Rabu, 27 Juli 2016

APAKAH AKU HARUS BERHENTI?
















... malu menyadari betapa banyak yang tak aku ketahui, dan bosan dengan sedikit yang kuketahui.
Eric Weiner
The Geography of Genius

Barang siapa pernah dilahirkan, dia sedang menanti jatah dan pelaksanaan hukuman mati?
Pramoedya Ananta Toer
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu




Apakah aku sebaiknya menyerah dan melemparkan teks tak selesai ini ke kotoran anjing terdekat? Untuk apa mempertahankan tulisan bodoh dan konyol ini, yang pada akhir hanya sekedar membuatku berkata, sialan, luar biasa buruk dan menggelikan! Rasa-rasanya aku juga sedang mengidap rasa malu akan kebodohan diriku sendiri seperti yang Eric Weiner rasakan. Dan saat aku mencoba mempertahanakan kewarasan diriku yang terakhir, dunia yang aku lihat malah tepat seperti apa yang dikatakan Lap, tokoh dalam novel Kappa yang ditulis oleh Ryunosuke Akutagawa; saya cuma ingin melihat dunia yang kacau ini dari sudut lain karena dilihat secara biasa sangat suram. Tetapi dilihat dari arah lain pun agaknya sama saja.

Rasa optimisku menciut jadi sedemikian ciutnya. Sampai-sampai aku ingin menjual seluruh perpustakaanku yang tak seberapa, dan berkata, peduli setan dengan ini semua! Peduli setan dengan manusia, orang-orang dan harapan akan masa depan! Lalu menggelandang meninggalkan Jogja yang sudah mirip mayat tak bergerak menuju kota Bandung yang sejujurnya agak mirip mayat yang juga sama-sama tak bergeraknya. Setidaknya, di Bandung banyak tempat seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, “tidak percuma kau memilih menjadi warga Indonesia, tanahnya luas dan lautnya lebih luas lagi untuk berkubur diri.”

Dan beruntunglah aku hidup di negara yang mengagumkan ini. Selama ini aku tak pernah tahu, ternyata Pram bisa juga bercanda yang bagus semacam itu! Dan baiklah, sekarang apa yang masih tersisa dalam diriku ini?

Harapan hidupku mendekati nol. Sementara itu kemampuan menyembuhkan diriku mendekati ujung perbatasan antara gila dan menjadi lebih gila lagi. Dan jika mengingat-ingat kembali keinginanku untuk melihat Jawa, terasa bagaikan igaun konyol yang memalukan. Dan ketika sedang membaca Bersama Mas Pram yang ditulis oleh Keosalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer, aku jadi kian pesimis;

Saya jadi malu kepada diri sendiri. Pulau Jawa yang panjangnya seribu kilometer saja belum saya kenal. Saya belum pernah ke mana-mana. Tak tahu kota Solo, Jogja, Surabaya. Belum tahu Karang Bolong di pantai Samudra Hindia, Terowongan Ijo, terowongan paling panjang di Jawa, dan pulau Nusakambangan di mana konon tumbuh bunga Wijayakusuma. Juga belum tahu pantai Pacitan yang konon bergoa-goa. Saya belum pernah lihat debur ombak Samudra Hindia yang katanya puluhan meter tingginya. Saya hanya pernah bermain di pantai Rembang yang sangat teduh, bahkan boleh dikata hanya beriak. Aduh, saya ingin tahu semua itu. Saya ingin menengok ujung barat di Ujung Kulon sampai semenanjung Blambangan di ujung timur. Alangkah senangnya kalau saya bisa memandang pulau garam, Pulau Madura, walau hanya dari jauh, dari pantai Jawa Timur. Biarlah keinginan saya hanya segitu, dibandingkan dengan keadaan saya sekarang yang hanya nongkrong di Kebon Jahe Kober yang sempit dan pengap.

Tapi keinginan ini saya pendam sendiri. diam-diam saya ingin nanti, entah kapan, keliling Pulau Jawa, naik sepeda, sendiri, dengan cara Sven Hedin, dengan biaya yang bisa saya peroleh sepanjang jalan, entah bagaimana caranya, sampai kemput keliling Jawa. Berapa bulan ya dibutuhkan waktu untuk itu?

Saya tak pernah menyampaikan keinginan ini kepada siapa-siapa, apalagi kepada Mas Pram. Satu-satunya yang saya ajak bicara adalah Mas Wiek. Dan apa komentar Mas Wiek?

“Kesehatanmu itu nggak memungkinkan!”

Dan, herannya, saya setuju dengan pendapatnya itu. Yang betul adalah, nyali saya yang tak memungkinkan. Hanya bagusnya, kegemaran saya membaca tidak berhenti karenanya, bahkan semakin meningkat.

Harapan Koesalah Soebagyo Toer nyaris mirip diriku sendiri. Dan apa saja yang menghalanginya mirip juga apa yang menghalangiku; minimnya uang, waktu, dan tubuh yang sakit-sakitan. Dan yang paling membuatku jengkel adalah kenyataan bahwa tidakkah itu harapan yang hampir seabad yang lalu? Kenyataan itulah yang membuatku ingin depresi sedepresi-depresinya. Ternyata di abad 21 ini, masih ada orang Indonesia, terlebih orang Jawa, yang masih belum pernah mengelilingi Pulau Jawa. Betapa malunya aku. Karena aku salah satu dari orang itu. Abad ke-21 masih belum pernah mengelilingi Jawa, itu sungguh memalukan. Dan aku rasa, kelak akan juga ada yang bilang, abad ke-22 masih belum pernah mengelilingi Jawa, heh? Kamu turis asing ya? Dan bisa jadi abad ke-23, kamu orang Amerika ya, campuran Jerman, atau seperempat Prancis? Oh, berdarah India, Arab, Tingkok, atau bukan asli dari sini? Bahkan bisa jadi kelak akan ada yang bilang, kamu keterunan alien ya, kok wayang, gamelan, bahkan pohon petai dan singkong pun tak tahu?

Dan yang lebih memalukan lagi betapa aku sangat tak mengenal tanah Jawa ini!  Aku benar-benar bagaikan orang asing di tanah kelahiran sendiri. Itu tidak hanya menggelikan. Rasa-rasanya ingin segera menjerumuskan diriku ke jurang atau sumur terdekat.

Setidaknya Pram juga pernah merasa “terasing di negeri sendiri” seperti yang diungkapkan oleh Chris GoGwilt, Andre Vltchek, atau bahkan Pram sendiri, dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian! Dan ketololanku bahkan mirip Minke di Bumi Manusia; pikiranku sedang dipenuhi hal-hal seram, merampas segala yang dikatakan nikmat. Bumiku, bumi manusia ini, kehilangan segala kepastiannya. Semua ilmu dan pengetahuan, yang telah menjadi diriku sendiri, meruap hilang. Tak ada sesuatu yang bisa diandalkan.

Dan inilah aku sekarang. Tolol. Tidak bisa diandalkan. Buta terhadap dirinya sendiri. Merasa tanah kelahirannya bagaikan negeri asing. Orang yang tak becus melakukan apapun. Dan filsuf amatir yang sedang terjebak dan berenang bahkan hampir tenggelam di kolam kecilnya sendiri.

Mengelilingi Jawa itu mudah. Kalau hanya sekedar mengelilingi, aku pasti sudah melakukan jauh-jauh hari. Yang tak mudah adalah tanggung jawab menuliskan pengalaman langsung dari apa yang telah aku alami dan lihat sendiri. Ditambah pertanyaan-pertanyan yang bisa membuatku lebih gila dari biasanya. Apa jadinya negara ini kemudian hari jika warga kotanya kebanyakan terdiri dari orang-orang macam ini? Seandainya pecah perang dunia lagi, apakah Jawa, dan Indonesia secara keseluruhan akan bisa bertahan, atau malah ikut ke dalam perang? Jika kebutuhan kita akan energi dan bahan makan mendekati habis, dengan masyarakat konsumtif yang sangat keterlaluan, apakah kelak kita akan menjadi penjajah? Atau malah dijajah oleh negara lainnya, yang lebih kuat demi sumber daya kita, yaitu tanah dan jumlah manusianya yang bisa diperbudak? Jika mendadak kita semua kaya dan berkecukupan, apakah tingkat gangguan jiwa, depresi dan bunuh diri semakin bertambah banyak dan tak terkendali? Mengingat para psikolog dan psikiter sangat sedikit, pemerintah yang abai, dan individu masyarakat yang semakin jauh dan susah bercakap-cakap? Apa jadinya jika semua orang memiliki mobil dan memenuhi jalanan sementara tanggung jawab sosial dan alam, tanggung jawab akan keberadaan tanah kelahiran, kota, atau tempatnya berdiam sangat kurang dan nyaris tak peduli? Jika mendadak krisis ekonomi menghantam Asia atau negara kita ini, apakah pada akhirnya kita akan saling membunuh dan ingin mendirikan negara masing-masing? Apakah kelak pada akhirnya orang-orang Tionghoa akan kembali dibantai karena sikap mereka yang sangat ekslusif, kesombongan luar biasa akan ras, merasa bukan orang Indonesia dan pencapaian ekonomi mereka? Dan coba bayangkan seandainya beragam bencana alam terjadi di Indonesia di tengah pergulataan poiltik dan perang? Dan masih banyak yang lainnya yang bisa aku pikirkan dan renungkan. Kalau memikirkan semua itu, perjalananku menjadi konyol. Jelas-jelas aku akan kesusahan untuk merenungkan dan menuliskan semua itu. Dalam posisi kejiwaanku hancur, sakit-sakitan, dan keuangan yang mengerikan. Aku benar-benar putus asa. Aku ingin berhenti.

Tapi ..

Yah, dunia selalu memiliki tapi. Sialnya memang begitu. Masalahnya aku memiliki kesukaan akan buku-buku dan ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahuku bisa tiba-tiba meledak dan tentunya menghabiskan anggaran hidupku yang sudah dipangkas dengan memelihara kejiwaanku, sewa kamar, makan, dan sederet hal lainnya. Kalau dipikir-pikir, aku orang gila yang sangat keterlaluan gilanya, masih membeli dan ketagihan melahap berbagai macam buku yang membuatku tertarik, dan tentunya menambah kadar persen kegilaan dalam diriku. Para penerbit dan penjual buku memang sangat keterlaluan. Tidak peka dengan kondisi hidupku yang mengenaskan ini. Saat aku pingin berhenti meneruskan Mengembara Di Tanah Asing, kenapa malah ada banyak buku menarik dan sangat ingin aku miliki?

Gramedia benar-benar membuat aku bangkrut akhir-akhir ini. Sudah berapa ratus ribu atau juta yang aku belikan buku karena bazar buku yang ada menawarkan beberapa buku yang menggiurkan? Karena aku orang bodoh, jadilah aku membeli banyak buku selama berhari-hari. Seperti orang kesetanan yang lupa daratan dan tuhan. Dan untuk apa setan susah-susah memikirkan tuhan? Yang paling menarik adalah buku-buku petualangan dan perjalanan. Tak ada buku porno atau panduan tidur menggairahkan bersama kambing di pameran itu.

Aku mendapatkan Between a Rock and a Hard Place karya Aron Ralston. Buku menegangkan yang difilmkan menjadi 127 Hours, yang membuat aku malu akan gariah bertahan hidupnya. Seandainya yang terjepit itu aku, sumpah, aku akan langsung bunuh diri di tempat. Lagian, siapa yang juga peduli kalau aku mati? Dan lebih menjengkelkan lagi, siapa yang peduli aku masih hidup? Ada buku Lost In The Jungle dari Yossi Ghissberg. Wanderlove yang ditulis Kirsten Hubbard yang kujual sebelum aku baca. Dan yang paling membuat aku senang adalah sebuah buku dengan sampul muka yang sangat tak meyakinkan sama sekali, Bikepacker Nekat dari Danny Bent. Ternyata buku itu cukup menyenangkan dengan gaya bahasa yang membuatku kembali ingin meneruskan pengembaraanku. Padahal aku sudah mendapatkan buku Bersama Mas Pram dari Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer, Klub Film oleh David Gilmour,  dan banyak lainnya.

Dan ketika aku bergentayangan di dalam Gramedia, aku tak mampu menahan godaan buku Babad Ngalor Ngidul dari Elizabeth D. Inandiak. Buku itu membuat aku sedih dan malu sebagai orang Jawa. Kebanyakan orang asing lebih Jawa dan Indonesia dari pada diriku sendiri. Dan Inandiak mampu menulis dengan sangat baik! Aku tak mampu menghindarkan diri terayu oleh George Orwell, Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London. Buku yang menunjukkan padaku bahwa seorang penulis terkenal pun bisa sangat miskin dan menderita. Penggambaran dia akan orang miskin dan gelandangan Paris bisa aku gunakan untuk novelku kemudian hari. Yah, kalau aku masih beruntung, agak hidup.

Saat kemarin di Surakarta, 25 juli 2016, aku menyelonong di deretan rak buku Gramedia Surakarta, tak sengaja menemukan buku yang membuatku hampir melonjak kegirangan. The Geography of Genius karya Eric Weiner. Aku benar-benar bahagia. Sontak gairah pengembaraanku, keinginan untuk meneruskan melihat Jawa dan menggagas istilah Ideapacker menyala secara tiba-tiba. Aku pun cepat-cepat membaca pendahuluan buku itu, diiringi gerak menunduk dan mengiyakan penjabarannya mengenai kejeniusan. Buku yang harus aku miliki dengan segera! Masalahnya, aku tak memiliki uang. Baiklah, aku terpaksa meneruskan membaca sambil duduk, menelusuri halaman demi halaman lagi, dan tersedot dalam dunianya. Aku harus beli ini! pikiranku bergejolak. Uang dari mana? Aku tak peduli jika nanti harus menjual buku-bukuku yang lainnya. Pokoknya, aku ingin segera memilikinya. Secepatnya. Apakah aku harus menjual diriku, seperti Faust menjual jiwanya? Yah itu tak mungkin. Lagian, aku juga sangat jauh dari kata tampan. Malah mulai kegemukan dan tambun.

Entah mengapa, Gramedia Surakarta selalu mirip kuburan pelosok desa atau bahkan rasa-rasanya mirip di pegunungan atau di dalam hutan rimba yang jarang ada orang, terlebih masyarakat terpelajar. Kadang aku bertanya, apakah benar sekarang aku di Surakarta, Solo? Dan jalanannya lebih mengerikan lagi. Kemacetan adalah buku bagi kota Surakarta yang sebentar lagi sekarat.

Dan saat aku memikirkan buku itu malam harinya, esok paginya tiba-tiba ada beberapa buku yang nongol begitu saja di Instagram milik Kepustakaan Populer Gramedia. Buku itu milik Fyodor Dostoyeski berjudul Catatan Dari Bawah Tanah, yang sangat luar biasa aku inginkan sejak lama. Astaga! Bagaimana ini, bagaimana ini? Apakah aku harus merampok Gramedia demi sebuah buku? Mendandani diri ala V for Vendeta atau Joker dalam Batman? Masuk ke Gramedia dengan menggengam sebatang pisang lezat berwarna kuning cerah dan menganggapnya sebagai senjata dari planet entah apa? Lalu berkata, jangan bergerak! Serahkan buku-buku kalian!

Itu jelas-jelas ide bodoh yang akan ditertawakan dari anak kecil sampai orang tua jompo yang kehilangan gigi-giginya. Dan nyaris jenis perampokan paling tak keren dan idiot yang pernah ada. Merampok demi buku? Apa? Apa aku tak salah dengar? Apakah itu kenyataan? Serius? Bolehkan aku menabrakkan diriku ke truk sekarang juga? Sumpah, apakah itu kenyataan dan benar-benar nyata? Kok ada perampok bodoh semacam itu ya? Merampok buku? Itu orang bodoh, gila atau memang sudah tak lagi mengenal dunia nyata? Menurutmu, apa perampok itu terkena delusi? Atau jangan-jangan tuhan sudah menghampirinya?

Dengan mudahnya aku menyingkirkan ide tak mungkin itu.

Awal mula hidupku memang mirip Dokter Victor Frankenstein dalam novel mengagumkan, Frankenstein milik Mary Shelley. Dan kali ini, perasaanku menirukan kata-kata Frankenstein itu sendiri, “aku sendiri penuh dengan semangat menyala-nyala. Aku sangat berminat dan haus akan ilmu pengetahahuan.” Dan perasaan haus akan ilmu pengetahuan jika tidak terjembatani oleh lingkungan sosial, merasa diri tak ada yang bisa diajak bicara dan bertukar pikiran secara seimbangnya efeknya bisa mematikan. Mary Shelley sungguh luar biasa untuk ukuran zaman itu sebagai seorang wanita. Dan yah, perempuan, karena para feminis mungkin akan berang dengan pemakaian kata itu. Dengan mulut Frankenstein ia mewakili kegelisahan diriku dan apa yang sering dialami oleh mereka yang tergoda dengan rayuan ilmu pengetahuan. “sungguh aneh hakikat ilmu pengetahuan! Sekali masuk ke otak, ilmu pengetahuan akan terus berpegangan erat-erat seperti kancing-kancingan melekat pada batu. Kadang-kadang aku ingin sekali membuang semua pikiran dan perasaan. Tapi aku juga sudah mengetahui hanya ada satu cara untuk mengatasi kepedihan duka, yaitu kematian.”

Biarlah jika pada akhirnya mati. Memang itulah satu-satunya cara terakhir untuk keluar dari sakit yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan. Tapi, tidakkah masih ada cara yang lain? Meneruskan pengembaraanku dan menuliskannya?

Sejujurnya aku sudah sangat letih dan muak dengan semua ini. Akan sangat menyenangkan jika aku bisa melempar semua pikiran dan tulisanku ke jurang paling dalam atau membakarnya tanpa sisa. Atau menjadikannya api unggun saat kedinginan atau pura-pura berkemah entah di mana. Aku rasa itu lebih berguna. Bisa mengusir nyamuk-nyamuk genit dan tak tahu malu.

Dan yang lebih mudah kalau aku menyerahkan diri ke laut. Dan mungkin akan jadi salah satu budak Nyi Blorong atau Ratu Pantai Selatan seperti mimpiku beberapa waktu yang lalu. Jogja memang bisa membuat banyak orang bunuh diri dengan sukses dan mengagumkan. Bahkan baru beberapa waktu di Jogja saja, ada kabar mengenai seorang musisi yang menabrakkan dirinya ke kereta api. Jogja memang kota kematian yang penuh dengan hura-hura. Sebuah kota yang pada akhirnya gagal memenuhi dirinya sebagai kota budaya dan seni. Kota penyembuh jiwa-jiwa sakit yang pada akhirnya ketularan menjadi sakit juga.

Kota yang sakit membuat orang-orang menjadi sakit. Tapi orang-orang yang sakit berkumpul di satu tempat menjadikan kota menjadi sakit dan berpenyakit. Itulah tepatnya Jogja hari ini. Dan aku benar-benar ingin segera keluar darinya dan mencari tempat baru yang cukup bisa membuat bernafas. Aku sudah semakin kesusahan bernafas di Jogja. Aku ingin menuju Bandung dan mungkin, yah mati di sana setelah selesai menulis?

Entah berapa banyak orang bodoh yang menganggap kota itu sebagai rumah dan nyaman di dalamnya tapi tak berkepentingan untuk memperbaikinya. Itu sama dengan eksplotasi sebuah kota demi kesenangan. Mengeksploitasi kota untuk kesenangan itu memang berbahaya. Semua orang beramai-ramai pergi ke kota tertentu. Mencari kesenangan dan kebahagiaan  di dalamnya. Mengurasnya habis-habisan tanpa pernah berpikir bahwa kian hari akan semakin banyak orang yang juga merasa ingin menguras sumber kesenangan itu. Hari demi hari semua orang hanya ingin bersenang-senang menghilangkan lelah, omong kosong hidup, kebosanan, kerja yang bagaikan neraka, dan banyak lainnya, tanpa peduli akan kota itu sendiri. Kesehatan kota diabaikan, selalu diabaikan, diacuhkan, hingga akhirnya terkuras habis isinya, dan sakitlah ia, kota itu. Kota pun sakit parah. Dan anehnya, orang-orang mengelak berkata bahwa kota itu sekarang sudah sakit dan tak mau untuk menyembuhkannya. Orang-orang sakit yang kepeduliannya hanya dirinya sendiri biasanya membuat kota yang awalnya sehat menjadi sakit-sakitan dan akhirnya ambruk. Orang sakit di sebuah kota yang sakit. Kau bisa membayangkan sendiri apa hasilnya. Seperti itulah akhir dari kota-kota di Jawa.

Dan pada akhirnya, orang-orang sakit ini, yang terlalu egois, meninggalkan kota yang dibuatnya sakit dan menuju ke alam yang cukup sehat atau bahkan masih sangat sehat. Berbondong-bondonglah orang-orang kota yang sakit pergi ke berbagai macam tempat wisata alam atau alam liar. Orang-orang kota ini tak berpikir lebih dulu mengubah sudut pandang dunianya, dirinya sendiri dan menyembuhkan kota tempat ia tinggal. Tapi langsung merasa kota yang ia tinggali sudah tak nyaman, dan pergilan mereka semua mencari penyembuhan diri dari kota yang sudah susah untuk bernafas. Padahal, mereka semua sedang melarikan diri dari kota yang telah mereka buat. Melarikan diri. Melupakan masalah. Lalu mengeksploitasi alam untuk bersenang-senang karena kota sudah habis. Menikmati alam bukan mencintainya. Seperti menikmati kota bukan mencintai kota. Dan yakinlah, tak lama lagi semua yang dibanggakan itu; keindahan, rasa sejuk, nyaman, damai, kagum, perasaan mistis dan gaib, berbagai hal yang menyenangkan dari alam sebentar lagi akan tamat.

Bayangkanlah lagi. Orang kota yang sakit dan egois. Meninggalkan kota yang habis ia hisap segala macam kesenangan yang ada di dalamnya. Lalu tanpa mau tahu untuk menyembuhkan dan memulihkan kota itu kembali, meninggalkannya begitu saja guna mencari kesenangan yang lainnya untuk kepuasaan diri sendiri. Tiba-tiba ia pergi ke alam yang tak terlalu banyak manusia, merasa damai di dalamnya. Dan marilah kita berpikir bersama. Sampai kapan alam akan terus seperti itu?

Kemudian hari, orang-orang kota yang mirip seperti dia juga mengikuti jejak langkah dan pemikirannya. Berbondong-bondong ke alam, menghisap habis keindahan, perasaan damai, ketentraman, dan segala yang ada di alam itu. Lalu apa yang akan terjadi ketika ribuan bahkan jutaan orang sakit yang egois dan tak sadar diri pergi ke alam setelah menghancurkan habis kota-kota? Sampai kapan alam liar maupun buatan itu akan bertahan? Omong kosong dan tragedi Everest adalah salah satu cerminan dari polah tingkah kita yang nyaris hampir semuanya hidup di sebuah kota. Tapi siapa yang peduli? Toh, orang lain juga melakukannya. Begitulah kebanyakan pikiran orang-orang.

Jika perilaku kebanyakan kita semacam itu. Maka sakitlah kota maupun alam itu sendiri. Tak akan ada lagi tempat untuk bersenang-senang dan melepas lelah. Pada akhirnya semua dari kita akan gila dan mungkin pecahlah perang baru.

Satu-satunya cara adalah kita sembuhkan kota lebih dulu dan berubah mulai sekarang. Perilaku dan sudut pandang kita akan kota dan segala yang dihasilkannya memengaruhi alam dan tempat-tempat terpencil lainnya. Jika orang kota membutakan diri dan tak mau berubah. Jawabannya sudah jelas. Perasaan frustasi, tertekan, depresi, bunuh diri, amarah yang susah dikendalikan, beban mental dan lainnya yang semakin menumpuk. Dan semakin hancurnya dua lingkungan yang harusnya bisa dicegah dengan otak kita yang terpelajar dan berbau kota yang sarat dengan ilmu pengetahuan.

Yah, berubah itu memang tak gampang. Dan kita semua seolah merasa nyaman dengan penyakit Belanda yang kita miliki. Tanah air subur dan sangat luas, sumber daya melimpah, keindahan yang masih banyak bisa kita temui di mana-mana untuk tujuan wisata dan bersenang-senang. Lalu kita malas untuk berpikir. Kita malas untuk bertindak. Kita masih bisa ke Lombok, beberapa tempat di Bali, Jawa, Raja Ampat, Larantuka, Labuan Bajo, dan sekian banyak lainnya, merasa semua keindahan itu sebentar lagi tak akan hilang dan menjadi tempat yang sesak dan membosankan. Rusak. Jika semua sudah hilang dan tak lagi menyenangkan, kita berbondong-bondong ke luar Indonesia. Membawa pikiran dan sudut pandang konyol kita akan dunia dan menghancurkan tempat-tempat lainnya; mungkin Afrika, Amerika Selatan atau tetannga Asia Tenggara kita? Atau kita bangga bepergian dan memasuki berbagai macam kota di Eropa dan Amerika Serikat. Menikmati keteraturan, kebersihan dan keindahan arsitekturnya sambil mengutuki negara dan kota-kota tempat tinggal kita sendiri. Tak merasa bahwa kitalah yang membuat kacau dan rusak kota-kota yang ada di negara kita sendiri. Uang bisa sedikit membeli kesenangan dan keindahan. Tapi entah sampai kapan.

“Hampir semuanya adalah kota. Kita mungkin terinspirasi oleh alam—berjalan-jalan di hutan, bunyi air terjun-tapi suatu hal tentang nuansa perkotaan sangat kondusif dengan kreativitas. Jika dibutuhkan seisi desa untuk membesarkan seorang anak, seperti pepatah Afrika, dibutuhkan seisi kota untuk membesarkan seorang genius,” kata Eric Weiner dalam The Geography of Genius. Dan seperti itulah memang. Karena kota sakit dan seluruh masyaraknya sakit, seorang pemecah masalah, genius yang akan membuat berbagai terobosan dan penemuan, para pemikir kreatif dan orisinil pun disingkirkan karena tidak kondusif dengan sikap bersenang-senang yang konyol tadi. Masyarakat tidak membutuhkan orang baik dan genius yang memecahkan masalah bangsa tapi masyarakat membutuhkan para koruptor dan oportunis karena nyaris seluruh lapisan masyarakat telah menjadi koruptor dan oportunis.

“Seperti semua budaya, budaya keluarga dapat menumbuhkan kreativitas atau malah menggilasnya,” tandas Eric Weiner sekali lagi. Dan pasti tentunya budaya masyarakat dan negara-bangsa yang ikut membuat segala di sekitarku hari ini menjadi kacau. Dan di masyarakat dan negara semacam itulah sekarang aku berada. Di kota yang babak beluk oleh kepentingan dan keegoisan masing-masing. Dan hidupku jadi bertambah berat dibuatnya. “Ya, hidup memang berat, tapi masalahnya bukan hidup itu sendiri, melainkan tatanan masyarkatnya, “ celetuk Koesalah Soebagyo Toer. Rasa-rasanya aku sudah tak terselamatkan. Atau mungkin aku harus berhenti dan tak lagi menyelesaikan angan-angan absurd ini, Mengembara Di Tanah Asing. Menjual seluruh buku dan apa yang aku miliki dan kabur dari peradaban gila ini. Tapi, apakah itu menyelesaikan masalah? Atau pada akhirnya, hanya kematianlah yang akan mengerti diriku ini?

JOGJA, KOTA YANG HILANG














Bahkan bagi saya yang kurang berpengalaman, Jokyacarta adalah kota yang penting karena masyarakatnya tampak tidak menyadari keberadaan dunia luar. Mereka melakukan segala sesuatu menurut kehendak mereka sendiri ...

Betapa tulus dan pemurahnya pancaran kehidupan yang sebenarnya-rasa kemanusiaan yang umum ada di mana-mana. Seperti hujan, rumput dan matahari. Jika seorang siswa dari negeri yang jauh membaca tentang sejarah Pulau Jawa mulai dari masa Hindu hingga Belanda, ia akan membayangkan bahwa masyarakat Jawa telah kehilangan seluruh semangat dan kebahagiaan mereka setelah 15 abad berada di bawah tekanan kuat para penguasa dan yang tersisa hanyalah masyarakat homogen yang patuh, datar dan muram. Tetapi masih ada kebahagiaan terisa setelah pemerintahan paling kuat berkuasa. Pasar tradisional itu, meski setidaknya sama tuanya dengan kebiasaan sultan untuk memiliki selir, Dan bahkan jauh lebih tua dari penyebaran agama Islam di Jawa, mungkin satu-satunya tanda bahwa pagi hari telah tiba. Kerumunan orang yang sedang bersenang-senang telah lupa bahwa jalan militer di pulau surgawi ini dibangun dari tulang-tulang mereka. Masyarakat ini telah bangkit kembali ...
H.M. Tomlinson, 1923




Saat kau terlanjur mencintai sebuah kota, masyarakatnya, budayanya, dan apa yang ada di dalamnya, kau benar-benar ingin menangis saat kota yang kau cintai itu menjadi tempat di mana neraka manusia pun hadir. Kota yang berubah dengan cepat dan menghapus apapun yang kau cintai. Meluluhlantahkan segala kenangan masa kecil dan apa yang pernah kau miliki.

Di sebuah Jogja, kota yang hilang, Jawa yang perlahan lenyap, ada keinginan menumpahkan air mata sekeras-kerasnya. Saat hatimu sudah terpaut di sini. Di sebuah tanah, embun, sepoai angin dan senja yang turun, dan cakrawala yang masih kau temukan burung-burung yang lewat, mengepakkan sayapnya perlahan dari langit yang bagaikan lukisan yang tak mudah kau lupakan, kau ingin terus di sana dan berharap keindahan itu, surga itu, tak akan lenyap di balik gelombang besar perubahan yang menyeruak layaknya gempa dan luka.

Dan ketika semua berubah menjadi kekacauan yang paling tak masuk akal. Di dalam hatimu yang terdalam kau pun menangis. Menangis dalam kemarahan. Ada torehan luka yang dalam yang tak mungkin dilihat oleh orang biasa. Luka yang lahir dari kota yang terlukai. Dari dunia yang surut, remuk, berserak, dan masa lalu yang tipis menggelayut di tapak kenangan yang pernah kau tandai.

Saat kau terlanjur mencintai sebuah kota, bersama segala isinya yang pernah kau kenal dan agungkan. Sedikit sentakan kegilaan terpelajar bisa membuatmu tersungkur. Hilang arah. Dan saat kau terlanjur mencintai Jawa, kau tersedot ke dalamnya. Dalam kehalusannya. Dalam keindahannya. Dalam kegaiban yang agung dan samar. Dan saat kau bangun pagi hari, di waktu yang berbeda karena usia terus bergerak tak melambat, Jawa yang kau kenal dan cintai pun perlahan lenyap. Rusak. Yang bisa kau lakukan hanyalah menangis. Ya, hanya menangis. Sendirian di suatu tempat. Atau memandangi jalanan yang tak lagi tahu apa yang kini ada di dalamnya.

Di sebuah Jogja, kini aku menangis. Dan marah.



Di masa lalu yang jauh. Aku bagaikan dilahirkan di tanah ini. Dari rahim sorgaloka. Dari sang bayu yang melintas di atas percikan air selatan. Seolah-olah, aku yang sekarang hanya sekedar mengingat keterikatan yang bagaikan ditancapkan sejak masa belum mengenal keterputusan yang terlalu keras dan khianat. Segala sesuatu samar terkenang dalam rasa yang paling dalam yang hanya mampu ditampung oleh setandan hati. Ingatan tak perlu menujum di kedalaman kepala. Tapi ia mengakar di dalam lubuk.

Waktu itu, ketika pertamakali aku merebahkan tubuhku di tanah ini, dengan maksud untuk menjadikannya sebuah rumah. Di sebuah malam permulaan, seorang perempuan muda dengan paras yang sangat cantik datang di dalam mimpiku. Berdiri memandangiku dan seolah tersenyum. Rambutnya panjang terurai. Kembem hijau tersapu emas membuatnya laksana seorang putri atau bahkan ratu. Bahunya yang bening terbuka. Jariknya yang indah bermotof batik kekuningan melayang di udara. Auranya yang tenang dan gaib. Keteduhannya yang tak asing dan seolah ingin bertemu. Segala sesuatunya yang serba Jawa dan keraton, membuatku teringat akan pantai selatan. Mungkinkah ia sang ratu pantai selatan ataukan putrinya yang tercinta? Untuk apa dia datang seolah menyambutku? Lalu tiba-tiba ia pun menghilang. Aku pun terbangun. Keringat berjatuhan dari kulit tipisku. Dalam diam, dan sedikit keterguncangan, aku mengatur nafasku yang kadang tak beraturan. Apakah benar ia sang ratu selatan?

Malam berikutnya, ia datang lagi ke dalam mimpi di kamar kecilku yang pengap. Seolah ingin menegaskan keberadaannya kepadaku. Seolah ingin memastikan bahwa aku tak salah mengenai dirinya. Bagaikan kekasih yang hilang di masa lalu yang jauh, ia menampakkan wujudnya yang lain. Atau ia ingin menegaskan keberadaannya di hadapanku bahwa aku adalah tawanan yang dia inginkan untuk menghuni pantai selatan. Mungkin sebagai bawahannya, prajuritnya atau mungkin budak yang ia perlukan sebagai tumbal? Rambutnya masih terurai indah. Kembem hijau dengan atasan keemasan masih dikenakannya. Kecantikannya membius siapapun yang pernah bertemu dengannya. Walaupun itu hanya di dalam mimpi. Tapi, malam ini, saat udara turun melantunkan dendang kehilangan sang surya, kehangatan yang angslup di bawa oleh angin barat, ia datang padaku, dengan tubuh setengah ular. Melayang-layang dengan pancarannya yang megah dan penuh keanggunan.

Tubuh itu, dari pusar hingga ujung kaki, kini adalah sisik ular yang berkilau, berwarna hijau keemasan dan berlenggak-lenggok di udara kamarku yang dingin. Aku bingung dan bertanya, siapakah dia? Kenapa dia datang lagi kemari? Tidakkah aku baru pertama kali menginjakkan kakiku di tanah ini? Apakah dia menginginkanku? Ataukah ada maksud lain di datang langsung ke hadapanku dengan seterang-terangnya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran di kepalaku saat terbangun dari mimpi dengan tubuh yang gemetar dan basah.

Hari pertama di Jogja, aku disambut oleh makhluk halus penghuni rumah ini. Dan dua hari berturut-turut setelahnya oleh Ratu Selatan, Nyi Roro Kidul atau malah Nyi Blorong? Aku tak tahu. Mungkin aku hanya sekedar kelelahan. Aku hanya sekedar bermimpi. Atau semua itu hanyalah khayalanan aneh yang tak masuk akal dan menjelma dalam mimpi yang sekedar mimpi.

Setelah mimpi-mimpi itu, berbulan-bulan kemudian aku tak pernah mencoba menengok pantai selatan. Ada aura yang aneh, yang seolah mencegahku untuk datang ke sana. Perasaan di mana aku tak diperbolehkan menginjak pasir dan mendengar gemericik air dari pantai selatan yang aku sukai. Di dalam hatiku seolah berbisik, “jangan pergi ke sana untuk saat ini. Kalau tidak, pantai selatan akan mengambilmu.” Padahal sebelum sampai di kota ini, aku begitu rindunya dengan pantai itu.

Apakah perempuan muda bak ratu dan putri raja yang datang di dalam mimpiku lebih pada mengingatkanku agar tidak ke pantai selatan? Ataukah sebaliknya? Hingga saat ini aku masih tak tahu harus berkata apa. Dan aku lebih tak tahu lagi apakah mereka benar atau hanya sekedar mimpi yang terlalu biasa di dalam kehidupanku. Terlalu biasa. Hingga kadang menjadi wajar.

Sejak kecil aku terbiasa dengan mimpi. Entah berapa ratus mimpi atau ribu mimpi yang telah menyertaiku selama ini. Dan mimpi-mimpi itu seolah datang sebagai bentuk percakapan antara dua dunia yang berlainan. Kadang sebagai pesan. Kadang sebagai bentuk perkenalan di suatu tempat yang baru. Seringkali mimpi-mimpi itu membuatku takut. Sejak kecil, aku nyaris tak pernah memiliki mimpi yang bahagia atau baik. Mimpi-mimpi sangat seram bagaikan berada di dalam dunia yang tak aku mengerti. Para setan, jin, dan apapun itu datang dalam mimpiku. Aku yang tersesat berulang-ulang, berbagai jenis kematian, dan masa depan yang entah kenapa aku lihat dalam bentuk simbol-simbol yang harus aku tafsirkan dan renungi. Hingga saat ini, aku masih takut dengan mimpiku yang berbentuk pesan atau kenyataan yang ditutupi oleh orang lain. Ketakutan akan hal itu, membuatku seringkali benar-benar linglung dan cemas. Karena setiap mimpi yang datang, yang berkaitan erat dengan orang yang dekat denganku, seringkali berbentuk kehilangan atau sesuatu yang menusuk diriku. Dalam keadaan semacam itu, kadang aku membenci kemampuanku bermimpi.

Seringkali aku menyamakan pengalaman diriku dengan Carl Gustav Jung. Seorang laki-laki yang hidup dalam mimpi-mimpinya, rasa ingin tahu untuk memecahkan makna dari mimpi yang ia peroleh sekaligus ketakutan akan mimpi-mimpinya sendiri. Seorang ilmuwan, psikiater, yang memberikan ruang bagi alam lain masuk ke dalam dirinya, yang ditolak Freud mentah-mentah sebagai cara untuk melindungi diri sendiri yang terluka. Ketakutan-ketakutan, lintasan-lintasan pikiran, harapan-harapan, kegairahan untuk mencari kebenaran, berbagai macam penelitian dan perasaan aneh yang seolah di luar jangkauan diriku sendiri, samar-samar mengikatkanku pada Jung hingga Nietzsche. Nietzsche dan lainnya telah kalah. Apakah aku yang berikutnya? Ataukah aku harus berbalik dalam dunia Jung yang bermuka dua untuk meredam sisi lain yang tak mudah dihadapi dan dimengerti itu?

Dan di kota ini, aku ditarik terlalu dalam. Sangat dalam. Seperti mimpi yang samar-samar mengambil tempat di dunia nyata. Rasa rindu bercampur diri yang terhimpit, tertekan, dan tengkurap di balik selimut yang sepi.

Jogja seolah-olah hadir bagaikan kilasan di dalam hati. Jogja yang teduh. Nyaman. Dan kau bisa menghibur dirimu dengan wayang, alun gamelan, dan percakapan-percakapan yang penuh dengan tawa dan riang akan keingintahuan. Tapi kilasan-kilasan itu mulai lenyap. Menimbulkan marah. Sakit. Sakit yang tak tertahankan.



Aku tak bisa bercerita dengan lembut seperti Elizabeth D. Inandiak. Aku tak bisa menuliskan kata-kataku dengan halus seperti Babad Ngalor-Ngidul. Aku tak bisa membuat metafora yang bagaikan isi kitab di tengah dunia yang aku lihat, rasa dan masuki adalah kekacuan yang tak mudah untuk dijadikan indah dalam kata-kata, untaian sastra dan puisi. Aku tak bisa berpura-pura bahwa Jogja yang kini ada di dalam diriku telah berubah menjadi rasa frustasi. Kebosanan. Dan darahku pun mendidih layaknya lava memuntahkan perasaan lelah terkhianati.

Jogja yang kini aku hirup adalah kengerian yang berujung pada kegaduhan yang mana menjebak kesekaratan terus berdiam, larut ke dalam jantung dan merasuk menjadi keserakahan. Dalam dunia semacam ini, harusnya para cerdik cendikia bersuara. Tapi masihkan wajah para pandita agung, resi, dan pujangga tersimpan dalam lautan amarah penuh kebencian yang menyelimuti kota ini?

Jawa telah berubah. Begitu juga Jogja. Ada yang hilang dan mungkin tak akan kembali lagi. Ketika aku atau kau melangkahkan kaki di sepanjang jalan, yang kau rasakan bukanlah keteduhan dan keindahan yang luhur. Kau ingin marah ketika jalan penuh sesak dengan berbagai jenis kendaraan bermotor. Mobil. Becak motor. Trans Jogja. Sepeda motor. Dan kebisingan serta asap yang terus menerus tiada henti mengganjal segala perenungan akan yang gaib dan ilahi.

Kedamaian jiwa pun musnah. Yang tertinggal adalah hingar bingar dan rasa sedih yang pahit.

Pohon-pohon yang meneduhkan mereka yang sakit pun kini tak mampu lagi menampung gejala niat dan ingin manusia. Laut pantai selatan tak lagi sesuci dulu. Sampah plastik berserak seakan ingin menandakan kekuasaan manusia zaman baru yang telah tiba. Dan gelegar agung sang Merapi pun hanya igauan yang lenyap dan mudah dilupakan. Kesakralan hutan-hutan yang tersisa tak lagi menarik hati para perindu alam yang paling berani sekalipun. Jogja telah kehilangan dirinya sendiri. Sekarat. Kesakitan. Dan hampir tak seorang pun peduli.

Dan keraton lebih sering diam seribu bahasa dari pada yang seharusnya. Jawa pun lenyap. Tak ternaungi. Tak menaungi.




Sebuah cerita. Ya sebuah cerita. Mungkin aku membutuhkan sebuah cerita yang baru. Sebuah cerita akan awal atau mungkin akhir. Sebuah cerita mengenai kekalahan atau kebangkitan baru. Atau sebuah cerita kepasrahan yang tak lagi mampu menggerakkan jari jemari yang paling lentur sekalipun.

Dan cerita baru, babad baru, babak baru, membutuhkan kesadaran dan hati yang lembut. Seni telah melepaskan selendang kelembutannya dan menjadi jumawa penuh dengan kelupaan diri. Budaya telah lepas mahkota kebesarannya dan kini harus mengemis kepada orang asing. Masyarakat kini penuh dengan rasa takut, iri dan dengki. Dan mereka yang terpelajar, hidup sesuka hati dan melupakan semua hal selain dirinya sendiri.

Kemudian, tak ada yang tersisa dari kota ini selain amarah. Tangis. Kesedihan. Dan kecewa. Dan saat kau tak sengaja menemukan seseorang yang mengaku nyaman hidup di kota ini. Dia adalah penipu. Dia hidup bukan untuk kota ini. Dia sama tak mengenalnya mengenai Jawa seperti diriku ini. Dan dia, adalah pelacur.

Buku-buku bagaikan dilemparkan ke dalam api. Segala gelar diri telah habis dijual. Sikap ramah tamah, penuh dengan keterbukaan dan saling mengasihi, dibuang ke sudut paling gelap yang penuh dengan bau busuk dan hitung menghitung. Saling mengenal adalah mahal dan langka. Dan ketika kau terpaksa bangun di pagi yang buta, kau telah masuk ke dalam sebuah masa lalu yang padam. Jika kau mencintai kota ini. Kau akan menangis. Bersedih hati. Dan layu.

Di sebuah dunia yang hilang. Kau tak akan mudah untuk kembali lagi.

Rabu, 13 Juli 2016

BUKU, KEGILAAN, PERJALANAN, RASA SAKIT DAN BERTAHAN HIDUP















ketika memperdebatkan pilihan yang tersisa,
stressku berubah menjadi pesimis.

...

berulang-ulang kuembuskan napas putus asa,
sekuat tenaga berjuang agar tidak menangis.
sekarang aku sungguh di tepi jurang kejatuhan
mental. 
Aron Ralston
Between a Rock and a Hard Place






kadang, cukup menyenangkan membayangkan menjadi anak tengil bernama Tom Sawyer atau Huckleberry Finn, salah satu teman Sawyer yang tak kalah nakal dan kurang ajarnya. Atau melakukan petualangan gila seperti yang pernah dilakukan oleh Tom Sullivan, dengan dua temannya yang sama-sama buta dalam memoar yang mengharukan, Adventure In Darkness. berpetualang menyusuri dunia yang baru, aneh, penuh tantangan, dan bahkan gila. keluar dari kungkungan lingkungan dan dunia normal yang selalu memaksakan banyak hal. akhir-akhir ini aku membayangkan menjadi mereka. untuk keluar dari rasa sakit yang tak terbayangkan ini. untuk mempertahankan sisi baik yang masih tersisa dalam hidupku. demi masyarakat dan orang-orang yang tak aku kenal agar aku tak menyelesaikan salah satu buku yang paling kelam dan berbahaya. dan seringkali aku ingin menangis, ketika teriakan minta tolongku berulang-ulang tak digubris. kadang aku berpikir, begitu kejamnya manusia. sama ketika Karen Armstrong berteriak dan nyaris diabaikan begitu saja.

dan, sudahlah, aku akhirnya menemukan kalimat yang sangat mewakiliku, yang tak sengaja aku temukan ketika sedang membolak-balikkan Max Havelar dari Multatuli; percayalah kita keliru jika marah besar terhadap seseorang yang jahat karena orang-orang baik di antara kita juga sangat mendekati jahat.

lalu aku berpikir tentang perjalananku. tentang buku-buku. tentang kegilaan dan rasa sakit yang harus aku tekan setiap harinya. semua berkelebat dalam kepalaku dan perasaaku. rasa marah karena diabaikan selama bertahun-tahun, walau aku sudah berteriak sekencang-kencangnya. meminta tolong dan mengemis seperti orang sekarat yang menyedihkan. dan melakukan segala macam cara agar aku tak kalah terhadap keinginan bunuh diri, membunuh orang-orang atau berhenti dan menjadi benar-benar gila.

aku pun harus menjual buku-buku yang kusukai, dengan harga luar biasa murah, yang ingin aku gunakan menuliskan beberapa gagasanku. gagasan-gagasan agar aku menjadi sedikit mampu berjalan dalam masyarakat dan tak terus tenggelam dalam dunia yang semakin jauh. aku semakin terjepit. tak ada harapan lagi. aku berada di ujung kegagalan menyembuhkan diri sendiri. krisis yang akan meledak menjadi teror.

dan semua orang tetap diam. tak membantuku sedikitpun. baiklah. baiklah. aku masih hidup, sedikit hidup mungkin. dan akan aku lakukan usaha terakhirku untuk keluar dari kegelapan yang paling gelap. siapa di negara ini yang pernah mengalami dunia paling mematikan seperti yang aku alami ini? terjebak dalam sangkar berbagai macam hal dan nyaris tak mampu melihat sedikit pun pintu yang terbuka.

akhir-akhir ini aku sudah mempersiapkan diri untuk mempertahankan kehidupanku yang aneh ini. entah demi siapa, kadang aku juga tak tahu. beberapa pilihan yang masih tersisa; menjual tablet, sepeda fixie, motor, menjual habis seluruh isi perpustakaanku, dan menyelesaikan Mengembara Di Tanah Asing yang nantinya akan aku serahkan ke beberapa penerbit. itu plihan terakhirku saat ini. dan kembali berjalan tertatih-tatih memasuki beberapa kota dan berjuang mati-matian untuk menuliskannya.

setidaknya aku sudah berjuang. yah, jika nantinya aku gagal kembali, biarlah. lebih baik mencintai iblis dari pada tuhan yang membisu. dan meminta tolong pada kematian dari pada manusia-manusia yang bengis. 

begitu konyolnya diriku. itulah yang aku pikirkan. membaca buku demi buku. berjalan dari satu tempat ke  tempat lainnya. menjalani hidup dalam kebosanan yang tak bisa lagi dijadikan hiburan. dan siapa yang berpikir kebosanan bisa menghibur, heh?

mencoba bangkit. jatuh lagi. jatuh. terus jatuh. lalu bangkit. berjalan tertatih. sedikit bernafas. semua demi meredakan segala hal yang nyaris mustahil dalam diriku; bipolar. gangguan intelektual. komplikasi penyakit fisik dan psikosomatis. keluarga yang entah akhir-akhir ini. keuangan yang berada di dalam kekacauan. kehidupan yang nyaris tak memiliki ketenangan. mimpi-mimpi buruk yang lebih gila dari kenyataan itu sendiri ketika sedang jatuh tertidur. dan terlalu banyak hal yang bahkan belum sempat untuk dibicarakan sudah akan membuat pusing dan depresi para psikiter dan psikolog yang ada.

aku akan menjual puluhan bukuku demi kembali berjalan. meneruskan menulis dengan sentakan kemuraman dan bertahan terhadapnya. kalau bukan aku sendiri yang mencoba mengurangi tekanan-tekanan mengerikan ini, lalu siapa? tuhankah? malaikat? orang-orang yang menyembah diriNya, yang nyaris hampir tak aku lihat di mana-mana? ataukah, pada mereka yang menyebut dirinya humanis, pembela ham, pembela keadilan, dan bla bla bla lainnya. 

aku akan kembali berjalan bersama buku-buku. pikiran-pikiranku. mengulangi hal yang sama lagi dan lagi. menghabiskan sisa hidupku hanya untuk sekedar aku tak terjatuh dan kepribadianku terambil alih olehnya. dan, entahlah, beberapa bulan terakhir ini, aku cenderung nyaris tak bisa lagi mengontrol segala yang ada di dalam diriku; kepribadian-kepribadian yang saling bertolak belakang. itu artinya buruk. buruk bagiku atau buruk bagi orang-orang? 

walaupun begitu, buku-buku kadang menghiburku. lalu kembali menghajarku dengan keras dan penuh dengan kesedihan.





aku merenung. iya, merenung.
siapa yang peduli dengan kematian Van Gogh? siapa yang mau bersusah-susah memahami derita dan kegilaan Nietzsche? untuk apa sibuk-sibuk dan berkerut menyelami bunuh dirinya Hemingway, Virginia Wolf, bahkan Bruno yang dibakar? orang lebih tenang dan nyaman membaca Plato, Aristoteles, Socrates, Democritus, hingga Dante sampai terkagum-kagum dengan permainan catur Bobby Fischer? tapi siapa yang mau peduli dengan dunia menyakitkan yang mereka alami? John Nash, Stephen Hawking, Karen Armstrong, Einstein dan para pendaki, pencinta lingkungan, para pembela kebenaran, pencinta damai dan banyak lainnya yang mati entah di mana dan tertekan hingga pada titik penghabisan. siapa yang peduli proses dan rasa kesakitan mereka? yah, cacing-cacing dan ikan hiu mungkin peduli terhadap mereka. 

dan tidakkah Mein Kampf yang ditulis Hitler awalnya diolok-olok dan dianggap sinting, gila dan bejat serta nyaris omong kosong dan tak mungkin? dan bahkan apa yang ia tulis diabaikan saja dengan mudahnya. penyesalan memang selalu datang belakangan. begitulah dunia manusia. dunia orang-orang secara keumuman.

seringkali aku mengingat Albert Camus dan masih terkagum-kagum dengan buku Pemberontak miliknya. betapa kasihannya dia. buku luar biasa itu, suatu pencapaian guna mendekati dunia manusia yang lain, nyaris tak terlalu dianggap di sini. atau siapa yang mau merasakan begitu repotnya dunia orang-orang yang hari ini menciptakan ranah yang bernama psikologi itu? demi memahami dan membantu manusia-manusia yang hilang arah, kesakitan, dan mendekati gila serta diacuhkan.

aku hampir mendekati kegilaan sama persis yang pernah dialami Nietzsche. apaklah kelak aku akan menjadi salah satu barisan orang yang pernah mengalami nasib sama seperti yang dialaminya?  setidaknya, hari ini, masih ada buku-buku yang bisa aku jual, untuk membiayai diriku yang sudah sekarat dan sebenarnya mati ini. setelah semua yang aku miliki habis. usailah susah. masa yang baik dan sedikit manusiawi, usailah sudah. 

dan ketika orang-orang masih tak datang menyelamatkanku. itu urusan mereka.

aku merenung. masih merenung. apakah ini akan menjadi usaha terakhirku? mungkin. di dunia di mana filsuf tak diperbolehkan hidup. ini adalah usaha terakhir untuk sedikit tak menjadi filsuf. dan berpura-pura tak sakit lebih menjengkelkan lagi. karena itulah aku tak ingin berpura-pura. sudah cukup aku berpura-pura dan mengalami masa-masa tersuram dalam kehidupanku yang terlalu singkat. 

kehidupan yang singkat ini terbukti bisa sangat menyakitkan jika kita hidup di dunia yang tak tepat. ah, duniaku memang tak tepat. 

aku kembali teringat dengan para petualang, yang mencari arti hidup dan memburu gagasan-gagasan. aku teringat Paul Salopek. aku teringat Eric Weinar. aku teringat perjalanan kocak dan konyol Tom Sawyer, Huckleberry Finn dan Tom Sullivan. aku teringat sejarah menyedihkan orang-orang sebelumku; para ilmuwan, seniman, penyair, sastrawan, pemikir, negarawan, penjelajah, petualang, dramawan, intelektual dan lainya, yang hidupnya habis hanya untuk masyarakat yang terkadang menghina dan menghukum mati mereka. 

dan aku masih ingat buku-bukuku. dan oh iya, aku masih bisa berpikir dan menulis! akan aku terus ingat hal itu. lalu setelah itu, biarlah yang ada adalah kemungkinan-kemungkinan. dan mungkin aku akan menjadi Niccolo Machiavelli yang kedua. tapi siapa yang peduli? 

untuk saat ini aku akan bertahan hidup. untuk yang terakhir. untuk penghabisan.

Sabtu, 09 Juli 2016

MENUJU KOTA HUJAN, BOGOR














.. meski memgalami pertumbuhan pesat dalam aspek ilmu pengetahuan dan penelitian profesional selama satu abad terakhir, hanya ada beberapa pencapaian international dari ilmu pengetahuan Indonesia. Jika melihat wajah ilmu pengetahuan Indonesia dari luar, ilmu pengetahuan alam Indonesia secara umum biasa-biasa aja. Di antara para ilmuwan Asia yang meraih Penghargaan Nobel, tidak ada satu pun ilmuwan Indonesia yang pernah mendapatkannya. Hanya ada satu orang ilmuwan kolonial, ahli kimia berkebangsaan Belanda Chistiaan Eijkman, yang memenangkan penghargaan tersebut pada 1929. Ia mendapatkan penghargaan untuk rangkaian penelitian penyebab beri-beri pada ayam yang dilakukannya di kioloni Belanda pada 1890-an.
-          Andrew Goss
Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan



Bus melaju meninggalkan kota Bandung yang berantakan di pinggirannya. Kota yang disia-siakan dengan sempurna dan dihancurkan oleh keranjingan akan berbelanja, bersenang-senang, membuang sampah seenak dan sebanyak-banyaknya dan sebuah kota yang panas, sesak, tak terlalu mengagumi ilmu pengetahuan dan sebentar lagi akan semakin membuat frustasi.Yah, aku meninggalkan kota itu, menuju Bogor, yang dulu dikenal sebagai Buitenzorg, yang lebih dingin dan mungkin lebih indah. Di dalam angan-anganku, Bogor adalah kota yang indah dengan kebersihan dan ketertiban yang tak akan aku temui di kota-kota lainnya. Selain itu, aku terpikat dengan kisah Kebun Raya Buitenzorg atau yang kini dikenal dengan Kebun Raya Bogor yang ditulis oleh Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan, dan betapa penting dan mengagumkannya Kebun Raya itu di masa keemasannya. Dan sisi lain yang buram adalah ilmu pengetahuan yang tenggelam hingga kini.

Negara yang para pemimpin dan masyarakatnya tidak mengagumi ilmu pengetahuan, cepat atau lambat akan tersingkir dan selalu menjadi yang tertinggal.

Ada aura gelap yang aku bayangkan di bus yang sedang melaju ini. Membayangkan sebuah surga yang disia-siakan sangatlah menyedihkan. Kalau orang tidak sedih mengenai hal semacam itu. Sebaiknya kita antarkan saja orang itu ke psikiater dan psikolog terdekat.

Setelah kulihat-lihat, hanya ada seorang saja yang tengah memegang sebuah buku yang berkaitan dengan bisnis. Seorang perempuan. Dan yang lain, aku tak merasakannya. Pembaca buku adalah hantu yang nyaris tak terlihat kemana pun aku pergi. Dan jika sesekali aku melihatnya, aku nyaris bagai bertemu dengan ketidakmungkinan.

Aku duduk di kursi paling depan, sebelah kiri, kursi kanan dekat jalannya kaki-kaki, di temani seorang perempuan yang juga ingin ke Bogor. Hanya sesekali kami bertukar kata. Mungkin aku sedang tak ingin bicara atau sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku lebih sering memilih diam dan membiarkan mataku berkeliling dan meraba-raba. Dan akhirnya aku terselamatkan dengan colokan listrik yang ada di depan, dekat supir. Dengan begitu, aku akan masih sempat untuk mengambil gambar. Karena semua gaget yang aku bawa memiliki kecepetan baterai yang mudah terkuras. Aku tak punya power bank. Lagian, tasku sudah sangat berat dan melelahkan.

Aku bagikan turis asing di negara sendiri. seorang Jawa yang tak tahu apa itu sebenarnya Jawa. Dan perjalanan ini, membuatku sadar akan betapa butanya aku akan tempat di mana aku dilahirkan. Karena aku buta akan banyak hal, yah, akhirnya aku harus terpaksa membolak-balikkan buku Jawa Tempo Doeloe dan Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan. Demi mencari tahu tentang Bogor, di dalam bus yang sedang melaju pun, aku harus secepat mungkin mencari tahu kota itu. Buku aku bolak-balik. Indeks aku jelajahi hingga membuat kepalaku pusing. Seepat mungkin mencari tahu apa yang harus aku tahu dan inginkan ketika di sana. Begitu juga dengan Jakarta. Aku nyaris tak tahu banyak hal tentang kota itu. Lalu aku membentangkan peta hijau kota Jakarta secara lebar-lebar di dalam bus. Menandai apa saja yang nanti akan inginkan. Dan tentunya, agar orang-orang di dekat, samping dan belakangku tahu bahwa ada seorang yang sedang sibuk dengan buku-bukunya.

Aku harus sering membuat buku-buku berada di kerumunan orang. Sebagai sebentuk kritik dan juga mengajak masyarakat secara tak langsung untuk menghargai buku di tempat-tempat publik atau di tengah-tengah orang banyak. Aku kembali membuka bukuku. membacanya. Dan terkadang memandang jauh dari balik kaca  jalan tol Cipularang.

Sisa-sisa kebakaran di pinggir ruas jalan masih sangat terlihat jelas. Entah itu karena di bakar atau terbakar, aku pun tak tahu. Sisa-sisa hutan yang semakin habis oleh berbagai macam perumahan yang seolah menggantung di antara lembah. Dan kemacetan. Yah, di tol pun ada kemacetan. Itu baru luar biasa.

Entah kenapa aku malah sangat terhibur dengan kemacetan yang terjadi di tol yang sangat memesona. Kemacetan di tanah Jawa memang sangat memesona. Hingga membuat kendaraan nyaris tak bergerak seinci pun. Untungnya sisi jalan ke arah Bandung lah yang dalam keadaan macet. Panjang. Sangat panjang. Begitu panjang. Hingga aku berpikir, mungkin sebaiknya besok para insinyur dan ahli mesin di Indonesia harus menemukan bus yang mampu terbang mirip helikopter atau pesawat terbang. Atau sekalin saja helikopter dan pesawat terbang sebagai angkuan publik yang murah dan handal. Sejujurnya, itu bukan solusi. Mengingat orang Indonesia keranjingan menabrakkan pesawat terbang hampir setiap tahunnya. Dilema masyarakat Jawa dan Indonesia secara keseluruhan mengingat penduduk yang semakin padat dan warga kota yang nyaris belum beradab. Benar-benar dilema antara peningkatan kesejahteraan yang penuh gengsi atau sikap bijaksana yang beradab dan sadar diri. Sayang, yang terakhir hanyalah gurauan dan sekedar hiburan di buku-buku.

Semua orang ingin bahagia. Berwisata dan berpergian tanpa harus berpikir panjang lebar mengenai kemungkinan terburuk dengan gaya hidup umum dewasa ini dan berbesar hati menggunakan transportasi publik. Seperti yang dikatakan Felipe Buistrago Restrepo dan Ivan Duque Marquez dalam Orange Economy, “lagi pula, setiap orang ingin pergi ke surga, tetapi tak seorang pun ingin mati.” Seperti itulah tepatnya yang terjadi di Jawa.
Semua orang ingin berbahagia. Hingga tak ada seorang pun yang pada akhirnya berbahagia.

Dan apa yang dikatakan berulangkali oleh Eric Weiner mengenai kaitan antara geografi dan kebahagiaan, sangatlah teruji di kota-kota yang tersebar di Jawa. Kadang aku iri dengan Eric Weiner yang bisa dengan mudah mengatakan, “pertanyaan besarnya adalah; Apakah yang terjadi pada jiwa seseorang ketika dia memuaskan diri dengan kemewahan pengecut yang berlebihan, vulgar, benar-benar vulgar? Saya tidak mengetahui jawaban pertanyaan tersebut, tetapi saya dan kartu kredit American Ekpress saya memutuskan untuk mencari tahu.” Yah, kenyataannya aku tak memiliki kartu kredit yang bisa mencari tahu akan banyak hal dan apa yang ingin aku cari. Setidaknya, tepat di depan mataku, dan tak perlu menggesek kartu kredit, aku melihat kemewahan yang menjamur di jalan tol ini. Kemewahan yang menimbulkan kemacetan dan asap knalpot yang mengerikan.

Kemewahan yang pengecut dan vulgar. Aku rasa, aku sangat setuju dengan Eric Weinar mengenai hal itu. Terlebih jika menyangkut masyarakat di pulau ini. Di mana hampir semua orang ingin menunjukkan kemewahannya di setiap jalan yang ada sehingga nyaris membuat kemewahan itu tak berguna.

Sampai di tol Cikampek, suasana benar-benar muram. Bus sudah mulai tersendat-sendat. Kendaraan bermesin menumpuk. Dan ruas jalan ke arah sebaliknya terlihat sangat mengerikan. Kemacetan yang menggurita. Benar-benar mirip wabah penyakit yang mengantri untuk melenyapkan nyawa siapa saja yang mungkin lemah dan tak memiliki cadangan nyawa. Baru kali ini aku melihat kemacetan yang begitu parah seperti sekarang ini. Jika tol saja nyaris tak mampu menghentikan pola hidup mereka yang tinggal dan berwisata di Jawa. Bagaimana dengan apa yang ada di dalam kota itu sendiri?

Kemacetan bisa membunuh orang. Menghancurkan badan dan jiwa. Merusak rasa persaudaraan. Menimbulkan perpecahan dan konflik. Menjadikan orang mengalami gangguan jiwa, depresi, frustasi, lelah, dan menimbulkan masalah kesehatan. Kemacetan membuat segala macam jenis harapan hilang, musnah, dan hancur. Membuat transaksi usaha dan bisnis mati total, terbengkalai dan remuk. Sehingga banyak pengusaha yang mungkin memandam perasaan marah terhadap segala jenis kemacetan yang ada. kemacetan juga mempercundangi masyarakat beragama yang ada dan seringkali adalah mayoritas. Menningkatkan rasio kecelakan lebih mudah akibat kehilangan fokus dan kelelahan selama kemacetan terjadi. Angkutan publik antar kota dan provinsi yang semakin tak sabaran karena waktu yang dimilikinya dipangkas oleh macet. Mengejar setoran dan pemasukan di tengah kelelahan, jengkel, dan perasaan marah yang ditahan. Terlebih akan benar-benar menghancurkan tubuh yang mana terpapar penyejuk udara yang efek sampingnya menghancurkan. Terlalu lama di jalanan, berarti harus semakin lama terpapar oleh penyejuk udara di dalam ruangan. Sementara mereka yang tidak menikmati penyejuk udara akan mengalami rasa panas yang luar biasa sehingga bisa membuat tubuh rusak lebih cepat lagi. Dan semua itu berujung pada kelelahan jiwa dan emosi yang tak stabil. Hal semacam ini berarti, Indonesia sedang berada dalam darurat nasional.

Anak yang hari ini masih sangat kecil dan kemungkinan bayi, sudah sangat biasa dan sering terpapar oleh udara panas, penyejuk udara yang merusak, asap knalpot, makanan dan mainan yang berbahan kimia dan beracun, lingkungan yang semakin rusak, dan kemungkinan besar ditambah kemiskinan, atau perceraian, ketidakpedulian dalam keluarga dan kekayaan yang tak mampu mendekatkan suasana hangat antara orang tua dan si anak itu sendiri.

Kita semua adalah generasi yang sakit dan tak tahu harrus bagaimana dalam menjalahi hidup. Dan ketika melihat jalan tol yang semakin suram. Aku tiba-tiba begitu sedih. Rasa ingin tahuku masihlah meluap-luap. Tapi kali ini dimasuki perasaan haru dan cemas.

Melihat Jawa kau akan selalu cemas. Karena jika Jawa rusak. Maka pulau-pulau lainnya akan juga menjadi rusak. Jika masyakat perkotaan di Jawa yang identik dengan peradaban melakukan semua hal yang nyaris tak beradab. Maka pulau-pulau lainnya kemungkinan besar akan mengalami hal yang sama.

Kita harus menyembuhkan kota-kota di Jawa. Begitu juga orang-orangnya.

Perjalanan menuju Bogor benar-benar bisa sangat melelahkan bahkan menyakitkan. Itu baru kata menuju. Belum sampai dan berada di dalam kota Bogor itu sendiri. Mengingat jalanan nyaris tak tersisa sedikit pun, bayangan akan gunung-gunung, seperti yang pernah aku baca dari buku milik Clement Steve, Menyusuri Garis Bumi, nyaris tak berguna. Aku tak lagi peduli, bahkan sejak awal Gunung apa saja yang pernah aku lihat. Dan bahkan, sesungguihnya, semuanya nyaris tak terlihat.

Benar-benar sangat beruntung apa yang dilakukan oleh Charles Walter Kinloch dengan kereta kudanya saat sedang menuju Buitenzorg atau Bogor. Kemewahan yang benar-benar nyaris tak aku alami:

Alangkah indahnya pagi; betapa segar dan bersihhnya udara dan betapa harumnya aroma ratusan bunga liar yang tumbuh semarak di pinggir jalan, mewangikan udara dengan bau yang mengingatkan seseorang akan wangi syringa (sejenis bunga lilac) di kebun Inggris kami. Serta alangkah indahnya pemandangan yang terbentang di depan kami. Di hadapan kami terdapat hutan Megamendon (Megamendung) yang lebat dan sekitar empat jam kemudian akan kami lalui dengan kereta kami. Hutan ini berada pada ketinggian 4.300 kaki di atas permukaan laut.

Sedikit agak ke kanan, dan saat ini sudah tertutup oleh kabut, terdapat Simoet yang megah. Di bagian ujung kiri, dan di puncaknya terkadang terlihat muncul dari balik kumpulan awan putih yang menutupinya, berdirilah Gunung Salok (Salak) yang anggung pada ketinggian 7.000 kaki. Di bawah kami, dan yang saat ini perlahan-lahan mulai menghilang dari pandangan, teradapat sejumlah pemandangan indah perbukitan kecil yang hampir mengelilingi kota Buitenzorg. Dan bermil-mil jauh di sana, terbentang dataran hijau yang berada di antara distrik Buitenzorg dan Batavia.

Sisa-sisa keindahan yang dilihat oleh Charles Walter Kinloch masihlah terlihat di sana-sini. Tapi, jika aku mengamati dari balik bangku bus antar kota ini, sejujurnya keindahannya nyaris benar-benar tak terlihat. Kita semua membatasi cakrawala perjalanan kita di dalam sebuah kotak berbentuk bus, mobil, kereta atau pesawat. Sejujurnya bukan kotak. Hanya saja seperti ungkapan out of the box. Kita berada di dalamnya. Menenggelamkan diri di dalamnya. Dan yang terjadi adalah, kita kehilangan dan melupakan banyak hal; lanskap alam, struktur geografi, macam jenis pepohonan dan tetumbuhan, suasana pedesaan atau kota yang kita lewati, hingga masyarakat sampai apa yang aku sebut kepekaan. Kotak yang selama ini kita bawa-bawa dalam setiap kehidupan dan perjalanan kita telah membatasi diri kita sendiri dalam melihat dan mengalami peristiwa dan segala sesuatunya. Kemajuan teknologi dan alat transportasi telah menjauhkan kita dari alam sekitar dan apa yang seharusnya kita renungkan dan selamatkan.

Dan kali ini, bus kembali tersendat-sendat. Bahkan tidak hanya tersendat. Lebih tepatnya nyaris berhenti. Sedangkan pemandangan di balik kaca sangatlah membosankan. Penambangan tanah. Erosi. Sisa kebakaran. Hutan yang kehilangan dirinya sendiri. Rumah yang bertumpuk-tumpuk memenuhi banyak tempat. Rimbun pepohonan yang tak mungkin karena nyaris tak ada lagi. Burung-burung yang tak terlihat ada di mana-mana. Semakin banyaknya tempat singgah berbentuk Mall atau Swalayan. Dan kemacetan yang berlimpah ruah.

Baiklah, aku mulai sadar diri, aku sedang menuju kota yang dulu bernama Buitenzorg, yang berarti kota tanpa kecemasan dan sebuah kota yang aman lagi tentram. Dan tentunya, lebih dikenal sebagai kota hujan yang memiliki curah hujan yang lebih tinggi dan suhu udara yang lebih dingin. Apakah kota Bogor akan kebal dengan panas yang kini kian mengerikan di Jawa? Yang mana kota Bandung sendiri sekarang sudah tak lagi kenal dengan udara panas menyengat dan terik matahari yang semakin mudah turun ke tanah atau aspal jalanan.

Bus terus melaju. Atau lebih baik aku katakan sebagai merangkak atau sedang memperagakan dongeng kancil dan kura-kura. Dan bus ini, bagaikan kura-kura di dalam kisah dongeng itu. Sungguh pelan. Luar biasa pelan. Sangat pelan. Dan di depanku, di mana kaca depan kepala bus menghamparkan pemandangan yang nyaris serupa. Semua kendaraan tiba-tiba berubah menjadi kura-kura.

Memasuki jalan tol Jagorawi rasanya ingin sekali bunuh diri. Terlebih ketika bus mulai berbelok menuju entah kemana. Aku tak begitu paham. Aku baru pertamakali kemari. Yang jelas, berbelok pun berarti tersendat-sendat dan menunggu berbagai jenis mobil, bus dan truk yang juga sedang berbelok.

Memasuki area kota Bogor, jalanan nyaris berhenti. Benar-benar keadaan yang sangat tolol. Aku pun menjadi muram. Apakah seperti ini kota Bogor?

Hari sabtu adalah hari terberengsek sedunia. Sabtu adalah hari yang sangat menyebalkan untuk melakukan perjalanan. Dan sabtu adalah di mana kota menjadi penuh sesak dengan omong kosong. Lama kelamaan, aku ingin memuseumkan hari sabtu dan memasukkannya ke dalam peti lalu menguburkannya atau membuangnya ke laut. Sabtu adalah hari yang mengerikan. Sabtu adalah hari pembantaian massal kebahagiaan.

Ya, hari ini adalah hari sabtu, 4 September 2015, dan aku sedang memasuki sebuah kota yang dulunya dijadikan tempat peristirahatan berbagai pejabat penting Belanda dan tempat di mana berbagai macam kerajaan Sunda berdiri. Dan tiba-tiba, bus memasuki terminal Bogor, yang entah kenapa, di dalam otakku terbesit sebuah pertanyaan, apakah aku benar-benar sudah berada di Bogor?


Tap tap tap. Aku melangkah turun. Dan di depanku, terpampang terminal yang sungguh mengerikan. Dan, di sinilah aku. Bagaikan dilempar dari imajinasiku sendiri.