Kamis, 12 Mei 2016

SEMARANG: KOTA NERAKA















Sekarang ini, apa yang menyakitkan adalah kecantikan.
Nomi Wolf
Mitos Kecantikan




Jika ada sebuah kota yang pada siang hari sangat menjengkelkan, itulah Semarang. Panasnya benar-benar tak bisa lagi dijelaskan oleh kata-kata. Kadang aku berpikir, apakah ini markas besar para iblis di Asia Tenggara? Yah, mungkin. Atau pada dasarnya, lajur pantura adalah wilayah yang harus dimasukkan sebagai produk gagal sebuah kota. Jika orang beragama benar, inilah tempat paling berdosa di Indonesia selain Jakarta dan beberapa kota lainnya. Panas adalah cerminan dosa itu. Lalu, apakah Timur Tengah dan Afrika panasnya tidakkah lebih mengerikan lagi? Yah, tidakkah banyak nabi lahir dari sana? Itu berarti di sanalah asal mulanya dosa besar berada. Kalau dipikir-pikir lagi, indeks suhu lingkungan atau udara panas suatu kota bisa dijadikan pegangan untuk mengukur tingkat keimanan, kesadaran, wawasan dan ilmu pengetahuan, empati, hingga nasionalisme dan spiritualisme suatu kota dan daerah. Bahkan tingkat kecerdasan suatu kota. Mungkin ini terlihat mengada-ada. Tapi benar-benar sangat mungkin.

Di pedalaman pegunungan Asia, ada seorang raja, Wangchuk, yang pada tahun 1973 mengeluarkan gagasan berupa Kebahagiaan Nasional Bruto. Mungkin itu terdengar gila. Tapi tak masalah, negara ini bahkan lebih gila dari pada Bhutan. Ya, di Bhutan sana, seorang raja sedang ingin mengukur warganya dengan ukuran kebahagiaan bukan ekonomi seperti yang berada di negara-negara Barat. Banyak orang mengatakannya absurd karena kebahagiaan tidak bisa diukur. Sejujurnya ini sama saja dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang keterlaluan pintarnya ingin membuat seluruh masyarakat di lima benua menjadi sejahtera dan keluar dari garis kemiskinan. Lalu, siapa juga yang bisa mengukur kemiskinan di masing-masing hati orang? Dan jika pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia serius akan hal semacam itu, seharusnya orang-orang Belanda mulai dari sekarang harus belajar marah-marah dengan lebih baik lagi. Karena negara mereka akan disapu oleh ombak dan pemanasan global jika pada suatu nanti seluruh orang di dunia keluar dari kemiskinannya. Itu berarti, jika seluruh dunia mengalami kemakmuran, warga Belanda akan tenggelam. Jika aku adalah seorang Belanda, akan aku buang dan injak-injak sistem ekonomi sejak Adam Smith hingga perluasaan kapitalisme dan populisme hari ini. Siapa yang mau rumah digusur dan negaranya tenggelam karena keinginan aneh para pemimpin lembaga dunia dan sistem ekonomi hari ini yang juga sangat anehnya?

Dan semarang adalah salah satu kota tertolol di dunia yang pernah ada. Dan di dalamnya, juga ada sebuah universitas terkonyol sedunia. Jadi, seharusnya tak masalah jika kita bisa membuat indeks kecerdasan hingga iman suatu masyarakat lewat suhu lingkungan dan wajah kota secara ekologis. Tidakkah Majelis Ulama Indonesia bisa dengan mudahnya melabeli hijab dengan halal dan haram hanya karena bahan yang dibuat memasukkan unsur babi di dalamnya? Aku rasa, Indonesia memiliki para ulama yang masih kurang pintar dan cerdas. Sangat disayangkan. Tapi tak mengapa. Lagian masyarakat negara ini juga sudah terbiasa memilih pemimpin yang kurang bisa berpikir sejak dahulu kala. Jika halal dan haram memang ada menurut agama. Maka, semua yang ada di dunia ini, dari mulai laptop, mobil, motor, hingga berbagai teks buku serta celana dalam, semuanya haram. Karena bahan-bahan untuk membuatnya, dari mulai listrik hingga bahan bakunya, berasal dari sebuah negara yang mungkin ateis, penjahat perang, hasil perampokan, barang ilegal, menghancurkan suatu daerah, suku dan bangsa tertentu atau sangat tak ramah lingkungan dan membuat orang lain menderita. Mana ada orang beragama yang memakai celana dalam buatan sebuah perusahan yang merusak terumbu karang mungkin. Atau jilbab yang dibuat dengan merusak sungai-sungai dengan bahan tercermar. Jadi, jika masih banyak orang beragama semacam itu, sangat disayangkan. Atau anggap saja biasa. Indonesia adalah tempat segala sesuatunya pada akhirnya menjadi biasa dan tak perlu dipikirkan dalam-dalam. Masa depan pun, dipikirkan hanya sejauh masih hidup.

Ngomong-ngomong soal dosa, aku tak begitu perduli dengan hal itu. Yang jelas, jika berbagai agama menganjurkan mengasihi alam dan menjaganya. Maka masyarakat kota ini gagal menjalankan agamanya. Dan selain itu, jika di sini banyak aktivis lingkungan, para humanis, pembela kebenaran, dan sederet universitas besar. Maka semuanya gagal. Kota sepanas dan seberantakan ini, pasti diisi oleh orang-orang tak waras yang hidupnya menganut optimisme bodoh. Karena sepanas apa pun suatu kota, pohon-pohon akan meneduhkannya.

Dari pada cinta pohon, kota ini, pemerintahannya lebih menyukai uang dan pertumbuhan ekonomi. Karena itulah, di sepanjang jalan menuju simpang lima, hanya ada sedikit pohon-pohon yang terlihat. Semuanya hampir adalah bangunan dan jalan raya. Kaki dan tanganku pun benar-benar bagaikan melepuh terkena sinar matahari dan panas kota ini. Ditambah laju motor yang aku naiki pun tertatih-tatih karena banyaknya kendaraan bermesin di jalanan. Semarang memiliki jalan utama yang cukup lebar. Tapi lebar jalan pun seolah-olah hampir tak mampu menampung jumlah kendaraan yang lewat dan berada di jalanan. Sudah panas, macet, dan membosankan. Benar-benar neraka kehidupan yang sebenarnya.

Aku pun sampai di simpang lima yang semakin tertata rapi dan elegan. Dalam artian tertentu indah. Dan keindahan selalu saja menipu. Untuk apa jika simpang lima dan sekitarnya indah tapi pohon-pohon dipangkas dan ditebangi? Apagunanya keindahan jika panasnya benar-benar bisa membuat orang jengkel, marah-marah dan membuat otak tak mampu bekerja maksimal dan berpikir secara lebih serius?

Setelah melingkari sebagian simpang lima aku tiba di Masjid Baiturrahman yang nyaris berhadap-hadapan dengan Citra Land Mall. Tidak di Bandung tidak juga di Bogor. Di Semarang pun, masjid raya atau masjid agung berdampingan dengan berbagai macam plaza atau mall. Aku pun memasukkan motorku melewati gerbang masjid. Disambut oleh seorang pengemis yang menundukkan kepala dan tangannya di aspal yang sangat panas. Lebih tepatnya, tidur di atas tungku neraka di siang hari yang mengerikan. Menuju loket parkir, membayar tiga ribu rupiah, masih heran dengan pengemis yang cacat tadi, lalu mencari ruang kosong untuk memarkir motorku. Yah, bisa dibilang, nyaris penuh. Dan entah ada berapa ratus atau ribu motor di area masjid ini. Lalu kaki melangkah. Tap tap tap. Sampah oh sampah...kenapa kau selalu identik dengan rumah ibadah dan orang beragama? Yah, di area masjid ini, bahkan di tangga masjid, di pintu gerbang masjid, sampah plastik dan kertas bertebaran di sana-sini. Mungkin juga sampah masyarakat. Jika menyoal alam, apakah manusia adalah sampah alam? Biasa jadi. Bisa dipikirkan lagi. Menarik juga. Patut direnungkan.


Tap tap tap. Berjalan lagi di tengah terik neraka. Melewati pengemis yang selonjoran dengan sedikit iba. Sekedar melewatinya seperti kebanyakan perempuan berjilbab lainnya yang sekedar lewat. Lalu berbelok ke kanan, ke arah selatan, berjalan di pedestrian, disambut lagi pengemis dan baru saja melangkah beberapa meter, ada seorang gelandangan yang tidur pulas diapit dua pohon Angsana. 

Sejak dulu kala, kota ini masih memelihara gelandangan dan para pengemisnya di pusat kota yang sibuk dengan orang-orang berduit tebal dan juga berhati tebal. Dan para manusia lainnya, entah itu mungkin Muslim, Kristen, Buddhis, Spiritualis, penganut Hindu hingga Agnostik, Ateis, Nasionalis, dan kaum murtad lainnya, berjalan dengan elok dan penuh gaya melewati seorang gelandangan kumal yang beratap dahan pohon dan berkasurkan marmer. Begitu juga mungkin pengkhotbah Marxis, Marhaen, anggota serikat buruh hingga penganjur populisme hingga para pengusaha yang berlabel CSR lewat dengan menganggap tak ada apa-apa. Laki-laki perempuan bergandeng tangan. Ibu-ibu. Bapak-bapak. Kakek. Nenek. Cucu. Oma. Opa. Mama. Papa. Ummi.. Abi. Cici. Kakak. Abang. Teteh. Dan mungkin, dari mulai Batak. Jawa. Tionghoa. Bugis. Toraja. Bajo. Papua. Sassak. Sunda. Bali. Hingga keturunan Betawi dan sederet ras lainnya, lewat dengan tenang dan penuh dengan tas belanja di tangan mereka. Menoleh sebentar. Lalu lanjut lagi untuk berjalan. Seperti itulah kehidupan sehari-hari.
Gedung Kesenian
Aku pun kembali berjalan di pedestrian baru, pergola baru, dan pohon-pohon yang cukup teduh walau tak terlalu banyak. Suasana cukup baru yang elegan. Menuju Gramedia. Melewati sampah. Sampah. Sampah. Yah, sampah lagi. eh sampah. Dan sampah lagi. barulah masuk lewat pintu parkir mobil sebelah timur yang dibuka sedikit dan tibalah di perpustakaan pribadi aku; Gramedia Pandanaran.

Kadang, dari pada pergi ke perpustakaan yang sumpek di samping Gedung Kesenian Taman Budaya Raden Saleh yang riwayatnya seperti orang sedang sekarat menunggu mati. Aku lebih memilih membaca di Gramedia ini, dan nyaris setiap hari. Adakalanya seminggu tujuh kali aku berada di toko buku ini. Yah, aku tak tahu apa ini gila, keranjingan membaca, atau mencari gratisan ilmu. Karena itulah, aku selalu menggap Gramedia ini adalah rumah keduaku bahkan aku anggap sebagai perpustakaan pribadiku! Yah, tinggal datang. menitipkan tas. Cari buku yang dibuka atau kalau tidak, ya buka sendiri segelnya, cari yang menarik, baru, atau sesuai kebutuhan, dan baca terus sampai tuntas walau itu harus beberapa hari menyelesaikannya. Tapi, aku jarang membaca sampai tuntas di tempat ini. Hanya beberapa kali dan itu pun buku-buku yang kurang dari seratus lima puluh halaman. LebihGedung Kesenian sering membeli buku yang menarik duniaku. Dan di sinilah aku membaca buku Alan Lightman, Mimpi-Mimpi Enstein hingga habis. Buku kecil puitis dan mempesona tentang Einstein dan waktu. Buku yang sampai sekarang masih aku kagumi dan terkadang aku baca kembali.

Percaya atau tidak. Aku berada di tempat ini dengan cara-cara yang wajar dan juga aneh. Sehabis sekolah. Lalu sehabis dari kampus. Dan sehabis demonstrasi entah menentang pemilu, presiden yang buruk, pendidikan yang mahal, atau kenaikan bahan pangan, hari buruh dan segala macamnya. Lalu sehabis demonstrasi dengan kaum fundamentalis. Atau sehabis menggelar aksi dengan Greenpeace, Earth Hour, atau mendeklamasikan puisi dengan komunitas sastra dan lain-lain. Yah, dulu, aku memasuki berbagai macam tempat. Mencari tahu segala kemungkinan. Berada di antara kaum sosialis. Fundamentalis agama. Lingkungan hidup. Sampai sekarang pun aku masih menganggap diriku sebagai pencinta lingkungan walau kadang bahkan lebih sering bersikap masa bodoh. Menjadi seorang pemikir bebas. Dan hari ini, seorang liberal. Entah sehabis demo, diskusi, observasi, melakukan tugas kuliah, sehabis mendampingi seorang anggota baru, dan banyak hal lainnya. Aku pasti menyempatkan diri ke tempat ini. Surgaku di tengah neraka panas yang membosankan.

Sampai di tempat parkir motor, aku langsung ke toilet. Menitipkan tas. Melihat sejenak pameran buku murah. Tak sengaja, mataku tertuju pada buku Mereka Bilang Aku Gila. Karena buku itu sangat aku inginkan sebagai salah satu bacaan untuk mengembangkan gagasan psikologiku, aku pun menanyakannya ke kasir. Dan harganya mengecewakan. Mahal. Buku bazar tapi masih mahal. Sangat meruntuhkan hati. Lalu, aku pun bergegas ke lantai atas. Penjaga perempuan yang aku kenal kini sudah tak lagi menjaga rak demi rak yang ada. Dan pada akhirnya, aku akan berpesta dengan buku-buku dan bernostalgia.

Aku salah satu jenis pelahap buku yang bisa menghabiskan berbagai macam jenis bacaan dari sains, psikologi, politik, sastra, sejarah dunia dan berbagai macam peradaban, antropologi, arkeologi, hingga astronomi dan komik. Jadi karena inilah, aku akan sangat kecewa jika bertemu dengan seorang yang lebih bodoh daripada aku. Dulu aku bisa dengan mudahnya menyebut seseorang dengan idiot, tolol dan goblok tepat di depan matanya dan banyak orang. Kadang Bahkan seringkali aku bisa kejam jika berkaitan dengan masalah intelektual dan gagasan. Aku tak rela jika ada orang yang lebih idiot daripada diriku di tengah dunia yang nyaris tanpa perang dan kesulitan ini. Sementara di sebarang benua lainnya, anak kecil pun menemukan berbagai macam persamaan matematika, fisika, dan sudah mampu berpikir filosofis. Jadi kebodohan luar biasa banyak orang di tengah-tengah situasi damai yang semu ini benar-benar tindakan keji dan kejam. Anak-anak muda yang usianya setara denganku atau jauh di bawahku lebih suka pergi bersenang-senang dari pada mencoba untuk menggagas dan melahirkan berbagai macam penemuan di bidang sains dan ide sosial hingga filosofis. Apa jadinya jika negara ini kelak diembargo dan terlibat dalam perang panjang sementara kita kekurangan para ilmuwan dan para pemikir yang akan menggagas ulang segala sesuatu? Apakah yang akan bisa kita pertahankan jika semua yang kita miliki kita peroleh dari pihak asing? Semua paten milik asing. Semua teori milik asing. Bahkan identitas kita sendiri dibentuk oleh orang dan bangsa asing. Dan aku benar-benar merasa dikhianati oleh sistem dan budaya pendidikan di Indonesia dengan berbagai macam pengajarnya yang sangat konservatis dan membutakan mata terhadap perubahan dan perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan. Dunia pendidikan kitalah yang membuat anak-anak jenius dan berbakat mati dan berguguran seperti nyaris tak berguna. Dan jika kelak bencana besar datang, siapa yang harus disalahkan?

Sikap dan pemikiran semacam itulah yang kadang membuatku merasa sendirian. Itulah yang juga membuatku menjadikan buku adalah teman seumur hidup. Tak tergantikan oleh siapapun. Karena beberapa waktu yang lalu aku diputus oleh seseorang. Jadi buku-bukulah yang tetap setia menemaniku. Di dunia ini, menjadi seorang yang baik dan rela berkorban untuk pasangan tidaklah cukup. Kebanyakan perempuan selalu meminta lebih dan lebih tanpa mau berkorban dan memikirkan penderitaan laki-laki yang menemaninya sepanjang waktu. Seperti itulah kebanyakan perempuan modern atau generasi yang disebut Don Tapscott sebagai generasi internet. Banyak dari mereka benar-benar hidup untuk mementingkan diri sendiri. Seperti itulah generasi baru yang diciptakan oleh para feminis dan melemahnya sistem patriarki yang mereka coba runtuhkan. Hanya saja, banyak dari mereka pun masih tak bisa keluar dari perasaan hampa dan kesepian yang menyiksa. Dan dengan kekayaan dari kedua orang tua atau dari mereka sendiri. Mereka pun akhirnya lari dari kenyataan dan berjalan di gelombang rapuh tubuh yang cantik, tergila-gila menunjukkan lekuk tubuhnya di depan semua orang, dan tergila-gila dengan berbagai macam hal yang bisa membuat mereka dikagumi dan dipuja-puji semua orang; terkhusus laki-laki. Tapi mereka tetap saja masih kesepian dan banyak yang mengalami gangguan jiwa. Terjebak dalam sebuah mitos, seperti yang ditunjukkan oleh Naomi Wolf dalam Mitos Kecantikan.

Banyak orang yang menganggap aku pintar. Bahkan dulu pernah ada seorang guru yang menganggap aku jenius. Selalu disukai oleh berbagai macam dosen yang memiliki pemikiran di atas orang kebanyakan. Dan pastinya, cara hidup dan berpikirku selalu dianggap aneh. Melenceng. Berbeda. Keras. Idealis. Bahkan unik. Banyak orang yang menganggap cara berpikirku berkebalikan dengan kebanyakan orang umum. Dan pemikiranku terasa baru, orisinil, dan terlalu jauh ke depan sehingga tak banyak orang yang mengerti. Yah, seperti itulah aku. Dan itulah salah satu yang membuatku memutuskan mengelilingi Jawa. Mengembara dalam keterasingan sekitar dan lingkunganku sendiri. Tapi aku selalu saja menganggap diriku tolol. Mudah lupa akan apapun dan benar-benar memiliki keterbatasan yang luar biasa. Pada dasarnya aku bodoh. Dan sangat menjengkelkan ternyata lebih banyak orang yang kebodohannya melebihi diriku ini. Dan itu terpampang di depanku setiap hari dengan berbagai macam buku tak jelas dan membosankan yang dipajang di rak-rak buku. Apakah tak ada pemikir yang mempesona dan berpikiran jauh di negara ini? seperti itulah pikiran yang terlintas, yang pada akhirnya berujung kecewa jika aku sedang memandang rak-rak yang memanjang di Gramedia.

Aku selalu mengagumi Gie dan Nietzsche. Dan aku menemukan apa yang tak berani mereka lakukan di dalam tulisan Alan Weisman, Dunia Tanpa Manusia.

Orang yang tak mengenalku, hari ini akan menyebutkan sebagai laki-laki tertutup. Pada dasarnya, aku tertutup untuk gagasan-gagasanku. Aku dalam suasana yang tak ingin banyak diganggu oleh siapapun. Aku sedang memikirkan banyak hal. Merencanakan banyak hal. Tentunya, mengurusi kejiwaanku yang nyaris hancur dan keinginan hidupku yang menipis setiap harinya. Pada dasarnya, salah satu bagian diriku disukai oleh banyak orang dan memang sisi lainya sangatlah liar dan gelap. Dan akhir-akhir ini, aku sedang menuju ke arah sisi tergelapku.

Tapi kali ini aku ingin menikmati buku-buku. Aku sudah berada di lantai dua. Melihat sekilas. Suasana masih sepi. Yah, tempat ini pun tak pernah benar-benar ramai. Dalam artian seramai Citra Land dan gerai cepat saji yang ada di dalamnya. Bahkan masjid Agung pun kalah dengan Mall, apalagi toko buku? Ah iya, Masjid Agung lebih banyak motor yang terparkir dari pada orangnya. Seandainya tempat ini mampu seramai bioskop 21, aku mungkin sedang dalam keadaan delusi atau setengah gila. Bisa jadi aku sedang tidak berada di dunia nyata. Semarang memiliki banyak pembaca buku itu nyaris tidak mungkin. Pasti lebih banyak pencinta seks dan caffe! Yah, itulah kenyataannya.

Aku pun berkeliling dari rak sastra, psikologi, hingga ke lingkungan dan perjalanan. Suasana benar-benar masih sepi. Angka jam digital menunjukkan 13:- dan itu pun tak berpengaruh apa-apa. Tempat ini baru akan ramai menjelang sore dan malam. Keramaiannya pun standar. Seandainya tempat ini adalah kuburan, mungkin aku akan berbeda ceritanya. Tapi ini tempat buku di salah satu lokasi paling strategis di seluruh Semarang! Perduli setan, aku pun terpaku di rak lingkungan. Tertarik dengan beberapa buku. Tepatnya tiga buku;Reformasi Perkotaan karya Eko Budihardjo, Lahan dan Kedaulatan Pangandari Gatot Irianto, dan Teknik Konservasi Badak dari tim WWF. Ingin sekali beli. Tapi sayangnya, aku tak mau membebani tasku dengan buku dan buku lagi. Terlebih, aku harus mulai berhemat. Tak banyak uang yang aku miliki akhir-akhir ini. Bisa-bisa nanti aku bangkrut dan gantung diri.

Lalu aku pun bergerak ke deretan politik, biografi, dan sosial. Di deretan rak ini, sejak dahulu kala, jika ada sekitar sepuluh orang yang berdiri atau duduk mengamati dan membaca selama sepuluh menit secara bersamaan itu sudah kejaiban dunia. Benar-benar keajaiban dunia. Melebihi pembuatan dan penemuan Borobudur.  Bahkan mungkin akan menjadi semacam mukjizat Tuhan. Jika ada salah satu ayat Tuhan dari salah satu agama yang berseru membacalah! Sementara umatnya sangat malas dan nyaris tak pernah membaca dan memegang satu buku pun, aku tak tahu harus bilang apa. Mungkin itu salah satu pembangkangan secara terang-terangan. Atau pengabaian dan penolakan agama secara serius dan membabi-buta. Dan itu pun sangat tercemin dengan sedikitnya orang Indonesia yang berprestasi secara internasional dan terlebih jika berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Entah di kalangan para ateis yang hidup diam-diam atau para penyeru agama yang berteriak-teriak. Kenyataannya, kita nyaris mengimpor segala sesuatu dari luar negeri. Dan rak-rak buku serta suasana toko buku ini, mencerminkan masa depan yang suram di kemudian hari.

Selama beberapa puluh menit aku di rak ini dengan memegang buku Zarathustra dari Nietzsche, hanya ada seorang perempuan yang melihat-lihat tak kurang dari lima menit. Sedangkan yang lain hanya anak kecil yang sekedar lewat. Ibu-ibu yang lewat untuk menuju rak agama. Dan laki-laki muda yang tak lama mengarahkan kedua bola matanya ke arah buku-buku.  Jadi, seandainya nanti bagian rak ini bisa terisi lebih dari dua puluh orang matanya sedang sibuk menyusuri buku. Mungkin kelak tuhan akan menghadiahi hujan salju dan musim dingin di kota ini.

Aku pun bergerak ke arah komik. Aku selalu suka komik. Terutama manga Jepang. Dalam artian banyak, sejak kecil aku suka dengan sejarah Jepang, perpolitikan, budaya hingga para mangaka yang menghasilkan berbagai macam  cerita bergambar yang bagiku kadang melebihi novel. Ketika novel-novel menjadi membosankan dan nyaris tak berkembang di negara ini. Aku pun lari ke manga. Banyak ide segar dan imajinatif di dalamnya. Manga adalah surga kreativitas dan gagasan baru yang kadang aneh, unik dan terasa tak mungkin ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dan benar-benar mempercundangi novel-novel yang terlihat monoton dan membosankan. Dan di antara deretan komik, ada seorang Tionghoa, muda, dan sangat cantik. Entah kenapa, aku selalu suka para perempuan Asia Timur. Terutama etnis Tionghoa, Jepang, dan Korea. Karena hampir di semua tempat di negara ini terdapat etnis Tionghoa. Terlebih di Semarang. Maka aku sangat senang jika mereka sedang asyik membaca buku. Seorang perempuan Tionghoa yang tengah membaca buku, bagiku sangat mempesona dan menakjubkan. Mengingat tak banyak orang di negara ini yang membaca buku. Begitu banyak orang Tionghoa yang juga mengikuti arus negara ini untuk tak membaca buku. Dan jika ada seorang Tionghoa membaca sebuah buku. Itu keajaiban dan menyenangkan untuk dilihat.

Aku pun membaca komik walau sebentar. Lalu lari ke rak sastra dan bahasa Indonesia yang isinya membuat mataku sakit.  Bagaimana tidak sakit jika isi raknya seperti ini; 101 Hari Menulis dan Menerbitkan Novel, Dasar-Dasar Ketrampilan Bersastra, Panduan Wacana dan Apresiasi Musikalisasi Puisi, Dasar-Dasar Ilmu Semantik, Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi dan lain-lain. Benar-benar mengerikan. Entah kenapa, aku jadi ingat tulisan-tulisan Saut Situmorang dalam Politik Sastra. Kita benar-benar kekurangan para kritikus sastra. Atau paling tidak, orang yang  berani menyuarakan pendapatnya tidak hanya sekedar apresiasi dan berlagak malu-malu atau pengecut. Sedangkan dibarisan novel, kita kekurangan orang yang cukup berani keluar dari arus dan tak hanya sekedar terjatuh pada kehidupan sehari-hari yang tak kunjung selesai. Pada dasarnya, sastra Indonesia bangkrut dan dalam keadaan sekarat. Tapi siapa yang perduli? Yah, bersastra itu mencari uang dan nama. Mencari sesuatu yang lebih besar itu tak berpotensi untuk dibaca dan dipuja. Jadi, seperti inilah sastra kita. Membosankan. Tak terlalu menarik untuk dibaca kecuali sastra masa Pram dan Ahmda Tohari. Atau Chairil Anwar. Itu pun dunia mereka berada dalam dunia keseharian. Dan tak ada generasi hari ini yang berani melampaui mereka kecuali berbagai macam eksperimen yang gagal.

Dalam bukunya, Memoar Seorang Filsuf, Bryan Magee menulis, “waktu yang dihabiskan untuk membaca literatur sekunder adalah kehidupan yang dijalani dalam kedangkalan; sedangkan waktu yang dihabiskan bersama karya-karya filosof besar adalah kehidupan yang dijalani dalam kedalaman samudra yang tiada batas” dan “salah satu hal terburuk dari ketergantungan terhadap literatur sekunder ialah karena hal itu berarti tenggelam sepenuhnya dalam kekeliruan-kekeliruan pemahaman orang lain, padahal melakukan kekeliruan sendiri saja sudah cukup buruk.”

Dan apa yang ditulis oleh kebanyakan orang di Driyakara, Kanisus dan Majalah Basis, hanya sekedar mengulan-ulang dan mengambil gagasan orang untuk ditulis kembali. Hanya sejauh itu. Apakah orang-orang dalam dunia filsafat kita begitu mengerikannya hingga hanya sekedar mengulang dan mengulang yang bisa dilakukannya? Dan puisGedung Keseniani, novel, cerpen, atau dunia pemikiran kita? Tak ada yang bisa menyaingi Homerus atau Zarathustra. Dan bahkan para ilmuwan kita masih harus berhutang banyak terhadap Darwin dan Wallace. Sedangkan psikologi di negara ini masih ketergantungan dengan Freud. Sungguh aneh. Begitu juga sastra mengikutinya layaknya orang yang tak memiliki mata. Apa tak ada yang lain selain Freud dalam dunia psikologi itu? Sedangkan para aktivisnya, masih sangat keranjingan dengan Marxisme yang sudah diserang habis-habisan oleh Karl R. Popper. Apa tak ada yang lebih menarik lagi selain Marxisme? Dan kebanyakan para penganut Marxisme pun otaknya seringkali berhenti diseputar itu saja. Sungguh perkembangan negara yang buruk jika masyarakat telat akan banyak hal tapi sangat tidak telat dalam mengonsumsi segala hal.

Tak banyak pembaca buku di Gramedia. Suasana masih sepi walau beberapa orang semakin memenuhi ruangan. Hanya saja, mereka berkumpul, berdiri, atau sibuk membaca di bagian novel, komik, psikologi populer, bisnis, dan agama. Sejauh itulah dunia yang ada di toko buku ini yang mencerminkan sebagian besar dari apa yang digemari warga atau mereka yang tinggal di kota ini.
Setelah merasa cukup dengan toko buku ini. Aku pun bergegas keluar. Berhenti sejenak di papan nama jl Gajah Mada. Lalu menyeberang menuju Citra Land Mall. Aku sering ke tempat ini hanya sekedar melihat-lihat. Nyaris tak pernah punya urusan penting di tempat ini kecuali di toko buku Gunung Agung. Dan di tempat inilah banyak remaja dan perempuan muda sibuk dengan dunia mereka. Dan harus aku akui sejak dulu bahwa tempat ini adalah ruang berkumpulnya para perempuan modis dan cantik. Tentunya dari kelas menengah ke atas atau kecukupan. Bagi laki-laki, tempat ini adalah surga. Tapi aku datang kemari ingin melihatt, apakah ada, dari sekian ribu orang yang ada di dalam mall ini, terlihat sedang memegang dan membaca sebuah buku?




Yah, aku pun berjalan di tengah-tengah kerumuman manusia. Bahkan jalan kaki di mall ini pun harus terkena kemacetan. Jalan kaki pun tersendat-sendat akibat terlalu banyaknya orang berada di dalam. Tapi tak mengapa, banyak perempuan cantik yang lewat jadi cukup untuk menebus kemacetan kaki. Di sinilah warga Semarang entah asli atau tidak, lebih banyak menghabiskan waktunya dari pada di toko buku atau rumah ibadah. Dan semua orang ingin tampil cantik, seksi, tampan, gaul dan modis.

Aku bergegas ke lantai dua. Langsung masuk Gunung Agung dan melihat deretan buku asing yang menarik hatiku. Ada Shaskespeare dan lain-lain di situ. Dan aku pun menemukan sebuah buku yang menarik mataku seketika; The Orgini of Species karya Charles Darwin, tentunya dalam bahasa Inggris. Aku pun mengambil satu lalu bergerak ke beberapa rak. Tak ada buku yang menarik. Sepi. Sedikit sekali pengunjung di toko buku ini. Tak sengaja aku melihat buku Jenghis Khan yang ditulis oleh John Man dalam bentuk hard cover. Sekian lama susah dicari, ternyata dicetak ulang lagi. Selain itu, yang paling menarik bagiku adalah dari Buku ke Buku karangan P. Swantoro.  Hanya saja cukup mahal. Walau begitu, bagiku, buku yang menarik itu tak terlalu mahal karena kandungan ilmu di dalamnya. Lebih baik membelanjakan uang untuk buku dari pada makanan atau pernak-pernik yang nantinya juga akan rusak atau lenyap dengan mudahnya. Ilmu akan bertahan lebih lama, terlebih jika menjadi sebuah karya. Dan tubuh, atau badan dengan segala kemewahannya ini, hanya sekedar bertahan kurang dari seratus tahun saja. Yah, akhirnya aku ke kasir, menyerahkan The Origin milik Darwin lalu keluar mengamati sekitar. Aku berada di lantai dua.Gedung Kesenian

Aku berjalan. Tap tap tap. Melewati perempuan muda yang kehilangan celananya. Tap tap tap. Payudara bergentayangan ingin keluar. Tap tap tap. Bokong yang nyaris tak tertutupi. Entah itu celana luar atau celana dalam berbahan kain, aku benar-benar tak mengerti. Tap tap tap. Perut dengan pusarnya sudah menjadi biasa di tempat umum. Dan, paha yang tak tertutupi hingga nyaris ke selangkangan, membuat aku sangat heran. Apakah aku sedang berada di rumah bordil atau pelacuran? Sedangkan laki-lakinya, terlihat biasa-biasa saja. Tak terlalu menarik. Banyak laki-laki hari ini lebih bodoh dari pada pihak perempuannya. Tampang pun tak terlalu mengesankan. Lihatlah saja negara ini yang bersifat kelaki-lakian. Negara dibangun laki-laki. Dikuasi laki-laki. Dan dihancurkan oleh para laki-laki. Dengan kekuasaan yang besar beserta budaya patriarkal yang masih kuat, banyak laki-laki yang tak mampu memaksikmalkan kesempatan ini untuk menghasilkan berbagai macam penemuan, paten, inovasi, ide, gagasan atau pemikiran baru dan berguna, dan tak becus mengurus negara ini dengan baik. Laki-laki di negara ini sedang mengalami dekadensi. Kemunduran. Seharusnya, para laki-laki yang hidup di masa ini sangat malu dengan berbagai macam prestasi perempuan baik di bidang ekonomi, akademik, sains, pemerintahan atau olah raga. Walaupun begitu, para perempuan hari ini yang semakin mandiri dan menguasai banyak bidang kehidupan, pun pada akhirnya jatuh dalam mitos kecantikan dan terlalu sibuk bergulat di dalamnya. Banyak dari mereka pun pada akhirnya hidup dalam kehampaan. Kita, baiGedung Keseniank laki-laki maupun perempuan, tercerabut dari akar-akar kita. Tapi, apakah sejak awal kita dilahirkan, kita memiliki akar yang kokoh?

Dan sedikit perempuan modern di negara ini, yang sibuk terlibat dalam gairah intelektual dan ilmu pengetahuan. Sedangkan para laki-lakinya, semakin hari lebih mirip dengan seorang pengemis dan pengangguran yang tak banyak berguna. Coba bayangkan, dengan total lebih dari dua ratus lima puluh juta jiwa, apa yang selama ini kita hasilkan dari mulai pemikiran, ide, teori, penemuan, dan berbagai macam teknologi lainnya? Sejak awal, negara dibentuk oleh para elit yang tak terlalu bernafsu mencerdaskan dan mencerahkan seluruh rakyatnya. Sejak zaman raja-raja, gubernur jenderal hingga para presiden. Kebijakan kita hanya berfokus untuk mendidik rakyat bekerja secara patuh, melancarkan aliran pertukaran barang, uang dan ekonomi. Serta hidup kecukupan dan damai. Sedangkan isi kepala tak terlalu penting. Apalagi isi hati dan nurani.

Apa yang membuat aku jengah dengan perempuan modern, seperti yang aku lihat di mall ini adalah mereka terlalu sibuk dengan penampilan dari pada keinginan kuat untuk menghasilkan berbagai macam penemuan, karya, dan semacamnya. Mereka telah menempati banyak posisi penting di berbagai macam bidang. Mereka mandiri secara ekonomi dan berkecukupan. Apakah mereka kelak akan mengulangi hal yang sama yang telah dilakukan laki-laki? Ketidakbecusan untuk memaksimalkan suatu masa yang relatif damai ini?

“Perempuan bekerja keras, bahkan dua kali lebih keras dibandingkan laki-laki,” seperti itulah yang ditulis Naomi Wolf dalam Mitos Kecantikan. Dan “Perempuan telah menyusup ke dalam tiap wilayah budaya maupun politik yang dikuasi laki-laki. Perempuan menduduki jabatan-jabatan yang semula ‘milik’ lelaki; akademisi perempuan mempertanyakan kesahihan posisi laki-laki di pusat bumi; atlet-atlet perempuan mengejar rekor laki-laki dan bahkan memecahkannya sampai berkeping-keping, reputasi laki-laki sebagai kesatria,” tulis dibukunya yang lain, Gegar Gender. Kita hanya melihat ibu atau mama kita masing-masing, kita akan sadar betapa luar biasanya perempuan. Aku mengakuinya. Hanya saja, perempuan hari ini, yang disokong oleh kemenangan banyak gerakan feminis, sekular, dan liberal, gagal membawa kesempatan ini semakin jauh. Benar-benar gagal. Dan kegagalan itu membawa kaum perempuan berada dalam kesakitan jiwa dan tubuh yang semakin dalam. Jika laki-laki sejak dahulu memang sudah sakit-sakitan. Perang dunia dan berbagai macamnya, para laki-lakilah yang melakukannya. Kini, para perempuan malah mengikuti apa yang dulu mereka kecam dari laki-laki.

Banyak orang tua negara ini, yang cukup kaya, lebih suka anaknya untuk berlibur ke luar negeri; Hongkong, Jepang, Korea, Perancis, Italia, Jerman, Inggris dan Amerika. Ketika banyak orang tua kaya di negara ini merasa terhina dan hilang harga dirinya jika berlibur mengelilingi Indonesia yang membuat kagum banyak penjelajah dan petualang luar negeri dan menjadi rebutan berbagai macam bangsa Barat dan Asia. Apa yang akan terjadi kelak? Terlebih, jika para orang tua ini pun tak tahu banyak tentang kota, daerah, dan geografi negaranya sendiri beserta budaya, bahasa, dan sebagainya. Sedangkan mereka menularkan kecenderungannya kepada anak-anaknya yang juga mungkin tak akan pernah tahu apa itu Macaca, Jalak Bali, hingga sekedar pohon Waru dan Bambu. Jadi generasi muda yang modern dan berwawasan luas ini, menjelajahi dunia dengan kehilangan pengetahuan akan negaranya sendiri. Dan jika kelak kecenderungan ini terus berlanjut di tengah internasionalisasi Asean dan dunia, dan perang atau keguncangangan ekonomi. Maka masyarakat negara ini akan runtuh dan kehilangan pegangan. Runtuh? Siapa yang hari ini perduli akan hal itu? Ah para pejabat publik kita saja tak perduli akan negara ini.

Aku pun melangkah melewati deretan gerai cepat saji yang sangat penuh. Dari anak kecil, remaja, hingga para orang tua. Melewati McD, KFC, Pizza Hut, Horapa, Solari, dan tak ada yang memegang satu buku pun. Dan akhirnya aku menaiki tangga menuju lantai tiga sambil melihat gerai Excelso yang dipenuhi oleh orang-orang berduit dengan wajah putih, tampan, cantik dan beberapa berwajah Tionghoa. Dan tak ada pembaca buku juga di situ. Tap tap tap. Kaki menaiki tangga. Sampailah di Blendukbioskop 21, sambil memegang buku The Origin di tangan. Aku pun masuk. Terlihat banyak orang yang menunggu di deretan kursi kecil berwarna hitam. Suasananya telah berganti. Aku melangkah. Melangkah. Tiba di depan toilet yang di dekatnya terdapat dua remaja dengan pakaian elegan seksi. Sangat cantik. Tapi sayang, yang dia pegang hanyalah handphone. Tipe biasa. Aku pun masuk toilet. Menuntaskan air seni. Lalu keluar melewati remaja seksi yang tadi, yang masih tetap sibuk menyembah handphonenya. Dan aku berani bertaruh, kita selama ini lebih banyak menundukkan kepala untuk gadget dari pada tuhan, orang tua, atau pasangan hidup kita.

Aku keluar dari bioskop. Lalu berjalan keliling lantai tiga. Melewati Pazzo Pancake, Tong Tji Tea Bar, dan tak ada pembaca juga di situ. Memimpikan orang membaca di mall itu bagaikan memimpikan ikan paus bungkuk jatuh dari langit. Dan karena mall pada akhirnya membosankan dan hanya sekedar itu. aku pun keluar. Berjalan menuju lantai satu. Membawa The Origin di tangan. Sesekali ada seorang perempuan Tionghoa muda yang melirik apa yang ada di tangan aku. Aku akan senang, jika dia tahu siapa itu Darwin. Maksud aku membawa buku di jalan-jalan, tempat umum, dan berbagai macam tempat adalah untuk membuat buku tidak dijadikan sebagai sebuah aib dan hal yang memalukan. Agar buku memiliki ruang bernafas di tempat-tempat semacam ini. Itulah impianku. Di umurku yang sekarang, aku masih belum melihatnya. Tapi aku akan terus mencoba.

Aku pun melewati gerai McD yang ramai di pintu masuk menghadap Matahari. Sangat ramai. Lebih ramai dari pada sebuah gereja ketika Misa atau malam Paskah. Dengan hati sedih karena nyaris tak ada perkembangan selama bertahun-tahun lamanya. Aku pun berhenti, duduk, di dekat halte BRT yang penuh dengan anak sekolahan, yang dibelakangnya sesak dengan sepeda motor. Di sebelahku, ada bapak-bapak bertopi angkatan laut. Membuang puntung rokok sesuka hatinya di bawah sebuah pohon. Begitu juga laki-laki yang ada di belakang diriku. Sekarang waktu menunujukkan angka 16:12, dan masih cukup panas. Banyak puntung rokok berserekan dan beberapa sampah terlihat. Dan Simpang Lima didominasi oleh Asam Jawa dan Glodokan. Sesekali Sawo Kecik, Angsana dan juga sawit terlihat. Semilir angin terkadang lewat menembus ruang sesak di berbagai macam tempat. Dan seperti inilah suasana Simpang Lima Semarang. Tak ada pembaca buku sedikit pun di tempat umum.

Sesekali aku membaca The Origin. Lalu aku menuju tempat paarkir. Bergegas ke kota lama. Pengemis yang tadi siang, masih menunduk dengan memelas di aspal yang tak kunjung dingin. Dan seperti biasanya, semua orang sudah kebal terhadap hal semacam itu. Mereka pun hanya sekedar lewat. Perasaanku tiba-tiba agak sendu. Aku rindu seseorang.


Melewati pasar Johar yang hangus dan bagai diledakan pesawat pengebom dari angkasa. Sisa kebakaran membuat bangunan itu mirip hunian hantu. Dan, toko buku yang pernah aku datangi hampir setiap hari entah sekarang ada di mana. Setidaknya, jalanan kini tak seburuk dan seberantakan dulu. Kebakaran membuat jalanan kini semakin lebar dan tak terlalu sibuk dengan kemacetan. Orang Indonesia, terlebih Jawa, entah kenapa, lebih suka terkena bencana lebih dahulu baru mau berubah. Berubah secara terpaksa. Itulah moto besar hampir semua kota besar yang ada di Indonesia. Dan mungkin juga masyarakat dan pemerintah yang ada di pusat sana. Besok kita harus memiliki jadwal rutin bencana alam dan manusia atau dijadikan kurikulum baru mengenai peningkatan kesadaran para siswa. Bahwa bencana adalah baik untuk orang Indonesia. Dan sangat baik untuk orang Jawa yang lambat kalau sudah terlalu kenyang. Bencana yang rutin akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan lingkungan, keselamatan, dan membawa perubahan seketika. Jadi, bencana alam dan manusia itu lebih cepat sasaran dari pada Undang-Undang, Peraturan Presiden, atau bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam hal menyadarkan penduduk. Tidakkah masyarakat Riau dan Sumatra baru menganggap penting kebersihan udara saat hutan mereka terbakar? Dan mungkin, seandainya tak ada perang dunia kedua, masyarakat lebih suka hidup di bawah Belanda dari pada merdeka. Dan seandainya Jepang baik hati, mungkin masyarakat akan sangat bahagia memilih Jepang sebagai tuan mereka. Dan tak perlu repot-repot memikirkan kemerdekaan.


Di depanku, kini terdapat gereja tua, Blenduk, yang menjadi ikon kota tua Semarang. Dan taman Srigunting yang menjadi pusat kota lama milik Hindia-Belanda. Aku berada di dalam Little Netherland. Sebuah kota yang dulu dikelilingi benteng dan kanal. Sebuah kota Belanda di tanah tropis. Dan sebuah kota yang sangat tak terawat, berantakan, dan kini terkesan bagaikan sehabis ditimpa perang. Kota tua adalah kota yang terlantar. Sama halnya kota lama Jakarta yang sangat mengerikan untuk sekedar dilihat. Sudah tak mampu membuat bangunan, tata kota dan lingkungan yang lebih bagus. Bisanya menelantarkan apa-apa yang sudah ada dan lebih baik dari pada sekarang. Itulah pemerintah kota. Dan seperti itulah Indonesia. Dan kerjaan anak muda dan wisatan hanyalah sekedar selfie dan mengambil foto. Aku pun memarkir motorku di samping gereja.

Kaki melangkah ke belakang Gereja. Melewati pasar barang antik. Memandang Semarang Contemporary Art yang pintunya terkena musibah seniman yang gagal. Dan berjalan menuju jalan Garuda. Ada sebuah taman kecil yang dibangun cukup indah beserta kursi-kursi. Baru-baru ini dibangun. Aku pun duduk. Melihat bangunan yang kini dimiliki PT Waringin Jati dan ada tulisan di bangunan itu, BOOSUMY. Membaca sebentar Nusantara. Mengamati sekitar. Semua orang, anak muda, sedang merayakan berfoto ria. Taman mungil yang seharusnya indah ini, tak akan menyenangkan jika tak ada sampah berserakan. Sama halnya dengan galeri seni tadi dan area kota tua ini. Sampah adalah warga kota yang kelak harus diberi kartu penduduk. Karena langit sudah mulai gelap, aku pun berjalan ke arah Tawang. Melewati bangunan yang hendak rubuh. Ditumbuhi berbagai macam tanaman rambat. Sampah. Sampah. Dan sampah di selokan. Sampah di sudut-sudut. Sampah dibakar. Sampah digenangan air. Dan sampah di aliran air menuju polder. Sampah di bawah tiang listrik. Sampah di jalan raya. Sampah di gorong-gorong.

Kota ini tidak hanya terancam oleh penurunan tanah, air rob serta banjir atau pemanasan global serta perubahan ilkim. Tapi juga terancam oleh warga Semarang itu sendiri dengan kepala mereka yang isinya entah apa selama ini.

Melewati bangunan Gabungan Koperasi Batik Indonesia yang dibawah namanya, sampah menjadi hal yang wajar. Aku pun berjalan. Menyaksikan jembatan Mberok yang memiliki sungai yang kotornya sangat terkenal. Sampah berkerumunBlenduk bagaikan kawanan ikan. Dan menunggu kendaraan yang seolah bagai tiada habisnya. Menyeberang pun butuh kesabaran. Aku berada di bawah tatapan bangunan terlantar milik PT. Perkebunan XV, menyaksikan suara walet yang ribut dan menyenangkan. Lalu memasuki gang yang biasanya dijadikan tempat untuk berjualan dan adu ayam jago. Bangunan-bangunan tampak suram. Lebih suram dari pada kastil vampire yang terdapat di layar bioskop. Dan sampailah di Gereja Blendek dan Taman Srigunting yang berisikan sampah Oreo, Nii Greentea, Puntung Rokok, Plastik dan sedotannya, botol Aqua, tisu, dan lainnya. Karena ini hari minggu, banyak muda-mudi sedang asyik memadu kasih.

Aku pun bergegas ke tempat parkir. Menyalakan motor. Membayar dua ribu. Melewati kendaraan yang banyaknya bagaikan semut. Dan tibalah di Gramedia jalan pemuda yang kini diubah menjadi Gramedia Balaikota. Gramedia yang sepinya mirip kuburan. Benar-benar sangat sepi dan hampir tak ada orang sama sekali kecuali para pekerjanya sendiri. Gramedia ini banyak berubah. Lantai dua diubah menjadi tempat buku dan banyak sekat kaca yang terlihat tak menyenangkan. Lantai tiga tertutup sudah. Padahal, dulu tempat ini cukup menyenangkan untuk melepas bosan sambil membaca dengan duduk atau tiduran. Dan sesekali melihat anak-anak SMA keluar dan menunggu di halte bus. Gramedia Pandanaran saja sepi. Apalagi di sini? Walau di sekelilingnya banyak gedung pemerintahan, gedung sekolah dan sangat dekat dengan Tugu Muda. Sepinya toko buku ini memang sangat miris dan cukup dijadikan asalan bahwa tak banyak pencinta buku di kota ini. tapi, kelebihannya, aku bisa tiduran di bawah rak-rak yang ada di toko buku ini. karena nyaris tak ada orang kecuali satu dua yang akhirnya datang.  Karena bosan dan lelah, aku mengambil buku Negeri Para Roh. Hanya aku pegang sebentar saja. Lumayan. Lalu aku taruh lagi di rak. Lalu mengambil manga My Little Monster dan menghabiskannya dengan riang.

Karena suasana sangat suram di tempat ini, aku pun keluar menuju Simpang Lima. Melewati Tugu Muda, Lawang Sewu dan bangunan kuno bekas Res Republica. Dan Taman KB yang ramainya mirip pasar malam. Macet. Motor dan mobil terparkir di mana-mana. Aku pun sudah berada di angkringan yang biasa aku nikmati yang berada di depan masjid Baiturrahman. Tak lama kemudian, sehabis maghrib datang, aku langsung ke tempat teman aku yang berada di perbatasan Semarang-Demak, yaitu Sayung. Menginap di sana. Berbincang mengenai banyak hal tentang pendidikan Indonesia yang kacau. Susahnya menjadi orang baik di masyarakat. bertukar cerita tentang sejarah masa lalu. Candi sukuh. Politik di Indonesia. Hingga akhirnya tertidur pada jam 03:00 pagi. Aku pun esok harinya malas untuk bangun. Lelah. Terbangun jam 06:00 lalu mencoba untuk tidur kembali. Dan akhirnya, harus siap-siap untuk melihat Semarang. Makan. Dan akhirnya pergi ketika waktu menunjukkan 11;36. Temanku itu adalah salah satu orang baik yang tak akan aku lupakan.

Aku pun melewati jalan Kaligawe yang rumah-rumahnya tenggelam dan hancur ditinggalkan. Benar-benar mirip kota yang bakal ditenggelamkan oleh air dan tanah. Masa depan yang suram untuk bagian utara kota Semarang.

Melewati Universitas Sultan Agung yang yang benar-benar bodoh. Tanah terus turun dan nyaris tenggelam, tapi pohon-pohon ditebangi dan cekungan air ditimbun untuk membuat berbagai macam bangunan yang menjulang tinggi yang jelas akan menekan permukaan tanah yang sudah sangat labil itu. Biarlah. Itu urusan mereka. Aku pun melewati jalan Tenggang, Kaligawe Raya, Sawah Besar, Tlogosari, hingga Gajah yang yang rumah-rumahnya amblas ke tanah. Jalannya rusak dan ditinggikan berkali-kali. Sementara itu sungai yang mengalir nampak mengerikan. Berisikan berbagai macam sampah dan berwarna tak karuan. Semarang Utara benar-benar kota yang hancur.

Aku kini berada di Masjid Agung Jawa Tengah yang sangat ramai. Baru mau masuk saja mata sudah disuguhi sampah di mana-mana. Masuk di tempat parkir, sampah berkerumun di bawah tanaman hias dan di berbagai macam tempat. Di pelataran masjid, di tangga, di kolam dan di mana-mana. Dan Masjid yang baru dibangun beberapa tahun ini, sudah mirip bangunan kuno berabad-abad yang lalu. Lantai retak, dinding retak, kusam dan seolah bagaikan tak terawat dengan baik. Benar-benar bagaikan rumah Tuhan yang terlantar yang kini hanya dijadikan sebagai tempat wisata dan berfoto ria. Dulu, biasanya tempat ini digunakan untuk bermesraan dan berpacaran. Ada petugas untuk menertibkan mereka. Tapi kini, tempat ini bagaikan bangunan kuno yang baru ditemukan beberapa abad kemudian. Sangat ramai. Malah luar biasa ramai. Dan sampah pun sangat ramai menghiasi semua tempat. Tong sampah pun hanya segelintir di tempat seluas ini. Orang Islam tak pernah memiliki kepandaian untuk membersihkan rumah ibadahnya. Dan kesadaran akan lingkungan mereka sangat rendah. Itu adalah fakta dan harus diakui. Tak ada masjid yang cukup bersih yang pernah aku lihat. Semua masjid selalu bersampah dan tak terawat dengan benar. Itu juga berarti, pola kesadaran dan kecerdasan banyak dari mereka sangat rendah. Apakah itu juga berarti ilmu pengetahuan mereka juga rendah? Mungkin.

Gerimis. Lalu hujan. Dan gerimis lagi. Aku pun segera mencari makan di sekitar Peleburan Undip. Di tempat biasa yang aku datangi dan aku gunakan untuk membaca; Waroeng Si Boy. Ini adalah tempat kesukaanku sejak dulu. Aku sering berlama-lama di sini. Membaca buku sambil makan. Yah, aku adalah seseorang yang sangat suka membaca buku dengan tangan memegang sendok. Dan tempat makan yang paling aku sukai selain tempat ini adalah kantin Universitas Sultan Agung. Aku sangat betah membaca di kantin itu. Cukup lama aku di sini Menikmati Nusantara karya Bernard H. M. Vlekke. Dan merenungkan kehidupanku yang terasa kosong dan hampa.

Perjalanan adalah kesepian yang begitu dingin. Perasaanku sangat tak menentu. aku sangat kesepian. Dan udara, terasa melemahkan nafasku. Aku rindu seseorang. Perempuan Tionghoa yang aku cintai. Dan kini, aku harus menekan perasaan ini dalam-dalam. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar