Sabtu, 05 Maret 2016

DUNIA ANTARA YANG RAPUH












ketika sebuah kota berdiri, 
kehidupan yang lain menghilang.
- Merah Naga

Macet. Panas. Kumuh dan bau. Baiklah, inilah Jogja. Dan para penulis dari the GOOD TRVLRS journal harus mulai meralat kata-katanya dalam buku yang mereka susun. Mereka bilang dalam bukunya “lalu lintas di kota ini terbilang nyaman untuk anda yang senang menikmati jalanan”. Waaw, luar biasa. aku tak tahu seberapa butakah mereka menulis ataukah para penulisnya sedang sibuk mengkhayal? Nyaman menikmati jalanan? Seandainya ada hal yang semacam itu, setiap hari aku akan naik sepeda dan jalan kaki! Bahkan ketika menuju stasiun Lempuyangan pun kemacetan adalah suatu kebahagian dari kemodernan kota ini. dan entah kenapa, dalam buku mereka yang masih sama, ada kalimat yang sungguh sangat memilukkan hingga nyawaku nyaris saja ditarik-tarik kucing dari neraka tetangga. “hampir di setiap jalan, disediakan area bagi penggowes sepeda. Muda atau tua tidak menjadi batas untuk bersepeda keliling kota. Itulah sebabnya Jogja dijuluki sebagai kota sepeda.” Aku pun mengangguk. Kali ini mereka benar! Ketika berada di jalanan menuju stasiun Lempuyangan, deretan “sepeda” motor ada di mana-mana hingga mirip semut merayap. Kadang tak sengaja mata menemukan para pengayuh sepeda yang bukan motor. Jumlahnya sangat mengagumkan. Dua pengayuh sepeda di pertigaan jalan, satu lagi ada di beberapa kilometer di depan, dan beberapa puluh menit kemudian, ada satu lagi yang berjalan tersuruk-suruk melewati genangan sepeda motor dan mobil. Baiklah, aku coba menghitung jumlah kendaraan bermesin yang dilaui para sepeda itu. satu detik, lebih dari lima ratus buah! Lima menit, seribu! Dan sekian menit lagi, sampai tak tahu lagi berapa banyak jumlahnya. Karena terlalu menggembirakannya perkembangan kendaraan bermesin yang ada, jalanan pun terasa bagaikan surga yang telah hilang. 

Aku pun sampai di Stasiun yang cukup penuh, mencari tempat duduk, menunggu kedatangan kereta. Sambil membolak-balikkan Jawa Tempo Doeloe karangan James R. Rush, mataku juga bergerak kesana-kemari di sekitar stasiun, mencari sesuatu yang langka. Apakah ada pembaca buku di stasiun kota ini, kota pelajar atau bahkan kota di mana toko buku ada di mana-mana dan tentunya kota yang juga seringkali disebut dengan kota pendidikan? Tapi aku tak banyak berharap. Sebelum sampai di stasiun pun aku sudah malas berimajinasi yang bukan-bukan. Para pembaca buku di  jalanan dan tempat umum yang ada di Jogja? Kalau hal semacam itu terjadi, dan banyak, mungkin aku akan terkena serangan jantung mendadak dan malaikat akan mengajakku jalan-jalan dan mampir makan sebentar di warung padang sekitar sebelum diantar ke tempat yang paling membahagiakan di sisi seberang dunia sana yang aku rasa, mungkin akan sangat panas.

Baiklah, mataku tak menemukan satu pun sosok berwajah mahasiswa sedang asyik membaca buku di ruang tunggu luar stasiun ini. mungkin aku salah, mungkin diam-diam mereka membaca di dalam kepala atau buku elektronik mereka. aku pun akhirnya menyerahkan tiket kereta ke petugas pintu masuk, yang seolah sedang memeriksa buronan penjahat yang sedang kabur sebelum diijinkan menginjakkan kaki di sisi dalam stasiun. Setelah stempel dibubuhkan, mataku pun bergerak kesana-kemari. Siapa tahu, ada sesuatu yang menarik di dalam sini, pikirku.

Aku pun masuk dengan tas dipunggung serta tas satunya yang berisikan buku-buku. Mencoba mencari tempat duduk, tapi nyaris penuh. Akhirnya aku pun melepas lelah di sekitar rel kereta. Mengamati deretan kursi yang hampir penuh, dan banyak di antaranya adalah anak muda. Kepalaku pun seketika menarik kedua kakiku untuk berjalan melewati deretan bangku-bangku. Siapa tahu, ada pembaca buku di sini? 

Berjalan di deretan bangku pertama, hanya ada sekumpulan anak muda yang sibuk menundukkan kepalanya untuk berdoa kepada handphonenya. Deretan kedua, anak-anak kecil dan orang tua mereka sedang membuat dunia fantasi di sekitar mereka sendiri. deretan ketiga, waw, akhirnya, ada juga seorang yang terlalu gilanya membawa buku di tempat seperti ini. lalu aku perlahan mendekat, melihat-lihat dengan penuh penasaran apa yang dibaca laki-laki itu. baiklah, kertas putih yang berisikan rumus-rumus! Sedangkan mata berbagai macam orang keheranan menatap kelakuanku yang mungkin sangat aneh. Perduli ah, aku pun melangkankah kaki lagi, dan mataku menyesuri berbagai macam deretan bangku dengan diiringi berbagai macam deretan mata yang seolah-olah semuanya diarahkan kepadaku. Bangku kemudian, berisi orang yang sibuk melamun, merenung, atau mungkin patah hati. Deretan berikutnya, berisi orang yang mengantuk, tegang atau mungkin juga sibuk dengan kepala yang dipenuhi hutang-hutang. Deretan berikutnya, mataku seketika berhenti. Ada perempuan muda memegang sebuah buku! Aku pun semakin mendekat, lalu, baiklah, seorang perempuan yang sedang sibuk menghiasi buku bergambarnya. Tak apalah. Setidaknya ada dua orang gila yang masih mau memegang buku. Lalu aku pun kembali melangkah, beberapa deret di depan, terlihat sosok tua yang sibuk mengarahkan matanya di hamparan koran. Otakku langsung merespon, kenapa selalu orang tua yang hampir mati yang memegang koran? Aku pun terdiam dengan penuh perenungan. Baiklah,  ini Indonesia, hanya orang yang sebentar lagi matilah yang membutuhkan koran dan segala isinya. Bangku berikutnya, ada ibu-ibu yang sibuk dengan laptopnya. Mungkin lagi sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun terus melangkahkan kaki hingga akhirnya tenggelam dalam kenyamaan toilet gratis.

Di dalam toilet, otakku pun berputar-putar. Ada empat orang yang entah bisa disebut sebagai pembaca atau tidak, yang jelas, aku menganggapnya masuk hitungan secara kasar. Lalu sisanya yang jumlahnya banyak itu? mungkin mereka sedang membaca di surga dekat Tuhan dengan hanya memakai jiwanya. Mungkin itu akan terlihat sebagai pengilusian yang keren. 

Stasiun, mirip bandara dan terminal, adalah wajah terdepan dari sebuah kota. Seperti itulah aku mencoba memikirkannya. Jika tak banyak pembaca buku dan pesepeda berada di sekitar tempat-tempat semacam stasiun ini, kemungkinan besar, kotanya pun akan memiliki jiwa yang tak jauh berbeda. Apakah sebegitu menyedihkannya kota Jogja yang aku tinggali? 

Kereta sudah datang. Aku pun segera menuju pintu yang terbuka dan mencari-cari kursi yang akan aku duduki selama lebih dari delapan jam ke depan. Mengenai Jogja, aku akan memikirkannya nanti. Di depanku, terdapat pasangan paruh baya sedang asyik bermesraan tanpa perasaan dan menjadi teman perjalananku dalam diam. Dan kereta pun berderit, memulai keberangkatannya yang nantinya akan membuatku sangatlah tersiksa.

Pelan dan pasti, aku pun meninggalkan kota Jogja yang lahir dari menebangi pepohonan yang dulunya bernama Hutan. Aku rasa, kini hutan masa lalu telah menjadi hutan berbeton dengan segenap bangunan tegak bertemboknya. 

Apakah ada pembaca buku dan pesepeda di Bandung? Aku tak tahu. kereta pun mulai berjalan di dalam kegelapan dan bergoyang-goyang dengan gamang. Aku pun menuju Bandung. Kota yang dijuliki Paris van Java dan sederet nama pujian lainnya.

Tapi, di dalam pikiranku, entah kenapa terbesit suatu hal bahwa setiap kota yang ada, selalu saja menghilangkan kehidupan yang lainnya. apakah kota-kota yang pada akhirnya aku kunjungi telah membuat kehidupan hari ini begitu mengerikan? mataku menatap kaca yang memantulkan warna hitam. kereta terus melaju. menembus sudut Jawa yang tak mudah aku pahami kini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar