Kamis, 12 Mei 2016

MENUJU SEMARANG: GERBANG NERAKA







sengatan panas kota yang tak tertahankan.
Charles Walter Kinloch 1852

Bangsa yang kehilangan masa lalunya perlahan-lahan akan kehilangan dirinya.
Milan Kundera



Menginjakkan kaki kembali ke Semarang, seolah-olah sedang mempersiapkan diri untuk dipanggang hidup-hidup. Kota paling mengerikan di seluruh Jawa Tengah perihal panas dan kebosanannya. Dan kota yang membuat siapa saja, yang memiliki sedikit kecenderungan berpikir, cepat atau lambat akan menjadi gila. Yah, karena Semarang lah, aku sedikit agak gila. Atau pada dasarnya aku sudah gila sejak kecil, aku juga tak tahu. Yang aku tahu sejak dulu, Semarang adalah kuburan intelektual, budaya dan seni. Itulah yang membuat Semarang menjadi salah satu kota paling membosankan di seluruh Indonesia. Kota yang hanya akan dinikmati oleh orang-orang yang hidupnya mencari kerja, berbelanja, dan kedamaian hidup. Orang yang terlalu banyak berpikir akan mati mengering di sini. Tak hanya mati mengering, kemungkinan besar tak akan mendapatkan pasangan hidup dan terpaksa harus diantar ke rumah sakit jiwa. Semarang adalah kota pembunuh para intelektual dan seniman.

Sebelum memasukinya kembali, ada kabar yang terlalu diagung-agungkan oleh teman-temanku yang pernah berada di Universitas Sultan Agung Semarang, mengenai kemenangan salah satu mahasiswa yang sedang berlomba di Amerika. Lumayan. Tapi itu hanya satu. Sementara ribuan lainnya, nyaris tak dihitung sebagai bentuk kegagalan sebuah universitas. Dan biasanya, orang-orang yang memenangi kejuaraan internasional, lebih sering membiayai dirinya sendiri sejak kecil hingga berstatus mahasiswa. Dari mulai membeli buku, les, berpikir, mengembangkan kesukaannya hingga berbagai macam kegiataan lainnya. Universitas hanya sedikit mengembangkan bakatnya lalu main klaim seenaknya sendiri. Begitulah, awal mula dari berbagai macam riwayat klaim-klaim sekolah-universitas ini dan itu. Jadi, apakah kita masih mau berpikir, bahwa sekolah dan universitas adalah tempat yang melahirkan orang-orang besar dan berprestasi? Baiklah, suruh pihak sekolah atau universitas membiayai orang-orang sejak kecil, baru nanti mereka bisa mengklaim berbagai kemenangan yang diraih seorang anak yang kebetulan berada di almameternya. Kalau tidak, klaim terhadap prestasi seorang anak adalah kisah yang memalukan bahkan sangat merendahkan perjuangan keras sang anak sejak kecil beserta orang tua yang mendorongnya. Berapa banyak lembaga pendidikan Indonesia yang memfasilitasi makan, tempat tidur, berbagai macam buku, berbagai jenis les privat, uang saku, sarana elektronik dari handphone hingga laptop, internet, pulsa, berbagai jenis baju, sandal, celana dalam, hingga mungkin kecandungan anak akan game yang mendorong prestasinya dalam dunia sains dan lainnya. Belum segala jenis peralatan lainnya yang harus beli sendiri dan nyaris semuanya ditanggung orang tua bukan pihak universitas dan sekolah. Jadi, ketika ada baliho atau papan iklan sebuah kampus yang menderetkan banyak sekali prestasi yang diperolehnya tanpa mau mencantumkan nama orang tua masing-masing dan pihak anak itu sendiri, berarti universitas dan sekolah itu adalah sarangnya penipu. Dan Semarang adalah kota yang subur dengan para penipu.

Pada dasarnya kota ini tak terlalu penting hingga abad ke 19-20an. Sebuah kota yang diberbagai catatan perjalanan hanya dituliskan sekilas, atau, di dalam buku-buku sejarah Indonesia, hanya sekedar sebagai pelabuhan dari berbagai kerajaan Jawa masa lalu; dari Demak hingga Mataram. Bahkan, ketika aku membuka-buka buku Sejarah Indonesia Modern karangan MC. Rickleff, The Idea of Indonesia dari R.E. Elson, dan Nusantara yang ditulis Bernard H. M. Vlekke, Semarang bukanlah kota yang menonjol dan nyaris tak dibahas sama sekali kecuali keberadaan hanya sekedar sebagai tempat perang, transit dan perdagangan. Semarang tak memiliki masa lalu sepenting Demak, Jepara dan Kudus yang ada di bagian Timur dan Utara Barat Daya kota itu. Kota itu menjadi penting dikarenakan sebagai tempat Belanda membangun pusat perdagangan dan pelabuhannya serta mendirikan sebuah kota yang disebut sebagai Little Netherland di kawasan bagian utara, dengan kanal dan benteng yang mengelilingi kota. Dan tentunya, Semarang lah yang dikenal sebagai kota merah atau tempat kaum sosialis-komunis terbesar berada. Dan hanya itu, selebihnya tak terlalu penting. Masih ada Cheng-Ho dan mungkin Raden Saleh, tapi yang jelas, kota Semarang adalah kota besar yang tak terlalu penting di masa lalu dibandingkan kota-kota lainnya di Jawa Tengah.



Aku pun sedang berada di jalan menuju sebuah kota yang aku sebut sebagai neraka. Dari Purwodadi ke Semarang, melewati hamparan padi hijau yang indah. Yah, memang indah. Dengan pegunungan kapur utara sebagai latar, dan jalan beton yang bagaikan gelombang pasang air laut, naik turun, retak di sana-sini, hingga lubang besar yang membuat nyawa siap sedia setiap waktu. Dan kendaraan bermesin dari segala jenis yang keterlaluan jumlahnya. Bahkan di jalan antar kota pun, aku harus terseok-seok, tersendat-sendat, beberapa menit mengerem, dan itu membuatku jengkel. Benar-benar jengkel. Jalan beton yang nyaris tak ada yang lurus dan enak, dan sering diperbaiki setiap waktu. Tambal sulam tambal sulam. Suatu hari nanti, mungkin aku akan melihat aspal yang punah di negara ini. Jalan beraspal pun punah. Yaelah, betapa hebatnya negeri ini! Tentunya, Indonesia adalah salah satu negara yang paling tak pandai membuat jalan raya. Hampir semua jalan raya yang ada benar-benar menggelisahkan, mengerikan, dan seolah-olah memperlihatkan psikologis bangsa ini. Jalan raya yang ada, bagaikan gambaran nyata seorang pemimpin dan mereka yang menjalankan kebijakan.Dan tentunya, juga secara tak langsung mempermalukan para pembuat jalan dan masyarakat secara luas. Membuat jalan saja nyaris tak becus, lalu bagaimana mengurus negara?

Aku pun melewati berbagai desa, bangunan kayu dan beton di sana-sini dan hamparan padi yang monoton karena nyaris tak ada burung yang melintas atau hinggap di padi dan pepohonan di sekitar situ. Lalu, di sepanjang jalan, aku lihat rumah-rumah mulai menghabisi lahan pertanian, begitu juga berbagai macam pabrik. Ada pabrik baru yang entah menghabisi berapa hektar lahan pertanian, seperti PT. Malindo Feedmail dan PT. Japfa Comfeed Indonesia, PT Formosa Bag Indonesia,Pt. Techpack Asia, Pt. Marcelindo Jaya Pratama, Pt. Woodland Furniture dan lain sebagainya di sepanjang jalan Purwodadi Semarang. Dari Godong hingga Gubug,lahan pertanian diubah menjadi warung atau rumah makan, bengkel, pom bensin baru, gudang, perumahan, dan banyak lainnya. Grobogan adalah wilayah yang terancam kehilangan banyak hal, dengan penduduk yang besar, dan keinginan warganya akan konsumsi dan gaya hidup perkotaan. Seandainya Penawangan, Gubug, Godong, Karangawen lalu Mranggeng menjadi sebuah kota, atau wilayah-wilayah Grobogan dan Demak berubah menjadi perkotaan dengan kesadaran rendah semacam itu, malapetaka akan benar-benar terjadi. Yah, aku rasa, orang Jawa juga sudah terbiasa dengan berbagai malapetaka. Tinggal buka-buka halaman Mangir dan Arok karya Pramoedya Ananta Toer, sejarah Jawa sudah sangat jelas terlihat. Atau Rara Mendut milik Mangun Wijaya. Kematian saja sudah menjadi makanan sehari-hari. Jadi apa perduli dengan lahan pertanian dan pohon-pohon yang menghilang? Buat apa ribet memikirkan petani yang jumlahnya terus menurun? Tidakkah setiap wilayah dan orang di sekitarnya menginginkan kesejahteraan?

Ketika beberapa waktu lalu melewati jalanan Jogja-Klaten-Surakarta-Karanganyar-Sragen-Toroh-Purwodadi, sawah-sawah terlihat sangat sepi dan membosankan. Bahkan hutan yang dibelah oleh jalan pun sangat membosankan dan menyedihkan. Setelah mengalami kebakaran atau memang sengaja dibakar, lalu bertumbuhlah jagung dan jagung. Bahkan nyaris hampir di semua sisi jalan, jagung mendominasi. Sedang pohon-pohon Jati, Mahoni, Asam dan lainnya, harus merelakan unsur hara mereka diserobot oleh tanaman pangan itu. melihat hutan di kawasan sekitar Purwodadi itu, sejarah Indonesia dan Jawa masa depan sudah sangatlah jelas. Kebutuhan pangan, tempat tinggal, dan tingginya kelahiran dan jumlah penduduk, membuat hutan-hutan di seluruh Jawa akan terancam musnah. Benar-benar musnah. Dengan hewan liar yang juga nyaris tak lagi bisa ditemukan. Baik hutan dari Purwodadi ke arah Surakarta, Blora, Sukolilo atau Pati dan Kudus, benar-benar akan terancam lenyap untuk selamanya. Aku tak tahu, apakah kenyataan ini sangat mengerikan atau biasa saja? Aku rasa penduduk kota dan pedesaan, menganggapnya biasa. Mungkin itulah alasannya para pejabat pemerintah yang berada di kota-kota besar juga mengangapnya biasa saja.

Korupsi dari pusat sampai tingkat ketua RT/RW pun biasa. Kekeringan dan banjir pun sudah biasa. Hamil di luar nikah pun biasa. Perceraian pun biasa. Kematian hampir setiap hari akibat kecelakaan pun sudah sangat biasa. Pembunuhan dan bunuh diri pun sudah biasa. Kekerasan dalam rumah tangga pun nyaris sudah sangat biasa. Perselingkuhan pun sudah menjadi hal rutin dan tak perlu diperdebatkan lagi dalam rumah tangga Jawa Tengah bahkan mungkin juga Indonesia. Gagal panen pun sudah biasa. Sedangkan pemerintah juga sudah biasa tak perduli. Rumah sakit dan puskesmas sesak dengan orang-orang sakit setiap hari, itu pun sudah lumrah dan tak perlu lagi dipermasalahkan. Kemacetan di desa-desa dan kota kecil pun sudah sangat, sangat biasa. Jalan raya yang buruk rupa dan lampu jalan yang nyaris tak pernah terlihat ada, pun sudah menjadi hal yang tak perlu lagi ditangisi. Udara yang panas bahkan di pelosok-pelosok desa pun sudah sangat biasa. Keluhan orang-orang pun hanya sekedar keluhan dan sudah menjadi semakin biasa dan tak lagi mempan di otak dan hati. Pohon-pohon yang semakin habis dan hilang di depan mata pun sudah biasa. Tak jadi soal. Dan berbagai macam jenis burung dan hewan liar lainnya yang kini nyaris menghilang total pun sudah sangat biasa dan untuk apa dibicarakan dan direnungkan? Sampah di sepanjang jalan dan sekitar rumah tangga pun sudah menjadi hal umum dan tidakkah kota besar pun juga sama? Laki-laki bejat dan tak bertanggung jawab dan masih ingin beristri lagi, hal semacam itu juga sudah sangat biasa. Fakta umum yang tak perlu untuk dipermasalahkan lebih lanjut. Bahkan laki-laki pengangguran pun sudah semakin biasa. Dan jika berkeluarga, menyuruh istrinya ke luar negeri atau menjadi babu dan semacamnya, itu pun sudah sangat biasa. Sementara pihak laki-laki menghabiskan segala macam jerih payah dan harta benda pihak istri, itu pun sudah sangat luar biasa, biasa.

Berjudi pun sudah sangat biasa. Mabuk-mabukan sudah menjadi norma sosial baru. Seks bebas tanpa pikir panjang di kalangan kaum muda pun sudah semakin biasa di tengah banyak orang yang masih memakai agama sebagai identitas sosialnya. Tawuran antar sekolah dan desa pun menjadi pemandangan yang umum. Kebencian dan sikap curiga terhadap penganut agama lain, itu pun bukan lagi kenyataan yang harus ditutup-tutupi. Kebencian antar desa, antar tetangga, cekcok rumah tangga dan tetangga sebelah rumah, dan sikap iri, benci, dan menghalalkan segala cara untuk segera kaya dan dipandang tinggi dalam masyarakat, pun sudah menjadi kondisi yang sangat biasa. Bahkan di desa-desa pun, pengemis dan gelandangan kini pun sudah menjadi hal biasa. Tak tahu malu pun sudah menjadi kebiasaan yang biasa.Anak-anak manja baru di pedesaan pun sudah umum dan bertambah banyak setiap hari. Orang-orang menginginkan motor baru, rumah baru, mobil, pakaian, gadget baru setiap waktu dan televisi yang menyala setiap hari dan mengeluh jika listrik padam tanpa adanya kesadaran akan semakin rentannya kelistrikan di Indonesia. Air galon pun kini menggantikan air dari sumur dan air yang dimasak sendiri di hampir rumah tangga pedesaan. Dengan hutan yang hilang, dan pohon-pohon yang lenyap, sampai kapan sikap semacam itu bertahan? Sampai kapan sumber air yang kini dieksploitasi habis-habisan masih bisa dijadikan pegangan masa depan? Sementara air sumur pun semakin tercemar, berkapur, dan bahkan kering. Sungai-sungai pun semakin hari kehilangan sumber airnya untuk dikirim ke sawah-sawah hingga laut. Lahan pertanian yang kian hilang. Rumah baru dan terus-menerus rumah baru. Pabrik dan pabrik baru. Sekolah baru. Rumah ibadah yang bermunculan dan menjamur sepanjang waktu, menghabisi petak-petak tanah yang sudah semakin sempit.Bahkan, ke masjid atau gereja pun, nyaris semua orang kini malas berjalan kaki dan pamer motor serta mobilnya. Gaya hidup berantakan yang sudah menjadi hal yang biasa di kalangan pedesaan, kota kecil dan kota-kota besar yang ada, kini semakin populer. Hal semacam itu pun sudah menjadi kebiasaan umum. Orang-orang depresi dan gila baru pun sudah sangat biasa di pedesaan-pedesaan.

Dengan segala macam kenyataan seperti itu, apa jadinya jika desa-desa di indonesia berubah menjadi sebuah kota? Banyangkanlah. Karena aku sudah tak sanggup membayangkannya. Atau mungkin, kita harus optimis. Aku pun harus optimis. Ya optimis. Optimis kelak negara ini akan semakin baik. Dan tentunya, tak usah ikut dan kesusahan berpikir, mencari jalan keluar, atau melakukan tindakan untuk mencegah tragedi besar yang mungkin terjadi. Optimis. Optimis. Kerja. Kerja. Cari uang yang banyak. Membuat rumah. Dan buat diri sendiri senyaman mungkin di tengah kegelapan yang semakin mendekat. Optimis dan semangat untuk urusan diri sendiri dan keluarga. Perduli setan dengan lain-lain. Perduli setan dengan tetangga dan burung yang mati. Optimis. Optimis masih bisa hidup kecukupan. Yah, seperti itulah optinisme kebanyakan warga Indonesia, terlebih yang ada di Jawa. Optimisme masa bodoh.

Kalau semua rumah tangga pada akhirnya memilih optimisme semacam itu, yah, mungkin aku harus siap-siap menabung yang banyak lalu pindah kewarganegaraan. Atau bersiap-siap mati muda atau hidup penyakitan. Dan mungkin, aku tak perlu banyak khawatir, cemas, atau gelisah dan menganggap semuanya biasa saja. Tak perlu dipermasalahkan. Tak perlu heran dan kaget. Lalu angkat tangan dan bahu. Kembali berjalan seperti biasanya sambil bersiul-siul lega atau tertawa lepas dan riang seperti yang dianjurkan oleh Milan Kundera dalam Kitab Lupa dan Gelak Tawa. Tanpa beban membuka instagram, facebook, hingga google. Tidur, makan, baca buku, mandi, ke toilet dan bermesraan dengan kekasih. Dan sesekali mengingat gumaman Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya, “di negeri 17.000 pulau, adakah yang bisa menyebabkan kita terkejut?’. Hmm, sepertinya, itu ide yang cukup bagus. Atau, memelencengkan apa yang pernah Nietzsche tulis di bukunya yang berjudul Senjakala Berhala, “saya pengikut terakhir filsuf Dionysius-saya, guru dari kejadian berulang kembali...,” dan setelah itu, sedikit menirukan ajaran Buddha mengenai reinkarnasi. Jadi, melihat negara semacam ini, tak usah perlu logika moral, agama, dan hukum atau semacamnya untuk terlihat merasa bersalah. Tinggal berkata, saya penganut Nietzsche dan Buddha! jadi untuk apa khawatir jika besok saya mati, toh nanti juga dilahirkan kembali bukan? Sederhana. Mengagumkan. Khas pola pikir Indonesia. Patut dicoba. Lagian sudah banyak pemimpin bangsa, para pejabat, dan warga kota yang secara tak langsung hampir setiap waktu mempratikkannya. Optimisme masa bodoh. Jalan keluar yang sempurna untuk Indonesia masa depan jika memang kita ingin anak-cucu mati dan menderita bersama-sama. Lagian, negara ini, adalah negara yang diisi dengan sandiwara pura-pura. Dari Jakarta hingga pelosok-pelosok desa dan pedalaman. Lalu untuk apa sih dipermasalahkan? Dan jadilah Yesus yang baik hati dan jangan menyalahkan orang lain sesuka hati. Atau cobalah menjadi sosok John Locke, menganggap semua orang pada dasarnya baik hati mirip kertas kosong anak bayi imut nan lucu. Lalu, besok, yah, mungkin sebagian Jakarta, Semarang dan kota lainnya tenggelam. Masing-masing daerah ingin memisahkan diri. Wajib militer dan wajib militer. Atau, kelak, negara ini akan kembali diduduki oleh negara asing atau malah kita yang bakal mencoba menduduki negara-negara tetangga dari mulai Australia dan kawasan Asia Tenggara karena kelebihan penduduk, kekurangan sumber daya alam, bahan pangan dan karena alasan ingin membuka Facebook dan Instagram, kita harus menyerang negara lainnya! Tidakkah Facebook dan sosial media yang banyak itu membutuhkan listrik dan kian hari listrik kita berada dalam kondisi buruk? Jadi, mungkin akan sangat aneh jika kita berperang karena alasan gara-gara ingin tetap membuka Facebook dan sosial media lainnya. Kalau seperti itu, negara-bangsa ini benar-benar akan memasuki masa yang suram. Walau suram, setidaknya negara ini adalah pengguna facebook terbesar.

Dan kali ini, ketika melihat sawah hijau menghambar dari Purwodadi hingga Mranggen, hatiku benar-benar kecut. Benar-benar persis seperti apa yang digambarkan dalam film dokumenter Racing Extinction. Sebuah sawah yang luas, dan kawasan yang nyaris tak ada kehidupan lainnya selain manusia. Burung-burung yang harusnya, beberapa tahun yang lalu, terlebih tahun 1990an, masih banyak terlihat di sawah dan desa-desa, kini pun sudah hampir tak mampu disaksikan oleh mata. Semuanya hilang. Musnah. Bahkan kupu-kupu, capung, dan cicak pun semakin langka. Pohon bambu saja semakin susah ditemukan. Dan burung walet serta layang-layang tak seramai dulu sebagai akibat dari hilangnya para serangga dan makanan lainnya. Kadal, Biawak, Kalong, Ular, Katak dan bahkan ikan Gabus pun langka. Sungguh masa depan yang tak menyenangkan. Ketika seluruh ekosistem penyerap air, pemurni udara, pembunuh nyamuk, penyerbuk tanaman, dan penyebar biji sudah kabur atau musnah, dan burung pemakan serangga dan semut semakin jarang terlihat, tunggu saja kemudian hari apa nasib yang harus ditanggung masyarakat negara ini. Sialnya, burung yang dulu tak terlalu dianggap penting untuk diburu, dijual atau dimakan, kini pun sudah hampir tak terlihat di mana-mana. Orang jawa menamakannya burung emprit. Ya, burung pipit yang telah mengalami pemusnahan besar-besaran di seluruh dunia.

Dan aku pun akhirnya memasuki gerbang neraka; Mranggen.

Sebuah kawasan santri milik Demak yang lebih mirip pinggiran neraka dari pada tanah surga milik Tuhan. Baru saja sampai di rel kereta, kemacetan sudah memanjang dan terasa membosankan. Di dunia semacam ini, para pengendara motor hingga bus pun harus berpikir secara tak waras untuk menyelinap dan mencari jalan. Dan, di perjalanan yang tadinya masih cukup sejuk dan tak terlalu panas, sesampainya di kawasan ini, kaki dan tanganku terasa bagaikan dibakar hidup-hidup. Luar biasa panas. Sungguh panas. Sumpah panas. Aku rasa, tempat ini harus didaulat sebagai saudara kembar Semarang yang tak jauh dari sisi Baratnya.

Mranggen, seperti tempat lainnya yang memiliki banyak santri dan penduduk yang notabene Islam, dalam wajah daerah yang di tempatinya, benar-benar tak pernah mencerminkan Islam itu sendiri. Hampir semua tempat yang berpenduduk Islam terbanyak, selalu saja berantakan dan panas. Rumah-rumahnya tak tertata dengan rapi. Pohon-pohon menghilang. Di sepanjang jalan raya, dari mulai rel kereta hingga pasar dan jalan Mranggen yang sedang dibangun kembali, nyaris tak terlihat pepohonan di pinggir jalannya kecuali hanya sedikit. Dan kemacetan, yang entah sudah ada sejak kapan, benar-benar menjadi legenda. Benar-benar gerbang neraka yang sesungguhnya. Dan ketika sudah berada di jalan raya, membuat aku ingin marah dan marah. Siapa yang bisa sabar dan berwajah Konfucius jika kondisinya semacam ini?

Toko baru. Bank baru. Pom bensin baru. Jalan baru. Rumah-rumah baru. Cepat atau lambat, kota ini akan mengidap penyakit seperti yang dimiliki Semarang. Dan entah kenapa, panasnya benar-benar tak tertahankan. Sungguh sangat mengerikan.

Sepeda motor, mobil, bus, truk, bergerak tak beraturan dan bersiap menyalip yang lainnya. Kondisi jalan adalah corak kehidupan mental masyarakat sebuah negara. Lalu, aku pun bergerak pelan, pelan, seperti semut merayap di tengah lautan. Panas yang tak tertahankan benar-benar hal tergila dari tempat yang masih belum menjadi sebuah kota ini. Dan kemacetan adalah musuh terbesar bagi setiap peradaban dunia. Asap knalpot sama berengseknya dengan asap rokok. Yah, aku pun juga mengeluarkan asap. Mungkin aku juga sama bererngseknya. Ah, beginilah manusia.

Pembaca buku di sekitar sini adalah ketidakmungkinan. Sementara pengayuh sepeda hanya terlihat satu dua. Aku pun memasuki Plamongan Sari yang semakin panas dan sampai di terminal Penggaron yang mirip tungku api. Di lahan yang dulunya adalah kebun kelapa itu, yang cukup rimbun dan enak dipandang mata, kini berdiri sebuah plaza yang berderet mobil dan mobil. Di situlah, orang-orang lebih sibuk menghabiskan waktu dan hidupanya. Dan akhirnya, setelah melewati asap, macet, panas, dan gerbang neraka, aku pun sampai di pertigaan lampu merah, yang arah ke selatan menuju Pucang Gading. Dari sinilah, lurus ke Barat, aku memasuki sebuah kota yang bertahun-tahun lamanya aku sebut sebagai Kota Neraka. Kota Neraka yang membosankan.

Dan, aku pun memasuki Semarang.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar