Sabtu, 05 Maret 2016

RENCANA PETUALANGAN








jika nanti aku mati dalam perjalananku,
setidaknya aku telah menuliskan sebagian dari duniaku.
- merah naga



 
ini adalah salah satu rencana perjalanan paling gila yang pernah aku rencanakan selama ini. petualangan yang bukan dilakukan oleh seorang yang kondisi fisik dan jiwanya sedang baik. ini adalah rencana perjalanan dari seorang laki-laki yang setiap hari nyaris sakit secara fisik; sakit punggung, flu berat, demam, terkadang asma, ginjal bermasalah, tifus, dan beberapa lainnya. bisa dibilang, tubuhku hanya optimal sekitar 3-6 jam di jalanan. lebih dari itu, tubuhku akan langsung panas, flu menyertai, punggungku akan terasa sakit luar biasa dan linu, sangat berat sekedar hanya untuk duduk terlebih berdiri, dan tentunya aku akan kelelahan dan kesakitan yang luar biasa secara fisik. seandainya aku terserang demam, aku akan mengalami sakit itu lebih dari seminggu jika tidak aku hentikan semua aktivitas yang aku lakukan. dari segi fisik, mengelilingi jawa dengan kondisi tubuh seperti ini, adalah luar biasa konyol dan tak masuk akal. para petualang biasanya melakukan petualangnya di tengah fisiknya dalam kondisi terbagusnya atau ketika sembuh dari sakit. aku melakukan perjalananku, ketika tubuhku sedang dalam kondisi benar-benar sakit dan mudah jatuh kapanpun. 

di sisi lainnya, aku harus masih bejuang dengan bipolar dan segala macam turunannya yang menyusahkan. gangguan kejiwaan yang aku alami, kemungkinan besar akan mengganggu perjalananku. kondisi emosi yang labill bisa dengan mudah menjerumuskan aku pada kondisi ingin bunuh diri. apa jadinya jika aku memutuskan mati dan mengakhiri hidupku di tengah-tengah perjalananku? hal semacam itu bisa terjadi di tengah-tengah depresiku mulai kambuh kembali akhir-akhir ini. tapi yang jelas, perjalananku ini adalah petualangan di mana aku sudah bosan terhadap apapun. kota Jogja ini, entah kenapa, tak bisa menyembuhkan segala kebosanan dan keingintahuanku. karena itulah aku ingin melakukan petualangan. namun, alasan yang paling tepat dari kenapa aku melakukan perjalanan ini adalah seperti apa yang aku tulis dalam dinding facebook yang aku miliki:
Rencana Petualangan; Melihat Jawa Lewat Buku dan Sepeda

Aku tak tahu lagi harus bagaimana untuk menenangkan pikiran dan meredam segala bentuk kebosanan yang menimpaku berbulan-bulan lamanya. Aku mencoba berpolemik, tapi gagal. Akhirnya, ketika aku membaca buku MELIHAT INDONESIA DARI SEPEDA, ada ide menarik yang ingin aku lakukan bersamaan dengan petualangan yang dulu ingin aku lakukan.

Aku ingin mengunjungi kota-kota besar di jawa. Karena jawa adalah pusat indonesia, dimana banyak perantauan, jadi aku memutuskan ingin mencari para pembaca buku di tempat-tempat publik di berbagai kota besar. Apakah masih ada mereka yang membaca di kereta, bus, halte, tempat nongkrong dll. Tentunya, aku ingin melihat seberapa jauh sepeda menjadi aktivitas keseharian dari generasi muda hari ini. Dan akan luar biasa jika aku mendapatkan seorang pengayuh sepeda yang juga membaca buku ketika sedang beristirahat.

Buku dan sepeda adalah simbol yang cukup penting. Buku adalah simbol ilmu, wawasan, dan rasa ingin tahu yang besar. Sedangkan sepeda adalah simbol dari proses, kesabaran, dan guyup, tenggang rasa, atau kedekatan antara si pengayuh sepeda dengan sekitar; alam, warga, dan mewakili budaya. Lewat dua hal inilah, aku ingin sedikit mengerti, watak masyarakat jawa dan perantauannya hari ini.

Apakah buku dan sepeda telah menjadi nafas dan keseharian bagi masyaRakat jawa, atau indonesia? Itulah yang ingin aku tahu.

Aku akan melakukan petualangan ini, backpackeran, dengan menggunakan berbagai macam moda transportasi umum dengan diiringi jalan kaki. Jika, ada di antara kalian, yang masuk dalam kota yang akan aku kunjungi, mungkin kita bisa bertemu untuk saling tukar cerita dan sapa. Semoga aku bisa mengawalinya di bulan agustus nanti. Dan saatnya untuk menabung. Jika ada kalian yang ingin membantu, entah tempat menginap, barang, atau uang dan lainnya guna membiayai dan memudahnya perjalanan ini, aku akan dengan senang menerimanya.

Merah Naga

 
ini akan menjadi petualangan terbesarku walau itu hanya sekedar jawa. ini juga akan menjadi suatu petualangan yang sangat unik. suatu petualangan yang ingin melihat langsung generasi hari ini dan kemungkinan yang akan datang. aku ingin melihat, adakah para pecinta buku yang membawa bukunya di jalan-jalan? masih adakah seorang yang membaca buku di tempat umum di tengah masyarakat yang membaca seperti itu akan cenderung tak percaya diri dan malu? apakah buku sebagai simbol ilmu pengetahuan dan peradaban telah menjadi ikon atau simbol keseharian generasi muda hari ini atau cenderung dijauhi dan nyaris disingkirkan hampir di semua tempat publik yang ada? masihkah ada para intelektual, penyair, seniman, pemberontakan dan lainnya menenteng bukunya di jalan-jalan dan menganggap buku itu layaknya kamera, tas, atau alat-alat kebutuhan lainnya jika sedang berpergian? ataukah buku masih saja disimpang di tas dan hanya dibaca kalau sedang sendirian? dan banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang sangat memenuhi pikiran dan rasa ingin tahuku.
membaca buku adalah mentalitas, budaya dan juga sangat bersifat psikologis serta cermin dari peradaban. inilah kenapa, membaca buku di tempat-tempat umum sangatlah penting. di negara-negara maju, para pembaca bukunya bisa nyaris ditemui di dalam bus, cafe-cafe di pinggir jalan, kereta, taman, dan tempat-tempat umum lainnya. tapi di Indonesia terlebih Jawa? bagaimana dengan pulau yang berisikan nyaris semua orang seluruh Indonesia ini? karena itulah Jawa adalah cerminan dari generasi muda hari ini dan yang akan datang.
aku sering melihat, orang meneteng kamera, handphone, tablet, tas, dan macam-macamnya hampir di setiap jalan yang ada. tapi buku? menenteng buku? bahkan membaca buku di jalanan? masih adakah hal semacam itu? inilah yang ingin aku cari dari petualanganku kali ini.
membaca buku di tempat umum adalah masalah kepercayaan diri yang luar biasa. bisa dibilang keluar dari arus. membaca buku di perpustakaan itu wajar. tapi membaca buku di persimpangan jalan atau di mall dengan keadaan berdiri, di bus trans yang penuh sesak, adalah hal yang jarang terjadi. membawa kamera kemanapun pergi, dan menentengnya kemana-mana itu adalah wajar. tapi membawa buku di tangan kemana-mana, itu masih sangat tak wajar. hal semacam ini bersifat kebiasaan, dan juga mencerminkan arus pandangan hidup dan tentunnya sisi psikologis yang luar biasa kuat dan menarik. tak mudah membaca buku di tempat umum jikalau secara mental kita lebih mengedepankan rasa malu dan menganggap membaca di tempat umum akan dipandang seperti makluk asing. bahkan bagi orang-orang yang mengaku sebagai pecinta buku, membaca di tempat umum adalah hal yang sangat berat. buku akhirnya selalu disingkirkan dari tempat-tempat umum dan dianggap hanya ada di ruang-ruang sempit pribadi. hal semacam ini, menjadi contoh yang nyata, bahwa simbol peradaban ini dibuang dan nyaris tersingkir dari pusat-pusat kota, ruang publiknya, yang terebar di Indonesia terkhusus Jawa. karena itulah aku ingin menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, geliat berbagai macam kota menyambut keberadaan buku selama ini. masihkah keberadaan buku bagi generasi muda hari ini adalah memalukan jika dia berada di ruang-ruang publik? aku ingin berpertualang dan membuktikannya sendiri dengan mata kepalaku.
kota yang masih menganggap buku adalah aib pribadi jika dimunculkan di ruang publik adalah hal yang ironis. apa yang akan terjadi di kota tersebut? apakah dengan ketiadaan buku-buku di ruang publik, aku akan bisa menyimpulkan perkembangan ilmu pengetahuan, wawasan, dan seberapa jauh rasa ingin tahu generasi muda yang ada di dalamnya? pertanyaan-pertanyaan ini akan aku jawab nanti di perjalanan yang nantinya aku mulai.
lalu, kenapa aku harus menautkannya dengan sepeda? karena buku dan sepeda, adalah salah satu simbol yang identik dengan kemajuan dunia modern. simbol yang lebih ramah dan penuh wawasan dan rasa ingin tahu. selain itu, sepeda berkaitan erat dengan kesabaran, perjuangan akan lingkungan hidup, kesadaran akan hidup sehat, keinginan menjalani proses, pergaulan dengan sekitar yang lebih dekat dan penuh tenggang rasa, dan kekraban yang tak dimiliki oleh para pengguna moda transportasi lainnya. lihatlah mobil, dia adalah sistem tertutup yang nyaris menghalangi seorang untuk melakukan percakapan dan perenungan dengan sekitarnya. dia adalah penjara ikatan sosial. di lain sisi, satu mobil yang digunakan di jalanan, bisa diisi oleh sekitar 20 sepeda. ini juga menandakan, mobil telah hampir menghabisi isi jalanan. begitu juga motor yang seringkali menandakan sisi buruk dari para penggunanya yang tak sabaran, ingin cepat sampai, menghalalkan segalal cara untuk sampai tujuan, dan sangat berisik serta penuh polusi. selain itu, motor juga sedikit membuat penggunanya mampu merasakan, menikmati dan merenungi dunia sekitarnya.
keberadan mobil dan motor yang sangat banyak, mencerminkan kondisi emosi, jiwa, pikiran, dan budaya yang berubah dan kini sedang mendominasi negara ini. dari sini saja kita bisa membayangkan kenapa Senayan saja tidak mau berubah. karena nyaris semua masyarakat ingin kehidupan yang praktis, tertutup, dan sampai tujuan secara nyaman dengan cara apapun. sepeda nyaris tersingkir. walau akhir-akhir ini perilaku dan kegiatan bersepeda diadakan di kota-kota besar, sepertinya hal itu belum cukup memadai dan nyaris gagal. hanya orang-orang tertentu dan segelintir orang yang menggunakan sepeda sebagai hal biasa, kehidupan sehari-hari yang membahagiakan. sepeda hanya digunakan sesekali atau sekedar gengsi dan mengikuti trend. apakah seperti itu? itulah kenapa, aku ingin melihat, seberapa jauh dan sebarapa banyak sepeda berada di jalanan kota-kota besar di Jawa. karena sepeda mencerminkan banyak kondisi diri kita sendiri di dalamnya.
dulu, sepeda identik dengan kemiskinan dan negara jajahan. sepeda diperuntukan bagi orang-orang inlander. tapi kini, nyaris semua dari kita berpendidikan tinggi. dan sepeda pun, makna dan fungsinya mengalami perubahan. seharunya, para pesepeda lebih banyak daripada para penduduknya yang ada. seperti halnya di Belanda, jumlah total sepeda yag dimiliki lebih banyak dari pada jumlah total penduduknya. hingga nyaris hampir semua mahasiswa menggunakan sepeda sebagai sarana menuju kampus. tapi di Indonesia, terlebih Jawa, apakah polusi adalah makna terbaik dari peradaban kita? di mana gengsi adalah salah satu cabang dari banyaknya cabang lainnya? bagi para penduduk yang tidak berpendidikan tinggi cukup wajar. tapi bagi mereka yang terpelajar, apakah polusi adalah salah satu kegiatan untuk menjadi terpelajar? apakah kemacetan adalah salah satu identitas dari keterpelajaran? apakah kecelakaan, sesak, dan saling mendahului adalah simbol dari peradaban? kendaraan adalah cerminan mentalitas, kebiasaan, budaya, dan cara pikir serta cara pandang kita terhadap dunia ini. kendaraan juga menyimbolkan seberapa idealiskah kita, seberapa luaskah pengetahuan kita, seberapa rendah diri dan bijakkah kita terhadap sekitar. jika orang-orang yang memiliki wawasan yang cukup luas terhadap dunia, dia akan lebih suka memakai sepeda jika jaraknya masih terjangkau. karena dunia sedang merayakan gaya hidup hijau dan penyelamatan lingkungan. apakah mungkin, orang-orang terpelajar di indonesia bahkan tidak tahu gaya hidup hijau, berpikir hijau, atau bahkan perkembangan filsafat lingkungan. jika banyak yang berkata ia, betapa sangat tertinggalnya kita nyaris hampir terhadap apapun.
selain ingin melihat gairah akan buku di jalanan. aku juga ingin menyaksikan gairah pengayuh sepeda di berbagai jalanan di ibu kota.
ini akan menjadi petualangan tergilaku. melihat Indonesia hari ini dan yang akan datang lewat para pembaca bukunya dan pengayuh sepedanya. ini akan sangat menarik. di mana, keingintahuanku beserta kebosananku memutuskan diriku untuk menjelajahi kota-kota di jawa. semoga, bulan agustus tahun ini, perjalanan ini akan bisa aku mulai.
aku ingin melihat generasi hari ini. aku juga penasaran akan generasi masa depan nantinya. karena itulah, aku berpetualang.

jogjakarta
minggu 28 juni 2015
15:43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar