Selasa, 01 Maret 2016

FILOSOFI PERJALANAN







                     



Untuk apa kita berjalan? Atas alasan apa kita melakukan perjalanan?
Itulah pertanyaan yang berkali-kali membuatku gelisah. Untuk apa aku melakukan perjalanan dan kenapa aku masih ingin melakukannya. Berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya. Memasuki berbagai macam ruang. Untuk alasan apa aku berada di berbagai macam waktu yang berbeda dan berjalan kesana-kemari di saat puncak kebosananku seharusnya memaksa aku tak ingin melakukan apapun lagi.

Paul Salopek dan Eric Warner. Dua orang yang membuat aku masih ingin berjalan dan menceritakan apa yang aku lihat dan pikirkan. Berjalan untuk mencari, memburu, menemukan, atau mencoba melihat masa lalu untuk dimengerti bagi hari ini dan yang akan datang.

Paul Salopek, jurnalis peraih Pulitzer, yang memutuskan meniti masa silam Homo Sapiens sekitar 60.000 tahun lalu dengan berjalan kaki selama tujuh tahun dari Lembah Celah Besar di Afrika sampai ke ujung terjauh Amerika selatan, Cile, membuat diriku tersedot dalam imajinasi perjalanan yang dilakukannya. Perjalanan yang dilakukan olehnya bagiku sangat mengagumkan.

Seperti Paul Salopek, aku berjalan untuk sesuatu. Dan apa yang ditulis Paul, menggambarkan secara tepat apa yang aku sebut Ideapacker bagi diriku sendiri. Dari bagian pertama perjalanannya, Keluar Dari Nirwana, Paul Salopek menulis;

Berjalan adalah terjun ke depan.
Setiap langkah adalah rem darurat yang menahan agar kami tidak terjerembap. Dengan cara ini, berjalan menjadi wujud keimanan. Kami melakukannya setiap hari: mukjizat dua ketukan-mengangkat dan menapakkan kaki, bertahan sejenak, lalu melepaskan diri. Selama tujuh tahun mendatang, saya akan terjun melintasi dunia.

Saya tengah berada dalam sebuah perjalanan. Memburu gagasan, kisah, angan-angan, mungkin legenda. Mengejar-mengejar hantu. Berawal dari tempat manusia, yakni Great Rift Valley-Lembah Celah Besar-di Afrika timur, saya berjalan kaki mengikuti jejak para leluhur yang pertama kali menjelajahi Bumi sekitar 60.000 tahun silam. Sejauh ini, inilah perjalanan terbesar kami. Bukan karena perjalanan menunjukkan bagaimana kita menguasai planet ini. Tidak. Melainkan Homo Sapiens awal yang pertama kalinya berkelana ke luar benua asal-pelopor kaum nomaden yang jumlah totalnya hanya sekitar dua ratus orang. Mereka juga menganugerahkan kepada kita sifat-sifat terhalus yang kini diasosiasikan dengan ciri-ciri manusia yang utuh: bahasa yang kompleks, cara berpikir abstrak, dorongan untuk berkesenian, kecemerlangan dalam inovasi teknologi, dan keanekaragaman ras yang ada saat ini.

Kita hanya memiliki sekelumit pengetahuan tentang mereka. Mereka menyeberangi selat bernama Babul Mandeb-“gerbang nestapa” yang memisahkan benua Afrika dengan daratan Arabia-kemudian jumlah mereka meledak, hanya dalam 2.500 generasi, sekejap mata menurut hitungan geologi, dan merambah bagian-bagian paling terpencil planet ini.

Ribuan tahun berlalu, saya mengikuti mereka.

Memanfaatkan bukti fosil dan ilmu “genografi”-ilmu yang menganalisa DNA manusia modern untuk melacak diaspora manusia purba-saya akan berjalan kaki ke utara dari Afrika menuju Timur Tengah. Dari sana, rute antik saya mengarah ke timur melintasi dataran batu luas dari Asia hingga China, kemudian ke utara lagi menuju hamparan bayang-bayang biru mint Siberia. Dari Rusia, saya akan menumpang kapal menuju Alaska dan beringsut ke pesisir barat Dunia Baru untuk mencapai Tierra del Fuego, Cile, yang terkikis angin. Inilah daratan terujung yang berhasil dirambah oleh spesies kita. Saya akan berjalan kaki sejauh 33.000 kilometer.

Proyek ini, yang saya namai Out of Eden Walk (Keluar darI Nirwana), dilandasi oleh banyak alasan: untuk mempelajari kontur planet kita dengan kecepatan langkah kaki manusia, yakni lima kilometer perjam. Untuk memperlambat laju. Untuk merenung. Untuk menulis. Saya akan berjalan, sebagaimana semua orang, untuk melihat apa yang ada di depan. Saya akan berjalan untuk mengenang.


Perjalanan semacam itulah yang ingin aku lakukan. Dan membuat aku harus mengutip secara panjang lebar apa yang Paul Salopek tuliskan dari maksud perjalanannya. Perjalanan yang bagiku tidak hanya sekedar berjalan kaki, menenteng ransel, mengambil foto, atau lari dari kehidupan dan sekedar merenungi diri sendiri. Ada pencarian, jalinan gagasan yang kuat, keinginan untuk melihat kembali, menemukan, merenungi, menuliskannya, jejak ilmu pengetahuan, wawasan, dan berjalan untuk sesuatu yang sangat jelas walau kadang sangat samar.

Apakah aku mampu melakukannya? Dengan tubuh, jiwa, dan keadaanku sekarang ini, aku hanya mampu mewujudkannya di permukaan. Bagiku, hal semacam itu tak menjadi masalah. Aku tahu batasan diriku sendiri untuk mewujudkan dan memulai apa yang aku inginkan dari perjalanan dan pengembaraanku. Yang paling penting adalah gagasan yang aku tinggalkan dari keinginanku untuk berjalan dan mengembara. Dan apa yang sekilas aku lihat, renungkan, dan pikirkan,kelak, mungkin, dari keterbatasanku menceritakan apa yang aku lewati, ada orang lain yang akan meneruskannya. Itulah keinginanku.

Dari Paul Salopek yang mengembara dengan gagasan dan tujuan yang sangat jelas dan terasa besar. Sebagian diriku berada di ujung gerutuan Eric Weiner. Orang itu, dengan bukunya The Geography of Bliss, tak hanya membuat diriku merenung, tertawa, berpikir, tapi berkata pada diriku sendiri, harusnya di negara ini, harus ada seorang yang melakukan perjalanan dengan gaya penulisan seperti dirinya. Dan aku tak menemukannya.

Gaya penulisan yang cerdas. Penuh pemikiran dan perenungan. Sarkasme yang pedas diiringi humor. Keberanian menuliskan apa yang dia lihat dan rasakan walau itu akan membuat marah penduduk seisi negara. Olok-olok diri yang menawan. Dan pencarian sebuah gagasan akan kebahagiaan.

  








Apa yang membuatku terpikat dengan Paul Salopek dan Eric Weiner adalah kemampuan mereka dalam menuliskan apa yang mereka lihat. Dengan wawasan mereka sebagai jurnalis, apa yang mereka tulis terasa berbobot dan penuh perenungan. Mereka berjalan tidak hanya sekedar berjalan. Mereka mengamati, mencari, mengejar, memburu, dan mencoba sampai pada suatu tujuan atau gagasan yang ada di kepala mereka. Dan ketika aku menengok isi negara ini yang dipenuhi oleh para pengembara, pejalan kaki, pendaki gunung, backpacker, traveler, penjelajah, petualang dan banyak lainnya. Aku tak menemukan seorang pun di masa mudaku yang mampu menuliskan kisah perjalanannya dengan sangat kuat, cerdas, penuh wawasan, perenungan, sarat dengan pemikiran, dan pengetahuan yang baru akan masa lalu dan kemungkinan di masa yang akan datang.

Perjalanan mereka biasa-biasa saja. Mengulangi perjalanan orang lainnya. mengambil gambar. Menuliskan apa yang pernah beribu-ribu orang tulis dan abadikan. Sangat hati-hati. Ketakutan untuk mengungkapkan kebenaran yang dilihat. Dan yang lebih sering hanyalah sekedar bersenang-senang tanpa perduli apa yang ada di sekitarnya.

Banyak orang berjalan kesana-kemari. Tapi mereka sekedar berjalan. Sedikit perjalanan yang ditullis dengan bagus dan luar biasa. Seolah-olah kita tak biasa berpikir, merenung, atau mencoba menemukan dan mencari sesuatu. Mungkin, mayoritas dari kita, para pejalan dan pengembara, memang tak terbiasa dengan menulis, berpikir, merenung dan membaca sebuah buku. Perjalanan seseorang adalah cerminan dari sebagian diri seseorang tersebut.

Jadi kita akan cukup mampu melihat kecerdasan, wawasan, tingkat mental dan intelektual, minat terhadap sesuatu, dan pandangan filosofis seseorang dari apa yang mereka tinggalkan dan hasilkan dari perjalanan yang mereka lakukan. Entah itu dalam bentuk tulisan, foto, video, maupun sekedar cerita dari mulut ke mulut.

Jejak perjalanan seseorang adalah cerminan dari seseorang itu sendiri. Jika kita menemukan sebuah kekosongan besar, ketidakadaan buku perjalanan yang layak kita beri tepuk tangan, maka generasi kita yang berjalan kesana-kemari hampir setiap waktu, adalah sekumpulan orang yang terdiri dari individu-individu yang bukan hidup untuk berpikir, menemukan, dan berambisi pada gagasan dan pencarian. Kita hanyalah generasi yang hanya sekedar lewat dan bersenang-senang.

Buku yang layak aku beri tepuk tangan yang besar dan lama adalah The Malay Archipelago karya Alfred Russel Wallace dan Ring of Fire karya Blair bersaudara. Kedua buku itu mempercundangi kita selama bertahun-tahun lamanya. Bahkan abad untuk The Malay Archipelago.

Sampai saat ini, aku selalu iri dengan Wallace. Mirip seperti Tony Whitten yang berkata, ‘sungguh, betapa saya sangat berharap bisa mengenal Wallace!” dan aku rasa, aku pun juga ingin mengenal salah satu sosok yang paling aku kagumi sejak dulu itu. Dialah, Wallace, sosok yang membuatku iri selama bertahun-tahun dan yang jelas membuat iri hampir semua petualang, penjelajah, dan mereka yang ingin melihat dunia dengan sebagian dari kaca matanya. Dan akan sangat menyenangkan jika cara berpikir Wallace dipadu dengan gaya penulis Blair bersaudara dalam Ring of Fire yang juga terkagum dengan apa yang Wallace pernah lakukan dan alami.

Aku pernah berpikir, apa jadinya jika memadukan gaya menulis Alfred Russel Wallace, Paul Salopek, Eric Weiner dan Blair? Itu akan jadi tulisan yang luar biasa! Sayang, aku tak mampu melakukan hal semacam itu kecuali hanya secuil dari masing-masing dari mereka ditambah caraku sendiri. Aku berharap, kelak akan ada seseorang yang mampu melakukannya. Terlebih jika ditambah dengan corak pemikiran Jared Diamond dalam Guns, Germs, and Steel. Aku menanti datangnya penulis yang mampu memenuhi keinginanku akan sebuah jalinan pulau-pulau yang kini bernama Indonesia, yang mampu diceritakan dan ditulis dengan renyah, cerdas, sarat ilmu pengetahuan dan renungan, kadang penuh humor dan olok-olok, berani menulis apa yang mungkin tak disukai orang-orang, penuh dengan wawasan, gagasan dan keingintahuan, dan tentunya ada tujuan yang dikejar dari perjalanan yang dilakukan. Kapankah ada seorang pejalan kaki, pengembara atau petualang yang mampu melakukannya di negara ini?

Ada banyak buku dan kisah mengagumkan yang ditulis oleh orang kita sendiri. Salah satunya, yang cukup ambisius adalah Ekspedisi Phinisi Nusantara yang ditulis oleh Pius Caro. Yang sangat aku sayangkan, gaya penulisan di dalam buku itu masih terasa kaku dan tak seimajinatif dan menegangkan atau bisa disetarakan dengan Ring of Fire-nya Blair. Terlebih, itu adalah ekspedisi yang diisi dengan berbagai macam orang. Dan malah aku merasa hidup dan bergairah ketika aku membaca tulisan singkat dari perjalanan sepasang penjelajah asal Amerika, Helen dan Frank Schreider, pada masa-masa terburuknya era Soekarno, dengan Jeep amfibi dan rute kura-kuranya, menjelajahi Nusantara yang sedang bergejolak. Dalam benakku, seketika berkata, seperti itulah seharusnya kita menulis!

Banyak perjalanan besar tapi ditulis dengan cara yang buruk dan tak mengundang minat untuk membacanya. Tak terlalu membuat kita ingin berimajinasi, merenung, berpikir, atau seolah merasakan perjalanan dan petualangan yang sedang dilakukan. Buku yang tak mampu melakukan hal semacam itu adalah buku perjalanan yang buruk dan tak menggairahkan.

Gambaran semacam itulah yang kini menghinggapi otak dan perasaanku akan arti dan sebuah perjalanan. Semua orang, tentunya, berjalan dengan cara yang berbeda-beda, sesuai keinginan dan tujuan hidup mereka masing-masing. Tapi tidakkah mengesalkan jika negara ini dijelajahi dan ditulis oleh orang-orang luar dengan cara yang mengagumkan dan kita hanya sekedar jadi pembaca saja? Padahal banyak dari kita yang sering berada di puncak, memasuki hutan-hutan, berada di lembah-lembah, menyusuri sungai, sawah, gunung-gunung dan berbagai macam kota? Lalu, kenapa kita tidak menulis dan menceritakan dunia yang kita singgahi, pijak, lewati dan alami sebaik para petualang dan pengembara dari negeri asing yang singgah ke tanah air ini? Apakah pada dasarnya, kita tak begitu kenal dengan dunia yang kita tinggali atau memang rasa ingin tahu kita yang sangat sempit dan kurang membuat berbagai macam perjalanan terus-menerus terasa biasa?








 




Untuk apa kita berjalan, masing-masing dari kita?
Beberapa orang mungkin ingin melakukan perjalanan seperti Lawrence of Arabia, atau kisah tragis Scoot dan kemenangan Roald Admundsen pada 14 januari 1911 demi mengukir sejarah akan siapa yang pertamakali tiba dan menjelajahi kutub selatan.

Atau beberapa di antara kita ingin menjadi salah satu tokoh dari David Grann dalam The Lost of Z. Percy Fawcett, seorang penjelajah ambisius dan mengagumkan tapi memiliki hati yang ngeri dan kejam jika ia berada di dalam hutan yang menyangkut kesuksesan penjelajahan dan pencariannya? Ataukah kita hanya cukup ingin seperti David Grann yang menyelusuri jejak-jejak Fawcett yang hilang di rimba Amazon pada tahun 1925 dan akhirnya berkata cukup dan tak lagi mencari lebih di saat tahu batasan dirinya sendiri dalam kisah yang sukar dipecahkan oleh siapapun itu? Walaupun begitu, David Grann akhirnya menuliskan sebuah buku yang mempesona di masa kita ini dan aku rasa pulang dengan cara yang tidak sia-sia. Dia mampu menuliskan apa yang sejak awal perjalanannya ingin ia tuliskan dengan cara yang baik dan penuh wawasan untuk generasi yang sama sekali tak tahu siapa itu Fawcett dengan pencariannya akan kota Z yang misterius.






Ataukah ada di antara kita ingin melakukan lompatan besar sejarah dengan cara yang sangat beresiko seperti yang dilakukan oleh Yves Rossy pada tahun 2008, yang melakukan penerbangan dengan sayap bertenaga jet yang ia rancang sendiri. Ia pun terbang dari mlintasi Bex, Swiss. Sementara yang lainnya, Jim Mitchell, harus rela menyerahkan nyawanya di antara puncak gunung-gunung ketika sedang mencoba merentangkan sayapnya.

Banyak perjalanan dan penjelajahan dinaungi oleh kisah akan kerakusan, ketamakan, keinginan kuat akan pujian dan kebesaran, dan seolah mirip apa yang dilakukan oleh Christoper Colombus dengan empat pelayarannya yang berakhir tragis untuk dirinya sendiri dan juga namanya.

Perebutan dan pencariaan akan sumber daya rempah-rempah adalah kisah petualangan, perjalanan, dan penjelajahan yang akan sangat mudah diselipkan dengan apa yang diawali oleh Colombus. Resiko kematian, pemberontakan awak kapal, tersesat, kengerian lautan, kelaparan, terserang penyakit dan segala penderitaan yang harus mereka alami hingga kematian yang seperti dialami oleh Willoughby dan lainnya. Colombus, Houtman, da Gama, Lancaster, Cortes, Pizarro dan lainnya di masa lalu adalah kisah yang berisikan pencarian, perdagangan, penjelajahan, petualangan dan tentunya perjalanan. Bahkan untuk merampok dan menguasai sumber daya dan berbagai kepulauan, butuh keberanian untuk melakukan sebuah perjalanan yang nyaris buta tanpa tahu kebenaran pasti sebuah pulau yang ingin dituju. Para penjajah kita di masa awal mereka melakukan perjalanan ke arah kita, tanpa peta yang pasti dan banyak titik buta di dalamnya, mereka sedang berjalan di antara hidup dan mati. Putus asa dan terbuang. Ketenaran atau hukuman mati. Di masa yang nyaris tenang dan kecukupan ini, kenapa kita tak mampu melampaui orang-orang masa lalu?

Dan semakin banyak di antara kita menjadi sekedar kisah tragis dalam tragedi Everest yang menewaskan 16 pendaki gunung-13 suku Sherpa dan di antaranya dari suku Nepal lainnya-yang terjadi pada 18 april 2014. Hari nahas bagi para pendaki dan kemuakan bagi mereka yang menganggap gunung bukan tempat untuk sekedar pinik dengan cita rasa egois. Bahkan awal dari tulisan Chip Brown, Nestapa di Ancala, bernada sangat getir dan suram; pada hari yang akan menjadi terkelam dalam sejarah gunung tertinggi di dunia.







Untuk apa kita ke gunung? Apakah hanya sekedar memamerkan diri, bersenang-senang, atau sekedar berjalan ke sana, lalu selesai? Untuk alasan apa sebenarnya kita berjalan?

Beberapa di antara kita berjalan seperti orang kebanyakan. Memburu tempat-tempat komersil yang sudah sangat sering dan biasa dilewati dan dijadikan tujuan. Hingga kisah perjalanan seolah-olah hanya ada di sekitar tempat itu saja. Atau, beberapa di antara kita pun muak dan mencari sisi yang lainnya atau mencoba kembali mengenang gaya petualangan masa lalu.

Kemuakan akan Everest, keinginan untuk mencari petualangan yang baru dan menegangkan, keinginan untuk memetakan yang tak tertaklukan, membawa sebuah tim berisikan lima-orang ke puncak gunung tertinggi di Asia Tenggara yang terletak di Myanmar; Hkakabo Razi. Mereka pun takluk. Tapi mereka mencoba. Walau banyak di antara teman mereka di masa lalu mati dari apa yang sering mereka lakukan. Dan mereka berkali-kali juga mengalani nasib yang hampir menewaskan diri mereka sendiri.

Hal yang menarik adalah susunan tim yang ada; Marks Jenkins adalah penulis. Renan Ozturk seorang Videografer. Cory Richard di bagian fotografi. Dan dua pendaki yang bermana Emily Harrington, dan pemimpin pendakian Hilaree O’Neil. Itu berarti mereka mendaki tidak hanya sekedar mendaki. Mereka ingin mengukur tinggi puncak itu dengan GPS. Tapi mereka gagal. Ada pengetahuan dalam perjalanan mereka menuju puncak.






Banyak orang mengatakan, bahwa para pendaki, penjelajah, dan lainnya haruslah saling bersama, solid, jangan menjadi egois dan lain sebagainya. Kebaikan dalam hutan yang seperti monster, lautan yang sangat kelam, es yang membeku, gunung yang menghancurkan, jurang dan gua yang menakutkan dan gurun yang bagai tak berujung tak selamanya berisi kebaikan dan kerjasama. Kebaikan dalam perjalanan dan penjelajahan hanya bisa ditemui dalam perjalanan yang tak terlalu ambisius. Dalam titik paling ekstrem suatu perjalanan, semua orang akan menjadi egois dan mencari cara untuk menyelamatkan dirinya atau meneruskan ambisinya pada suatu tujuan tanpa perduli dengan lainnya.

Ada banyak cara kita berjalan dan alasan apa yang mendasari kita melangkahkan kaki. Masing-masing perjalanan yang kita lakukan mencerminkan sisi lain dari diri kita. Jejak perjalanan adalah diri kita sendiri yang tanpa sadar atau sadar kita akui dan miliki. Sudut pandang kita akan dunia dan kehidupan tercemin dari perjalanan yang kita lakukan.

Sebagian orang lainnya mungkin berjalan untuk memetakan wilayah, mencari ilmu pengetahuan atau menuliskan apa yang ia lihat dan rasakan seperti yang dialami oleh Ibnu Khaldun dan Ibnu Battuta. Atau beberapa dari kita lebih tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Charles Darwin, Alfred Russel Wallace atau EO Wilson dan para penerusnya atau yang mungkin kini dilakukan Paul Salopek?

Jutaan orang berjalan setiap hari untuk alasannya masing-masing. Untuk pergi ke sekolah, tempat kerja, pusat hiburan, atau ke berbagai acara seni. Tapi ada juga perjalanan yang tidak hanya sekedar rutinitas hidup dan mencari uang. Pergi ke alam, mendaki gunung, menuju pantai, mengembara di lautan, atau memasuki berbagai macam kota. Tapi, perjalanan yang seolah tak biasa itu telah menjadi kebiasaan bagi banyak orang lainnya yang pada dasarnya lelah dengan kehidupan, mengalami kebosanan, rasa jenuh yang luar biasa atau lari dari dunia yang baginya membingungkan dan membuat frustasi.

Perjalanan yang bagi kita adalah tak biasa menjadi biasa karena telah banyak orang hampir melakukannya dengan alasannya masing-masing yang kadang hampir mirip di beberapa segi. Dan hal semacam itu termasuk perjalanan kecil walau kita menganggapnya perjalanan besar untuk diri kita sendiri.

Perjalanan besar, adalah perjalanan untuk mencari, menemukan, memburu, merenungkan, menuliskan, dan mengisahkan apa yang orang kebanyakan, yang kini sedang melakukan perjalanan, tak mereka sadari dan cari.  Dari Colombus, Salopek hingga Eric Werner, itulah perjalanan besar menurut diriku. Ideapacker. Bahasa untuk menyebut suatu perjalanan yang tidak hanya sekedar lari atau berjalan menghindari kejenuhan dan akhirnya tak menghasilkan dan memikirkan apa-apa kecuali hanya untuk sekedar bersenang-senang seperti yang lainnya.

Apakah perjalanan tragis dalam Into The Wild dari Alexander Supertramp adalah apa yang kita cari? Ataukah apa yang dilakukan oleh Henry David Thoreau? Sebuah perjalanan hanya sekedar menulis kisah backpacker murahan yang tersebar di toko-toko buku atau apa yang dikerjakan oleh Alan Weisman dalam The World Without Us?

Ataukah perjalanan itu adalah meniti karir seperti yang dikisahkan dan dilakukan oleh Jordan Belfort dalam The Wolf of Wall Street atau perjalanan panjang para teroris dalam buku mempesona karya Lawrence Wright dalam Sejarah Teror ataukah perjalanan para inovator dalam The Innovators yang ditulis oleh Walter Isaacson? Atau pencarian akan seni yang dialami Van Gogh, seperti yang tergambarkan dengan baik oleh Irving Stone dengan bukunya Lust for Life?

Kita semua memiliki kisah perjalanan kita masing-masing. Dari ambisi dunia hingga berjalan ke arah muka Tuhan. Untuk apa kita berjalan dan keinginan apa yang mendasari kisah perjalanan kita? Ketika merenungkan hal semacam itu, aku merasa mual dibuatnya. Dari sekian banyak perjalanan yang warga negara Indonesia lakukan; hanya sedikit yang seperti Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Tan Malaka dan B.J. Habibie.

Lalu, sebenarnya kita berjalan setiap hari untuk apa? Dari minimnya penemuan ilmiah, sastra yang tak berkembang jauh, infrastruktur yang menyedihkan, ilmu pengetahuan yang kita pinjam dari orang di negara lain, makanan hasil impor, budaya impor, mainan impor, nyanyian dan musik impor, teknologi impor dan buku bacaan impor hingga akhirnya aku sadar; mayoritas besar orang di negara ini sedang memilih untuk berjalan sekedar menjadi konsumen. Itulah filosofi mayoritas penduduk negara ini. Mereka hidup berjalan untuk mengkonsumsi, bersenang-senang, hidup damai, dan disuapi oleh segala yang asing.

Sedangkan mereka yang mencoba keluar dari wilayah itu, harus siap untuk diacuhkan dan dipandang sebelah mata. Keluar dari kotak atau lingkaran adalah perjalanan yang paling sulit dan penuh resiko. Jika resiko yang kita lakukan adalah resiko untuk menjadi pengusaha dari pada menjadi intelektual, peneliti, seniman dan penemu. Apa yang akan terjadi dengan negara ini?

Ketika resiko dan jatuh bangun yang lebih dihargai dalam kisah perjalanan manusia adalah mereka yang hanya sekedar mencari uang dan aman. Sampai kapan negara ini akan berjalan terus-menerus seperti ini?

Karena itulah aku berjalan. Mengembara mencari wajah apa yang kelak akan ditinggalkan oleh generasi kita untuk masa depan yang samar di depan sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar