sengatan panas kota yang
tak tertahankan.
Charles Walter Kinloch
1852
Bangsa yang kehilangan
masa lalunya perlahan-lahan akan kehilangan dirinya.
Milan Kundera
Menginjakkan
kaki kembali ke Semarang, seolah-olah sedang mempersiapkan diri untuk
dipanggang hidup-hidup. Kota paling mengerikan di seluruh Jawa Tengah perihal
panas dan kebosanannya. Dan kota yang membuat siapa saja, yang memiliki sedikit
kecenderungan berpikir, cepat atau lambat akan menjadi gila. Yah, karena
Semarang lah, aku sedikit agak gila. Atau pada dasarnya aku sudah gila sejak
kecil, aku juga tak tahu. Yang aku tahu sejak dulu, Semarang adalah kuburan
intelektual, budaya dan seni. Itulah yang membuat Semarang menjadi salah satu
kota paling membosankan di seluruh Indonesia. Kota yang hanya akan dinikmati
oleh orang-orang yang hidupnya mencari kerja, berbelanja, dan kedamaian hidup.
Orang yang terlalu banyak berpikir akan mati mengering di sini. Tak hanya mati
mengering, kemungkinan besar tak akan mendapatkan pasangan hidup dan terpaksa
harus diantar ke rumah sakit jiwa. Semarang adalah kota pembunuh para
intelektual dan seniman.
Sebelum
memasukinya kembali, ada kabar yang terlalu diagung-agungkan oleh teman-temanku
yang pernah berada di Universitas Sultan Agung Semarang, mengenai kemenangan
salah satu mahasiswa yang sedang berlomba di Amerika. Lumayan. Tapi itu hanya
satu. Sementara ribuan lainnya, nyaris tak dihitung sebagai bentuk kegagalan
sebuah universitas. Dan biasanya, orang-orang yang memenangi kejuaraan
internasional, lebih sering membiayai dirinya sendiri sejak kecil hingga
berstatus mahasiswa. Dari mulai membeli buku, les, berpikir, mengembangkan
kesukaannya hingga berbagai macam kegiataan lainnya. Universitas hanya sedikit
mengembangkan bakatnya lalu main klaim seenaknya sendiri. Begitulah, awal mula
dari berbagai macam riwayat klaim-klaim sekolah-universitas ini dan itu. Jadi,
apakah kita masih mau berpikir, bahwa sekolah dan universitas adalah tempat
yang melahirkan orang-orang besar dan berprestasi? Baiklah, suruh pihak sekolah
atau universitas membiayai orang-orang sejak kecil, baru nanti mereka bisa
mengklaim berbagai kemenangan yang diraih seorang anak yang kebetulan berada di
almameternya. Kalau tidak, klaim terhadap prestasi seorang anak adalah kisah
yang memalukan bahkan sangat merendahkan perjuangan keras sang anak sejak kecil
beserta orang tua yang mendorongnya. Berapa banyak lembaga pendidikan Indonesia
yang memfasilitasi makan, tempat tidur, berbagai macam buku, berbagai jenis les
privat, uang saku, sarana elektronik dari handphone hingga laptop, internet,
pulsa, berbagai jenis baju, sandal, celana dalam, hingga mungkin kecandungan
anak akan game yang mendorong prestasinya dalam dunia sains dan lainnya. Belum
segala jenis peralatan lainnya yang harus beli sendiri dan nyaris semuanya
ditanggung orang tua bukan pihak universitas dan sekolah. Jadi, ketika ada
baliho atau papan iklan sebuah kampus yang menderetkan banyak sekali prestasi
yang diperolehnya tanpa mau mencantumkan nama orang tua masing-masing dan pihak
anak itu sendiri, berarti universitas dan sekolah itu adalah sarangnya penipu.
Dan Semarang adalah kota yang subur dengan para penipu.
Pada
dasarnya kota ini tak terlalu penting hingga abad ke 19-20an. Sebuah kota yang
diberbagai catatan perjalanan hanya dituliskan sekilas, atau, di dalam
buku-buku sejarah Indonesia, hanya sekedar sebagai pelabuhan dari berbagai
kerajaan Jawa masa lalu; dari Demak hingga Mataram. Bahkan, ketika aku
membuka-buka buku Sejarah Indonesia
Modern karangan MC. Rickleff, The
Idea of Indonesia dari R.E. Elson, dan Nusantara
yang ditulis Bernard H. M. Vlekke, Semarang bukanlah kota yang menonjol dan
nyaris tak dibahas sama sekali kecuali keberadaan hanya sekedar sebagai tempat
perang, transit dan perdagangan. Semarang tak memiliki masa lalu sepenting
Demak, Jepara dan Kudus yang ada di bagian Timur dan Utara Barat Daya kota itu.
Kota itu menjadi penting dikarenakan sebagai tempat Belanda membangun pusat
perdagangan dan pelabuhannya serta mendirikan sebuah kota yang disebut sebagai Little Netherland di kawasan bagian
utara, dengan kanal dan benteng yang mengelilingi kota. Dan tentunya, Semarang
lah yang dikenal sebagai kota merah atau tempat kaum sosialis-komunis terbesar
berada. Dan hanya itu, selebihnya tak terlalu penting. Masih ada Cheng-Ho dan
mungkin Raden Saleh, tapi yang jelas, kota Semarang adalah kota besar yang tak terlalu
penting di masa lalu dibandingkan kota-kota lainnya di Jawa Tengah.
Aku
pun sedang berada di jalan menuju sebuah kota yang aku sebut sebagai neraka.
Dari Purwodadi ke Semarang, melewati hamparan padi hijau yang indah. Yah,
memang indah. Dengan pegunungan kapur utara sebagai latar, dan jalan beton yang
bagaikan gelombang pasang air laut, naik turun, retak di sana-sini, hingga
lubang besar yang membuat nyawa siap sedia setiap waktu. Dan kendaraan bermesin
dari segala jenis yang keterlaluan jumlahnya. Bahkan di jalan antar kota pun,
aku harus terseok-seok, tersendat-sendat, beberapa menit mengerem, dan itu
membuatku jengkel. Benar-benar jengkel. Jalan beton yang nyaris tak ada yang
lurus dan enak, dan sering diperbaiki setiap waktu. Tambal sulam tambal sulam. Suatu
hari nanti, mungkin aku akan melihat aspal yang punah di negara ini. Jalan
beraspal pun punah. Yaelah, betapa hebatnya negeri ini! Tentunya, Indonesia
adalah salah satu negara yang paling tak pandai membuat jalan raya. Hampir
semua jalan raya yang ada benar-benar menggelisahkan, mengerikan, dan
seolah-olah memperlihatkan psikologis bangsa ini. Jalan raya yang ada, bagaikan
gambaran nyata seorang pemimpin dan mereka yang menjalankan kebijakan.Dan
tentunya, juga secara tak langsung mempermalukan para pembuat jalan dan
masyarakat secara luas. Membuat jalan saja nyaris tak becus, lalu bagaimana
mengurus negara?
Aku
pun melewati berbagai desa, bangunan kayu dan beton di sana-sini dan hamparan
padi yang monoton karena nyaris tak ada burung yang melintas atau hinggap di
padi dan pepohonan di sekitar situ. Lalu, di sepanjang jalan, aku lihat
rumah-rumah mulai menghabisi lahan pertanian, begitu juga berbagai macam
pabrik. Ada pabrik baru yang entah menghabisi berapa hektar lahan pertanian,
seperti PT. Malindo Feedmail dan PT. Japfa Comfeed Indonesia, PT Formosa Bag
Indonesia,Pt. Techpack Asia, Pt. Marcelindo Jaya Pratama, Pt. Woodland
Furniture dan lain sebagainya di sepanjang jalan Purwodadi Semarang. Dari
Godong hingga Gubug,lahan pertanian diubah menjadi warung atau rumah makan,
bengkel, pom bensin baru, gudang, perumahan, dan banyak lainnya. Grobogan
adalah wilayah yang terancam kehilangan banyak hal, dengan penduduk yang besar,
dan keinginan warganya akan konsumsi dan gaya hidup perkotaan. Seandainya Penawangan,
Gubug, Godong, Karangawen lalu Mranggeng menjadi sebuah kota, atau
wilayah-wilayah Grobogan dan Demak berubah menjadi perkotaan dengan kesadaran
rendah semacam itu, malapetaka akan benar-benar terjadi. Yah, aku rasa, orang
Jawa juga sudah terbiasa dengan berbagai malapetaka. Tinggal buka-buka halaman Mangir dan Arok karya Pramoedya Ananta Toer, sejarah Jawa sudah sangat jelas
terlihat. Atau Rara Mendut milik
Mangun Wijaya. Kematian saja sudah menjadi makanan sehari-hari. Jadi apa
perduli dengan lahan pertanian dan pohon-pohon yang menghilang? Buat apa ribet
memikirkan petani yang jumlahnya terus menurun? Tidakkah setiap wilayah dan
orang di sekitarnya menginginkan kesejahteraan?
Ketika
beberapa waktu lalu melewati jalanan
Jogja-Klaten-Surakarta-Karanganyar-Sragen-Toroh-Purwodadi, sawah-sawah terlihat
sangat sepi dan membosankan. Bahkan hutan yang dibelah oleh jalan pun sangat
membosankan dan menyedihkan. Setelah mengalami kebakaran atau memang sengaja
dibakar, lalu bertumbuhlah jagung dan jagung. Bahkan nyaris hampir di semua
sisi jalan, jagung mendominasi. Sedang pohon-pohon Jati, Mahoni, Asam dan
lainnya, harus merelakan unsur hara mereka diserobot oleh tanaman pangan itu. melihat
hutan di kawasan sekitar Purwodadi itu, sejarah Indonesia dan Jawa masa depan
sudah sangatlah jelas. Kebutuhan pangan, tempat tinggal, dan tingginya
kelahiran dan jumlah penduduk, membuat hutan-hutan di seluruh Jawa akan
terancam musnah. Benar-benar musnah. Dengan hewan liar yang juga nyaris tak
lagi bisa ditemukan. Baik hutan dari Purwodadi ke arah Surakarta, Blora,
Sukolilo atau Pati dan Kudus, benar-benar akan terancam lenyap untuk selamanya.
Aku tak tahu, apakah kenyataan ini sangat mengerikan atau biasa saja? Aku rasa
penduduk kota dan pedesaan, menganggapnya biasa. Mungkin itulah alasannya para
pejabat pemerintah yang berada di kota-kota besar juga mengangapnya biasa saja.
Korupsi
dari pusat sampai tingkat ketua RT/RW pun biasa. Kekeringan dan banjir pun
sudah biasa. Hamil di luar nikah pun biasa. Perceraian pun biasa. Kematian
hampir setiap hari akibat kecelakaan pun sudah sangat biasa. Pembunuhan dan
bunuh diri pun sudah biasa. Kekerasan dalam rumah tangga pun nyaris sudah
sangat biasa. Perselingkuhan pun sudah menjadi hal rutin dan tak perlu
diperdebatkan lagi dalam rumah tangga Jawa Tengah bahkan mungkin juga
Indonesia. Gagal panen pun sudah biasa. Sedangkan pemerintah juga sudah biasa
tak perduli. Rumah sakit dan puskesmas sesak dengan orang-orang sakit setiap
hari, itu pun sudah lumrah dan tak perlu lagi dipermasalahkan. Kemacetan di
desa-desa dan kota kecil pun sudah sangat, sangat biasa. Jalan raya yang buruk
rupa dan lampu jalan yang nyaris tak pernah terlihat ada, pun sudah menjadi hal
yang tak perlu lagi ditangisi. Udara yang panas bahkan di pelosok-pelosok desa
pun sudah sangat biasa. Keluhan orang-orang pun hanya sekedar keluhan dan sudah
menjadi semakin biasa dan tak lagi mempan di otak dan hati. Pohon-pohon yang
semakin habis dan hilang di depan mata pun sudah biasa. Tak jadi soal. Dan
berbagai macam jenis burung dan hewan liar lainnya yang kini nyaris menghilang
total pun sudah sangat biasa dan untuk apa dibicarakan dan direnungkan? Sampah
di sepanjang jalan dan sekitar rumah tangga pun sudah menjadi hal umum dan
tidakkah kota besar pun juga sama? Laki-laki bejat dan tak bertanggung jawab
dan masih ingin beristri lagi, hal semacam itu juga sudah sangat biasa. Fakta
umum yang tak perlu untuk dipermasalahkan lebih lanjut. Bahkan laki-laki
pengangguran pun sudah semakin biasa. Dan jika berkeluarga, menyuruh istrinya
ke luar negeri atau menjadi babu dan semacamnya, itu pun sudah sangat biasa.
Sementara pihak laki-laki menghabiskan segala macam jerih payah dan harta benda
pihak istri, itu pun sudah sangat luar biasa, biasa.
Berjudi
pun sudah sangat biasa. Mabuk-mabukan sudah menjadi norma sosial baru. Seks
bebas tanpa pikir panjang di kalangan kaum muda pun sudah semakin biasa di
tengah banyak orang yang masih memakai agama sebagai identitas sosialnya.
Tawuran antar sekolah dan desa pun menjadi pemandangan yang umum. Kebencian dan
sikap curiga terhadap penganut agama lain, itu pun bukan lagi kenyataan yang
harus ditutup-tutupi. Kebencian antar desa, antar tetangga, cekcok rumah tangga
dan tetangga sebelah rumah, dan sikap iri, benci, dan menghalalkan segala cara
untuk segera kaya dan dipandang tinggi dalam masyarakat, pun sudah menjadi
kondisi yang sangat biasa. Bahkan di desa-desa pun, pengemis dan gelandangan
kini pun sudah menjadi hal biasa. Tak tahu malu pun sudah menjadi kebiasaan
yang biasa.Anak-anak manja baru di pedesaan pun sudah umum dan bertambah banyak
setiap hari. Orang-orang menginginkan motor baru, rumah baru, mobil, pakaian,
gadget baru setiap waktu dan televisi yang menyala setiap hari dan mengeluh
jika listrik padam tanpa adanya kesadaran akan semakin rentannya kelistrikan di
Indonesia. Air galon pun kini menggantikan air dari sumur dan air yang dimasak
sendiri di hampir rumah tangga pedesaan. Dengan hutan yang hilang, dan
pohon-pohon yang lenyap, sampai kapan sikap semacam itu bertahan? Sampai kapan
sumber air yang kini dieksploitasi habis-habisan masih bisa dijadikan pegangan
masa depan? Sementara air sumur pun semakin tercemar, berkapur, dan bahkan
kering. Sungai-sungai pun semakin hari kehilangan sumber airnya untuk dikirim
ke sawah-sawah hingga laut. Lahan pertanian yang kian hilang. Rumah baru dan
terus-menerus rumah baru. Pabrik dan pabrik baru. Sekolah baru. Rumah ibadah
yang bermunculan dan menjamur sepanjang waktu, menghabisi petak-petak tanah
yang sudah semakin sempit.Bahkan, ke masjid atau gereja pun, nyaris semua orang
kini malas berjalan kaki dan pamer motor serta mobilnya. Gaya hidup berantakan
yang sudah menjadi hal yang biasa di kalangan pedesaan, kota kecil dan
kota-kota besar yang ada, kini semakin populer. Hal semacam itu pun sudah
menjadi kebiasaan umum. Orang-orang depresi dan gila baru pun sudah sangat
biasa di pedesaan-pedesaan.
Dengan
segala macam kenyataan seperti itu, apa jadinya jika desa-desa di indonesia
berubah menjadi sebuah kota? Banyangkanlah. Karena aku sudah tak sanggup
membayangkannya. Atau mungkin, kita harus optimis. Aku pun harus optimis. Ya
optimis. Optimis kelak negara ini akan semakin baik. Dan tentunya, tak usah
ikut dan kesusahan berpikir, mencari jalan keluar, atau melakukan tindakan
untuk mencegah tragedi besar yang mungkin terjadi. Optimis. Optimis. Kerja.
Kerja. Cari uang yang banyak. Membuat rumah. Dan buat diri sendiri senyaman
mungkin di tengah kegelapan yang semakin mendekat. Optimis dan semangat untuk
urusan diri sendiri dan keluarga. Perduli setan dengan lain-lain. Perduli setan
dengan tetangga dan burung yang mati. Optimis. Optimis masih bisa hidup
kecukupan. Yah, seperti itulah optinisme kebanyakan warga Indonesia, terlebih
yang ada di Jawa. Optimisme masa bodoh.
Kalau
semua rumah tangga pada akhirnya memilih optimisme semacam itu, yah, mungkin
aku harus siap-siap menabung yang banyak lalu pindah kewarganegaraan. Atau
bersiap-siap mati muda atau hidup penyakitan. Dan mungkin, aku tak perlu banyak
khawatir, cemas, atau gelisah dan menganggap semuanya biasa saja. Tak perlu
dipermasalahkan. Tak perlu heran dan kaget. Lalu angkat tangan dan bahu.
Kembali berjalan seperti biasanya sambil bersiul-siul lega atau tertawa lepas
dan riang seperti yang dianjurkan oleh Milan Kundera dalam Kitab Lupa dan Gelak Tawa. Tanpa beban membuka instagram, facebook,
hingga google. Tidur, makan, baca buku, mandi, ke toilet dan bermesraan dengan
kekasih. Dan sesekali mengingat gumaman Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya, “di negeri 17.000
pulau, adakah yang bisa menyebabkan kita terkejut?’. Hmm, sepertinya, itu ide
yang cukup bagus. Atau, memelencengkan apa yang pernah Nietzsche tulis di
bukunya yang berjudul Senjakala Berhala,
“saya pengikut terakhir filsuf Dionysius-saya, guru dari kejadian berulang
kembali...,” dan setelah itu, sedikit menirukan ajaran Buddha mengenai
reinkarnasi. Jadi, melihat negara semacam ini, tak usah perlu logika moral,
agama, dan hukum atau semacamnya untuk terlihat merasa bersalah. Tinggal
berkata, saya penganut Nietzsche dan Buddha! jadi untuk apa khawatir jika besok
saya mati, toh nanti juga dilahirkan kembali bukan? Sederhana. Mengagumkan.
Khas pola pikir Indonesia. Patut dicoba. Lagian sudah banyak pemimpin bangsa,
para pejabat, dan warga kota yang secara tak langsung hampir setiap waktu
mempratikkannya. Optimisme masa bodoh. Jalan keluar yang sempurna untuk
Indonesia masa depan jika memang kita ingin anak-cucu mati dan menderita
bersama-sama. Lagian, negara ini, adalah negara yang diisi dengan sandiwara
pura-pura. Dari Jakarta hingga pelosok-pelosok desa dan pedalaman. Lalu untuk
apa sih dipermasalahkan? Dan jadilah Yesus yang baik hati dan jangan
menyalahkan orang lain sesuka hati. Atau cobalah menjadi sosok John Locke,
menganggap semua orang pada dasarnya baik hati mirip kertas kosong anak bayi
imut nan lucu. Lalu, besok, yah, mungkin sebagian Jakarta, Semarang dan kota
lainnya tenggelam. Masing-masing daerah ingin memisahkan diri. Wajib militer
dan wajib militer. Atau, kelak, negara ini akan kembali diduduki oleh negara
asing atau malah kita yang bakal mencoba menduduki negara-negara tetangga dari
mulai Australia dan kawasan Asia Tenggara karena kelebihan penduduk, kekurangan
sumber daya alam, bahan pangan dan karena alasan ingin membuka Facebook dan
Instagram, kita harus menyerang negara lainnya! Tidakkah Facebook dan sosial
media yang banyak itu membutuhkan listrik dan kian hari listrik kita berada
dalam kondisi buruk? Jadi, mungkin akan sangat aneh jika kita berperang karena
alasan gara-gara ingin tetap membuka Facebook dan sosial media lainnya. Kalau
seperti itu, negara-bangsa ini benar-benar akan memasuki masa yang suram. Walau
suram, setidaknya negara ini adalah pengguna facebook terbesar.
Dan
kali ini, ketika melihat sawah hijau menghambar dari Purwodadi hingga Mranggen,
hatiku benar-benar kecut. Benar-benar persis seperti apa yang digambarkan dalam
film dokumenter Racing Extinction.
Sebuah sawah yang luas, dan kawasan yang nyaris tak ada kehidupan lainnya
selain manusia. Burung-burung yang harusnya, beberapa tahun yang lalu, terlebih
tahun 1990an, masih banyak terlihat di sawah dan desa-desa, kini pun sudah
hampir tak mampu disaksikan oleh mata. Semuanya hilang. Musnah. Bahkan
kupu-kupu, capung, dan cicak pun semakin langka. Pohon bambu saja semakin susah
ditemukan. Dan burung walet serta layang-layang tak seramai dulu sebagai akibat
dari hilangnya para serangga dan makanan lainnya. Kadal, Biawak, Kalong, Ular,
Katak dan bahkan ikan Gabus pun langka. Sungguh masa depan yang tak
menyenangkan. Ketika seluruh ekosistem penyerap air, pemurni udara, pembunuh
nyamuk, penyerbuk tanaman, dan penyebar biji sudah kabur atau musnah, dan
burung pemakan serangga dan semut semakin jarang terlihat, tunggu saja kemudian
hari apa nasib yang harus ditanggung masyarakat negara ini. Sialnya, burung
yang dulu tak terlalu dianggap penting untuk diburu, dijual atau dimakan, kini
pun sudah hampir tak terlihat di mana-mana. Orang jawa menamakannya burung emprit. Ya, burung pipit yang telah
mengalami pemusnahan besar-besaran di seluruh dunia.
Dan
aku pun akhirnya memasuki gerbang neraka; Mranggen.
Sebuah
kawasan santri milik Demak yang lebih mirip pinggiran neraka dari pada tanah
surga milik Tuhan. Baru saja sampai di rel kereta, kemacetan sudah memanjang
dan terasa membosankan. Di dunia semacam ini, para pengendara motor hingga bus
pun harus berpikir secara tak waras untuk menyelinap dan mencari jalan. Dan, di
perjalanan yang tadinya masih cukup sejuk dan tak terlalu panas, sesampainya di
kawasan ini, kaki dan tanganku terasa bagaikan dibakar hidup-hidup. Luar biasa
panas. Sungguh panas. Sumpah panas. Aku rasa, tempat ini harus didaulat sebagai
saudara kembar Semarang yang tak jauh dari sisi Baratnya.
Mranggen,
seperti tempat lainnya yang memiliki banyak santri dan penduduk yang notabene
Islam, dalam wajah daerah yang di tempatinya, benar-benar tak pernah
mencerminkan Islam itu sendiri. Hampir semua tempat yang berpenduduk Islam
terbanyak, selalu saja berantakan dan panas. Rumah-rumahnya tak tertata dengan
rapi. Pohon-pohon menghilang. Di sepanjang jalan raya, dari mulai rel kereta
hingga pasar dan jalan Mranggen yang sedang dibangun kembali, nyaris tak terlihat
pepohonan di pinggir jalannya kecuali hanya sedikit. Dan kemacetan, yang entah
sudah ada sejak kapan, benar-benar menjadi legenda. Benar-benar gerbang neraka
yang sesungguhnya. Dan ketika sudah berada di jalan raya, membuat aku ingin
marah dan marah. Siapa yang bisa sabar dan berwajah Konfucius jika kondisinya
semacam ini?
Toko
baru. Bank baru. Pom bensin baru. Jalan baru. Rumah-rumah baru. Cepat atau
lambat, kota ini akan mengidap penyakit seperti yang dimiliki Semarang. Dan
entah kenapa, panasnya benar-benar tak tertahankan. Sungguh sangat mengerikan.
Sepeda
motor, mobil, bus, truk, bergerak tak beraturan dan bersiap menyalip yang
lainnya. Kondisi jalan adalah corak kehidupan mental masyarakat sebuah negara.
Lalu, aku pun bergerak pelan, pelan, seperti semut merayap di tengah lautan.
Panas yang tak tertahankan benar-benar hal tergila dari tempat yang masih belum
menjadi sebuah kota ini. Dan kemacetan adalah musuh terbesar bagi setiap
peradaban dunia. Asap knalpot sama berengseknya dengan asap rokok. Yah, aku pun
juga mengeluarkan asap. Mungkin aku juga sama bererngseknya. Ah, beginilah
manusia.
Pembaca
buku di sekitar sini adalah ketidakmungkinan. Sementara pengayuh sepeda hanya
terlihat satu dua. Aku pun memasuki Plamongan Sari yang semakin panas dan
sampai di terminal Penggaron yang mirip tungku api. Di lahan yang dulunya
adalah kebun kelapa itu, yang cukup rimbun dan enak dipandang mata, kini
berdiri sebuah plaza yang berderet mobil dan mobil. Di situlah, orang-orang
lebih sibuk menghabiskan waktu dan hidupanya. Dan akhirnya, setelah melewati
asap, macet, panas, dan gerbang neraka, aku pun sampai di pertigaan lampu
merah, yang arah ke selatan menuju Pucang Gading. Dari sinilah, lurus ke Barat,
aku memasuki sebuah kota yang bertahun-tahun lamanya aku sebut sebagai Kota
Neraka. Kota Neraka yang membosankan.
Dan,
aku pun memasuki Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar