Senin, 07 Maret 2016

MERENUNGKAN JAWA




cara terbaik untuk menghilangkan rasa
sakit adalah dengan cara membaca buku
dan melakukan perjalanan.
- merah naga


hari menjelang sore. warna kaca memantulkan gelap dan bau lampu-lampu. udara yang mendingin. suara-suara anak kecil bercampur dengan deru knalpot. angin menyentuh ranting dan dedaunan. lumut dan tumbuhan parasit melilit batang pohon. dunia tiba-tiba begitu hening. walau kekacauan menyelimuti duniaku yang paling dalam.

sore atau malam ini, aku ingin berbicara sedikit tentang Jawa. bukan tentang diriku yang hari ini kehabisan uang dan ditagih oleh ibu kos untuk segera membayar tunggakan. aku ingin bercerita tentang Jawa walau hanya sebentar. seolah-olah, kisah tentang Jawa mampu menghibur diriku yang lelah ini.

Jawa, bagiku kini adalah semacam tanah yang semakin asing. seolah-olah aku bukan hidup dari tanah ini. bagaimana tidak, aku nyaris tak begitu mengenal tanah ini dari pada mereka yang dulu menjajahnya. 
beberapa hari yang lalu, aku tak sengaja bertemu kembali dengan pagelaran wayang kulit di dekat tugu Jogja atau jalan Margo Utomo. hampir setahun di sini aku tak pernah menyaksikan kesenian wayang kulit. tiba-tiba, ketika melintas dan menemukannya, perasaanku begitu rindu dengan masa kanak-kanak dulu. tapi tak seperti dulu. kini, pertemuanku dengan wayang kulit menghasilkan perasaan yang campur aduk. antara diriku yang sekarang dan masa lalu yang jauh.

saat melihat wayang kulit, yang aku dapati adalah sosok-sosok masa lalu. para orang tua yang wajahnya seolah berada di abad yang telah lewat. dan, suara dalang pun nyaris tak lagi aku mengerti. kemampuanku dalam berbahasa jawa kuno pun nyaris hilang. tiba-tiba wayang kulit pun menjadi semakin asing bagiku. bahkan, seluruh peralatan yang dipakai dalam pementasan pun aku banyak lupa. perlu buku The History of Java karya Raffles hanya untuk sekedar mengingatnya. ini sungguh menyedihkan. 

dalam artian tertentu, kadang, aku merasa para orang asing yang menulis Jawa itulah yang seorang Jawa yang sebenarnya. mereka lebih mengenal Jawa dari pada diriku sendiri.

masa lalu yang jauh itu adalah Jawa yang dikenal oleh banyak penjelajah asing sebagai surga dunia. tempat yang sangat eksotis dan penuh dengan nuansa romantisme. tempat di mana Borobudur, Prambanan, Gedung Songo dan lainnya berdiri megah. tempat berbagai macam kerajaan lahir dan tenggelam. tempat sastra kuno yang kini digeluti dengan perasaan kagum oleh orang asing, di tulis oleh para pujangga dan penulis Jawa. tempat di mana, seluruh peradaban dunia ingin memiliki tanah yang subur ini dengan segala cara. dan kini, tiba-tiba, di masaku hidup, Jawa adalah dunia asing.

hampir satu bulan yang lalu, aku menuju pantai selatan untuk menghidupkan diriku kembali. pikiran-pikiranku kini dipenuhi oleh Jawa yang telah hilang. buku-buku yang aku miliki, yang aku baca dan kini aku sedang kumpulkan, bercerita tentang Jawa masa lalu. di sepanjang jalan yang aku lalui, aku menengok kanan dan kiri sisi jalan yang dipenuhi dengan berbagai jenis tetumbuhan yang sedikit sekali yang masih bisa aku kenali. 

aku menemukan kembali perasaan haru ketika aku mampu mengenali pohon kapuk, mahoni, atau sekedar pohon nangka. bahkan ketika mampu teringat akan salah satu jenis bambu yang aku sukai, bambu berwarna kuning yang seringkali disebut sebagai pring peting itu, perasaanku melonjak girang. aku mendapati duniaku yang nyaris hilang di sepanjang jalan menuju laut selatan itu. dari mulai pohon kresen atau talok, pohon petai atau landing, pohon jambu air, palem dan juga pohon kelapa. bahkan di tengah banyaknya rerimbun pepohonan terakhir di pulai Jawa ini, bisa mengenali daun dari pepohonan mangga saja itu sudah sangat luar biasa. pohon akasia pun seringkali aku lupa. hanya beringinlah yang masih mudah untuk langsung aku ketahui. seringkali pohon asem pun perlu waktu untuk ada di pikiranku. semakin banyaknya jenis tetumbuhan di satu tempat, aku semakin kehilangan ingatan. dalam hal ini, semakin dewasa aku, dan bersentuhan dengan dunia kota, aku semakin menjadi laki-laki yang tak mengerti tempat tinggalnya sendiri.

aku pun seringkali kebingungan untuk menyebutkan beberapa gunung yang ada di pulau Jawa terkhususnya antara Semarang dan Jogja. dari mulai gunung Ungaran, Merbabu, Merapi hingga gunung Lawu yang masih kelihatan dari arah sekitar sini. aku tahu nama gunung-gunung yang ada di sepanjang Jawa, tapi aku seringkali lupa dan sering tertukar di mana tempat asal gunung-gunung itu. bahkan aku sering buta jika ada di perjalanan ketika melihat sebuah gunung menyembul dengan begitu mengagumkan. 

jelas, mengenai dunia tumbuhan aku hampir menyerah. tubuh dewasaku semakin hari kian melupakan ingatan dari masa lalu dengan berbagai macam tumbuhan yang aku kenal dengan baik. hanya sedikit yang tersisa dari diriku mengenai hal itu. ketika melihat berbagai macam tumbuhan di sepanjang jalan yang aku lalui, aku sering merasa sedih. sedangkan dengan hewan liar, banyak yang kini tak lagi mampu aku kenal dengan mudah dan tepat.

aku masih bisa membedakan beberapa jenis walet dan layang-layang. aku juga masih mampu untuk mengenal dengan jelas beberapa burung pipit; dari mulai burung gereja, bondol jawa dan bondol rawa, gelatik batu, hingga emprit sawah dan lainnya. aku masih punya kenangan kuat dengan burung alap-alap, beberapa burung penyanyi, burung dara, dan beberapa burung bangau dan air tawar lainnya. atau hewan-hewan yang kini melata dan berjalan dengan kakinya. 

kelak mungkin akan ada orang yang tak tahu apa itu cicak. karena ada beberapa temanku yang tak tahu apa itu kelelawar dalam dunia nyata. bahkan walet pun bentuknya seperti apa, mereka tak tahu. ketika aku bertanya tentang jambu mete pun tak tahu. dalam artian banyak, anak-anak muda di sekitarku dan yang kini hidup di sekitar Jawa, tak tahu apa saja yang ada, hidup, dan bernama di pulau ini. bagi diriku sendiri, Jawa kian menjadi asing. seolah-olah aku lahir dari negeri yang jauh dari pulau ini.

aku masih ingat ketika berada di UGM beberapa waktu yang lalu. ada sebuah diskusi yang pada akhirnya menyangkut juga dengan identitas Jawa yang harusnya mudah dikenal. di sebuah layar, terdapat sebuah gambar yang sangat jelas. bangunan khas Jawa yang anehnya banyak anak muda di dalamnya bahkan tak tahu bangunan apa itu. bangunan itu bernama Joglo. dan aku rasa, kian hari, nama Joglo sebagai bangunan khas Jawa semakin hilang dari ingatan anak-anak muda hari ini. diriku juga semakin kehilangan nama-nama yang dulu pernah aku kenal.

kian hari aku semakin asing di tanah ini. aku bagaikan bukan lahir dari tanah ini. akhir-akhir ini, pikiran semacam itu sungguh sangat menggangguku.

banyak anak muda yang hari ini tinggal di sebuah kota besar, akan semakin asing dengan tanahnya sendiri. banyak dari mereka kehilangan ingatan atau tak tahu sama sekali mengenai nama sebuah pohon, hewan, dan tumbuhan secara nyata. bahkan kebudayaan dan seni pun serta sejarah semakin menjadi hal yang langka dalam diri kita. seringkali aku berpikir, sebenarnya kita ini siapa, jika kita hidup di tanah ini tapi orang asinglah yang lebih tahu akan tanah ini?

mengingat sebuah nama jalan pun kini butuh perjuangan. apalagi mengingat sebuah nama yang bahkan ketika lahir pun kita tak pernah mengetahuinya? 



Jawa semakin asing. tanah ini berganti dengan Natasha, Gramedia, bioskop 21, Carrefour, Gain, Honda, Samsung, hingga facebook dan lainnya. kelak, di masa yang akan datang, mungkin banyak orang tak lagi tahu apa itu pohon bambu. pohon yang dahulu hampir mengusai setiap jengkal tanah di pulau Jawa ini. pohon yang kini kian menghilang digantikan pemukian dan bangunan-bangunan berbahasa asing. pohon yang semakin langka dan tak mudah untuk ditemui lagi di kota-kota besar di pulau Jawa itu akan menjadi tanda bahwa tanah ini adalah sebuah tanah yang tak lagi mampu kita kenali.
kelak, Jawa hanyalah sekedar masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar