Sejak
masa kolonial hingga sekarang, pemerintahannya selalu berupaya menciptakan
wajah kota yang tidak sesuai dengan Jakarta, sebuah topeng yang tidak mampu
menutupi kesemrawutan kota yang meluas.
Susan Blackburn
Jakarta;
Sejarah 400 Tahun
...
negeri yang dalam perkenalan pertama terasa sangat menjijikan.
Riwayat perwira Prancis
1830
“Saat
kanak-kanak, aku sangat takjub pada Batavia.... Batavia, Babilonia negeri
tropis nampak seperti jarak tak terlampaui yang kukira tanahnya takkan pernah
kupijak dan udaranya yang harum tak akan pernah kuhirup,” ungkap Jules Lecrec,
seorang Prancis yang melakukan perjalanan ke Jawa dan sampai di Batavia pada
1895. Sayangnya, bayangan di otakku tidak seperti itu. Jauh dari keindahan
semacam itu. Sangat jauh. Jakarta yang aku kenal, yang menggeliat-geliat di
dasar pikiranku adalah monster yang menelan siapa saja ke mulutnya. Neraka yang
mengerikan yang akan membuat gila siapa pun yang akan memasukinya. Kota
berantakan dan menyebalkan yang tak perlu basa-basi untuk dikenang dan diberi
sanjungan khusus nan megah. Jakarta, yang dulu adalah Batavia, kota terindah
dari Timur, sekarang ini hanyalah kenangan masa lalu di buku-buku.
Kenyataannya?
Pasar
Rebo. Aku turun di pasar Rebo. 03:30 waktu Indonesia Barat, dan tentunya masih
sangat dingin. Pasar Rebo, ya Pasar Rebo. Lalu, mana pasarnya? Aku turun di
dekat Lotte Mart di bawah rindang pohon angsana, kalau tak salah, dan disambut
sopir taksi dan tukang ojek yang suaranya mirip itik kwek kwek kwek dan
beberapa orang yang sedang menunggu angkutan kota, jemputan dan lainnya. Aku
masih berpikir, mana pasarnya? Atau di dalam bayanganku, kalau tidak pasar, itu
sejenis terminal semacam terminal Kampung Rambutan yang juga sedang
bergentayangan di dalam angan-angan.
Sekarang
ini, aku bagaikan sosok manusia yang entah dari mana, menunggu ketidakjelasan
dari kota yang sejak awal memang tidak jelas. Memang ada yang percaya jika
Jakarta itu jelas dan tidak buram?
Udara
dingin. Hidungku sedikit tersendat. Aku duduk di pinggiran trotoar, yang
tentunya hampir musnah. Jika ada trotoar yang bagus di Jakarta, mungkin aku
akan menenggelamkan diriku ke lautan pasifik sekarang juga. Jangkrik-jangkrik
berloncatan kesana-kemari. Hah, jangkrik? Ternyata, di belakangku ada setumpuk
plastik menggelembung yang di dalamnya berisi, mungkin ribuan jangkrik-jangkrik
mungil, yang akan menjadi santapan lezat para burung, ikan, dan lainnya.
Kasihan betul nasib jangkrik-jangkrik malang itu.
Bus,
angkot, dan orang lalu lalang datang dan pergi. Mencari penumpang. Menurunkan
penumpang. Merayu penumpang. Menakuti penumpang. Dan menjengkelkan calon
penumpang. Dan di latar belakang yang agak jauh, beberapa orang terlihat lahap
menyantap makanannya dari pedagang bergerobak. Beberapa mobil, motor, datang
dan terlihat sibuk memunguti barang-barang dari orang yang dijemput. Aku
menghubungi pak Roman. Tak ada jawaban. Mungkin masih di perjalanan. Akhirnya,
aku memutuskan untuk menghubungi temanku yang katanya berada di dekat sini.
Masalahnya, saat aku memencet-mencet aplikasi Go-jek di layar tabletku, biaya
dari Jakarta Timur, Pasar Rebo ke Kemayoran sungguh mencengankan. Sampai aku
harus mengedipkan mata beberapa kali; Rp 133.000. Ini serius? Ini benar-benar
kenyataan bukan? Waw, ditambah beberapa puluh ribu saja aku sudah balik lagi ke
Jogja!
Menunggu.
Menunggu. Mendengarkan album Sinestesia dari Efek Rumah Kaca. Masih menunggu.
Ah, akhirnya datang juga motor dengan pengendaranya yang cukup gembur berambut
keriting itu; Rizal, begitulah aku menyebutnya. Atau lebih tepatnya dia
menyebut dirinya sendiri.
Dibawalah
aku berlenggak-lenggok menuju tempat yang aku kira dekat, eh, ternyata cukup
jauh. Dan anehnya, Jakarta lebih terasa menyenangkan di Fajar hari. Hampir di
kota manapun, kesenangan hanya ada di kala Fajar. Kami pun melewati pasar pagi
yang sibuk dengan ibu-ibu. Bapak-bapak. Pedagang sayur. Buah-buahan. Ikan.
Bumbu dapur. Rempah. Lauk pauk dan segala macamnya. Tidak di Jakarta tidak di
kota dan desa, pasar suasanya hampir sama saja. Tidak di Jogja, Bandung,
Semarang, dan lainnya.
Setelah
melewati berbagai macam tikungan dan rumah-rumah yang cukup mengenaskan karena
ini adalah Jakarta, sampailah kami di sebuah masjid. Memarkir motor. Menuju
sebuah tempat yang agak berantakan. Sejujurnya memang berantakan.
“Maaf
ya Bro, kalau tempatnya semacam ini,” katanya, dengan nada yang kurang garang
dan malah terkesan lembut. Sangat jauh dari kesan fisiknya. Dan ternyata
orangnya cukup pemalu. Baiklah.
“Oh,
tak masalah. Yah mau di manapun, sudah biasa. Malah aku yang harus banyak
berterimakasih,” balasku dengan cukup riang.
Kami
kenal baru beberapa hari. Dia bercerita banyak mengenai tulisan-tulisanku di
blog dan lainya. Mencari diriku di Facebook dan Instagram. Memberanikan diri
untuk menyapaku lebih dulu dan lain-lain. Seolah-olah, aku ini binatang langka
yang perlu malu-malu dan takut-takut untuk didekati. Ternyata beberapa orang,
mungkin, ingin berkenalan tapi takut untuk berkenalan dengan diriku ini. Laki-laki
agak gila. Cukup garang. Dan seringkali lebih tak jelas dari pada jelasnya. Pada
waktu tertentu tiba-tiba jadi sangat tertekan, melankolis dan mirip idiot. Dia
menawariku rokok. Aku menolak karena memang tak merokok. Dan dibawalah aku
berjalan kaki menuju rumah tempat anak-anak lainnya berbincang sampai pagi. Dan
tentunya, katanya, agar tidak terkesan mengganggu di kompleks masjid yang
tengah berisap-siap melakukan ibadah subuh. Seorang nihilis berbincang dengan
anak HMI yang entah masih bergentayangan dengan sajadahnya atau tidak. Itu
terkesan tidak etis. Jadi kami menyingkir.
Masih
banyak pepohonan di sekitar perkampungan di Jakarta Timur ini. Aku pun
melangkahkan kaki mengikutinya. Oh, sampah. Salam kenal. Oh sampah yang di
sana, salam kenal juga ya! Dan kau sampah, siapa namamu?
Melewati
bangunan dan pemukiman yang memang lebih tepatnya kampung dari pada kota dan
sampailah aku di sebuah tempat, yang terparkir mobil, pagar, dan keadaan yang
cukup bersih. Ah, ternyata cukup bersih dan melegakan juga tempatnya. Sialnya, ternyata
bukan itu. Kaki berbelok, dan persis di depan rumah yang aku sangka itulah
tempatku harus merebahkan badan. Baiklah. Seorang pendatang, diberi tumpangan,
tolong jangan mengeluh. Berhentilah meracau. Menganalisa. Mengamati. Sayangnya
otakku tak sanggup berhenti berpikir.
Aku
kini berada di sebuah rumah, yang dari depan sudah mirip seperti terhantam
komet purbakala atau perang mempertahankan kemerdekaan. Sejujurnya cukup bagus,
tapi karena ditelantarkan dan tak diurus, terkesan sangat bobrok dan mirip
rumah tikus beranak-pinak. Masuklah aku ke dalamnya. Dan, inilah dunia
laki-laki kalau hidup dan tinggal bersama dengan laki-laki lain. Dan seperti
inilah yang terjadi; bungkus rokok, puntung rokok, bau rokok, remah rokok,
botol-botol, segala jenis sampah tergeletak begitu saja di berbagai macam
tempat, meja kaca, dan asbak yang penuh dengan ciri-ciri perokok yang semrawut
dan acak-acakan. Lantai kotor. Ruangan yang berkabut dan diselubungi bau rokok
yang pekat. Ruangan dan kamar-kamar yang tak terurus. Baju, kaos, dan macamnya
tergeletak begitu saja di tangga, pegangan tangga, dan keadaan dapur yang mirip
museum pasca serangan bom atau letusan gunung berapi, ditambah kamar mandi yang
dipenuhi piring, kotoran makanan, nasi yang bercecer, dan segenap ibadah kaum
laki-laki biasanya. Inilah keadaanya jika laki-laki tinggal dengan laki-laki
lainnya di dalam rumah kontrakan, kos, atau lainnya. Keadaannya hampir tak jauh
beda dan selalu suram. Itu adalah kenyataan umum. Tak perlu didebat. Dan inilah
Jakarta.
Kami
pun bertukar cerita sebentar. Mengenai kemacetan di Jakarta. Mengenai susahnya
untuk sekedar keluar dan bermain. Mengenai betapa seringnya dirinya terlambat
dan akhirnya tak jadi masuk kuliah gara-gara macet di jalan. Mengenai betapa
seringnya gagal mengikuti acara di suatu tempat tertentu karena sesampanyai di sana,
acara sudah terlanjur habis, selesai. Mengenai betapa mahalnya hidup di
Jakarta. Mengenai betapa cepat habisnya uang hanya untuk sekedar bolak-balik ke
kampus saja. Mengenai betapa sedikitnya pembaca buku di ibu kota ini.
Buku-bukunya yang diambil seorang teman tanpa pernah dikembalikan. Dan
orang-orang yang tak terlalu bergairah dengan dunia pemikiran. Dan, yah, itulah
Jakarta! Ya, itulah Jakarta!
Aku
pun terkantuk-kantuk, sambil mendengarkan Sisir
Tanah di perangkat elektronik yang aku bawa. Jakarta, ya Jakarta. Aku sudah
berada di Jakarta kembali. Dan di sinilah aku sekarang.
“Jika
mau ke kampus, jika masuknya jam delapan, ya kita harus berangkat jam enam atau
dua jam lebih awallah. Yakinlah, kalau tidak, bisa telat dan sudah tak
diperboleh masuk itu. Begitulah Jakarta. Banyak itu yang sering telat. Aku
sendiri juga sering. Pokoknya, hidup di Jakarta serba ribetlah. Kalau tak punya
banyak uang dan mental yang cukup, benar-benar bisa... “
“Mati
bunuh diri dan gila hahaha .... gila
benar itu, masak tak jadi kuliah gara-gara kena macet. Benar-benar kota neraka
ini,“ celetukku sambil heran tergeleng-geleng. Dan seperti itulah wajah Jakarta
bagi orang yang tak terlalu memiliki banyak uang dan hidup pas-pasan. Jakarta
serba menjerat dan melelahkan. Tak ada waktu untuk berpikir aneh-aneh karena
kau akan tergilas roda ekonomi dan biaya hidup yang terus naik.
“Jakarta
merupakan sebuah kota besar dengan mayoritas warga miskin di negara yang
beruntung memiliki sumber daya menguntungkan dan tidak dimiliki banyak negara
lain, yaitu cadangan minyak yang besar,” tulis Susan Blackburn dalam bukunya Jakarta; Sejarah 400 Tahun. Penduduk
miskin tetap banyak. Sedangkan minyak kini harus terpaksa impor dan tentunya,
keluar dari keanggotaan para produsen minyak, OPEC. Dan Jakarta masih tetap
semrawut.
Aku
pun undur diri untuk menikmati tidur di sofa dan terlelap hingga siang hari
dengan perasaan cukup puas. Melupakan sejenak Jakarta. Melupakan Indonesia.
Melupakan Jawa. Melupakan, apa lagi kalau tidak melupakan para pembaca buku yang
susah dicari di manapun. Bahkan di kota besar ini.
Jayakarta, Banten, Mataram, dan
ketika semuanya kalah, akhirnya lahirnya Batavia yang semakin kokoh. Tak heran
jika Sutan Takdir Alisjahbana marah-marah dengan kekalahan besar pihak Mataram
dengan 10.000 pasukannya melawan hanya sekitar 300 orang saja dan menganggap kebudayaan
kita adalah kebudayaan yang kalah. Saling cakar dan sangatlah licik serta
oportunis. Memang seperti itulah. Lihat saja perpolitikan di Jakarta. Jakarta
adalah awal di mana, kita akhirnya dijajah selama berabad-abad. Apakah yang
bisa dibanggakan dari sejarah dan kenyataan Jakarta hari ini?
Dan
sekarang aku sedang berada di jalanan Jakarta menuju pusat kota yang dulu
bernama Batavia Baru atau yang lebih dikenal dengan Walterveden. Tentunya
setelah mandi, makan, bercanda dengan dua orang lainnya dari Nusa Tenggara yang
baru masuk kuliah.Dan tentunya, diriku ini sangat membuat repot si Rizal. Aku
menyuruhnya mengantarkanku ke Monas, tempat di mana kekuasaan baru Belanda masa
lalu bercokol kuat dan sejarah Indonesia mengalir sangat deras di sana.
Baiklah,
aku sedang menyusuri jalanan tempat orang-orang di masa lalu kalah dan apakah
hari ini, setelah kemerdekaan, kemenangan itu akan membuat wajah Jakarta dan
orang-orangnya terlihat berbinar-binar? Oh, tidak. Tentunya tidak.
Mengikuti
isu yang terjadi di Jakarta bisa membuat kepala pecah. Sudahlah, itu urusan
nanti. Aku sudah memikirkannya beberapa waktu yang lalu, dan bahkan sebelum
sampai di sini, aku sudah menyerah memikirkannya terlalu panjang lebar. Mau Ali
Sadikin hingga Ahok, tak ada perubahan yang nyata dan terlihat bisa mengguncang
jiwa dan pikiran seketika. Aku ingin merasakan bagaimana berjalan di jalanan
kota ini. Itu yang paling penting. Mengenai pengayuh sepeda dan pembaca buku,
aku sudah angkat tangan. Karena sepertinya tak jauh beda dengan kunjunganku
yang terakhir pada september 2015 yang lalu.
Aku
berjalan di sekitar perkampungan Malaka, kelurahan Monjul, kecamatan Cipayung,
menuju pusat kota atau lebih sering disebut sebagai Jakarta Pusat. Pusat
Neraka. Pusat iblis memerintah dan bergentayangan sesuka hatinya. Dari Jakarta
Timur menuju Jakarta Pusat. Sebuah ekspedisi. Sebuah eksplorasi. Sebuah umpatan
tertahan. Dan tentunya, kesabaran yang susah untuk disimpan baik-baik.
Cipayung
memang adalah pemukiman kampung. Sangat kampung. Rumah-rumah yang halamannya
sempit. Bobrok di sana rusak di sini. Kumuh. Lusuh. Diselilingi beberapa rumah
mentereng. Sementara itu, sampah tergeletak hampir di semua tempat. Di bawah
pohon. Di tengah jalan. Di pinggir tembok. Tergeletak di bawah kaki. Di
mana-mana. Dan bendera Indonesia, merah putih, berkibar-kibar menunggu hari
kemerdekaan, 17 Agustus, tanpa perasaan malu dan mual. Walaupun begitu, aku
melihat banyak anak-anak kecil yang berlarian, bermain, bergembira, tersenyum
riang, dan seolah dunia hanyalah milik mereka sendiri dengan kecerian-keceriaan
masa kecil yang membuat iri. Seperti halnya Stefano Romano yang sangat senang
jika bersentuhan dengan anak-anak di perkampungan Jakarta dan sebagian Jawa.
Dalam bukunya Kampungku Indonesia, ia
menulis, “Anak-anak adalah masa lalu kita, karena kita dahulu juga anak-anak.
Anak-anak adalah masa depan kita, karena merekalah yang akan meneruskan nasib
suatu bangsa. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa dikatakan telah mencintai
suatu bangsa tanpa mencintai pula anak-anak negeri itu.” Dan tentunya, walaupun
terkesan berantakan, kotor, kumuh, dan plastik bergentayangan di mana-mana.
Kampung masih terlihat lebih beradab dari pada apa yang sering disebut para
elit sebagai sebuah kota yang sesungguhnya. Sialnya, aku tak tahu kota yang
sesungguhnya itu yang semacam apa kalau berbicara mengenai Jakarta.
Berbicara tentang anak, jelaslah,
kota ini sangatlah tidak ramah anak. Kota semacam ini menjadi kota ramah anak
adalah kemustahilan. Dan aku pun bertolak dari Cipayung, melewati jalan
Binamarga yang cukup bersih, rapi, banyak pohon, segar, tapi juga cukup macet.
Lalu ke jalan Ceger yang sangat mirip kawasan kampung atau deretan bangunan
yang berada di Kaligawe, Sawah Besar, Semarang. Rumah sangat kecil di sepanjang
jalan. Beberapa di antaranya terbuat dari papan. Ada banyak ruko toko, bengkel,
dan Warung Tegal. Terdapat sebuah masjid yang bernama Masjid Jami Al Mubaroqah.
Iman orang Jakarta pantas dipertanyakan.
Di
jalan Akses Hankam, terlihat banyak pohon. Jakarta tanpa pohon mungkin akan
semakin mengerikan dan membuat frustasi. Karena jalan ini pun, rumah-rumah
sangatlah berantakan. Hingga akhirnya motor yang aku naiki melewati kawasan
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan sebuah masjid cantik berwarna ungu,
bernama Masjid Attin. Jakarta Timur aku rasa adalah kawasan seumur hidup milik
istri pak Harto itu dengan proyek besarnya yang penuh kontroversi pada waktu
itu dan yang kini ternyata dinikmati tanpa penyesalan berarti. Di sekitar jalan
ini, kemacetan tak terlihat, motor melaju cukup kencang, jalan lumayan lebar, agak
bersih walau sampah masih terlihat di sana-sini dan sebuah Taman Anggrek
melintas di mataku.
Tiba
di jalan Raya Pondok Gede, trotoar sangat mengerikan. Hilang. Berlubang di sana
sini akibat penggalian dan lainya. Sampah dan sampah. Macet. Semua kendaraan
tersendat-sendat. Jalanan penuh. Sungai keruh dan banyak sampah di pinggirannya
atau tersapu oleh air. Jalan raya benar-benar semrawut. Benar-benar parah.
Memasuki
jalan Raya Bogor, kemacetan tambah parah dan membuatku geleng-geleng kepala.
Jakarta, ya ini Jakarta. Pusat Indonesia! Menggelenglah sebanyak mungkin. Ini
memang Jakarta. Ibu Kota Indonesia. Yang sialnya, nyaris tak ada trotoar
terlihat di jalan ini. Semua orang terasa bagaikan tak sabaran di jalanan.
Klakson seolah-olah kebutuhan primer di jalan raya, yang kalau tidak digunakan
keras-keras dan berulang-ulang seolah-olah terasa kurang melegakan. Dan PGC
terlihat besar tapi sangat tidak indah. Tibalah aku di jalan Dewi Sartika.
Motor
bergentayangan di mana-mana. Trotoar nyaris hilang, habis, dan tak terlihat
ada. Yang tersisa diambil oleh yang lainnya. Jalanan sangatlah padat. Pepohonan
jarang terlihat. Panas. Kumuh. Ya, perkampungan kumuh melawan gedung-gedung
pencakar langit yang terlihat aneh dari kejauhan atau dari dekat. Melewati RSUD
Budhi Asih. SMP Marsudirini, yang kebanyakan anak-anaknya adalah Tionghoa.
Banyak orang Tionghoa di Jakarta. Mengingat masa awal berdirinya Batavia di
masa Coen, banyak orang Cina yang diangkut ke Jakarta atas alasan politis dan
ekonomi. Dan sisa-sisa mereka di Jakarta terlihat dengan mudah. Ada pesepeda
Fixie di tengah kemacetan, kerumunan kendaraan bermotor yang mengerikan.
Benar-benar pemandangan yang aneh, seolah-olah anak SMP laki-laki itu mengayuh
sepeda dengan susah payah di tengah ribuan, jutaan manusia terpelajar yang
sayang, otaknya tak terpelajar. Kemacetan menandakan bahwa Jakarta, adalah kota
yang ironisnya, sebagai ibu kota yang orang-orangnya menyedihkan. Jalanannya
sudah membuktikan hal itu. Dan tiba-tiba, bola mata terpaku pada sesuatu yang
aneh; sebuah baliho dengan gedungnya yang bernama Partai Idaman bergambarkan
Roma Irama menjulang di tengah kesemrawutan ibu kota yang sangat menyedihkan. Hah,
partai Idaman? Serius? Aku nyaris tertawa terbahak-bahak dan benar-benar
menganggapnya gila.
Suara
klakson berbunyi nyaring di sana dan di sini. Semua orang tak sabar untuk
segera tiba di tempat tujuan. Kemacetan membuat jati diri orang-orang terkuak.
Dan, yah, di Jakarta, semua pengendara mesin berebut tempat hingga kadang tak
peduli lampu merah itu ada atau tidak. Di sisi lainnya, apakah ada yang
menyeberang atau tidak, siapa yang peduli? Semua orang saling terburu-buru
hingga membuat jalan raya nampak seperti lahan pertarungan abadi yang
menandakan mentalitas warga yang menghuni kota ini.
Jalan
Otto Iskandar Dinata, berdiri besar MTH Square. Entah berapa mal dan swalayan
besar yang berdiri di Jakarta ini? Entah mengapa, mal terasa berdiri di
mana-mana. Dan terlihatlah papan nama Jatinegara arah Kampung Melayu. Melewati
terminal Kampung Melayu yang memang mirip kampung. Setengah jalan habis oleh
mikrolet yang berderet-deret. Kumuh. Sampah berserak mengagumkan. Dan terlihat
sungai sedang dikeruk dan dilebarkan. Lalu lewatlah di sekitar Stasiun Tebet
yang jalannya sedang diperbaiki. Tempat di mana dulu aku turun dari Bogor dan
melihat Jakarta dengan perasaan ngeri. Jalan Jatinegara yang dulu lebar, indah,
tanpa sampah, dan yang dulu bernama Master Cornelis, sekarang tinggal kenangan
di buku-buku dan gambar.
Melewati
jembatan layang yang di bawahnya terkesan tak jelas. Menuju jalan Kampung
Melayu Kecil, yang tak hanya namanya saja terdapat kata Kecil, jalannya yang
asli juga benar-benar kecil. Terdapat bangunan kuno bertuliskan PT SETIA
TJILIWUNG, yang mirip hantu mau rubuh dan menyedihkan. Jalan kecil ini pun
dilewati oleh tak hanya motor tapi juga mobil. Benar-benar luar biasa. Motor dan
mobil akhirnya tersendat di pemukiman yang sangat terlihat kampung yang tak
kalah semrawutnya seperti yang lainnya. Sampailah di lintasan rel kereta dengan
jalan yang bernama Jalan Bukit Dwi Tanjakan. Kondisinya berdesakan. Seluruh
kendaraan seolah ingin lebih dulu mengambil jalan. Dari gang terkecil hingga
jalan raya besar, sepertinya Jakarta habis oleh mobil dan motor saja. Dan ada
sebuah kereta berwarna pink yang bertuliskan, ‘Kereta Khusus Wanita’. Dan aku
pun tertawa getir. Seperti inilah Jakarta. Semua orang terlihat sangat
ketakutan di tempat-tempat publik, terlebih para perempuannya. Sehingga kereta
saja harus dipisah dari laki-laki karena banyaknya kejadian yang tak senonoh,
pelecehan seksual dan tindak kriminal. Hah, memang, inilah Jakarta.
Kawasan
Manggarai, atau Manggarai Utara pun masih terlihat kumuh walau tertutupi oleh
rindangnya pepohonan. Banyak Go-Jek di sini. Melewati Stasiun Manggarai. Macet.
Ya, macet. Jakarta tanpa macet bukan lagi Jakarta. Dan di jalanan, terlihat
anak-anak sekolah berjalan pulang bergerombolan dengan baju olah raga
kekuningannya yang bertuliskan SMK YPK Kesatuan. Lewatlah di depan Pasar Raya
Indonesia yang menjulang.
Motor
berjalan di jalan Tambak. Anak-anak kecil, terkesan kampung, berduyun-duyun
turun dari sebuah truk dengan wajah gembira dan bangga. Dari mana mereka dan
mau kemana? Aku tak tahu. Melewati jalan Proklamasi yang sedang bersiap-siap
menyambut hari kemerdekaan. Sedih melihat bekas perpustakaan Freedom Institute
yang harus tutup entah sampai kapan. Surga Jakarta telah hilang. Karena tak ada
perpustakaan yang bagus di Jakarta yang pernah aku tahu. Maka ditutupnya
perpustakaan Freedom Institute seolah-olah bagaikan pukulan telak yang parah.
Setelah Horison cetak habis di bulan Juli. Dan Saut Situmorang sedang berada di
ambang ancaman kurungan penjara. Lalu apa yang tersisa dari kita?
Jalan
Pegangsaan Barat ditumbuhi banyak pohon sehingga membuat udara cukup segar.
Kami melewati stasiun Cikini. Dan melihat trotoar luar biasa buruk. Ketika
berbelok, berada di jalan Prof Moh Yamin, seorang pemulung perempuan terlihat
mengais-ngais sampah di sebuah rumah besar. Yah, Jakarta dihuni oleh banyak
sekali orang miskin tak perlu lagi disangsikan. Jurang lebar miskin dan kaya
nyaris tak berubah semenjak era kolonial bahkan semenjak Batavia berdiri di
abad ke-17 setelah dihancurleburkan oleh Jan Pieterszoon Coen. Sebuah kota yang
menggelisahkan.
Jalan
Teuke Cik Ditiro, memiliki trotoar yang buruk. Jalan Soeroso sangat macet.
Sampah lagi sampah lagi. Sepeda motor naik ke trotoar mencari jalan. Mobil.
Mobil. Mobil. Berderet meneror mata dan pikiran. Inilah sebabnya kenapa Jakarta
macet karena semua orang yang memiliki mobil membawa mobilnya ke jalanan
Jakarta dengan alasan yang kadang sepele; takut asap knalpot. Takut polusi.
Takut panas. Takut kulit hitam. Takut bau bensin. Takut derajat sosial menurun.
Takut dicibir relasi dan teman karena menaiki motor dan lainnya. Inilah gambaran
umum warga kelas menengah-elit Jakarta. Sangat tak beradab dibandingkan
pedesaan dan kampung yang tersebar di penjuru kota Jawa. Perilaku orang-orang
Jakarta menghapus mitos yang selama ini membayangi kuat kota itu bahwa warga
Jakarta, warga kota adalah masyarakat yang beradab, sadar akan sekitar, dan
berpikiran maju dan modern dari yang lainnya. Dongengan macam itu sudah usang.
Pada dasarnya mental warga Jakarta lebih sempit dari mentalitas kampung. Itulah
alasan kenapa Jakarta tak pernah cukup diselesaikan. Karena kelas
menengah-elitnya sangatlah primitif dan berjiwa zaman batu. Kebaikan dan kehamornisan
hanya ditunjukkan oleh kalangan sendiri bukan pada seisi kota, lingkungan kota
atau ke warga kota yang lebih luas. Semua membangun benteng. Semacam dunia yang
masih hidup dalam konflik kesukuan.
Jakarta
adalah kota primitif yang bertubuh modern. Tak ada yang lebih mengherankan dari
keprimitifan warga Jakarta di abad ke-21 ini. Tempat di mana hukum rimba masih
berlaku. Rimba beton. Yah, sayangnya. Karena hutan sudah habis ditebang. Mau
bagaimana lagi. Terlebih hutan Jawa, tinggal beberapa persen yang masih
tersisa.
Melintasi
jalan Menteng Raya, kawasan elit Jakarta, aku pun ingin sekali tertawa
sekeras-kerasnya. Apakah benar ini Menteng? Serius ini Menteng? Terlihat kusam
seperti yang lainnya. Macet. Trotoar yang layak untuk kota kecil semacam Kebumen
atau Klaten. Benar-benar sebuah kota dengan wajah fisik yang mengerikan. Itulah
Jakarta. Lebih mirip sub-urban dari pada kawasan metropolitan. Sedangkan Tugu
Tani yang bundarannya sangat macet seolah-olah menertawai kenyataan. Siapa yang
peduli dengan petani hari ini di kawasan Jakarta? Yah, petani sering dianggap ndeso, jauh dari peradaban, tidak keren,
tidak modern, terkesan lusuh dan berpikir kolot. Itulah kenapa ada istilah ndeso dan kampungan sebagai bentuk ejekan, diskriminasi, dan stereotip yang
sadis yang sering dilontarkan warga kota, terlebih Jakarta, terhadap
orang-orang dari kampung, desa, daerah luar Jakarta atau yang dianggap norak
dan tidak sesuai dengan cita rasa kemodernan dan kemewahan mereka. Tapi, hari
ini semua telah terbalik. Warga kota menjadi lebih primitif dari warga desa dan
desa itu sendiri. Dan hal itu sangat jelas aku lihat dan terasa mengerikan.
Bagaimana orang-orang terpelajar Jakarta bisa hidup dan membuat kota yang
dulunya indah menjadi semacam ini? Tempat di mana seniman, sastrawan, profesor,
ahli hukum, negarawan, politisi, pengusaha, artis layar kaca, pejabat negara
dan orang-orang terpelajar dengan sederet gelar lainnya, yang jumlahnya
membludak nyaris tak bisa berbuat apa-apa terhadap kota ini. Kota ini diisi
oleh para terpelajar yang mandul. Ompong. Dan hidup hampir untuk dunianya
sendiri. Itulah alasan lainnya Jakarta lebih mirip kampung besar. Jakarta,
kampung besar neraka. Itulah julukan yang tepat untuk kota ini. Karena memang,
kampung yang kumuh, semrawut, acak-acakan, tidak indah, bobrok, mengitari kota
ini dan menjadi bagian di dalamnya. Dan warga kelas menengah-elitnya, lebih
primitif dari pada warga kampung itu sendiri. Pusat kotanya ternyata, ya ampun,
benar-benar mengenaskan. Sangat tidak indah. Baiklah, mungkin Jakarta Pusat,
Central Jakarta aku masukkan sebagai pusat kampung besar seluruh Jakarta.
Tak
ada yang benar-benar kota di Jakarta Pusat dan sekitarnya. Titik. Yang ada
hanyalah kampung. Kampung. Dan kampung. Apakah kampung adalah sesuatu yang bermasalah
dan terkesan sangat rendah? Tidak. Masalah utamanya adalah ketidakinginan warga
kelas menengah-elit Jakarta mengakui bahwa dirinya adalah bagian dari kampung
besar. Mereka menolak darah kekampungan yang ada di dalam dirinya. Yang setiap
hari ia lewati, masuki, temui, dan rasakan. Kebanyakan dari mereka membangun
benteng jati diri di seputar mal, pusat belanja, ruang kesenian yang seolah
beradab dan terkesan modern, cafe, di dalam mobil kedap kenyataan, lapangan
golf, hotel mewah, dan perumahan, apartemen yang menjulang dan seolah meludahi
pemukiman miskin di sekitarnya. Itulah Jakarta sehari-hari. Itulah
kenyataannya. Itulah yang membuat Jakarta susah berubah karena sejak dulu
dirancang untuk kawasan elit para penguasa kolonial dan ditiru oleh para
pemangku kepentingan setelah kemerdekaan dengan melupakan kenyataan sebenarnya
yang mengitari kehidupan sekitarnya. Tak jauh beda dengan gambaran yang
disuguhkan oleh Susan Blackburn, “Para penguasanya yang otoriter membangun ibu
kota negeri berdasarkan gambaran kota-kota metropolitan luar negeri tanpa
mengacuhkan kehidupan dan kepentingan mayoritas penduduk kota yang miskin.
Rakyat biasa dipinggirkan ketika pemerintah berusaha membangun Jakarta menjadi
kota metropolitan modern. Akibatnya adalah kontras yang kentara antara
kawasan-kawasan modern tempat tinggal kalangan berada dengan daerah kumuh yang
lebih luas dan hanya menerima sedikit bantuan pemerintah.”
Dan
kini, sampailah aku di jalan Medan Merdeka Timur. Kawasan inilah, yang dulu
disebut sebagai Batavia Baru atau Weltevreden dengan Lapangan Waterloonya yang
dibuat oleh Gubernur Jendral Daendels. Tapi sekarang aku sedang berada dibagian
Koningsplein yang berdiri megah Monumen Nasional dan dikitari oleh sederetan
gedung kolonial yang kini berubah bentuk menjadi milik Republik. Yah, yang bisa
dilakukan oleh kita memang hanya mengganti nama bangunan bekas orang lain untuk
menjadi milik kita sendiri. Itulah kehebatan kita. Sedang gedung yang kita buat?
Yah, pencakar langit kusam yang sebentar lagi terlihat kacau dan menyedihkan.
Itulah yang hari ini baru bisa kita buat.
Jalan
Medan Merdeka dipenuhi dengan berbagai macam jenis tumbuhan dan pepohonan besar
yang rindang dan indah. Pepohonanlah yang masih menyelamatkan muka pusat
Jakarta yang terlihat lonyo dan menyedihkan. Bahkan trotoar pun terlihat retak
di sana sini. Hilang di beberapa bagian tertentu. Benar-benar semacam
pecundang. Kawasan pusat kota ini, kalah jauh dengan Semarang yang kian elegan
dan cantik walau sama-sama panasnya. Ketika sedang mengamati di depan pintu
Monas, tiba-tiba sampah minuman dibuang begitu saja oleh seorang anak kecil
yang sedang berkerumunan dengan orang tua dan keluarga besar mereka. Dan,
tentunya, tak ada petugas yang menegur atau mengurusi perihal sampah dan sikap
terhadap sampah ini. Jadilah kawasan Istana Negara, Monumen Nasional dan
sekitarnya yang sakral, tak bebas dari sampah dan sampah. Jika sampah saja
terbiasa di pusat ibu kota, apakah kita akan menyalahkan jika sampah telah
menjadi bagian rutin dan keseharian di kota-kota besar dan kecil lainnya?
Jakarta sendiri, pusat pemerintahan saja tidak bisa memberikan contoh. Dan
tiba-tiba sepeda bobrok dengan pengayuh yang lesu lewat di depan mataku. Sebuah
pemandangan yang miris atau menggelikan. Aku tak tahu mana yang benar setelah
Bajaj, Taksi, mobil dan mobil berlalu lalang hingga terasa tak terhitung
jumlahnya.
Jadi
apa yang dikatakan oleh Jules Leclerc mengenai Batavia yang dikenalnya pada
tahun 1895, nyaris tak berbekas dan punah. Yaitu “Batavia yang memiliki
kerindangan daun, pepohonan, dan bunga-bunga yang takkan kita temui di tempat
lain mana pun. Karena itulah Batavia merupakan kota yang unik di dunia. Akrab
dengan alam, Batavia merupakan kota ideal yang tak terusik suara bising dari
jalan yang memekakkan telinga, tidak berbau busuk karena asap dari pabrik,
tidak tercekik karena tumpang-tindihnya tingkat rumah-rumah yang menjulang
seperti menara. Setelah melihat kota itu, kita akan mengerti mengapa begitu banyak
orang Eropa yang hidup di sana selama bertahun-tahun merasa senang tinggal di
dalam taman firdaus itu dan tidak ingin lagi hidup di tempat lain”. Jakarta
semacam itu sudah punah dan habis sekarang ini. Yang aku lihat adalah sisa
keindahan daun dan pepohonan, kebobrokan dan kekumuhan terlihat di sana sini,
dan bangunan peninggalan Belanda yang kemegahannya masih terasa namun sudah tak
lagi indah seperti kebanyakan mereka menyebutnya dulu sebagai sang Ratu dari
Timur atau Queen of the East. Julukan
itu kini hanyalah sejarah. Julukan sekarang yang tepat adalah Jakarta Kampung
Besar Neraka. Menggantikan julukan yang beberapa waktu yang lalu aku sematkan
kepadanya, Jakarta Ibu Kota Neraka. Setelah kembali ke Jakarta, aku rasa
istilah itu tak lagi layak dan tepat. Yang layak dan sesuai adalah Jakarta
Kampung Besar Neraka. Julukan itulah yang paling sesuai dan sangat layak. Lebih
dekat dengan kenyataan yang sebenarnya.
Dan
akhirnya aku masuk ke dalam kawasan Monas atau lebih tepatnya Taman Monumen
Nasional, yang terparkir deretan mobil yang sangat keterlaluan banyaknya,
sampah terlihat berjalan-jalan di berbagai macam ruang, suasannya agak suram,
berbagai macam gerai makanan terlihat mengenaskan dan tak rapi, dan sampailah
aku di kawasan dalam yang terlihat lebih bersih dan rapi. Enak dipandang dan
terasa sangat luas dan cukup indah. Seandainya seluruh kawasan Monas dan
Jakarta itu sendiri isinya semacam ini, mungkin aku tak akan banyak mengeluh
dan uring-uringan. Yah, momen langka harus sedikit dinikmati.
Berjalanlah
aku di sekitar pepohonan menuju pusat kawasan ini, Monumen Nasional. Terlihat
cukup banyak orang sedang menikmati berbagai macam jenis kegiatan. Melewati
sebuah keluarga yang tengah bersantap ria ala masa lalu. Wajah-wajah lusuh yang
jauh dari kesan kemewahan dan kemodernan sejati, kalau mau dibilang agak sok.
Dari arah manapun, Jakarta tak bisa menyembunyikan kenyataan dirinya sendiri
bahwa terlalu banyak kampung dan warga miskin yang menghuni dan bermain di
berbagai lahan dan bagian-bagian umum tempat wisatanya. Dan sampailah aku di
rerumputan Jepang dan pohon-pohon palem yang meneduhkan dan indah. Memandang
puncak dan tubuh Monumen Nasional yang terlihat semakin kusam dan tak terawat
itu sambil membolak-balikkan buku Cendekiawan
dan Politik yang aku bawa. Aku ingin menikmati bagaimana rasanya membaca di
pusat kekuasaan dan landmark negara
ini. Ternyata rasanya menyenangkan!
Jakarta
adalah peninggalan kolonial dan Soekarno. Begitu juga monumen ini dan banyak
bangunan lainnya dari patung Selamat Datang, Planetarium hingga Masjid Istiqlal.
Singkat cerita, aku sedang mengunjungi sisa Batavia kolonial dan sentuhan
Soekarno ditambah berbagai macam gerakan bin salabim yang dilakukan oleh
Gubernur Ali Sadikin hingga Ahok, dan tetunya Soeharto, yang nyaris tak mengubah
apapun. Dan di atas pucuk sana, sebuah api yang dilapisi oleh emas, sejujurnya
hasil sumbangan dari seorang pengusaha kaya raya dari Aceh. Jadi, jika nanti
Jakarta macam-macam dengan rakyat Aceh, mereka, rakyat Aceh, bisa meminta untuk
mengembalikan emas yang melapisi puncak Monumen Nasional, yang mana berasal
dari salah satu masyarakat mereka. Ide yang cukup bagus. Menarik. Layak dicoba
kelak. Sama halnya saat rakyat Papua seolah bagai ditolak di manapun bahkan di
Jogja tempat di mana kebebasan dan seni harusnya menjadi bagian dari toleransi.
Yah, seandainya orang-orang Papua menginginkan merdeka atau meminta
pertanggungjawaban terhadap Jakarta dan Jawa, itu sangatlah wajar. Ketika kau
adalah bagian dari Indonesia tapi seolah bagaikan tak dianggap sebagai bagian
dari warga Indonesia, dipandang sinis, sebelah mata, didiskriminasi, tidakkah
sebaiknya kau mendirikan negara sendiri?
Melangkah
lagi. Tertatih. Sesekali mengambil foto, mengamati orang-orang asing dan lokal
berkeliaran di kawasan ini, dan akhirnya memasuki ruangan bawah tanah, dasar
Monumen Nasional yang dijaga ketat oleh beberapa polisi yang memeriksa barang
bawaan, tas, dan lain sebagainya. Tak terkecuali diriku ini. Sejujurnya sangat
tak terlalu ketat. Museum Nasional yang berdiri di sebarang saja pernah
mengalami pencurian yang memalukan. Apa lagi Monumen Nasional? Cukup satu orang
mirip Ramzi Yousef sudah sanggup meratakan Monumen Nasional untuk
selama-lamanya.
Dan
aku sangat lelah. Pusing. Akhirnya tersandar lama di sebuah kursi menghadap
loket menyaksikan kerumunan orang yang datang dan pergi.
Dan
siapakah si Ramzi Yousef itu? Dia adalah orang yang pertamakali mencoba meledakkan
World Trade Center namun gagal, yang pada akhirnya disempurnakan oleh al-Qaeda.
Tapi tak perlu takut, hal semacam itu masih cukup jauh mengingat teroris
Indonesia kebanyakan terdiri dari orang-orang bodoh yang isengnya keterlaluan
tolol. Terakhir kali yang membuat geger hanyalah seorang laki-laki bertopi,
dengan tas dipunggung, berkeliaran di jalanan Jakarta dengan membawa pistol dan
eh, yaelah, menembak saja nyaris tak becus. Tapi apa jadinya jika ledakan
setara dan lebih hebat dari kasus Bom Bali milik Imam Samudra ditambah latar
politik dan ideologis yang lebih jelas? Itu akan menjadi cerita lain dan perlu
diperhitungkan jika kita tidak ingin emas di puncak menara raib hilang atau
Monumen Nasional itu sendiri runtuh dan tak akan mungkin dibangun ulang seperti
sedia kala.
Siapa
pun orang yang mampu mencuri api berlapis emas dari Monumen Nasional, yakinlah,
dia akan jadi legenda di Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di dunia. Aku
relakan diriku untuk meminta tanda tangannya! Tentunya, seandainya dia masih
memiliki tangan.
Di
dalam ruang bawah tanah yang disebut Museum Sejarah Indoneisa, terdapat diorama
mengenai Indonesia di masa lalu hingga terbentuknya sebuah negara yang merdeka.
Tentunya, papan penjelasannya terlihat kusam, berembun, dan beberapa sedang
diperbaiki. Sangat khas Indonesia. Dioramanya terbilang lumayan. Terlebih yang
menyangkut kapal-kapal dan sejarah masa lalu. Peristiwa 1965 masih saja tak
berubah dan masih berbau Orba. Dan, terlihat banyak perempuan cantik di bagian
dasar Monumen ini. Dari kelompok Tionghoa dengan pakaian seksi mereka hingga
beberapa gadis, kalau masih gadis, berbau Eropa yang sangat menggiurkan karena
berpakaian serba minim. Beberapa orang terlihat berebah, tiduran dan
seolah-olah lantai yang ada di dalam sini adalah tempat tidur umum atau mungkin
semacam serambi masjid. Beginilah wajah pusat kekuasaan dan ibu kota, atau
lebih tepatnya kampung besar neraka Jakarta.
Aku
kembali berjalan. Berada di sebuah ruangan cukup gelap yang mirip stadiun atau
Colleseum. Ada sebuah lift untuk ke atas. Gambar burung pancasila dengan
simbol-simbolnya. Beberapa orang yang bergantian mengambil foto. Aku sedang menikmati
kelelahanku. Membaringkan badan. Membayangkan Jakarta yang kacau di dalam
pikiran.
Dan
kini, aku sudah berada di cawan. Jakarta dilihat dari atas sini, tak terlalu
buruk. Ada Masjid Istiqlal, Katedral, beberapa bangunan milik pemerintah, dan
beberapa orang asing dan lokal. Kawasan ini indah jika terawat, bersih dan
rapi. Tapi sayangnya, di dalam sini pun, kebersihan belum terlampau ketat. Ada
puntung rokok menghadang di tangga, sisa tisu, dan beberapa lainnya. Kesadaran
akan kebersihan di tempat sakral, suci, penting atau rumah ibadah yang banyak
diagungkan pun, jauh sekali dari kenyataan. Orang Indonesia adalah orang yang
tak menghargai masa lalu mereka sendiri. Seorang pragmatis masa depan. Dan
seorang yang banyak abai akan kekinian yang tak menyangkut dirinya sendiri.
Dan
aku pun berjalan menuju Kemayoran setelah dibantu oleh para laki-laki muda dari
Dinas Perhubungan dan seorang polisi. Aku meminta salah satu dari mereka untuk
memanggilkan Go-Jek untukku karena aku tak tahu harus mulai dari mana. Go-Jek
lebih cepat, praktis, dan tak perlu terlalu repot untuk menembus belukar
Jakarta. Go-Jek datang setelah cukup lama menunggu. Aku pun berangkat menuju
Kemayoran. Ke Hotel Dragon Inn. Tempat di mana pak Roman berada. Sedang Istana
negara terlihat ramai dengan merah putih dan panggung di sana sini.
Dan
ketika berada di jalan, di mana sore hari sedang berjalan menuju senja,
kemacetan membuatku terpesona. Benar-benar pemandangan yang luar biasa; buruk.
Kemacetan dengan latar belakang bangunan kusam tak terawat dan beberapa seperti
mau roboh, seolah-olah terbayang di kepalaku akan dunia yang sebentar lagi akan
tenggelam. Sayangnya, sekarang ini aku sedang berada di jalan pusatnya Jakarta.
Mobil. Mobil. Mobil. Mobil. Mobil. Kalau dilihat-lihat, entah berapa jumlah
mobil yang ada di jalanan Jakarta hingga terasa menjengkelkan. Lalu mata
melihat sekilas bangunan Santa Maria yang terlihat kuno, yang masih menyisakan
kesan elegannya. Di sini, jalanan cukup lancar walau padat. Masih ada trotoar
terlihat. Trotoar adalah hal yang langka di Jakarta. Terlebih yang bagus dan
tak retak.
Ketika
motor berada di jalan Pacenongan, macet kembali menghadang. Macet. Ya, macet.
Bisa membuat orang frustasi. Marah-marah. Ingin menendang pantat orang lewat.
Dan mengutuk sumpahi kota yang brengsek ini. Kemacetan bisa membuat siapa saja
depresi. Sedih. Kecewa. Dan, mungkin, bagi orang-orang tertentu, mengakhiri
kisah cinta romantis mereka.
Jakarta
memang kota paling sialan, brengsek, dan menyedihkan yang pernah aku temui
selama kehidupan yang membosankan ini.
Karena
saat di jalan Juanda Raya, kemacetan oh kemacetan.. Baiklah, baru satu hari
saja di kota ini, aku sudah benar-benar gila. Kemacetan. Sampah. Bangunan
kumuh. Kemacetan. Sampah. Bangunan kumuh. Kemacetan. Sampah. Bangunan kumuh.
Itulah pemandangan Jakarta.
Dan
tiba-tiba di sekitar JRC, ada semacam tulisan, grafiti, “Selamat Menikmati Artistik Kota”. Apa? Artistik kota? Aku pun
memandang sekelilingku. Artistik kota?
Pasar
Baru yang jalanannya penuh sampah. Jalanan sangat ruwet. Mobil lagi. Mobil lagi.
Mobil lagi. Luar biasa banyak dan seolah bagaikan hama. Jika seandaianya
Jakarta adalah sawah. Maka mobil adalah hama sawah itu sendiri. Jadi, mobil
adalah hama Jakarta. Sungai yang isinya plastik di sana sini. Keruh.
Menyedihkan. Jalanan ini terasa sekarat. Walau jalan agak lancar, tiba di jalan
Garuda, dunia kembali terasa menyebalkan.
Semua
orang tak sabaran. Klakson berterbangan di udara. Tiba-tiba dunia seolah bagai
tanpa lampu merah, aturan lenyap, motor naik trotoar, dan di palang kereta,
mataku memandang keriuhan di sekitarku. Sampah lagi. Sampah lagi. Lalu apa
bedanya Jakarta dengan sebuah desa? Aku rasa, aku akan memilih sebuah desa yang
aku lewati ketika berjalan kemari; Kulon Progo. Kulon Progo adalah desa yang
indah. Jakarta adalah kampung yang kotor. Banyak Go-Jek yang terlihat. Apa
jadinya jika tak ada Go-Jek di Jakarta? Yah, aku rasa, kemacetannya akan lebih
gila dari pada yang sekarang ini. Dan sekitar palang kereta, Stasiun Kemayoran,
pemandangan terasa mengerikan. Kumuh. Sampah bergentanyangan di mana-mana.
Hingga akhirnya aku memasuki jalan Kran. Gunung Sahari. Tempat di mana, dulu,
Soe Hok Gie dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia berdemontrasi berjalan kaki
menuntut pemerintahan Soekarno. Dan, suasananya sangat kampung. Bau bendera
merah putih demi menyambut kemerdekaan terlihat di sana-sini. Anak-anak kecil
berlarian. Bajaj. Mobil terparkir. Warung-warung kecil. Rumah-rumah apa adanya.
Jika tiba-tiba Soe Hok Gie hidup kembali dan melihat sekitar Jakarta yang ia
akrabi, aku tak tahu, apakah dia akan mati tercekik oleh polusi atau gila
karena kekumuhan dan kemacetan Jakarta hari ini.
Perjalanan
pun akhirnya selesai di Hotel Dragon Inn. Kalau diingat-ingat, dari Jakarta
Timur, ke Jakarta Pusat, lalu sekarang di kawasan Kemayoran, aku rasa grafiti
tadi memang benar. Jakarta sangat artistik. Seni kesemrawutan adalah ciri dari
kampung besar yang aneh ini. Tak salah jika PK. Ojong pernah mengeluhkan
kawasan Jakarta dan Kemayoran ini. Dan aku benar-benar kasihan dengan generasi
masa depan di kampung Jakarta ini. Tentunya juga Indonesia secara keseluruhan.
Karena di sinilah segala kebijakan penting dibuat dan pada akhirnya memengaruhi
seluruh kepulauan Indonesia. Sebagai orang tua, mereka lupa, bahwa mereka
memiliki anak-anak yang setiap hari terpapar oleh polusi, stress oleh
kemacetan, menghadapi panas yang mengerikan setiap hari, dimasukkan ke dalam
mobil dan kamar berpendingin yang efeknya berbahaya bagi kesehatan, pendidikan
yang membuat depresi, belum lagi suasana kota yang kacau, kriminalitas di
mana-mana, kedeketan semakin susah ditemui, kemarahan terlihat jelas di wajah
setiap orang bahkan diri sendiri, tempat bermain yang langka karena orang sudah
bosan untuk keluar rumah, ketakutan setiap hari terhadap banyak hal, gangguan
jiwa yang semakin meningkat, dan lingkungan yang sangat buruk. Rasa-rasanya aku
ingin membetangkan spanduk atau baliho berukuran besar yang memuat kata-kata Severn
Suzuki, di seluruh bagian penting Jakarta ini, seorang anak berumur dua belas
tahun yang berpidato di KTT Bumi Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992:
Halo,
saya Severn Suzuki, berbicara atas nama ECO-Enviromental Children’s
Organization. Kami sebuah kelompok anak-anak berusia dua belas dan tiga belas
tahun yang mencoba melakukan sesuatu yang berbeda: Vanessa Suttue, Morgan
Geisler, Michelle Quigg, dan saya. Kami mengumpulkan uang kami agar saya dapat
datang kemari dengan menempuh jarak sekitar delapan ribu kilometer untuk
memberitahu Anda kaum dewasa, bahwa Anda harus mengubah cara-cara Anda.
Kedatangan saya kemari sungguh tanpa agenda yang tersembunyi. Saya berjuang
demi masa depan saya. Kehilangan masa depan tidak sama dengan kalah dalam
pemilihan umum atau rugi beberapa poin di pasar modal. Saya di sini berbiacara
atas nama seluruh generasi yang akan datang. Saya di sini berbicara atas nama
anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang menangis tetapi tidak didengar
oleh orang banyak. Saya di sini berbicara atas nama entah berapa banyak satwa
yang mati di seluruh planet ini karena tidak tahu harus menyelamatkan diri ke
mana. Sayay takut pergi ke bawah terik matahari karena lubang-lubang ozon di
atas sana. Saya takut menghirup napas karena tidak tahu bahan kimia yang ada di
dalamnya. Saya biasa memancing di Vancouver, negeri saya, bersama ayah sampai
beberapa tahun yang lalu setelah menemukan ikan penuh dengan kanker. Dan
sekarang kami mendengar sastwa dan tumbuhan akan punah setiap hari-lenyap untuk
selamanya. Dalam hidup saya, saya pernah bermimpi melihat sekawanan besar satwa
liar, rimba dan hutan hujan penuh dengan burung-burung dan kupu-kupu, tetapi
sekarang saya ragu apakah mereka akan masih ada sewaktu anak-anak saya ingin
melihatnya. Apakah Anda pernah mencemaskan semua ini sewaktu Anda seusia saya?
Semua ini terjadi di depan mata kita tetapi kita tidak bertindak seolah-olah
waktu kita tidak terbatas dan memiliki semua pemecahan. Saya hanya seorang anak
dan saya tidak mempunyai pemecahan, tetapi saya ingin Anda sadar ... Anda tidak
tahu cara mengembalikan salmon ke sungai yang sudah mati. Anda tidak tahu cara
mendatangkan kembali hewan yang sekarang sudah punah. Dan Anda tidak dapat
kembali mengembalikan hutan-hutan yang pernah ada tetapi sekarang telah menjadi
gurun. Jika Anda tidak tahu cara memperbaikinya, tolong berhentilah merusaknya!
...
Di
sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, Anda mengajari kami cara berperilaku di
dunia. Anda mengajari kami: jangan berkelahi dengan yang lain, memecahkan
masalah bersama-sama, menghormati orang lain, berbagi dengan sesama-tidak
rakus. Lalu mengapa setelah itu Anda mengerjakan hal-hal yang kata Anda tidak
boleh kami kerjakan? Jangan lupa mengapa Anda menghadiri konferensi ini, untuk
siapa Anda melakukannya-kami anak-anak Anda sendiri. Anda memutuskan dunia
macam apa tempat kami dibesarkan. Orangtua seharusnya bisa menenangkan
anak-anak mereka dengan mengatakan “segala sesuatu akan beres dengan
sendirinya,” “dunia belum kiamat,” dan “kami sedang mengusahakan semampu kami.”
Akan tetapi saya tidak yakin Anda dapat mengatakan itu lagi kepada kami. Apakah
kami masih sungguh dalam daftar prioritas Anda?
Ayah
saya selalu berkata, “Kamu dinilai dari yang kamu perbuat, bukan yang kamu
katakan.” Nah, yang Anda perbuat membuat saya menangis pada malam hari. Anda
orang-orang dewasa mengatakan Anda mencintai kami, tetapi saya menantang Anda.
Tolong sesuaikan aksi Anda dengan kata-kata Anda. Terimakasih.
Jika
masih tidak ada perubahan, entah mereka itu orang tua berpangkat dokter,
psikolog, psikiater, menteri, gubernur, walikota, karyawan swasta, pegawai
negeri, polisi, tentara, cendikiawan, seniman, seorang guru, agamawan, aktivis
macam-macam, sastrawan, penyair, arsitek, artis televisi dan banyak lainnya. Jika
masih tak ada perubahan yang berarti. Lebih baik kita berharap pada gempa bumi,
tsunami, banjir besar, badai ganas, atau perang dunia. Tak usah berharap pada
Tuhan. Karena terlalu banyak orang bertuhan di Indoneia tak menyelesaikan
masalah apa-apa. Apakah Tuhan selama ini terlihat penting di Jakarta selain
korupsi di Kementerian Agama dan FPI?
Senja berubah menjadi malam. Suara
adzan terdengar di sana sini. Aku memasuki lobi hotel. Bertanya ke repsesonis
kamar nomor 304, dengan seorang laki-laki bernama Roman Saragih ada di
dalamnya. Telpon diangkat, disambungkan, seketika aku dipersilahkan untuk ke
atas. Hotel ini tak buruk.
Tok
tok tok. Tanganku mengetuk pintu kamar 304. Pintu dibuka. Dan terlihat pak
Roman yang penuh dengan gelak tawa. Lalu diceramahilah aku soal sewa hotel yang
terlanjur dibayar, mengenai diriku yang terus bertanya dan akhirnya malas
dibalas karena pada akhirnya tak akan jadi datang, dan semua yang membuat aku
menjadi tak enak dan malu. Hal semacam itu tak terlalu lama. Pak Roman terlihat
bersiap-siap mandi tapi terus terpaku dengan layar televisi hingga sudah dua
puluh menit lamanya, katanya. Mengagumkan.
Barulah
setelah itu aku yang mandi. “Ada air panas mas arah, bisa ndak?,” sambil
cekikikan menggoda. ‘Bisalah pak,” jawab aku tegas. Padahal butuh waktu cukup
lama aku mencari-cari bagaimana membuat air menjadi hangat atau panas. Sial, di
mana sih? Aku pun mencari-cari, memencet sana memencet sini, dan masih belum
ketemu juga. “Bisa ndak mas arah?”. “Sudah pak, sudah bisa!”, jawabku keras
dengan tangan meraba, memutar kran berkali-kali ke berbagai arah, dan masih
belum ketemu juga. Akhirnya aku menyerah. Terkadang hotel itu menjengkelkan.
Pemanas air itu seringkali berbeda-beda dan kadang di bagian yang tak terduga.
Atau malah, pada akhirnya, seperti yang sekarang ini aku rasakan, ada di kran
itu sendiri. Tinggal memutar ke kiri sebentar, ditunggu beberapa menit, jadilah
air hangat lalu panas, sesuai kebutuhan, keluar.
Berlama-lamalah
aku di kamar mandi. Membawa perangkat elektronik. Mendengarkan dan menyanyikan
beberapa lagu Leo Kristi di dalamnya; empat lagu, kata pak Roman menghitung.
Lalu kami pergi ke Indomart. Membeli ini dan itu. Balik lagi ke hotel. Naik
bajaj untuk mencari makan. Pak Roman lagi ingin memakan ketan, atau sesuatu
yang tak biasa. Diantarkanlah kami di jalan Garuda. Turun dari bajaj.
Menyeberang. Salah masuk tempat makan. Dan akhirnya, sampai di sebuah warung
kayu biasa, dengan para laki-laki sebagai penjual dan pembelinya. Omela Ketan
jalan Garuda. Sebuah warung yang dilihat pak Roman sudah cukup tua. Dua puluh
tahunan mungkin. Aku pun hanya mengangguk. Memesan ketan tentunya. Teh di dalam
ceret tanah liat atau orang Jawa menyebutnya kendi. Dan menikmati gorengan
tempe, pisang, dan tahu. Pak Roman, tahu-tahu memesan lagi ketan yang katanya
enak. Kali ini tanpa susu dan macam lainnya yang katanya membuat ketan terlalu
manis. Suara pengamen mengalun keras dan merdu. Lagu-lagu Iwan Fals dan entah
apa keluar dari mulut diiringi gitar dan tabuhan gendang. Tempat ini sangat
ramai. Orang berganti datang dan pergi. Itulah sebabnya pengameng dua orang di
belakangku tadi tidak pergi ke mana dan cukup hanya mengamen di tempat itu saja
sudah terasa cukup.
Setelah
selesai dan memesan beberapa ketan untuk dibungkus. Kami pun berjalan kaki
menyusuri jalalanan yang habis oleh parkir, pedagang kaki lima, dan trotor yang
tak jelas. Mencari makan, yang entah apa yang ingin dimakan. Pada akhirnya
membeli sate ayam dan kambing. Yang satu sambal kacang pedas. Satunya lagi
kecap. Dan mulailah kami balik ke hotel setelah menunggu cukup lama. Di jalanan
Kran Raya, kendaraan berlalu lalang tiada henti. Suasana Jakarta di malam hari
lebih menyenangkan walau juga menjengkelkan. Dari pada siang hari yang bagaikan
kutukan neraka dunia.
Aku
pun disuruh untuk membeli es krim Magnum Classic dan minuman di Indomart yang
tadi sudah kami masuki. Dan setelah itu, kami pun menonton saluran National
Geographic Channel danlainnya. Tiba-tiba ada siaran ulang Efek Rumah Kaca di
TVRI. Baru beberapa lagu semacam Biru, Sebelah Mata, pak Roman sudah
geleng-geleng kepala. Akhirnya menonton The Pirates of Caribbean “At World
End”. Tak lama setelah menatap layar kaca, pak Roman menggulung diri diselimut.
Tidurlah dia. Mengorok. Cukup keras. Sampai pagi!
Esokkan
paginya kami sarapan di lantai 6. Lumayan. Gedung-gedung pencakar langit
menghiasi lanskap kaca di lantai ini. Jika dipandang lebih teliti, mata
diarahkan ke bawah, kata pak Roman, kekumuhan kampung akan terlihat jelas.
Bertolak belakang dengan kesan mewah gedung pencakar langit dari kejauhan.
Seperti itulah Jakarta. Lalu kami balik di kamar. Menonton The Greater Good di
FOX Movie. Jam 12 siang, kami pun keluar. Memesan Bajaj. Mencari mal yang
layak. Malah diturunkan di Golden Mall yang sepinya mirip kuburan. Sialan benar
tukang bajaj itu! Kalau tak hati-hati, ditipu oleh ojek, bajaj dan semacamnya
sangat mudah. Terpaksa kami pun mencari bajaj lagi dan langsug mengarah ke
Pasar Senen karena si bajaj tak tahu mal yang besar di sini itu berada di mana.
Dan transportasi di Jakarta itu sungguh mahal. Bagi para pengelana semacam
backpacker, Jakarta adalah tempat di mana kita bagaikan dirampok habis-habisan
di jalan.
Pada
siang hari, panas Jakarta sangatlah sadis!
Kami
pun turun di Pasar Senen yang acak-acakan. Bekas peninggalan Soekarno ini
terasa mengerikan. Sampah di sana. Sampah di sini. Trotoar hanyalah secuil dan
habis oleh pedagang. Kesan tradisional dan bagaikan pasar desa, tak jauh dari
tempat ini. Lebih mirip pasar Johar yang ada di Semarang dari pada Bringharjo
yang terletak di kawasan Malioboro Jogja.
Berjalan
kaki dengan panas menyengat. Melewati topi-topi bekas. Baju bekas. Sandal
bekas. Sepatu bekas. Mungkin juga wajah bekas. Celana dalam bekas. Dan hati nurani
bekas. Siapa tahu? Dan terus berjalan, menyibak keramaian yang semrawut dan
bau-bauan yang mengerikan. Di mana pun tempatnya, seperti inilah yang namanya
pasar. Sementara itu, kawasan Pasar Senen sendiri adalah kawasan yang
menyedihkan. Sebuah kota yang tak layak lagi disebut kota. Atau bahkan ibu
kota. Indonesia, dan wajah Jakarta sebenarnya sudah menjawabnya, adalah salah
satu negara yang rentan dan kemungkinan akan mengalami keruntuhan karena
masalah politik dan lingkungan hidup. Dalam bukunya, Collapse, Jared Diamond menulis hal semacam itu;
Mari
kita tinggalkan untuk sejenak diskusi tentang masalah-masalah lingkungan di
Dunia Pertama, dan mari bertanya apakah pelajaran-pelajaran dari keruntuhan
masa lalu bisa diterapkan di Dunia Ketiga kini. Pertama-tama tanyai ahli
ekologi akademik menara-gading, yang tahu banyak mengenai lingkungan namun
tidak pernah membaca koran dan tidak berminat pada politik, untuk menyebutkan
negara-negara asing yang menghadapi sejumlah masalah terparah stress
lingkungan, populasi berlebihan atau kedua-duanya. Sang ahli ekologi bakal
menjawab: “Pertanyaan itu mudah sekali, jawabannya gamblang. Daftar
negara-negara yang mengalami stress lingkungan dan populasi berlebih pastilah
berisi Afganistan, Bangladesh, Burundi, Haiti, Indonesia, Irak, Solomon, dan
Somalia, ditambah yang lain-lain”.
Kemudian
tanyai seorang politkus Dunia Pertama, yang tidak tahu apa-apa dan tidak peduli
masalah lingkungan dan populasi, untuk menyebut daerah-daerah bermasalah
terparah di dunia: negara-negara yang pemerintahannya telah kewalahan dan telah
runtuh, atau berisiko runtuh, atau telah terhantam perang saudara belum lama
ini: dan negara-negara yang, sebagai akibat masalah-masalah mereka sendiri,
juga menciptakan masalah bagi kami negara-negara Dunia Pertama yang kaya, yang
akhirnya mungkin harus menyediakan bantuan asing bagi mereka, atau mungkin
menghadapi imigran ilegal dari negara-negara itu. atau mungkin memutuskan untuk
menyediakan bantuan militer guna menangani pemberontak dan teroris, atau malah
mungkin harus mengirimkan balatentara kita sendiri. Sang politikus akan
menjawab, “Pertanyaan itu muda sekali, jawabannya gamblang. Daftar
daerah-daerah bermasalah politik pastilah berisi Afganistan, Bangladesh,
Burundi, Haiti, Indonesia, Irak, Madagaskar, Mongolia, Nepal, Pakistan,
Filipina, Rwanda, Kepulauan Solomon, dan Somalia, ditambah yang lain-lain.”
Berjalan
lagi di antara para penjual. Tertarik dengan majalah National Geographic
Indonesia dan National Geographic Traveler yang ditaruh di antara tumpukan
buku. Kami sudah sampai di antara ruko dan lapak penjual buku bekas. Pak Roman
sudah bergerak duluan semakin jauh. Aku masih terpaku, menawar, menawar, dan
terus menawar,
“empat
puluh ribu pak, pas, kalau tak mau ya sudah,” sambil berjalan agar membuat
kesan tak terlalu butuh.
“Tambah
dua ribu sajalah dek. Dua ribu saja.”
Aku
menggeleng, “empat puluh ribu pas!” melangkah semakin jauh.
“Tambah
seribu saja dek!”
“Empat
puluh ribu pas pak! Kalau tidak mauya sudah, saya bisa cari yang lain.” Sedangkan
orang-orag disekitarnya mendukung diriku karena tahu bahwa harga segitu, si
penjual pun sebenarnya sudah untung cukup banyak. Hingga akhirnya dapatlah
empat majalah National Geograhic Traveler seharga empat puluh ribu rupiah.
Perasaanku mengatakan, di tempat ini, National Geographic harganya jauh lebih
murah. Dan perasaanku memang benar. Jauh lebih murah dari pada di Jogja. Setelah
membelinya, aku berjalan semakin cepat untuk mencapai pak Roman, yang
kelihatannya sudah kelelahan dan tak lagi bersemangat.
Kami
pun berjalan menyusuri satu persatu lapak buku. Banyak buku yang ditumpuk
seadanya, menjulang tinggi. Terlalu banyak buku yang menggoda. Tapi aku tak
terlalu peduli akan hal itu. Untuk saat ini, yang paling menggoda bagiku
tetaplah National Geographic. Aku bertanya, membolak-balikkan berbagai macam
majalah. Menawar. Tapi ketika melihat pak Roman sudah kelelahan, akibat panas
yang mengerikan, pada akhirnya aku pun menaruh iba. Kami pun keluar dari lapak
buku yang jumlah cukup banyak dan tentunya menggoda. Aku bersumpah akan kembali
kemari setelah acara Leo Kristi selesai.
Melewati
Senen Jaya yang terasa kejayaannya sudah lama berlalu. Benar-benar seperti
bangunan yang terlantar begitu lama. Kali ini sekitar pasar terlihat terlalu
sepi. Kata pak Roman, biasanya sangat ramai bahkan sampai di trotoar. Mungkin
karena besok hari kemerdekaan, banyak orang sibuk dengan itu dan sedang
mempersiapkan berbagai macam hal. Tapi yang jelas, Pasar Senen terasa mirip
pasar yang berada di perkampungan atau di sekitar desa. Baiklah, tidaklah
Jakarta adalah kampung? Jadi tak perlu heran. Kami pun berjalan menaiki tangga.
Entah di mana, aku tak tahu. Pak Roman ingin sekali mencari tempat pijat refleksi
sebelum nanti menikmati alunan lagu Leo Kristi dan berkumpul, mengambil tiket
sekitar jam 19:00. Aku hanya menurut. Memandang sekeliling. Mengamati. Berjalan
melewati ruangan dengan interior bambu dengan berbagai macam pakaian batik yang
dijual. Dan ah, ternyata aku sedang berada di Atrium. Sebuah mal yang
bersebelahan, atau menyatu dengan Senen Jaya.
Mal
yang kami masuki tergolong kelas biasa. Atau menengah. Tak terlalu megah,
elegan atau mewah. Panas yang sangat sadis dan luar biasa menakutkan ketika
berada di jalanan kini digantikan oleh rasa dingin dan segar di dalam mal ini.
Kenyaman ini berarti menikmati pendingin ruangan yang merusak lapisan ozon
kita, mengonsumsi sekian banyak listrik dari pembangkit listrik yang sudah
sangat kewalahan dan seringkali mati di berbagai macam daerah, menambah
keganasan batu bara di di udara yang kita hirup, memuaskan dahaga kemewahan dan
konsumsif masyarakat Jakarta yang tentunya tak akan terlalu berkepentingan
dengan hutan yang menghilang di seluruh Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Papua,
dan yang jelas, semakin menguras habis berbagai macam sumber alam dan daya
dukungan lingkungan di berbagai macam daerah yang tersebar luas di seluruh
Indonesia. Di dalam puluhan mal yang nyaman semacam ini, belum ditambah ratusan
atau malah ribuan hotel, perkantoran, rumah-rumah besar, apartemen, gym, pusat
belanja, cafe yang tersebar di mana-mana, spa, lapangan golf, dan sekian banyak
lainnya yang mengisap habis air tanah, menyedot listrik besar-besaran tanpa
peduli apakah besok listrik akan menjadi langka atau tidak, mengonsumsi bahan
pangan dari lahan pertanian seluruh Indonesia yang kebanyakan terbuang dan
teronggok percuma di kulkas rumah tangga, restoran, hotel dan membuang banyak
sekali makanan yang harusnya mencukupi kebutuhan makan orang-orang miskin di
seluruh Jakarta itu sendiri.Siapa yang peduli nasib masyarakat lainnya di luar
Jakarta? Membuang bensin seenaknya di jalanan, membawa mobil dengan pendinginan
udara yang terus menyala tanpa peduli akan langit yang berlubang dan kesakitan
masyarakat lainnya untuk menunjang segala jenis kemewahan Jakarta yang
benar-beanr sadis. Kemewahan Jakarta adalah musibah dan bencana bagi
daerah-daerah lainnya. Dan yang pasti, pusat Jawa ini, adalah neraka hisap yang
sungguh-sungguh mengerikan.
Jakarta
menguras terlalu banyak. Mengonsumsi terlalu banyak. Dan menghancurkan terlalu
banyak. Bahkan 13 sungainya sendiri, termasuk di Ciliwung, terabaikan, kotor
dan bersampah. Pemukiman kumuh hampir di semua tempat. Pohon-pohon kian habis.
Panas terasa membakar. Demi mengosumsi lebih banyak dan lebih banyak lagi.
Jakarta diabaikan oleh masyarakatnya sendiri. Untuk apa memikirkan Jakarta jika
warga kotanya bisa hidup dengan benteng kenyamannya masing-masing? Dari pejabat
negara hingga kelas menengah yang puas dengan mobil dan pendingin udara yang
mereka bawa ke mana-mana. Kebutuhan untuk berubah dan membenahi kotanya sendiri
pun kandas karena masyarakatnya tak memiliki niatan untuk melakukan hal semacam
itu. Di tambah belukar perkampungan dan kemiskinan yang susah ditembus dan
dibenahi. Jakarta adalah lingkaran sempurna bagi neraka dunia yang sebenarnya.
Dan
di sinilah aku dan pak Roman, menunggu datangnya pesanan berupa bakmi naga dan
es kelapa muda. Kami sekarang berada di Bakmi Naga Resto. Di sebelahnya
terdapat gerai makanan D’Penyetz, dan di seberang terdapat KFC, Food Colong,
dan XX1.
Di
resto yang kami duduki ini, terdapat beberapa perempuan muda Tionghoa dan
papanya, yang tak akan mungkin hidup di abad ke-18 karena mereka dibantai di
mana-mana. Ada keluarga yang terkesan Betawi, dan beberapa lainnya yang susah
ditebak. Karena kebanyakan orang yang berada di Jakarta bisa saja pendatang,
orang yang sekedar lewat sebentar, urusan bisnis, bermain, berwisata atau
sekedar iseng. Dulu, Jakarta adalah tempat pertemuan banyak sekali
bangsa-bangsa di seluruh Asia dan bahkan beberapa bangsa Eropa kolonial maupun
yang menjadi tentara bayaran. Tempat hilir mudiknya sumber penghasilan yang
paling menggiurkan yang membuat Eropa melewati berbagai macam guncangan dan
tetap berdiri kokoh hingga sekarang. Jakarta adalah tempat transit dan datang
perginya rempah-rempah dan berbagai macam jenis barang kebutuhan lainnya
semenjak Jayakarta dan Sunda kelapa Hangus menjadi Batavia. Dan akhirnya, bakmi
yang kami pesan pun datang dari pelayan perempuan berjilbab hitam dengan baju
merahnya yang manis.
Ketika
aku baru saja menyendok beberapa suapan bakmi, isi piring pak Roman sudah
kosong lebih dulu. Cepat sekali, pikirku. Mengagumkan memang dia. Orangnya
terlihat tersenyum puas. Selagi aku menikmati Bakmiku, dengan alunan musik Jazz
sebagai latar mal ini, aku mengamati isi bakmi yang sedang dalam proses masuk
ke dalam perutku. Di dalam Bakmi Naga, terdapat dua telur puyuh goreng ukuran
kecil, dua iris nanas, sawi, irisan ayam, tiga pangsit yang kurang enak ditaruh
di piring yang lain, dan kuah putih yang dibuat sendiri dari daging sapi, dan
tentunya saos. Setelah acara makan
selesai dan kesusahan menghabiskan es kelapa mudaku. Kami pun bergegas mencari
tempat pijat refleksi dan mendapatkan kekecewaan setelah berjalan ke sana
kemari hingga sampai lantai dasar. Yang kami cari pijat tangan bukan pijak
mesin. Keluarlah kami dari mal dan langsung pulang menuju hotel dengan bajaj,
melewati panas matahari yang menyengsarakan. Kami membayar tiga puluh ribu
untuk jarak yang sebenarnya tak terlalu jauh. Di Jakarta, biaya transportasi
sangatlah mencekik dan keterlaluan. Dua puluh ribu untuk jarak luar biasa
dekat. Dua puluh ribu lagi untuk ke tempat yang ternyata hanya beberapa menit
berjalan kaki. Dan beberapa puluh ribu lagi untuk sekedar membawa kita ke suatu
tempat yang tak terlalu jauh. Seperti itulah kenyataannya bahkan semenjak masa
Hindia Belanda.Berjalan di Jakarta memang sangat mahal.
Di
hotel, kami pun nonton Nat Geo Wild, “Predator Fails Seek & Destroy” dan
mengistirahatkan tubuh untuk persiapan ke konser Leo Kristi sebentar lagi. Pada
akhirnya pak Roman langsung ke alam seberang. Suara oroknya tak bisa dipisahkan
dari tidurnya.
Jam
menunjukkan pukul 17:00 lebih, dan kami pun bergegas ke Spring Hill menaiki
bajaj setelah mandi dan mempersiapkan barang-barang apa saja yang harus dibawa.
Melewati sebuah pasar, Lenggang, yang suasanya sangat mirip gusuran. Melewati
Citra Tower yang cukup rapi. Walau trotoar sempit namun cukup bersih. Lumayang
banyak pohon sehingga udara terbilang segar di sore hari, yang anehnya, jalanan
bisa aku anggap lengang. Apakah karena menjelang hari kemerdekaan?
Di
arena Spring Hill yang kami, bajaj, lewati, terdapat banyak sekali anak muda
yang sedang asyik nongkrong dengan deretan motor mereka di tengah lingkungan
asri dengan berbagai macam tumbuhan dan pepohonan. Suasananya memang tepat
untuk menjadi tempat anak muda bertemu dan berkerumun. Segar. Nyaman. Taman
yang indah. Tak perlu waktu lama, sampailah kami di tempat tujuan. Aku pun
segera mencari tempat duduk. Bersalaman dengan mama Katya, dan pada akhirnya
juga bertemu Katya dengan agak canggung. Ada beberapa hal di antara kami berdua
yang pada akhirnya membuat kecanggungan menjadi terasa aneh dan kadang lucu. Dan
setelah sibuk bersapa, berjabat tangan, berforo ria, bertemu teman-teman pak
Roman, Albert Go, Lupita, Titi Manyar, Cecilia, Puspita, bu Linda dan Leo
Kristi yang selalu murah senyum, acaranya pun akhirnya dimulai lewat 19.00, setelah
mama Katya dengan murah hati sibuk membagikan tahu supernya yang sangat enak
dan bu Linda tergopoh-gopoh membawa sekian banyak nasi bakar berisi telor dan
lainnya itu. Entah kenapa, aku tiba-tiba bagaikan sedang berwisata bukan sedang
ingin menyaksikan sebuah konser. Mungkin inilah arti dari kata rakyat;
kekeluargaan.
Taman Merdeka Bukit Bersemi, begitulah tema konser
rakyat kali ini dengan formasi lengkapnya; Leo Kristri, Jessin Burhan, Ote
Abadi, Liliek Jasqee, Titi Manyar, Cecilia Fransischa, ditambah Maryam Lupita,
dan Puspita. Dan suara tambahan lainnya, para Lkers atau alien. Tak ada mereka
rasanya dunia panggung konser rakyat akan runtuh dan terasa sepi.
Aku
mendapatkan nomor tiket 000175. Aku rasa tak terlalu buruk konser kali ini. Dan
saat melangkah ke ruangan yang dijadikan konser, suasana sudah cukup ramai.
Banyak orang, yang kebanyakan paruh baya dan tua, menghuni bangku mereka
masing-masing. Dan aku, ya, aku, bagaikan tersasar di antara kumpulan orang tua
dengan masa lalu mereka masing-masing. Anak kecil, remaja, atau dewasa muda,
mungkin adalah generasi yang tersasar di sini atau diculik oleh keluarga mereka
masing-masing. Disandra atau ditawan untuk mendengarkan dan mencintai
musik-musik Leo Kristi. Dan kalau dilihat-lihat, rakyat kali ini, yang akan
segera menikmati konser adalah rakyat kelas menengah-atas. Rakyat tak selamanya
identik dengan kaum miskin bukan?
Jika
para pencinta Leo Kristi yang biasa berada di deretan kursi dan menyaksikan
konser dengan anggun dan tenang. Para maniak, orang gila, dan mereka yang
kecanduannya sudah tak lagi bisa ditolong dan terobati, akan berbondong-bondong
duduk di depan, berteriak, menari-nari, tangan tak bisa diam, mulut nyaris tak bisa
mengatup, mata berbinar-binar bagaikan bertemu dengan sesosok dewa, mendahalui
menyanyi dan melantunkan suara lagu sebelum penyanyinya sendiri mulai membuka
suara, ketagihan untuk terus lanjut sampai pagi bahkan mungkin sampai kiamat
datang tiga kali, dan kemanapun Leo Kristi menggelar konser, wajah mereka
nyaris susah dari kata absen walau seandainya harus berada di benua lainnya
sekalipun. Beberapa di antaranya malah menganggap pulau Indonesia mirip peta
yang bisa dilangkahi, dilipat dan digulung kapan saja demi menyaksikan Leo
Kristi manggung. Seluruh anak cucu mungkin bakal dibawa dan dipengaruhinya
dengan menggebu-gebu hingga nyaris setiap hari tanpa jeda. Seandainya ada
pemilihan walikota, gubernur atau bahkan presiden, yang mana salah satu calonnya
adalah Leo Kristi, yakinlah mereka akan luput dari kata golput seperti
biasanya. Dan mungkin, suatu saat nanti, ada di antara mereka yang lebih gila
akan menamai salah satu anaknya dengan nama Leo Kristi. Kecanduan Leo Kristi
memang susah disembuhkan.
Musik
menggebu. Suara Leo berkumandang di antara suara merdu Titi Manyar, Cecili dan
Lupita yang, kasian, mike-nya bermasalah. Diiringi oleh pemusik konser rakyat
dan para alien, Lkers, yang wajahnya berbinar-binar tak karuan sampai
bergoyang-goyang sendiri bahkan ketika sedang jeda. Mengagumkan memang. Kita
tak perlu geleng-geleng kepala kalau sedang berada di konser rakyat. Kalau
tidak gila atau cukup gila, kenikmataan akan terasa hambar dan biasa.
Dik
doank ada di sebelahku. Lebih tepatnya di sebelah pak Roman. Sebelum acara
dimulai,dengan terburu-buru, pak Roman meminta berfoto ria dengan Dik Doank. Juru
kameranya jelas seorang laki-laki berkulit sawo matang, dengan topi petnya,
yang sedang duduk di sebelahnya. Itulah aku. Dik Doank ada di konser rakyat?
Semua orang cukup heran dan mungkin bangga. Wajah pak Roman terkadang terlihat
berbinar-binar saat konser berlangsung. Terkadang letih. Mungkin terlalu
panjangnya konser yang mencapai lebih dari lima jam! Konser tergila yang pernah
aku saksikan selama ini. Seandainya tak dibatasi oleh waktu, yakinlah, konser
itu akan terus sampai pagi hari. Aku pun harus mencari kursi untuk menyandarkan
punggungku yang sakit-sakitan dan cepat menua di sebelah, di bawahku, seorang
perempuan muda Tionghoa yang sangat senang sekali dengan konser kali ini. Dia
juga diculik oleh kedua orang tuanya.
Tengah
malam, konser pun diakhiri. Banyak maniak Lkers sangat ingin nambah. Tapi apa
boleh buat, jadwal waktu harus dipatuhi. Dan masing-masing dari kami
membubarkan diri dan pergi ke dunianya sendiri. Pak Roman dan aku cepat-cepat
keluar karena takut terjebak macet adat istiadat setelah konser. Makan-makan
dan lain sebagainya sampai pagi. Karena ingin beristirahat dan langsung ke
lombok, kami pun menerjang berbagai macam orang. Berbincang sebentar dengan
Albert Go. Hanya sebentar. Dengan langkah kilat kami keluar dari kawasan gedung
konser menuju jalan raya. Mencari taksi. Di awal pagi hari, lewat kaca taksi
yang memantulkan percih cahaya, Jakarta terasa sendu dan melankolis.
Aku mengusap-usap sebelah mataku.
Kamar masih terlihat berantakan. Selimut tergantung di tepian kasur.
Benda-benda berserakan di meja telpon. Di bawah layar televisi, plastik berisi
makanan, asbak, botol minuman, topi, dua buah apel yang masih terbungkus rapat,
cangkir putih dengan sisa teh atau kopi masih menggumpal, teko listrik, dan
beberapa lainnya saling menjungkirbalikkan tanda semacam ketidakrapian. Aku
melihat sisi seberang kasurku. Terlihat laki-laki paruh baya, kulih
kecokelatan, tubuh cukup pendek, perut menggelembung ke depan, berguling kesana
kemari. Terkadang diam terlentang seolah menikmati nirwana. Lalu suara orok
keras keluar dari hidungnya. Sekarang, waktu menunjukkan angka 06:00 lebih. Aku
masih lelah. Ingin sekali kembali tidur. Pak Roman masih dalam ketenangan
Buddha dan damai di atas ranjang putihnya.
Sebelum
pergi ke arah dunia masing-masing. Kami pun sarapan sekitar jam 07:30. Entah
kenapa, pak Roman pagi ini banyak diamnya. Terasa ada yang lelah di wajahnya.
Seolah-olah di dalam otaknya sedang mendidih segunung masalah yang membuatnya
tampak sedih, tak bergairah dan seringkali diam. Aku pun tak tahu harus berkata
apa. Aku pun memilih banyak diam setelah mencoba membuka suara beberapa kali
tapi nyaris tak ada respon. Adakalanya aku menjadi makhluk asing yang merasa
tak enak sendiri. Setalah sarapan, kami pun kembali ke kamar. Menonton Danny
Collins yang menyentuh. Ketika waktu mendakati angka 10:00, kami pun keluar
hotel. Pak Roman akan kembali terbang ke Lombok. Dan aku menggelandang sebentar
di Jakarta yang ingin aku jelajahi sebagian dirinya.
Pak
Roman naik ke taksi. Aku pun berjalan kaki menuju jalan Kran Raya. Melihat
suasana hari kemerdekaan yang masih semarak di perkampungan depan hotel.
Berjalan melompati genanagan air. Bajaj yang ada di tengah jalan. Mobil
terparkir. Suasana kampung yang terasa akrab dengan canda dan perbincangan di
sana-sini. Sampah yang terserak di berbagai macam tempat. Rumah-rumah yang
ditumpuk seadanya tanpa kesan rapi dan seni sama sekali. Sesampainya di jalan
raya, aku pun duduk di samping warung kecil. Di sambut oleh anak kucing yang
terlihat menyedihkan, tak terurus, bulunya rontok, kumal dan kurus. Di Jakarta
ini, para kucing pun berjuang hidup terlalu keras. Sangat berbeda di Jogja yang
walaupun tak terurus dan liar, masih terlihat gemuk dan cantik. Di sini, kucing
pun diacuhkan. Apalagi manusia dan kota itu sendiri?
Jalan
Kran Raya terlihat mengenaskan. Mengerikan. Dan benar-benar membuat mata
menjadi pusing. Kemacetan di seberang membuatku yang berada di trotoar ini pun
mengalami kejengkelan yang membosankan. Mobil berderet-deret nyaris tak bergerak
selama puluhan menit. Waktu menunjukkan angka 10:03. Kemacetan sudah bagaikan
wabah. Di sekitar Kemayoran ini, dulu, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis membuat
Jakarta juga mengalami kemacetan. Mereka mengembuskan nafas terakhirnya di
Semeru. Seorang intelektual, Gie, yang kecewa, diasingkan dan terluka terhadap
dunia di sekitarnya. Dan yah, di sinilah aku sekarang, dengam embusan angin
yang semakin kencang, langit bergumpal, dan gerimis yang mulai berjatuhan, menandakan
sebentar lagi akan tibanya wajah hujan. Dan Go-Jek yang belum datang tepat pada
waktunya.
Mungkin
kita lupa, dan orang-orang Jakarta pun lupa bahwa “ketika kita membayangkan
peradaban (civilization), kita
terbiasa membayangkan kota. Tidak mengherankan: kita telah memandangi bangunan
sejak kita mulai mendirikan menara dan kuil, seperti Jericho. Sewaktu
arsitektur berkembang meninggi maupun meluas, ia menjadi tidak seperti apa pun
yang sudah pernah dikenal planet ini. Hanya sarang lebah atau sarang semut,
pada skala jauh lebih kecil, yang bisa bersaing dengan kepadatan dan kerumitan
perkotaan kita. Tiba-tiba, kita bukan lagi bangsa pengembara yang membangun
pondok-pondok berumur pendek dari
ranting dan lumpur, seperti burung atau berang-berang. Kita membangun
rumah-rumah yang tahan lama, yang berarti kita sudah lama menetap di satu
tempat. Kata civilization sendiri diturunkan dari kata Latin civis yang berarti
“warga kota,”” tulis Alan Weisaman dalam
Dunia Tanpa Manusia. “Kendati demikian, kegiatan bercocok tanamlah
yang menyebabkan orang membangun kota,” tambah Weisman menegaskan. Kegiataan
bercocok tanamlah, dunia pertanian, dan darah kita sebagai para petanilah yang
nyaris punah di kota-kota yang ada walau bau dan segala hal yang berkesan
pedesaan masih tercermin dari perkampungan yang mengelilingi Jakarta ini. Kita
menganggap semua hal semacam itu sebagai aib. Darah petani kita, kita tekan
habis-habisan. Lalu kita berlindung dalam keglamoran, kemewahan, mobil dan
mobil di jalanan, dan menganggap sinis
dengan kata dan kesan desa dari entah apa pun itu. Lalu apa yang terjadi?
Seperti yang ada di depanku sekarang inilah yang terjadi. Kemacetan tiada ujung
dan pangkal. Karena semua orang ingin menghapus ikatan masa lalunya. Akar nenek
moyangnya. Dan membuang jauh-jauh aib dirinya yang berkaitan erat dengan desa,
petani atau nelayan. Di negara ini, terlebih Jawa, tak seorang pun, nenek
moyang kita, yang tiba-tiba kaya dan langsung menjadi warga sebuah kota. Kita
semua memiliki darah pedesaan yang asri, jauh dari sampah, dan memiliki
perasaan malu jika lingkungan dan tempat tinggal kita terlihat tidak bersih,
rapi, enak dilihat dan nyaman. Dan ketika melihat Jakarta hari ini yang dihuni
oleh sekian banyak orang terpelajar, di mana letak keterpelajaran, kemodernan,
peradaban, dan kesan lebih tahu dan hebat yang selama ini sering mereka
banggakan? Tidakkah hal ini semacam kemunduran otak dan hati? Tidakkah mitos
kehebatan Jakarta hari ini terasa terkesan mengada-ada dan omong kosong?
“Jakarta
merupakan kota dimana jalan-jalannya yang lebar dibuat dan dijaga agar tetap
lancar untuk mobil, truk dan taksi; dimana trotoar sepanjang jalan utama
dibersihkan dari apa pun yang dianggap dapat mengurangi keindahan kota; dimana
bidang-bidang tanah yang luas dibersihkan untuk pembangunan hotel, blok
perkantoran, pusat perbelanjaan dan pemukiman dengan fasilitas lengkap yang
baru. Ini adalah kota yang diinginkan para perencana dan kelas menengah
Jakarta. Kota ini tidak memiliki ruang untuk mayoritas warga miskin yang tidak
mampu menggunakan kendaraan bermotor selain bis, yang tinggal di kampung ‘di
bawah standar” yang biasanya tidak memiliki fasilitas apa pun, di atas tanah
yang biasanya bukan milik mereka sendiri, dan tidak akan pernah mendapatkan
pekerjaan reguler dengan gaji layak,” tulisan Susan Blackburn pada periode
tahun 1980. Jika dilihat-lihat dengan seksama, saat sekarang ini aku menaiki
Go-Jek menuju Katedral, hampir tak ada yang berubah dari apa yang diketahui
oleh Susan. Kecuali mobil bertambah padat, hampir semua warga Jakarta hari ini
memiliki motor, dan, maaf, nyaris tak ada yang indah dari apa yang mereka sebut
sebagai Ibu Kota Jakarta. Sebaik apa pun pemerintah kota, gubernur dan lainnya
mencoba untuk menyelamatkan kota ini dari keboborokan dan wajahnya yang carut
marut dan mengerikan. Jakarta tetap akan menjadi kota yang lebih tepatnya kita
sebut sebagai kampung neraka. Kekumuhan dan kemacetan yang bisa membuat siapa
pun malu dan depresi.
Menjadi
warga Jakarta sudah bukan lagi istimewa. Kota yang tak layak huni bukanlah
tempat orang yang bisa memamerkan gengsinya sebagai warga ibu kota di depan
kota-kota lainnya yang seringkali di sebut dengan daerah. Jakarta kini harus
berani mengakui, mereka kini jauh tertinggal dan sedang menuju pada pembusukan
yang lebih mengerikan karena pertambahan penduduk, pertambahan orang yang
terdidik dan kaya baru yang lebih mementingkan gensi, kelompok, dan segelintir
orang yang dikenalnya saja.
Dan
mengenai Kemayoran, tak jauh beda dengan komentar PK. Ojong di tahun 1969,
“kami kini hanya memperhatikan arsitektur bangunan Kemayoran. Ini pun termasuk
paling buruk di dunia. kalau menunggu kita kepanasan. Setiap lobang yang dapat
memasukkan angin sejuk dari luar seakan-akan beton dan kaca.”
Motor
Go-Jek pun memasuki jalan Gunung Sahari yang menyedihkan dan kumuh. Jika
melihat gambar atau foto masa lalu, jalan ini pernah rindang dan luas. Tapi itu
masa lalu yang jauh. Meliuk-liuk di jalan Budi Utomo yang trotoarnya sangat
jelek dan tak banyak pohon yang meneduhkan kepala dan membersihkan udara. Lalu,
jalan Lapangan Banteng yang sangat bersejarah itu, di mana terdapat Istana
Daendels dan lapangan Waterloonya, yang kini berubah jadi Lapangan Banteng, dan
sebuah tempat di mana dalam tulisannya Soe Hok Gie, ingin menembak yang dianggapnya
para pengkhianat bangsa inidi tempat tersebut. Coba bayangkan, masihkah ada
aktivis yang hari ini menulis semacam ini, “mereka generasi tua: Soekarno, Ali,
Iskak, Lie Kiat Teng, Ong Eng Dje, semuanya pemimpin-pemimpin yang harus
ditembak di Lapangan Banteng. Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan
radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran cuma ada di
lagit dan dunia hanyalah palsu, palsu”. Dan kita tinggal mengganti nama-nama
itu dengan nama presiden, para menteri dan pejabat negara hari ini. Sedangkan
radio diubah menjadi televisi, internet, koran dan lain sebagainya. Yang
terjadi kemudian adalah diculik oleh polisi, BIN, atau bahkan presiden kita
sendiri. Kebebasan semacam Gie adalah masa lalu. Masa kini adalah kepengecutan
yang mewabah.
Sesampainya
di Katedral Jakarta atau lebih dikenal Gereja St. Perawan Maria,terlihat banyak
kendaraan polisi terparkir di jalanan. Dan di dalam gereja pun sangat penauh
dengan mobil. Baiklah, sepertinya aku hanya bisa memandanginya dari luar saja.
Gereja Neo-Ghotic yang indah dan elegan dari sisi luarnya. Lingkungan yang
bersih terasa menyegarkan di mata. Setelah aku bertanya dengan seorang dari
angkatan laut, ternyata memang ada acara khusus. Aku pun berjalan. Menengok
lagi gereja dari pagar luar, dan melihat spanduk bertulisankan, “MISA SYUKUR
HUT KE-71: TNI dan Polri Kerja Nyata Demi Bangsa dan Negara.” Dan, otakku
langsung merespon, sejak kapan TNI dan Polri benar-benar serius bekerja sama
selain nada rivalitas dan bermusuhan? Kebohongan yang ditutupi dengan agama
memang terasa tak asing dan melenakan.
Germis
semakin membesar. Aku mencoba menyeberani jalan Katedral. Mobil. Mobil. Mobil.
Trans Jakarta. Taksi. Motor. Mobil. Mobil. Mobil. Mobil. Puluhan mobil. Taksi.Terus
menerus mobil. Sepeda motor. Motor. Sepeda motor. Mobil lagi. Mobil lagi. Dan
lebih banyak lagi mobil. Membuatku terus tertahan di tepian seperti orang idiot
yang menunggu harapan dari orang-orang terpelajar yang lebih sering tak
menggunakan otak dan nuraninya. Gema film dokumenter Home sampai juga di tempat
ini, “mobil telah menjadi simbol kemewahan dan kemajuan. Bila model ini diikuti
oleh setiap masyarakat, planet ini tidak akan memiliki 900 juta kendaraan
seperti sekarang tapi 5 milyar kendaraan”. Dan Jakarta sendiri, bukan yang
lainnya di dunia atau di seluruh Indonesia, memiliki kendaraan bermotor, yang
di dalamnya juga mobil, melebihi orang yang hidup di dalamnya. Jakarta
ditinggali oleh sekiar 10 juta jiwa manusia. Yang tertinggi di seluruh
Indonesia dan salah satu megapolitan terbesar di dunia. Dan dari 10 juta orang
ini, tepatnya 10.075.300 jiwa menurut data BPS 2014 yang sekarang mungkin
berkecambah lebih banyak lagi ditambah mahasiswa, orang asing yang lewat,
mereka yang belum terdaftar dan lainnya, memiliki jumlah kendaraan yang
melebihi jumlah warga kota yang menghuninya. Jakarta memiliki sebesar 17.523.967
unit kendaraan bermotor; 13.084.372 untuk sepeda motor. 3.226.009 bagi
kendaraan berjenis mobil. 673.661 jenis mobil barang. Angkutan bus sebasar
362.006 unit. Dan kendaraan khusus sebesar 137.85 unit. 7 juta lebih banyak
dari isi, warga kota, yang terdaftar di Jakarta. Itu, 7 juta kendaraan, sama
dengan menggabungkan Surabaya, Bandung, Semarang, ditambah Jogjakarta, Solo,
Klaten dan beberapa kota kecil lainnya, yang masing-masing kota hanya memiliki
penduduk sekitar 300 ribu hingga 3 juta penduduk. Jadi ketika aku nyaris tak
bisa menyeberangi jalan raya seperti sekarang ini, yang aku bisa lakukan
hanyalah, menggumam, “dasar Jakarta keparat! Berengsek! Setan! Bajingan! Tolol!
Tak terdidik dengan benar! Idiot! Kampung paling sialan yang pernah aku lihat dan
masuki di tanah Jawa ini!” dan sayangnya, itu memang benar. Jakarta, seperti
kata Ahok, menambahkan 1.200 kendaraan bermotor di jalanan setiap harinya;
300-400 untuk mobil. 800-an untuk motor. Ini berarti, Jakarta memiliki sebuah
warga yang keranjingan akan kendaraan bermotor tanpa peduli otak, hati, dan
kecerdasannya pecah menjadi sampah knalpot di jalanan. Orang-orang Jakarta
memang benar-benar sudah gila!
Kalau
perihal kegilaan, orang-orang Jakarta memang benar-benar sudah gila. Itu
terbukti dari semakin banyaknya orang yang mengidap gangguan jiwa di kampung
ini- Jakarta adalah kampung. Bukan kota. Titik.
Dan Jakarta adalah yang terbesar dari yang lainnya di seluruh Indonesia.
Departemen Kesehatan mencatat, 2014, dalam riskesdas atau data riset kesehatan
dasar, terdapat 385.700 jiwa atau 2,03 persen yang mengidap gangguan jiwa
sebagai pasien. Terbesar di seluruh Indonesia! Selamat! Tentunya, yang tak tercatat
lebih banyak lagi. Atau tak perlu terkesan ilmiah, mungkin separuhnya warga
Jakarta sudah benar-benar gila. Setengah gila. Atau seluruh Jakarta mengidap
gangguan kejiwaaan sedang dan parah: dalam artian medis-psikologis, sosial,
hati nurani, atau pertanggungjawaban moral. Indonesia sendiri memiliki 1 juta
pasien yang mengidap gangguan jiwa berat dan 19 juta yang berskala ringan.
Sekali lagi, tentunya banyak lainnya yang tak tercatat. Dan puluhan ribu
lainnya yang terpasung, mati di kamar, atau menggelandang dan bermain peran
teater di jalanan. Indonesia memang teater besar kegilaan yang diakui bersama
di belakang layar otak kita masing-masing. Dan ah, zaman PK. Ojong mengeluhkan Jakarta
pun masih terasa, “Anda dapat menyaksikan setiap hari kerja di Jakarta.
Penduduk dengan muka yang membayangkan kesangsian atau ketakutan, dengan tubuh
bukan lurus tegak, dengan sebuah tangannya melambai-lambai ke bawah. Memohon,
meminta (tanpa berkata apa-apa), yang seperti mengemis-ngemis kepada pengendara
mobil. Menagpa berbuat demikian? Apa maksudnya? Tak lain daripada agar
pengendara mobil memberi jalan kepada mereka. Agar mereka dapat menyeberangi
Jakarta yang ramai itu.” Sayangnya, itu bukan terjadi saat ini. PK. Ojong sudah
lama mati. Itu terjadi ketika Ojong masih hidup dan menulis di Kompas, 16
desember 1966. Jadi, semenjak 1966 hingga sekarang ini, 2016, keadaannya nyaris
tak berubah. Tak berubah! Kita sebagai orang yang hidup di pusat ini harusnya
bangga dalam mempertahankan tradisi yang sangat kuat akan suatu cita rasa
kekacauan, kesemrawutan, dan semaunya sendiri. Tapi aku tak melambaikan tangan.
Tidak mencondongkan diri dan melambai-lambai meminta permohonan untuk berhenti.
Aku hanya melangkahkan kaki ke tengah ketika jalan sedikit terasa sepi. Dan
wussss, dari arah belakang, beberapa jenis mobil melaju sepertiberada di arena
balapan dunia. Tentunya, untuk orang gila macam aku yang masih memiliki sedikit
kesadaran, aku pun bergerak secepat kilat ke belakang. Seperti itu
berkali-kali. Hingga akhirnya, dua orang di seberang, mereka adalah malaikatku,
menekan tombol penyeberangan. Lampu berwarna kehijauan dengan laki-laki gundul
berjalan kaki pun muncul beberapa detik. Dua orang itu menyeberang. Aku pun
menyeberang. Tentunya sambil berlari. Jadi, di Jakarta ini, lampu penyeberangan
pun belum tentu menjinakkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang melaju
dengan padat dan luar biasa kencang.
Benar-benar kota sadis dan kejam.
Sesampainya
di seberang, depan Masjid Istiqlal, aku baru sadar ternyata ada tombol untuk
penyeberangan yang tersedia. Sialnya, tertutup dengan truk dan bus polisi
sehingga mataku tak mampu menangkapnya hingga terpaksa menunggu cukup lama
hanya untuk sekedar menyeberang!
Sampah
adalah sebagian dari iman. Itulah yang berkumandang di kepalaku ketika
memandang kawasan masjid yang didirikan Soekarno dan selesai di masa Ali
Sadikin ini. Masjid berwarna putih yang terlihat kusam dan tak terawat. Masjid
yang kini bagaikan tempat pembuangan sampah seperti sungai Ciliwung yang
mengalir melintasinya. Membawa sampah dengan warna keruh kecokelatannya. Di
tempat di mana iman dijunjuung tinggi ini. Sampah seolah menjadi hal yang
wajar. Mengingat ini Jakarta Pusat. Mengingat ini masjid yang diagungkan dan
sanga terkenal se-Indoensia bahkan dunia. Dijadikan tempat berkunjung orang
asing yang ingin mengenal Indonesia, Jawa, dan Islam. Sampah berada di pintu
gerbang, parkir, di sela-sela tumbuhan dan pohon-pohon, di jalan menuju ruang
masjid, bahkan berada tepat tak jauh dari jarak pandang pengurus masjid berada.
Sampah adalah bagian dari orang Islam Jakarta. Jawa. Indonesia. Dan yang
mengerikannya, Jakarta tidak sekedar mewakili sebuah pulau bernama Jawa. Tapi semua
pulau, daerah dan kota lainnya yang berada di Indonesia. Dan ketika melihat
Istiqlal menjadi sekedar tong sampah. Tidakkah Froum Pembela Islam (FPI) dan
Forum Betawi Rembug lebih baik mengurusi kebersihan rumah tuhan mereka? Atau
pada dasarnya, kebanyakan orang Islam yang beragama, nyaris tak paham dengan
agamanya sendiri? Sehingga kenyataan, seperti yang aku lihat sekarang ini,
benar-benar tidak sesuai dengan yang digembar-gemborkan?
Tak
lama aku berada di Masjid yang kedap dengan kenyataan ini. Aku pun keluar
dengan seseorang yang tak sengaja aku kenal di dalam masjid karena meminta
tolong padaku, meminjam charger handphone. Pada akhirnya, kami pun sepakat ke
luar dari dalam masjid menuju tempat bus wisata terparkir di gerbang samping
masjid ini. Inilah pertamakalinya aku tahu letak bus wisata, pangkalan, itu
berada. Banyak pedagang kaki lima dengan segala jenis barang dagangannya.
Begitu juga bajaj. Aku pun menaiki bus bertingkat berwarna kuning. Sedangkan
dia yang berwarna biru. Dan bus pun bergerak setelah mengambil beberapa
penumpang. Di belakangku terdapat empat perempuan muda yang sibuk dengan cerita
dan dunia mereka. Sebelahku, di depan, kursi yang berlainan, terdapat seorang
bapak-bapak dari Jawa Tengah yang cerewetnya minta ampun ingin cerita banyak
hal. Mengenai pramuka. Mengenai baru pertama kali naik bus ini. Mengenai betapa
senangnya memiliki teman bicara, aku, dari Jawa juga. Dalam artian Jawa Tengah.
Aku pun ganti menyerang dia bertubi-tubi dengan segala macam keluhanku mengenai
Jakarta hingga memaksanya terdiam. Aku sedang ingin mencatat.
Bus
Wisata memang cukup menggembirakan. Halus. Nyaman. Dan tentunya, menangkal rasa
panas dari neraka Jakarta. Itulah sebabnya hampir semua orang yang memiliki
mobil lebih nyaman berada di dalam mobilnya walau harus terjebak di jalanan
selama berjam-jam.
Bus
melaju. Suasana Istana sehabis perayaan hari kemerdekaan masih terlihat. Banyak
orang yang sibuk membereskan panggung dan segala jenisnya. Melewati jalan Medan
Merdeka Barat, aku melihat seorang laki-laki pengendara motor terkena tilang
oleh polisi lalu lintas. Aku ingin tertawa sekeras-kerasnya. Di jalan ini,
mobil berkuasa penuh atas lebar dan isi jalanan. Mengingat 3 juta mobil
dimiliki oleh orang Jakarta, seperti inilah jadinya. Macet oleh deretan mobil
yang tak berperasaan. Spanduk yang berisikan imbauan dan peringatan akan
berlakunya sistem plat ganjil-genap pun nyaris tak berpengaruh apa-apa. Di
sekitar Harmoni, bus cukup lancar. Gajah Mada Plaza pun terasa ironis. Tokoh
agung Majapahit itu kini pun berubah sekedar menjadi Mal. Sementara di jalan
Gajah Mada sendiri, bus mulai melambat. Bangunan bobrok dan kusam terlihat di
sisi jalan. Mobil menghantui Jakarta. Di mana-mana seolah mobil bagaikan semut
berkerumunan tak terkira banyaknya. Lama kelamaan, jumlahnya terasa kian
mengerikan. Di sepanjang sungai, terdapat pepohonan yang memanjang mengikuti
garis lekuk sungai, yang tentunya tak mampu mengusir suasana suram hawa panas
dan bentuk kota yang menyedihkan. Jakarta masih terselamatkan karena pepohonan.
Seperti di jalan Medan Merdeka dan lainya. Tanpa pepohonan, yang terlihat
adalah kota yang mengerikan seperi terlihat jelas dari kaca bus yang aku naiki.
Bus melaju. Beberapa polisi terlihat sedang mencatat mobil yang terparkir
dengan liar di sepanjang jalan Gajah Mada. Begitu juga kendaraan lainnya. Mungkin
inilah sedikit dari prestasi Ahok mengenai parkir liar yang sedikit membuat
jalanan terasa tak menumpuk dan dipadati oleh suasana parkir yang biasanya
sangat melumpuhkan. Tapi mengingat sekarang ini jalanan yang ada di depanku
penuh dan macet, prestasi semacam itu pun nyaris tak terlalu penting selama
jutaan mobil dan motor masih bebas bergentayangan tanpa adanya semacam
peraturan yang tegas. Entah pajak karbon, pajak kendaraan bermotor yang
dimahalkan (walau ada spekulasi akan menaikkkan pajak mobil sebesar 15 persen),
atau kendaraan yang berumur lebih dari sepuluh tahun dilarang melintasi
Jakarta.
Bus
terus melaju. Tersendat-sendat. Sebuah mobil terlihat membuka jendela kacanya,
membuang plastik bungkus rokok di jalanan tanpa rasa bersalah. Aku akan sangat
setuju jika wacana menaikkan harga rokok menjadi kenyataan. Berharap harga
rokok di Indonesia sebungkus menjadi 150-300 ribu, adalah sebentuk khyalan yang
mewah. Di Jakarta, rasa bersalah sangatlah langka jika mengenai jalanan dan
lingkungan sekitarnya.
Terdapat
perbaikkan jalan di Jakarta dan beragam proyek yang terlihat sangat jelas di
sana sini. Begitu juga di jalan menuju kota tua sekarang ini. Melewati pasar
HHW, suasan buruk kota ini kian bertambah. Motor terparkir penuh di area mal.
Nyaris tak ada pepohonan. Trotoar hanya kenangan masa lalu dan terlihat seperti
bongkahan bebatuan kecil yang impoten. Setiap kali keluar menjauh sedikit dari
pusat Jakarta, keburukan seolah-olah berlipat menjadi pangkat 2 hingga 10.
Terlebih jika bergerak menuju Jakarta Utara. Menuju apa yang dulu dinamakan
sebagai pemukiman tercantik di Hindia Timur. Sang Ratu dari Timur, Queen of the East, itulah sebutan
Batavia masa lampau yang kini lebih dikenal sebagai Kota Tua. Dan benar-benar
sangat tua, rentan, rapuh, dan terlihat menyedihkan ketika terakhir kali aku
menemuinya. Dan kali ini, ketika bus berhenti di depan Museum Bank Indonesia,
kota tua benar-benar terlihat tak ada perubahan sama sekali. Panas seketika
menamparku hingga berjalan sempoyongan.
“Kota
tua di Batavia, dengan kanal dan rumah bata merahnya benar-benar terkesan tua
dan lusuh,” tulis Geoffrey Gorer pada tahun 1935. Dan aku pun sangat sepakat.
Lebih sepakat lagi saat Charles Walter Kinloch, 1852, menulis, “saat mendekati
Batavia adalah saat yang paling tidak menyenangkan”. Sesungguhnya luar biasa
sangat tidak menyenangkan bahkan mengesankan sedikitpun tidak. Dan aura ilusi
seperti yang dialami oleh salah satu perwira Prancis, salah satu anggota
pasukan kawal raja Charles X, pada tahun 1830, tidak terjadi kepadaku.
Sayangnya, aku melihat Jakarta dari kota baru, Weltevreden menuju Kota Tua yang
sama-sama buruknya. Sang perwira Prancis itu menulis kesannya;
Begitu
turun dari kapal, saya disergap rasa kecewa yang aneh. Kepala staf tentara dan
regu musik telah menunggu kedatangan kami di dermaga; para serdadu kami dengan
seragam upacara, samasekali baru, berbaris keluar dari sekoci, dan begitu kami
sampai terdengarlah bunyi genderang dan alunan musik perang mengiringi kami ke
arah tempat tujuan. Dengan gagah saya berjalan di barisan depan kompi dengan
langkah yang telah saya latih dengan baik sebelum berangkat dan selama
perjalanan. Saya menunggu saat-saat memasuki kota di mana perhatian umum akan
tertuju pada seragam bagus dan suasana militer pasukan kami. Namun alih-alih
kota yang indah sebagaimana dibanggakan, betapa terperanjat saya ketika kami
memasuki jalan sempit, sepanjang sisinya penuh dengan gubuk-gubuk bambu di
tengah sesaknya para kuli compan-camoing, Melayu maupun Cina. Mereka memandangi
kami dengan dingin atau dengan senyuman tolol. Mayor yang selama pelayaran
bercerita muluk-muluk tentang keindahan Batavia, berjalan beberapa langkah ke
depan saya. Sebenarnya saya ingin sekali mendekat untuk mengolok-oloknya...
Akhirnya, setelah bergerak selama setengah jam melewati jalan-jalan sempit dan
berliku-liku, tiba-tiba jalan mulai melebar, mayor berhenti dan memerintahkan
pasukan berbaris. Akhirnya dia berkata kepada saya dengan nada mengejek: “
Pastikan pasukan Anda berbaris rapi, kita akan memasuki kota..” Baru kemudian
saya sadar bahwa daerah pinggiran yang baru saja kami lewati adalah sisa-sisa
kota lama Jakarta. Kami langsung memasuki jalan yang indah dan lebar, sejnis
trotoar yang dipagari pemukiman apik, semuanya dikelilingi dengan kebun-kebun yang
luas. Bayang-bayang pepohonannya sampai menyentuh jalan, dan bunga-bunga
menebarkan bau harum. Jendela-jendela dan teras rumah itu ramai dengan kaum
perempuan yang berkilauan dengan dandanan ala Eropa; para pria memakai topi
anyaman lebar ala Panama, dan mengenakan jas serta pantalon dari katun polos
atau kain putih. Mereka berdiri di setiap sisi jalan sambil mencangklong pipa
dan sesekali saling memberi salam dan berjabat tangan dengan beberapa perwira
kami yang mereka kenal.
Pemandangan
tersebut jauh berbeda dengan kondisi yang baru saja kami temui. Masyarakat
tampak berkumpul menyambut kedatangan kami, rumah-rumah sangat elok,
pemeliharaannya memantulkan kebersihan yang cermat sebagaimana ciri khas
masyarakat Belanda, dan sungguh kontras dengan kekumuhan dan gubuk-gubuk reyot.
Semua itu, menurut saya, memberikan kesan yang sangat menyenangkan dan
serta-merta mendamaikan perasaan saya dengan negeri yang dalam perkenalan
pertama terasa sangat menjijikan.
Jalan
besar dengan deretan pepohonan (boulevard)
yang kami lewati terentang sepamjag tiga kilometer ke tengah pemukiman dan
kebun-kebunnya yang beraneka ragam bentuk dan luasnya. Suasana semacam itu
meredam kesan monoton dan membosankan yang biasa timbul di jalan-jalan yang
panjang dan lurus dengan bangunan-bangunan yang seragam. Akhirnya kami tiba di
tempat yang luas berbentuk persegi yang dikelilingi dengan bangunan. Dari
bentuknya terlihat bahwa kami sudah sampai di tempat tujuan. Tempat itu bernama
Weltevreden, atau kawasan militer, di tempat itulah para serdadu akan di
asramakan. Rumah-rumah yang bagus untuk para perwira terletak di samping asrama
mereka. Semuanya bersih dan nyaman, jarang sekali kami jumpai yang semacam itu
di garnisum Eropa... Mayor mendekati saya dan berkata, “Bagaimana pendapat Anda
tentang tempat tinggal kita? Saya Jawab, “Tampaknya menyenangkan, mirip surga
dunia, tapi saya rasa Anda semestinya memberitahu bahwa untuk sampai di tempat
yang memesona ini, kita harus melewati pemukiman yang buruk..
Rasa-rasanya,
hari ini, menuju ke Weltevreden, atau kini Jakarta pusat, tepatnya Medan
Merdeka atau persegi yang bernama Lapangan Merdeka atau Monas, entah dari sisi
manapun, dimulai dari Jakarta Timur, Selatan, Barat, maupun Utara, suasanya
akan terasa sama saja; buruk dan mengerikan. Kemacetan. Kekumuhan. Sampah di
mana-mana. Rumah bobrok dan lusuh. Panas yang luar biasa. Dan tentunya, setelah
sampai di pusat kota pun, tak ada yang bisa dikagumi seperti orang-orang di
masa lalu mengaguminya. Karena pusat kota pun sama kumuhnya, berantakannya, tak
jelas, macet, dan hanya terselamatkan oleh kesan masa lalu sebagai taman dan
hunian warga Eropa dengan bangunannya yang luas dan megah. Dan kini, masukilah
Kota Tua dari pusat kota. Dan yang akan kamu rasakan adalah seperti yang
sekarang aku rasakan.
Memasuki
kota tua, tepatnya berada di trotoar seadanya di depan Museum Bank Indonesia,
aku pun mencoba mencari jalan ke sisi seberang. Dan, betapa susahnya! Motor
menyelinap, wuuuuuss. Mikrolet wuuuuss. Mobil wuuuuuss. Bus angkutan kota
wuuuuss. Berbarengan. Silih berganti. Saling menyalip. Dan keadaanku mirip
seperti yang terjadi ketika menyeberang di jalan Katedral siang tadi. Dan kali
ini lebih mengerikan karena laju kendaraan lebih cepat dan tak terkendali. Aku
kesana-kemari menyusuri trotoar mencari jalan yang bisa dijadikan tempat
menyeberang. Cukup jauh. Aku pun memutuskan untuk nekat berlari dan menghadang
kendaraan lewat ketika terpaksa menyeberang layaknya eksodus musa di zaman
modern. Menyeberang di jalan raya Jakarta tak ubahnya latihan bunuh diri.
Aku
berjalan. Tap tap tap. Mendengus melihat sampah masih berkeliaran di tempat
ini. Memasuki area Kota Tua yang penting dan kini menjadi cagar budaya yang
dikelola seadanya. Melewati anak-anak sekolah. Orang-orang yang wajahnya
terlihat juga seadannya. Turis asing dan lokal. Turis asing di sini lumayan
banyak. Walau tak sebanyak Jogja kalau aku melihatnya. Melintasi beberapa cafe
yang cukup ramai. Dan tibalah di lapangan luas dengan berbagai macam jenis
orang di dalamnya; anak sekolah berseragam pramuka. Turis asing berpakaian
minim dan seksi. Orang Tionghoa yang terkadang lewat. Sepeda berwarna warni
yang dicat seadanya, melintas dengan topi bundarnya yang seolah ingin
memaksakan masa lalu di tempat ini terulang. Dan sebagian besar orang yang ada
di kawasan Kota Tua ini adalah orang-orang kampung menengah-bawah, yang
kebanyakan miskin yang terlihat jelas dari gaya mereka berjalan, berpakaian dan
berperilaku. Sementara orang kampung lainnya, warga menengah-elit hanya
terlihat beberapa. Tak terlalu banyak. Jika ada yang melintas dan terkesan
orang berada, kebanyakan adalah wisatawan atau tak sengaja berada di kota ini
untuk alasan tertentu dan mengisi waktu luangnya untuk ke Kota Tua. Hal yang
sangat terlihat jelas di Jakarta adalah sedikit sekali aku melihat perempuan
cantik berada di jalanan, tempat wisata umum, atau yang berkesan tempat publik
atau open space.
Di
Semarang, kita bisa menyaksikan ratusan atau ribuan anak muda dan orang tua
mereka berkumpul atau nongkrong di antara Simpang Lima, jalan Pahlawan, hingga
kawasan Tugu Muda. Bergaya modern. Modis. Sadar penampilan. Dan terawat. Banyak
dari mereka juga naik bus dan angkutan kota. Di Bandung kita dengan mudahnya
mendapatkan berbagai macam perempuan cantik, laki-laki modis, dan para orang
tua mereka yang tak kalah modisnya di jalan-jalan. Terlebih orang-orang
Tionghoa yang sudah nenek-nenek saja mungkin gaya berpakaiannya mirip anak
remaja. Tidak di sekitar Braga, Asia-Afrika dan Dago. Bahkan banyak perempuan
cantik pun rela naik angkutan kota. Begitu juga halnya di Bogor. Bahkan
seringkali aku melihat orang berpergian untuk pacaran dengan menggunakan
angkutan kota. Dan di Bogor, sangat mudah melihat perempuan cantik di
jalan-jalan. Orang Sunda, kalau dilihat, memiliki kulit putih pucat yang tidak
kusam sehingga kesan desa, kampung, dan lainnya, seolah tersamar dan hilang. Di
Jogja sendiri, hampir di setiap sudut, aku menemukan orang-orang yang modis,
sadar mode, dan benar-benar menampilkan modernitas sebuah kota walau kita tahu,
Jogja terbilang kecil dan bahkan bisa kita sebut juga sebagai kampung. Tapi di
sana ada begitu banyak galeri seni dengan acaranya, Institute Seni Indonesia,
Atma Jaya dan Sanata Dharma yang biasanya dihuni oleh mahasiswa kelas
menengah-atas, UGM yang sangat jelas sekali, UNY, dan banyak lainnya yang
sangat berdekatan. Berbagai tempat wisata yang tak berjauhan. Berbagai macam
cefe yang terfokus di antara Sleman sampai Keraton. Dengan luas yang kecil,
pertemuan ribuan dan jutaan orang yang kebanyakan adalah pelajar, seniman,
sastrawan, penyair, musisi dan lainnya sangat mudah. Terlebih Jogja adalah
tempat wisata. Berbeda halnya dengan Jakarta yang aku lihat di mana banyak
warganya adalah orang-orang yang dalam artian sesungguhnya memiliki akar kuat
pedesaan-orang-orang yang lahirnya di desa yang berurbanisasi dan menurunkannya
ke anak-anak mereka kebiasan mereka saat hidup di desa. Dan latar kuat pedesaan
itu hanya berubah statusnya menjadi kampung. Sementara mereka yang kelas
menengah-elite, yang terlihat glamor, kasual terawat, dan enak dipandang,
menutup dirinya di mal, galeri seni, gym, hotel, lingkungan kantor, rumah, dan
semacam itu. Dan kebanyakan dari mereka mengurung diri di mobil masing-masing
jika berada di jalanan. Itulan kenapa, kalau boleh dilihat dari segi penampilan
jalanan lewat orang-orangnya, Jakarta sangatlah menyedihkan. Orang-orangnya
terlihat sama lusuhnya dengan bangunan yang mereka tinggali. Keindahan kota
yang sudah buruk bertambah buruk lagi. Aku selalu mengeluh hal semacam itu
ketika berada di Jakarta. Jalanannya menjadi sangat membosankan.
Jakarta,
atau Batavia yang dilihat J.WB. Money di tahun 1858, yang bersih dan cantik,
sudah lama mati. Begitu juga kota yang dilihat oleh Sir John Barrow pada 1792,
“Batavia, walaupun wilayahnya tidak tergolong besar ataupun memiliki bangunan
yang pantas dikagumi berdasarkan desainya yang elegan atau ukurannya yang
besar, kota ini masih dianggap setingkat denga kota-kota teratur dan tercantik
di dunia,” benar-benar hanya tertinggal di dalam tulisan. Kota Tua benar-benar
mengenaskan. Atau sebih tepatnya, sangat mirip seperti apa yang dikatakan oleh
Andrew Vltcek, dalam bukunya Indonesia,
“... segera setelah memulai perjalanan dari Jakarta, kami menyadari bahwa dalam
dua tahun terakhir ini tidak ada perubahan positif yang terjadi. Sementara
beberapa tahun yang lalu infrastruktur Indonesia menjelang runtuh, sekarang
sudah benar-benar hancur total”. Dan aku pun mengangguk penuh kesepakatan.
Setelah
melihat dari kejauhan dan sekilas Museum Wayang dan Cafe Batavia. Mataku kini
termenung di sebuah bangunan besar, megah, yang dibangun tahun 1710 sebagai
Balai Kota Batavia yang kini menjadi Museum Kota Jakarta atau Fatahillah.
Sebuah tempat, yang mana di antara lantai batunya yang memenuhi lapangan,
adalah tempat di mana berbagai macam jenis hukuman keras dilakukan. Abad ke-17
dan 18, seandainya aku berjalan-jalan di sekitar kawasan ini, mungkin aku akan
menyaksikan segerombolan orang dicabik-cabik kulit badannya, dipasung, disiksa,
bahkan digantung secara bersama-sama. Seandainya yang dihukum itu adalah
orang-orang pendusta, pembohong, pengkhianat, dan mereka yang menyelewengkan
uang negara, mungkin aku akan melihat sederet mantan hakim agung, anggota DPR,
anggota kejaksaan agung muda dan tua, sekumpulan bekas polisi, beberapa puluh
eks gubernur, walikota, dan kepala daerah lainnya. Dan mungkin juga, di sini,
aku akan melihat presiden, menteri dan bawahannya, para pebisnis terkemuka
hingga para konglomerat dihukum pancung seperti ketika masa Teror Besar di
Prancis selama Revolusi. Aku bagaikan membayangkan Louis dan Robespierre
digantung bersama-sama. Sayangnya, Batavia, sekarang Jakarta, adalah tempat di
mana para penguasa dan orang-orang yang berada di lingkarannya dilindungi.
Tidakkah ini adalah kota yang mana dibuat untuk mereka, para elite, dengan
tumbal warga miskin yang menjadi mayoritas besar penduduknya?
Setelah
bosan melihat mantan Balai Kota dan penjara kolonial. Aku bergegas menuju
Museum Seni Rupa dan Keramik. Terlihat sedang ada pameran di dalamnya. Aku pun
masuk, membayar karcis sebesar 5 ribu rupiah lalu merebahkan diriku di bawah
rindangnya sebuah pohon. Di baliho, pameran yang akan digelar berjudul Home yang bersifat kontemporer. Dan
sialnya, baru akan dimulai malam ini. Jelas sekali aku tak akan sempat untuk
menyaksikannya.
Aku
pun melangkahkan kakiku di sebuah bangunan kolonial dengan tiang-tiangnya yang
kokok putih menjulang. Terlihat merah putih bergelombang menghiasi ujung
tiangnya. Disambut dua kepala seorang tokoh yang tak asing; Raden Saleh, sang
pelukis para Raja yang kesepian hingga akhirnya hayatnya. Dan Sudjojono, kalau
tak salah ingat. Lalu kakiku berbelok ke kiri. Melewati ruangan yang
bertuliskan Ruang Seni Rupa. Aku berjalan sangat cepat. Mencari toilet. Kandung
kemihku sudah tak tahan lagi. Berjalan lurus, belok ke kanan, melewati ruangan
pecah belah dan keramik. Sampailah aku di toilet dengan perasaan puas. Keluar
dari toilet, mata tertuju pada seorang laki-laki yang sedang duduk di sebuah
kursi dan sedang terlihat bermain dengan gadgetnya. Dan yang paling penting,
dia sedang mengisi baterainya! Setelah dia pergi, aku pun berkuasa di situ
selama lebih dari satu jam dengan angin semilir dan pepohonan yang membuatku
sejuk dan damai. Aku membaca bukuku, Cendekiawan dan Politik, diiringi lagu
dari album Sinestesia dan Leo Kristi. Lewat banyak orang di depanku: orang tua
yang lekat-lekat melihat diriku, mungkin kaoas yang aku kenakan bertuliskan
Konser Rakyat Leo Kristi. Seniman yang sejak tadi melihatku juga. Beberapa
orang yang berpacaran melintas. Dan kebanyakan memang mereka yang sedang
berpacaran. Dan seorang laki-laki tua lagi, dengan anak perempuannya yang
tinggi dan cantik, memandingku tak kalah lekatnya. Apakah ini gara-gara kaos
Leo Kristi yang aku kenakan? Dan kemudian, terlihat bapak-bapak paruh baya berkacamata
yang terlihat memandu dua orang,
tiba-tiba berhenti di depanku dan bertanya,
“kaos
Leo Kristi dapat dari mana?”
“acara
Leo Kristi. Bapak suka Leo Kristi juga?’
“dia
salah satu yang terbaik dan unik, menurut saya’
“kapan
konser itu?”
“oh
kemarin, tadi malam, di Spring Hall (Spring Hill). Sekalian merayakan hari
kemerdekaan. Kalau bapak suka Leo, ikut saja digrup Lkers di Facebook. Saya
juga Lkers pak”
“wah,
saya malah kelewatan ini. Eh, nanti ngobrol-ngobrol kalau mau. Saya tunggu di
depan sana. Kayaknya menarik bisa saling cerita mengenai Leo”
“iya
pak, siap. Saya mengisi baterai dulu”
Karena
mungkin terlalu lama mengisi baterai, selama lebih satu jam. Dia pun sudah
tidak ada di tempat ketika aku selesai menyusuri satu demi satu keramik dan
berbagai jenis terakota yang kebanyakan dari retuntuhan Majapahit. Pada
akhirnya, aku memasuki Ruang Seni Rupa setelah agak jengkel melihat seorang
seniman muda dengan kaos hitam membuang puntung rokoknya di saluran air. Sayang
memang, banyak seniman sama tak pekanya dengan para penyair dan sastrawan hari
ini. Itu kenyaataan. Tak perlu dibantah.
Di
dalam ruangan ini, aku terkesan dengan beberapa lukisan, yang walaupun terlihat
sudah kusam dan tak terlalu terawat, masih menyisakan imajinasi akan nilai
kebesarannya; aku terkesan dengan karya Itji Tarmizi yang berjudul Kerja Paksa. Melihat langsung Potret Diri dan Topeng Bali karya
Affandi yang kalau dilihat dalam kaca mata awam, terkesan mirip coretan anak
kecil. Menyusui karya Dullah sangat
realistis dan indah. Lalu aku berjalan lagi. Melihat karya Heng Ngantung, Berjualan Ikan. Rumah-rumah China di
Jatinegara yang bercat minyak dan diukir dari kayu, membuatku cukup lama
terpaku dan merasa senang. Buah karya dari Amrus Natalsya. Lalu berjalan lagi
dan melihat Laki-Laki duduk-nya Djoko
Pekik, Menuju Sawah milik Nisan K,
Lebak Merah dari Amri Yahya, Urbanisasi
dari Dede Eri Supira yang sangat menyedot perhatian. Bagian wajahnya, terlebih
mata, sangatlah hidup. Benar-benar seolah aku sedang memandang orang hidup. Aku
bertanya-tanya di dalam kepalaku mengenai lukisan ini, apa yang membuatnya
terasa sedemkian hidupnya? Dan apa yang membuat pelukisnya, seolah-olah
mempertaruhkan dirinya di dalam wajah yang hidup itu dengan membuang latarnya
menjadi lukisan seadanya. Begitu juga bagian tangan, jari dan lainnya.
seolah-olah orang ini mempertaruhkan segalanya hanya di dalam wajah itu! Mata
itu! dan entahlah, aku pun melangkah dan untuk yang terakhir, tertarik dengan
karya Nasirun yang cukup mengesankan, Kutitipkan ke Arcpada. Lalu aku pun
keluar. Melihat persiapan pameran yang hampir selesai. Dan keluar dari kompleks
Museum Seni Rupa dan Keramik menuju lapangan Museum Kota Jakarta. Rasanya
panas!
Hari
semakin sore. Walaupun begitu, panasnya masih terbilang tak tertahankan. Di jam
seperti ini, di antara 15;00, perubahan mendadak jenis orang yang berada di
Kota Tua pun sangat mencolok. Semakin banyak wisatan asing terlihat. Dan juga
yang lokal. Dan kian mudah aku dapati mereka yang tergolong sadar mode dengan
tubuh terawatnya. Entah itu perempuan dan laki-laki. Dan semakin mudah aku
melihat mereka yang cantik di seputar Kota Tua ini. Aku pun mempercepat langkah
kakiku. Berjalan di antara anak muda yang tengah asyik berbincang dan
berkerumun menuju belakang Batavia Cafe yang pemandangannya mirip film The Pianist. Benar-benar bagaikan
dipindahkan di dunia semasa perang sehabis bom berjatuhan. Dan sebuah
perkampungan yang terasa bagaikan akan tenggelam.
Sejujurnya,
aku sangat senang saat membaca salah satu tulisan dari National Geographic Indonesia
edisi september 2013, yang berjudul Petaka
Dari Bumi dan Laut Jakarta yang ditulis oleh Mahandis Y. Thamrin. Membayangkan
Jakarta Utara tergenang laut. Dan membayangkan keindahan pantai masa depan yang
kemungkinan besar bisa mencapai Blok M itu sungguh-sungguh menyenangkan. Pada
2050, jika tak ada perbaikan yang berarti, pantai Jakarta bergerak untuk berada
di kawasan Semanggi. Baru pada 2060
pantai berada di Blok M. Dan jika Jakarta bisa mengendalikan kemungkinan
penurunan muka tanah secara terus menerus, pantai Jakarta akan ada di Harmoni.
Menurut Firdaus Ali, pembangunan tanggul adalah jalan keluarnya. Tapi dengan
luas wilayah seluas 5.100 hektar, apakah mungkin terwujud mengingat Jakarta
memiliki birokrasi, di mana para birokrat adalah jenis orang yang keterlaluan
mengerikan? Dengan wajah-wajah yang memiliki bibit-bibit koruptor di setiap
lekuk tubuhnya?
Mengingat
penurunan tanah di jakarta semakin bertambah, dari 5-6 menjadi 10-11 sentimeter
pertahun. Ditambah muka air laut yang naik antara 0,1-2,2 meter pertahun. Jakarta
akan menjadi salah satu kota yang sebagian wilayahnya akan tenggelam. Tingkah
laku orang Jakarta tidak hanya membuat kemacetan hebat, gangguan jiwa
meningkat, konsumsi listrik yang mencekik dan membunuh, bahan kimia yang
mencemari udara dan sungai, pendingin perusak ozon dan binatang liar, sampah
yang bergentanyangan di daratan, membuat lautan tercemar dan ikan-ikan menjadi
mandul, bodoh, hingga punah. Tidak hanya itu. Tingkah laku orang Jakarta
membuat aquifer bawah tanah, persedian air bersih di dalam tanah nyaris
terkuras habis akibat kesadaran diri yang sangat rendah, pebisnis yang hanya
mencari untung, bangunan baru dan bangunan baru ditambah populasi yang meledak
yang susah dikendalikan. Itu berarti penurunan muka tanah, masuknya laut ke
daratan ditambah pemanasan global dan perubahan iklim yang didukung orang-orang
Jakarta, sebagian besar penduduk Indonesia dan dunia, semakin membuat Jakarta
kesakitan dan mirip tempat orang-orang bodoh tinggal. Sementara itu, Reklamasi
Teluk Jakarta yang gagal itu, karena banyak korupsi dan suap dan lainnya,
sebenarnya tak menyelesaikan masalah apa pun dan malah membuat masalah baru
berupa sedimentasi dan pencucian limbah akan semakin mahal dan susah dilakukan.
Apakah Jakarta mampu membangun dirinya semacam New York atau Belanda?
Dan,
Jakarta, memiliki pencapaian banjir yang mencengangkan. Salah satu yang
terparah di abad ke-21 ini. Kekacauan jenis apa sih yang tak dimiliki Jakarta?
Pada tahun 2007, banjir menyebabkan 590 ribu orang terpaksa mengungsi dan 79 jenis
jiwa yang entah mereka itu baik atau buruk, melayang. Itu setara dengan seluruh
penghuni kota Jogjakarta ber-KTP yang terpaksa meninggalkan kotanya. Sebuah
pencapaian yang perlu diberi tepuk tangan. Banjir 20013 tak terlalu parah, tapi
mengingat 18 ribu orang mengungsi dan ada 15 orang yang terpaksa meninggal,
Jakarta jelas-jelas bukan tempat yang menyenangkan. Sementara pada 2014, jumlah
pengungsi kembali meningkat sebanyak 38 ribu jiwa manusia. 15 orang terpaksa
mati. Dan di 2016, sudah ada beberapa banjir yang tak kalah merepotkannya. Aku
rasa banjir lebih efisien menyadarkan warga Jakarta dari pada berbagai macam
pergantian pemerintahan dan segala jenis sosialiasi mengenai perbaikan Jakarta.
Banjir juga salah satu yang akan mempercepat keruntuhan ego Jakarta dan
menjadikannya sebagai kota-kampung yang akan banyak ditinggalkan oleh warganya.
Mirip seperti kasus Venesia.
Aku
berjalan melewati dunia yang hampir runtuh. Jakarta hanyalah masa lalu sejak
saat ini. Sebuah kegagalan besar orang-orang terpelajar, bertuhan, dan mereka
yang mengaku dirinya berperadaban.
Aku
berjalan. Menyaksikan sejarah yang lewat di depanku dengan segala ketololan dan
kenaifannya sebagai manusia. Orang-orang berlalu lalang. Bergembira. Melihat
Kota Tua yang sebentar lagi sudah tak akan lagi ada kecuali berada di kedalaman
lautan. Sebuah keruntuhan yang benar-benar tak cepat dimengerti oleh generasi
terdahulu dan diri kita saat ini. Sebuah keruntuhan yang tak segera diatasi dan
ditindaklanjuti karena alasan populis, politik, demokrasi, dan korupsi serta
kebobrokan pejabat negara yang membuat segala sesuatunya semakin berjalan
menjadi hal yang mustahil. Melihat Jakarta, seolah-olah kau habis membaca dua
buku besar karya Jared Diamond; Gun,
Germs, and Stell dan Collapse.
Siapa
pun yang berjalan, melewati, melihat, merasakan, dan menghirup udara di sekitar
sini, terlebih mereka yang pertama kali, “biasanya timbul kesan pertama yang
kurang bagus. Di mana-mana terlihat tanda-tanda kemunduran: kanal-kanal rusak
dan bangunan-bangunan runtuh. Mereka yang pernah membaca tentang masa kejayaan
Batavia pasti sangat kecewa,” ungkap Susan Blackburn. Aku menyetujuinya, kecewa.
Mengangguk sendu dan berjalan tertatih. Setidaknya aku masih bisa menyaksikan
sedikit kenangan masa lampau itu. Dan melihat apa yang akan terjadi pada suatu
kota yang gagal dikelola dan ditangani dengan baik karena masyarakatnya sibuk
dengan diri sendiri dan segala jenis kelicikan serta pertengkaran yang tak
kunjung usai. Untungnya, dan ini benar-benar sejenis keberuntungan, mungkin
takdir atau alam, bahwa aku lahir di abad ke-20. Dan mereka yang lahir di abad
ke-21 juga memiliki keberuntungan seperti yang aku alami. Seandainya aku lahir
di abad ke-17, mungkin nasibku tak sebaik ini. Karena menurut Hendrik E.
Niemeijer dalam bukunya, Batavia,
“Para kepala lingkungan yang diangkat pada 1655 selalu berusaha mencatat dan
menghitung secara tepat jumlah orang Jawa di lingkungan mereka masing-masing.
Ada larangan bagi orang Jawa untuk menetap di dalam kota. Orang Jawa yang
hendak berkunjung ke kota di pagi dan siang hari atau yang hendak bermalam di
rumah sahabat, diawasi dengan amat ketat”. Yah, aku beruntung. Keberuntungan
sebagai seorang Jawa, Indonesia, yang mencatat keruntuhan salah satu kota di
tanah kelahirannya sendiri. Keruntuhan sebuah kampung, tepatnya. Mungkin akan
menjadi salah satu keruntuhan terbesar semenjak masa Hindia Belanda.
Sekarang aku berada di
halte kecil. Sangat tak nyaman. Karena pemerintah kota, tata ruang, dan lainnya
tak mampu membuat halte yang baik. Duduklah aku menunggu bus wisata di depan
Museum Bank Indonesia yang sama sekali tak bebas dari kegairahan besar akan sampah.
Sampah menggunung di depan pagar museum itu beserta para pengamen, gelandangan,
angkuan kota yang bobrok dan panas yang lama kelamaan semakin menjengkelkan dan
menyengat. Membuat kulit seolah-olah terbakar. Bersama seorang Afrika yang
sangat gaya di sebelahku, dua orang perempuan muda yang duduk di kursi besi
yang juga aku duduki, dan beberapa orang yanga khirnya datang, menunggu, selama
berjam-jam menunggu bus yang entah ada di mana. Kemungkinan besar menjadi
tawanan kemacetan Jakarta.
Orang
berlalu lalang. Anak-anak sekolah yang turun dan naik mikrolet dan bus angkutan
kota yang seringkali terdiam lama menunggu penumpang di tengah panas Jakarta
yang bisa memanggang orang hidup-hidup. Seorang laki-laki tua paruh baya yang
tak sabar menunggu di mikrolet yang diam seribu bahasa di depanku, keluar
dengan kesal mencari bus atau lainnya dan bertanya ke banyak orang di kejauhan.
Dan, para pejalanan kaki yang tersaruk-saruk di pinggir trotoar, tertahan lama
di sekitar lampu merah karena menyeberang jalan adalah sesuatu yang luar biasa
menakutkan. Ada beberapa perempuan muda, remaja, ibu-ibu yang nyaris tak berani
menyeberang walau sudah menekan tombol lampu hijau penyeberangan bergambar
seorang botak berjalan kaki itu. Mereka ragu-ragu. Mundur ke belakang. Akhirnya
memberanikan diri dengan lari sekencang-kencangnya. Dua orang turis asing,
laki-laki dan perempuan, dan beberapa orang lokal, terlihat nyaris tak berani
menyeberang sama sekali. Mereka berada di pinggir jalan cukup lama.
Memberanikan diri melewati berbagai macam kendaraan bermotor yang lewat dengan
sekencang-kencangnya, tanpa aturan main, dan menerobos apa pun yang dianggapnya
tak penting. Bahkan lampu hijau tanda pejalan kaki menyeberang adalah hal yang
tak penting. Hal semacam itu terjadi berulang-ulang selama aku menunggu bus
kota hampir dua jam lamanya. Anak-anak sekolah, ibu-ibu berjilbab, kakek dan
nenek tua, turis asing atau mereka yang berwajah asing, dan segenap pejalan
kaki lainnya yang merasa kengeringan luar biasa hanya untuk sekedar menyeberangi
jalan yang lebarnya tak lebih dari pada beberapa meter saja.
Bus
wisata akhirnya menampakkan batang hidungnya dari kejauhan, setelah menunggu
lama dan berharap berulang-ulang bahwa bus trans Jakarta adalah bus wisata yang
aku tunggu. Aku pun naik. Seperti yang lainnya. tap tap tap. Dan duduk di
belakang dua perempuan muda yang tadi ada di sebelahku, yang mana, di sepanjang
jalan, yang mereka lakukan hanyalah berselfie ria tanpa menghiraukan aku yang
ada di belakangnya. Tak apalah, yang satu cukup cantik. Sedikit hiburan dari
suasana mengerikan kota yang sangat mengerikan.
Bus
pun berjalan pelan melewati jalan Kali Besar yang dulunya mengagumkan itu.
Berisi kanal yang dulunya menjadi tempat para buaya dibiarkan pihak pemerintah
Batavia, berkeliaran membersihkan sampah dan segala jenis kotoran yang ada di
dalamnya. Buaya di Kota Tua hari ini? Mungkin akan cukup membantu mengurasi
populasi Jakarta yang membengkak mengerikan. Dan bus kembali berjalan, melewati
Toko Merah dengan bata merahnya yang sangat terknal itu. Sungai atau kanal,
terlihat sangat kotor kehijauan. Ada sebuah isu, yang mana, sebuah perusahaan
tertentu bekerjasama dengan badan lingkungan menebarkan bibit ikan di sungai
Ciliwung sekaligus membersihkannya. Yang membuatku tak kalah heran, apakah
orang terpelajar di Jakarta itu sudah keterlaluan bodohnya sehingga ingin
menebarkan benih ikan sehat ke ladang neraka pembantaian yang bernama Ciliwung
yang paling rusak di antara 13 sungai lainnya? Baiklah, aku menganggap
orang-orang penting tak tahu mengenai bioakumulasi dan betapa ketagihannya
ikan-ikan muda sekarang dengan sampah plastik, yang membuat mereka menjadi
bodoh, lamban, dan pada akhirnya, punah. Aku akan membutakan diriku sendiri
bahwa mereka tak tahu. Dan bus melewati suasana jalan yang namanya mirip masa
lalu yang sudah punah-kejayaan Rempah dan pelabuhan Batavia. Jalan Kunir,
Ketumbar, Lada, dan mungkin akan ada jalan Koruptor Baru. Sayangnya, yang
terakhir itu tak mau diakui bersama.
Bus
berhenti di jalan Lada yang cukup lebar dengan sampah yang ada di sela-sela
tanaman. Bangunan yang mau roboh. Sejujurnya sudah benar-benar roboh. Dan dua
perempuan muda di depanku sekarang ini, berselfie ria berulang kali tanpa
menghiraukanku yang mungkin ikut tertangkap kamera mereka. Penumpang yang
kebanyakan anak-anak kecil dan ibu-ibu mereka memenuhi bus wisata yang sedang
memandangi Stasiun Jakarta Kota yang terserang wabah macet. Bus nyaris tak
bergerak. Sama halnya kendaraan lainnya yang kebanyakan adalah mobil dan mobil.
Sejujurnya, aku akan sangat senang jika setiap bulan atau malah setiap hari,
ada hari raya Idul Fitri sehingga hampir 1 juta kendaraan bermotor pada
akhirnya meninggalkan Jakarta dan wuus, kosonglah jalanan dan mungkin Jakarta
akan sedikit melegakan. Hari raya kemarin, 2016, ada sekitar 900 ribu kendaraan
bermotor keluar Jakarta. Tentunya beberapa dari mereka mati di jalan sehingga
sedikit mengurangi populasi dan kemacetan. Jika pihak pemerintah kota dan
Gubernur tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelesaikan masalah kelebihan
penduduk, dengan segala jenis konsumsi dan kendaraannya. Biarlah jalanan antar
kota dan pulau, ditambah gempa bumi, polusi udara, panas, gelombang laut,
badai, banjir, gunung meletus dan bencana alam lainnya yang akan mengurangi
jumlah kesemrawutan yang ada di seluruh Jawa dan tentunya Jakarta. Jika manusia
tak mau membersihkan dan menyelesaikan masalah yang ditimbulkannya sendiri.
Biarlah alam yang menyelesaikannya dengan mengambil manusia yang telah membuat
masalah yang memengaruhi kondisi dirinya-alam.
Bus
melaju tertatih. Anak-anak kecil yang sebagian berjilbab, sibuk dengan hanphone
mereka masing-masing. Seolah-olah kini, pertemanan menjadi sesuatu yang
mustahil menyenangkan seperti dulu kala. Karena kebersamaan habis dalam menatap
layar gadget mereka masing-masing. Anak-anak, yang baru berusia antara 8-12
tahun, terjebak dalam dunia elektronik dengan kebodohan budaya orang tua mereka
yang membuat mereka kelak akan kesakitan lebih dahsyat dari generasiku hari
ini. Entah kenapa, wajahku tiba-tiba menjadi getir dengan senyum sinis pengikut
Dionesian, kemungkinan besar tertangkap oleh pasangan Tionghoa paruh baya yang
duduk cukup jauh di belakang. Bus masih melaju. Tersendat-sendat. Lebih banyak
diam di tengah lautan mobil yang menggurita. Karena gurita tak bersalah dalam
hal ini, maka kemacetan lebih tepatnya sangat manusiawi; kecongkakan dan
kebobrokan hati nurani dan pikiran.
Bus
berjalan tersendat di tengah kemacatan di jalan Pintu Besar Selatan. Melewati
Plaza Orion dengan parkir motornya yang penuh dan berserak. LTC Glodok. Dan
seorang perempuan paruh baya, gelandangan, yang memunguti sampah di tengah
metropolitan yang sibuk. Jalan Kebun Jeruk, tempat Soe Hok Gie tinggal, kalau
dilihat dari bus, sejenis gang atau kampung yang sangat menyedihkan, berantakan,
suram, kacau, bangunanya benar-benar rontok di sana-sini. Kemacetan membuat
mata semakin bosan dan malas untuk sekedar melihat dan mencatat. Bus dari tadi
nyaris tak bergerak. Dan di depan sana, semuanya juga nyaris tak bergerak. Aku
pun semakin tak bergairah mencatat detail apa pun mengenai Jakarta kali ini.
Semuanya sama saja. Hampir tak ada pohon. Kemacetan dan kemacetan. Jalanan
habis oleh mobil. Panas. Kumuh. Kampung. Suasana yang tak enak dipandang.
Membosankan. Sungai keruh dan tercemar. Sampah di mana-mana. Polusi udara.
Pengendara yang tak sabaran. Klakson berbunyi dan klakson terus berbunyi.
Orang-orang dengan wajah menderita dan lelah. Trotoar yang buruk. Angkutan
kota, selain Trans, yang menyedihkan. Tak salah kalau Daendels memindahkan pusat
administrasi dan banyak lainnya ke Kota Baru, Weltevreden. Dan tak salah pulau,
Daendels ingin mencabut ibu kota ke Surabaya. Dan di masa akhir kekuasaan
Hindia Belanda, tak salah juga jika Bandung menjadi pilihan. Sejak dulu tempat
ini dibilang memang sangat mengerikan-Kuburan Belanda. Belanda Kolonial
mengubahnya menjadi cantik dan terkenal dengan usaha keras dan cita rasa
mereka. Tentunya, membiayai kecantikan itu dengan menyedot kekayaan menggunakan
penjajahan dan penindasan. Tapi, hari ini, di tangan orang Indonesia sendiri,
yang terlihat adalah sampah. Jakarta adalah sampah. Menjijikan. Mirip kesan sorang
perwira Prancis dahulu kala melihat tempat ini.
“Mungkin
Indonesia akan berubah menjadi lebih modern, tapi jelas tidak akan pernah sama
lagi, dan juga sebagiannya akan hilang,” tulis Stefano Romano dengan nada agak
sedih. Sudah banyak yang hilang dari Indonesia. Dari mulai hutan, satwa liar,
dan kepercayaan diri mereka sendiri. Aku sedang melihat masyarakat di tepian
jurang konflik dan pembantaian. Kehancuran akibat dirinya sendiri. Dan kemudian
pulih dengan banyak kehilangan, trauma, dan luka.
Bus
berhenti di Istiqlal sekitar 17;00 lebih. Aku pun memasuki kompleks dalam
Masjid setelah melewati dunia yang mirip pasar di pintu gerbangnya. Melangkah.
Melangkah lelah. Melihat sampah di mana-mana. Sungai kotor. Dan akhirnya,
berhenti di tempat pengisian baterai handphone dengan pemandangan suram berupa
kertas wadah nasi yang menggunung tak terjamah di sana dan di sini ditambah
sampah plastik dan lain-lain yang sejatinya adalah pemandangan yang biasa. Umat
Islam modern adalah salah satu yang paling menyedihkan jika menyangkut
kebersihan. Mereka terang-terangan melanggar semua perintah agamanya. Hal itu
tercermin jelas di masjid ini. Di lingkungan dan suasana Jakarta yang aku
temui. Dan aku, entah kenapa, benar-benar muak dengan penganut agama terbesar
di Indonesia ini. Muak dengan kebohongan dan sikap acuh mereka yang mengerikan.
Aku
pun bergegas ke Senayan City. Ke salah satu teman yang sudah menunggu di sana.
Tentunya, apa lagi kalau bukan menggunakan Go-Jek yang rela mati-matian
menembus kemacetan sinting Jakarta di malam hari, maghrib, atau jam 18:00, di
saat kengerian jalanan mencapai puncaknya?
Gojek
berziga-zag. Tersendat. Memencet klakson. Menembus belukar menakutkan yang tak
putus-putus. Dan akhirnya terpaksa berhenti di halte Sekolahan dekat jalan
Menteng Raya, persis di seberang, terdapat Kolese Kanisius. Terpaksa aku harus
memesan Go-Jek lagi. Berkali-kali gagal. Aku pun berjalan ke arah sebuah hotel
Internasional, berdiri di situ untuk mempermudah ditemukan. Ada seorang
laki-laki paruh baya gendut, menawariku ojek dengan tarif 50 ribu rupiah. Aku
langsung menolak. Go-jek saja hanya 20 ribu rupiah. Terlalu mahal pikirku.
Alasannya karena macet. Aku tahu, derita ojek hari ini ketika ojek online
berjamuran. Itulah kenapa bentrokan seringkali terjadi antara mereka. Tapi
masalahnya, sekarang ini aku juga sedang menderita. Keuanganku sangat tipis. Dan jalan raya
menyedot keterlaluan banyak uang dari pada kota-kota lainnya di Jawa. Jakarta
sangat mahal. Itulah kenapa orang lebih sibuk dengan mencari uang, pekerjaan
tetap dengan gaji cukup atau berlimpah, memperebutkan kekuasaan dan pengaruh,
dan mempertahankanya mati-matian untuk tetap hidup dan agar tetap dapat
mempertahankan taraf dan gaya hidupnya yang boros dan penuh gengsi atau paling
tidak, cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari yang serba mahal. Yah, dengan
begitu, dunia pemikiran, intelektual, seni, sastra, filosofis, penemuan,
inovasi dan semacamnya, diabaikan secara terang-terangan. “Para lelaki Batavia
adalah orang-orang mata duitan, penjilat atau orang kaya baru. Semua orang
terobsesi dengan kedudukan dan sama sekali tidak tertarik dengan pemikiran,”
ungkap Susan Blackburn dalam Jakarta.
Bahkan hari ini pun masih semacam itu.
Go-Jek
pun datang dengan laki-laki usia 30 an, masih muda, membawaku menyusuri Jakarta
yang menyengsarakan. Keluhan yang serupa dengan Bus Veth, “Bagi Saya, Hindia
Belanda adalah perwujudan kesengsaraan”. Dan membosankan. Dan membuatku gila.
Dan benar-benar perwujudan dari neraka. Ah, Go-Jek pun melaju, meliuk, berlari
yang tentunya tak pernah kencang dan kadang mirip keong yang habis melakukan
sunat, dan mencari celah dari kemacetan yang menumpuk ke arah selatan dari
Jakarta.
“Bang,
kita ambil jalan dalam aja yak, ndak lewat jalan utama. Sangat macet. Lebih
cepet lewat jalan lainnya, alternatif”
“Okelah.
Yang penting sampai. Besok sepertinya kita tak hanya butuh jalan tikus dah.
Tapi jalan ular. Jadi semua yang di depan dilahap atau harus terpaksa
menyingkir hahaha”
“hahahah..
ya beginilah bang, Jakarta itu macetnya memang keterlaluan. Capek di jalan. Dan
bikin males”
‘Mau
bagaimana lagi. Semua orang pakai mobil. Tuh, mobil, mobil, mobil lagi. Mobil di
mana-mana. Bagaimana ndak macet? Satu orang pakai satu mobil. Jemput anak yang
jumlah satu, pakai mobil. Kencan pakai mobil. Ke tempat yang jaraknya cuma
beberapa kilo pakai mobil. Coba kalau semua pakai motor. Lumayan tak terlalu
macet itu. Coba itu sau mobil saja di depan, sudah susah kita jalannya. Kalau
motor masih bisa itu. Satu mobil di jalan itu sama saja dengan 6 sepeda motor
coba. Masalah utamanya, walau mereka itu terpelajar, adalah karena termakan
gengsi. Bawa motor aib. Dan takut nanti digunjing dan dianggap rendah kolega,
rekan kerja, tema, pacar dan lainnya. Mau kamu terpelajar, profesor, doktor,
pejabat, kalau sudah kena gengsi, udah, susah berubah itu. Dan gengsinya, cara
hidupnya, diturunkan ke anak-anaknya. La mau gimana Jakarta mau berubah dan ndak
macet kalau semua orang kaya dan punya mobil nyaris seperti itu semua? Tapi
yang lebih utama, sebenarnya, kalau benar ingin berubah, ya suruh para pejabat,
menteri, gubernur, walikota, bahkan presiden untuk gunain sepeda atau paling
tidak sepeda motorlah. La, pejabatnya saja bawanya mobil semua. Mewah-mewah
lagi. Dan kalau benar-benar serius mencintai dan ingin membuat Jakarta lebih
baik, ya mendingan suruh buat komplek atau wiswa khusus pejabat, DPR, dan
lainnya, satu atap. Atau bangunan mirip apartemen yang dekat dengan tempat
mereka kerja. Nanti biar bisa pada jalan kaki semua. Dan tak ada itu alasan
bawa mobil karena jauh atau gara-gara rumahnya jauh. Dari pada uang dihamburkan
untuk proyek mahal gedung DPR yang ndak jelas itu. Ya lebih baik buat gedung
untuk menampung semua pejabat negara dalam satu atap. Biar hemat biaya dan
semua orang bisa jalan kaki. Harusnya begitu,” celotehku panjang lebar dan
menggebu.
“Benar
bang. Kalau sudah gensi, udahlah, susah memang. Iya itu, orang terpelajar tapi
otaknya lebih kampung dari pada orang kampung sendiri. Huh, tiap hari narik
macet terus kaya gini, capek banget bang. Benar-benar capek. Tapi mau bagaimana
lagi, punya keluarga anak bini ya gini. Walau gimana harus dilakuin. Benar tadi
bang. Harusnya para pejabat dulu yang mencontohkan. Yah, mau bagaimana lagi.
Pejabatnya saja kaya gitu semua.”
“Gimana
kalau masa Ahok?”
“Waduh,
sama saja. Ga ada yang berubah.”
“Ooh,
hahaha .. iya ya, walau ada penertiban dan lain-lain itu, kalau dilihat-lihat
juga sama saja hahaha...”
Motor
pun melaju. Mengambil jalan pintas. Melewati gang. Putar haluan mengakali lampu
merah. Merunduk melewati palang sebuah gang perumahan karena lebih cepat. Terus
menerus terkena macet dengan segala upaya di sana-sini. Yah, aku pun pada akhirnya
bosan mencatat detail nama jalan atau apa pun itu seperti biasanya. Melihat
jalan semacam ini, benar-benar membuat sekedar memegang buku catatan terasa
bagaikan kegiatan yang mustahil. Dan pemandangan pun nyaris sama saja; dari
Jakarta pusat hingga Senayan, yang ada hanya kemacetan dan kemacetan. Tak ada
yang jalan yang tak macet. Siapa yang tak benar-benar bosan di Jakarta dengan
situasi semacam ini?
Aku
pun diturunkan pas di depan Senayang City. Mall yang cukup megah walau masih
kalah jika dibandingkan dengan Ambarukmo. Aku membayar dengan uang 100 ribu
rupiah. Masih sempat bercanda walau cukup kelelahan.
“Gimana
biasanya dapat penumpang? Banyak yang marah-marah ndak?”
“Waduh,
dah ndak banyak lagi. Luar biasa banyak,” ungkapnya sambil tertawa.
“Ckckc
masih untung dianter. Bukannya berterimakasih. Jakarta itu orangnya banyak yang
mengerikan juga ya.”
Karena
dia tak memiliki kembalian, dan setelah mencoba ke sana ke mari tk dapat juga,
akhirnya dia putuskan, aku putuskan, untuk membelikan air minum. Dengan luar
biasa, dia membelikannya. Menyeberangi jalan. Entah berapa menit sudah dia
pergi. Aku menunggu cukup lama juga. Aku anggap perjuangan dan pelayanannya
luar biasa. Dan tiba-tiba dia muncul mendadak di depanku. Memberikanku uang
kembalian dan air minum tentunya.
“Terimakasih
banyak ya bang! Nanti aku kasih bintang 8 deh di aplikasinya!”
“Siap!
Terimakasih juga ya bang!”
Dan
di sinilah aku sekarang. Di Jakarta Selatan. Senayan. Di mana gedung-gedung
lebih tinggi dan kemewahan cukup terlihat di jalan-jalan. Tentunya, mobil,
mobil, mobil, dan kemacetannya yang mewabah. Aku mengirim pesan ke temanku.
Yap, tak perlu waktu lama, dia sudah ada di belakangku sambil tersenyun riang.
Kami pun berjabat tangan. Mengobrol sambil jalan. Berhenti sebentar di jalanan
penuh motor, Go-Jek dan sebagainya. Memesan minuman, susu, ke ibu yang menjual
berbagai jenis minuman di situ. Dan kembali berjalan. Menyeberangi jalanan.
Menerobos macet dengan cekatan. Dan dibawalah aku di suatu tempat sempit,
bersampah, kotor, berliku-liku. Terus berjalan. Suasana cukup suram. Dan
tibalah aku di tempat tinggalnya, yang bagaikan tempat tinggal para kuli
bangunan yang terpaksa hidup dan membuat tempat berteduh di tempat ia bekerja.
Tiga kotak persegi kecil, tak ada kasur, seadanya, dan harganya, cukup
mengerikan; 500 ribu rupiah. Akhirnya, setelah menyerahkan buku Herman Hesse
yang dia pesan dariku dan berkenalan dengan Angga salah satu penghuni di situ,
aku pun meminta ijin tidur sebentar setelah ia beri makan. Ia berangkat bekerja
di Senayan City antara jam 19:00-09:00-. Waktu yang lama dan berat.
Bangun.
Mandi. Mendengarkan musik. Dan memutuskan pergi dan melihat-lihat Senayan City
dengan Angga. Masuk ke mal. Mengangguk ke banyak orang di situ karena Angga
banyak dikenal di sini. Dia juga bekerja di sini. Melihat Mall yang luas, dengan sekian banyak
perempuan muda cantik di sana-sini, sibuk menyantap sesuatu di deretan tempat
makan, dan memutuskan untuk segera ke Gunung Agung karena mal satu jam lagi
sudah tutup.
Toko
buku Gunung Agung di mal ini cukup menyenangkan. Mirip dengan Periplus dekorasi
dan interiornya. Dan, banyak buku bagus berbahasa inggris di sini yang
membuatku berbinar-binar! Aku menemukan buku langka semacam Moby Dick karya Melville, Gulliver’s Travels dari Jonathan Swift, Inferno-nya Dante, Demon karangan Dostoevsky, The
Waves-nya Virginia Wolf, buku-buku F. Scoot Fitrzgerald, The Catcher In The Rye, 1984-Animal Farm
dan lainya milik George Orwell, War and
Peace Leo Tolstoy, dan banyak lainnya. Buku-buku bagus yang membuat mataku
berbinar-binar. Dan aku benar-benar luar biasa betah di situ. Tiba-tiba aku tak
sengaja melihat edisi khusus Tempo, Chairil Anwar. Ah inginnnya. Tapi yang
lebih penting, aku menginginkan National Geographic Indonesia di Pasar Senen
besok. Jadi aku mati-matian menekan hasratku yang ingin sekali membawa pulang Moby Dick atau Demon. Aku kasihan dengan Angga yang menemaniku. Agaknya dia bosan.
“Kalau
aku sudah di toko buku ya begini. Bisa berjam-jam.”
Dia
hanya membalas dengan seyuman kecilnya. Dan kesenangan itu entah mengapa sangat
cepat berlalu. Mal sudah akan ditutup. Kami pun bergegas pergi dan melewati
bagian-bagian mal yang terasa sepi dan hanya terlihat satu dua orang saja.
Perempuan cantik dan modis memang lebih mudah ditemui di tempat-tempat semacam
ini dari pada di jalanan. Dan kenapa aku selalu memperhatikan perempuan cantik,
anggun, modis, sadar fashion dan semacamnya? Karena hal itu berkaitan erat
dengan seberapa jauh kemajuan ekonomi, struktur sosial yang berubah, politik
tubuh, kemodernan, mentalitas dan cerminan sebagian dari kota itu sendiri. Jadi
perempuan cantik dan modis itu menegaskan banyak hal di berbagai macam kota di
Jawa. Salah satunya adalah kepercayaan diri di tempat publik. Dan karena
jalanan Jakarta memiliki tingkat kriminalitas tinggi. Jadilah sebuah kota yang
para perempuan cantik dan beradanya membentengi diri dalam tembok mobil dan
kenyaman mal yang cukup terjamin rasa keamanan dan lain sebagainnya. Dan malam
ini, sekitar 22:00, setelah keluar dari mal, suasana Jakarta, Senayan cukup
tenang, indah, dan damai. Jakarta hanya
indah di tengah malam dan menuju pagi hari. Di mana jalan-jalan sunyi, hening,
keriuhan dan segala jenis kemacetan seolah-olah tak lagi menghimpit kepala. Di
dalam tengah malam menuju pagilah, Jakarta masih layak untuk dinikmati.
Pagi,
19 Agustus, mataku masih sangat lelah setelah tidur di ruangan sempit yang
diisi satu orang lagi yang entah siapa namanya, dengan kecoa yang
bergentayangan tiada henti. Paling tidak aku menghemat uang sebesar 400-500
ribu rupiah untuk satu malam. Jika seandainya aku bermalam di hotel. Aku pun
tak memiliki cukup banyak uang untuk hal semacam itu. Sekitar jam 09;-, aku
benar-benar bangun. Bersiap-siap. Mandi. Dan mengajak Angga menemaniku ke Pasar
Senen dan Galeri Nasional. Awalnya ia mau mengajakku ke Ragunan, melihat
saudara, kawanan monyet. Si Wahyu aku ajak, tapi dia tak mau. Katanya tak
memiliki uang. Aku bilang, aku yang akan membayarinya jalan. Pada akhirnya dia
sungkan, tak jadi ikut. Menggeladanglah aku dengan Angga menggunakan Trans
Jakarta menuju Senen. Banyak pembangunan gedung dan jalan memenuhi Jakarta
Selatan ini. Dan tentunya kemacetan yang sangat menggurita. Tapi, menggunakan
Trans, jalan menjadi lebih cepat dan bebas dari macet. Walau untuk sementara.
Karena pulangnya nanti, kemacetan membuat kaki, tubuh, dan otakku lemas. Begitu
juga Angga yang jengkel dan benar-benar mengalami kemacetan yang mengerikan.
Sesampainya
di Pasar Senen, kami langsung ke arah lapak buku. Mencari, menawar National
Geographic Indonesia. Akhirnya mendapat 8 majalah yang masing-masing seharga 10
ribu rupiah. Lalu kami memutuskan pulang, dan mampir ke Galeri Nasional
melewati panas yang mengerikan. Karena Galeri Nasional masih tutup sampai jam
setengah dua, aku dan dia pun memutuskan pulang dan malas untuk menunggu. Padahal
sedang terselenggara pameran besar dan di antara memajang lukisan-lukisan dari
Istana Negara. Momen langka yang aku lewatkan dengan sadar. Bisa dibilang,
Galeri ini cukup indah dan luas. Sebuah bekas kolonial yang masih terlihat
cantik mengingat yang bisa dilakukan oleh pemerintah Jakarta hanyalah menambah
bangunan menjulang tinggi dengan pantulan kacanya yang membosankan. Dan hingga
hari ini aku datang dan kembali melihatnya, Jakarta masih saja mirip seperti
yang digambarkan oleh Susan Blackburn dalam Jakarta;
Sejarah 400 Tahun ketika Jakarta masih dihuni 7 juta jiwa dan Indonesia
masih memiliki 175 juta jiwa penduduk;
Penduduk
Jakarta berjumlah lebih dari tujuh juta jiwa. Di kota besar mana pun, dapat
dilihat perbedaan antara gedung-gedung megah di wilayah pusat bisnis dan
wilayah sederhana di sekitarnya. Namun, Jakarta terbagi menjadi
gambaran-gambaran yang mengherankan dan terlihat jelas, yakni sebuah kota para
elite kosmopolitan yang mengharapkan Jakarta dapat menjadi kota metropolitan
internasional seperti Singapura dan Hongkong, dan kota dengan realitas yang
sukar disembunyikan dimana sebagian besar penduduknya bersusah payah mencari
pijakan untuk membangun kehidupan.
Kedua
gambaran itu bertumpangtindih, pedagang kaki lima menggelar segelintir barang
dagangan di depan gedung pasar yang bertingkat-tingkat dan masih baru, pemulung
mencari barang bekas di pemukiman mewah pinggir kota. Kedua gambaran ini
bertentangan: polisi menggerebek pedagang kakilima yang berjualan tanpa izin,
mereka juga menangkap becak yang masuk jalan raya karena melanggar peraturan.
Jakarta
terletak di dataran panas dan berawa-rawa. Gedung-gedung dan kawasan
metropolisnya yang modern dikelingi area kumuh yang luas. Nagi pengunjung
asing, Jakarta namanya memiliki sedikit daya tarik. Para turis yang mencari
eksotisme akan beralih dari ibukota ke Yogyakarta atau Bali, meninggalkan kota
yang menurut mereka hanyalah belantara pusat perbelanjaan bergaya Barat dengan
papan reklame yang mengiklankan film-film impor. Para pebisnis asing yang
meyukai sisi modern Jakarta akan terus-menerus disuguhkan pemandangan para
pengemis yang berkeliaran di bawah jalan layang serta pemukiman-pemukiman kumuh
di sela-sela kota. Penduduknya-sebagian besar dilahirkan di luar Jakarta-kadang
kala memandang kota mereka dengan perasaan bertentangan.
Aku
tak betah dengan Jakarta dan ingin segera pergi secepatnya. Aku tak sudi
berlama-lama di kota sialan ini. Sekitar jam 15.30-an, aku pun memesan Go-Jek
di depan Senayan City. Ditemani oleh Fauzi. Dan memutuskan untuk menuju Bandung
melewati Bogor. Aku pun bergerak menuju Stasiun Palmerah Tanah Abang. Menembus
belukar kemacetan. Meninggalkan kemacetan yang menggila setiap harinya. Dan
sangat senang, jika pada akhirnya, aku tak kembali lagi ke tempat semengerikan
ini. Bagi orang-orang yang mencoba lagi membangkitkan kenangan masa lalu
Batavia Kuno yang cantik dan indah. Hal semacam itu sudah tak mungkin. Jakarta,
hari ini, hanyalah sekedar Kampung Besar Neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar