barang siapa pergi jauh, dia
memerlukan kecerdasan.
orang bodoh harus tinggal di
rumah.
- Eddas
Aku terlalu takut meninggalkan
gagasanku yang belum selesai aku tulis. Itulah alasan utama kenapa seluruh
perjalananku tertunda. Agustus harusnya
menjadi bulan di mana aku akan mengelilingi pulau Jawa dengan membawa ide di
kepala yang akhirnya membuatku tak cepat berjalan menenteng ransel.
Perjalanan, atau petualang
adalah pertempuran antara membeli buku untuk tulisan-tulisanku atau menikmati
dunia dan keluar dari penjara ide-ide. Tapi anehnya, perjalanan ini pun adalah
perjalanan ide. Perjalanan pikiran.
Ideapacker, seperti itulah aku menyebut
diriku. Seorang yang melakukan perjalanan maupun petualangan untuk menemukan
ide-ide, mencarinya atau mencoba sedikit menangkap kilasannya.
Semua orang
lebih suka menjadi backpacker secara umum. Karena terlalu umumnya, hingga aku
kesusahan mencari buku kisah perjalanan backpacker yang menarik. Sayang,
Agustinus Wibowo menempuh jaraknya di luar negeri bukan di tanah ini. Begitu juga Sigit Susanto.
Banyak para
backpaker menjadi wujud kosong yang
berjalan kesana kemari. Dan banyak dari mereka menyebut dirinya pencinta alam,
pendaki gunung, atau petualang nyaris tak menghasilkan apapun. Mereka sekedar
memamerkan bendera, sepatu dan tas mahal mereka, berbagai macam peralatan yang
tak menghasilkan apapun kecuali foto dan tai miliknya sendiri. Sejujurnya,
dunia backpackeran kita dalam keadaan krisis. Orang-orang pergi menenteng
tasnya tanpa pikiran. Hingga kemanapun mereka pergi. Sejauh apapun mereka
menapak, tak ada sesuatu yang yang luar biasa yang mampu dihasikan. Bahkan
mungkin mereka akan sekedar mengabdikan foto dirinya sendiri seandainya mereka
berada di bulan dan tak perduli apa yang ada di dalamnya.
Mereka
semua selalu saja menghasilkan sampah petualangan.
Gothe
pernah berkata, “orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu
tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.” Aku rasa, ribuan orang backpacker
yang kita miliki otaknya sudah terlanjur berada di pantat bahkan semenjak
mereka lahir. Bagaimana tidak? Mereka, dari tahun ke tahun melewati tanah yang
sama, desa yang sama, kota yang sama, padang yang sama, sungai yang sama,
gunung yang sama, pantai yang sama, hamparan sawah yang hampir sama kecuali ada
pengusaha yang tiba-tiba kencing lalu muncullah hotel dan sebagainya. Banyak para
petualang kita mengabadikan foto yang nyaris sama. Menjejakkan kakinya di
tempat-tempat yang nyaris selalu sama selama berpuluh-puluh tahun.
Mungkin
Heraklitus akan menangkis dan berkata, tidak kawan, tak akan pernah ada sesuatu
yang sama. Tapi aku lagi tak butuh Heraklitus di sini. Heraklitus mungkin juga
akan menggelengkan kepalanya melihat berbagai jenis petualang negara ini yang
memiliki berbagai macam kemudahan tapi menulis saja tak becus. Bahkan sama
sekali tak kenal akan tanah yang dipijaknya.
Kalau bukan
otaknya terlanjur sudah suka berada di pantat, mungkin hari ini kita melihat
rak-rak buku berisi berbagai macam kisah yang mencengangkan. Berbagai penemuan.
Ide-ide cemerlang yang lahir dari petualangan dan perjalanan ribuan orang
selama ini. Tapi, tidak, aku nyaris tak menemukannya. Terakhir yang aku lihat
adalah buku Norman Edwin, Catatan Sahabat
Sang Alam, 30 Hari Kelilingi Sumatera
karya Ary Amhir dan Menyusuri Garis Bumi dari
Clement Steve. Ada beberapa buku yang lebih bersifat ekspedisi dan lainnya.
Tapi dari ribuan orang yang melakukan petualangan dan menganggap dirinya
seorang bacpacker, siapakah di antaranya yang pada akhirnya menjadi seorang
naturalis, biolog, ilmuwan, geolog, ahli sejarah, penulis kisah perjalanan yang
penuh dengan pengetahuan segar, atau para pengembang ide dan penemu berbagai
macam alat dan gagasan baru? Lalu tidakkah perjalanan yang ribuan orang selama
ini lakukan adalah sekedar menapaki ulang kebodohan yang sama?
Akhir-akhir
ini slogan My Trip My Adventure sudah
semakin disukai dan dijadikan semacam ikon. Aku rasa seharusnya ikon yang benar
adalah Bokongku adalah Petualanganku.
Kita selama ini berpetualang tanpa mengandalkan otak. Tapi sekedar bokong untuk
duduk, berjalan dan kembali duduk. Hanya sekedar berganti dari satu tempat ke
tempat lainnya. Maka para petualang kita adalah bokong berjalan. Bukan pikiran
yang berjalan atau petualang pikiran.
Bagiku,
sudah saatnya berkata bahwa pikiranku adalah perjalananku.
JJ Rizal
pada suatu kesempatan pernah berkata, “orang baik tanpa pengetahuan adalah
kecelakaan.” Maka dari itu, nyaris semua petualangan yang dilakukan oleh ribuan orang di negara ini adalah kecelakaan besar. Kebodohoan yang
dilestarikan selama berpuluh-puluh tahun. Petualangan tanpa adanya kecerdasan
di dalamnya adalah benar-benar kecelakaan. Mungkin buku Eddas benar, bahwa
orang bodoh lebih baik tinggal di rumah. Bahkan seandainya mereka mencapat
planet Mars pun, tak akan ada sesuatu yang berguna yang akan dihasilkannya.
Goethe
dalam bukunya Faust pernah bertanya,
“bagaimana kita melakukanya, agar semua menjadi segar dan baru. Dan selain
punya arti juga menyenangkan?.” Maka dari itu, aku akan mengandalkan otakku,
perasaanku, tidak hanya sekedar bokong yang aku miliki.
Aku ingin
melihat dunia ini dari sudut pandang yang sudah terbentuk semenjak
bertahun-tahun lamanya ketika aku mengamati segala sesuatu. Aku selalu
mengeluh, mungkin karena aku memang pengeluh, mengenai susahnya menemukan buku
yang dibaca di jalan-jalan. Seolah-olah buku adalah aib yang harus
disembunyikan dan jangan sampai berada di tempat-tempat umum. Masyarakat yang
biasanya maju adalah masyarakat yang mana buku meresap dan menjadi penting
dalam hidupnya. Hampir semua peradaban besar dan kemajuan berbagai macam kota,
disertai dengan buku-buku yang dibaca luas oleh masyarakat yang ada di
dalamnya.
Bahkan ada
pepetahan Islandia yang harusnya besok mulai dihapal oleh para petualang kita,
yaitu, “lebih baik berjalan telanjang kaki daripada tanpa buku.” Di negara ini,
ada perbedaan kecil tapi menentukan. Banyak orang lebih suka bertelanjang
bokong dan dada! Pastinya tanpa buku. Mungkin itulah yang menyebabkan Islandia
menjadi rumah bagi kreativitas dan kesenangan akan kegagalan demi menikmati suatu
proses dan pengalaman. Sedang kita? Ya, bahkan celana dalam pun made in China.
Aku selalu berpikir,
sedikitnya para pembaca bukulah yang membuat negara ini terus menerus menjadi
konsumen yang gelisah. Kita dijalin oleh identitas rapuh yang ditentukan oleh
ribuan barang yang datang dan pergi. Tanpa harus bersusah payah untuk merasakan
proses pembuatannya. Kita terasing dengan akar budaya yang kita miliki.
Tidakkah banyak anak muda yang lebih hapal dengan logo Samsung atau Apple dari
pada jenis-jenis bambu? Berbagai macam spesies barang elektronik lebih mudah
diingat dari pada berbagai macam jenis burung? Dan mirisnya, hampir semua
petualang besar masa lalu adalah orang-orang asing dan tentunya merekalah yang
hampir nyaris menulis semua tentang keadaan alam kita dan kondisi
masyarakatnya! Lalu di mana para backpacker dan ribuan petualang kita? Haduh,
mereka asyik mengunggah foto di facebook dengan segala macam pose dan senyuman. Jika orang Yunani menulis ratusan buku dalam
masa hidupnya. Kita memposting ribuan foto dalam satu tahun hidup kita.
Sepertinya sangat menjanjikan. Atau menyedihkan?
Sama halnya buku, sepeda
adalah sesuatu yang langka jika berada di jalanan. Pengembaraanku ini adalah keinginan
untuk melihat buku dan sepeda ada di jalan-jalan dan menjadi gaya hidup. Aku
rasa, jika para pengguna sepeda sudah semakin nyaman menikmati ruang dan
aktivitasnya di jalan-jalan, mereka yang lebih suka berjalan kaki pun akan
semakin banyak. Apa yang dilakukan oleh salah satu pengguna sepeda beberapa
waktu yang lalu dalam menghentikan tingkah kekanak-kanakan para pengguna motor
besar adalah suatu jenis keindahan tertentu. Keajaiban semacam itu jarang
terjadi. Selain lebih sehat, menggunakan sepeda akan lebih menghemat ruang,
memurnikan lingkungan dan udara, serta menjadikan seseorang lebih mudah untuk
bersinggungan dengan yang lainnya. Dan ada semacam pengalaman yang tak akan
bisa dimiliki oleh para pengendara mesin yang lain.
Melihat Indonesia dari Sepeda yang ditulis oleh Ahmad Arif lah yang
mendorongku untuk mempercepat keinginanku melakukan pengembaraan di pulau Jawa
ini. Pulau yang semakin asing bagiku. Pulau yang nyaris tak dijamah oleh para
backpacker yang malang melintang hampir nyaris setiap waktu. Orang bisa
berpergian kemanapun ia mau. Tapi apakah nanti ia akan lebih mengenal tempat
yang ia datangi? Belum tentu. Dalam banyaknya perjalanan, orang lebih cenderung
abai dengan banyak hal daripada ingin tahu dan mengenal tempat yang ia pijak.
Bahkan tanah kelahiran sendiri pun kita bisa nyaris buta.
Perjalananku memang tertunda,
tapi aku mendapatkan banyak hal dari ketertundaan itu. Aku masih bisa membaca
kisah perjalanan Paul Salopek sejauh 34.000 kilometer yang dilakukannya dari
mulai Etiophia dengan berjalan kaki dan baru akan selesai selama tujuh tahun
kemudian di Afrika Selatan. Aku menyukai jurnalis peraih Pulitzer itu yang
ingin menapaktilasi perjalanan nenek moyang kita saat keluar dari Nirwana dan
akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tentunya perjalanan itu bukan hanya
sekedar perjalanan. Tidak hanya sekedar bokong yang berpindah tempat. Tapi
perjalanan itu begitu membuatku kagum karena ada banyak hal di dalam perjalanan
itu yang layak untuk dibaca dan direnungkan. Walau aku pun bukan penganut
evolusi, membayangkan perjalanan itu saja sudah membuatku terkagum-kagum. Perjalanannya
menapaktilasi jalur leluhur kita, menurut pandangannya, dengan berjalan kaki ia
namai sebagai Keluar dari Nirwana.
Seperti yang
dikatakan oleh Paul Salopek, “berjalaan itu bagaikan bahasa.” Sama halnya
dengan membaca buku bersepeda. Ada satu cerminan dari budaya dan peradaban di
dalamnya. Dan apa yang aku coba lakukan adalah mencari sisa dari pantulan
cermin yang semakin susah dicari itu. Pantulan cermin dari para pembaca buku
dan pengayuh sepeda yang semakin kian langka dan susah ditemukan. Lebih mudah
melihat payudara yang menyembul dari pada melihat kedua jenis yang aku cari di
negara ini.
kenapa harus mengelilingi atau
mengembara di tanah Jawa? Jawa adalah tanah dimana diriku tumbuh berkembang dan
pusat peradaban nusantara dan Indonesia modern. Jawa adalah miniatur Indonesia.
Tempat di mana ribuan anak muda keluar dari tempatnya masing-masing untuk
belajar di tanah ini. Jika Jawa adalah tempat yang sehat untuk pikiran dan
hati, maka, tempat-tempat lainnya mungkin akan terjangkiti hal yang sama.
Begitu juga sebaliknya jika Jawa adalah tanah yang asing dan sakit-sakitan.
Karena itulah aku ingin segera memulai pengembaraanku. Menuju ke dalam apa yang
dikatakan Paul Salopek sebagai “kehampaan sejarah yang membuat gamang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar