Sabtu, 05 Maret 2016

PERJALANAN YANG TERTUNDA




barang siapa pergi jauh, dia memerlukan kecerdasan.
orang bodoh harus tinggal di rumah.
- Eddas


Aku terlalu takut meninggalkan gagasanku yang belum selesai aku tulis. Itulah alasan utama kenapa seluruh perjalananku tertunda.  Agustus harusnya menjadi bulan di mana aku akan mengelilingi pulau Jawa dengan membawa ide di kepala yang akhirnya membuatku tak cepat berjalan menenteng ransel.
Perjalanan, atau petualang adalah pertempuran antara membeli buku untuk tulisan-tulisanku atau menikmati dunia dan keluar dari penjara ide-ide. Tapi anehnya, perjalanan ini pun adalah perjalanan ide. Perjalanan pikiran.
Ideapacker, seperti itulah aku menyebut diriku. Seorang yang melakukan perjalanan maupun petualangan untuk menemukan ide-ide, mencarinya atau mencoba sedikit menangkap kilasannya.
Semua orang lebih suka menjadi backpacker secara umum. Karena terlalu umumnya, hingga aku kesusahan mencari buku kisah perjalanan backpacker yang menarik. Sayang, Agustinus Wibowo menempuh jaraknya di luar negeri bukan di tanah ini. Begitu juga Sigit Susanto.
Banyak para backpaker menjadi wujud kosong yang berjalan kesana kemari. Dan banyak dari mereka menyebut dirinya pencinta alam, pendaki gunung, atau petualang nyaris tak menghasilkan apapun. Mereka sekedar memamerkan bendera, sepatu dan tas mahal mereka, berbagai macam peralatan yang tak menghasilkan apapun kecuali foto dan tai miliknya sendiri. Sejujurnya, dunia backpackeran kita dalam keadaan krisis. Orang-orang pergi menenteng tasnya tanpa pikiran. Hingga kemanapun mereka pergi. Sejauh apapun mereka menapak, tak ada sesuatu yang yang luar biasa yang mampu dihasikan. Bahkan mungkin mereka akan sekedar mengabdikan foto dirinya sendiri seandainya mereka berada di bulan dan tak perduli apa yang ada di dalamnya.
Mereka semua selalu saja menghasilkan sampah petualangan.

Gothe pernah berkata, “orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.” Aku rasa, ribuan orang backpacker yang kita miliki otaknya sudah terlanjur berada di pantat bahkan semenjak mereka lahir. Bagaimana tidak? Mereka, dari tahun ke tahun melewati tanah yang sama, desa yang sama, kota yang sama, padang yang sama, sungai yang sama, gunung yang sama, pantai yang sama, hamparan sawah yang hampir sama kecuali ada pengusaha yang tiba-tiba kencing lalu muncullah hotel dan sebagainya. Banyak para petualang kita mengabadikan foto yang nyaris sama. Menjejakkan kakinya di tempat-tempat yang nyaris selalu sama selama berpuluh-puluh tahun.
Mungkin Heraklitus akan menangkis dan berkata, tidak kawan, tak akan pernah ada sesuatu yang sama. Tapi aku lagi tak butuh Heraklitus di sini. Heraklitus mungkin juga akan menggelengkan kepalanya melihat berbagai jenis petualang negara ini yang memiliki berbagai macam kemudahan tapi menulis saja tak becus. Bahkan sama sekali tak kenal akan tanah yang dipijaknya.
Kalau bukan otaknya terlanjur sudah suka berada di pantat, mungkin hari ini kita melihat rak-rak buku berisi berbagai macam kisah yang mencengangkan. Berbagai penemuan. Ide-ide cemerlang yang lahir dari petualangan dan perjalanan ribuan orang selama ini. Tapi, tidak, aku nyaris tak menemukannya. Terakhir yang aku lihat adalah buku Norman Edwin, Catatan Sahabat Sang Alam, 30 Hari Kelilingi Sumatera karya Ary Amhir dan Menyusuri Garis Bumi dari Clement Steve. Ada beberapa buku yang lebih bersifat ekspedisi dan lainnya. Tapi dari ribuan orang yang melakukan petualangan dan menganggap dirinya seorang bacpacker, siapakah di antaranya yang pada akhirnya menjadi seorang naturalis, biolog, ilmuwan, geolog, ahli sejarah, penulis kisah perjalanan yang penuh dengan pengetahuan segar, atau para pengembang ide dan penemu berbagai macam alat dan gagasan baru? Lalu tidakkah perjalanan yang ribuan orang selama ini lakukan adalah sekedar menapaki ulang kebodohan yang sama?
Akhir-akhir ini slogan My Trip My Adventure sudah semakin disukai dan dijadikan semacam ikon. Aku rasa seharusnya ikon yang benar adalah Bokongku adalah Petualanganku. Kita selama ini berpetualang tanpa mengandalkan otak. Tapi sekedar bokong untuk duduk, berjalan dan kembali duduk. Hanya sekedar berganti dari satu tempat ke tempat lainnya. Maka para petualang kita adalah bokong berjalan. Bukan pikiran yang berjalan atau petualang pikiran.
Bagiku, sudah saatnya berkata bahwa pikiranku adalah perjalananku.


JJ Rizal pada suatu kesempatan pernah berkata, “orang baik tanpa pengetahuan adalah kecelakaan.” Maka dari itu, nyaris semua petualangan yang dilakukan oleh ribuan orang di negara ini adalah kecelakaan besar. Kebodohoan yang dilestarikan selama berpuluh-puluh tahun. Petualangan tanpa adanya kecerdasan di dalamnya adalah benar-benar kecelakaan. Mungkin buku Eddas benar, bahwa orang bodoh lebih baik tinggal di rumah. Bahkan seandainya mereka mencapat planet Mars pun, tak akan ada sesuatu yang berguna yang akan dihasilkannya.
Goethe dalam bukunya Faust pernah bertanya, “bagaimana kita melakukanya, agar semua menjadi segar dan baru. Dan selain punya arti juga menyenangkan?.” Maka dari itu, aku akan mengandalkan otakku, perasaanku, tidak hanya sekedar bokong yang aku miliki.
Aku ingin melihat dunia ini dari sudut pandang yang sudah terbentuk semenjak bertahun-tahun lamanya ketika aku mengamati segala sesuatu. Aku selalu mengeluh, mungkin karena aku memang pengeluh, mengenai susahnya menemukan buku yang dibaca di jalan-jalan. Seolah-olah buku adalah aib yang harus disembunyikan dan jangan sampai berada di tempat-tempat umum. Masyarakat yang biasanya maju adalah masyarakat yang mana buku meresap dan menjadi penting dalam hidupnya. Hampir semua peradaban besar dan kemajuan berbagai macam kota, disertai dengan buku-buku yang dibaca luas oleh masyarakat yang ada di dalamnya.
Bahkan ada pepetahan Islandia yang harusnya besok mulai dihapal oleh para petualang kita, yaitu, “lebih baik berjalan telanjang kaki daripada tanpa buku.” Di negara ini, ada perbedaan kecil tapi menentukan. Banyak orang lebih suka bertelanjang bokong dan dada! Pastinya tanpa buku. Mungkin itulah yang menyebabkan Islandia menjadi rumah bagi kreativitas dan kesenangan akan kegagalan demi menikmati suatu proses dan pengalaman. Sedang kita? Ya, bahkan celana dalam pun made in China.
Aku selalu berpikir, sedikitnya para pembaca bukulah yang membuat negara ini terus menerus menjadi konsumen yang gelisah. Kita dijalin oleh identitas rapuh yang ditentukan oleh ribuan barang yang datang dan pergi. Tanpa harus bersusah payah untuk merasakan proses pembuatannya. Kita terasing dengan akar budaya yang kita miliki. Tidakkah banyak anak muda yang lebih hapal dengan logo Samsung atau Apple dari pada jenis-jenis bambu? Berbagai macam spesies barang elektronik lebih mudah diingat dari pada berbagai macam jenis burung? Dan mirisnya, hampir semua petualang besar masa lalu adalah orang-orang asing dan tentunya merekalah yang hampir nyaris menulis semua tentang keadaan alam kita dan kondisi masyarakatnya! Lalu di mana para backpacker dan ribuan petualang kita? Haduh, mereka asyik mengunggah foto di facebook dengan segala macam pose dan senyuman.  Jika orang Yunani menulis ratusan buku dalam masa hidupnya. Kita memposting ribuan foto dalam satu tahun hidup kita. Sepertinya sangat menjanjikan. Atau menyedihkan?
Sama halnya buku, sepeda adalah sesuatu yang langka jika berada di jalanan. Pengembaraanku ini adalah keinginan untuk melihat buku dan sepeda ada di jalan-jalan dan menjadi gaya hidup. Aku rasa, jika para pengguna sepeda sudah semakin nyaman menikmati ruang dan aktivitasnya di jalan-jalan, mereka yang lebih suka berjalan kaki pun akan semakin banyak. Apa yang dilakukan oleh salah satu pengguna sepeda beberapa waktu yang lalu dalam menghentikan tingkah kekanak-kanakan para pengguna motor besar adalah suatu jenis keindahan tertentu. Keajaiban semacam itu jarang terjadi. Selain lebih sehat, menggunakan sepeda akan lebih menghemat ruang, memurnikan lingkungan dan udara, serta menjadikan seseorang lebih mudah untuk bersinggungan dengan yang lainnya. Dan ada semacam pengalaman yang tak akan bisa dimiliki oleh para pengendara mesin yang lain.
Melihat Indonesia dari Sepeda yang ditulis oleh Ahmad Arif lah yang mendorongku untuk mempercepat keinginanku melakukan pengembaraan di pulau Jawa ini. Pulau yang semakin asing bagiku. Pulau yang nyaris tak dijamah oleh para backpacker yang malang melintang hampir nyaris setiap waktu. Orang bisa berpergian kemanapun ia mau. Tapi apakah nanti ia akan lebih mengenal tempat yang ia datangi? Belum tentu. Dalam banyaknya perjalanan, orang lebih cenderung abai dengan banyak hal daripada ingin tahu dan mengenal tempat yang ia pijak. Bahkan tanah kelahiran sendiri pun kita bisa nyaris buta.
Perjalananku memang tertunda, tapi aku mendapatkan banyak hal dari ketertundaan itu. Aku masih bisa membaca kisah perjalanan Paul Salopek sejauh 34.000 kilometer yang dilakukannya dari mulai Etiophia dengan berjalan kaki dan baru akan selesai selama tujuh tahun kemudian di Afrika Selatan. Aku menyukai jurnalis peraih Pulitzer itu yang ingin menapaktilasi perjalanan nenek moyang kita saat keluar dari Nirwana dan akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tentunya perjalanan itu bukan hanya sekedar perjalanan. Tidak hanya sekedar bokong yang berpindah tempat. Tapi perjalanan itu begitu membuatku kagum karena ada banyak hal di dalam perjalanan itu yang layak untuk dibaca dan direnungkan. Walau aku pun bukan penganut evolusi, membayangkan perjalanan itu saja sudah membuatku terkagum-kagum. Perjalanannya menapaktilasi jalur leluhur kita, menurut pandangannya, dengan berjalan kaki ia namai sebagai Keluar dari Nirwana.
Seperti yang dikatakan oleh Paul Salopek, “berjalaan itu bagaikan bahasa.” Sama halnya dengan membaca buku bersepeda. Ada satu cerminan dari budaya dan peradaban di dalamnya. Dan apa yang aku coba lakukan adalah mencari sisa dari pantulan cermin yang semakin susah dicari itu. Pantulan cermin dari para pembaca buku dan pengayuh sepeda yang semakin kian langka dan susah ditemukan. Lebih mudah melihat payudara yang menyembul dari pada melihat kedua jenis yang aku cari di negara ini.
kenapa harus mengelilingi atau mengembara di tanah Jawa? Jawa adalah tanah dimana diriku tumbuh berkembang dan pusat peradaban nusantara dan Indonesia modern. Jawa adalah miniatur Indonesia. Tempat di mana ribuan anak muda keluar dari tempatnya masing-masing untuk belajar di tanah ini. Jika Jawa adalah tempat yang sehat untuk pikiran dan hati, maka, tempat-tempat lainnya mungkin akan terjangkiti hal yang sama. Begitu juga sebaliknya jika Jawa adalah tanah yang asing dan sakit-sakitan. Karena itulah aku ingin segera memulai pengembaraanku. Menuju ke dalam apa yang dikatakan Paul Salopek sebagai “kehampaan sejarah yang membuat gamang.”

Minggu/23/08/15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar