Sekarang ini, apa yang
menyakitkan adalah kecantikan.
Nomi
Wolf
Mitos Kecantikan
Jika
ada sebuah kota yang pada siang hari sangat menjengkelkan, itulah Semarang.
Panasnya benar-benar tak bisa lagi dijelaskan oleh kata-kata. Kadang aku
berpikir, apakah ini markas besar para iblis di Asia Tenggara? Yah, mungkin.
Atau pada dasarnya, lajur pantura adalah wilayah yang harus dimasukkan sebagai
produk gagal sebuah kota. Jika orang beragama benar, inilah tempat paling
berdosa di Indonesia selain Jakarta dan beberapa kota lainnya. Panas adalah
cerminan dosa itu. Lalu, apakah Timur Tengah dan Afrika panasnya tidakkah lebih
mengerikan lagi? Yah, tidakkah banyak nabi lahir dari sana? Itu berarti di
sanalah asal mulanya dosa besar berada. Kalau dipikir-pikir lagi, indeks suhu
lingkungan atau udara panas suatu kota bisa dijadikan pegangan untuk mengukur
tingkat keimanan, kesadaran, wawasan dan ilmu pengetahuan, empati, hingga
nasionalisme dan spiritualisme suatu kota dan daerah. Bahkan tingkat kecerdasan
suatu kota. Mungkin ini terlihat mengada-ada. Tapi benar-benar sangat mungkin.
Di
pedalaman pegunungan Asia, ada seorang raja, Wangchuk, yang pada tahun 1973
mengeluarkan gagasan berupa Kebahagiaan Nasional Bruto. Mungkin itu terdengar
gila. Tapi tak masalah, negara ini bahkan lebih gila dari pada Bhutan. Ya, di
Bhutan sana, seorang raja sedang ingin mengukur warganya dengan ukuran
kebahagiaan bukan ekonomi seperti yang berada di negara-negara Barat. Banyak
orang mengatakannya absurd karena kebahagiaan tidak bisa diukur. Sejujurnya
ini sama saja dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang keterlaluan pintarnya
ingin membuat seluruh masyarakat di lima benua menjadi sejahtera dan keluar
dari garis kemiskinan. Lalu, siapa juga yang bisa mengukur kemiskinan di
masing-masing hati orang? Dan jika pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank
Dunia serius akan hal semacam itu, seharusnya orang-orang Belanda mulai dari
sekarang harus belajar marah-marah dengan lebih baik lagi. Karena negara mereka
akan disapu oleh ombak dan pemanasan global jika pada suatu nanti seluruh orang
di dunia keluar dari kemiskinannya. Itu berarti, jika seluruh dunia mengalami
kemakmuran, warga Belanda akan tenggelam. Jika aku adalah seorang Belanda, akan
aku buang dan injak-injak sistem ekonomi sejak Adam Smith hingga perluasaan
kapitalisme dan populisme hari ini. Siapa yang mau rumah digusur dan negaranya tenggelam
karena keinginan aneh para pemimpin lembaga dunia dan sistem ekonomi hari ini
yang juga sangat anehnya?
Dan
semarang adalah salah satu kota tertolol di dunia yang pernah ada. Dan di
dalamnya, juga ada sebuah universitas terkonyol sedunia. Jadi, seharusnya tak
masalah jika kita bisa membuat indeks kecerdasan hingga iman suatu masyarakat
lewat suhu lingkungan dan wajah kota secara ekologis. Tidakkah Majelis Ulama
Indonesia bisa dengan mudahnya melabeli hijab dengan halal dan haram hanya karena
bahan yang dibuat memasukkan unsur babi di dalamnya? Aku rasa, Indonesia
memiliki para ulama yang masih kurang pintar dan cerdas. Sangat disayangkan.
Tapi tak mengapa. Lagian masyarakat negara ini juga sudah terbiasa memilih
pemimpin yang kurang bisa berpikir sejak dahulu kala. Jika halal dan haram
memang ada menurut agama. Maka, semua yang ada di dunia ini, dari mulai laptop,
mobil, motor, hingga berbagai teks buku serta celana dalam, semuanya haram.
Karena bahan-bahan untuk membuatnya, dari mulai listrik hingga bahan bakunya,
berasal dari sebuah negara yang mungkin ateis, penjahat perang, hasil
perampokan, barang ilegal, menghancurkan suatu daerah, suku dan bangsa tertentu
atau sangat tak ramah lingkungan dan membuat orang lain menderita. Mana ada
orang beragama yang memakai celana dalam buatan sebuah perusahan yang merusak
terumbu karang mungkin. Atau jilbab yang dibuat dengan merusak sungai-sungai
dengan bahan tercermar. Jadi, jika masih banyak orang beragama semacam itu,
sangat disayangkan. Atau anggap saja biasa. Indonesia adalah tempat segala
sesuatunya pada akhirnya menjadi biasa dan tak perlu dipikirkan dalam-dalam.
Masa depan pun, dipikirkan hanya sejauh masih hidup.
Ngomong-ngomong
soal dosa, aku tak begitu perduli dengan hal itu. Yang jelas, jika berbagai
agama menganjurkan mengasihi alam dan menjaganya. Maka masyarakat kota ini
gagal menjalankan agamanya. Dan selain itu, jika di sini banyak aktivis
lingkungan, para humanis, pembela kebenaran, dan sederet universitas besar.
Maka semuanya gagal. Kota sepanas dan seberantakan ini, pasti diisi oleh
orang-orang tak waras yang hidupnya menganut optimisme bodoh. Karena sepanas
apa pun suatu kota, pohon-pohon akan meneduhkannya.
Dari
pada cinta pohon, kota ini, pemerintahannya lebih menyukai uang dan pertumbuhan
ekonomi. Karena itulah, di sepanjang jalan menuju simpang lima, hanya ada
sedikit pohon-pohon yang terlihat. Semuanya hampir adalah bangunan dan jalan
raya. Kaki dan tanganku pun benar-benar bagaikan melepuh terkena sinar matahari
dan panas kota ini. Ditambah laju motor yang aku naiki pun tertatih-tatih
karena banyaknya kendaraan bermesin di jalanan. Semarang memiliki jalan utama
yang cukup lebar. Tapi lebar jalan pun seolah-olah hampir tak mampu menampung
jumlah kendaraan yang lewat dan berada di jalanan. Sudah panas, macet, dan
membosankan. Benar-benar neraka kehidupan yang sebenarnya.
Aku
pun sampai di simpang lima yang semakin tertata rapi dan elegan. Dalam artian
tertentu indah. Dan keindahan selalu saja menipu. Untuk apa jika simpang lima dan
sekitarnya indah tapi pohon-pohon dipangkas dan ditebangi? Apagunanya keindahan
jika panasnya benar-benar bisa membuat orang jengkel, marah-marah dan membuat
otak tak mampu bekerja maksimal dan berpikir secara lebih serius?
Setelah
melingkari sebagian simpang lima aku tiba di Masjid Baiturrahman yang nyaris
berhadap-hadapan dengan Citra Land Mall. Tidak di Bandung tidak juga di Bogor.
Di Semarang pun, masjid raya atau masjid agung berdampingan dengan berbagai
macam plaza atau mall. Aku pun memasukkan motorku melewati gerbang masjid.
Disambut oleh seorang pengemis yang menundukkan kepala dan tangannya di aspal
yang sangat panas. Lebih tepatnya, tidur di atas tungku neraka di siang hari
yang mengerikan. Menuju loket parkir, membayar tiga ribu rupiah, masih heran
dengan pengemis yang cacat tadi, lalu mencari ruang kosong untuk memarkir
motorku. Yah, bisa dibilang, nyaris penuh. Dan entah ada berapa ratus atau ribu
motor di area masjid ini. Lalu kaki melangkah. Tap tap tap. Sampah oh sampah...kenapa
kau selalu identik dengan rumah ibadah dan orang beragama? Yah, di area masjid
ini, bahkan di tangga masjid, di pintu gerbang masjid, sampah plastik dan
kertas bertebaran di sana-sini. Mungkin juga sampah masyarakat. Jika menyoal
alam, apakah manusia adalah sampah alam? Biasa jadi. Bisa dipikirkan lagi.
Menarik juga. Patut direnungkan.
Tap
tap tap. Berjalan lagi di tengah terik neraka. Melewati pengemis yang
selonjoran dengan sedikit iba. Sekedar melewatinya seperti kebanyakan perempuan
berjilbab lainnya yang sekedar lewat. Lalu berbelok ke kanan, ke arah selatan,
berjalan di pedestrian, disambut lagi pengemis dan baru saja melangkah beberapa
meter, ada seorang gelandangan yang tidur pulas diapit dua pohon Angsana.
Sejak dulu kala, kota ini masih memelihara gelandangan dan para pengemisnya di pusat kota yang sibuk dengan orang-orang berduit tebal dan juga berhati tebal. Dan para manusia lainnya, entah itu mungkin Muslim, Kristen, Buddhis, Spiritualis, penganut Hindu hingga Agnostik, Ateis, Nasionalis, dan kaum murtad lainnya, berjalan dengan elok dan penuh gaya melewati seorang gelandangan kumal yang beratap dahan pohon dan berkasurkan marmer. Begitu juga mungkin pengkhotbah Marxis, Marhaen, anggota serikat buruh hingga penganjur populisme hingga para pengusaha yang berlabel CSR lewat dengan menganggap tak ada apa-apa. Laki-laki perempuan bergandeng tangan. Ibu-ibu. Bapak-bapak. Kakek. Nenek. Cucu. Oma. Opa. Mama. Papa. Ummi.. Abi. Cici. Kakak. Abang. Teteh. Dan mungkin, dari mulai Batak. Jawa. Tionghoa. Bugis. Toraja. Bajo. Papua. Sassak. Sunda. Bali. Hingga keturunan Betawi dan sederet ras lainnya, lewat dengan tenang dan penuh dengan tas belanja di tangan mereka. Menoleh sebentar. Lalu lanjut lagi untuk berjalan. Seperti itulah kehidupan sehari-hari.
Sejak dulu kala, kota ini masih memelihara gelandangan dan para pengemisnya di pusat kota yang sibuk dengan orang-orang berduit tebal dan juga berhati tebal. Dan para manusia lainnya, entah itu mungkin Muslim, Kristen, Buddhis, Spiritualis, penganut Hindu hingga Agnostik, Ateis, Nasionalis, dan kaum murtad lainnya, berjalan dengan elok dan penuh gaya melewati seorang gelandangan kumal yang beratap dahan pohon dan berkasurkan marmer. Begitu juga mungkin pengkhotbah Marxis, Marhaen, anggota serikat buruh hingga penganjur populisme hingga para pengusaha yang berlabel CSR lewat dengan menganggap tak ada apa-apa. Laki-laki perempuan bergandeng tangan. Ibu-ibu. Bapak-bapak. Kakek. Nenek. Cucu. Oma. Opa. Mama. Papa. Ummi.. Abi. Cici. Kakak. Abang. Teteh. Dan mungkin, dari mulai Batak. Jawa. Tionghoa. Bugis. Toraja. Bajo. Papua. Sassak. Sunda. Bali. Hingga keturunan Betawi dan sederet ras lainnya, lewat dengan tenang dan penuh dengan tas belanja di tangan mereka. Menoleh sebentar. Lalu lanjut lagi untuk berjalan. Seperti itulah kehidupan sehari-hari.
Gedung Kesenian
Aku
pun kembali berjalan di pedestrian baru, pergola baru, dan pohon-pohon yang
cukup teduh walau tak terlalu banyak. Suasana cukup baru yang elegan. Menuju
Gramedia. Melewati sampah. Sampah. Sampah. Yah, sampah lagi. eh sampah. Dan
sampah lagi. barulah masuk lewat pintu parkir mobil sebelah timur yang dibuka
sedikit dan tibalah di perpustakaan pribadi aku; Gramedia Pandanaran.
Kadang,
dari pada pergi ke perpustakaan yang sumpek di samping Gedung Kesenian Taman Budaya Raden
Saleh yang riwayatnya seperti orang sedang sekarat menunggu mati. Aku lebih
memilih membaca di Gramedia ini, dan nyaris setiap hari. Adakalanya seminggu
tujuh kali aku berada di toko buku ini. Yah, aku tak tahu apa ini gila,
keranjingan membaca, atau mencari gratisan ilmu. Karena itulah, aku selalu
menggap Gramedia ini adalah rumah keduaku bahkan aku anggap sebagai
perpustakaan pribadiku! Yah, tinggal datang. menitipkan tas. Cari buku yang
dibuka atau kalau tidak, ya buka sendiri segelnya, cari yang menarik, baru,
atau sesuai kebutuhan, dan baca terus sampai tuntas walau itu harus beberapa
hari menyelesaikannya. Tapi, aku jarang membaca sampai tuntas di tempat ini.
Hanya beberapa kali dan itu pun buku-buku yang kurang dari seratus lima puluh
halaman. LebihGedung Kesenian sering membeli buku yang menarik duniaku. Dan di sinilah aku
membaca buku Alan Lightman, Mimpi-Mimpi
Enstein hingga habis. Buku kecil puitis dan mempesona tentang Einstein dan
waktu. Buku yang sampai sekarang masih aku kagumi dan terkadang aku baca
kembali.
Percaya
atau tidak. Aku berada di tempat ini dengan cara-cara yang wajar dan juga aneh.
Sehabis sekolah. Lalu sehabis dari kampus. Dan sehabis demonstrasi entah
menentang pemilu, presiden yang buruk, pendidikan yang mahal, atau kenaikan
bahan pangan, hari buruh dan segala macamnya. Lalu sehabis demonstrasi dengan
kaum fundamentalis. Atau sehabis menggelar aksi dengan Greenpeace, Earth Hour, atau
mendeklamasikan puisi dengan komunitas sastra dan lain-lain. Yah, dulu, aku
memasuki berbagai macam tempat. Mencari tahu segala kemungkinan. Berada di
antara kaum sosialis. Fundamentalis agama. Lingkungan hidup. Sampai sekarang
pun aku masih menganggap diriku sebagai pencinta lingkungan walau kadang bahkan
lebih sering bersikap masa bodoh. Menjadi seorang pemikir bebas. Dan hari ini, seorang
liberal. Entah sehabis demo, diskusi, observasi, melakukan tugas kuliah,
sehabis mendampingi seorang anggota baru, dan banyak hal lainnya. Aku pasti
menyempatkan diri ke tempat ini. Surgaku di tengah neraka panas yang
membosankan.
Sampai
di tempat parkir motor, aku langsung ke toilet. Menitipkan tas. Melihat sejenak
pameran buku murah. Tak sengaja, mataku tertuju pada buku Mereka Bilang Aku Gila. Karena buku itu sangat aku inginkan sebagai
salah satu bacaan untuk mengembangkan gagasan psikologiku, aku pun
menanyakannya ke kasir. Dan harganya mengecewakan. Mahal. Buku bazar tapi masih
mahal. Sangat meruntuhkan hati. Lalu, aku pun bergegas ke lantai atas. Penjaga
perempuan yang aku kenal kini sudah tak lagi menjaga rak demi rak yang ada. Dan
pada akhirnya, aku akan berpesta dengan buku-buku dan bernostalgia.
Aku
salah satu jenis pelahap buku yang bisa menghabiskan berbagai macam jenis
bacaan dari sains, psikologi, politik, sastra, sejarah dunia dan berbagai macam
peradaban, antropologi, arkeologi, hingga astronomi dan komik. Jadi karena
inilah, aku akan sangat kecewa jika bertemu dengan seorang yang lebih bodoh
daripada aku. Dulu aku bisa dengan mudahnya menyebut seseorang dengan idiot,
tolol dan goblok tepat di depan matanya dan banyak orang. Kadang Bahkan
seringkali aku bisa kejam jika berkaitan dengan masalah intelektual dan
gagasan. Aku tak rela jika ada orang yang lebih idiot daripada diriku di tengah
dunia yang nyaris tanpa perang dan kesulitan ini. Sementara di sebarang benua
lainnya, anak kecil pun menemukan berbagai macam persamaan matematika, fisika,
dan sudah mampu berpikir filosofis. Jadi kebodohan luar biasa banyak orang di
tengah-tengah situasi damai yang semu ini benar-benar tindakan keji dan kejam.
Anak-anak muda yang usianya setara denganku atau jauh di bawahku lebih suka
pergi bersenang-senang dari pada mencoba untuk menggagas dan melahirkan
berbagai macam penemuan di bidang sains dan ide sosial hingga filosofis. Apa
jadinya jika negara ini kelak diembargo dan terlibat dalam perang panjang
sementara kita kekurangan para ilmuwan dan para pemikir yang akan menggagas
ulang segala sesuatu? Apakah yang akan bisa kita pertahankan jika semua yang
kita miliki kita peroleh dari pihak asing? Semua paten milik asing. Semua teori
milik asing. Bahkan identitas kita sendiri dibentuk oleh orang dan bangsa
asing. Dan aku benar-benar merasa dikhianati oleh sistem dan budaya pendidikan
di Indonesia dengan berbagai macam pengajarnya yang sangat konservatis dan
membutakan mata terhadap perubahan dan perkembangan zaman serta ilmu
pengetahuan. Dunia pendidikan kitalah yang membuat anak-anak jenius dan
berbakat mati dan berguguran seperti nyaris tak berguna. Dan jika kelak bencana
besar datang, siapa yang harus disalahkan?
Sikap
dan pemikiran semacam itulah yang kadang membuatku merasa sendirian. Itulah
yang juga membuatku menjadikan buku adalah teman seumur hidup. Tak tergantikan
oleh siapapun. Karena beberapa waktu yang lalu aku diputus oleh seseorang. Jadi
buku-bukulah yang tetap setia menemaniku. Di dunia ini, menjadi seorang yang
baik dan rela berkorban untuk pasangan tidaklah cukup. Kebanyakan perempuan
selalu meminta lebih dan lebih tanpa mau berkorban dan memikirkan penderitaan
laki-laki yang menemaninya sepanjang waktu. Seperti itulah kebanyakan perempuan
modern atau generasi yang disebut Don Tapscott sebagai generasi internet. Banyak dari mereka benar-benar hidup untuk
mementingkan diri sendiri. Seperti itulah generasi baru yang diciptakan oleh
para feminis dan melemahnya sistem patriarki yang mereka coba runtuhkan. Hanya
saja, banyak dari mereka pun masih tak bisa keluar dari perasaan hampa dan
kesepian yang menyiksa. Dan dengan kekayaan dari kedua orang tua atau dari
mereka sendiri. Mereka pun akhirnya lari dari kenyataan dan berjalan di
gelombang rapuh tubuh yang cantik, tergila-gila menunjukkan lekuk tubuhnya di
depan semua orang, dan tergila-gila dengan berbagai macam hal yang bisa membuat
mereka dikagumi dan dipuja-puji semua orang; terkhusus laki-laki. Tapi mereka
tetap saja masih kesepian dan banyak yang mengalami gangguan jiwa. Terjebak
dalam sebuah mitos, seperti yang ditunjukkan oleh Naomi Wolf dalam Mitos Kecantikan.
Banyak
orang yang menganggap aku pintar. Bahkan dulu pernah ada seorang guru yang
menganggap aku jenius. Selalu disukai oleh berbagai macam dosen yang memiliki
pemikiran di atas orang kebanyakan. Dan pastinya, cara hidup dan berpikirku
selalu dianggap aneh. Melenceng. Berbeda. Keras. Idealis. Bahkan unik. Banyak
orang yang menganggap cara berpikirku berkebalikan dengan kebanyakan orang
umum. Dan pemikiranku terasa baru, orisinil, dan terlalu jauh ke depan sehingga
tak banyak orang yang mengerti. Yah, seperti itulah aku. Dan itulah salah satu
yang membuatku memutuskan mengelilingi Jawa. Mengembara dalam keterasingan
sekitar dan lingkunganku sendiri. Tapi aku selalu saja menganggap diriku tolol.
Mudah lupa akan apapun dan benar-benar memiliki keterbatasan yang luar biasa.
Pada dasarnya aku bodoh. Dan sangat menjengkelkan ternyata lebih banyak orang
yang kebodohannya melebihi diriku ini. Dan itu terpampang di depanku setiap
hari dengan berbagai macam buku tak jelas dan membosankan yang dipajang di
rak-rak buku. Apakah tak ada pemikir yang mempesona dan berpikiran jauh di
negara ini? seperti itulah pikiran yang terlintas, yang pada akhirnya berujung
kecewa jika aku sedang memandang rak-rak yang memanjang di Gramedia.
Aku
selalu mengagumi Gie dan Nietzsche. Dan aku menemukan apa yang tak berani
mereka lakukan di dalam tulisan Alan Weisman, Dunia Tanpa Manusia.
Orang
yang tak mengenalku, hari ini akan menyebutkan sebagai laki-laki tertutup. Pada
dasarnya, aku tertutup untuk gagasan-gagasanku. Aku dalam suasana yang tak
ingin banyak diganggu oleh siapapun. Aku sedang memikirkan banyak hal.
Merencanakan banyak hal. Tentunya, mengurusi kejiwaanku yang nyaris hancur dan
keinginan hidupku yang menipis setiap harinya. Pada dasarnya, salah satu bagian
diriku disukai oleh banyak orang dan memang sisi lainya sangatlah liar dan
gelap. Dan akhir-akhir ini, aku sedang menuju ke arah sisi tergelapku.
Tapi
kali ini aku ingin menikmati buku-buku. Aku sudah berada di lantai dua. Melihat
sekilas. Suasana masih sepi. Yah, tempat ini pun tak pernah benar-benar ramai.
Dalam artian seramai Citra Land dan gerai cepat saji yang ada di dalamnya.
Bahkan masjid Agung pun kalah dengan Mall, apalagi toko buku? Ah iya, Masjid
Agung lebih banyak motor yang terparkir dari pada orangnya. Seandainya tempat
ini mampu seramai bioskop 21, aku mungkin sedang dalam keadaan delusi atau
setengah gila. Bisa jadi aku sedang tidak berada di dunia nyata. Semarang
memiliki banyak pembaca buku itu nyaris tidak mungkin. Pasti lebih banyak
pencinta seks dan caffe! Yah, itulah kenyataannya.
Aku
pun berkeliling dari rak sastra, psikologi, hingga ke lingkungan dan
perjalanan. Suasana benar-benar masih sepi. Angka jam digital menunjukkan 13:-
dan itu pun tak berpengaruh apa-apa. Tempat ini baru akan ramai menjelang sore
dan malam. Keramaiannya pun standar. Seandainya tempat ini adalah kuburan,
mungkin aku akan berbeda ceritanya. Tapi ini tempat buku di salah satu lokasi
paling strategis di seluruh Semarang! Perduli setan, aku pun terpaku di rak
lingkungan. Tertarik dengan beberapa buku. Tepatnya tiga buku;Reformasi Perkotaan karya Eko
Budihardjo, Lahan dan Kedaulatan Pangandari
Gatot Irianto, dan Teknik Konservasi
Badak dari tim WWF. Ingin sekali beli. Tapi sayangnya, aku tak mau
membebani tasku dengan buku dan buku lagi. Terlebih, aku harus mulai berhemat.
Tak banyak uang yang aku miliki akhir-akhir ini. Bisa-bisa nanti aku bangkrut
dan gantung diri.
Lalu
aku pun bergerak ke deretan politik, biografi, dan sosial. Di deretan rak ini,
sejak dahulu kala, jika ada sekitar sepuluh orang yang berdiri atau duduk
mengamati dan membaca selama sepuluh menit secara bersamaan itu sudah kejaiban
dunia. Benar-benar keajaiban dunia. Melebihi pembuatan dan penemuan
Borobudur. Bahkan mungkin akan menjadi
semacam mukjizat Tuhan. Jika ada salah satu ayat Tuhan dari salah satu agama
yang berseru membacalah! Sementara umatnya sangat malas dan nyaris tak pernah
membaca dan memegang satu buku pun, aku tak tahu harus bilang apa. Mungkin itu
salah satu pembangkangan secara terang-terangan. Atau pengabaian dan penolakan
agama secara serius dan membabi-buta. Dan itu pun sangat tercemin dengan
sedikitnya orang Indonesia yang berprestasi secara internasional dan terlebih
jika berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Entah di kalangan para ateis yang hidup
diam-diam atau para penyeru agama yang berteriak-teriak. Kenyataannya, kita
nyaris mengimpor segala sesuatu dari luar negeri. Dan rak-rak buku serta
suasana toko buku ini, mencerminkan masa depan yang suram di kemudian hari.
Selama
beberapa puluh menit aku di rak ini dengan memegang buku Zarathustra dari Nietzsche, hanya ada seorang perempuan yang
melihat-lihat tak kurang dari lima menit. Sedangkan yang lain hanya anak kecil
yang sekedar lewat. Ibu-ibu yang lewat untuk menuju rak agama. Dan laki-laki
muda yang tak lama mengarahkan kedua bola matanya ke arah buku-buku. Jadi, seandainya nanti bagian rak ini bisa
terisi lebih dari dua puluh orang matanya sedang sibuk menyusuri buku. Mungkin
kelak tuhan akan menghadiahi hujan salju dan musim dingin di kota ini.
Aku
pun bergerak ke arah komik. Aku selalu suka komik. Terutama manga Jepang. Dalam
artian banyak, sejak kecil aku suka dengan sejarah Jepang, perpolitikan, budaya
hingga para mangaka yang menghasilkan berbagai macam cerita bergambar yang bagiku kadang melebihi
novel. Ketika novel-novel menjadi membosankan dan nyaris tak berkembang di
negara ini. Aku pun lari ke manga. Banyak ide segar dan imajinatif di dalamnya.
Manga adalah surga kreativitas dan gagasan baru yang kadang aneh, unik dan
terasa tak mungkin ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dan benar-benar
mempercundangi novel-novel yang terlihat monoton dan membosankan. Dan di antara
deretan komik, ada seorang Tionghoa, muda, dan sangat cantik. Entah kenapa, aku
selalu suka para perempuan Asia Timur. Terutama etnis Tionghoa, Jepang, dan
Korea. Karena hampir di semua tempat di negara ini terdapat etnis Tionghoa. Terlebih
di Semarang. Maka aku sangat senang jika mereka sedang asyik membaca buku.
Seorang perempuan Tionghoa yang tengah membaca buku, bagiku sangat mempesona
dan menakjubkan. Mengingat tak banyak orang di negara ini yang membaca buku.
Begitu banyak orang Tionghoa yang juga mengikuti arus negara ini untuk tak
membaca buku. Dan jika ada seorang Tionghoa membaca sebuah buku. Itu keajaiban
dan menyenangkan untuk dilihat.
Aku
pun membaca komik walau sebentar. Lalu lari ke rak sastra dan bahasa Indonesia
yang isinya membuat mataku sakit.
Bagaimana tidak sakit jika isi raknya seperti ini; 101 Hari Menulis dan Menerbitkan Novel, Dasar-Dasar Ketrampilan Bersastra, Panduan Wacana dan Apresiasi Musikalisasi Puisi, Dasar-Dasar Ilmu Semantik, Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi
dan lain-lain. Benar-benar mengerikan. Entah kenapa, aku jadi ingat
tulisan-tulisan Saut Situmorang dalam Politik
Sastra. Kita benar-benar kekurangan para kritikus sastra. Atau paling
tidak, orang yang berani menyuarakan
pendapatnya tidak hanya sekedar apresiasi dan berlagak malu-malu atau pengecut.
Sedangkan dibarisan novel, kita kekurangan orang yang cukup berani keluar dari
arus dan tak hanya sekedar terjatuh pada kehidupan sehari-hari yang tak kunjung
selesai. Pada dasarnya, sastra Indonesia bangkrut dan dalam keadaan sekarat.
Tapi siapa yang perduli? Yah, bersastra itu mencari uang dan nama. Mencari
sesuatu yang lebih besar itu tak berpotensi untuk dibaca dan dipuja. Jadi,
seperti inilah sastra kita. Membosankan. Tak terlalu menarik untuk dibaca
kecuali sastra masa Pram dan Ahmda Tohari. Atau Chairil Anwar. Itu pun dunia
mereka berada dalam dunia keseharian. Dan tak ada generasi hari ini yang berani
melampaui mereka kecuali berbagai macam eksperimen yang gagal.
Dalam
bukunya, Memoar Seorang Filsuf, Bryan
Magee menulis, “waktu yang dihabiskan untuk membaca literatur sekunder adalah
kehidupan yang dijalani dalam kedangkalan; sedangkan waktu yang dihabiskan
bersama karya-karya filosof besar adalah kehidupan yang dijalani dalam
kedalaman samudra yang tiada batas” dan “salah satu hal terburuk dari
ketergantungan terhadap literatur sekunder ialah karena hal itu berarti
tenggelam sepenuhnya dalam kekeliruan-kekeliruan pemahaman orang lain, padahal
melakukan kekeliruan sendiri saja sudah cukup buruk.”
Dan
apa yang ditulis oleh kebanyakan orang di Driyakara, Kanisus dan Majalah Basis,
hanya sekedar mengulan-ulang dan mengambil gagasan orang untuk ditulis kembali.
Hanya sejauh itu. Apakah orang-orang dalam dunia filsafat kita begitu
mengerikannya hingga hanya sekedar mengulang dan mengulang yang bisa
dilakukannya? Dan puisGedung Keseniani, novel, cerpen, atau dunia pemikiran kita? Tak ada yang
bisa menyaingi Homerus atau Zarathustra. Dan bahkan para ilmuwan kita masih
harus berhutang banyak terhadap Darwin dan Wallace. Sedangkan psikologi di
negara ini masih ketergantungan dengan Freud. Sungguh aneh. Begitu juga sastra
mengikutinya layaknya orang yang tak memiliki mata. Apa tak ada yang lain
selain Freud dalam dunia psikologi itu? Sedangkan para aktivisnya, masih sangat
keranjingan dengan Marxisme yang sudah diserang habis-habisan oleh Karl R.
Popper. Apa tak ada yang lebih menarik lagi selain Marxisme? Dan kebanyakan
para penganut Marxisme pun otaknya seringkali berhenti diseputar itu saja.
Sungguh perkembangan negara yang buruk jika masyarakat telat akan banyak hal
tapi sangat tidak telat dalam mengonsumsi segala hal.
Tak
banyak pembaca buku di Gramedia. Suasana masih sepi walau beberapa orang
semakin memenuhi ruangan. Hanya saja, mereka berkumpul, berdiri, atau sibuk
membaca di bagian novel, komik, psikologi populer, bisnis, dan agama. Sejauh
itulah dunia yang ada di toko buku ini yang mencerminkan sebagian besar dari
apa yang digemari warga atau mereka yang tinggal di kota ini.
Setelah
merasa cukup dengan toko buku ini. Aku pun bergegas keluar. Berhenti sejenak di
papan nama jl Gajah Mada. Lalu menyeberang menuju Citra Land Mall. Aku sering
ke tempat ini hanya sekedar melihat-lihat. Nyaris tak pernah punya urusan penting
di tempat ini kecuali di toko buku Gunung Agung. Dan di tempat inilah banyak
remaja dan perempuan muda sibuk dengan dunia mereka. Dan harus aku akui sejak
dulu bahwa tempat ini adalah ruang berkumpulnya para perempuan modis dan
cantik. Tentunya dari kelas menengah ke atas atau kecukupan. Bagi laki-laki,
tempat ini adalah surga. Tapi aku datang kemari ingin melihatt, apakah ada,
dari sekian ribu orang yang ada di dalam mall ini, terlihat sedang memegang dan
membaca sebuah buku?
Yah,
aku pun berjalan di tengah-tengah kerumuman manusia. Bahkan jalan kaki di mall
ini pun harus terkena kemacetan. Jalan kaki pun tersendat-sendat akibat terlalu
banyaknya orang berada di dalam. Tapi tak mengapa, banyak perempuan cantik yang
lewat jadi cukup untuk menebus kemacetan kaki. Di sinilah warga Semarang entah
asli atau tidak, lebih banyak menghabiskan waktunya dari pada di toko buku atau
rumah ibadah. Dan semua orang ingin tampil cantik, seksi, tampan, gaul dan
modis.
Aku
bergegas ke lantai dua. Langsung masuk Gunung Agung dan melihat deretan buku
asing yang menarik hatiku. Ada Shaskespeare dan lain-lain di situ. Dan aku pun
menemukan sebuah buku yang menarik mataku seketika; The Orgini of Species karya Charles Darwin, tentunya dalam bahasa
Inggris. Aku pun mengambil satu lalu bergerak ke beberapa rak. Tak ada buku
yang menarik. Sepi. Sedikit sekali pengunjung di toko buku ini. Tak sengaja aku
melihat buku Jenghis Khan yang
ditulis oleh John Man dalam bentuk hard cover. Sekian lama susah dicari, ternyata
dicetak ulang lagi. Selain itu, yang paling menarik bagiku adalah dari Buku ke Buku karangan P. Swantoro. Hanya saja cukup mahal. Walau begitu, bagiku,
buku yang menarik itu tak terlalu mahal karena kandungan ilmu di dalamnya.
Lebih baik membelanjakan uang untuk buku dari pada makanan atau pernak-pernik
yang nantinya juga akan rusak atau lenyap dengan mudahnya. Ilmu akan bertahan
lebih lama, terlebih jika menjadi sebuah karya. Dan tubuh, atau badan dengan
segala kemewahannya ini, hanya sekedar bertahan kurang dari seratus tahun saja.
Yah, akhirnya aku ke kasir, menyerahkan The
Origin milik Darwin lalu keluar mengamati sekitar. Aku berada di lantai
dua.Gedung Kesenian
Aku
berjalan. Tap tap tap. Melewati perempuan muda yang kehilangan celananya. Tap
tap tap. Payudara bergentayangan ingin keluar. Tap tap tap. Bokong yang nyaris
tak tertutupi. Entah itu celana luar atau celana dalam berbahan kain, aku
benar-benar tak mengerti. Tap tap tap. Perut dengan pusarnya sudah menjadi
biasa di tempat umum. Dan, paha yang tak tertutupi hingga nyaris ke
selangkangan, membuat aku sangat heran. Apakah aku sedang berada di rumah
bordil atau pelacuran? Sedangkan laki-lakinya, terlihat biasa-biasa saja. Tak
terlalu menarik. Banyak laki-laki hari ini lebih bodoh dari pada pihak
perempuannya. Tampang pun tak terlalu mengesankan. Lihatlah saja negara ini
yang bersifat kelaki-lakian. Negara dibangun laki-laki. Dikuasi laki-laki. Dan
dihancurkan oleh para laki-laki. Dengan kekuasaan yang besar beserta budaya
patriarkal yang masih kuat, banyak laki-laki yang tak mampu memaksikmalkan
kesempatan ini untuk menghasilkan berbagai macam penemuan, paten, inovasi, ide,
gagasan atau pemikiran baru dan berguna, dan tak becus mengurus negara ini
dengan baik. Laki-laki di negara ini sedang mengalami dekadensi. Kemunduran.
Seharusnya, para laki-laki yang hidup di masa ini sangat malu dengan berbagai
macam prestasi perempuan baik di bidang ekonomi, akademik, sains, pemerintahan
atau olah raga. Walaupun begitu, para perempuan hari ini yang semakin mandiri
dan menguasai banyak bidang kehidupan, pun pada akhirnya jatuh dalam mitos
kecantikan dan terlalu sibuk bergulat di dalamnya. Banyak dari mereka pun pada
akhirnya hidup dalam kehampaan. Kita, baiGedung Keseniank laki-laki maupun perempuan,
tercerabut dari akar-akar kita. Tapi, apakah sejak awal kita dilahirkan, kita
memiliki akar yang kokoh?
Dan
sedikit perempuan modern di negara ini, yang sibuk terlibat dalam gairah
intelektual dan ilmu pengetahuan. Sedangkan para laki-lakinya, semakin hari
lebih mirip dengan seorang pengemis dan pengangguran yang tak banyak berguna. Coba
bayangkan, dengan total lebih dari dua ratus lima puluh juta jiwa, apa yang
selama ini kita hasilkan dari mulai pemikiran, ide, teori, penemuan, dan berbagai
macam teknologi lainnya? Sejak awal, negara dibentuk oleh para elit yang tak
terlalu bernafsu mencerdaskan dan mencerahkan seluruh rakyatnya. Sejak zaman
raja-raja, gubernur jenderal hingga para presiden. Kebijakan kita hanya
berfokus untuk mendidik rakyat bekerja secara patuh, melancarkan aliran
pertukaran barang, uang dan ekonomi. Serta hidup kecukupan dan damai. Sedangkan
isi kepala tak terlalu penting. Apalagi isi hati dan nurani.
Apa
yang membuat aku jengah dengan perempuan modern, seperti yang aku lihat di mall
ini adalah mereka terlalu sibuk dengan penampilan dari pada keinginan kuat
untuk menghasilkan berbagai macam penemuan, karya, dan semacamnya. Mereka telah
menempati banyak posisi penting di berbagai macam bidang. Mereka mandiri secara
ekonomi dan berkecukupan. Apakah mereka kelak akan mengulangi hal yang sama
yang telah dilakukan laki-laki? Ketidakbecusan untuk memaksimalkan suatu masa
yang relatif damai ini?
“Perempuan
bekerja keras, bahkan dua kali lebih keras dibandingkan laki-laki,” seperti
itulah yang ditulis Naomi Wolf dalam Mitos
Kecantikan. Dan “Perempuan telah menyusup ke dalam tiap wilayah budaya
maupun politik yang dikuasi laki-laki. Perempuan menduduki jabatan-jabatan yang
semula ‘milik’ lelaki; akademisi perempuan mempertanyakan kesahihan posisi
laki-laki di pusat bumi; atlet-atlet perempuan mengejar rekor laki-laki dan
bahkan memecahkannya sampai berkeping-keping, reputasi laki-laki sebagai
kesatria,” tulis dibukunya yang lain, Gegar
Gender. Kita hanya melihat ibu atau mama kita masing-masing, kita akan
sadar betapa luar biasanya perempuan. Aku mengakuinya. Hanya saja, perempuan
hari ini, yang disokong oleh kemenangan banyak gerakan feminis, sekular, dan
liberal, gagal membawa kesempatan ini semakin jauh. Benar-benar gagal. Dan
kegagalan itu membawa kaum perempuan berada dalam kesakitan jiwa dan tubuh yang
semakin dalam. Jika laki-laki sejak dahulu memang sudah sakit-sakitan. Perang
dunia dan berbagai macamnya, para laki-lakilah yang melakukannya. Kini, para
perempuan malah mengikuti apa yang dulu mereka kecam dari laki-laki.
Banyak
orang tua negara ini, yang cukup kaya, lebih suka anaknya untuk berlibur ke
luar negeri; Hongkong, Jepang, Korea, Perancis, Italia, Jerman, Inggris dan
Amerika. Ketika banyak orang tua kaya di negara ini merasa terhina dan hilang
harga dirinya jika berlibur mengelilingi Indonesia yang membuat kagum banyak
penjelajah dan petualang luar negeri dan menjadi rebutan berbagai macam bangsa
Barat dan Asia. Apa yang akan terjadi kelak? Terlebih, jika para orang tua ini
pun tak tahu banyak tentang kota, daerah, dan geografi negaranya sendiri
beserta budaya, bahasa, dan sebagainya. Sedangkan mereka menularkan
kecenderungannya kepada anak-anaknya yang juga mungkin tak akan pernah tahu apa
itu Macaca, Jalak Bali, hingga sekedar pohon Waru dan Bambu. Jadi generasi muda
yang modern dan berwawasan luas ini, menjelajahi dunia dengan kehilangan
pengetahuan akan negaranya sendiri. Dan jika kelak kecenderungan ini terus
berlanjut di tengah internasionalisasi Asean dan dunia, dan perang atau
keguncangangan ekonomi. Maka masyarakat negara ini akan runtuh dan kehilangan
pegangan. Runtuh? Siapa yang hari ini perduli akan hal itu? Ah para pejabat
publik kita saja tak perduli akan negara ini.
Aku
pun melangkah melewati deretan gerai cepat saji yang sangat penuh. Dari anak
kecil, remaja, hingga para orang tua. Melewati McD, KFC, Pizza Hut, Horapa,
Solari, dan tak ada yang memegang satu buku pun. Dan akhirnya aku menaiki
tangga menuju lantai tiga sambil melihat gerai Excelso yang dipenuhi oleh
orang-orang berduit dengan wajah putih, tampan, cantik dan beberapa berwajah
Tionghoa. Dan tak ada pembaca buku juga di situ. Tap tap tap. Kaki menaiki
tangga. Sampailah di Blendukbioskop 21, sambil memegang buku The Origin di tangan. Aku
pun masuk. Terlihat banyak orang yang menunggu di deretan kursi kecil berwarna
hitam. Suasananya telah berganti. Aku melangkah. Melangkah. Tiba di depan
toilet yang di dekatnya terdapat dua remaja dengan pakaian elegan seksi. Sangat
cantik. Tapi sayang, yang dia pegang hanyalah handphone. Tipe biasa. Aku pun
masuk toilet. Menuntaskan air seni. Lalu keluar melewati remaja seksi yang
tadi, yang masih tetap sibuk menyembah handphonenya. Dan aku berani bertaruh,
kita selama ini lebih banyak menundukkan kepala untuk gadget dari pada tuhan,
orang tua, atau pasangan hidup kita.
Aku
keluar dari bioskop. Lalu berjalan keliling lantai tiga. Melewati Pazzo
Pancake, Tong Tji Tea Bar, dan tak ada pembaca juga di situ. Memimpikan orang
membaca di mall itu bagaikan memimpikan ikan paus bungkuk jatuh dari langit.
Dan karena mall pada akhirnya membosankan dan hanya sekedar itu. aku pun
keluar. Berjalan menuju lantai satu. Membawa The Origin di tangan. Sesekali ada seorang perempuan Tionghoa muda yang
melirik apa yang ada di tangan aku. Aku akan senang, jika dia tahu siapa itu
Darwin. Maksud aku membawa buku di jalan-jalan, tempat umum, dan berbagai macam
tempat adalah untuk membuat buku tidak dijadikan sebagai sebuah aib dan hal
yang memalukan. Agar buku memiliki ruang bernafas di tempat-tempat semacam ini.
Itulah impianku. Di umurku yang sekarang, aku masih belum melihatnya. Tapi aku
akan terus mencoba.
Aku
pun melewati gerai McD yang ramai di pintu masuk menghadap Matahari. Sangat
ramai. Lebih ramai dari pada sebuah gereja ketika Misa atau malam Paskah.
Dengan hati sedih karena nyaris tak ada perkembangan selama bertahun-tahun
lamanya. Aku pun berhenti, duduk, di dekat halte BRT yang penuh dengan anak
sekolahan, yang dibelakangnya sesak dengan sepeda motor. Di sebelahku, ada
bapak-bapak bertopi angkatan laut. Membuang puntung rokok sesuka hatinya di
bawah sebuah pohon. Begitu juga laki-laki yang ada di belakang diriku. Sekarang
waktu menunujukkan angka 16:12, dan masih cukup panas. Banyak puntung rokok
berserekan dan beberapa sampah terlihat. Dan Simpang Lima didominasi oleh Asam
Jawa dan Glodokan. Sesekali Sawo Kecik, Angsana dan juga sawit terlihat. Semilir
angin terkadang lewat menembus ruang sesak di berbagai macam tempat. Dan
seperti inilah suasana Simpang Lima Semarang. Tak ada pembaca buku sedikit pun
di tempat umum.
Sesekali
aku membaca The Origin. Lalu aku
menuju tempat paarkir. Bergegas ke kota lama. Pengemis yang tadi siang, masih
menunduk dengan memelas di aspal yang tak kunjung dingin. Dan seperti biasanya,
semua orang sudah kebal terhadap hal semacam itu. Mereka pun hanya sekedar
lewat. Perasaanku tiba-tiba agak sendu. Aku rindu seseorang.
Melewati
pasar Johar yang hangus dan bagai diledakan pesawat pengebom dari angkasa. Sisa
kebakaran membuat bangunan itu mirip hunian hantu. Dan, toko buku yang pernah
aku datangi hampir setiap hari entah sekarang ada di mana. Setidaknya, jalanan
kini tak seburuk dan seberantakan dulu. Kebakaran membuat jalanan kini semakin
lebar dan tak terlalu sibuk dengan kemacetan. Orang Indonesia, terlebih Jawa,
entah kenapa, lebih suka terkena bencana lebih dahulu baru mau berubah. Berubah
secara terpaksa. Itulah moto besar hampir semua kota besar yang ada di
Indonesia. Dan mungkin juga masyarakat dan pemerintah yang ada di pusat sana.
Besok kita harus memiliki jadwal rutin bencana alam dan manusia atau dijadikan
kurikulum baru mengenai peningkatan kesadaran para siswa. Bahwa bencana adalah
baik untuk orang Indonesia. Dan sangat baik untuk orang Jawa yang lambat kalau
sudah terlalu kenyang. Bencana yang rutin akan meningkatkan kesadaran
masyarakat akan lingkungan, keselamatan, dan membawa perubahan seketika. Jadi,
bencana alam dan manusia itu lebih cepat sasaran dari pada Undang-Undang,
Peraturan Presiden, atau bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam hal
menyadarkan penduduk. Tidakkah masyarakat Riau dan Sumatra baru menganggap
penting kebersihan udara saat hutan mereka terbakar? Dan mungkin, seandainya
tak ada perang dunia kedua, masyarakat lebih suka hidup di bawah Belanda dari
pada merdeka. Dan seandainya Jepang baik hati, mungkin masyarakat akan sangat
bahagia memilih Jepang sebagai tuan mereka. Dan tak perlu repot-repot
memikirkan kemerdekaan.
Di
depanku, kini terdapat gereja tua, Blenduk, yang menjadi ikon kota tua
Semarang. Dan taman Srigunting yang menjadi pusat kota lama milik
Hindia-Belanda. Aku berada di dalam Little Netherland. Sebuah kota yang dulu
dikelilingi benteng dan kanal. Sebuah kota Belanda di tanah tropis. Dan sebuah
kota yang sangat tak terawat, berantakan, dan kini terkesan bagaikan sehabis
ditimpa perang. Kota tua adalah kota yang terlantar. Sama halnya kota lama
Jakarta yang sangat mengerikan untuk sekedar dilihat. Sudah tak mampu membuat
bangunan, tata kota dan lingkungan yang lebih bagus. Bisanya menelantarkan
apa-apa yang sudah ada dan lebih baik dari pada sekarang. Itulah pemerintah
kota. Dan seperti itulah Indonesia. Dan kerjaan anak muda dan wisatan hanyalah
sekedar selfie dan mengambil foto. Aku pun memarkir motorku di samping gereja.
Kaki
melangkah ke belakang Gereja. Melewati pasar barang antik. Memandang Semarang
Contemporary Art yang pintunya terkena musibah seniman yang gagal. Dan berjalan
menuju jalan Garuda. Ada sebuah taman kecil yang dibangun cukup indah beserta
kursi-kursi. Baru-baru ini dibangun. Aku pun duduk. Melihat bangunan yang kini
dimiliki PT Waringin Jati dan ada tulisan di bangunan itu, BOOSUMY. Membaca
sebentar Nusantara. Mengamati
sekitar. Semua orang, anak muda, sedang merayakan berfoto ria. Taman mungil
yang seharusnya indah ini, tak akan menyenangkan jika tak ada sampah
berserakan. Sama halnya dengan galeri seni tadi dan area kota tua ini. Sampah
adalah warga kota yang kelak harus diberi kartu penduduk. Karena langit sudah
mulai gelap, aku pun berjalan ke arah Tawang. Melewati bangunan yang hendak
rubuh. Ditumbuhi berbagai macam tanaman rambat. Sampah. Sampah. Dan sampah di
selokan. Sampah di sudut-sudut. Sampah dibakar. Sampah digenangan air. Dan sampah
di aliran air menuju polder. Sampah di bawah tiang listrik. Sampah di jalan
raya. Sampah di gorong-gorong.
Kota
ini tidak hanya terancam oleh penurunan tanah, air rob serta banjir atau
pemanasan global serta perubahan ilkim. Tapi juga terancam oleh warga Semarang
itu sendiri dengan kepala mereka yang isinya entah apa selama ini.
Melewati
bangunan Gabungan Koperasi Batik
Indonesia yang dibawah namanya, sampah menjadi hal yang wajar. Aku pun
berjalan. Menyaksikan jembatan Mberok yang memiliki sungai yang kotornya sangat
terkenal. Sampah berkerumunBlenduk bagaikan kawanan ikan. Dan menunggu kendaraan yang
seolah bagai tiada habisnya. Menyeberang pun butuh kesabaran. Aku berada di
bawah tatapan bangunan terlantar milik PT.
Perkebunan XV, menyaksikan suara walet yang ribut dan menyenangkan. Lalu
memasuki gang yang biasanya dijadikan tempat untuk berjualan dan adu ayam jago.
Bangunan-bangunan tampak suram. Lebih suram dari pada kastil vampire yang
terdapat di layar bioskop. Dan sampailah di Gereja Blendek dan Taman Srigunting
yang berisikan sampah Oreo, Nii Greentea, Puntung Rokok, Plastik dan
sedotannya, botol Aqua, tisu, dan lainnya. Karena ini hari minggu, banyak
muda-mudi sedang asyik memadu kasih.
Aku
pun bergegas ke tempat parkir. Menyalakan motor. Membayar dua ribu. Melewati
kendaraan yang banyaknya bagaikan semut. Dan tibalah di Gramedia jalan pemuda
yang kini diubah menjadi Gramedia Balaikota. Gramedia yang sepinya mirip
kuburan. Benar-benar sangat sepi dan hampir tak ada orang sama sekali kecuali
para pekerjanya sendiri. Gramedia ini banyak berubah. Lantai dua diubah menjadi
tempat buku dan banyak sekat kaca yang terlihat tak menyenangkan. Lantai tiga
tertutup sudah. Padahal, dulu tempat ini cukup menyenangkan untuk melepas bosan
sambil membaca dengan duduk atau tiduran. Dan sesekali melihat anak-anak SMA
keluar dan menunggu di halte bus. Gramedia Pandanaran saja sepi. Apalagi di
sini? Walau di sekelilingnya banyak gedung pemerintahan, gedung sekolah dan
sangat dekat dengan Tugu Muda. Sepinya toko buku ini memang sangat miris dan
cukup dijadikan asalan bahwa tak banyak pencinta buku di kota ini. tapi,
kelebihannya, aku bisa tiduran di bawah rak-rak yang ada di toko buku ini.
karena nyaris tak ada orang kecuali satu dua yang akhirnya datang. Karena bosan dan lelah, aku mengambil buku Negeri Para Roh. Hanya aku pegang
sebentar saja. Lumayan. Lalu aku taruh lagi di rak. Lalu mengambil manga My Little Monster dan menghabiskannya
dengan riang.
Karena
suasana sangat suram di tempat ini, aku pun keluar menuju Simpang Lima.
Melewati Tugu Muda, Lawang Sewu dan bangunan kuno bekas Res Republica. Dan Taman KB yang ramainya mirip pasar malam. Macet. Motor dan mobil
terparkir di mana-mana. Aku pun sudah berada di angkringan yang biasa aku
nikmati yang berada di depan masjid Baiturrahman. Tak lama kemudian, sehabis
maghrib datang, aku langsung ke tempat teman aku yang berada di perbatasan
Semarang-Demak, yaitu Sayung. Menginap di sana. Berbincang mengenai banyak hal
tentang pendidikan Indonesia yang kacau. Susahnya menjadi orang baik di
masyarakat. bertukar cerita tentang sejarah masa lalu. Candi sukuh. Politik di
Indonesia. Hingga akhirnya tertidur pada jam 03:00 pagi. Aku pun esok harinya
malas untuk bangun. Lelah. Terbangun jam 06:00 lalu mencoba untuk tidur
kembali. Dan akhirnya, harus siap-siap untuk melihat Semarang. Makan. Dan
akhirnya pergi ketika waktu menunjukkan 11;36. Temanku itu adalah salah satu
orang baik yang tak akan aku lupakan.
Aku
pun melewati jalan Kaligawe yang rumah-rumahnya tenggelam dan hancur
ditinggalkan. Benar-benar mirip kota yang bakal ditenggelamkan oleh air dan
tanah. Masa depan yang suram untuk bagian utara kota Semarang.
Melewati
Universitas Sultan Agung yang yang benar-benar bodoh. Tanah terus turun dan
nyaris tenggelam, tapi pohon-pohon ditebangi dan cekungan air ditimbun untuk
membuat berbagai macam bangunan yang menjulang tinggi yang jelas akan menekan
permukaan tanah yang sudah sangat labil itu. Biarlah. Itu urusan mereka. Aku
pun melewati jalan Tenggang, Kaligawe Raya, Sawah Besar, Tlogosari, hingga
Gajah yang yang rumah-rumahnya amblas ke tanah. Jalannya rusak dan ditinggikan
berkali-kali. Sementara itu sungai yang mengalir nampak mengerikan. Berisikan
berbagai macam sampah dan berwarna tak karuan. Semarang Utara benar-benar kota
yang hancur.
Aku
kini berada di Masjid Agung Jawa Tengah yang sangat ramai. Baru mau masuk saja
mata sudah disuguhi sampah di mana-mana. Masuk di tempat parkir, sampah
berkerumun di bawah tanaman hias dan di berbagai macam tempat. Di pelataran
masjid, di tangga, di kolam dan di mana-mana. Dan Masjid yang baru dibangun
beberapa tahun ini, sudah mirip bangunan kuno berabad-abad yang lalu. Lantai
retak, dinding retak, kusam dan seolah bagaikan tak terawat dengan baik.
Benar-benar bagaikan rumah Tuhan yang terlantar yang kini hanya dijadikan
sebagai tempat wisata dan berfoto ria. Dulu, biasanya tempat ini digunakan
untuk bermesraan dan berpacaran. Ada petugas untuk menertibkan mereka. Tapi
kini, tempat ini bagaikan bangunan kuno yang baru ditemukan beberapa abad
kemudian. Sangat ramai. Malah luar biasa ramai. Dan sampah pun sangat ramai
menghiasi semua tempat. Tong sampah pun hanya segelintir di tempat seluas ini. Orang
Islam tak pernah memiliki kepandaian untuk membersihkan rumah ibadahnya. Dan
kesadaran akan lingkungan mereka sangat rendah. Itu adalah fakta dan harus
diakui. Tak ada masjid yang cukup bersih yang pernah aku lihat. Semua masjid
selalu bersampah dan tak terawat dengan benar. Itu juga berarti, pola kesadaran
dan kecerdasan banyak dari mereka sangat rendah. Apakah itu juga berarti ilmu
pengetahuan mereka juga rendah? Mungkin.
Gerimis.
Lalu hujan. Dan gerimis lagi. Aku pun segera mencari makan di sekitar Peleburan
Undip. Di tempat biasa yang aku datangi dan aku gunakan untuk membaca; Waroeng
Si Boy. Ini adalah tempat kesukaanku sejak dulu. Aku sering berlama-lama di
sini. Membaca buku sambil makan. Yah, aku adalah seseorang yang sangat suka
membaca buku dengan tangan memegang sendok. Dan tempat makan yang paling aku
sukai selain tempat ini adalah kantin Universitas Sultan Agung. Aku sangat
betah membaca di kantin itu. Cukup lama aku di sini Menikmati Nusantara karya Bernard H. M. Vlekke.
Dan merenungkan kehidupanku yang terasa kosong dan hampa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar