ketika sebuah
kota berdiri,
kehidupan yang
lain menghilang.
- Merah Naga
Macet. Panas.
Kumuh dan bau. Baiklah, inilah Jogja. Dan para penulis dari the GOOD TRVLRS
journal harus mulai meralat kata-katanya dalam buku yang mereka susun. Mereka
bilang dalam bukunya “lalu lintas di kota ini terbilang nyaman untuk anda yang
senang menikmati jalanan”. Waaw, luar biasa. aku tak tahu seberapa butakah
mereka menulis ataukah para penulisnya sedang sibuk mengkhayal? Nyaman
menikmati jalanan? Seandainya ada hal yang semacam itu, setiap hari aku akan
naik sepeda dan jalan kaki! Bahkan ketika menuju stasiun Lempuyangan pun
kemacetan adalah suatu kebahagian dari kemodernan kota ini. dan entah kenapa,
dalam buku mereka yang masih sama, ada kalimat yang sungguh sangat memilukkan
hingga nyawaku nyaris saja ditarik-tarik kucing dari neraka tetangga. “hampir
di setiap jalan, disediakan area bagi penggowes sepeda. Muda atau tua tidak
menjadi batas untuk bersepeda keliling kota. Itulah sebabnya Jogja dijuluki
sebagai kota sepeda.” Aku pun mengangguk. Kali ini mereka benar! Ketika berada
di jalanan menuju stasiun Lempuyangan, deretan “sepeda” motor ada di mana-mana
hingga mirip semut merayap. Kadang tak sengaja mata menemukan para pengayuh
sepeda yang bukan motor. Jumlahnya sangat mengagumkan. Dua pengayuh sepeda di
pertigaan jalan, satu lagi ada di beberapa kilometer di depan, dan beberapa
puluh menit kemudian, ada satu lagi yang berjalan tersuruk-suruk melewati
genangan sepeda motor dan mobil. Baiklah, aku coba menghitung jumlah kendaraan
bermesin yang dilaui para sepeda itu. satu detik, lebih dari lima ratus buah!
Lima menit, seribu! Dan sekian menit lagi, sampai tak tahu lagi berapa banyak
jumlahnya. Karena terlalu menggembirakannya perkembangan kendaraan bermesin
yang ada, jalanan pun terasa bagaikan surga yang telah hilang.
Aku pun sampai
di Stasiun yang cukup penuh, mencari tempat duduk, menunggu kedatangan kereta.
Sambil membolak-balikkan Jawa Tempo Doeloe
karangan James R. Rush, mataku juga bergerak kesana-kemari di sekitar stasiun,
mencari sesuatu yang langka. Apakah ada pembaca buku di stasiun kota ini, kota
pelajar atau bahkan kota di mana toko buku ada di mana-mana dan tentunya kota
yang juga seringkali disebut dengan kota pendidikan? Tapi aku tak banyak
berharap. Sebelum sampai di stasiun pun aku sudah malas berimajinasi yang
bukan-bukan. Para pembaca buku di jalanan dan tempat umum yang ada di
Jogja? Kalau hal semacam itu terjadi, dan banyak, mungkin aku akan terkena
serangan jantung mendadak dan malaikat akan mengajakku jalan-jalan dan mampir
makan sebentar di warung padang sekitar sebelum diantar ke tempat yang paling
membahagiakan di sisi seberang dunia sana yang aku rasa, mungkin akan sangat
panas.
Baiklah, mataku
tak menemukan satu pun sosok berwajah mahasiswa sedang asyik membaca buku di
ruang tunggu luar stasiun ini. mungkin aku salah, mungkin diam-diam mereka
membaca di dalam kepala atau buku elektronik mereka. aku pun akhirnya
menyerahkan tiket kereta ke petugas pintu masuk, yang seolah sedang memeriksa
buronan penjahat yang sedang kabur sebelum diijinkan menginjakkan kaki di sisi
dalam stasiun. Setelah stempel dibubuhkan, mataku pun bergerak kesana-kemari.
Siapa tahu, ada sesuatu yang menarik di dalam sini, pikirku.
Aku pun masuk
dengan tas dipunggung serta tas satunya yang berisikan buku-buku. Mencoba
mencari tempat duduk, tapi nyaris penuh. Akhirnya aku pun melepas lelah di sekitar
rel kereta. Mengamati deretan kursi yang hampir penuh, dan banyak di antaranya
adalah anak muda. Kepalaku pun seketika menarik kedua kakiku untuk berjalan
melewati deretan bangku-bangku. Siapa tahu, ada pembaca buku di sini?
Berjalan di
deretan bangku pertama, hanya ada sekumpulan anak muda yang sibuk menundukkan
kepalanya untuk berdoa kepada handphonenya. Deretan kedua, anak-anak kecil dan
orang tua mereka sedang membuat dunia fantasi di sekitar mereka sendiri.
deretan ketiga, waw, akhirnya, ada juga seorang yang terlalu gilanya membawa
buku di tempat seperti ini. lalu aku perlahan mendekat, melihat-lihat dengan
penuh penasaran apa yang dibaca laki-laki itu. baiklah, kertas putih yang
berisikan rumus-rumus! Sedangkan mata berbagai macam orang keheranan menatap
kelakuanku yang mungkin sangat aneh. Perduli ah, aku pun melangkankah kaki
lagi, dan mataku menyesuri berbagai macam deretan bangku dengan diiringi
berbagai macam deretan mata yang seolah-olah semuanya diarahkan kepadaku.
Bangku kemudian, berisi orang yang sibuk melamun, merenung, atau mungkin patah
hati. Deretan berikutnya, berisi orang yang mengantuk, tegang atau mungkin juga
sibuk dengan kepala yang dipenuhi hutang-hutang. Deretan berikutnya, mataku
seketika berhenti. Ada perempuan muda memegang sebuah buku! Aku pun semakin
mendekat, lalu, baiklah, seorang perempuan yang sedang sibuk menghiasi buku
bergambarnya. Tak apalah. Setidaknya ada dua orang gila yang masih mau memegang
buku. Lalu aku pun kembali melangkah, beberapa deret di depan, terlihat sosok
tua yang sibuk mengarahkan matanya di hamparan koran. Otakku langsung merespon,
kenapa selalu orang tua yang hampir mati yang memegang koran? Aku pun terdiam
dengan penuh perenungan. Baiklah, ini Indonesia, hanya orang yang
sebentar lagi matilah yang membutuhkan koran dan segala isinya. Bangku
berikutnya, ada ibu-ibu yang sibuk dengan laptopnya. Mungkin lagi sibuk dengan
pekerjaannya. Aku pun terus melangkahkan kaki hingga akhirnya tenggelam dalam
kenyamaan toilet gratis.
Di dalam toilet,
otakku pun berputar-putar. Ada empat orang yang entah bisa disebut sebagai
pembaca atau tidak, yang jelas, aku menganggapnya masuk hitungan secara kasar.
Lalu sisanya yang jumlahnya banyak itu? mungkin mereka sedang membaca di surga
dekat Tuhan dengan hanya memakai jiwanya. Mungkin itu akan terlihat sebagai
pengilusian yang keren.
Stasiun, mirip
bandara dan terminal, adalah wajah terdepan dari sebuah kota. Seperti itulah
aku mencoba memikirkannya. Jika tak banyak pembaca buku dan pesepeda berada di
sekitar tempat-tempat semacam stasiun ini, kemungkinan besar, kotanya pun akan
memiliki jiwa yang tak jauh berbeda. Apakah sebegitu menyedihkannya kota Jogja
yang aku tinggali?
Kereta sudah
datang. Aku pun segera menuju pintu yang terbuka dan mencari-cari kursi yang
akan aku duduki selama lebih dari delapan jam ke depan. Mengenai Jogja, aku
akan memikirkannya nanti. Di depanku, terdapat pasangan paruh baya sedang asyik
bermesraan tanpa perasaan dan menjadi teman perjalananku dalam diam. Dan kereta
pun berderit, memulai keberangkatannya yang nantinya akan membuatku sangatlah
tersiksa.
Pelan dan pasti,
aku pun meninggalkan kota Jogja yang lahir dari menebangi pepohonan yang
dulunya bernama Hutan. Aku rasa, kini hutan masa lalu telah menjadi hutan
berbeton dengan segenap bangunan tegak bertemboknya.
Apakah ada
pembaca buku dan pesepeda di Bandung? Aku tak tahu. kereta pun mulai berjalan
di dalam kegelapan dan bergoyang-goyang dengan gamang. Aku pun menuju Bandung.
Kota yang dijuliki Paris van Java dan sederet nama pujian lainnya.
Tapi, di dalam
pikiranku, entah kenapa terbesit suatu hal bahwa setiap kota yang ada, selalu
saja menghilangkan kehidupan yang lainnya. apakah kota-kota yang pada akhirnya
aku kunjungi telah membuat kehidupan hari ini begitu mengerikan? mataku menatap
kaca yang memantulkan warna hitam. kereta terus melaju. menembus sudut Jawa
yang tak mudah aku pahami kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar