Untuk apa kita
berjalan? Atas alasan apa kita melakukan perjalanan?
Itulah
pertanyaan yang berkali-kali membuatku gelisah. Untuk apa aku melakukan
perjalanan dan kenapa aku masih ingin melakukannya. Berjalan dari satu tempat
ke tempat lainnya. Memasuki berbagai macam ruang. Untuk alasan apa aku berada
di berbagai macam waktu yang berbeda dan berjalan kesana-kemari di saat puncak
kebosananku seharusnya memaksa aku tak ingin melakukan apapun lagi.
Paul Salopek dan
Eric Warner. Dua orang yang membuat aku masih ingin berjalan dan menceritakan
apa yang aku lihat dan pikirkan. Berjalan untuk mencari, memburu, menemukan,
atau mencoba melihat masa lalu untuk dimengerti bagi hari ini dan yang akan
datang.
Paul Salopek,
jurnalis peraih Pulitzer, yang memutuskan meniti masa silam Homo Sapiens sekitar 60.000 tahun lalu
dengan berjalan kaki selama tujuh tahun dari Lembah Celah Besar di Afrika
sampai ke ujung terjauh Amerika selatan, Cile, membuat diriku tersedot dalam
imajinasi perjalanan yang dilakukannya. Perjalanan yang dilakukan olehnya bagiku
sangat mengagumkan.
Seperti Paul
Salopek, aku berjalan untuk sesuatu. Dan apa yang ditulis Paul, menggambarkan
secara tepat apa yang aku sebut Ideapacker
bagi diriku sendiri. Dari bagian pertama perjalanannya, Keluar Dari Nirwana, Paul Salopek menulis;
Berjalan adalah terjun ke depan.
Setiap langkah adalah rem darurat yang menahan agar kami tidak
terjerembap. Dengan cara ini, berjalan menjadi wujud keimanan. Kami
melakukannya setiap hari: mukjizat dua ketukan-mengangkat dan menapakkan kaki,
bertahan sejenak, lalu melepaskan diri. Selama tujuh tahun mendatang, saya akan
terjun melintasi dunia.
Saya tengah berada dalam sebuah perjalanan. Memburu gagasan, kisah,
angan-angan, mungkin legenda. Mengejar-mengejar hantu. Berawal dari tempat
manusia, yakni Great Rift Valley-Lembah Celah Besar-di Afrika timur, saya
berjalan kaki mengikuti jejak para leluhur yang pertama kali menjelajahi Bumi
sekitar 60.000 tahun silam. Sejauh ini, inilah perjalanan terbesar kami. Bukan
karena perjalanan menunjukkan bagaimana kita menguasai planet ini. Tidak.
Melainkan Homo Sapiens awal yang pertama kalinya berkelana ke luar benua
asal-pelopor kaum nomaden yang jumlah totalnya hanya sekitar dua ratus orang.
Mereka juga menganugerahkan kepada kita sifat-sifat terhalus yang kini
diasosiasikan dengan ciri-ciri manusia yang utuh: bahasa yang kompleks, cara
berpikir abstrak, dorongan untuk berkesenian, kecemerlangan dalam inovasi teknologi,
dan keanekaragaman ras yang ada saat ini.
Kita hanya memiliki sekelumit pengetahuan tentang mereka. Mereka
menyeberangi selat bernama Babul Mandeb-“gerbang nestapa” yang memisahkan benua
Afrika dengan daratan Arabia-kemudian jumlah mereka meledak, hanya dalam 2.500
generasi, sekejap mata menurut hitungan geologi, dan merambah bagian-bagian
paling terpencil planet ini.
Ribuan tahun berlalu, saya mengikuti mereka.
Memanfaatkan bukti fosil dan ilmu “genografi”-ilmu yang menganalisa DNA
manusia modern untuk melacak diaspora manusia purba-saya akan berjalan kaki ke
utara dari Afrika menuju Timur Tengah. Dari sana, rute antik saya mengarah ke
timur melintasi dataran batu luas dari Asia hingga China, kemudian ke utara
lagi menuju hamparan bayang-bayang biru mint Siberia. Dari Rusia, saya akan
menumpang kapal menuju Alaska dan beringsut ke pesisir barat Dunia Baru untuk
mencapai Tierra del Fuego, Cile, yang terkikis angin. Inilah daratan terujung
yang berhasil dirambah oleh spesies kita. Saya akan berjalan kaki sejauh 33.000
kilometer.
Proyek ini, yang saya namai Out of Eden Walk (Keluar darI Nirwana),
dilandasi oleh banyak alasan: untuk mempelajari kontur planet kita dengan
kecepatan langkah kaki manusia, yakni lima kilometer perjam. Untuk memperlambat
laju. Untuk merenung. Untuk menulis. Saya akan berjalan, sebagaimana semua
orang, untuk melihat apa yang ada di depan. Saya akan berjalan untuk mengenang.
Perjalanan
semacam itulah yang ingin aku lakukan. Dan membuat aku harus mengutip secara
panjang lebar apa yang Paul Salopek tuliskan dari maksud perjalanannya.
Perjalanan yang bagiku tidak hanya sekedar berjalan kaki, menenteng ransel,
mengambil foto, atau lari dari kehidupan dan sekedar merenungi diri sendiri.
Ada pencarian, jalinan gagasan yang kuat, keinginan untuk melihat kembali,
menemukan, merenungi, menuliskannya, jejak ilmu pengetahuan, wawasan, dan
berjalan untuk sesuatu yang sangat jelas walau kadang sangat samar.
Apakah aku mampu
melakukannya? Dengan tubuh, jiwa, dan keadaanku sekarang ini, aku hanya mampu
mewujudkannya di permukaan. Bagiku, hal semacam itu tak menjadi masalah. Aku
tahu batasan diriku sendiri untuk mewujudkan dan memulai apa yang aku inginkan
dari perjalanan dan pengembaraanku. Yang paling penting adalah gagasan yang aku
tinggalkan dari keinginanku untuk berjalan dan mengembara. Dan apa yang sekilas
aku lihat, renungkan, dan pikirkan,kelak, mungkin, dari keterbatasanku
menceritakan apa yang aku lewati, ada orang lain yang akan meneruskannya.
Itulah keinginanku.
Dari Paul Salopek
yang mengembara dengan gagasan dan tujuan yang sangat jelas dan terasa besar.
Sebagian diriku berada di ujung gerutuan Eric Weiner. Orang itu, dengan bukunya
The Geography of Bliss, tak hanya
membuat diriku merenung, tertawa, berpikir, tapi berkata pada diriku sendiri,
harusnya di negara ini, harus ada seorang yang melakukan perjalanan dengan gaya
penulisan seperti dirinya. Dan aku tak menemukannya.
Gaya penulisan
yang cerdas. Penuh pemikiran dan perenungan. Sarkasme yang pedas diiringi
humor. Keberanian menuliskan apa yang dia lihat dan rasakan walau itu akan
membuat marah penduduk seisi negara. Olok-olok diri yang menawan. Dan pencarian
sebuah gagasan akan kebahagiaan.
Apa yang
membuatku terpikat dengan Paul Salopek dan Eric Weiner adalah kemampuan mereka
dalam menuliskan apa yang mereka lihat. Dengan wawasan mereka sebagai jurnalis,
apa yang mereka tulis terasa berbobot dan penuh perenungan. Mereka berjalan
tidak hanya sekedar berjalan. Mereka mengamati, mencari, mengejar, memburu, dan
mencoba sampai pada suatu tujuan atau gagasan yang ada di kepala mereka. Dan
ketika aku menengok isi negara ini yang dipenuhi oleh para pengembara, pejalan
kaki, pendaki gunung, backpacker, traveler, penjelajah, petualang dan banyak
lainnya. Aku tak menemukan seorang pun di masa mudaku yang mampu menuliskan
kisah perjalanannya dengan sangat kuat, cerdas, penuh wawasan, perenungan,
sarat dengan pemikiran, dan pengetahuan yang baru akan masa lalu dan
kemungkinan di masa yang akan datang.
Perjalanan
mereka biasa-biasa saja. Mengulangi perjalanan orang lainnya. mengambil gambar.
Menuliskan apa yang pernah beribu-ribu orang tulis dan abadikan. Sangat
hati-hati. Ketakutan untuk mengungkapkan kebenaran yang dilihat. Dan yang lebih
sering hanyalah sekedar bersenang-senang tanpa perduli apa yang ada di
sekitarnya.
Banyak orang
berjalan kesana-kemari. Tapi mereka sekedar berjalan. Sedikit perjalanan yang
ditullis dengan bagus dan luar biasa. Seolah-olah kita tak biasa berpikir,
merenung, atau mencoba menemukan dan mencari sesuatu. Mungkin, mayoritas dari
kita, para pejalan dan pengembara, memang tak terbiasa dengan menulis,
berpikir, merenung dan membaca sebuah buku. Perjalanan seseorang adalah
cerminan dari sebagian diri seseorang tersebut.
Jadi kita akan
cukup mampu melihat kecerdasan, wawasan, tingkat mental dan intelektual, minat
terhadap sesuatu, dan pandangan filosofis seseorang dari apa yang mereka
tinggalkan dan hasilkan dari perjalanan yang mereka lakukan. Entah itu dalam
bentuk tulisan, foto, video, maupun sekedar cerita dari mulut ke mulut.
Jejak perjalanan
seseorang adalah cerminan dari seseorang itu sendiri. Jika kita menemukan
sebuah kekosongan besar, ketidakadaan buku perjalanan yang layak kita beri
tepuk tangan, maka generasi kita yang berjalan kesana-kemari hampir setiap
waktu, adalah sekumpulan orang yang terdiri dari individu-individu yang bukan
hidup untuk berpikir, menemukan, dan berambisi pada gagasan dan pencarian. Kita
hanyalah generasi yang hanya sekedar lewat dan bersenang-senang.
Buku yang layak
aku beri tepuk tangan yang besar dan lama adalah The Malay Archipelago karya Alfred Russel Wallace dan Ring of Fire karya Blair bersaudara.
Kedua buku itu mempercundangi kita selama bertahun-tahun lamanya. Bahkan abad
untuk The Malay Archipelago.
Sampai saat ini,
aku selalu iri dengan Wallace. Mirip seperti Tony Whitten yang berkata,
‘sungguh, betapa saya sangat berharap bisa mengenal Wallace!” dan aku rasa, aku
pun juga ingin mengenal salah satu sosok yang paling aku kagumi sejak dulu itu.
Dialah, Wallace, sosok yang membuatku iri selama bertahun-tahun dan yang jelas
membuat iri hampir semua petualang, penjelajah, dan mereka yang ingin melihat
dunia dengan sebagian dari kaca matanya. Dan akan sangat menyenangkan jika cara
berpikir Wallace dipadu dengan gaya penulis Blair bersaudara dalam Ring of Fire yang juga terkagum dengan
apa yang Wallace pernah lakukan dan alami.
Aku pernah
berpikir, apa jadinya jika memadukan gaya menulis Alfred Russel Wallace, Paul
Salopek, Eric Weiner dan Blair? Itu akan jadi tulisan yang luar biasa! Sayang,
aku tak mampu melakukan hal semacam itu kecuali hanya secuil dari masing-masing
dari mereka ditambah caraku sendiri. Aku berharap, kelak akan ada seseorang
yang mampu melakukannya. Terlebih jika ditambah dengan corak pemikiran Jared
Diamond dalam Guns, Germs, and Steel.
Aku menanti datangnya penulis yang mampu memenuhi keinginanku akan sebuah
jalinan pulau-pulau yang kini bernama Indonesia, yang mampu diceritakan dan
ditulis dengan renyah, cerdas, sarat ilmu pengetahuan dan renungan, kadang
penuh humor dan olok-olok, berani menulis apa yang mungkin tak disukai
orang-orang, penuh dengan wawasan, gagasan dan keingintahuan, dan tentunya ada
tujuan yang dikejar dari perjalanan yang dilakukan. Kapankah ada seorang
pejalan kaki, pengembara atau petualang yang mampu melakukannya di negara ini?
Ada banyak buku
dan kisah mengagumkan yang ditulis oleh orang kita sendiri. Salah satunya, yang
cukup ambisius adalah Ekspedisi Phinisi
Nusantara yang ditulis oleh Pius Caro. Yang sangat aku sayangkan, gaya
penulisan di dalam buku itu masih terasa kaku dan tak seimajinatif dan
menegangkan atau bisa disetarakan dengan Ring
of Fire-nya Blair. Terlebih, itu adalah ekspedisi yang diisi dengan
berbagai macam orang. Dan malah aku merasa hidup dan bergairah ketika aku
membaca tulisan singkat dari perjalanan sepasang penjelajah asal Amerika, Helen
dan Frank Schreider, pada masa-masa terburuknya era Soekarno, dengan Jeep
amfibi dan rute kura-kuranya, menjelajahi Nusantara yang sedang bergejolak. Dalam
benakku, seketika berkata, seperti itulah seharusnya kita menulis!
Banyak
perjalanan besar tapi ditulis dengan cara yang buruk dan tak mengundang minat
untuk membacanya. Tak terlalu membuat kita ingin berimajinasi, merenung,
berpikir, atau seolah merasakan perjalanan dan petualangan yang sedang dilakukan.
Buku yang tak mampu melakukan hal semacam itu adalah buku perjalanan yang buruk
dan tak menggairahkan.
Gambaran semacam
itulah yang kini menghinggapi otak dan perasaanku akan arti dan sebuah
perjalanan. Semua orang, tentunya, berjalan dengan cara yang berbeda-beda,
sesuai keinginan dan tujuan hidup mereka masing-masing. Tapi tidakkah
mengesalkan jika negara ini dijelajahi dan ditulis oleh orang-orang luar dengan
cara yang mengagumkan dan kita hanya sekedar jadi pembaca saja? Padahal banyak
dari kita yang sering berada di puncak, memasuki hutan-hutan, berada di
lembah-lembah, menyusuri sungai, sawah, gunung-gunung dan berbagai macam kota?
Lalu, kenapa kita tidak menulis dan menceritakan dunia yang kita singgahi,
pijak, lewati dan alami sebaik para petualang dan pengembara dari negeri asing
yang singgah ke tanah air ini? Apakah pada dasarnya, kita tak begitu kenal
dengan dunia yang kita tinggali atau memang rasa ingin tahu kita yang sangat
sempit dan kurang membuat berbagai macam perjalanan terus-menerus terasa biasa?
Untuk apa kita
berjalan, masing-masing dari kita?
Beberapa orang
mungkin ingin melakukan perjalanan seperti Lawrence of Arabia, atau kisah
tragis Scoot dan kemenangan Roald Admundsen pada 14 januari 1911 demi mengukir
sejarah akan siapa yang pertamakali tiba dan menjelajahi kutub selatan.
Atau beberapa di
antara kita ingin menjadi salah satu tokoh dari David Grann dalam The Lost of Z. Percy Fawcett, seorang
penjelajah ambisius dan mengagumkan tapi memiliki hati yang ngeri dan kejam
jika ia berada di dalam hutan yang menyangkut kesuksesan penjelajahan dan
pencariannya? Ataukah kita hanya cukup ingin seperti David Grann yang
menyelusuri jejak-jejak Fawcett yang hilang di rimba Amazon pada tahun 1925 dan
akhirnya berkata cukup dan tak lagi mencari lebih di saat tahu batasan dirinya
sendiri dalam kisah yang sukar dipecahkan oleh siapapun itu? Walaupun begitu,
David Grann akhirnya menuliskan sebuah buku yang mempesona di masa kita ini dan
aku rasa pulang dengan cara yang tidak sia-sia. Dia mampu menuliskan apa yang
sejak awal perjalanannya ingin ia tuliskan dengan cara yang baik dan penuh
wawasan untuk generasi yang sama sekali tak tahu siapa itu Fawcett dengan
pencariannya akan kota Z yang misterius.
Ataukah ada di
antara kita ingin melakukan lompatan besar sejarah dengan cara yang sangat
beresiko seperti yang dilakukan oleh Yves Rossy pada tahun 2008, yang melakukan
penerbangan dengan sayap bertenaga jet yang ia rancang sendiri. Ia pun terbang
dari mlintasi Bex, Swiss. Sementara yang lainnya, Jim Mitchell, harus rela
menyerahkan nyawanya di antara puncak gunung-gunung ketika sedang mencoba
merentangkan sayapnya.
Banyak
perjalanan dan penjelajahan dinaungi oleh kisah akan kerakusan, ketamakan,
keinginan kuat akan pujian dan kebesaran, dan seolah mirip apa yang dilakukan
oleh Christoper Colombus dengan empat pelayarannya yang berakhir tragis untuk
dirinya sendiri dan juga namanya.
Perebutan dan
pencariaan akan sumber daya rempah-rempah adalah kisah petualangan, perjalanan,
dan penjelajahan yang akan sangat mudah diselipkan dengan apa yang diawali oleh
Colombus. Resiko kematian, pemberontakan awak kapal, tersesat, kengerian
lautan, kelaparan, terserang penyakit dan segala penderitaan yang harus mereka
alami hingga kematian yang seperti dialami oleh Willoughby dan lainnya. Colombus,
Houtman, da Gama, Lancaster, Cortes, Pizarro dan lainnya di masa lalu adalah
kisah yang berisikan pencarian, perdagangan, penjelajahan, petualangan dan
tentunya perjalanan. Bahkan untuk merampok dan menguasai sumber daya dan
berbagai kepulauan, butuh keberanian untuk melakukan sebuah perjalanan yang
nyaris buta tanpa tahu kebenaran pasti sebuah pulau yang ingin dituju. Para
penjajah kita di masa awal mereka melakukan perjalanan ke arah kita, tanpa peta
yang pasti dan banyak titik buta di dalamnya, mereka sedang berjalan di antara
hidup dan mati. Putus asa dan terbuang. Ketenaran atau hukuman mati. Di masa
yang nyaris tenang dan kecukupan ini, kenapa kita tak mampu melampaui orang-orang
masa lalu?
Dan semakin
banyak di antara kita menjadi sekedar kisah tragis dalam tragedi Everest yang
menewaskan 16 pendaki gunung-13 suku Sherpa dan di antaranya dari suku Nepal
lainnya-yang terjadi pada 18 april 2014. Hari nahas bagi para pendaki dan
kemuakan bagi mereka yang menganggap gunung bukan tempat untuk sekedar pinik
dengan cita rasa egois. Bahkan awal dari tulisan Chip Brown, Nestapa di Ancala, bernada sangat getir
dan suram; pada hari yang akan menjadi terkelam dalam sejarah gunung tertinggi
di dunia.
Untuk apa kita
ke gunung? Apakah hanya sekedar memamerkan diri, bersenang-senang, atau sekedar
berjalan ke sana, lalu selesai? Untuk alasan apa sebenarnya kita berjalan?
Beberapa di
antara kita berjalan seperti orang kebanyakan. Memburu tempat-tempat komersil
yang sudah sangat sering dan biasa dilewati dan dijadikan tujuan. Hingga kisah
perjalanan seolah-olah hanya ada di sekitar tempat itu saja. Atau, beberapa di
antara kita pun muak dan mencari sisi yang lainnya atau mencoba kembali mengenang
gaya petualangan masa lalu.
Kemuakan akan
Everest, keinginan untuk mencari petualangan yang baru dan menegangkan,
keinginan untuk memetakan yang tak tertaklukan, membawa sebuah tim berisikan
lima-orang ke puncak gunung tertinggi di Asia Tenggara yang terletak di
Myanmar; Hkakabo Razi. Mereka pun takluk. Tapi mereka mencoba. Walau banyak di
antara teman mereka di masa lalu mati dari apa yang sering mereka lakukan. Dan
mereka berkali-kali juga mengalani nasib yang hampir menewaskan diri mereka
sendiri.
Hal yang menarik
adalah susunan tim yang ada; Marks Jenkins adalah penulis. Renan Ozturk seorang
Videografer. Cory Richard di bagian fotografi. Dan dua pendaki yang bermana
Emily Harrington, dan pemimpin pendakian Hilaree O’Neil. Itu berarti mereka mendaki
tidak hanya sekedar mendaki. Mereka ingin mengukur tinggi puncak itu dengan
GPS. Tapi mereka gagal. Ada pengetahuan dalam perjalanan mereka menuju puncak.
Banyak orang
mengatakan, bahwa para pendaki, penjelajah, dan lainnya haruslah saling
bersama, solid, jangan menjadi egois dan lain sebagainya. Kebaikan dalam hutan
yang seperti monster, lautan yang sangat kelam, es yang membeku, gunung yang
menghancurkan, jurang dan gua yang menakutkan dan gurun yang bagai tak berujung
tak selamanya berisi kebaikan dan kerjasama. Kebaikan dalam perjalanan dan
penjelajahan hanya bisa ditemui dalam perjalanan yang tak terlalu ambisius.
Dalam titik paling ekstrem suatu perjalanan, semua orang akan menjadi egois dan
mencari cara untuk menyelamatkan dirinya atau meneruskan ambisinya pada suatu
tujuan tanpa perduli dengan lainnya.
Ada banyak cara
kita berjalan dan alasan apa yang mendasari kita melangkahkan kaki.
Masing-masing perjalanan yang kita lakukan mencerminkan sisi lain dari diri
kita. Jejak perjalanan adalah diri kita sendiri yang tanpa sadar atau sadar
kita akui dan miliki. Sudut pandang kita akan dunia dan kehidupan tercemin dari
perjalanan yang kita lakukan.
Sebagian orang
lainnya mungkin berjalan untuk memetakan wilayah, mencari ilmu pengetahuan atau
menuliskan apa yang ia lihat dan rasakan seperti yang dialami oleh Ibnu Khaldun
dan Ibnu Battuta. Atau beberapa dari kita lebih tertarik dengan apa yang
dilakukan oleh Charles Darwin, Alfred Russel Wallace atau EO Wilson dan para
penerusnya atau yang mungkin kini dilakukan Paul Salopek?
Jutaan orang
berjalan setiap hari untuk alasannya masing-masing. Untuk pergi ke sekolah,
tempat kerja, pusat hiburan, atau ke berbagai acara seni. Tapi ada juga
perjalanan yang tidak hanya sekedar rutinitas hidup dan mencari uang. Pergi ke
alam, mendaki gunung, menuju pantai, mengembara di lautan, atau memasuki
berbagai macam kota. Tapi, perjalanan yang seolah tak biasa itu telah menjadi
kebiasaan bagi banyak orang lainnya yang pada dasarnya lelah dengan kehidupan,
mengalami kebosanan, rasa jenuh yang luar biasa atau lari dari dunia yang
baginya membingungkan dan membuat frustasi.
Perjalanan yang
bagi kita adalah tak biasa menjadi biasa karena telah banyak orang hampir
melakukannya dengan alasannya masing-masing yang kadang hampir mirip di
beberapa segi. Dan hal semacam itu termasuk perjalanan kecil walau kita
menganggapnya perjalanan besar untuk diri kita sendiri.
Perjalanan
besar, adalah perjalanan untuk mencari, menemukan, memburu, merenungkan,
menuliskan, dan mengisahkan apa yang orang kebanyakan, yang kini sedang
melakukan perjalanan, tak mereka sadari dan cari. Dari Colombus, Salopek hingga Eric Werner,
itulah perjalanan besar menurut diriku. Ideapacker. Bahasa untuk menyebut suatu
perjalanan yang tidak hanya sekedar lari atau berjalan menghindari kejenuhan
dan akhirnya tak menghasilkan dan memikirkan apa-apa kecuali hanya untuk
sekedar bersenang-senang seperti yang lainnya.
Apakah
perjalanan tragis dalam Into The Wild dari
Alexander Supertramp adalah apa yang kita cari? Ataukah apa yang dilakukan oleh
Henry David Thoreau? Sebuah perjalanan hanya sekedar menulis kisah backpacker
murahan yang tersebar di toko-toko buku atau apa yang dikerjakan oleh Alan
Weisman dalam The World Without Us?
Ataukah
perjalanan itu adalah meniti karir seperti yang dikisahkan dan dilakukan oleh
Jordan Belfort dalam The Wolf of Wall
Street atau perjalanan panjang para teroris dalam buku mempesona karya
Lawrence Wright dalam Sejarah Teror ataukah
perjalanan para inovator dalam The
Innovators yang ditulis oleh Walter Isaacson? Atau pencarian akan seni yang
dialami Van Gogh, seperti yang tergambarkan dengan baik oleh Irving Stone
dengan bukunya Lust for Life?
Kita semua
memiliki kisah perjalanan kita masing-masing. Dari ambisi dunia hingga berjalan
ke arah muka Tuhan. Untuk apa kita berjalan dan keinginan apa yang mendasari
kisah perjalanan kita? Ketika merenungkan hal semacam
itu, aku merasa mual dibuatnya. Dari sekian banyak perjalanan yang warga negara
Indonesia lakukan; hanya sedikit yang seperti Pramoedya Ananta Toer, Chairil
Anwar, Tan Malaka dan B.J. Habibie.
Lalu, sebenarnya
kita berjalan setiap hari untuk apa? Dari minimnya penemuan ilmiah, sastra yang
tak berkembang jauh, infrastruktur yang menyedihkan, ilmu pengetahuan yang kita
pinjam dari orang di negara lain, makanan hasil impor, budaya impor, mainan
impor, nyanyian dan musik impor, teknologi impor dan buku bacaan impor hingga
akhirnya aku sadar; mayoritas besar orang di negara ini sedang memilih untuk
berjalan sekedar menjadi konsumen. Itulah filosofi mayoritas penduduk negara
ini. Mereka hidup berjalan untuk mengkonsumsi, bersenang-senang, hidup damai,
dan disuapi oleh segala yang asing.
Sedangkan mereka
yang mencoba keluar dari wilayah itu, harus siap untuk diacuhkan dan dipandang
sebelah mata. Keluar dari kotak atau lingkaran adalah perjalanan yang paling
sulit dan penuh resiko. Jika resiko yang kita lakukan adalah resiko untuk
menjadi pengusaha dari pada menjadi intelektual, peneliti, seniman dan penemu.
Apa yang akan terjadi dengan negara ini?
Ketika resiko
dan jatuh bangun yang lebih dihargai dalam kisah perjalanan manusia adalah
mereka yang hanya sekedar mencari uang dan aman. Sampai kapan negara ini akan
berjalan terus-menerus seperti ini?
Karena itulah
aku berjalan. Mengembara mencari wajah apa yang kelak akan ditinggalkan oleh
generasi kita untuk masa depan yang samar di depan sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar