... malu
menyadari betapa banyak yang tak aku ketahui, dan bosan dengan sedikit yang
kuketahui.
Eric Weiner
The
Geography of Genius
Barang
siapa pernah dilahirkan, dia sedang menanti jatah dan pelaksanaan hukuman mati?
Pramoedya Ananta Toer
Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu
Apakah
aku sebaiknya menyerah dan melemparkan teks tak selesai ini ke kotoran anjing
terdekat? Untuk apa mempertahankan tulisan bodoh dan konyol ini, yang pada
akhir hanya sekedar membuatku berkata, sialan, luar biasa buruk dan
menggelikan! Rasa-rasanya aku juga sedang mengidap rasa malu akan kebodohan
diriku sendiri seperti yang Eric Weiner rasakan. Dan saat aku mencoba
mempertahanakan kewarasan diriku yang terakhir, dunia yang aku lihat malah tepat
seperti apa yang dikatakan Lap, tokoh dalam novel Kappa yang ditulis oleh Ryunosuke Akutagawa; saya cuma ingin
melihat dunia yang kacau ini dari sudut lain karena dilihat secara biasa sangat
suram. Tetapi dilihat dari arah lain pun agaknya sama saja.
Rasa
optimisku menciut jadi sedemikian ciutnya. Sampai-sampai aku ingin menjual
seluruh perpustakaanku yang tak seberapa, dan berkata, peduli setan dengan ini
semua! Peduli setan dengan manusia, orang-orang dan harapan akan masa depan!
Lalu menggelandang meninggalkan Jogja yang sudah mirip mayat tak bergerak
menuju kota Bandung yang sejujurnya agak mirip mayat yang juga sama-sama tak
bergeraknya. Setidaknya, di Bandung banyak tempat seperti yang dikatakan
Pramoedya Ananta Toer, dalam Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu, “tidak percuma kau memilih menjadi warga Indonesia, tanahnya
luas dan lautnya lebih luas lagi untuk berkubur diri.”
Dan beruntunglah
aku hidup di negara yang mengagumkan ini. Selama ini aku tak pernah tahu,
ternyata Pram bisa juga bercanda yang bagus semacam itu! Dan baiklah, sekarang
apa yang masih tersisa dalam diriku ini?
Harapan
hidupku mendekati nol. Sementara itu kemampuan menyembuhkan diriku mendekati
ujung perbatasan antara gila dan menjadi lebih gila lagi. Dan jika
mengingat-ingat kembali keinginanku untuk melihat Jawa, terasa bagaikan igaun
konyol yang memalukan. Dan ketika sedang membaca Bersama Mas Pram yang ditulis oleh Keosalah Soebagyo Toer dan
Soesilo Toer, aku jadi kian pesimis;
Saya jadi
malu kepada diri sendiri. Pulau Jawa yang panjangnya seribu kilometer saja
belum saya kenal. Saya belum pernah ke mana-mana. Tak tahu kota Solo, Jogja,
Surabaya. Belum tahu Karang Bolong di pantai Samudra Hindia, Terowongan Ijo,
terowongan paling panjang di Jawa, dan pulau Nusakambangan di mana konon tumbuh
bunga Wijayakusuma. Juga belum tahu pantai Pacitan yang konon bergoa-goa. Saya
belum pernah lihat debur ombak Samudra Hindia yang katanya puluhan meter
tingginya. Saya hanya pernah bermain di pantai Rembang yang sangat teduh,
bahkan boleh dikata hanya beriak. Aduh, saya ingin tahu semua itu. Saya ingin menengok
ujung barat di Ujung Kulon sampai semenanjung Blambangan di ujung timur.
Alangkah senangnya kalau saya bisa memandang pulau garam, Pulau Madura, walau
hanya dari jauh, dari pantai Jawa Timur. Biarlah keinginan saya hanya segitu,
dibandingkan dengan keadaan saya sekarang yang hanya nongkrong di Kebon Jahe
Kober yang sempit dan pengap.
Tapi
keinginan ini saya pendam sendiri. diam-diam saya ingin nanti, entah kapan,
keliling Pulau Jawa, naik sepeda, sendiri, dengan cara Sven Hedin, dengan biaya
yang bisa saya peroleh sepanjang jalan, entah bagaimana caranya, sampai kemput
keliling Jawa. Berapa bulan ya dibutuhkan waktu untuk itu?
Saya tak
pernah menyampaikan keinginan ini kepada siapa-siapa, apalagi kepada Mas Pram.
Satu-satunya yang saya ajak bicara adalah Mas Wiek. Dan apa komentar Mas Wiek?
“Kesehatanmu
itu nggak memungkinkan!”
Dan,
herannya, saya setuju dengan pendapatnya itu. Yang betul adalah, nyali saya
yang tak memungkinkan. Hanya bagusnya, kegemaran saya membaca tidak berhenti
karenanya, bahkan semakin meningkat.
Harapan
Koesalah Soebagyo Toer nyaris mirip diriku sendiri. Dan apa saja yang
menghalanginya mirip juga apa yang menghalangiku; minimnya uang, waktu, dan
tubuh yang sakit-sakitan. Dan yang paling membuatku jengkel adalah kenyataan bahwa
tidakkah itu harapan yang hampir seabad yang lalu? Kenyataan itulah yang
membuatku ingin depresi sedepresi-depresinya. Ternyata di abad 21 ini, masih
ada orang Indonesia, terlebih orang Jawa, yang masih belum pernah mengelilingi
Pulau Jawa. Betapa malunya aku. Karena aku salah satu dari orang itu. Abad
ke-21 masih belum pernah mengelilingi Jawa, itu sungguh memalukan. Dan aku
rasa, kelak akan juga ada yang bilang, abad ke-22 masih belum pernah
mengelilingi Jawa, heh? Kamu turis asing ya? Dan bisa jadi abad ke-23, kamu
orang Amerika ya, campuran Jerman, atau seperempat Prancis? Oh, berdarah India,
Arab, Tingkok, atau bukan asli dari sini? Bahkan bisa jadi kelak akan ada yang
bilang, kamu keterunan alien ya, kok wayang, gamelan, bahkan pohon petai dan singkong
pun tak tahu?
Dan yang
lebih memalukan lagi betapa aku sangat tak mengenal tanah Jawa ini! Aku benar-benar bagaikan orang asing di tanah
kelahiran sendiri. Itu tidak hanya menggelikan. Rasa-rasanya ingin segera
menjerumuskan diriku ke jurang atau sumur terdekat.
Setidaknya
Pram juga pernah merasa “terasing di negeri sendiri” seperti yang diungkapkan
oleh Chris GoGwilt, Andre Vltchek, atau bahkan Pram sendiri, dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian! Dan
ketololanku bahkan mirip Minke di Bumi
Manusia; pikiranku sedang dipenuhi hal-hal seram, merampas segala yang
dikatakan nikmat. Bumiku, bumi manusia ini, kehilangan segala kepastiannya.
Semua ilmu dan pengetahuan, yang telah menjadi diriku sendiri, meruap hilang.
Tak ada sesuatu yang bisa diandalkan.
Dan inilah
aku sekarang. Tolol. Tidak bisa diandalkan. Buta terhadap dirinya sendiri.
Merasa tanah kelahirannya bagaikan negeri asing. Orang yang tak becus melakukan
apapun. Dan filsuf amatir yang sedang terjebak dan berenang bahkan hampir
tenggelam di kolam kecilnya sendiri.
Mengelilingi
Jawa itu mudah. Kalau hanya sekedar mengelilingi, aku pasti sudah melakukan
jauh-jauh hari. Yang tak mudah adalah tanggung jawab menuliskan pengalaman
langsung dari apa yang telah aku alami dan lihat sendiri. Ditambah pertanyaan-pertanyan
yang bisa membuatku lebih gila dari biasanya. Apa jadinya negara ini kemudian
hari jika warga kotanya kebanyakan terdiri dari orang-orang macam ini?
Seandainya pecah perang dunia lagi, apakah Jawa, dan Indonesia secara
keseluruhan akan bisa bertahan, atau malah ikut ke dalam perang? Jika kebutuhan
kita akan energi dan bahan makan mendekati habis, dengan masyarakat konsumtif
yang sangat keterlaluan, apakah kelak kita akan menjadi penjajah? Atau malah
dijajah oleh negara lainnya, yang lebih kuat demi sumber daya kita, yaitu tanah
dan jumlah manusianya yang bisa diperbudak? Jika mendadak kita semua kaya dan
berkecukupan, apakah tingkat gangguan jiwa, depresi dan bunuh diri semakin
bertambah banyak dan tak terkendali? Mengingat para psikolog dan psikiter
sangat sedikit, pemerintah yang abai, dan individu masyarakat yang semakin jauh
dan susah bercakap-cakap? Apa jadinya jika semua orang memiliki mobil dan
memenuhi jalanan sementara tanggung jawab sosial dan alam, tanggung jawab akan
keberadaan tanah kelahiran, kota, atau tempatnya berdiam sangat kurang dan
nyaris tak peduli? Jika mendadak krisis ekonomi menghantam Asia atau negara
kita ini, apakah pada akhirnya kita akan saling membunuh dan ingin mendirikan
negara masing-masing? Apakah kelak pada akhirnya orang-orang Tionghoa akan
kembali dibantai karena sikap mereka yang sangat ekslusif, kesombongan luar
biasa akan ras, merasa bukan orang Indonesia dan pencapaian ekonomi mereka? Dan
coba bayangkan seandainya beragam bencana alam terjadi di Indonesia di tengah
pergulataan poiltik dan perang? Dan masih banyak yang lainnya yang bisa aku
pikirkan dan renungkan. Kalau memikirkan semua itu, perjalananku menjadi
konyol. Jelas-jelas aku akan kesusahan untuk merenungkan dan menuliskan semua
itu. Dalam posisi kejiwaanku hancur, sakit-sakitan, dan keuangan yang
mengerikan. Aku benar-benar putus asa. Aku ingin berhenti.
Tapi ..
Yah, dunia
selalu memiliki tapi. Sialnya memang begitu. Masalahnya aku memiliki kesukaan
akan buku-buku dan ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahuku bisa tiba-tiba meledak
dan tentunya menghabiskan anggaran hidupku yang sudah dipangkas dengan
memelihara kejiwaanku, sewa kamar, makan, dan sederet hal lainnya. Kalau
dipikir-pikir, aku orang gila yang sangat keterlaluan gilanya, masih membeli
dan ketagihan melahap berbagai macam buku yang membuatku tertarik, dan tentunya
menambah kadar persen kegilaan dalam diriku. Para penerbit dan penjual buku
memang sangat keterlaluan. Tidak peka dengan kondisi hidupku yang mengenaskan
ini. Saat aku pingin berhenti meneruskan Mengembara
Di Tanah Asing, kenapa malah ada banyak buku menarik dan sangat ingin aku
miliki?
Gramedia
benar-benar membuat aku bangkrut akhir-akhir ini. Sudah berapa ratus ribu atau
juta yang aku belikan buku karena bazar buku yang ada menawarkan beberapa buku
yang menggiurkan? Karena aku orang bodoh, jadilah aku membeli banyak buku selama
berhari-hari. Seperti orang kesetanan yang lupa daratan dan tuhan. Dan untuk
apa setan susah-susah memikirkan tuhan? Yang paling menarik adalah buku-buku
petualangan dan perjalanan. Tak ada buku porno atau panduan tidur menggairahkan
bersama kambing di pameran itu.
Aku
mendapatkan Between a Rock and a Hard
Place karya Aron Ralston. Buku menegangkan yang difilmkan menjadi 127
Hours, yang membuat aku malu akan gariah bertahan hidupnya. Seandainya yang
terjepit itu aku, sumpah, aku akan langsung bunuh diri di tempat. Lagian, siapa
yang juga peduli kalau aku mati? Dan lebih menjengkelkan lagi, siapa yang
peduli aku masih hidup? Ada buku Lost In
The Jungle dari Yossi Ghissberg. Wanderlove
yang ditulis Kirsten Hubbard yang kujual sebelum aku baca. Dan yang paling
membuat aku senang adalah sebuah buku dengan sampul muka yang sangat tak
meyakinkan sama sekali, Bikepacker Nekat
dari Danny Bent. Ternyata buku itu cukup menyenangkan dengan gaya bahasa yang
membuatku kembali ingin meneruskan pengembaraanku. Padahal aku sudah
mendapatkan buku Bersama Mas Pram
dari Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer, Klub Film oleh David Gilmour,
dan banyak lainnya.
Dan ketika
aku bergentayangan di dalam Gramedia, aku tak mampu menahan godaan buku Babad Ngalor Ngidul dari Elizabeth D.
Inandiak. Buku itu membuat aku sedih dan malu sebagai orang Jawa. Kebanyakan
orang asing lebih Jawa dan Indonesia dari pada diriku sendiri. Dan Inandiak
mampu menulis dengan sangat baik! Aku tak mampu menghindarkan diri terayu oleh George
Orwell, Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London. Buku yang
menunjukkan padaku bahwa seorang penulis terkenal pun bisa sangat miskin dan
menderita. Penggambaran dia akan orang miskin dan gelandangan Paris bisa aku
gunakan untuk novelku kemudian hari. Yah, kalau aku masih beruntung, agak
hidup.
Saat
kemarin di Surakarta, 25 juli 2016, aku menyelonong di deretan rak buku Gramedia
Surakarta, tak sengaja menemukan buku yang membuatku hampir melonjak
kegirangan. The Geography of Genius
karya Eric Weiner. Aku benar-benar bahagia. Sontak gairah pengembaraanku,
keinginan untuk meneruskan melihat Jawa dan menggagas istilah Ideapacker
menyala secara tiba-tiba. Aku pun cepat-cepat membaca pendahuluan buku itu,
diiringi gerak menunduk dan mengiyakan penjabarannya mengenai kejeniusan. Buku
yang harus aku miliki dengan segera! Masalahnya, aku tak memiliki uang.
Baiklah, aku terpaksa meneruskan membaca sambil duduk, menelusuri halaman demi
halaman lagi, dan tersedot dalam dunianya. Aku harus beli ini! pikiranku bergejolak.
Uang dari mana? Aku tak peduli jika nanti harus menjual buku-bukuku yang
lainnya. Pokoknya, aku ingin segera memilikinya. Secepatnya. Apakah aku harus
menjual diriku, seperti Faust menjual jiwanya? Yah itu tak mungkin. Lagian, aku
juga sangat jauh dari kata tampan. Malah mulai kegemukan dan tambun.
Entah
mengapa, Gramedia Surakarta selalu mirip kuburan pelosok desa atau bahkan
rasa-rasanya mirip di pegunungan atau di dalam hutan rimba yang jarang ada
orang, terlebih masyarakat terpelajar. Kadang aku bertanya, apakah benar
sekarang aku di Surakarta, Solo? Dan jalanannya lebih mengerikan lagi.
Kemacetan adalah buku bagi kota Surakarta yang sebentar lagi sekarat.
Dan saat
aku memikirkan buku itu malam harinya, esok paginya tiba-tiba ada beberapa buku
yang nongol begitu saja di Instagram milik Kepustakaan Populer Gramedia. Buku
itu milik Fyodor Dostoyeski berjudul Catatan
Dari Bawah Tanah, yang sangat luar biasa aku inginkan sejak lama. Astaga!
Bagaimana ini, bagaimana ini? Apakah aku harus merampok Gramedia demi sebuah
buku? Mendandani diri ala V for Vendeta atau Joker dalam Batman? Masuk ke
Gramedia dengan menggengam sebatang pisang lezat berwarna kuning cerah dan
menganggapnya sebagai senjata dari planet entah apa? Lalu berkata, jangan
bergerak! Serahkan buku-buku kalian!
Itu
jelas-jelas ide bodoh yang akan ditertawakan dari anak kecil sampai orang tua
jompo yang kehilangan gigi-giginya. Dan nyaris jenis perampokan paling tak
keren dan idiot yang pernah ada. Merampok demi buku? Apa? Apa aku tak salah
dengar? Apakah itu kenyataan? Serius? Bolehkan aku menabrakkan diriku ke truk
sekarang juga? Sumpah, apakah itu kenyataan dan benar-benar nyata? Kok ada
perampok bodoh semacam itu ya? Merampok buku? Itu orang bodoh, gila atau memang
sudah tak lagi mengenal dunia nyata? Menurutmu, apa perampok itu terkena
delusi? Atau jangan-jangan tuhan sudah menghampirinya?
Dengan
mudahnya aku menyingkirkan ide tak mungkin itu.
Awal
mula hidupku memang mirip Dokter Victor Frankenstein dalam novel mengagumkan, Frankenstein milik Mary Shelley. Dan
kali ini, perasaanku menirukan kata-kata Frankenstein itu sendiri, “aku sendiri
penuh dengan semangat menyala-nyala. Aku sangat berminat dan haus akan ilmu
pengetahahuan.” Dan perasaan haus akan ilmu pengetahuan jika tidak terjembatani
oleh lingkungan sosial, merasa diri tak ada yang bisa diajak bicara dan
bertukar pikiran secara seimbangnya efeknya bisa mematikan. Mary Shelley
sungguh luar biasa untuk ukuran zaman itu sebagai seorang wanita. Dan yah,
perempuan, karena para feminis mungkin akan berang dengan pemakaian kata itu.
Dengan mulut Frankenstein ia mewakili kegelisahan diriku dan apa yang sering
dialami oleh mereka yang tergoda dengan rayuan ilmu pengetahuan. “sungguh aneh
hakikat ilmu pengetahuan! Sekali masuk ke otak, ilmu pengetahuan akan terus
berpegangan erat-erat seperti kancing-kancingan melekat pada batu.
Kadang-kadang aku ingin sekali membuang semua pikiran dan perasaan. Tapi aku
juga sudah mengetahui hanya ada satu cara untuk mengatasi kepedihan duka, yaitu
kematian.”
Biarlah
jika pada akhirnya mati. Memang itulah satu-satunya cara terakhir untuk keluar
dari sakit yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan. Tapi, tidakkah masih ada cara
yang lain? Meneruskan pengembaraanku dan menuliskannya?
Sejujurnya
aku sudah sangat letih dan muak dengan semua ini. Akan sangat menyenangkan jika
aku bisa melempar semua pikiran dan tulisanku ke jurang paling dalam atau
membakarnya tanpa sisa. Atau menjadikannya api unggun saat kedinginan atau
pura-pura berkemah entah di mana. Aku rasa itu lebih berguna. Bisa mengusir
nyamuk-nyamuk genit dan tak tahu malu.
Dan yang
lebih mudah kalau aku menyerahkan diri ke laut. Dan mungkin akan jadi salah
satu budak Nyi Blorong atau Ratu Pantai Selatan seperti mimpiku beberapa waktu
yang lalu. Jogja memang bisa membuat banyak orang bunuh diri dengan sukses dan
mengagumkan. Bahkan baru beberapa waktu di Jogja saja, ada kabar mengenai
seorang musisi yang menabrakkan dirinya ke kereta api. Jogja memang kota
kematian yang penuh dengan hura-hura. Sebuah kota yang pada akhirnya gagal
memenuhi dirinya sebagai kota budaya dan seni. Kota penyembuh jiwa-jiwa sakit
yang pada akhirnya ketularan menjadi sakit juga.
Kota yang
sakit membuat orang-orang menjadi sakit. Tapi orang-orang yang sakit berkumpul
di satu tempat menjadikan kota menjadi sakit dan berpenyakit. Itulah tepatnya
Jogja hari ini. Dan aku benar-benar ingin segera keluar darinya dan mencari
tempat baru yang cukup bisa membuat bernafas. Aku sudah semakin kesusahan
bernafas di Jogja. Aku ingin menuju Bandung dan mungkin, yah mati di sana
setelah selesai menulis?
Entah
berapa banyak orang bodoh yang menganggap kota itu sebagai rumah dan nyaman di
dalamnya tapi tak berkepentingan untuk memperbaikinya. Itu sama dengan
eksplotasi sebuah kota demi kesenangan. Mengeksploitasi kota untuk kesenangan
itu memang berbahaya. Semua orang beramai-ramai pergi ke kota tertentu. Mencari
kesenangan dan kebahagiaan di dalamnya.
Mengurasnya habis-habisan tanpa pernah berpikir bahwa kian hari akan semakin
banyak orang yang juga merasa ingin menguras sumber kesenangan itu. Hari demi
hari semua orang hanya ingin bersenang-senang menghilangkan lelah, omong kosong
hidup, kebosanan, kerja yang bagaikan neraka, dan banyak lainnya, tanpa peduli
akan kota itu sendiri. Kesehatan kota diabaikan, selalu diabaikan, diacuhkan,
hingga akhirnya terkuras habis isinya, dan sakitlah ia, kota itu. Kota pun
sakit parah. Dan anehnya, orang-orang mengelak berkata bahwa kota itu sekarang
sudah sakit dan tak mau untuk menyembuhkannya. Orang-orang sakit yang
kepeduliannya hanya dirinya sendiri biasanya membuat kota yang awalnya sehat
menjadi sakit-sakitan dan akhirnya ambruk. Orang sakit di sebuah kota yang
sakit. Kau bisa membayangkan sendiri apa hasilnya. Seperti itulah akhir dari
kota-kota di Jawa.
Dan pada
akhirnya, orang-orang sakit ini, yang terlalu egois, meninggalkan kota yang
dibuatnya sakit dan menuju ke alam yang cukup sehat atau bahkan masih sangat
sehat. Berbondong-bondonglah orang-orang kota yang sakit pergi ke berbagai
macam tempat wisata alam atau alam liar. Orang-orang kota ini tak berpikir
lebih dulu mengubah sudut pandang dunianya, dirinya sendiri dan menyembuhkan
kota tempat ia tinggal. Tapi langsung merasa kota yang ia tinggali sudah tak
nyaman, dan pergilan mereka semua mencari penyembuhan diri dari kota yang sudah
susah untuk bernafas. Padahal, mereka semua sedang melarikan diri dari kota
yang telah mereka buat. Melarikan diri. Melupakan masalah. Lalu mengeksploitasi
alam untuk bersenang-senang karena kota sudah habis. Menikmati alam bukan
mencintainya. Seperti menikmati kota bukan mencintai kota. Dan yakinlah, tak
lama lagi semua yang dibanggakan itu; keindahan, rasa sejuk, nyaman, damai,
kagum, perasaan mistis dan gaib, berbagai hal yang menyenangkan dari alam
sebentar lagi akan tamat.
Bayangkanlah
lagi. Orang kota yang sakit dan egois. Meninggalkan kota yang habis ia hisap
segala macam kesenangan yang ada di dalamnya. Lalu tanpa mau tahu untuk
menyembuhkan dan memulihkan kota itu kembali, meninggalkannya begitu saja guna
mencari kesenangan yang lainnya untuk kepuasaan diri sendiri. Tiba-tiba ia
pergi ke alam yang tak terlalu banyak manusia, merasa damai di dalamnya. Dan
marilah kita berpikir bersama. Sampai kapan alam akan terus seperti itu?
Kemudian
hari, orang-orang kota yang mirip seperti dia juga mengikuti jejak langkah dan
pemikirannya. Berbondong-bondong ke alam, menghisap habis keindahan, perasaan
damai, ketentraman, dan segala yang ada di alam itu. Lalu apa yang akan terjadi
ketika ribuan bahkan jutaan orang sakit yang egois dan tak sadar diri pergi ke
alam setelah menghancurkan habis kota-kota? Sampai kapan alam liar maupun
buatan itu akan bertahan? Omong kosong dan tragedi Everest adalah salah satu
cerminan dari polah tingkah kita yang nyaris hampir semuanya hidup di sebuah
kota. Tapi siapa yang peduli? Toh, orang lain juga melakukannya. Begitulah
kebanyakan pikiran orang-orang.
Jika
perilaku kebanyakan kita semacam itu. Maka sakitlah kota maupun alam itu
sendiri. Tak akan ada lagi tempat untuk bersenang-senang dan melepas lelah.
Pada akhirnya semua dari kita akan gila dan mungkin pecahlah perang baru.
Satu-satunya
cara adalah kita sembuhkan kota lebih dulu dan berubah mulai sekarang. Perilaku
dan sudut pandang kita akan kota dan segala yang dihasilkannya memengaruhi alam
dan tempat-tempat terpencil lainnya. Jika orang kota membutakan diri dan tak
mau berubah. Jawabannya sudah jelas. Perasaan frustasi, tertekan, depresi,
bunuh diri, amarah yang susah dikendalikan, beban mental dan lainnya yang
semakin menumpuk. Dan semakin hancurnya dua lingkungan yang harusnya bisa
dicegah dengan otak kita yang terpelajar dan berbau kota yang sarat dengan ilmu
pengetahuan.
Yah,
berubah itu memang tak gampang. Dan kita semua seolah merasa nyaman dengan
penyakit Belanda yang kita miliki. Tanah air subur dan sangat luas, sumber daya
melimpah, keindahan yang masih banyak bisa kita temui di mana-mana untuk tujuan
wisata dan bersenang-senang. Lalu kita malas untuk berpikir. Kita malas untuk
bertindak. Kita masih bisa ke Lombok, beberapa tempat di Bali, Jawa, Raja
Ampat, Larantuka, Labuan Bajo, dan sekian banyak lainnya, merasa semua
keindahan itu sebentar lagi tak akan hilang dan menjadi tempat yang sesak dan
membosankan. Rusak. Jika semua sudah hilang dan tak lagi menyenangkan, kita
berbondong-bondong ke luar Indonesia. Membawa pikiran dan sudut pandang konyol
kita akan dunia dan menghancurkan tempat-tempat lainnya; mungkin Afrika,
Amerika Selatan atau tetannga Asia Tenggara kita? Atau kita bangga bepergian
dan memasuki berbagai macam kota di Eropa dan Amerika Serikat. Menikmati
keteraturan, kebersihan dan keindahan arsitekturnya sambil mengutuki negara dan
kota-kota tempat tinggal kita sendiri. Tak merasa bahwa kitalah yang membuat
kacau dan rusak kota-kota yang ada di negara kita sendiri. Uang bisa sedikit
membeli kesenangan dan keindahan. Tapi entah sampai kapan.
“Hampir
semuanya adalah kota. Kita mungkin terinspirasi oleh alam—berjalan-jalan di
hutan, bunyi air terjun-tapi suatu hal tentang nuansa perkotaan sangat kondusif
dengan kreativitas. Jika dibutuhkan seisi desa untuk membesarkan seorang anak,
seperti pepatah Afrika, dibutuhkan seisi kota untuk membesarkan seorang
genius,” kata Eric Weiner dalam The
Geography of Genius. Dan seperti itulah memang. Karena kota sakit dan
seluruh masyaraknya sakit, seorang pemecah masalah, genius yang akan membuat
berbagai terobosan dan penemuan, para pemikir kreatif dan orisinil pun
disingkirkan karena tidak kondusif dengan sikap bersenang-senang yang konyol
tadi. Masyarakat tidak membutuhkan orang baik dan genius yang memecahkan
masalah bangsa tapi masyarakat membutuhkan para koruptor dan oportunis karena
nyaris seluruh lapisan masyarakat telah menjadi koruptor dan oportunis.
“Seperti
semua budaya, budaya keluarga dapat menumbuhkan kreativitas atau malah
menggilasnya,” tandas Eric Weiner sekali lagi. Dan pasti tentunya budaya
masyarakat dan negara-bangsa yang ikut membuat segala di sekitarku hari ini
menjadi kacau. Dan di masyarakat dan negara semacam itulah sekarang aku berada.
Di kota yang babak beluk oleh kepentingan dan keegoisan masing-masing. Dan
hidupku jadi bertambah berat dibuatnya. “Ya, hidup memang berat, tapi
masalahnya bukan hidup itu sendiri, melainkan tatanan masyarkatnya, “ celetuk
Koesalah Soebagyo Toer. Rasa-rasanya aku sudah tak terselamatkan. Atau mungkin
aku harus berhenti dan tak lagi menyelesaikan angan-angan absurd
ini, Mengembara Di Tanah Asing.
Menjual seluruh buku dan apa yang aku miliki dan kabur dari peradaban gila ini.
Tapi, apakah itu menyelesaikan masalah? Atau pada akhirnya, hanya kematianlah
yang akan mengerti diriku ini?