ini. masihkah keberadaan buku bagi
generasi muda hari ini adalah memalukan jika dia berada di ruang-ruang
publik? aku ingin berpertualang dan membuktikannya sendiri dengan mata
kepalaku.
kota yang masih menganggap buku adalah aib pribadi jika dimunculkan di
ruang publik adalah hal yang ironis. apa yang akan terjadi di kota
tersebut? apakah dengan ketiadaan buku-buku di ruang publik, aku akan
bisa menyimpulkan perkembangan ilmu pengetahuan, wawasan, dan seberapa
jauh rasa ingin tahu generasi muda yang ada di dalamnya?
pertanyaan-pertanyaan ini akan aku jawab nanti di perjalanan yang
nantinya aku mulai.
lalu, kenapa aku harus menautkannya dengan sepeda? karena buku dan
sepeda, adalah salah satu simbol yang identik dengan kemajuan dunia
modern. simbol yang lebih ramah dan penuh wawasan dan rasa ingin tahu.
selain itu, sepeda berkaitan erat dengan kesabaran, perjuangan akan
lingkungan hidup, kesadaran akan hidup sehat, keinginan menjalani
proses, pergaulan dengan sekitar yang lebih dekat dan penuh tenggang
rasa, dan kekraban yang tak dimiliki oleh para pengguna moda
transportasi lainnya. lihatlah mobil, dia adalah sistem tertutup yang
nyaris menghalangi seorang untuk melakukan percakapan dan perenungan
dengan sekitarnya. dia adalah penjara ikatan sosial. di lain sisi, satu
mobil yang digunakan di jalanan, bisa diisi oleh sekitar 20 sepeda. ini
juga menandakan, mobil telah hampir menghabisi isi jalanan. begitu juga
motor yang seringkali menandakan sisi buruk dari para penggunanya yang
tak sabaran, ingin cepat sampai, menghalalkan segalal cara untuk sampai
tujuan, dan sangat berisik serta penuh polusi. selain itu, motor juga
sedikit membuat penggunanya mampu merasakan, menikmati dan merenungi
dunia sekitarnya.
keberadan mobil dan motor yang sangat banyak, mencerminkan kondisi
emosi, jiwa, pikiran, dan budaya yang berubah dan kini sedang
mendominasi negara ini. dari sini saja kita bisa membayangkan kenapa
Senayan saja tidak mau berubah. karena nyaris semua masyarakat ingin
kehidupan yang praktis, tertutup, dan sampai tujuan secara nyaman dengan
cara apapun. sepeda nyaris tersingkir. walau akhir-akhir ini perilaku
dan kegiatan bersepeda diadakan di kota-kota besar, sepertinya hal itu
belum cukup memadai dan nyaris gagal. hanya orang-orang tertentu dan
segelintir orang yang menggunakan sepeda sebagai hal biasa, kehidupan
sehari-hari yang membahagiakan. sepeda hanya digunakan sesekali atau
sekedar gengsi dan mengikuti trend. apakah seperti itu? itulah kenapa,
aku ingin melihat, seberapa jauh dan sebarapa banyak sepeda berada di
jalanan kota-kota besar di Jawa. karena sepeda mencerminkan banyak
kondisi diri kita sendiri di dalamnya.
dulu, sepeda identik dengan kemiskinan dan negara jajahan. sepeda
diperuntukan bagi orang-orang inlander. tapi kini, nyaris semua dari
kita berpendidikan tinggi. dan sepeda pun, makna dan fungsinya mengalami
perubahan. seharunya, para pesepeda lebih banyak daripada para
penduduknya yang ada. seperti halnya di Belanda, jumlah total sepeda yag
dimiliki lebih banyak dari pada jumlah total penduduknya. hingga nyaris
hampir semua mahasiswa menggunakan sepeda sebagai sarana menuju kampus.
tapi di Indonesia, terlebih Jawa, apakah polusi adalah makna terbaik
dari peradaban kita? di mana gengsi adalah salah satu cabang dari
banyaknya cabang lainnya? bagi para penduduk yang tidak berpendidikan
tinggi cukup wajar. tapi bagi mereka yang terpelajar, apakah polusi
adalah salah satu kegiatan untuk menjadi terpelajar? apakah kemacetan
adalah salah satu identitas dari keterpelajaran? apakah kecelakaan,
sesak, dan saling mendahului adalah simbol dari peradaban? kendaraan
adalah cerminan mentalitas, kebiasaan, budaya, dan cara pikir serta cara
pandang kita terhadap dunia ini. kendaraan juga menyimbolkan seberapa
idealiskah kita, seberapa luaskah pengetahuan kita, seberapa rendah diri
dan bijakkah kita terhadap sekitar. jika orang-orang yang memiliki
wawasan yang cukup luas terhadap dunia, dia akan lebih suka memakai
sepeda jika jaraknya masih terjangkau. karena dunia sedang merayakan
gaya hidup hijau dan penyelamatan lingkungan. apakah mungkin,
orang-orang terpelajar di indonesia bahkan tidak tahu gaya hidup hijau,
berpikir hijau, atau bahkan perkembangan filsafat lingkungan. jika
banyak yang berkata ia, betapa sangat tertinggalnya kita nyaris hampir
terhadap apapun.
selain ingin melihat gairah akan buku di jalanan. aku juga ingin
menyaksikan gairah pengayuh sepeda di berbagai jalanan di ibu kota.
ini akan menjadi petualangan tergilaku. melihat Indonesia hari ini dan
yang akan datang lewat para pembaca bukunya dan pengayuh sepedanya. ini
akan sangat menarik. di mana, keingintahuanku beserta kebosananku
memutuskan diriku untuk menjelajahi kota-kota di jawa. semoga, bulan
agustus tahun ini, perjalanan ini akan bisa aku mulai.
aku ingin melihat generasi hari ini. aku juga penasaran akan generasi masa depan nantinya. karena itulah, aku berpetualang.
jogjakarta
minggu 28 juni 2015
15:43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar