Sabtu, 21 Januari 2017

JAKARTA: KAMPUNG BESAR NERAKA









Sejak masa kolonial hingga sekarang, pemerintahannya selalu berupaya menciptakan wajah kota yang tidak sesuai dengan Jakarta, sebuah topeng yang tidak mampu menutupi kesemrawutan kota yang meluas.
Susan Blackburn
Jakarta; Sejarah 400 Tahun

... negeri yang dalam perkenalan pertama terasa sangat menjijikan.
Riwayat perwira Prancis
1830



“Saat kanak-kanak, aku sangat takjub pada Batavia.... Batavia, Babilonia negeri tropis nampak seperti jarak tak terlampaui yang kukira tanahnya takkan pernah kupijak dan udaranya yang harum tak akan pernah kuhirup,” ungkap Jules Lecrec, seorang Prancis yang melakukan perjalanan ke Jawa dan sampai di Batavia pada 1895. Sayangnya, bayangan di otakku tidak seperti itu. Jauh dari keindahan semacam itu. Sangat jauh. Jakarta yang aku kenal, yang menggeliat-geliat di dasar pikiranku adalah monster yang menelan siapa saja ke mulutnya. Neraka yang mengerikan yang akan membuat gila siapa pun yang akan memasukinya. Kota berantakan dan menyebalkan yang tak perlu basa-basi untuk dikenang dan diberi sanjungan khusus nan megah. Jakarta, yang dulu adalah Batavia, kota terindah dari Timur, sekarang ini hanyalah kenangan masa lalu di buku-buku. Kenyataannya?



Pasar Rebo. Aku turun di pasar Rebo. 03:30 waktu Indonesia Barat, dan tentunya masih sangat dingin. Pasar Rebo, ya Pasar Rebo. Lalu, mana pasarnya? Aku turun di dekat Lotte Mart di bawah rindang pohon angsana, kalau tak salah, dan disambut sopir taksi dan tukang ojek yang suaranya mirip itik kwek kwek kwek dan beberapa orang yang sedang menunggu angkutan kota, jemputan dan lainnya. Aku masih berpikir, mana pasarnya? Atau di dalam bayanganku, kalau tidak pasar, itu sejenis terminal semacam terminal Kampung Rambutan yang juga sedang bergentayangan di dalam angan-angan.

Sekarang ini, aku bagaikan sosok manusia yang entah dari mana, menunggu ketidakjelasan dari kota yang sejak awal memang tidak jelas. Memang ada yang percaya jika Jakarta itu jelas dan tidak buram?

Udara dingin. Hidungku sedikit tersendat. Aku duduk di pinggiran trotoar, yang tentunya hampir musnah. Jika ada trotoar yang bagus di Jakarta, mungkin aku akan menenggelamkan diriku ke lautan pasifik sekarang juga. Jangkrik-jangkrik berloncatan kesana-kemari. Hah, jangkrik? Ternyata, di belakangku ada setumpuk plastik menggelembung yang di dalamnya berisi, mungkin ribuan jangkrik-jangkrik mungil, yang akan menjadi santapan lezat para burung, ikan, dan lainnya. Kasihan betul nasib jangkrik-jangkrik malang itu.

Bus, angkot, dan orang lalu lalang datang dan pergi. Mencari penumpang. Menurunkan penumpang. Merayu penumpang. Menakuti penumpang. Dan menjengkelkan calon penumpang. Dan di latar belakang yang agak jauh, beberapa orang terlihat lahap menyantap makanannya dari pedagang bergerobak. Beberapa mobil, motor, datang dan terlihat sibuk memunguti barang-barang dari orang yang dijemput. Aku menghubungi pak Roman. Tak ada jawaban. Mungkin masih di perjalanan. Akhirnya, aku memutuskan untuk menghubungi temanku yang katanya berada di dekat sini. Masalahnya, saat aku memencet-mencet aplikasi Go-jek di layar tabletku, biaya dari Jakarta Timur, Pasar Rebo ke Kemayoran sungguh mencengankan. Sampai aku harus mengedipkan mata beberapa kali; Rp 133.000. Ini serius? Ini benar-benar kenyataan bukan? Waw, ditambah beberapa puluh ribu saja aku sudah balik lagi ke Jogja!

Menunggu. Menunggu. Mendengarkan album Sinestesia dari Efek Rumah Kaca. Masih menunggu. Ah, akhirnya datang juga motor dengan pengendaranya yang cukup gembur berambut keriting itu; Rizal, begitulah aku menyebutnya. Atau lebih tepatnya dia menyebut dirinya sendiri.

Dibawalah aku berlenggak-lenggok menuju tempat yang aku kira dekat, eh, ternyata cukup jauh. Dan anehnya, Jakarta lebih terasa menyenangkan di Fajar hari. Hampir di kota manapun, kesenangan hanya ada di kala Fajar. Kami pun melewati pasar pagi yang sibuk dengan ibu-ibu. Bapak-bapak. Pedagang sayur. Buah-buahan. Ikan. Bumbu dapur. Rempah. Lauk pauk dan segala macamnya. Tidak di Jakarta tidak di kota dan desa, pasar suasanya hampir sama saja. Tidak di Jogja, Bandung, Semarang, dan lainnya.

Setelah melewati berbagai macam tikungan dan rumah-rumah yang cukup mengenaskan karena ini adalah Jakarta, sampailah kami di sebuah masjid. Memarkir motor. Menuju sebuah tempat yang agak berantakan. Sejujurnya memang berantakan.

“Maaf ya Bro, kalau tempatnya semacam ini,” katanya, dengan nada yang kurang garang dan malah terkesan lembut. Sangat jauh dari kesan fisiknya. Dan ternyata orangnya cukup pemalu. Baiklah.
“Oh, tak masalah. Yah mau di manapun, sudah biasa. Malah aku yang harus banyak berterimakasih,” balasku dengan cukup riang.

Kami kenal baru beberapa hari. Dia bercerita banyak mengenai tulisan-tulisanku di blog dan lainya. Mencari diriku di Facebook dan Instagram. Memberanikan diri untuk menyapaku lebih dulu dan lain-lain. Seolah-olah, aku ini binatang langka yang perlu malu-malu dan takut-takut untuk didekati. Ternyata beberapa orang, mungkin, ingin berkenalan tapi takut untuk berkenalan dengan diriku ini. Laki-laki agak gila. Cukup garang. Dan seringkali lebih tak jelas dari pada jelasnya. Pada waktu tertentu tiba-tiba jadi sangat tertekan, melankolis dan mirip idiot. Dia menawariku rokok. Aku menolak karena memang tak merokok. Dan dibawalah aku berjalan kaki menuju rumah tempat anak-anak lainnya berbincang sampai pagi. Dan tentunya, katanya, agar tidak terkesan mengganggu di kompleks masjid yang tengah berisap-siap melakukan ibadah subuh. Seorang nihilis berbincang dengan anak HMI yang entah masih bergentayangan dengan sajadahnya atau tidak. Itu terkesan tidak etis. Jadi kami menyingkir.

Masih banyak pepohonan di sekitar perkampungan di Jakarta Timur ini. Aku pun melangkahkan kaki mengikutinya. Oh, sampah. Salam kenal. Oh sampah yang di sana, salam kenal juga ya! Dan kau sampah, siapa namamu?

Melewati bangunan dan pemukiman yang memang lebih tepatnya kampung dari pada kota dan sampailah aku di sebuah tempat, yang terparkir mobil, pagar, dan keadaan yang cukup bersih. Ah, ternyata cukup bersih dan melegakan juga tempatnya. Sialnya, ternyata bukan itu. Kaki berbelok, dan persis di depan rumah yang aku sangka itulah tempatku harus merebahkan badan. Baiklah. Seorang pendatang, diberi tumpangan, tolong jangan mengeluh. Berhentilah meracau. Menganalisa. Mengamati. Sayangnya otakku tak sanggup berhenti berpikir.

Aku kini berada di sebuah rumah, yang dari depan sudah mirip seperti terhantam komet purbakala atau perang mempertahankan kemerdekaan. Sejujurnya cukup bagus, tapi karena ditelantarkan dan tak diurus, terkesan sangat bobrok dan mirip rumah tikus beranak-pinak. Masuklah aku ke dalamnya. Dan, inilah dunia laki-laki kalau hidup dan tinggal bersama dengan laki-laki lain. Dan seperti inilah yang terjadi; bungkus rokok, puntung rokok, bau rokok, remah rokok, botol-botol, segala jenis sampah tergeletak begitu saja di berbagai macam tempat, meja kaca, dan asbak yang penuh dengan ciri-ciri perokok yang semrawut dan acak-acakan. Lantai kotor. Ruangan yang berkabut dan diselubungi bau rokok yang pekat. Ruangan dan kamar-kamar yang tak terurus. Baju, kaos, dan macamnya tergeletak begitu saja di tangga, pegangan tangga, dan keadaan dapur yang mirip museum pasca serangan bom atau letusan gunung berapi, ditambah kamar mandi yang dipenuhi piring, kotoran makanan, nasi yang bercecer, dan segenap ibadah kaum laki-laki biasanya. Inilah keadaanya jika laki-laki tinggal dengan laki-laki lainnya di dalam rumah kontrakan, kos, atau lainnya. Keadaannya hampir tak jauh beda dan selalu suram. Itu adalah kenyataan umum. Tak perlu didebat. Dan inilah Jakarta.

Kami pun bertukar cerita sebentar. Mengenai kemacetan di Jakarta. Mengenai susahnya untuk sekedar keluar dan bermain. Mengenai betapa seringnya dirinya terlambat dan akhirnya tak jadi masuk kuliah gara-gara macet di jalan. Mengenai betapa seringnya gagal mengikuti acara di suatu tempat tertentu karena sesampanyai di sana, acara sudah terlanjur habis, selesai. Mengenai betapa mahalnya hidup di Jakarta. Mengenai betapa cepat habisnya uang hanya untuk sekedar bolak-balik ke kampus saja. Mengenai betapa sedikitnya pembaca buku di ibu kota ini. Buku-bukunya yang diambil seorang teman tanpa pernah dikembalikan. Dan orang-orang yang tak terlalu bergairah dengan dunia pemikiran. Dan, yah, itulah Jakarta! Ya, itulah Jakarta!

Aku pun terkantuk-kantuk, sambil mendengarkan Sisir Tanah di perangkat elektronik yang aku bawa. Jakarta, ya Jakarta. Aku sudah berada di Jakarta kembali. Dan di sinilah aku sekarang.

“Jika mau ke kampus, jika masuknya jam delapan, ya kita harus berangkat jam enam atau dua jam lebih awallah. Yakinlah, kalau tidak, bisa telat dan sudah tak diperboleh masuk itu. Begitulah Jakarta. Banyak itu yang sering telat. Aku sendiri juga sering. Pokoknya, hidup di Jakarta serba ribetlah. Kalau tak punya banyak uang dan mental yang cukup, benar-benar bisa... “

“Mati bunuh diri dan gila hahaha ....  gila benar itu, masak tak jadi kuliah gara-gara kena macet. Benar-benar kota neraka ini,“ celetukku sambil heran tergeleng-geleng. Dan seperti itulah wajah Jakarta bagi orang yang tak terlalu memiliki banyak uang dan hidup pas-pasan. Jakarta serba menjerat dan melelahkan. Tak ada waktu untuk berpikir aneh-aneh karena kau akan tergilas roda ekonomi dan biaya hidup yang terus naik. 

“Jakarta merupakan sebuah kota besar dengan mayoritas warga miskin di negara yang beruntung memiliki sumber daya menguntungkan dan tidak dimiliki banyak negara lain, yaitu cadangan minyak yang besar,” tulis Susan Blackburn dalam bukunya Jakarta; Sejarah 400 Tahun. Penduduk miskin tetap banyak. Sedangkan minyak kini harus terpaksa impor dan tentunya, keluar dari keanggotaan para produsen minyak, OPEC. Dan Jakarta masih tetap semrawut.

Aku pun undur diri untuk menikmati tidur di sofa dan terlelap hingga siang hari dengan perasaan cukup puas. Melupakan sejenak Jakarta. Melupakan Indonesia. Melupakan Jawa. Melupakan, apa lagi kalau tidak melupakan para pembaca buku yang susah dicari di manapun. Bahkan di kota besar ini.



Jayakarta, Banten, Mataram, dan ketika semuanya kalah, akhirnya lahirnya Batavia yang semakin kokoh. Tak heran jika Sutan Takdir Alisjahbana marah-marah dengan kekalahan besar pihak Mataram dengan 10.000 pasukannya melawan hanya sekitar 300 orang saja dan menganggap kebudayaan kita adalah kebudayaan yang kalah. Saling cakar dan sangatlah licik serta oportunis. Memang seperti itulah. Lihat saja perpolitikan di Jakarta. Jakarta adalah awal di mana, kita akhirnya dijajah selama berabad-abad. Apakah yang bisa dibanggakan dari sejarah dan kenyataan Jakarta hari ini?

Dan sekarang aku sedang berada di jalanan Jakarta menuju pusat kota yang dulu bernama Batavia Baru atau yang lebih dikenal dengan Walterveden. Tentunya setelah mandi, makan, bercanda dengan dua orang lainnya dari Nusa Tenggara yang baru masuk kuliah.Dan tentunya, diriku ini sangat membuat repot si Rizal. Aku menyuruhnya mengantarkanku ke Monas, tempat di mana kekuasaan baru Belanda masa lalu bercokol kuat dan sejarah Indonesia mengalir sangat deras di sana.

Baiklah, aku sedang menyusuri jalanan tempat orang-orang di masa lalu kalah dan apakah hari ini, setelah kemerdekaan, kemenangan itu akan membuat wajah Jakarta dan orang-orangnya terlihat berbinar-binar? Oh, tidak. Tentunya tidak.

Mengikuti isu yang terjadi di Jakarta bisa membuat kepala pecah. Sudahlah, itu urusan nanti. Aku sudah memikirkannya beberapa waktu yang lalu, dan bahkan sebelum sampai di sini, aku sudah menyerah memikirkannya terlalu panjang lebar. Mau Ali Sadikin hingga Ahok, tak ada perubahan yang nyata dan terlihat bisa mengguncang jiwa dan pikiran seketika. Aku ingin merasakan bagaimana berjalan di jalanan kota ini. Itu yang paling penting. Mengenai pengayuh sepeda dan pembaca buku, aku sudah angkat tangan. Karena sepertinya tak jauh beda dengan kunjunganku yang terakhir pada september 2015 yang lalu.

Aku berjalan di sekitar perkampungan Malaka, kelurahan Monjul, kecamatan Cipayung, menuju pusat kota atau lebih sering disebut sebagai Jakarta Pusat. Pusat Neraka. Pusat iblis memerintah dan bergentayangan sesuka hatinya. Dari Jakarta Timur menuju Jakarta Pusat. Sebuah ekspedisi. Sebuah eksplorasi. Sebuah umpatan tertahan. Dan tentunya, kesabaran yang susah untuk disimpan baik-baik.

Cipayung memang adalah pemukiman kampung. Sangat kampung. Rumah-rumah yang halamannya sempit. Bobrok di sana rusak di sini. Kumuh. Lusuh. Diselilingi beberapa rumah mentereng. Sementara itu, sampah tergeletak hampir di semua tempat. Di bawah pohon. Di tengah jalan. Di pinggir tembok. Tergeletak di bawah kaki. Di mana-mana. Dan bendera Indonesia, merah putih, berkibar-kibar menunggu hari kemerdekaan, 17 Agustus, tanpa perasaan malu dan mual. Walaupun begitu, aku melihat banyak anak-anak kecil yang berlarian, bermain, bergembira, tersenyum riang, dan seolah dunia hanyalah milik mereka sendiri dengan kecerian-keceriaan masa kecil yang membuat iri. Seperti halnya Stefano Romano yang sangat senang jika bersentuhan dengan anak-anak di perkampungan Jakarta dan sebagian Jawa. Dalam bukunya Kampungku Indonesia, ia menulis, “Anak-anak adalah masa lalu kita, karena kita dahulu juga anak-anak. Anak-anak adalah masa depan kita, karena merekalah yang akan meneruskan nasib suatu bangsa. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa dikatakan telah mencintai suatu bangsa tanpa mencintai pula anak-anak negeri itu.” Dan tentunya, walaupun terkesan berantakan, kotor, kumuh, dan plastik bergentayangan di mana-mana. Kampung masih terlihat lebih beradab dari pada apa yang sering disebut para elit sebagai sebuah kota yang sesungguhnya. Sialnya, aku tak tahu kota yang sesungguhnya itu yang semacam apa kalau berbicara mengenai Jakarta.



Berbicara tentang anak, jelaslah, kota ini sangatlah tidak ramah anak. Kota semacam ini menjadi kota ramah anak adalah kemustahilan. Dan aku pun bertolak dari Cipayung, melewati jalan Binamarga yang cukup bersih, rapi, banyak pohon, segar, tapi juga cukup macet. Lalu ke jalan Ceger yang sangat mirip kawasan kampung atau deretan bangunan yang berada di Kaligawe, Sawah Besar, Semarang. Rumah sangat kecil di sepanjang jalan. Beberapa di antaranya terbuat dari papan. Ada banyak ruko toko, bengkel, dan Warung Tegal. Terdapat sebuah masjid yang bernama Masjid Jami Al Mubaroqah. Iman orang Jakarta pantas dipertanyakan.

Di jalan Akses Hankam, terlihat banyak pohon. Jakarta tanpa pohon mungkin akan semakin mengerikan dan membuat frustasi. Karena jalan ini pun, rumah-rumah sangatlah berantakan. Hingga akhirnya motor yang aku naiki melewati kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan sebuah masjid cantik berwarna ungu, bernama Masjid Attin. Jakarta Timur aku rasa adalah kawasan seumur hidup milik istri pak Harto itu dengan proyek besarnya yang penuh kontroversi pada waktu itu dan yang kini ternyata dinikmati tanpa penyesalan berarti. Di sekitar jalan ini, kemacetan tak terlihat, motor melaju cukup kencang, jalan lumayan lebar, agak bersih walau sampah masih terlihat di sana-sini dan sebuah Taman Anggrek melintas di mataku.

Tiba di jalan Raya Pondok Gede, trotoar sangat mengerikan. Hilang. Berlubang di sana sini akibat penggalian dan lainya. Sampah dan sampah. Macet. Semua kendaraan tersendat-sendat. Jalanan penuh. Sungai keruh dan banyak sampah di pinggirannya atau tersapu oleh air. Jalan raya benar-benar semrawut. Benar-benar parah.

Memasuki jalan Raya Bogor, kemacetan tambah parah dan membuatku geleng-geleng kepala. Jakarta, ya ini Jakarta. Pusat Indonesia! Menggelenglah sebanyak mungkin. Ini memang Jakarta. Ibu Kota Indonesia. Yang sialnya, nyaris tak ada trotoar terlihat di jalan ini. Semua orang terasa bagaikan tak sabaran di jalanan. Klakson seolah-olah kebutuhan primer di jalan raya, yang kalau tidak digunakan keras-keras dan berulang-ulang seolah-olah terasa kurang melegakan. Dan PGC terlihat besar tapi sangat tidak indah. Tibalah aku di jalan Dewi Sartika.

Motor bergentayangan di mana-mana. Trotoar nyaris hilang, habis, dan tak terlihat ada. Yang tersisa diambil oleh yang lainnya. Jalanan sangatlah padat. Pepohonan jarang terlihat. Panas. Kumuh. Ya, perkampungan kumuh melawan gedung-gedung pencakar langit yang terlihat aneh dari kejauhan atau dari dekat. Melewati RSUD Budhi Asih. SMP Marsudirini, yang kebanyakan anak-anaknya adalah Tionghoa. Banyak orang Tionghoa di Jakarta. Mengingat masa awal berdirinya Batavia di masa Coen, banyak orang Cina yang diangkut ke Jakarta atas alasan politis dan ekonomi. Dan sisa-sisa mereka di Jakarta terlihat dengan mudah. Ada pesepeda Fixie di tengah kemacetan, kerumunan kendaraan bermotor yang mengerikan. Benar-benar pemandangan yang aneh, seolah-olah anak SMP laki-laki itu mengayuh sepeda dengan susah payah di tengah ribuan, jutaan manusia terpelajar yang sayang, otaknya tak terpelajar. Kemacetan menandakan bahwa Jakarta, adalah kota yang ironisnya, sebagai ibu kota yang orang-orangnya menyedihkan. Jalanannya sudah membuktikan hal itu. Dan tiba-tiba, bola mata terpaku pada sesuatu yang aneh; sebuah baliho dengan gedungnya yang bernama Partai Idaman bergambarkan Roma Irama menjulang di tengah kesemrawutan ibu kota yang sangat menyedihkan. Hah, partai Idaman? Serius? Aku nyaris tertawa terbahak-bahak dan benar-benar menganggapnya gila.

Suara klakson berbunyi nyaring di sana dan di sini. Semua orang tak sabar untuk segera tiba di tempat tujuan. Kemacetan membuat jati diri orang-orang terkuak. Dan, yah, di Jakarta, semua pengendara mesin berebut tempat hingga kadang tak peduli lampu merah itu ada atau tidak. Di sisi lainnya, apakah ada yang menyeberang atau tidak, siapa yang peduli? Semua orang saling terburu-buru hingga membuat jalan raya nampak seperti lahan pertarungan abadi yang menandakan mentalitas warga yang menghuni kota ini.

Jalan Otto Iskandar Dinata, berdiri besar MTH Square. Entah berapa mal dan swalayan besar yang berdiri di Jakarta ini? Entah mengapa, mal terasa berdiri di mana-mana. Dan terlihatlah papan nama Jatinegara arah Kampung Melayu. Melewati terminal Kampung Melayu yang memang mirip kampung. Setengah jalan habis oleh mikrolet yang berderet-deret. Kumuh. Sampah berserak mengagumkan. Dan terlihat sungai sedang dikeruk dan dilebarkan. Lalu lewatlah di sekitar Stasiun Tebet yang jalannya sedang diperbaiki. Tempat di mana dulu aku turun dari Bogor dan melihat Jakarta dengan perasaan ngeri. Jalan Jatinegara yang dulu lebar, indah, tanpa sampah, dan yang dulu bernama Master Cornelis, sekarang tinggal kenangan di buku-buku dan gambar.

Melewati jembatan layang yang di bawahnya terkesan tak jelas. Menuju jalan Kampung Melayu Kecil, yang tak hanya namanya saja terdapat kata Kecil, jalannya yang asli juga benar-benar kecil. Terdapat bangunan kuno bertuliskan PT SETIA TJILIWUNG, yang mirip hantu mau rubuh dan menyedihkan. Jalan kecil ini pun dilewati oleh tak hanya motor tapi juga mobil. Benar-benar luar biasa. Motor dan mobil akhirnya tersendat di pemukiman yang sangat terlihat kampung yang tak kalah semrawutnya seperti yang lainnya. Sampailah di lintasan rel kereta dengan jalan yang bernama Jalan Bukit Dwi Tanjakan. Kondisinya berdesakan. Seluruh kendaraan seolah ingin lebih dulu mengambil jalan. Dari gang terkecil hingga jalan raya besar, sepertinya Jakarta habis oleh mobil dan motor saja. Dan ada sebuah kereta berwarna pink yang bertuliskan, ‘Kereta Khusus Wanita’. Dan aku pun tertawa getir. Seperti inilah Jakarta. Semua orang terlihat sangat ketakutan di tempat-tempat publik, terlebih para perempuannya. Sehingga kereta saja harus dipisah dari laki-laki karena banyaknya kejadian yang tak senonoh, pelecehan seksual dan tindak kriminal. Hah, memang, inilah Jakarta.

Kawasan Manggarai, atau Manggarai Utara pun masih terlihat kumuh walau tertutupi oleh rindangnya pepohonan. Banyak Go-Jek di sini. Melewati Stasiun Manggarai. Macet. Ya, macet. Jakarta tanpa macet bukan lagi Jakarta. Dan di jalanan, terlihat anak-anak sekolah berjalan pulang bergerombolan dengan baju olah raga kekuningannya yang bertuliskan SMK YPK Kesatuan. Lewatlah di depan Pasar Raya Indonesia yang menjulang.

Motor berjalan di jalan Tambak. Anak-anak kecil, terkesan kampung, berduyun-duyun turun dari sebuah truk dengan wajah gembira dan bangga. Dari mana mereka dan mau kemana? Aku tak tahu. Melewati jalan Proklamasi yang sedang bersiap-siap menyambut hari kemerdekaan. Sedih melihat bekas perpustakaan Freedom Institute yang harus tutup entah sampai kapan. Surga Jakarta telah hilang. Karena tak ada perpustakaan yang bagus di Jakarta yang pernah aku tahu. Maka ditutupnya perpustakaan Freedom Institute seolah-olah bagaikan pukulan telak yang parah. Setelah Horison cetak habis di bulan Juli. Dan Saut Situmorang sedang berada di ambang ancaman kurungan penjara. Lalu apa yang tersisa dari kita?

Jalan Pegangsaan Barat ditumbuhi banyak pohon sehingga membuat udara cukup segar. Kami melewati stasiun Cikini. Dan melihat trotoar luar biasa buruk. Ketika berbelok, berada di jalan Prof Moh Yamin, seorang pemulung perempuan terlihat mengais-ngais sampah di sebuah rumah besar. Yah, Jakarta dihuni oleh banyak sekali orang miskin tak perlu lagi disangsikan. Jurang lebar miskin dan kaya nyaris tak berubah semenjak era kolonial bahkan semenjak Batavia berdiri di abad ke-17 setelah dihancurleburkan oleh Jan Pieterszoon Coen. Sebuah kota yang menggelisahkan.

Jalan Teuke Cik Ditiro, memiliki trotoar yang buruk. Jalan Soeroso sangat macet. Sampah lagi sampah lagi. Sepeda motor naik ke trotoar mencari jalan. Mobil. Mobil. Mobil. Berderet meneror mata dan pikiran. Inilah sebabnya kenapa Jakarta macet karena semua orang yang memiliki mobil membawa mobilnya ke jalanan Jakarta dengan alasan yang kadang sepele; takut asap knalpot. Takut polusi. Takut panas. Takut kulit hitam. Takut bau bensin. Takut derajat sosial menurun. Takut dicibir relasi dan teman karena menaiki motor dan lainnya. Inilah gambaran umum warga kelas menengah-elit Jakarta. Sangat tak beradab dibandingkan pedesaan dan kampung yang tersebar di penjuru kota Jawa. Perilaku orang-orang Jakarta menghapus mitos yang selama ini membayangi kuat kota itu bahwa warga Jakarta, warga kota adalah masyarakat yang beradab, sadar akan sekitar, dan berpikiran maju dan modern dari yang lainnya. Dongengan macam itu sudah usang. Pada dasarnya mental warga Jakarta lebih sempit dari mentalitas kampung. Itulah alasan kenapa Jakarta tak pernah cukup diselesaikan. Karena kelas menengah-elitnya sangatlah primitif dan berjiwa zaman batu. Kebaikan dan kehamornisan hanya ditunjukkan oleh kalangan sendiri bukan pada seisi kota, lingkungan kota atau ke warga kota yang lebih luas. Semua membangun benteng. Semacam dunia yang masih hidup dalam konflik kesukuan.

Jakarta adalah kota primitif yang bertubuh modern. Tak ada yang lebih mengherankan dari keprimitifan warga Jakarta di abad ke-21 ini. Tempat di mana hukum rimba masih berlaku. Rimba beton. Yah, sayangnya. Karena hutan sudah habis ditebang. Mau bagaimana lagi. Terlebih hutan Jawa, tinggal beberapa persen yang masih tersisa.

Melintasi jalan Menteng Raya, kawasan elit Jakarta, aku pun ingin sekali tertawa sekeras-kerasnya. Apakah benar ini Menteng? Serius ini Menteng? Terlihat kusam seperti yang lainnya. Macet. Trotoar yang layak untuk kota kecil semacam Kebumen atau Klaten. Benar-benar sebuah kota dengan wajah fisik yang mengerikan. Itulah Jakarta. Lebih mirip sub-urban dari pada kawasan metropolitan. Sedangkan Tugu Tani yang bundarannya sangat macet seolah-olah menertawai kenyataan. Siapa yang peduli dengan petani hari ini di kawasan Jakarta? Yah, petani sering dianggap ndeso, jauh dari peradaban, tidak keren, tidak modern, terkesan lusuh dan berpikir kolot. Itulah kenapa ada istilah ndeso dan kampungan sebagai bentuk ejekan, diskriminasi, dan stereotip yang sadis yang sering dilontarkan warga kota, terlebih Jakarta, terhadap orang-orang dari kampung, desa, daerah luar Jakarta atau yang dianggap norak dan tidak sesuai dengan cita rasa kemodernan dan kemewahan mereka. Tapi, hari ini semua telah terbalik. Warga kota menjadi lebih primitif dari warga desa dan desa itu sendiri. Dan hal itu sangat jelas aku lihat dan terasa mengerikan. Bagaimana orang-orang terpelajar Jakarta bisa hidup dan membuat kota yang dulunya indah menjadi semacam ini? Tempat di mana seniman, sastrawan, profesor, ahli hukum, negarawan, politisi, pengusaha, artis layar kaca, pejabat negara dan orang-orang terpelajar dengan sederet gelar lainnya, yang jumlahnya membludak nyaris tak bisa berbuat apa-apa terhadap kota ini. Kota ini diisi oleh para terpelajar yang mandul. Ompong. Dan hidup hampir untuk dunianya sendiri. Itulah alasan lainnya Jakarta lebih mirip kampung besar. Jakarta, kampung besar neraka. Itulah julukan yang tepat untuk kota ini. Karena memang, kampung yang kumuh, semrawut, acak-acakan, tidak indah, bobrok, mengitari kota ini dan menjadi bagian di dalamnya. Dan warga kelas menengah-elitnya, lebih primitif dari pada warga kampung itu sendiri. Pusat kotanya ternyata, ya ampun, benar-benar mengenaskan. Sangat tidak indah. Baiklah, mungkin Jakarta Pusat, Central Jakarta aku masukkan sebagai pusat kampung besar seluruh Jakarta.

Tak ada yang benar-benar kota di Jakarta Pusat dan sekitarnya. Titik. Yang ada hanyalah kampung. Kampung. Dan kampung. Apakah kampung adalah sesuatu yang bermasalah dan terkesan sangat rendah? Tidak. Masalah utamanya adalah ketidakinginan warga kelas menengah-elit Jakarta mengakui bahwa dirinya adalah bagian dari kampung besar. Mereka menolak darah kekampungan yang ada di dalam dirinya. Yang setiap hari ia lewati, masuki, temui, dan rasakan. Kebanyakan dari mereka membangun benteng jati diri di seputar mal, pusat belanja, ruang kesenian yang seolah beradab dan terkesan modern, cafe, di dalam mobil kedap kenyataan, lapangan golf, hotel mewah, dan perumahan, apartemen yang menjulang dan seolah meludahi pemukiman miskin di sekitarnya. Itulah Jakarta sehari-hari. Itulah kenyataannya. Itulah yang membuat Jakarta susah berubah karena sejak dulu dirancang untuk kawasan elit para penguasa kolonial dan ditiru oleh para pemangku kepentingan setelah kemerdekaan dengan melupakan kenyataan sebenarnya yang mengitari kehidupan sekitarnya. Tak jauh beda dengan gambaran yang disuguhkan oleh Susan Blackburn, “Para penguasanya yang otoriter membangun ibu kota negeri berdasarkan gambaran kota-kota metropolitan luar negeri tanpa mengacuhkan kehidupan dan kepentingan mayoritas penduduk kota yang miskin. Rakyat biasa dipinggirkan ketika pemerintah berusaha membangun Jakarta menjadi kota metropolitan modern. Akibatnya adalah kontras yang kentara antara kawasan-kawasan modern tempat tinggal kalangan berada dengan daerah kumuh yang lebih luas dan hanya menerima sedikit bantuan pemerintah.”

Dan kini, sampailah aku di jalan Medan Merdeka Timur. Kawasan inilah, yang dulu disebut sebagai Batavia Baru atau Weltevreden dengan Lapangan Waterloonya yang dibuat oleh Gubernur Jendral Daendels. Tapi sekarang aku sedang berada dibagian Koningsplein yang berdiri megah Monumen Nasional dan dikitari oleh sederetan gedung kolonial yang kini berubah bentuk menjadi milik Republik. Yah, yang bisa dilakukan oleh kita memang hanya mengganti nama bangunan bekas orang lain untuk menjadi milik kita sendiri. Itulah kehebatan kita. Sedang gedung yang kita buat? Yah, pencakar langit kusam yang sebentar lagi terlihat kacau dan menyedihkan. Itulah yang hari ini baru bisa kita buat.

Jalan Medan Merdeka dipenuhi dengan berbagai macam jenis tumbuhan dan pepohonan besar yang rindang dan indah. Pepohonanlah yang masih menyelamatkan muka pusat Jakarta yang terlihat lonyo dan menyedihkan. Bahkan trotoar pun terlihat retak di sana sini. Hilang di beberapa bagian tertentu. Benar-benar semacam pecundang. Kawasan pusat kota ini, kalah jauh dengan Semarang yang kian elegan dan cantik walau sama-sama panasnya. Ketika sedang mengamati di depan pintu Monas, tiba-tiba sampah minuman dibuang begitu saja oleh seorang anak kecil yang sedang berkerumunan dengan orang tua dan keluarga besar mereka. Dan, tentunya, tak ada petugas yang menegur atau mengurusi perihal sampah dan sikap terhadap sampah ini. Jadilah kawasan Istana Negara, Monumen Nasional dan sekitarnya yang sakral, tak bebas dari sampah dan sampah. Jika sampah saja terbiasa di pusat ibu kota, apakah kita akan menyalahkan jika sampah telah menjadi bagian rutin dan keseharian di kota-kota besar dan kecil lainnya? Jakarta sendiri, pusat pemerintahan saja tidak bisa memberikan contoh. Dan tiba-tiba sepeda bobrok dengan pengayuh yang lesu lewat di depan mataku. Sebuah pemandangan yang miris atau menggelikan. Aku tak tahu mana yang benar setelah Bajaj, Taksi, mobil dan mobil berlalu lalang hingga terasa tak terhitung jumlahnya.

Jadi apa yang dikatakan oleh Jules Leclerc mengenai Batavia yang dikenalnya pada tahun 1895, nyaris tak berbekas dan punah. Yaitu “Batavia yang memiliki kerindangan daun, pepohonan, dan bunga-bunga yang takkan kita temui di tempat lain mana pun. Karena itulah Batavia merupakan kota yang unik di dunia. Akrab dengan alam, Batavia merupakan kota ideal yang tak terusik suara bising dari jalan yang memekakkan telinga, tidak berbau busuk karena asap dari pabrik, tidak tercekik karena tumpang-tindihnya tingkat rumah-rumah yang menjulang seperti menara. Setelah melihat kota itu, kita akan mengerti mengapa begitu banyak orang Eropa yang hidup di sana selama bertahun-tahun merasa senang tinggal di dalam taman firdaus itu dan tidak ingin lagi hidup di tempat lain”. Jakarta semacam itu sudah punah dan habis sekarang ini. Yang aku lihat adalah sisa keindahan daun dan pepohonan, kebobrokan dan kekumuhan terlihat di sana sini, dan bangunan peninggalan Belanda yang kemegahannya masih terasa namun sudah tak lagi indah seperti kebanyakan mereka menyebutnya dulu sebagai sang Ratu dari Timur atau Queen of the East. Julukan itu kini hanyalah sejarah. Julukan sekarang yang tepat adalah Jakarta Kampung Besar Neraka. Menggantikan julukan yang beberapa waktu yang lalu aku sematkan kepadanya, Jakarta Ibu Kota Neraka. Setelah kembali ke Jakarta, aku rasa istilah itu tak lagi layak dan tepat. Yang layak dan sesuai adalah Jakarta Kampung Besar Neraka. Julukan itulah yang paling sesuai dan sangat layak. Lebih dekat dengan kenyataan yang sebenarnya.

Dan akhirnya aku masuk ke dalam kawasan Monas atau lebih tepatnya Taman Monumen Nasional, yang terparkir deretan mobil yang sangat keterlaluan banyaknya, sampah terlihat berjalan-jalan di berbagai macam ruang, suasannya agak suram, berbagai macam gerai makanan terlihat mengenaskan dan tak rapi, dan sampailah aku di kawasan dalam yang terlihat lebih bersih dan rapi. Enak dipandang dan terasa sangat luas dan cukup indah. Seandainya seluruh kawasan Monas dan Jakarta itu sendiri isinya semacam ini, mungkin aku tak akan banyak mengeluh dan uring-uringan. Yah, momen langka harus sedikit dinikmati.

Berjalanlah aku di sekitar pepohonan menuju pusat kawasan ini, Monumen Nasional. Terlihat cukup banyak orang sedang menikmati berbagai macam jenis kegiatan. Melewati sebuah keluarga yang tengah bersantap ria ala masa lalu. Wajah-wajah lusuh yang jauh dari kesan kemewahan dan kemodernan sejati, kalau mau dibilang agak sok. Dari arah manapun, Jakarta tak bisa menyembunyikan kenyataan dirinya sendiri bahwa terlalu banyak kampung dan warga miskin yang menghuni dan bermain di berbagai lahan dan bagian-bagian umum tempat wisatanya. Dan sampailah aku di rerumputan Jepang dan pohon-pohon palem yang meneduhkan dan indah. Memandang puncak dan tubuh Monumen Nasional yang terlihat semakin kusam dan tak terawat itu sambil membolak-balikkan buku Cendekiawan dan Politik yang aku bawa. Aku ingin menikmati bagaimana rasanya membaca di pusat kekuasaan dan landmark negara ini. Ternyata rasanya menyenangkan!

Jakarta adalah peninggalan kolonial dan Soekarno. Begitu juga monumen ini dan banyak bangunan lainnya dari patung Selamat Datang, Planetarium hingga Masjid Istiqlal. Singkat cerita, aku sedang mengunjungi sisa Batavia kolonial dan sentuhan Soekarno ditambah berbagai macam gerakan bin salabim yang dilakukan oleh Gubernur Ali Sadikin hingga Ahok, dan tetunya Soeharto, yang nyaris tak mengubah apapun. Dan di atas pucuk sana, sebuah api yang dilapisi oleh emas, sejujurnya hasil sumbangan dari seorang pengusaha kaya raya dari Aceh. Jadi, jika nanti Jakarta macam-macam dengan rakyat Aceh, mereka, rakyat Aceh, bisa meminta untuk mengembalikan emas yang melapisi puncak Monumen Nasional, yang mana berasal dari salah satu masyarakat mereka. Ide yang cukup bagus. Menarik. Layak dicoba kelak. Sama halnya saat rakyat Papua seolah bagai ditolak di manapun bahkan di Jogja tempat di mana kebebasan dan seni harusnya menjadi bagian dari toleransi. Yah, seandainya orang-orang Papua menginginkan merdeka atau meminta pertanggungjawaban terhadap Jakarta dan Jawa, itu sangatlah wajar. Ketika kau adalah bagian dari Indonesia tapi seolah bagaikan tak dianggap sebagai bagian dari warga Indonesia, dipandang sinis, sebelah mata, didiskriminasi, tidakkah sebaiknya kau mendirikan negara sendiri?

Melangkah lagi. Tertatih. Sesekali mengambil foto, mengamati orang-orang asing dan lokal berkeliaran di kawasan ini, dan akhirnya memasuki ruangan bawah tanah, dasar Monumen Nasional yang dijaga ketat oleh beberapa polisi yang memeriksa barang bawaan, tas, dan lain sebagainya. Tak terkecuali diriku ini. Sejujurnya sangat tak terlalu ketat. Museum Nasional yang berdiri di sebarang saja pernah mengalami pencurian yang memalukan. Apa lagi Monumen Nasional? Cukup satu orang mirip Ramzi Yousef sudah sanggup meratakan Monumen Nasional untuk selama-lamanya.

Dan aku sangat lelah. Pusing. Akhirnya tersandar lama di sebuah kursi menghadap loket menyaksikan kerumunan orang yang datang dan pergi.

Dan siapakah si Ramzi Yousef itu? Dia adalah orang yang pertamakali mencoba meledakkan World Trade Center namun gagal, yang pada akhirnya disempurnakan oleh al-Qaeda. Tapi tak perlu takut, hal semacam itu masih cukup jauh mengingat teroris Indonesia kebanyakan terdiri dari orang-orang bodoh yang isengnya keterlaluan tolol. Terakhir kali yang membuat geger hanyalah seorang laki-laki bertopi, dengan tas dipunggung, berkeliaran di jalanan Jakarta dengan membawa pistol dan eh, yaelah, menembak saja nyaris tak becus. Tapi apa jadinya jika ledakan setara dan lebih hebat dari kasus Bom Bali milik Imam Samudra ditambah latar politik dan ideologis yang lebih jelas? Itu akan menjadi cerita lain dan perlu diperhitungkan jika kita tidak ingin emas di puncak menara raib hilang atau Monumen Nasional itu sendiri runtuh dan tak akan mungkin dibangun ulang seperti sedia kala.

Siapa pun orang yang mampu mencuri api berlapis emas dari Monumen Nasional, yakinlah, dia akan jadi legenda di Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di dunia. Aku relakan diriku untuk meminta tanda tangannya! Tentunya, seandainya dia masih memiliki tangan.

Di dalam ruang bawah tanah yang disebut Museum Sejarah Indoneisa, terdapat diorama mengenai Indonesia di masa lalu hingga terbentuknya sebuah negara yang merdeka. Tentunya, papan penjelasannya terlihat kusam, berembun, dan beberapa sedang diperbaiki. Sangat khas Indonesia. Dioramanya terbilang lumayan. Terlebih yang menyangkut kapal-kapal dan sejarah masa lalu. Peristiwa 1965 masih saja tak berubah dan masih berbau Orba. Dan, terlihat banyak perempuan cantik di bagian dasar Monumen ini. Dari kelompok Tionghoa dengan pakaian seksi mereka hingga beberapa gadis, kalau masih gadis, berbau Eropa yang sangat menggiurkan karena berpakaian serba minim. Beberapa orang terlihat berebah, tiduran dan seolah-olah lantai yang ada di dalam sini adalah tempat tidur umum atau mungkin semacam serambi masjid. Beginilah wajah pusat kekuasaan dan ibu kota, atau lebih tepatnya kampung besar neraka Jakarta.

Aku kembali berjalan. Berada di sebuah ruangan cukup gelap yang mirip stadiun atau Colleseum. Ada sebuah lift untuk ke atas. Gambar burung pancasila dengan simbol-simbolnya. Beberapa orang yang bergantian mengambil foto. Aku sedang menikmati kelelahanku. Membaringkan badan. Membayangkan Jakarta yang kacau di dalam pikiran.

Dan kini, aku sudah berada di cawan. Jakarta dilihat dari atas sini, tak terlalu buruk. Ada Masjid Istiqlal, Katedral, beberapa bangunan milik pemerintah, dan beberapa orang asing dan lokal. Kawasan ini indah jika terawat, bersih dan rapi. Tapi sayangnya, di dalam sini pun, kebersihan belum terlampau ketat. Ada puntung rokok menghadang di tangga, sisa tisu, dan beberapa lainnya. Kesadaran akan kebersihan di tempat sakral, suci, penting atau rumah ibadah yang banyak diagungkan pun, jauh sekali dari kenyataan. Orang Indonesia adalah orang yang tak menghargai masa lalu mereka sendiri. Seorang pragmatis masa depan. Dan seorang yang banyak abai akan kekinian yang tak menyangkut dirinya sendiri.

Dan aku pun berjalan menuju Kemayoran setelah dibantu oleh para laki-laki muda dari Dinas Perhubungan dan seorang polisi. Aku meminta salah satu dari mereka untuk memanggilkan Go-Jek untukku karena aku tak tahu harus mulai dari mana. Go-Jek lebih cepat, praktis, dan tak perlu terlalu repot untuk menembus belukar Jakarta. Go-Jek datang setelah cukup lama menunggu. Aku pun berangkat menuju Kemayoran. Ke Hotel Dragon Inn. Tempat di mana pak Roman berada. Sedang Istana negara terlihat ramai dengan merah putih dan panggung di sana sini.

Dan ketika berada di jalan, di mana sore hari sedang berjalan menuju senja, kemacetan membuatku terpesona. Benar-benar pemandangan yang luar biasa; buruk. Kemacetan dengan latar belakang bangunan kusam tak terawat dan beberapa seperti mau roboh, seolah-olah terbayang di kepalaku akan dunia yang sebentar lagi akan tenggelam. Sayangnya, sekarang ini aku sedang berada di jalan pusatnya Jakarta. Mobil. Mobil. Mobil. Mobil. Mobil. Kalau dilihat-lihat, entah berapa jumlah mobil yang ada di jalanan Jakarta hingga terasa menjengkelkan. Lalu mata melihat sekilas bangunan Santa Maria yang terlihat kuno, yang masih menyisakan kesan elegannya. Di sini, jalanan cukup lancar walau padat. Masih ada trotoar terlihat. Trotoar adalah hal yang langka di Jakarta. Terlebih yang bagus dan tak retak.

Ketika motor berada di jalan Pacenongan, macet kembali menghadang. Macet. Ya, macet. Bisa membuat orang frustasi. Marah-marah. Ingin menendang pantat orang lewat. Dan mengutuk sumpahi kota yang brengsek ini. Kemacetan bisa membuat siapa saja depresi. Sedih. Kecewa. Dan, mungkin, bagi orang-orang tertentu, mengakhiri kisah cinta romantis mereka.

Jakarta memang kota paling sialan, brengsek, dan menyedihkan yang pernah aku temui selama kehidupan yang membosankan ini.

Karena saat di jalan Juanda Raya, kemacetan oh kemacetan.. Baiklah, baru satu hari saja di kota ini, aku sudah benar-benar gila. Kemacetan. Sampah. Bangunan kumuh. Kemacetan. Sampah. Bangunan kumuh. Kemacetan. Sampah. Bangunan kumuh. Itulah pemandangan Jakarta.

Dan tiba-tiba di sekitar JRC, ada semacam tulisan, grafiti, “Selamat Menikmati  Artistik Kota”. Apa? Artistik kota? Aku pun memandang sekelilingku. Artistik kota?

Pasar Baru yang jalanannya penuh sampah. Jalanan sangat ruwet. Mobil lagi. Mobil lagi. Mobil lagi. Luar biasa banyak dan seolah bagaikan hama. Jika seandaianya Jakarta adalah sawah. Maka mobil adalah hama sawah itu sendiri. Jadi, mobil adalah hama Jakarta. Sungai yang isinya plastik di sana sini. Keruh. Menyedihkan. Jalanan ini terasa sekarat. Walau jalan agak lancar, tiba di jalan Garuda, dunia kembali terasa menyebalkan.

Semua orang tak sabaran. Klakson berterbangan di udara. Tiba-tiba dunia seolah bagai tanpa lampu merah, aturan lenyap, motor naik trotoar, dan di palang kereta, mataku memandang keriuhan di sekitarku. Sampah lagi. Sampah lagi. Lalu apa bedanya Jakarta dengan sebuah desa? Aku rasa, aku akan memilih sebuah desa yang aku lewati ketika berjalan kemari; Kulon Progo. Kulon Progo adalah desa yang indah. Jakarta adalah kampung yang kotor. Banyak Go-Jek yang terlihat. Apa jadinya jika tak ada Go-Jek di Jakarta? Yah, aku rasa, kemacetannya akan lebih gila dari pada yang sekarang ini. Dan sekitar palang kereta, Stasiun Kemayoran, pemandangan terasa mengerikan. Kumuh. Sampah bergentanyangan di mana-mana. Hingga akhirnya aku memasuki jalan Kran. Gunung Sahari. Tempat di mana, dulu, Soe Hok Gie dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia berdemontrasi berjalan kaki menuntut pemerintahan Soekarno. Dan, suasananya sangat kampung. Bau bendera merah putih demi menyambut kemerdekaan terlihat di sana-sini. Anak-anak kecil berlarian. Bajaj. Mobil terparkir. Warung-warung kecil. Rumah-rumah apa adanya. Jika tiba-tiba Soe Hok Gie hidup kembali dan melihat sekitar Jakarta yang ia akrabi, aku tak tahu, apakah dia akan mati tercekik oleh polusi atau gila karena kekumuhan dan kemacetan Jakarta hari ini.

Perjalanan pun akhirnya selesai di Hotel Dragon Inn. Kalau diingat-ingat, dari Jakarta Timur, ke Jakarta Pusat, lalu sekarang di kawasan Kemayoran, aku rasa grafiti tadi memang benar. Jakarta sangat artistik. Seni kesemrawutan adalah ciri dari kampung besar yang aneh ini. Tak salah jika PK. Ojong pernah mengeluhkan kawasan Jakarta dan Kemayoran ini. Dan aku benar-benar kasihan dengan generasi masa depan di kampung Jakarta ini. Tentunya juga Indonesia secara keseluruhan. Karena di sinilah segala kebijakan penting dibuat dan pada akhirnya memengaruhi seluruh kepulauan Indonesia. Sebagai orang tua, mereka lupa, bahwa mereka memiliki anak-anak yang setiap hari terpapar oleh polusi, stress oleh kemacetan, menghadapi panas yang mengerikan setiap hari, dimasukkan ke dalam mobil dan kamar berpendingin yang efeknya berbahaya bagi kesehatan, pendidikan yang membuat depresi, belum lagi suasana kota yang kacau, kriminalitas di mana-mana, kedeketan semakin susah ditemui, kemarahan terlihat jelas di wajah setiap orang bahkan diri sendiri, tempat bermain yang langka karena orang sudah bosan untuk keluar rumah, ketakutan setiap hari terhadap banyak hal, gangguan jiwa yang semakin meningkat, dan lingkungan yang sangat buruk. Rasa-rasanya aku ingin membetangkan spanduk atau baliho berukuran besar yang memuat kata-kata Severn Suzuki, di seluruh bagian penting Jakarta ini, seorang anak berumur dua belas tahun yang berpidato di KTT Bumi Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992:

Halo, saya Severn Suzuki, berbicara atas nama ECO-Enviromental Children’s Organization. Kami sebuah kelompok anak-anak berusia dua belas dan tiga belas tahun yang mencoba melakukan sesuatu yang berbeda: Vanessa Suttue, Morgan Geisler, Michelle Quigg, dan saya. Kami mengumpulkan uang kami agar saya dapat datang kemari dengan menempuh jarak sekitar delapan ribu kilometer untuk memberitahu Anda kaum dewasa, bahwa Anda harus mengubah cara-cara Anda. Kedatangan saya kemari sungguh tanpa agenda yang tersembunyi. Saya berjuang demi masa depan saya. Kehilangan masa depan tidak sama dengan kalah dalam pemilihan umum atau rugi beberapa poin di pasar modal. Saya di sini berbiacara atas nama seluruh generasi yang akan datang. Saya di sini berbicara atas nama anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang menangis tetapi tidak didengar oleh orang banyak. Saya di sini berbicara atas nama entah berapa banyak satwa yang mati di seluruh planet ini karena tidak tahu harus menyelamatkan diri ke mana. Sayay takut pergi ke bawah terik matahari karena lubang-lubang ozon di atas sana. Saya takut menghirup napas karena tidak tahu bahan kimia yang ada di dalamnya. Saya biasa memancing di Vancouver, negeri saya, bersama ayah sampai beberapa tahun yang lalu setelah menemukan ikan penuh dengan kanker. Dan sekarang kami mendengar sastwa dan tumbuhan akan punah setiap hari-lenyap untuk selamanya. Dalam hidup saya, saya pernah bermimpi melihat sekawanan besar satwa liar, rimba dan hutan hujan penuh dengan burung-burung dan kupu-kupu, tetapi sekarang saya ragu apakah mereka akan masih ada sewaktu anak-anak saya ingin melihatnya. Apakah Anda pernah mencemaskan semua ini sewaktu Anda seusia saya? Semua ini terjadi di depan mata kita tetapi kita tidak bertindak seolah-olah waktu kita tidak terbatas dan memiliki semua pemecahan. Saya hanya seorang anak dan saya tidak mempunyai pemecahan, tetapi saya ingin Anda sadar ... Anda tidak tahu cara mengembalikan salmon ke sungai yang sudah mati. Anda tidak tahu cara mendatangkan kembali hewan yang sekarang sudah punah. Dan Anda tidak dapat kembali mengembalikan hutan-hutan yang pernah ada tetapi sekarang telah menjadi gurun. Jika Anda tidak tahu cara memperbaikinya, tolong berhentilah merusaknya! ...

Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, Anda mengajari kami cara berperilaku di dunia. Anda mengajari kami: jangan berkelahi dengan yang lain, memecahkan masalah bersama-sama, menghormati orang lain, berbagi dengan sesama-tidak rakus. Lalu mengapa setelah itu Anda mengerjakan hal-hal yang kata Anda tidak boleh kami kerjakan? Jangan lupa mengapa Anda menghadiri konferensi ini, untuk siapa Anda melakukannya-kami anak-anak Anda sendiri. Anda memutuskan dunia macam apa tempat kami dibesarkan. Orangtua seharusnya bisa menenangkan anak-anak mereka dengan mengatakan “segala sesuatu akan beres dengan sendirinya,” “dunia belum kiamat,” dan “kami sedang mengusahakan semampu kami.” Akan tetapi saya tidak yakin Anda dapat mengatakan itu lagi kepada kami. Apakah kami masih sungguh dalam daftar prioritas Anda?

Ayah saya selalu berkata, “Kamu dinilai dari yang kamu perbuat, bukan yang kamu katakan.” Nah, yang Anda perbuat membuat saya menangis pada malam hari. Anda orang-orang dewasa mengatakan Anda mencintai kami, tetapi saya menantang Anda. Tolong sesuaikan aksi Anda dengan kata-kata Anda. Terimakasih.

Jika masih tidak ada perubahan, entah mereka itu orang tua berpangkat dokter, psikolog, psikiater, menteri, gubernur, walikota, karyawan swasta, pegawai negeri, polisi, tentara, cendikiawan, seniman, seorang guru, agamawan, aktivis macam-macam, sastrawan, penyair, arsitek, artis televisi dan banyak lainnya. Jika masih tak ada perubahan yang berarti. Lebih baik kita berharap pada gempa bumi, tsunami, banjir besar, badai ganas, atau perang dunia. Tak usah berharap pada Tuhan. Karena terlalu banyak orang bertuhan di Indoneia tak menyelesaikan masalah apa-apa. Apakah Tuhan selama ini terlihat penting di Jakarta selain korupsi di Kementerian Agama dan FPI?



Senja berubah menjadi malam. Suara adzan terdengar di sana sini. Aku memasuki lobi hotel. Bertanya ke repsesonis kamar nomor 304, dengan seorang laki-laki bernama Roman Saragih ada di dalamnya. Telpon diangkat, disambungkan, seketika aku dipersilahkan untuk ke atas. Hotel ini tak buruk.

Tok tok tok. Tanganku mengetuk pintu kamar 304. Pintu dibuka. Dan terlihat pak Roman yang penuh dengan gelak tawa. Lalu diceramahilah aku soal sewa hotel yang terlanjur dibayar, mengenai diriku yang terus bertanya dan akhirnya malas dibalas karena pada akhirnya tak akan jadi datang, dan semua yang membuat aku menjadi tak enak dan malu. Hal semacam itu tak terlalu lama. Pak Roman terlihat bersiap-siap mandi tapi terus terpaku dengan layar televisi hingga sudah dua puluh menit lamanya, katanya. Mengagumkan.

Barulah setelah itu aku yang mandi. “Ada air panas mas arah, bisa ndak?,” sambil cekikikan menggoda. ‘Bisalah pak,” jawab aku tegas. Padahal butuh waktu cukup lama aku mencari-cari bagaimana membuat air menjadi hangat atau panas. Sial, di mana sih? Aku pun mencari-cari, memencet sana memencet sini, dan masih belum ketemu juga. “Bisa ndak mas arah?”. “Sudah pak, sudah bisa!”, jawabku keras dengan tangan meraba, memutar kran berkali-kali ke berbagai arah, dan masih belum ketemu juga. Akhirnya aku menyerah. Terkadang hotel itu menjengkelkan. Pemanas air itu seringkali berbeda-beda dan kadang di bagian yang tak terduga. Atau malah, pada akhirnya, seperti yang sekarang ini aku rasakan, ada di kran itu sendiri. Tinggal memutar ke kiri sebentar, ditunggu beberapa menit, jadilah air hangat lalu panas, sesuai kebutuhan, keluar.

Berlama-lamalah aku di kamar mandi. Membawa perangkat elektronik. Mendengarkan dan menyanyikan beberapa lagu Leo Kristi di dalamnya; empat lagu, kata pak Roman menghitung. Lalu kami pergi ke Indomart. Membeli ini dan itu. Balik lagi ke hotel. Naik bajaj untuk mencari makan. Pak Roman lagi ingin memakan ketan, atau sesuatu yang tak biasa. Diantarkanlah kami di jalan Garuda. Turun dari bajaj. Menyeberang. Salah masuk tempat makan. Dan akhirnya, sampai di sebuah warung kayu biasa, dengan para laki-laki sebagai penjual dan pembelinya. Omela Ketan jalan Garuda. Sebuah warung yang dilihat pak Roman sudah cukup tua. Dua puluh tahunan mungkin. Aku pun hanya mengangguk. Memesan ketan tentunya. Teh di dalam ceret tanah liat atau orang Jawa menyebutnya kendi. Dan menikmati gorengan tempe, pisang, dan tahu. Pak Roman, tahu-tahu memesan lagi ketan yang katanya enak. Kali ini tanpa susu dan macam lainnya yang katanya membuat ketan terlalu manis. Suara pengamen mengalun keras dan merdu. Lagu-lagu Iwan Fals dan entah apa keluar dari mulut diiringi gitar dan tabuhan gendang. Tempat ini sangat ramai. Orang berganti datang dan pergi. Itulah sebabnya pengameng dua orang di belakangku tadi tidak pergi ke mana dan cukup hanya mengamen di tempat itu saja sudah terasa cukup.

Setelah selesai dan memesan beberapa ketan untuk dibungkus. Kami pun berjalan kaki menyusuri jalalanan yang habis oleh parkir, pedagang kaki lima, dan trotor yang tak jelas. Mencari makan, yang entah apa yang ingin dimakan. Pada akhirnya membeli sate ayam dan kambing. Yang satu sambal kacang pedas. Satunya lagi kecap. Dan mulailah kami balik ke hotel setelah menunggu cukup lama. Di jalanan Kran Raya, kendaraan berlalu lalang tiada henti. Suasana Jakarta di malam hari lebih menyenangkan walau juga menjengkelkan. Dari pada siang hari yang bagaikan kutukan neraka dunia.

Aku pun disuruh untuk membeli es krim Magnum Classic dan minuman di Indomart yang tadi sudah kami masuki. Dan setelah itu, kami pun menonton saluran National Geographic Channel danlainnya. Tiba-tiba ada siaran ulang Efek Rumah Kaca di TVRI. Baru beberapa lagu semacam Biru, Sebelah Mata, pak Roman sudah geleng-geleng kepala. Akhirnya menonton The Pirates of Caribbean “At World End”. Tak lama setelah menatap layar kaca, pak Roman menggulung diri diselimut. Tidurlah dia. Mengorok. Cukup keras. Sampai pagi!

Esokkan paginya kami sarapan di lantai 6. Lumayan. Gedung-gedung pencakar langit menghiasi lanskap kaca di lantai ini. Jika dipandang lebih teliti, mata diarahkan ke bawah, kata pak Roman, kekumuhan kampung akan terlihat jelas. Bertolak belakang dengan kesan mewah gedung pencakar langit dari kejauhan. Seperti itulah Jakarta. Lalu kami balik di kamar. Menonton The Greater Good di FOX Movie. Jam 12 siang, kami pun keluar. Memesan Bajaj. Mencari mal yang layak. Malah diturunkan di Golden Mall yang sepinya mirip kuburan. Sialan benar tukang bajaj itu! Kalau tak hati-hati, ditipu oleh ojek, bajaj dan semacamnya sangat mudah. Terpaksa kami pun mencari bajaj lagi dan langsug mengarah ke Pasar Senen karena si bajaj tak tahu mal yang besar di sini itu berada di mana. Dan transportasi di Jakarta itu sungguh mahal. Bagi para pengelana semacam backpacker, Jakarta adalah tempat di mana kita bagaikan dirampok habis-habisan di jalan.

Pada siang hari, panas Jakarta sangatlah sadis!

Kami pun turun di Pasar Senen yang acak-acakan. Bekas peninggalan Soekarno ini terasa mengerikan. Sampah di sana. Sampah di sini. Trotoar hanyalah secuil dan habis oleh pedagang. Kesan tradisional dan bagaikan pasar desa, tak jauh dari tempat ini. Lebih mirip pasar Johar yang ada di Semarang dari pada Bringharjo yang terletak di kawasan Malioboro Jogja.

Berjalan kaki dengan panas menyengat. Melewati topi-topi bekas. Baju bekas. Sandal bekas. Sepatu bekas. Mungkin juga wajah bekas. Celana dalam bekas. Dan hati nurani bekas. Siapa tahu? Dan terus berjalan, menyibak keramaian yang semrawut dan bau-bauan yang mengerikan. Di mana pun tempatnya, seperti inilah yang namanya pasar. Sementara itu, kawasan Pasar Senen sendiri adalah kawasan yang menyedihkan. Sebuah kota yang tak layak lagi disebut kota. Atau bahkan ibu kota. Indonesia, dan wajah Jakarta sebenarnya sudah menjawabnya, adalah salah satu negara yang rentan dan kemungkinan akan mengalami keruntuhan karena masalah politik dan lingkungan hidup. Dalam bukunya, Collapse, Jared Diamond menulis hal semacam itu;

Mari kita tinggalkan untuk sejenak diskusi tentang masalah-masalah lingkungan di Dunia Pertama, dan mari bertanya apakah pelajaran-pelajaran dari keruntuhan masa lalu bisa diterapkan di Dunia Ketiga kini. Pertama-tama tanyai ahli ekologi akademik menara-gading, yang tahu banyak mengenai lingkungan namun tidak pernah membaca koran dan tidak berminat pada politik, untuk menyebutkan negara-negara asing yang menghadapi sejumlah masalah terparah stress lingkungan, populasi berlebihan atau kedua-duanya. Sang ahli ekologi bakal menjawab: “Pertanyaan itu mudah sekali, jawabannya gamblang. Daftar negara-negara yang mengalami stress lingkungan dan populasi berlebih pastilah berisi Afganistan, Bangladesh, Burundi, Haiti, Indonesia, Irak, Solomon, dan Somalia, ditambah yang lain-lain”.

Kemudian tanyai seorang politkus Dunia Pertama, yang tidak tahu apa-apa dan tidak peduli masalah lingkungan dan populasi, untuk menyebut daerah-daerah bermasalah terparah di dunia: negara-negara yang pemerintahannya telah kewalahan dan telah runtuh, atau berisiko runtuh, atau telah terhantam perang saudara belum lama ini: dan negara-negara yang, sebagai akibat masalah-masalah mereka sendiri, juga menciptakan masalah bagi kami negara-negara Dunia Pertama yang kaya, yang akhirnya mungkin harus menyediakan bantuan asing bagi mereka, atau mungkin menghadapi imigran ilegal dari negara-negara itu. atau mungkin memutuskan untuk menyediakan bantuan militer guna menangani pemberontak dan teroris, atau malah mungkin harus mengirimkan balatentara kita sendiri. Sang politikus akan menjawab, “Pertanyaan itu muda sekali, jawabannya gamblang. Daftar daerah-daerah bermasalah politik pastilah berisi Afganistan, Bangladesh, Burundi, Haiti, Indonesia, Irak, Madagaskar, Mongolia, Nepal, Pakistan, Filipina, Rwanda, Kepulauan Solomon, dan Somalia, ditambah yang lain-lain.”

Berjalan lagi di antara para penjual. Tertarik dengan majalah National Geographic Indonesia dan National Geographic Traveler yang ditaruh di antara tumpukan buku. Kami sudah sampai di antara ruko dan lapak penjual buku bekas. Pak Roman sudah bergerak duluan semakin jauh. Aku masih terpaku, menawar, menawar, dan terus menawar,
“empat puluh ribu pak, pas, kalau tak mau ya sudah,” sambil berjalan agar membuat kesan tak terlalu butuh.
“Tambah dua ribu sajalah dek. Dua ribu saja.”
Aku menggeleng, “empat puluh ribu pas!” melangkah semakin jauh.
“Tambah seribu saja dek!”
“Empat puluh ribu pas pak! Kalau tidak mauya sudah, saya bisa cari yang lain.” Sedangkan orang-orag disekitarnya mendukung diriku karena tahu bahwa harga segitu, si penjual pun sebenarnya sudah untung cukup banyak. Hingga akhirnya dapatlah empat majalah National Geograhic Traveler seharga empat puluh ribu rupiah. Perasaanku mengatakan, di tempat ini, National Geographic harganya jauh lebih murah. Dan perasaanku memang benar. Jauh lebih murah dari pada di Jogja. Setelah membelinya, aku berjalan semakin cepat untuk mencapai pak Roman, yang kelihatannya sudah kelelahan dan tak lagi bersemangat.

Kami pun berjalan menyusuri satu persatu lapak buku. Banyak buku yang ditumpuk seadanya, menjulang tinggi. Terlalu banyak buku yang menggoda. Tapi aku tak terlalu peduli akan hal itu. Untuk saat ini, yang paling menggoda bagiku tetaplah National Geographic. Aku bertanya, membolak-balikkan berbagai macam majalah. Menawar. Tapi ketika melihat pak Roman sudah kelelahan, akibat panas yang mengerikan, pada akhirnya aku pun menaruh iba. Kami pun keluar dari lapak buku yang jumlah cukup banyak dan tentunya menggoda. Aku bersumpah akan kembali kemari setelah acara Leo Kristi selesai.

Melewati Senen Jaya yang terasa kejayaannya sudah lama berlalu. Benar-benar seperti bangunan yang terlantar begitu lama. Kali ini sekitar pasar terlihat terlalu sepi. Kata pak Roman, biasanya sangat ramai bahkan sampai di trotoar. Mungkin karena besok hari kemerdekaan, banyak orang sibuk dengan itu dan sedang mempersiapkan berbagai macam hal. Tapi yang jelas, Pasar Senen terasa mirip pasar yang berada di perkampungan atau di sekitar desa. Baiklah, tidaklah Jakarta adalah kampung? Jadi tak perlu heran. Kami pun berjalan menaiki tangga. Entah di mana, aku tak tahu. Pak Roman ingin sekali mencari tempat pijat refleksi sebelum nanti menikmati alunan lagu Leo Kristi dan berkumpul, mengambil tiket sekitar jam 19:00. Aku hanya menurut. Memandang sekeliling. Mengamati. Berjalan melewati ruangan dengan interior bambu dengan berbagai macam pakaian batik yang dijual. Dan ah, ternyata aku sedang berada di Atrium. Sebuah mal yang bersebelahan, atau menyatu dengan Senen Jaya.

Mal yang kami masuki tergolong kelas biasa. Atau menengah. Tak terlalu megah, elegan atau mewah. Panas yang sangat sadis dan luar biasa menakutkan ketika berada di jalanan kini digantikan oleh rasa dingin dan segar di dalam mal ini. Kenyaman ini berarti menikmati pendingin ruangan yang merusak lapisan ozon kita, mengonsumsi sekian banyak listrik dari pembangkit listrik yang sudah sangat kewalahan dan seringkali mati di berbagai macam daerah, menambah keganasan batu bara di di udara yang kita hirup, memuaskan dahaga kemewahan dan konsumsif masyarakat Jakarta yang tentunya tak akan terlalu berkepentingan dengan hutan yang menghilang di seluruh Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Papua, dan yang jelas, semakin menguras habis berbagai macam sumber alam dan daya dukungan lingkungan di berbagai macam daerah yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Di dalam puluhan mal yang nyaman semacam ini, belum ditambah ratusan atau malah ribuan hotel, perkantoran, rumah-rumah besar, apartemen, gym, pusat belanja, cafe yang tersebar di mana-mana, spa, lapangan golf, dan sekian banyak lainnya yang mengisap habis air tanah, menyedot listrik besar-besaran tanpa peduli apakah besok listrik akan menjadi langka atau tidak, mengonsumsi bahan pangan dari lahan pertanian seluruh Indonesia yang kebanyakan terbuang dan teronggok percuma di kulkas rumah tangga, restoran, hotel dan membuang banyak sekali makanan yang harusnya mencukupi kebutuhan makan orang-orang miskin di seluruh Jakarta itu sendiri.Siapa yang peduli nasib masyarakat lainnya di luar Jakarta? Membuang bensin seenaknya di jalanan, membawa mobil dengan pendinginan udara yang terus menyala tanpa peduli akan langit yang berlubang dan kesakitan masyarakat lainnya untuk menunjang segala jenis kemewahan Jakarta yang benar-beanr sadis. Kemewahan Jakarta adalah musibah dan bencana bagi daerah-daerah lainnya. Dan yang pasti, pusat Jawa ini, adalah neraka hisap yang sungguh-sungguh mengerikan.

Jakarta menguras terlalu banyak. Mengonsumsi terlalu banyak. Dan menghancurkan terlalu banyak. Bahkan 13 sungainya sendiri, termasuk di Ciliwung, terabaikan, kotor dan bersampah. Pemukiman kumuh hampir di semua tempat. Pohon-pohon kian habis. Panas terasa membakar. Demi mengosumsi lebih banyak dan lebih banyak lagi. Jakarta diabaikan oleh masyarakatnya sendiri. Untuk apa memikirkan Jakarta jika warga kotanya bisa hidup dengan benteng kenyamannya masing-masing? Dari pejabat negara hingga kelas menengah yang puas dengan mobil dan pendingin udara yang mereka bawa ke mana-mana. Kebutuhan untuk berubah dan membenahi kotanya sendiri pun kandas karena masyarakatnya tak memiliki niatan untuk melakukan hal semacam itu. Di tambah belukar perkampungan dan kemiskinan yang susah ditembus dan dibenahi. Jakarta adalah lingkaran sempurna bagi neraka dunia yang sebenarnya.
Dan di sinilah aku dan pak Roman, menunggu datangnya pesanan berupa bakmi naga dan es kelapa muda. Kami sekarang berada di Bakmi Naga Resto. Di sebelahnya terdapat gerai makanan D’Penyetz, dan di seberang terdapat KFC, Food Colong, dan XX1. 

Di resto yang kami duduki ini, terdapat beberapa perempuan muda Tionghoa dan papanya, yang tak akan mungkin hidup di abad ke-18 karena mereka dibantai di mana-mana. Ada keluarga yang terkesan Betawi, dan beberapa lainnya yang susah ditebak. Karena kebanyakan orang yang berada di Jakarta bisa saja pendatang, orang yang sekedar lewat sebentar, urusan bisnis, bermain, berwisata atau sekedar iseng. Dulu, Jakarta adalah tempat pertemuan banyak sekali bangsa-bangsa di seluruh Asia dan bahkan beberapa bangsa Eropa kolonial maupun yang menjadi tentara bayaran. Tempat hilir mudiknya sumber penghasilan yang paling menggiurkan yang membuat Eropa melewati berbagai macam guncangan dan tetap berdiri kokoh hingga sekarang. Jakarta adalah tempat transit dan datang perginya rempah-rempah dan berbagai macam jenis barang kebutuhan lainnya semenjak Jayakarta dan Sunda kelapa Hangus menjadi Batavia. Dan akhirnya, bakmi yang kami pesan pun datang dari pelayan perempuan berjilbab hitam dengan baju merahnya yang manis.

Ketika aku baru saja menyendok beberapa suapan bakmi, isi piring pak Roman sudah kosong lebih dulu. Cepat sekali, pikirku. Mengagumkan memang dia. Orangnya terlihat tersenyum puas. Selagi aku menikmati Bakmiku, dengan alunan musik Jazz sebagai latar mal ini, aku mengamati isi bakmi yang sedang dalam proses masuk ke dalam perutku. Di dalam Bakmi Naga, terdapat dua telur puyuh goreng ukuran kecil, dua iris nanas, sawi, irisan ayam, tiga pangsit yang kurang enak ditaruh di piring yang lain, dan kuah putih yang dibuat sendiri dari daging sapi, dan tentunya saos. Setelah acara makan selesai dan kesusahan menghabiskan es kelapa mudaku. Kami pun bergegas mencari tempat pijat refleksi dan mendapatkan kekecewaan setelah berjalan ke sana kemari hingga sampai lantai dasar. Yang kami cari pijat tangan bukan pijak mesin. Keluarlah kami dari mal dan langsung pulang menuju hotel dengan bajaj, melewati panas matahari yang menyengsarakan. Kami membayar tiga puluh ribu untuk jarak yang sebenarnya tak terlalu jauh. Di Jakarta, biaya transportasi sangatlah mencekik dan keterlaluan. Dua puluh ribu untuk jarak luar biasa dekat. Dua puluh ribu lagi untuk ke tempat yang ternyata hanya beberapa menit berjalan kaki. Dan beberapa puluh ribu lagi untuk sekedar membawa kita ke suatu tempat yang tak terlalu jauh. Seperti itulah kenyataannya bahkan semenjak masa Hindia Belanda.Berjalan di Jakarta memang sangat mahal.

Di hotel, kami pun nonton Nat Geo Wild, “Predator Fails Seek & Destroy” dan mengistirahatkan tubuh untuk persiapan ke konser Leo Kristi sebentar lagi. Pada akhirnya pak Roman langsung ke alam seberang. Suara oroknya tak bisa dipisahkan dari tidurnya.

Jam menunjukkan pukul 17:00 lebih, dan kami pun bergegas ke Spring Hill menaiki bajaj setelah mandi dan mempersiapkan barang-barang apa saja yang harus dibawa. Melewati sebuah pasar, Lenggang, yang suasanya sangat mirip gusuran. Melewati Citra Tower yang cukup rapi. Walau trotoar sempit namun cukup bersih. Lumayang banyak pohon sehingga udara terbilang segar di sore hari, yang anehnya, jalanan bisa aku anggap lengang. Apakah karena menjelang hari kemerdekaan?

Di arena Spring Hill yang kami, bajaj, lewati, terdapat banyak sekali anak muda yang sedang asyik nongkrong dengan deretan motor mereka di tengah lingkungan asri dengan berbagai macam tumbuhan dan pepohonan. Suasananya memang tepat untuk menjadi tempat anak muda bertemu dan berkerumun. Segar. Nyaman. Taman yang indah. Tak perlu waktu lama, sampailah kami di tempat tujuan. Aku pun segera mencari tempat duduk. Bersalaman dengan mama Katya, dan pada akhirnya juga bertemu Katya dengan agak canggung. Ada beberapa hal di antara kami berdua yang pada akhirnya membuat kecanggungan menjadi terasa aneh dan kadang lucu. Dan setelah sibuk bersapa, berjabat tangan, berforo ria, bertemu teman-teman pak Roman, Albert Go, Lupita, Titi Manyar, Cecilia, Puspita, bu Linda dan Leo Kristi yang selalu murah senyum, acaranya pun akhirnya dimulai lewat 19.00, setelah mama Katya dengan murah hati sibuk membagikan tahu supernya yang sangat enak dan bu Linda tergopoh-gopoh membawa sekian banyak nasi bakar berisi telor dan lainnya itu. Entah kenapa, aku tiba-tiba bagaikan sedang berwisata bukan sedang ingin menyaksikan sebuah konser. Mungkin inilah arti dari kata rakyat; kekeluargaan.

Taman Merdeka Bukit Bersemi, begitulah tema konser rakyat kali ini dengan formasi lengkapnya; Leo Kristri, Jessin Burhan, Ote Abadi, Liliek Jasqee, Titi Manyar, Cecilia Fransischa, ditambah Maryam Lupita, dan Puspita. Dan suara tambahan lainnya, para Lkers atau alien. Tak ada mereka rasanya dunia panggung konser rakyat akan runtuh dan terasa sepi.

Aku mendapatkan nomor tiket 000175. Aku rasa tak terlalu buruk konser kali ini. Dan saat melangkah ke ruangan yang dijadikan konser, suasana sudah cukup ramai. Banyak orang, yang kebanyakan paruh baya dan tua, menghuni bangku mereka masing-masing. Dan aku, ya, aku, bagaikan tersasar di antara kumpulan orang tua dengan masa lalu mereka masing-masing. Anak kecil, remaja, atau dewasa muda, mungkin adalah generasi yang tersasar di sini atau diculik oleh keluarga mereka masing-masing. Disandra atau ditawan untuk mendengarkan dan mencintai musik-musik Leo Kristi. Dan kalau dilihat-lihat, rakyat kali ini, yang akan segera menikmati konser adalah rakyat kelas menengah-atas. Rakyat tak selamanya identik dengan kaum miskin bukan?

Jika para pencinta Leo Kristi yang biasa berada di deretan kursi dan menyaksikan konser dengan anggun dan tenang. Para maniak, orang gila, dan mereka yang kecanduannya sudah tak lagi bisa ditolong dan terobati, akan berbondong-bondong duduk di depan, berteriak, menari-nari, tangan tak bisa diam, mulut nyaris tak bisa mengatup, mata berbinar-binar bagaikan bertemu dengan sesosok dewa, mendahalui menyanyi dan melantunkan suara lagu sebelum penyanyinya sendiri mulai membuka suara, ketagihan untuk terus lanjut sampai pagi bahkan mungkin sampai kiamat datang tiga kali, dan kemanapun Leo Kristi menggelar konser, wajah mereka nyaris susah dari kata absen walau seandainya harus berada di benua lainnya sekalipun. Beberapa di antaranya malah menganggap pulau Indonesia mirip peta yang bisa dilangkahi, dilipat dan digulung kapan saja demi menyaksikan Leo Kristi manggung. Seluruh anak cucu mungkin bakal dibawa dan dipengaruhinya dengan menggebu-gebu hingga nyaris setiap hari tanpa jeda. Seandainya ada pemilihan walikota, gubernur atau bahkan presiden, yang mana salah satu calonnya adalah Leo Kristi, yakinlah mereka akan luput dari kata golput seperti biasanya. Dan mungkin, suatu saat nanti, ada di antara mereka yang lebih gila akan menamai salah satu anaknya dengan nama Leo Kristi. Kecanduan Leo Kristi memang susah disembuhkan.

Musik menggebu. Suara Leo berkumandang di antara suara merdu Titi Manyar, Cecili dan Lupita yang, kasian, mike-nya bermasalah. Diiringi oleh pemusik konser rakyat dan para alien, Lkers, yang wajahnya berbinar-binar tak karuan sampai bergoyang-goyang sendiri bahkan ketika sedang jeda. Mengagumkan memang. Kita tak perlu geleng-geleng kepala kalau sedang berada di konser rakyat. Kalau tidak gila atau cukup gila, kenikmataan akan terasa hambar dan biasa.

Dik doank ada di sebelahku. Lebih tepatnya di sebelah pak Roman. Sebelum acara dimulai,dengan terburu-buru, pak Roman meminta berfoto ria dengan Dik Doank. Juru kameranya jelas seorang laki-laki berkulit sawo matang, dengan topi petnya, yang sedang duduk di sebelahnya. Itulah aku. Dik Doank ada di konser rakyat? Semua orang cukup heran dan mungkin bangga. Wajah pak Roman terkadang terlihat berbinar-binar saat konser berlangsung. Terkadang letih. Mungkin terlalu panjangnya konser yang mencapai lebih dari lima jam! Konser tergila yang pernah aku saksikan selama ini. Seandainya tak dibatasi oleh waktu, yakinlah, konser itu akan terus sampai pagi hari. Aku pun harus mencari kursi untuk menyandarkan punggungku yang sakit-sakitan dan cepat menua di sebelah, di bawahku, seorang perempuan muda Tionghoa yang sangat senang sekali dengan konser kali ini. Dia juga diculik oleh kedua orang tuanya.

Tengah malam, konser pun diakhiri. Banyak maniak Lkers sangat ingin nambah. Tapi apa boleh buat, jadwal waktu harus dipatuhi. Dan masing-masing dari kami membubarkan diri dan pergi ke dunianya sendiri. Pak Roman dan aku cepat-cepat keluar karena takut terjebak macet adat istiadat setelah konser. Makan-makan dan lain sebagainya sampai pagi. Karena ingin beristirahat dan langsung ke lombok, kami pun menerjang berbagai macam orang. Berbincang sebentar dengan Albert Go. Hanya sebentar. Dengan langkah kilat kami keluar dari kawasan gedung konser menuju jalan raya. Mencari taksi. Di awal pagi hari, lewat kaca taksi yang memantulkan percih cahaya, Jakarta terasa sendu dan melankolis.



Aku mengusap-usap sebelah mataku. Kamar masih terlihat berantakan. Selimut tergantung di tepian kasur. Benda-benda berserakan di meja telpon. Di bawah layar televisi, plastik berisi makanan, asbak, botol minuman, topi, dua buah apel yang masih terbungkus rapat, cangkir putih dengan sisa teh atau kopi masih menggumpal, teko listrik, dan beberapa lainnya saling menjungkirbalikkan tanda semacam ketidakrapian. Aku melihat sisi seberang kasurku. Terlihat laki-laki paruh baya, kulih kecokelatan, tubuh cukup pendek, perut menggelembung ke depan, berguling kesana kemari. Terkadang diam terlentang seolah menikmati nirwana. Lalu suara orok keras keluar dari hidungnya. Sekarang, waktu menunjukkan angka 06:00 lebih. Aku masih lelah. Ingin sekali kembali tidur. Pak Roman masih dalam ketenangan Buddha dan damai di atas ranjang putihnya.

Sebelum pergi ke arah dunia masing-masing. Kami pun sarapan sekitar jam 07:30. Entah kenapa, pak Roman pagi ini banyak diamnya. Terasa ada yang lelah di wajahnya. Seolah-olah di dalam otaknya sedang mendidih segunung masalah yang membuatnya tampak sedih, tak bergairah dan seringkali diam. Aku pun tak tahu harus berkata apa. Aku pun memilih banyak diam setelah mencoba membuka suara beberapa kali tapi nyaris tak ada respon. Adakalanya aku menjadi makhluk asing yang merasa tak enak sendiri. Setalah sarapan, kami pun kembali ke kamar. Menonton Danny Collins yang menyentuh. Ketika waktu mendakati angka 10:00, kami pun keluar hotel. Pak Roman akan kembali terbang ke Lombok. Dan aku menggelandang sebentar di Jakarta yang ingin aku jelajahi sebagian dirinya.

Pak Roman naik ke taksi. Aku pun berjalan kaki menuju jalan Kran Raya. Melihat suasana hari kemerdekaan yang masih semarak di perkampungan depan hotel. Berjalan melompati genanagan air. Bajaj yang ada di tengah jalan. Mobil terparkir. Suasana kampung yang terasa akrab dengan canda dan perbincangan di sana-sini. Sampah yang terserak di berbagai macam tempat. Rumah-rumah yang ditumpuk seadanya tanpa kesan rapi dan seni sama sekali. Sesampainya di jalan raya, aku pun duduk di samping warung kecil. Di sambut oleh anak kucing yang terlihat menyedihkan, tak terurus, bulunya rontok, kumal dan kurus. Di Jakarta ini, para kucing pun berjuang hidup terlalu keras. Sangat berbeda di Jogja yang walaupun tak terurus dan liar, masih terlihat gemuk dan cantik. Di sini, kucing pun diacuhkan. Apalagi manusia dan kota itu sendiri?

Jalan Kran Raya terlihat mengenaskan. Mengerikan. Dan benar-benar membuat mata menjadi pusing. Kemacetan di seberang membuatku yang berada di trotoar ini pun mengalami kejengkelan yang membosankan. Mobil berderet-deret nyaris tak bergerak selama puluhan menit. Waktu menunjukkan angka 10:03. Kemacetan sudah bagaikan wabah. Di sekitar Kemayoran ini, dulu, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis membuat Jakarta juga mengalami kemacetan. Mereka mengembuskan nafas terakhirnya di Semeru. Seorang intelektual, Gie, yang kecewa, diasingkan dan terluka terhadap dunia di sekitarnya. Dan yah, di sinilah aku sekarang, dengam embusan angin yang semakin kencang, langit bergumpal, dan gerimis yang mulai berjatuhan, menandakan sebentar lagi akan tibanya wajah hujan. Dan Go-Jek yang belum datang tepat pada waktunya.

Mungkin kita lupa, dan orang-orang Jakarta pun lupa bahwa “ketika kita membayangkan peradaban (civilization), kita terbiasa membayangkan kota. Tidak mengherankan: kita telah memandangi bangunan sejak kita mulai mendirikan menara dan kuil, seperti Jericho. Sewaktu arsitektur berkembang meninggi maupun meluas, ia menjadi tidak seperti apa pun yang sudah pernah dikenal planet ini. Hanya sarang lebah atau sarang semut, pada skala jauh lebih kecil, yang bisa bersaing dengan kepadatan dan kerumitan perkotaan kita. Tiba-tiba, kita bukan lagi bangsa pengembara yang membangun pondok-pondok berumur pendek  dari ranting dan lumpur, seperti burung atau berang-berang. Kita membangun rumah-rumah yang tahan lama, yang berarti kita sudah lama menetap di satu tempat. Kata civilization sendiri diturunkan dari kata Latin civis yang berarti “warga kota,””  tulis Alan Weisaman dalam Dunia Tanpa Manusia.  “Kendati demikian, kegiatan bercocok tanamlah yang menyebabkan orang membangun kota,” tambah Weisman menegaskan. Kegiataan bercocok tanamlah, dunia pertanian, dan darah kita sebagai para petanilah yang nyaris punah di kota-kota yang ada walau bau dan segala hal yang berkesan pedesaan masih tercermin dari perkampungan yang mengelilingi Jakarta ini. Kita menganggap semua hal semacam itu sebagai aib. Darah petani kita, kita tekan habis-habisan. Lalu kita berlindung dalam keglamoran, kemewahan, mobil dan mobil di jalanan, dan  menganggap sinis dengan kata dan kesan desa dari entah apa pun itu. Lalu apa yang terjadi? Seperti yang ada di depanku sekarang inilah yang terjadi. Kemacetan tiada ujung dan pangkal. Karena semua orang ingin menghapus ikatan masa lalunya. Akar nenek moyangnya. Dan membuang jauh-jauh aib dirinya yang berkaitan erat dengan desa, petani atau nelayan. Di negara ini, terlebih Jawa, tak seorang pun, nenek moyang kita, yang tiba-tiba kaya dan langsung menjadi warga sebuah kota. Kita semua memiliki darah pedesaan yang asri, jauh dari sampah, dan memiliki perasaan malu jika lingkungan dan tempat tinggal kita terlihat tidak bersih, rapi, enak dilihat dan nyaman. Dan ketika melihat Jakarta hari ini yang dihuni oleh sekian banyak orang terpelajar, di mana letak keterpelajaran, kemodernan, peradaban, dan kesan lebih tahu dan hebat yang selama ini sering mereka banggakan? Tidakkah hal ini semacam kemunduran otak dan hati? Tidakkah mitos kehebatan Jakarta hari ini terasa terkesan mengada-ada dan omong kosong?

“Jakarta merupakan kota dimana jalan-jalannya yang lebar dibuat dan dijaga agar tetap lancar untuk mobil, truk dan taksi; dimana trotoar sepanjang jalan utama dibersihkan dari apa pun yang dianggap dapat mengurangi keindahan kota; dimana bidang-bidang tanah yang luas dibersihkan untuk pembangunan hotel, blok perkantoran, pusat perbelanjaan dan pemukiman dengan fasilitas lengkap yang baru. Ini adalah kota yang diinginkan para perencana dan kelas menengah Jakarta. Kota ini tidak memiliki ruang untuk mayoritas warga miskin yang tidak mampu menggunakan kendaraan bermotor selain bis, yang tinggal di kampung ‘di bawah standar” yang biasanya tidak memiliki fasilitas apa pun, di atas tanah yang biasanya bukan milik mereka sendiri, dan tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan reguler dengan gaji layak,” tulisan Susan Blackburn pada periode tahun 1980. Jika dilihat-lihat dengan seksama, saat sekarang ini aku menaiki Go-Jek menuju Katedral, hampir tak ada yang berubah dari apa yang diketahui oleh Susan. Kecuali mobil bertambah padat, hampir semua warga Jakarta hari ini memiliki motor, dan, maaf, nyaris tak ada yang indah dari apa yang mereka sebut sebagai Ibu Kota Jakarta. Sebaik apa pun pemerintah kota, gubernur dan lainnya mencoba untuk menyelamatkan kota ini dari keboborokan dan wajahnya yang carut marut dan mengerikan. Jakarta tetap akan menjadi kota yang lebih tepatnya kita sebut sebagai kampung neraka. Kekumuhan dan kemacetan yang bisa membuat siapa pun malu dan depresi.

Menjadi warga Jakarta sudah bukan lagi istimewa. Kota yang tak layak huni bukanlah tempat orang yang bisa memamerkan gengsinya sebagai warga ibu kota di depan kota-kota lainnya yang seringkali di sebut dengan daerah. Jakarta kini harus berani mengakui, mereka kini jauh tertinggal dan sedang menuju pada pembusukan yang lebih mengerikan karena pertambahan penduduk, pertambahan orang yang terdidik dan kaya baru yang lebih mementingkan gensi, kelompok, dan segelintir orang yang dikenalnya saja.

Dan mengenai Kemayoran, tak jauh beda dengan komentar PK. Ojong di tahun 1969, “kami kini hanya memperhatikan arsitektur bangunan Kemayoran. Ini pun termasuk paling buruk di dunia. kalau menunggu kita kepanasan. Setiap lobang yang dapat memasukkan angin sejuk dari luar seakan-akan beton dan kaca.”

Motor Go-Jek pun memasuki jalan Gunung Sahari yang menyedihkan dan kumuh. Jika melihat gambar atau foto masa lalu, jalan ini pernah rindang dan luas. Tapi itu masa lalu yang jauh. Meliuk-liuk di jalan Budi Utomo yang trotoarnya sangat jelek dan tak banyak pohon yang meneduhkan kepala dan membersihkan udara. Lalu, jalan Lapangan Banteng yang sangat bersejarah itu, di mana terdapat Istana Daendels dan lapangan Waterloonya, yang kini berubah jadi Lapangan Banteng, dan sebuah tempat di mana dalam tulisannya Soe Hok Gie, ingin menembak yang dianggapnya para pengkhianat bangsa inidi tempat tersebut. Coba bayangkan, masihkah ada aktivis yang hari ini menulis semacam ini, “mereka generasi tua: Soekarno, Ali, Iskak, Lie Kiat Teng, Ong Eng Dje, semuanya pemimpin-pemimpin yang harus ditembak di Lapangan Banteng. Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran cuma ada di lagit dan dunia hanyalah palsu, palsu”. Dan kita tinggal mengganti nama-nama itu dengan nama presiden, para menteri dan pejabat negara hari ini. Sedangkan radio diubah menjadi televisi, internet, koran dan lain sebagainya. Yang terjadi kemudian adalah diculik oleh polisi, BIN, atau bahkan presiden kita sendiri. Kebebasan semacam Gie adalah masa lalu. Masa kini adalah kepengecutan yang mewabah.

Sesampainya di Katedral Jakarta atau lebih dikenal Gereja St. Perawan Maria,terlihat banyak kendaraan polisi terparkir di jalanan. Dan di dalam gereja pun sangat penauh dengan mobil. Baiklah, sepertinya aku hanya bisa memandanginya dari luar saja. Gereja Neo-Ghotic yang indah dan elegan dari sisi luarnya. Lingkungan yang bersih terasa menyegarkan di mata. Setelah aku bertanya dengan seorang dari angkatan laut, ternyata memang ada acara khusus. Aku pun berjalan. Menengok lagi gereja dari pagar luar, dan melihat spanduk bertulisankan, “MISA SYUKUR HUT KE-71: TNI dan Polri Kerja Nyata Demi Bangsa dan Negara.” Dan, otakku langsung merespon, sejak kapan TNI dan Polri benar-benar serius bekerja sama selain nada rivalitas dan bermusuhan? Kebohongan yang ditutupi dengan agama memang terasa tak asing dan melenakan.

Germis semakin membesar. Aku mencoba menyeberani jalan Katedral. Mobil. Mobil. Mobil. Trans Jakarta. Taksi. Motor. Mobil. Mobil. Mobil. Mobil. Puluhan mobil. Taksi.Terus menerus mobil. Sepeda motor. Motor. Sepeda motor. Mobil lagi. Mobil lagi. Dan lebih banyak lagi mobil. Membuatku terus tertahan di tepian seperti orang idiot yang menunggu harapan dari orang-orang terpelajar yang lebih sering tak menggunakan otak dan nuraninya. Gema film dokumenter Home sampai juga di tempat ini, “mobil telah menjadi simbol kemewahan dan kemajuan. Bila model ini diikuti oleh setiap masyarakat, planet ini tidak akan memiliki 900 juta kendaraan seperti sekarang tapi 5 milyar kendaraan”. Dan Jakarta sendiri, bukan yang lainnya di dunia atau di seluruh Indonesia, memiliki kendaraan bermotor, yang di dalamnya juga mobil, melebihi orang yang hidup di dalamnya. Jakarta ditinggali oleh sekiar 10 juta jiwa manusia. Yang tertinggi di seluruh Indonesia dan salah satu megapolitan terbesar di dunia. Dan dari 10 juta orang ini, tepatnya 10.075.300 jiwa menurut data BPS 2014 yang sekarang mungkin berkecambah lebih banyak lagi ditambah mahasiswa, orang asing yang lewat, mereka yang belum terdaftar dan lainnya, memiliki jumlah kendaraan yang melebihi jumlah warga kota yang menghuninya. Jakarta memiliki sebesar 17.523.967 unit kendaraan bermotor; 13.084.372 untuk sepeda motor. 3.226.009 bagi kendaraan berjenis mobil. 673.661 jenis mobil barang. Angkutan bus sebasar 362.006 unit. Dan kendaraan khusus sebesar 137.85 unit. 7 juta lebih banyak dari isi, warga kota, yang terdaftar di Jakarta. Itu, 7 juta kendaraan, sama dengan menggabungkan Surabaya, Bandung, Semarang, ditambah Jogjakarta, Solo, Klaten dan beberapa kota kecil lainnya, yang masing-masing kota hanya memiliki penduduk sekitar 300 ribu hingga 3 juta penduduk. Jadi ketika aku nyaris tak bisa menyeberangi jalan raya seperti sekarang ini, yang aku bisa lakukan hanyalah, menggumam, “dasar Jakarta keparat! Berengsek! Setan! Bajingan! Tolol! Tak terdidik dengan benar! Idiot! Kampung paling sialan yang pernah aku lihat dan masuki di tanah Jawa ini!” dan sayangnya, itu memang benar. Jakarta, seperti kata Ahok, menambahkan 1.200 kendaraan bermotor di jalanan setiap harinya; 300-400 untuk mobil. 800-an untuk motor. Ini berarti, Jakarta memiliki sebuah warga yang keranjingan akan kendaraan bermotor tanpa peduli otak, hati, dan kecerdasannya pecah menjadi sampah knalpot di jalanan. Orang-orang Jakarta memang benar-benar sudah gila!

Kalau perihal kegilaan, orang-orang Jakarta memang benar-benar sudah gila. Itu terbukti dari semakin banyaknya orang yang mengidap gangguan jiwa di kampung ini- Jakarta adalah kampung. Bukan kota. Titik.  Dan Jakarta adalah yang terbesar dari yang lainnya di seluruh Indonesia. Departemen Kesehatan mencatat, 2014, dalam riskesdas atau data riset kesehatan dasar, terdapat 385.700 jiwa atau 2,03 persen yang mengidap gangguan jiwa sebagai pasien. Terbesar di seluruh Indonesia! Selamat! Tentunya, yang tak tercatat lebih banyak lagi. Atau tak perlu terkesan ilmiah, mungkin separuhnya warga Jakarta sudah benar-benar gila. Setengah gila. Atau seluruh Jakarta mengidap gangguan kejiwaaan sedang dan parah: dalam artian medis-psikologis, sosial, hati nurani, atau pertanggungjawaban moral. Indonesia sendiri memiliki 1 juta pasien yang mengidap gangguan jiwa berat dan 19 juta yang berskala ringan. Sekali lagi, tentunya banyak lainnya yang tak tercatat. Dan puluhan ribu lainnya yang terpasung, mati di kamar, atau menggelandang dan bermain peran teater di jalanan. Indonesia memang teater besar kegilaan yang diakui bersama di belakang layar otak kita masing-masing. Dan ah, zaman PK. Ojong mengeluhkan Jakarta pun masih terasa, “Anda dapat menyaksikan setiap hari kerja di Jakarta. Penduduk dengan muka yang membayangkan kesangsian atau ketakutan, dengan tubuh bukan lurus tegak, dengan sebuah tangannya melambai-lambai ke bawah. Memohon, meminta (tanpa berkata apa-apa), yang seperti mengemis-ngemis kepada pengendara mobil. Menagpa berbuat demikian? Apa maksudnya? Tak lain daripada agar pengendara mobil memberi jalan kepada mereka. Agar mereka dapat menyeberangi Jakarta yang ramai itu.” Sayangnya, itu bukan terjadi saat ini. PK. Ojong sudah lama mati. Itu terjadi ketika Ojong masih hidup dan menulis di Kompas, 16 desember 1966. Jadi, semenjak 1966 hingga sekarang ini, 2016, keadaannya nyaris tak berubah. Tak berubah! Kita sebagai orang yang hidup di pusat ini harusnya bangga dalam mempertahankan tradisi yang sangat kuat akan suatu cita rasa kekacauan, kesemrawutan, dan semaunya sendiri. Tapi aku tak melambaikan tangan. Tidak mencondongkan diri dan melambai-lambai meminta permohonan untuk berhenti. Aku hanya melangkahkan kaki ke tengah ketika jalan sedikit terasa sepi. Dan wussss, dari arah belakang, beberapa jenis mobil melaju sepertiberada di arena balapan dunia. Tentunya, untuk orang gila macam aku yang masih memiliki sedikit kesadaran, aku pun bergerak secepat kilat ke belakang. Seperti itu berkali-kali. Hingga akhirnya, dua orang di seberang, mereka adalah malaikatku, menekan tombol penyeberangan. Lampu berwarna kehijauan dengan laki-laki gundul berjalan kaki pun muncul beberapa detik. Dua orang itu menyeberang. Aku pun menyeberang. Tentunya sambil berlari. Jadi, di Jakarta ini, lampu penyeberangan pun belum tentu menjinakkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang melaju dengan padat dan luar biasa kencang.  Benar-benar kota sadis dan kejam.

Sesampainya di seberang, depan Masjid Istiqlal, aku baru sadar ternyata ada tombol untuk penyeberangan yang tersedia. Sialnya, tertutup dengan truk dan bus polisi sehingga mataku tak mampu menangkapnya hingga terpaksa menunggu cukup lama hanya untuk sekedar menyeberang!

Sampah adalah sebagian dari iman. Itulah yang berkumandang di kepalaku ketika memandang kawasan masjid yang didirikan Soekarno dan selesai di masa Ali Sadikin ini. Masjid berwarna putih yang terlihat kusam dan tak terawat. Masjid yang kini bagaikan tempat pembuangan sampah seperti sungai Ciliwung yang mengalir melintasinya. Membawa sampah dengan warna keruh kecokelatannya. Di tempat di mana iman dijunjuung tinggi ini. Sampah seolah menjadi hal yang wajar. Mengingat ini Jakarta Pusat. Mengingat ini masjid yang diagungkan dan sanga terkenal se-Indoensia bahkan dunia. Dijadikan tempat berkunjung orang asing yang ingin mengenal Indonesia, Jawa, dan Islam. Sampah berada di pintu gerbang, parkir, di sela-sela tumbuhan dan pohon-pohon, di jalan menuju ruang masjid, bahkan berada tepat tak jauh dari jarak pandang pengurus masjid berada. Sampah adalah bagian dari orang Islam Jakarta. Jawa. Indonesia. Dan yang mengerikannya, Jakarta tidak sekedar mewakili sebuah pulau bernama Jawa. Tapi semua pulau, daerah dan kota lainnya yang berada di Indonesia. Dan ketika melihat Istiqlal menjadi sekedar tong sampah. Tidakkah Froum Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rembug lebih baik mengurusi kebersihan rumah tuhan mereka? Atau pada dasarnya, kebanyakan orang Islam yang beragama, nyaris tak paham dengan agamanya sendiri? Sehingga kenyataan, seperti yang aku lihat sekarang ini, benar-benar tidak sesuai dengan yang digembar-gemborkan?

Tak lama aku berada di Masjid yang kedap dengan kenyataan ini. Aku pun keluar dengan seseorang yang tak sengaja aku kenal di dalam masjid karena meminta tolong padaku, meminjam charger handphone. Pada akhirnya, kami pun sepakat ke luar dari dalam masjid menuju tempat bus wisata terparkir di gerbang samping masjid ini. Inilah pertamakalinya aku tahu letak bus wisata, pangkalan, itu berada. Banyak pedagang kaki lima dengan segala jenis barang dagangannya. Begitu juga bajaj. Aku pun menaiki bus bertingkat berwarna kuning. Sedangkan dia yang berwarna biru. Dan bus pun bergerak setelah mengambil beberapa penumpang. Di belakangku terdapat empat perempuan muda yang sibuk dengan cerita dan dunia mereka. Sebelahku, di depan, kursi yang berlainan, terdapat seorang bapak-bapak dari Jawa Tengah yang cerewetnya minta ampun ingin cerita banyak hal. Mengenai pramuka. Mengenai baru pertama kali naik bus ini. Mengenai betapa senangnya memiliki teman bicara, aku, dari Jawa juga. Dalam artian Jawa Tengah. Aku pun ganti menyerang dia bertubi-tubi dengan segala macam keluhanku mengenai Jakarta hingga memaksanya terdiam. Aku sedang ingin mencatat.

Bus Wisata memang cukup menggembirakan. Halus. Nyaman. Dan tentunya, menangkal rasa panas dari neraka Jakarta. Itulah sebabnya hampir semua orang yang memiliki mobil lebih nyaman berada di dalam mobilnya walau harus terjebak di jalanan selama berjam-jam.

Bus melaju. Suasana Istana sehabis perayaan hari kemerdekaan masih terlihat. Banyak orang yang sibuk membereskan panggung dan segala jenisnya. Melewati jalan Medan Merdeka Barat, aku melihat seorang laki-laki pengendara motor terkena tilang oleh polisi lalu lintas. Aku ingin tertawa sekeras-kerasnya. Di jalan ini, mobil berkuasa penuh atas lebar dan isi jalanan. Mengingat 3 juta mobil dimiliki oleh orang Jakarta, seperti inilah jadinya. Macet oleh deretan mobil yang tak berperasaan. Spanduk yang berisikan imbauan dan peringatan akan berlakunya sistem plat ganjil-genap pun nyaris tak berpengaruh apa-apa. Di sekitar Harmoni, bus cukup lancar. Gajah Mada Plaza pun terasa ironis. Tokoh agung Majapahit itu kini pun berubah sekedar menjadi Mal. Sementara di jalan Gajah Mada sendiri, bus mulai melambat. Bangunan bobrok dan kusam terlihat di sisi jalan. Mobil menghantui Jakarta. Di mana-mana seolah mobil bagaikan semut berkerumunan tak terkira banyaknya. Lama kelamaan, jumlahnya terasa kian mengerikan. Di sepanjang sungai, terdapat pepohonan yang memanjang mengikuti garis lekuk sungai, yang tentunya tak mampu mengusir suasana suram hawa panas dan bentuk kota yang menyedihkan. Jakarta masih terselamatkan karena pepohonan. Seperti di jalan Medan Merdeka dan lainya. Tanpa pepohonan, yang terlihat adalah kota yang mengerikan seperi terlihat jelas dari kaca bus yang aku naiki. Bus melaju. Beberapa polisi terlihat sedang mencatat mobil yang terparkir dengan liar di sepanjang jalan Gajah Mada. Begitu juga kendaraan lainnya. Mungkin inilah sedikit dari prestasi Ahok mengenai parkir liar yang sedikit membuat jalanan terasa tak menumpuk dan dipadati oleh suasana parkir yang biasanya sangat melumpuhkan. Tapi mengingat sekarang ini jalanan yang ada di depanku penuh dan macet, prestasi semacam itu pun nyaris tak terlalu penting selama jutaan mobil dan motor masih bebas bergentayangan tanpa adanya semacam peraturan yang tegas. Entah pajak karbon, pajak kendaraan bermotor yang dimahalkan (walau ada spekulasi akan menaikkkan pajak mobil sebesar 15 persen), atau kendaraan yang berumur lebih dari sepuluh tahun dilarang melintasi Jakarta.

Bus terus melaju. Tersendat-sendat. Sebuah mobil terlihat membuka jendela kacanya, membuang plastik bungkus rokok di jalanan tanpa rasa bersalah. Aku akan sangat setuju jika wacana menaikkan harga rokok menjadi kenyataan. Berharap harga rokok di Indonesia sebungkus menjadi 150-300 ribu, adalah sebentuk khyalan yang mewah. Di Jakarta, rasa bersalah sangatlah langka jika mengenai jalanan dan lingkungan sekitarnya.

Terdapat perbaikkan jalan di Jakarta dan beragam proyek yang terlihat sangat jelas di sana sini. Begitu juga di jalan menuju kota tua sekarang ini. Melewati pasar HHW, suasan buruk kota ini kian bertambah. Motor terparkir penuh di area mal. Nyaris tak ada pepohonan. Trotoar hanya kenangan masa lalu dan terlihat seperti bongkahan bebatuan kecil yang impoten. Setiap kali keluar menjauh sedikit dari pusat Jakarta, keburukan seolah-olah berlipat menjadi pangkat 2 hingga 10. Terlebih jika bergerak menuju Jakarta Utara. Menuju apa yang dulu dinamakan sebagai pemukiman tercantik di Hindia Timur. Sang Ratu dari Timur, Queen of the East, itulah sebutan Batavia masa lampau yang kini lebih dikenal sebagai Kota Tua. Dan benar-benar sangat tua, rentan, rapuh, dan terlihat menyedihkan ketika terakhir kali aku menemuinya. Dan kali ini, ketika bus berhenti di depan Museum Bank Indonesia, kota tua benar-benar terlihat tak ada perubahan sama sekali. Panas seketika menamparku hingga berjalan sempoyongan.

“Kota tua di Batavia, dengan kanal dan rumah bata merahnya benar-benar terkesan tua dan lusuh,” tulis Geoffrey Gorer pada tahun 1935. Dan aku pun sangat sepakat. Lebih sepakat lagi saat Charles Walter Kinloch, 1852, menulis, “saat mendekati Batavia adalah saat yang paling tidak menyenangkan”. Sesungguhnya luar biasa sangat tidak menyenangkan bahkan mengesankan sedikitpun tidak. Dan aura ilusi seperti yang dialami oleh salah satu perwira Prancis, salah satu anggota pasukan kawal raja Charles X, pada tahun 1830, tidak terjadi kepadaku. Sayangnya, aku melihat Jakarta dari kota baru, Weltevreden menuju Kota Tua yang sama-sama buruknya. Sang perwira Prancis itu menulis kesannya;

Begitu turun dari kapal, saya disergap rasa kecewa yang aneh. Kepala staf tentara dan regu musik telah menunggu kedatangan kami di dermaga; para serdadu kami dengan seragam upacara, samasekali baru, berbaris keluar dari sekoci, dan begitu kami sampai terdengarlah bunyi genderang dan alunan musik perang mengiringi kami ke arah tempat tujuan. Dengan gagah saya berjalan di barisan depan kompi dengan langkah yang telah saya latih dengan baik sebelum berangkat dan selama perjalanan. Saya menunggu saat-saat memasuki kota di mana perhatian umum akan tertuju pada seragam bagus dan suasana militer pasukan kami. Namun alih-alih kota yang indah sebagaimana dibanggakan, betapa terperanjat saya ketika kami memasuki jalan sempit, sepanjang sisinya penuh dengan gubuk-gubuk bambu di tengah sesaknya para kuli compan-camoing, Melayu maupun Cina. Mereka memandangi kami dengan dingin atau dengan senyuman tolol. Mayor yang selama pelayaran bercerita muluk-muluk tentang keindahan Batavia, berjalan beberapa langkah ke depan saya. Sebenarnya saya ingin sekali mendekat untuk mengolok-oloknya... Akhirnya, setelah bergerak selama setengah jam melewati jalan-jalan sempit dan berliku-liku, tiba-tiba jalan mulai melebar, mayor berhenti dan memerintahkan pasukan berbaris. Akhirnya dia berkata kepada saya dengan nada mengejek: “ Pastikan pasukan Anda berbaris rapi, kita akan memasuki kota..” Baru kemudian saya sadar bahwa daerah pinggiran yang baru saja kami lewati adalah sisa-sisa kota lama Jakarta. Kami langsung memasuki jalan yang indah dan lebar, sejnis trotoar yang dipagari pemukiman apik, semuanya dikelilingi dengan kebun-kebun yang luas. Bayang-bayang pepohonannya sampai menyentuh jalan, dan bunga-bunga menebarkan bau harum. Jendela-jendela dan teras rumah itu ramai dengan kaum perempuan yang berkilauan dengan dandanan ala Eropa; para pria memakai topi anyaman lebar ala Panama, dan mengenakan jas serta pantalon dari katun polos atau kain putih. Mereka berdiri di setiap sisi jalan sambil mencangklong pipa dan sesekali saling memberi salam dan berjabat tangan dengan beberapa perwira kami yang mereka kenal.

Pemandangan tersebut jauh berbeda dengan kondisi yang baru saja kami temui. Masyarakat tampak berkumpul menyambut kedatangan kami, rumah-rumah sangat elok, pemeliharaannya memantulkan kebersihan yang cermat sebagaimana ciri khas masyarakat Belanda, dan sungguh kontras dengan kekumuhan dan gubuk-gubuk reyot. Semua itu, menurut saya, memberikan kesan yang sangat menyenangkan dan serta-merta mendamaikan perasaan saya dengan negeri yang dalam perkenalan pertama terasa sangat menjijikan.

Jalan besar dengan deretan pepohonan (boulevard) yang kami lewati terentang sepamjag tiga kilometer ke tengah pemukiman dan kebun-kebunnya yang beraneka ragam bentuk dan luasnya. Suasana semacam itu meredam kesan monoton dan membosankan yang biasa timbul di jalan-jalan yang panjang dan lurus dengan bangunan-bangunan yang seragam. Akhirnya kami tiba di tempat yang luas berbentuk persegi yang dikelilingi dengan bangunan. Dari bentuknya terlihat bahwa kami sudah sampai di tempat tujuan. Tempat itu bernama Weltevreden, atau kawasan militer, di tempat itulah para serdadu akan di asramakan. Rumah-rumah yang bagus untuk para perwira terletak di samping asrama mereka. Semuanya bersih dan nyaman, jarang sekali kami jumpai yang semacam itu di garnisum Eropa... Mayor mendekati saya dan berkata, “Bagaimana pendapat Anda tentang tempat tinggal kita? Saya Jawab, “Tampaknya menyenangkan, mirip surga dunia, tapi saya rasa Anda semestinya memberitahu bahwa untuk sampai di tempat yang memesona ini, kita harus melewati pemukiman yang buruk..

Rasa-rasanya, hari ini, menuju ke Weltevreden, atau kini Jakarta pusat, tepatnya Medan Merdeka atau persegi yang bernama Lapangan Merdeka atau Monas, entah dari sisi manapun, dimulai dari Jakarta Timur, Selatan, Barat, maupun Utara, suasanya akan terasa sama saja; buruk dan mengerikan. Kemacetan. Kekumuhan. Sampah di mana-mana. Rumah bobrok dan lusuh. Panas yang luar biasa. Dan tentunya, setelah sampai di pusat kota pun, tak ada yang bisa dikagumi seperti orang-orang di masa lalu mengaguminya. Karena pusat kota pun sama kumuhnya, berantakannya, tak jelas, macet, dan hanya terselamatkan oleh kesan masa lalu sebagai taman dan hunian warga Eropa dengan bangunannya yang luas dan megah. Dan kini, masukilah Kota Tua dari pusat kota. Dan yang akan kamu rasakan adalah seperti yang sekarang aku rasakan.

Memasuki kota tua, tepatnya berada di trotoar seadanya di depan Museum Bank Indonesia, aku pun mencoba mencari jalan ke sisi seberang. Dan, betapa susahnya! Motor menyelinap, wuuuuuss. Mikrolet wuuuuss. Mobil wuuuuuss. Bus angkutan kota wuuuuss. Berbarengan. Silih berganti. Saling menyalip. Dan keadaanku mirip seperti yang terjadi ketika menyeberang di jalan Katedral siang tadi. Dan kali ini lebih mengerikan karena laju kendaraan lebih cepat dan tak terkendali. Aku kesana-kemari menyusuri trotoar mencari jalan yang bisa dijadikan tempat menyeberang. Cukup jauh. Aku pun memutuskan untuk nekat berlari dan menghadang kendaraan lewat ketika terpaksa menyeberang layaknya eksodus musa di zaman modern. Menyeberang di jalan raya Jakarta tak ubahnya latihan bunuh diri.

Aku berjalan. Tap tap tap. Mendengus melihat sampah masih berkeliaran di tempat ini. Memasuki area Kota Tua yang penting dan kini menjadi cagar budaya yang dikelola seadanya. Melewati anak-anak sekolah. Orang-orang yang wajahnya terlihat juga seadannya. Turis asing dan lokal. Turis asing di sini lumayan banyak. Walau tak sebanyak Jogja kalau aku melihatnya. Melintasi beberapa cafe yang cukup ramai. Dan tibalah di lapangan luas dengan berbagai macam jenis orang di dalamnya; anak sekolah berseragam pramuka. Turis asing berpakaian minim dan seksi. Orang Tionghoa yang terkadang lewat. Sepeda berwarna warni yang dicat seadanya, melintas dengan topi bundarnya yang seolah ingin memaksakan masa lalu di tempat ini terulang. Dan sebagian besar orang yang ada di kawasan Kota Tua ini adalah orang-orang kampung menengah-bawah, yang kebanyakan miskin yang terlihat jelas dari gaya mereka berjalan, berpakaian dan berperilaku. Sementara orang kampung lainnya, warga menengah-elit hanya terlihat beberapa. Tak terlalu banyak. Jika ada yang melintas dan terkesan orang berada, kebanyakan adalah wisatawan atau tak sengaja berada di kota ini untuk alasan tertentu dan mengisi waktu luangnya untuk ke Kota Tua. Hal yang sangat terlihat jelas di Jakarta adalah sedikit sekali aku melihat perempuan cantik berada di jalanan, tempat wisata umum, atau yang berkesan tempat publik atau open space.

Di Semarang, kita bisa menyaksikan ratusan atau ribuan anak muda dan orang tua mereka berkumpul atau nongkrong di antara Simpang Lima, jalan Pahlawan, hingga kawasan Tugu Muda. Bergaya modern. Modis. Sadar penampilan. Dan terawat. Banyak dari mereka juga naik bus dan angkutan kota. Di Bandung kita dengan mudahnya mendapatkan berbagai macam perempuan cantik, laki-laki modis, dan para orang tua mereka yang tak kalah modisnya di jalan-jalan. Terlebih orang-orang Tionghoa yang sudah nenek-nenek saja mungkin gaya berpakaiannya mirip anak remaja. Tidak di sekitar Braga, Asia-Afrika dan Dago. Bahkan banyak perempuan cantik pun rela naik angkutan kota. Begitu juga halnya di Bogor. Bahkan seringkali aku melihat orang berpergian untuk pacaran dengan menggunakan angkutan kota. Dan di Bogor, sangat mudah melihat perempuan cantik di jalan-jalan. Orang Sunda, kalau dilihat, memiliki kulit putih pucat yang tidak kusam sehingga kesan desa, kampung, dan lainnya, seolah tersamar dan hilang. Di Jogja sendiri, hampir di setiap sudut, aku menemukan orang-orang yang modis, sadar mode, dan benar-benar menampilkan modernitas sebuah kota walau kita tahu, Jogja terbilang kecil dan bahkan bisa kita sebut juga sebagai kampung. Tapi di sana ada begitu banyak galeri seni dengan acaranya, Institute Seni Indonesia, Atma Jaya dan Sanata Dharma yang biasanya dihuni oleh mahasiswa kelas menengah-atas, UGM yang sangat jelas sekali, UNY, dan banyak lainnya yang sangat berdekatan. Berbagai tempat wisata yang tak berjauhan. Berbagai macam cefe yang terfokus di antara Sleman sampai Keraton. Dengan luas yang kecil, pertemuan ribuan dan jutaan orang yang kebanyakan adalah pelajar, seniman, sastrawan, penyair, musisi dan lainnya sangat mudah. Terlebih Jogja adalah tempat wisata. Berbeda halnya dengan Jakarta yang aku lihat di mana banyak warganya adalah orang-orang yang dalam artian sesungguhnya memiliki akar kuat pedesaan-orang-orang yang lahirnya di desa yang berurbanisasi dan menurunkannya ke anak-anak mereka kebiasan mereka saat hidup di desa. Dan latar kuat pedesaan itu hanya berubah statusnya menjadi kampung. Sementara mereka yang kelas menengah-elite, yang terlihat glamor, kasual terawat, dan enak dipandang, menutup dirinya di mal, galeri seni, gym, hotel, lingkungan kantor, rumah, dan semacam itu. Dan kebanyakan dari mereka mengurung diri di mobil masing-masing jika berada di jalanan. Itulan kenapa, kalau boleh dilihat dari segi penampilan jalanan lewat orang-orangnya, Jakarta sangatlah menyedihkan. Orang-orangnya terlihat sama lusuhnya dengan bangunan yang mereka tinggali. Keindahan kota yang sudah buruk bertambah buruk lagi. Aku selalu mengeluh hal semacam itu ketika berada di Jakarta. Jalanannya menjadi sangat membosankan.

Jakarta, atau Batavia yang dilihat J.WB. Money di tahun 1858, yang bersih dan cantik, sudah lama mati. Begitu juga kota yang dilihat oleh Sir John Barrow pada 1792, “Batavia, walaupun wilayahnya tidak tergolong besar ataupun memiliki bangunan yang pantas dikagumi berdasarkan desainya yang elegan atau ukurannya yang besar, kota ini masih dianggap setingkat denga kota-kota teratur dan tercantik di dunia,” benar-benar hanya tertinggal di dalam tulisan. Kota Tua benar-benar mengenaskan. Atau sebih tepatnya, sangat mirip seperti apa yang dikatakan oleh Andrew Vltcek, dalam bukunya Indonesia, “... segera setelah memulai perjalanan dari Jakarta, kami menyadari bahwa dalam dua tahun terakhir ini tidak ada perubahan positif yang terjadi. Sementara beberapa tahun yang lalu infrastruktur Indonesia menjelang runtuh, sekarang sudah benar-benar hancur total”. Dan aku pun mengangguk penuh kesepakatan.

Setelah melihat dari kejauhan dan sekilas Museum Wayang dan Cafe Batavia. Mataku kini termenung di sebuah bangunan besar, megah, yang dibangun tahun 1710 sebagai Balai Kota Batavia yang kini menjadi Museum Kota Jakarta atau Fatahillah. Sebuah tempat, yang mana di antara lantai batunya yang memenuhi lapangan, adalah tempat di mana berbagai macam jenis hukuman keras dilakukan. Abad ke-17 dan 18, seandainya aku berjalan-jalan di sekitar kawasan ini, mungkin aku akan menyaksikan segerombolan orang dicabik-cabik kulit badannya, dipasung, disiksa, bahkan digantung secara bersama-sama. Seandainya yang dihukum itu adalah orang-orang pendusta, pembohong, pengkhianat, dan mereka yang menyelewengkan uang negara, mungkin aku akan melihat sederet mantan hakim agung, anggota DPR, anggota kejaksaan agung muda dan tua, sekumpulan bekas polisi, beberapa puluh eks gubernur, walikota, dan kepala daerah lainnya. Dan mungkin juga, di sini, aku akan melihat presiden, menteri dan bawahannya, para pebisnis terkemuka hingga para konglomerat dihukum pancung seperti ketika masa Teror Besar di Prancis selama Revolusi. Aku bagaikan membayangkan Louis dan Robespierre digantung bersama-sama. Sayangnya, Batavia, sekarang Jakarta, adalah tempat di mana para penguasa dan orang-orang yang berada di lingkarannya dilindungi. Tidakkah ini adalah kota yang mana dibuat untuk mereka, para elite, dengan tumbal warga miskin yang menjadi mayoritas besar penduduknya?

Setelah bosan melihat mantan Balai Kota dan penjara kolonial. Aku bergegas menuju Museum Seni Rupa dan Keramik. Terlihat sedang ada pameran di dalamnya. Aku pun masuk, membayar karcis sebesar 5 ribu rupiah lalu merebahkan diriku di bawah rindangnya sebuah pohon. Di baliho, pameran yang akan digelar berjudul Home yang bersifat kontemporer. Dan sialnya, baru akan dimulai malam ini. Jelas sekali aku tak akan sempat untuk menyaksikannya.

Aku pun melangkahkan kakiku di sebuah bangunan kolonial dengan tiang-tiangnya yang kokok putih menjulang. Terlihat merah putih bergelombang menghiasi ujung tiangnya. Disambut dua kepala seorang tokoh yang tak asing; Raden Saleh, sang pelukis para Raja yang kesepian hingga akhirnya hayatnya. Dan Sudjojono, kalau tak salah ingat. Lalu kakiku berbelok ke kiri. Melewati ruangan yang bertuliskan Ruang Seni Rupa. Aku berjalan sangat cepat. Mencari toilet. Kandung kemihku sudah tak tahan lagi. Berjalan lurus, belok ke kanan, melewati ruangan pecah belah dan keramik. Sampailah aku di toilet dengan perasaan puas. Keluar dari toilet, mata tertuju pada seorang laki-laki yang sedang duduk di sebuah kursi dan sedang terlihat bermain dengan gadgetnya. Dan yang paling penting, dia sedang mengisi baterainya! Setelah dia pergi, aku pun berkuasa di situ selama lebih dari satu jam dengan angin semilir dan pepohonan yang membuatku sejuk dan damai. Aku membaca bukuku, Cendekiawan dan Politik, diiringi lagu dari album Sinestesia dan Leo Kristi. Lewat banyak orang di depanku: orang tua yang lekat-lekat melihat diriku, mungkin kaoas yang aku kenakan bertuliskan Konser Rakyat Leo Kristi. Seniman yang sejak tadi melihatku juga. Beberapa orang yang berpacaran melintas. Dan kebanyakan memang mereka yang sedang berpacaran. Dan seorang laki-laki tua lagi, dengan anak perempuannya yang tinggi dan cantik, memandingku tak kalah lekatnya. Apakah ini gara-gara kaos Leo Kristi yang aku kenakan? Dan kemudian, terlihat bapak-bapak paruh baya berkacamata yang  terlihat memandu dua orang, tiba-tiba berhenti di depanku dan bertanya,
“kaos Leo Kristi dapat dari mana?”
“acara Leo Kristi. Bapak suka Leo Kristi juga?’
“dia salah satu yang terbaik dan unik, menurut saya’
“kapan konser itu?”
“oh kemarin, tadi malam, di Spring Hall (Spring Hill). Sekalian merayakan hari kemerdekaan. Kalau bapak suka Leo, ikut saja digrup Lkers di Facebook. Saya juga Lkers pak”
“wah, saya malah kelewatan ini. Eh, nanti ngobrol-ngobrol kalau mau. Saya tunggu di depan sana. Kayaknya menarik bisa saling cerita mengenai Leo”
“iya pak, siap. Saya mengisi baterai dulu”
Karena mungkin terlalu lama mengisi baterai, selama lebih satu jam. Dia pun sudah tidak ada di tempat ketika aku selesai menyusuri satu demi satu keramik dan berbagai jenis terakota yang kebanyakan dari retuntuhan Majapahit. Pada akhirnya, aku memasuki Ruang Seni Rupa setelah agak jengkel melihat seorang seniman muda dengan kaos hitam membuang puntung rokoknya di saluran air. Sayang memang, banyak seniman sama tak pekanya dengan para penyair dan sastrawan hari ini. Itu kenyaataan. Tak perlu dibantah.

Di dalam ruangan ini, aku terkesan dengan beberapa lukisan, yang walaupun terlihat sudah kusam dan tak terlalu terawat, masih menyisakan imajinasi akan nilai kebesarannya; aku terkesan dengan karya Itji Tarmizi yang berjudul Kerja Paksa. Melihat langsung Potret Diri dan Topeng Bali karya Affandi yang kalau dilihat dalam kaca mata awam, terkesan mirip coretan anak kecil. Menyusui karya Dullah sangat realistis dan indah. Lalu aku berjalan lagi. Melihat karya Heng Ngantung, Berjualan Ikan. Rumah-rumah China di Jatinegara yang bercat minyak dan diukir dari kayu, membuatku cukup lama terpaku dan merasa senang. Buah karya dari Amrus Natalsya. Lalu berjalan lagi dan melihat Laki-Laki duduk-nya Djoko Pekik, Menuju Sawah milik Nisan K, Lebak Merah dari Amri Yahya, Urbanisasi dari Dede Eri Supira yang sangat menyedot perhatian. Bagian wajahnya, terlebih mata, sangatlah hidup. Benar-benar seolah aku sedang memandang orang hidup. Aku bertanya-tanya di dalam kepalaku mengenai lukisan ini, apa yang membuatnya terasa sedemkian hidupnya? Dan apa yang membuat pelukisnya, seolah-olah mempertaruhkan dirinya di dalam wajah yang hidup itu dengan membuang latarnya menjadi lukisan seadanya. Begitu juga bagian tangan, jari dan lainnya. seolah-olah orang ini mempertaruhkan segalanya hanya di dalam wajah itu! Mata itu! dan entahlah, aku pun melangkah dan untuk yang terakhir, tertarik dengan karya Nasirun yang cukup mengesankan, Kutitipkan ke Arcpada. Lalu aku pun keluar. Melihat persiapan pameran yang hampir selesai. Dan keluar dari kompleks Museum Seni Rupa dan Keramik menuju lapangan Museum Kota Jakarta. Rasanya panas!

Hari semakin sore. Walaupun begitu, panasnya masih terbilang tak tertahankan. Di jam seperti ini, di antara 15;00, perubahan mendadak jenis orang yang berada di Kota Tua pun sangat mencolok. Semakin banyak wisatan asing terlihat. Dan juga yang lokal. Dan kian mudah aku dapati mereka yang tergolong sadar mode dengan tubuh terawatnya. Entah itu perempuan dan laki-laki. Dan semakin mudah aku melihat mereka yang cantik di seputar Kota Tua ini. Aku pun mempercepat langkah kakiku. Berjalan di antara anak muda yang tengah asyik berbincang dan berkerumun menuju belakang Batavia Cafe yang pemandangannya mirip film The Pianist. Benar-benar bagaikan dipindahkan di dunia semasa perang sehabis bom berjatuhan. Dan sebuah perkampungan yang terasa bagaikan akan tenggelam.

Sejujurnya, aku sangat senang saat membaca salah satu tulisan dari National Geographic Indonesia edisi september 2013, yang berjudul Petaka Dari Bumi dan Laut Jakarta yang ditulis oleh Mahandis Y. Thamrin. Membayangkan Jakarta Utara tergenang laut. Dan membayangkan keindahan pantai masa depan yang kemungkinan besar bisa mencapai Blok M itu sungguh-sungguh menyenangkan. Pada 2050, jika tak ada perbaikan yang berarti, pantai Jakarta bergerak untuk berada di kawasan Semanggi. Baru pada 2060  pantai berada di Blok M. Dan jika Jakarta bisa mengendalikan kemungkinan penurunan muka tanah secara terus menerus, pantai Jakarta akan ada di Harmoni. Menurut Firdaus Ali, pembangunan tanggul adalah jalan keluarnya. Tapi dengan luas wilayah seluas 5.100 hektar, apakah mungkin terwujud mengingat Jakarta memiliki birokrasi, di mana para birokrat adalah jenis orang yang keterlaluan mengerikan? Dengan wajah-wajah yang memiliki bibit-bibit koruptor di setiap lekuk tubuhnya?

Mengingat penurunan tanah di jakarta semakin bertambah, dari 5-6 menjadi 10-11 sentimeter pertahun. Ditambah muka air laut yang naik antara 0,1-2,2 meter pertahun. Jakarta akan menjadi salah satu kota yang sebagian wilayahnya akan tenggelam. Tingkah laku orang Jakarta tidak hanya membuat kemacetan hebat, gangguan jiwa meningkat, konsumsi listrik yang mencekik dan membunuh, bahan kimia yang mencemari udara dan sungai, pendingin perusak ozon dan binatang liar, sampah yang bergentanyangan di daratan, membuat lautan tercemar dan ikan-ikan menjadi mandul, bodoh, hingga punah. Tidak hanya itu. Tingkah laku orang Jakarta membuat aquifer bawah tanah, persedian air bersih di dalam tanah nyaris terkuras habis akibat kesadaran diri yang sangat rendah, pebisnis yang hanya mencari untung, bangunan baru dan bangunan baru ditambah populasi yang meledak yang susah dikendalikan. Itu berarti penurunan muka tanah, masuknya laut ke daratan ditambah pemanasan global dan perubahan iklim yang didukung orang-orang Jakarta, sebagian besar penduduk Indonesia dan dunia, semakin membuat Jakarta kesakitan dan mirip tempat orang-orang bodoh tinggal. Sementara itu, Reklamasi Teluk Jakarta yang gagal itu, karena banyak korupsi dan suap dan lainnya, sebenarnya tak menyelesaikan masalah apa pun dan malah membuat masalah baru berupa sedimentasi dan pencucian limbah akan semakin mahal dan susah dilakukan. Apakah Jakarta mampu membangun dirinya semacam New York atau Belanda?

Dan, Jakarta, memiliki pencapaian banjir yang mencengangkan. Salah satu yang terparah di abad ke-21 ini. Kekacauan jenis apa sih yang tak dimiliki Jakarta? Pada tahun 2007, banjir menyebabkan 590 ribu orang terpaksa mengungsi dan 79 jenis jiwa yang entah mereka itu baik atau buruk, melayang. Itu setara dengan seluruh penghuni kota Jogjakarta ber-KTP yang terpaksa meninggalkan kotanya. Sebuah pencapaian yang perlu diberi tepuk tangan. Banjir 20013 tak terlalu parah, tapi mengingat 18 ribu orang mengungsi dan ada 15 orang yang terpaksa meninggal, Jakarta jelas-jelas bukan tempat yang menyenangkan. Sementara pada 2014, jumlah pengungsi kembali meningkat sebanyak 38 ribu jiwa manusia. 15 orang terpaksa mati. Dan di 2016, sudah ada beberapa banjir yang tak kalah merepotkannya. Aku rasa banjir lebih efisien menyadarkan warga Jakarta dari pada berbagai macam pergantian pemerintahan dan segala jenis sosialiasi mengenai perbaikan Jakarta. Banjir juga salah satu yang akan mempercepat keruntuhan ego Jakarta dan menjadikannya sebagai kota-kampung yang akan banyak ditinggalkan oleh warganya. Mirip seperti kasus Venesia.

Aku berjalan melewati dunia yang hampir runtuh. Jakarta hanyalah masa lalu sejak saat ini. Sebuah kegagalan besar orang-orang terpelajar, bertuhan, dan mereka yang mengaku dirinya berperadaban.

Aku berjalan. Menyaksikan sejarah yang lewat di depanku dengan segala ketololan dan kenaifannya sebagai manusia. Orang-orang berlalu lalang. Bergembira. Melihat Kota Tua yang sebentar lagi sudah tak akan lagi ada kecuali berada di kedalaman lautan. Sebuah keruntuhan yang benar-benar tak cepat dimengerti oleh generasi terdahulu dan diri kita saat ini. Sebuah keruntuhan yang tak segera diatasi dan ditindaklanjuti karena alasan populis, politik, demokrasi, dan korupsi serta kebobrokan pejabat negara yang membuat segala sesuatunya semakin berjalan menjadi hal yang mustahil. Melihat Jakarta, seolah-olah kau habis membaca dua buku besar karya Jared Diamond; Gun, Germs, and Stell dan Collapse.

Siapa pun yang berjalan, melewati, melihat, merasakan, dan menghirup udara di sekitar sini, terlebih mereka yang pertama kali, “biasanya timbul kesan pertama yang kurang bagus. Di mana-mana terlihat tanda-tanda kemunduran: kanal-kanal rusak dan bangunan-bangunan runtuh. Mereka yang pernah membaca tentang masa kejayaan Batavia pasti sangat kecewa,” ungkap Susan Blackburn. Aku menyetujuinya, kecewa. Mengangguk sendu dan berjalan tertatih. Setidaknya aku masih bisa menyaksikan sedikit kenangan masa lampau itu. Dan melihat apa yang akan terjadi pada suatu kota yang gagal dikelola dan ditangani dengan baik karena masyarakatnya sibuk dengan diri sendiri dan segala jenis kelicikan serta pertengkaran yang tak kunjung usai. Untungnya, dan ini benar-benar sejenis keberuntungan, mungkin takdir atau alam, bahwa aku lahir di abad ke-20. Dan mereka yang lahir di abad ke-21 juga memiliki keberuntungan seperti yang aku alami. Seandainya aku lahir di abad ke-17, mungkin nasibku tak sebaik ini. Karena menurut Hendrik E. Niemeijer dalam bukunya, Batavia, “Para kepala lingkungan yang diangkat pada 1655 selalu berusaha mencatat dan menghitung secara tepat jumlah orang Jawa di lingkungan mereka masing-masing. Ada larangan bagi orang Jawa untuk menetap di dalam kota. Orang Jawa yang hendak berkunjung ke kota di pagi dan siang hari atau yang hendak bermalam di rumah sahabat, diawasi dengan amat ketat”. Yah, aku beruntung. Keberuntungan sebagai seorang Jawa, Indonesia, yang mencatat keruntuhan salah satu kota di tanah kelahirannya sendiri. Keruntuhan sebuah kampung, tepatnya. Mungkin akan menjadi salah satu keruntuhan terbesar semenjak masa Hindia Belanda.



Sekarang aku berada di halte kecil. Sangat tak nyaman. Karena pemerintah kota, tata ruang, dan lainnya tak mampu membuat halte yang baik. Duduklah aku menunggu bus wisata di depan Museum Bank Indonesia yang sama sekali tak bebas dari kegairahan besar akan sampah. Sampah menggunung di depan pagar museum itu beserta para pengamen, gelandangan, angkuan kota yang bobrok dan panas yang lama kelamaan semakin menjengkelkan dan menyengat. Membuat kulit seolah-olah terbakar. Bersama seorang Afrika yang sangat gaya di sebelahku, dua orang perempuan muda yang duduk di kursi besi yang juga aku duduki, dan beberapa orang yanga khirnya datang, menunggu, selama berjam-jam menunggu bus yang entah ada di mana. Kemungkinan besar menjadi tawanan kemacetan Jakarta.

Orang berlalu lalang. Anak-anak sekolah yang turun dan naik mikrolet dan bus angkutan kota yang seringkali terdiam lama menunggu penumpang di tengah panas Jakarta yang bisa memanggang orang hidup-hidup. Seorang laki-laki tua paruh baya yang tak sabar menunggu di mikrolet yang diam seribu bahasa di depanku, keluar dengan kesal mencari bus atau lainnya dan bertanya ke banyak orang di kejauhan. Dan, para pejalanan kaki yang tersaruk-saruk di pinggir trotoar, tertahan lama di sekitar lampu merah karena menyeberang jalan adalah sesuatu yang luar biasa menakutkan. Ada beberapa perempuan muda, remaja, ibu-ibu yang nyaris tak berani menyeberang walau sudah menekan tombol lampu hijau penyeberangan bergambar seorang botak berjalan kaki itu. Mereka ragu-ragu. Mundur ke belakang. Akhirnya memberanikan diri dengan lari sekencang-kencangnya. Dua orang turis asing, laki-laki dan perempuan, dan beberapa orang lokal, terlihat nyaris tak berani menyeberang sama sekali. Mereka berada di pinggir jalan cukup lama. Memberanikan diri melewati berbagai macam kendaraan bermotor yang lewat dengan sekencang-kencangnya, tanpa aturan main, dan menerobos apa pun yang dianggapnya tak penting. Bahkan lampu hijau tanda pejalan kaki menyeberang adalah hal yang tak penting. Hal semacam itu terjadi berulang-ulang selama aku menunggu bus kota hampir dua jam lamanya. Anak-anak sekolah, ibu-ibu berjilbab, kakek dan nenek tua, turis asing atau mereka yang berwajah asing, dan segenap pejalan kaki lainnya yang merasa kengeringan luar biasa hanya untuk sekedar menyeberangi jalan yang lebarnya tak lebih dari pada beberapa meter saja.

Bus wisata akhirnya menampakkan batang hidungnya dari kejauhan, setelah menunggu lama dan berharap berulang-ulang bahwa bus trans Jakarta adalah bus wisata yang aku tunggu. Aku pun naik. Seperti yang lainnya. tap tap tap. Dan duduk di belakang dua perempuan muda yang tadi ada di sebelahku, yang mana, di sepanjang jalan, yang mereka lakukan hanyalah berselfie ria tanpa menghiraukan aku yang ada di belakangnya. Tak apalah, yang satu cukup cantik. Sedikit hiburan dari suasana mengerikan kota yang sangat mengerikan.

Bus pun berjalan pelan melewati jalan Kali Besar yang dulunya mengagumkan itu. Berisi kanal yang dulunya menjadi tempat para buaya dibiarkan pihak pemerintah Batavia, berkeliaran membersihkan sampah dan segala jenis kotoran yang ada di dalamnya. Buaya di Kota Tua hari ini? Mungkin akan cukup membantu mengurasi populasi Jakarta yang membengkak mengerikan. Dan bus kembali berjalan, melewati Toko Merah dengan bata merahnya yang sangat terknal itu. Sungai atau kanal, terlihat sangat kotor kehijauan. Ada sebuah isu, yang mana, sebuah perusahaan tertentu bekerjasama dengan badan lingkungan menebarkan bibit ikan di sungai Ciliwung sekaligus membersihkannya. Yang membuatku tak kalah heran, apakah orang terpelajar di Jakarta itu sudah keterlaluan bodohnya sehingga ingin menebarkan benih ikan sehat ke ladang neraka pembantaian yang bernama Ciliwung yang paling rusak di antara 13 sungai lainnya? Baiklah, aku menganggap orang-orang penting tak tahu mengenai bioakumulasi dan betapa ketagihannya ikan-ikan muda sekarang dengan sampah plastik, yang membuat mereka menjadi bodoh, lamban, dan pada akhirnya, punah. Aku akan membutakan diriku sendiri bahwa mereka tak tahu. Dan bus melewati suasana jalan yang namanya mirip masa lalu yang sudah punah-kejayaan Rempah dan pelabuhan Batavia. Jalan Kunir, Ketumbar, Lada, dan mungkin akan ada jalan Koruptor Baru. Sayangnya, yang terakhir itu tak mau diakui bersama.

Bus berhenti di jalan Lada yang cukup lebar dengan sampah yang ada di sela-sela tanaman. Bangunan yang mau roboh. Sejujurnya sudah benar-benar roboh. Dan dua perempuan muda di depanku sekarang ini, berselfie ria berulang kali tanpa menghiraukanku yang mungkin ikut tertangkap kamera mereka. Penumpang yang kebanyakan anak-anak kecil dan ibu-ibu mereka memenuhi bus wisata yang sedang memandangi Stasiun Jakarta Kota yang terserang wabah macet. Bus nyaris tak bergerak. Sama halnya kendaraan lainnya yang kebanyakan adalah mobil dan mobil. Sejujurnya, aku akan sangat senang jika setiap bulan atau malah setiap hari, ada hari raya Idul Fitri sehingga hampir 1 juta kendaraan bermotor pada akhirnya meninggalkan Jakarta dan wuus, kosonglah jalanan dan mungkin Jakarta akan sedikit melegakan. Hari raya kemarin, 2016, ada sekitar 900 ribu kendaraan bermotor keluar Jakarta. Tentunya beberapa dari mereka mati di jalan sehingga sedikit mengurangi populasi dan kemacetan. Jika pihak pemerintah kota dan Gubernur tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelesaikan masalah kelebihan penduduk, dengan segala jenis konsumsi dan kendaraannya. Biarlah jalanan antar kota dan pulau, ditambah gempa bumi, polusi udara, panas, gelombang laut, badai, banjir, gunung meletus dan bencana alam lainnya yang akan mengurangi jumlah kesemrawutan yang ada di seluruh Jawa dan tentunya Jakarta. Jika manusia tak mau membersihkan dan menyelesaikan masalah yang ditimbulkannya sendiri. Biarlah alam yang menyelesaikannya dengan mengambil manusia yang telah membuat masalah yang memengaruhi kondisi dirinya-alam.

Bus melaju tertatih. Anak-anak kecil yang sebagian berjilbab, sibuk dengan hanphone mereka masing-masing. Seolah-olah kini, pertemanan menjadi sesuatu yang mustahil menyenangkan seperti dulu kala. Karena kebersamaan habis dalam menatap layar gadget mereka masing-masing. Anak-anak, yang baru berusia antara 8-12 tahun, terjebak dalam dunia elektronik dengan kebodohan budaya orang tua mereka yang membuat mereka kelak akan kesakitan lebih dahsyat dari generasiku hari ini. Entah kenapa, wajahku tiba-tiba menjadi getir dengan senyum sinis pengikut Dionesian, kemungkinan besar tertangkap oleh pasangan Tionghoa paruh baya yang duduk cukup jauh di belakang. Bus masih melaju. Tersendat-sendat. Lebih banyak diam di tengah lautan mobil yang menggurita. Karena gurita tak bersalah dalam hal ini, maka kemacetan lebih tepatnya sangat manusiawi; kecongkakan dan kebobrokan hati nurani dan pikiran.

Bus berjalan tersendat di tengah kemacatan di jalan Pintu Besar Selatan. Melewati Plaza Orion dengan parkir motornya yang penuh dan berserak. LTC Glodok. Dan seorang perempuan paruh baya, gelandangan, yang memunguti sampah di tengah metropolitan yang sibuk. Jalan Kebun Jeruk, tempat Soe Hok Gie tinggal, kalau dilihat dari bus, sejenis gang atau kampung yang sangat menyedihkan, berantakan, suram, kacau, bangunanya benar-benar rontok di sana-sini. Kemacetan membuat mata semakin bosan dan malas untuk sekedar melihat dan mencatat. Bus dari tadi nyaris tak bergerak. Dan di depan sana, semuanya juga nyaris tak bergerak. Aku pun semakin tak bergairah mencatat detail apa pun mengenai Jakarta kali ini. Semuanya sama saja. Hampir tak ada pohon. Kemacetan dan kemacetan. Jalanan habis oleh mobil. Panas. Kumuh. Kampung. Suasana yang tak enak dipandang. Membosankan. Sungai keruh dan tercemar. Sampah di mana-mana. Polusi udara. Pengendara yang tak sabaran. Klakson berbunyi dan klakson terus berbunyi. Orang-orang dengan wajah menderita dan lelah. Trotoar yang buruk. Angkutan kota, selain Trans, yang menyedihkan. Tak salah kalau Daendels memindahkan pusat administrasi dan banyak lainnya ke Kota Baru, Weltevreden. Dan tak salah pulau, Daendels ingin mencabut ibu kota ke Surabaya. Dan di masa akhir kekuasaan Hindia Belanda, tak salah juga jika Bandung menjadi pilihan. Sejak dulu tempat ini dibilang memang sangat mengerikan-Kuburan Belanda. Belanda Kolonial mengubahnya menjadi cantik dan terkenal dengan usaha keras dan cita rasa mereka. Tentunya, membiayai kecantikan itu dengan menyedot kekayaan menggunakan penjajahan dan penindasan. Tapi, hari ini, di tangan orang Indonesia sendiri, yang terlihat adalah sampah. Jakarta adalah sampah. Menjijikan. Mirip kesan sorang perwira Prancis dahulu kala melihat tempat ini.

“Mungkin Indonesia akan berubah menjadi lebih modern, tapi jelas tidak akan pernah sama lagi, dan juga sebagiannya akan hilang,” tulis Stefano Romano dengan nada agak sedih. Sudah banyak yang hilang dari Indonesia. Dari mulai hutan, satwa liar, dan kepercayaan diri mereka sendiri. Aku sedang melihat masyarakat di tepian jurang konflik dan pembantaian. Kehancuran akibat dirinya sendiri. Dan kemudian pulih dengan banyak kehilangan, trauma, dan luka.

Bus berhenti di Istiqlal sekitar 17;00 lebih. Aku pun memasuki kompleks dalam Masjid setelah melewati dunia yang mirip pasar di pintu gerbangnya. Melangkah. Melangkah lelah. Melihat sampah di mana-mana. Sungai kotor. Dan akhirnya, berhenti di tempat pengisian baterai handphone dengan pemandangan suram berupa kertas wadah nasi yang menggunung tak terjamah di sana dan di sini ditambah sampah plastik dan lain-lain yang sejatinya adalah pemandangan yang biasa. Umat Islam modern adalah salah satu yang paling menyedihkan jika menyangkut kebersihan. Mereka terang-terangan melanggar semua perintah agamanya. Hal itu tercermin jelas di masjid ini. Di lingkungan dan suasana Jakarta yang aku temui. Dan aku, entah kenapa, benar-benar muak dengan penganut agama terbesar di Indonesia ini. Muak dengan kebohongan dan sikap acuh mereka yang mengerikan.

Aku pun bergegas ke Senayan City. Ke salah satu teman yang sudah menunggu di sana. Tentunya, apa lagi kalau bukan menggunakan Go-Jek yang rela mati-matian menembus kemacetan sinting Jakarta di malam hari, maghrib, atau jam 18:00, di saat kengerian jalanan mencapai puncaknya?

Gojek berziga-zag. Tersendat. Memencet klakson. Menembus belukar menakutkan yang tak putus-putus. Dan akhirnya terpaksa berhenti di halte Sekolahan dekat jalan Menteng Raya, persis di seberang, terdapat Kolese Kanisius. Terpaksa aku harus memesan Go-Jek lagi. Berkali-kali gagal. Aku pun berjalan ke arah sebuah hotel Internasional, berdiri di situ untuk mempermudah ditemukan. Ada seorang laki-laki paruh baya gendut, menawariku ojek dengan tarif 50 ribu rupiah. Aku langsung menolak. Go-jek saja hanya 20 ribu rupiah. Terlalu mahal pikirku. Alasannya karena macet. Aku tahu, derita ojek hari ini ketika ojek online berjamuran. Itulah kenapa bentrokan seringkali terjadi antara mereka. Tapi masalahnya, sekarang ini aku juga sedang menderita.  Keuanganku sangat tipis. Dan jalan raya menyedot keterlaluan banyak uang dari pada kota-kota lainnya di Jawa. Jakarta sangat mahal. Itulah kenapa orang lebih sibuk dengan mencari uang, pekerjaan tetap dengan gaji cukup atau berlimpah, memperebutkan kekuasaan dan pengaruh, dan mempertahankanya mati-matian untuk tetap hidup dan agar tetap dapat mempertahankan taraf dan gaya hidupnya yang boros dan penuh gengsi atau paling tidak, cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari yang serba mahal. Yah, dengan begitu, dunia pemikiran, intelektual, seni, sastra, filosofis, penemuan, inovasi dan semacamnya, diabaikan secara terang-terangan. “Para lelaki Batavia adalah orang-orang mata duitan, penjilat atau orang kaya baru. Semua orang terobsesi dengan kedudukan dan sama sekali tidak tertarik dengan pemikiran,” ungkap Susan Blackburn dalam Jakarta. Bahkan hari ini pun masih semacam itu.

Go-Jek pun datang dengan laki-laki usia 30 an, masih muda, membawaku menyusuri Jakarta yang menyengsarakan. Keluhan yang serupa dengan Bus Veth, “Bagi Saya, Hindia Belanda adalah perwujudan kesengsaraan”. Dan membosankan. Dan membuatku gila. Dan benar-benar perwujudan dari neraka. Ah, Go-Jek pun melaju, meliuk, berlari yang tentunya tak pernah kencang dan kadang mirip keong yang habis melakukan sunat, dan mencari celah dari kemacetan yang menumpuk ke arah selatan dari Jakarta.
“Bang, kita ambil jalan dalam aja yak, ndak lewat jalan utama. Sangat macet. Lebih cepet lewat jalan lainnya, alternatif”
“Okelah. Yang penting sampai. Besok sepertinya kita tak hanya butuh jalan tikus dah. Tapi jalan ular. Jadi semua yang di depan dilahap atau harus terpaksa menyingkir hahaha”
“hahahah.. ya beginilah bang, Jakarta itu macetnya memang keterlaluan. Capek di jalan. Dan bikin males”
‘Mau bagaimana lagi. Semua orang pakai mobil. Tuh, mobil, mobil, mobil lagi. Mobil di mana-mana. Bagaimana ndak macet? Satu orang pakai satu mobil. Jemput anak yang jumlah satu, pakai mobil. Kencan pakai mobil. Ke tempat yang jaraknya cuma beberapa kilo pakai mobil. Coba kalau semua pakai motor. Lumayan tak terlalu macet itu. Coba itu sau mobil saja di depan, sudah susah kita jalannya. Kalau motor masih bisa itu. Satu mobil di jalan itu sama saja dengan 6 sepeda motor coba. Masalah utamanya, walau mereka itu terpelajar, adalah karena termakan gengsi. Bawa motor aib. Dan takut nanti digunjing dan dianggap rendah kolega, rekan kerja, tema, pacar dan lainnya. Mau kamu terpelajar, profesor, doktor, pejabat, kalau sudah kena gengsi, udah, susah berubah itu. Dan gengsinya, cara hidupnya, diturunkan ke anak-anaknya. La mau gimana Jakarta mau berubah dan ndak macet kalau semua orang kaya dan punya mobil nyaris seperti itu semua? Tapi yang lebih utama, sebenarnya, kalau benar ingin berubah, ya suruh para pejabat, menteri, gubernur, walikota, bahkan presiden untuk gunain sepeda atau paling tidak sepeda motorlah. La, pejabatnya saja bawanya mobil semua. Mewah-mewah lagi. Dan kalau benar-benar serius mencintai dan ingin membuat Jakarta lebih baik, ya mendingan suruh buat komplek atau wiswa khusus pejabat, DPR, dan lainnya, satu atap. Atau bangunan mirip apartemen yang dekat dengan tempat mereka kerja. Nanti biar bisa pada jalan kaki semua. Dan tak ada itu alasan bawa mobil karena jauh atau gara-gara rumahnya jauh. Dari pada uang dihamburkan untuk proyek mahal gedung DPR yang ndak jelas itu. Ya lebih baik buat gedung untuk menampung semua pejabat negara dalam satu atap. Biar hemat biaya dan semua orang bisa jalan kaki. Harusnya begitu,” celotehku panjang lebar dan menggebu.
“Benar bang. Kalau sudah gensi, udahlah, susah memang. Iya itu, orang terpelajar tapi otaknya lebih kampung dari pada orang kampung sendiri. Huh, tiap hari narik macet terus kaya gini, capek banget bang. Benar-benar capek. Tapi mau bagaimana lagi, punya keluarga anak bini ya gini. Walau gimana harus dilakuin. Benar tadi bang. Harusnya para pejabat dulu yang mencontohkan. Yah, mau bagaimana lagi. Pejabatnya saja kaya gitu semua.”
“Gimana kalau masa Ahok?”
“Waduh, sama saja. Ga ada yang berubah.”
“Ooh, hahaha .. iya ya, walau ada penertiban dan lain-lain itu, kalau dilihat-lihat juga sama saja hahaha...”
Motor pun melaju. Mengambil jalan pintas. Melewati gang. Putar haluan mengakali lampu merah. Merunduk melewati palang sebuah gang perumahan karena lebih cepat. Terus menerus terkena macet dengan segala upaya di sana-sini. Yah, aku pun pada akhirnya bosan mencatat detail nama jalan atau apa pun itu seperti biasanya. Melihat jalan semacam ini, benar-benar membuat sekedar memegang buku catatan terasa bagaikan kegiatan yang mustahil. Dan pemandangan pun nyaris sama saja; dari Jakarta pusat hingga Senayan, yang ada hanya kemacetan dan kemacetan. Tak ada yang jalan yang tak macet. Siapa yang tak benar-benar bosan di Jakarta dengan situasi semacam ini?

Aku pun diturunkan pas di depan Senayang City. Mall yang cukup megah walau masih kalah jika dibandingkan dengan Ambarukmo. Aku membayar dengan uang 100 ribu rupiah. Masih sempat bercanda walau cukup kelelahan.
“Gimana biasanya dapat penumpang? Banyak yang marah-marah ndak?”
“Waduh, dah ndak banyak lagi. Luar biasa banyak,” ungkapnya sambil tertawa.
“Ckckc masih untung dianter. Bukannya berterimakasih. Jakarta itu orangnya banyak yang mengerikan juga ya.”
Karena dia tak memiliki kembalian, dan setelah mencoba ke sana ke mari tk dapat juga, akhirnya dia putuskan, aku putuskan, untuk membelikan air minum. Dengan luar biasa, dia membelikannya. Menyeberangi jalan. Entah berapa menit sudah dia pergi. Aku menunggu cukup lama juga. Aku anggap perjuangan dan pelayanannya luar biasa. Dan tiba-tiba dia muncul mendadak di depanku. Memberikanku uang kembalian dan air minum tentunya.
“Terimakasih banyak ya bang! Nanti aku kasih bintang 8 deh di aplikasinya!”
“Siap! Terimakasih juga ya bang!”
Dan di sinilah aku sekarang. Di Jakarta Selatan. Senayan. Di mana gedung-gedung lebih tinggi dan kemewahan cukup terlihat di jalan-jalan. Tentunya, mobil, mobil, mobil, dan kemacetannya yang mewabah. Aku mengirim pesan ke temanku. Yap, tak perlu waktu lama, dia sudah ada di belakangku sambil tersenyun riang. Kami pun berjabat tangan. Mengobrol sambil jalan. Berhenti sebentar di jalanan penuh motor, Go-Jek dan sebagainya. Memesan minuman, susu, ke ibu yang menjual berbagai jenis minuman di situ. Dan kembali berjalan. Menyeberangi jalanan. Menerobos macet dengan cekatan. Dan dibawalah aku di suatu tempat sempit, bersampah, kotor, berliku-liku. Terus berjalan. Suasana cukup suram. Dan tibalah aku di tempat tinggalnya, yang bagaikan tempat tinggal para kuli bangunan yang terpaksa hidup dan membuat tempat berteduh di tempat ia bekerja. Tiga kotak persegi kecil, tak ada kasur, seadanya, dan harganya, cukup mengerikan; 500 ribu rupiah. Akhirnya, setelah menyerahkan buku Herman Hesse yang dia pesan dariku dan berkenalan dengan Angga salah satu penghuni di situ, aku pun meminta ijin tidur sebentar setelah ia beri makan. Ia berangkat bekerja di Senayan City antara jam 19:00-09:00-. Waktu yang lama dan berat.

Bangun. Mandi. Mendengarkan musik. Dan memutuskan pergi dan melihat-lihat Senayan City dengan Angga. Masuk ke mal. Mengangguk ke banyak orang di situ karena Angga banyak dikenal di sini. Dia juga bekerja di sini.  Melihat Mall yang luas, dengan sekian banyak perempuan muda cantik di sana-sini, sibuk menyantap sesuatu di deretan tempat makan, dan memutuskan untuk segera ke Gunung Agung karena mal satu jam lagi sudah tutup.

Toko buku Gunung Agung di mal ini cukup menyenangkan. Mirip dengan Periplus dekorasi dan interiornya. Dan, banyak buku bagus berbahasa inggris di sini yang membuatku berbinar-binar! Aku menemukan buku langka semacam Moby Dick karya Melville, Gulliver’s Travels dari Jonathan Swift, Inferno-nya Dante, Demon karangan Dostoevsky, The Waves-nya Virginia Wolf, buku-buku F. Scoot Fitrzgerald, The Catcher In The Rye, 1984-Animal Farm dan lainya milik George Orwell, War and Peace Leo Tolstoy, dan banyak lainnya. Buku-buku bagus yang membuat mataku berbinar-binar. Dan aku benar-benar luar biasa betah di situ. Tiba-tiba aku tak sengaja melihat edisi khusus Tempo, Chairil Anwar. Ah inginnnya. Tapi yang lebih penting, aku menginginkan National Geographic Indonesia di Pasar Senen besok. Jadi aku mati-matian menekan hasratku yang ingin sekali membawa pulang Moby Dick atau Demon. Aku kasihan dengan Angga yang menemaniku. Agaknya dia bosan.
“Kalau aku sudah di toko buku ya begini. Bisa berjam-jam.”
Dia hanya membalas dengan seyuman kecilnya. Dan kesenangan itu entah mengapa sangat cepat berlalu. Mal sudah akan ditutup. Kami pun bergegas pergi dan melewati bagian-bagian mal yang terasa sepi dan hanya terlihat satu dua orang saja. Perempuan cantik dan modis memang lebih mudah ditemui di tempat-tempat semacam ini dari pada di jalanan. Dan kenapa aku selalu memperhatikan perempuan cantik, anggun, modis, sadar fashion dan semacamnya? Karena hal itu berkaitan erat dengan seberapa jauh kemajuan ekonomi, struktur sosial yang berubah, politik tubuh, kemodernan, mentalitas dan cerminan sebagian dari kota itu sendiri. Jadi perempuan cantik dan modis itu menegaskan banyak hal di berbagai macam kota di Jawa. Salah satunya adalah kepercayaan diri di tempat publik. Dan karena jalanan Jakarta memiliki tingkat kriminalitas tinggi. Jadilah sebuah kota yang para perempuan cantik dan beradanya membentengi diri dalam tembok mobil dan kenyaman mal yang cukup terjamin rasa keamanan dan lain sebagainnya. Dan malam ini, sekitar 22:00, setelah keluar dari mal, suasana Jakarta, Senayan cukup tenang, indah, dan damai.  Jakarta hanya indah di tengah malam dan menuju pagi hari. Di mana jalan-jalan sunyi, hening, keriuhan dan segala jenis kemacetan seolah-olah tak lagi menghimpit kepala. Di dalam tengah malam menuju pagilah, Jakarta masih layak untuk dinikmati.



Pagi, 19 Agustus, mataku masih sangat lelah setelah tidur di ruangan sempit yang diisi satu orang lagi yang entah siapa namanya, dengan kecoa yang bergentayangan tiada henti. Paling tidak aku menghemat uang sebesar 400-500 ribu rupiah untuk satu malam. Jika seandainya aku bermalam di hotel. Aku pun tak memiliki cukup banyak uang untuk hal semacam itu. Sekitar jam 09;-, aku benar-benar bangun. Bersiap-siap. Mandi. Dan mengajak Angga menemaniku ke Pasar Senen dan Galeri Nasional. Awalnya ia mau mengajakku ke Ragunan, melihat saudara, kawanan monyet. Si Wahyu aku ajak, tapi dia tak mau. Katanya tak memiliki uang. Aku bilang, aku yang akan membayarinya jalan. Pada akhirnya dia sungkan, tak jadi ikut. Menggeladanglah aku dengan Angga menggunakan Trans Jakarta menuju Senen. Banyak pembangunan gedung dan jalan memenuhi Jakarta Selatan ini. Dan tentunya kemacetan yang sangat menggurita. Tapi, menggunakan Trans, jalan menjadi lebih cepat dan bebas dari macet. Walau untuk sementara. Karena pulangnya nanti, kemacetan membuat kaki, tubuh, dan otakku lemas. Begitu juga Angga yang jengkel dan benar-benar mengalami kemacetan yang mengerikan.

Sesampainya di Pasar Senen, kami langsung ke arah lapak buku. Mencari, menawar National Geographic Indonesia. Akhirnya mendapat 8 majalah yang masing-masing seharga 10 ribu rupiah. Lalu kami memutuskan pulang, dan mampir ke Galeri Nasional melewati panas yang mengerikan. Karena Galeri Nasional masih tutup sampai jam setengah dua, aku dan dia pun memutuskan pulang dan malas untuk menunggu. Padahal sedang terselenggara pameran besar dan di antara memajang lukisan-lukisan dari Istana Negara. Momen langka yang aku lewatkan dengan sadar. Bisa dibilang, Galeri ini cukup indah dan luas. Sebuah bekas kolonial yang masih terlihat cantik mengingat yang bisa dilakukan oleh pemerintah Jakarta hanyalah menambah bangunan menjulang tinggi dengan pantulan kacanya yang membosankan. Dan hingga hari ini aku datang dan kembali melihatnya, Jakarta masih saja mirip seperti yang digambarkan oleh Susan Blackburn dalam Jakarta; Sejarah 400 Tahun ketika Jakarta masih dihuni 7 juta jiwa dan Indonesia masih memiliki 175 juta jiwa penduduk;

Penduduk Jakarta berjumlah lebih dari tujuh juta jiwa. Di kota besar mana pun, dapat dilihat perbedaan antara gedung-gedung megah di wilayah pusat bisnis dan wilayah sederhana di sekitarnya. Namun, Jakarta terbagi menjadi gambaran-gambaran yang mengherankan dan terlihat jelas, yakni sebuah kota para elite kosmopolitan yang mengharapkan Jakarta dapat menjadi kota metropolitan internasional seperti Singapura dan Hongkong, dan kota dengan realitas yang sukar disembunyikan dimana sebagian besar penduduknya bersusah payah mencari pijakan untuk membangun kehidupan.

Kedua gambaran itu bertumpangtindih, pedagang kaki lima menggelar segelintir barang dagangan di depan gedung pasar yang bertingkat-tingkat dan masih baru, pemulung mencari barang bekas di pemukiman mewah pinggir kota. Kedua gambaran ini bertentangan: polisi menggerebek pedagang kakilima yang berjualan tanpa izin, mereka juga menangkap becak yang masuk jalan raya karena melanggar peraturan.

Jakarta terletak di dataran panas dan berawa-rawa. Gedung-gedung dan kawasan metropolisnya yang modern dikelingi area kumuh yang luas. Nagi pengunjung asing, Jakarta namanya memiliki sedikit daya tarik. Para turis yang mencari eksotisme akan beralih dari ibukota ke Yogyakarta atau Bali, meninggalkan kota yang menurut mereka hanyalah belantara pusat perbelanjaan bergaya Barat dengan papan reklame yang mengiklankan film-film impor. Para pebisnis asing yang meyukai sisi modern Jakarta akan terus-menerus disuguhkan pemandangan para pengemis yang berkeliaran di bawah jalan layang serta pemukiman-pemukiman kumuh di sela-sela kota. Penduduknya-sebagian besar dilahirkan di luar Jakarta-kadang kala memandang kota mereka dengan perasaan bertentangan.

Aku tak betah dengan Jakarta dan ingin segera pergi secepatnya. Aku tak sudi berlama-lama di kota sialan ini. Sekitar jam 15.30-an, aku pun memesan Go-Jek di depan Senayan City. Ditemani oleh Fauzi. Dan memutuskan untuk menuju Bandung melewati Bogor. Aku pun bergerak menuju Stasiun Palmerah Tanah Abang. Menembus belukar kemacetan. Meninggalkan kemacetan yang menggila setiap harinya. Dan sangat senang, jika pada akhirnya, aku tak kembali lagi ke tempat semengerikan ini. Bagi orang-orang yang mencoba lagi membangkitkan kenangan masa lalu Batavia Kuno yang cantik dan indah. Hal semacam itu sudah tak mungkin. Jakarta, hari ini, hanyalah sekedar Kampung Besar Neraka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar