.. Bandong, dengan karakteristik yang dimilikinya, bisa dianggap sebagai Monpellier (kota pegunungan di Eropa dan Kanada) Jawa.
Charles Walter Kinlock
1852
Udara luar biasa membeku. Waktu menunjukkan raut mukanya yang paling dingin. 03:35 WIB. Seolah aku terlantar menunggu matahari muncul beberapa jam lagi di stasiun kedua terbesar di kota Bandung ini, yang sayangnya tak besar-besar amat. Anggap saja aku sedang menahan dingin, di sebuah pagi yang buta, di stasiun buangan. Stasiun kelas ekonomi dan tentunya untuk orang-orang yang ingin berhemat dan tak terlalu banyak uang atau bagi mahasiswa yang uangnya habis diakhir bulan dan bagi orang yang banyak uang yang terpaksa karena arah menuju Stasiun Bandung sudah penuh. Dan tentunya surganya para backpacker, yang kalau punya uang pun pasti malas dengan gerbong ekonomi. Karena stasiun Bandung kini hanya untuk elite dan mereka yang terbuang dilempar kemari. Makhluk-makhluk berkantong pas-pasan dengan raut muka seadanya. Walaupun begitu, masih banyak wajah-wajah yang menggairahkan yang lewat di depanku. Tidak buruk. Sedikit menghilangkan rasa kantuk.
Tubuhku menggigil. Membeku. Uap udara dingin berhembus keluar dari mulut dan hidungku. Aku bersandar di sebuah kursi menghadap gerbong kereta Kahuripan yang berhenti di atas rel yang berkarat, seperti sedang menceritakan sejarah panjang penjajahan kolonial lewat kereta api. Dan mengingatkanku akan bentuk penjajahan lain beraroma lokal. Kahuripan, kerajaan Airlangga di Jawa bagian Timur? Seolah-olah aku baru saja turun dari invasi besar rakyat Jawa Timur ke negeri Sunda. Nama-nama kereta saja kadang bisa membuat marah orang yang paling sensitif. Apalagi seandainya teringat apa yang dilakukan Mataram? Entahlah, untuk saat ini aku lagi tak ingin berurusan dengan sejarah yang pasti. Kadang, di situasi semacam ini, sejarah membuat aku pusing. Aku pun lebih memilih mencari toilet, melepas kencing, dan membeli energen panas dengan rasa kacang hijau. Untuk menghemat uang, aku mengeluarkan Popmie yang ada di dalam tasku untuk direbus. Aku hanya sekedar membeli air panasnya. Cukup layak. Menghemat beberapa ribu rupiah.
"Pak, tolong direbuskan ini ya pak." Aku mengeluarkan Popmie hijau rasa bakso dari tas berwarna hijau muda milikku.
"Oh ya dek, silahkan," kata bapak penjual toko dengan gaya lembut khas Sunda.
"Berapa semuanya pak? Energen dan air Popmienya?," tanyaku lagi dengan sesekali meminum Energen yang sudah ada di tangan.
"Lima ribu saja dek.’ Dan tentunya diiringi senyum ramah di pagi yang buta ini. Pastinya ramah. Dia berjualan. Sedang aku yang membeli. Tapi ramah di pagi yang menusuk ini seperti mendapatkan mobil Mercedes di dalam mimpi. Sebenarnya sama saja. Andaian yang tak jelas dariku.
Aku pun kembali ke kursi yang tadinya aku duduki. Menikmati Energen dan Popmie panas. Kehangatan mengalir di seluruh tubuhku kecuali di sekitar kaki. Yah, celana pendek memang tak bisa mengusir udara dingin di kota ini. Mengesalkan memang. Atau akunya yang terlalu idiot? Tapi ya sudahlah. Aku pun membuka-buka buku Jendela Bandung karya Herr Sudanda agar tak tersesat. Karena pada dasarnya aku hanyalah orang tolol dan bodoh yang nyaris tak tahu apa-apa tentang berbagai macam sejarah kota. Itulah mengapa, seluruh kota di Jawa adalah asing bagiku. Dan inilah pertamakalinya aku berada di kota ini. Kesan pertama adalah dingin dan dingin.
Karena aku pada dasarnya orang baik dan murah hati. Maka aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku adalah pejalan kaki yang idiot. Ideapacker yang payah. Pengembara yang bodoh. Tapi aku berani bersumpah. Atas nama alang-alang, keledai pincang dan semut sebesar onta dan gajah yang sedang berlindung di bawah ketiak sapi. Aku bersumpah bahwa ada lebih banyak orang yang lebih idiot. Bodoh. Dan tolol daripada aku.
Apa harus perlu bukti? Yah, tanyakan pada guru, dosen, dan teman-teman kalian atau dirimu sendiri. Jika kamu cukup mengenal sejarah kotamu sendiri daripada Tokyo, Singapur, Berlin, New York dan Paris, maka aku akan rela gantung diri sekarang juga. Mungkin hanya beberapa orang yang benar-benar tahu apa yang ada di sekitarnya yang bukan kategori gadget, laptop dan juga mini market, cafe atau Mall. Jawa adalah dunia yang asing bagiku. Lebih asing dari pada diriku sendiri.
Dan omong-omong soal gantung diri, itu hanya bercanda. Efek lapar dan kurang tidur atau sedang merenungi ironi pada diri sendiri.
Orang-orang dahulu, para penjelajah dan petualang dari Eropa, menganggap Jawa adalah pulau yang mengagumkan. Alfred Russel Wallace pernah mengatakan, dalam bukunya Kepulauan Nusantara, bahwa "secara keseluruhan, berdasarkan survei dari segala sudut pandang, Jawa mungkin merupakan pulau tropis terindah dan paling menarik di dunia. Bukan ukurannya yang menarik, meskipun panjang Pulau Jawa lebih dari 600 mil dan lebarnya antara 60 sampai 120 mil. Luas wilayahnya hampir sama dengan Inggris. Pulau ini terkenal paling subur, paling produktif dan paling padat penduduknya di wilayah tropis. Permukaan pulau Jawa dipenuhi gunung dan hutan serta memiliki 38 guung berapi. Beberapa gunung memiliki ketinggian 10.000 atau 12.000 kaki. Sejumlah gunung masih aktif, bahkan satu atau beberapa gunung menunjukkan gejala-gejala kegiatan lava di dalam bumi. namun sungai lava tidak pernah terjadi di Jawa." Seperti itulah pengamatan Wallace mengenai Jawa.
Aku rasa, aku akan meneruskan mengutip kembali buku Kepuluan Nusantara agar lebih jelas lagi:
Kelembaban yang tinggi dan iklim yang panas menyebabkan gunung-gunung diselimuti oleh tumbuh-tumbuhan, yang kadang-kadang hingga puncak gunung. Lereng gunung yang lebih rendah diselimuti hutan dan tanaman. Aneka jenis hewan, terutama burung dan serangga yang indah dan beranekragam, hidup di pulau ini. Sejumlah besar hewan di pulau ini bahkan tidak bisa didapati di tempat lain di muka bumi. Tanah di seluruh pulau sangat subur sehingga tumbuhan daerah tropis dan tetumbuhan daerah sedang, dapat tumbuh dengan mudah
.
Yang jelas, aku sedang hidup dan berjalan di tanah yang dulunya sangat mengagumkan dan diperebutkan di seluruh dunia. Tanpa Jawa dan sebagian Indonesia masa lalu, aku rasa Eropa akan jatuh pada kebangkrutan, perang, kelaparan dan kemiskinan. Beruntunglah Eropa mengenal dan menemukan Jawa!
Hampir senada dengan Wallace, dalam bukunya Flora Pegunungan Jawa, C. G. G. J. van Steenis menulis bahwa "wisatawan yang ingin berkelana di Jawa untuk menikmati bunga-bunga paling indah dan ragam tetumbuhan paling kaya yang disajikan pulau ini, dengan sendirinya akan pergi ke pegunungan. Dan mereka tidak akan pernah kecewa." Dan sayang, akulah yang kecewa. Karena hampir tak ada para pendaki gunung modern berwarga negara Indonesia, yang jumlahnya tak terhingga itu, turun membawa oleh-oleh berupa sebuah buku yang mengagumkan tentang flora dan fauna yang ada di sana. Kadang aku berpikir, sebenarnya mereka itu ke gunung untuk alasan apa ya?
Karena aku tak akan pergi ke gunung, biarlah para pendaki kita yang kelak akan menuliskannya jika mereka masih memiliki rasa malu. Aku hanya akan mengembara dari kota ke kota. Terutama di Jawa ini. Sebuah Jawa yang bahkan James R. Rush pun terpesona dibuatnya. Dan kini, aku sedang terdampar di sini. Di salah satu sisi barat pulau ini. Di sebuah stasiun yang semakin lama semakin sepi dengan udara dingin yang tak juga kunjung pergi.
Aku pun kembali membolak-balikan buku yang ada di tanganku. Penghangat tubuh yang mengalir di darahku pun sudah lama habis. Tak sengaja mataku terpaku pada kalimat-kalimat yang telah aku garis bawahi. Aku mendapatkan kalimat dari Ali Sadikin yang mengatakan bahwa "Bandung, Kota Berengsek". Dan sebuah pembelaan dari Herr Suganda, "Bandung adalah Bandung. Bahkan dibanding Jakarta, sekejam-kejamnya Bandung, kota ini masih lebih manusiawai. Penduduknya masih ramah."
Aku telah melihat penjual yang ramah beberapa waktu yang lalu. Tapi sejauh ini aku masih belum melihat Bandung yang berengsek. Apakah benar Bandung seperti itu? Yah, kakiku saja masih belum kemana-mana. Masih tertahan di stasiun ini.
Sesekali aku menengok kiri dan kananku. Mencoba untuk melihat-lihat apakah ada pembaca buku seperti aku ini yang pagi-pagi buta dengan udara dingin menusuk-nusuk, memegang sebuah buku seperti makhluk asing yang tersesat dan tak tahu jalan untuk pulang. Seringkali aku berpikir, apakah membaca buku di tempat-tempat publik adalah aib bagi kebanyakan orang hingga nyaris aku kesusahan menemukannya? Tak jauh beda dengan stasiun Lempuyangan, Kiara Condong pun menjauh dari dunia buku-buku. Apakah ini pertanda bahwa nantinya aku akan kesusahan mencari pembaca buku di jalanan dan tempat publik di Bandung? Tidakkah stasiun adalah gerbang dan wajah utama sebuah kota? Aku menyimpan pikiranku ini dengan nada skeptis dan pesimis tingkat tinggi. Bandung, kota Eropa, apakah akan lebih mengerikan dari pada Jogja?
Menjelang matahari terbit, aku pun pergi ke toilet yang sangat biasa tapi gratis. Mungkin inilah salah satu kemewahan stasiun dari pada terminal yang hampir segalanya serba bayar. Seandainya kau memiliki kebiasaan kencing terus-menerus, jangan pernah pergi ke terminal kecuali tentara Belanda datang lagi. Untuk sekedar mengisi baterai Handphone pun, kita harus mencarinya dengan susah payah dan itu pun tak gratis. Calo bergentayangan di sana-sini. Banyak pencopet berwajah malaikat berdiri tak terlihat guna memberi berkah peringanan beban bawaan kita. Dan, apakah pernah ada terminal yang layak di kota-kota Indonesia kecuali mirip tempat bertemunya bapak-bapak penjual kambing?
Aku sudah biasa dengan suka duka terminal dan aku tahu bahwa tempat itu adalah tempat yang paling angker untuk para petualang, pengembara, bakcpacker dan orang-orang yang wajahnya jelas-jelas tidak menampilkan keeleganan sama sekali. Terminal bukan tempat ramah untuk manusia yang tak punya banyak uang. Terminal hanyalah tempat orang-orang terpaksa berada di dalamnya karena tak ada pilihan yang lain. Dan kita terpaksa untuk berjalan ke sana. Toilet yang berada di terminal, nyaris di semua kota, adalah tempat penjagalan dompet. Terlebih jika kita adalah pengembara yang hanya mengandalkan belas kasihan.
Setelah itu, aku bertanya kepada salah satu petugas kebersihan apakah aku diperbolehkan untuk merebahkan badan sebentar di mushola kecil dan sempit yang ada di situ? Jawabnya jelas, tidak. Aku kecewa. Tubuhku sangat lelah walau badan cukup segar setelah mandi di tengah udara yang menusuk-nusuk kulit. Akhirnya, aku kembali ke kursi yang tadinya aku tempati. Bermalas-malasan di situ, sambil mengamati orang-orang yang mulai lalu lalang. Dan aku pun memutuskan untuk mengisi baterai tabku yang mulai habis. Hingga akhirnya petugas keamanan menyuruhku keluar meninggalkan peron karena tempat itu harus sudah bebas dari orang-orang. Dengan berat hati aku pun melangkah dan memutuskan menuju Masjid Raya Bandung. Di dalam hati aku masih menggerutu dan berpikir, kenapa sih stasiun sangat pelit untuk menyediakan tempat beristirahat dan seolah tak sadar akan kebutuhan semacam itu?
Melangkahkan kaki. Tap tap tap. Sampai di bawah jembatan pertigaan. Menunggu angkot. Tengok kanan kiri. Menghentikan angkot beberapa kali. Bertanya mengenai Alun-Alun dan lebih tepatnya Masjid Raya Bandung. Lalu naik. Sampai Masjid Raya. Ternyata juga Alun-Alun. Versi backpakcer umum yang kurang imajinasi dan nada sinis. Terlihat jenis backpacker yang tak banyak memakai otaknya.
Dan cerita yang lebih sebenarnya...
Aku melangkahkan kaki dan keluar dari peron. Sampai di halaman parkir yang tak ada sama sekali kesan megahhnya. Lalu bertanya;
"Pak, kalau ingin ke Alun-Alun atau Masjid Raya lewat mana dan naik apa ya pak?," tanyaku pada salah seorang penjaga pos keamanan stasiun dengan nada lembut, penuh hormat dan terkesan santun. Pagi-pagi tersesatkan berbahaya.
"Oh, gini dek, ini jalan, adek luruuuus saja. Lalu nanti ada pertigaan, adek tunggu disitu saja. Nanti ada angkutan kota warna merah yang ke arah Alun-Alun. Adik naik itu saja." Sambil terlihat mengarahkan dan sangat simpatik.
‘Oh, berarti tinggal lurus saja ya pak? Trus nanti naik angkot warna merah? Atau gimana pak?," tanyaku masih kebingungan.
"Gini loh, pokonya nanti adek sampai pertigaan, trus tanya saja ke alun-alun atau Masjid Raya. Mau merah atau warna hijau juga bisa." Sambil tersenyum dengan penuh tekat kesabaran.
"Oh, yaudah, terimakasih banyak ya pak." Aku pun tersenyum sambil mengangguk meminta untuk undur diri.
"Oh ya dek," ikut-ikutan tersenyum juga.
Lalu aku pun berjalan, melewati toko-toko dan perumahan yang bisa dibilang kampung. Dan ketika sampai di pertigaan, hatiku sedih. Inikah Paris Van Java itu? nyaris tak jauh beda dengan sekitar Johar dan Bringharjo.
Di sepanjang trotoar menuju Pasar, terlihat banyak penjual yang sedang menggelar barang dagangannya. Sesekali anak sekolah lewat. Ibu-ibu. Bapak-bapak. Nenek-nenek. Kakek-kakek. Kakek-nenek. Bapak-ibu. Anak kecil. Wanita kecil. Perempuan nyaris kecil. Dan akhirnya, ada agak gendutan lewat juga. Nyaris gendut. Hampir gendut. Dan ada juga yang benar-benar gendut.
Angkutan kota (angkot) pun datang silih berganti. Jelek. Jelek. Nyaris jelek. Hampir terpaksa jelek. Lumayan. Sangat usang. Terkesan tak terawat. Terlihat bagus. Sedikit kelihatan baru. Dan aku pun naik. Tentunya setelah bertanya lebih dulu.
Aku duduk di sebelah supir dan merasakan udara segar di sekitar wajahku. Sedangkan di belakang, terlihat anak-anak sekolah menengah kadang memandangiku heran.
Aku pernah teringat akan perkataan Frank dan Helen Schreider pada tahun 1963 di saat masa pergolakan besar, dan mereka mengatakan bahwa "Bandung, dengan perpaduan arsitektur besi dan betonnya, menurut standar Indonesia adalah kota paling indah." Bahkan Charles Walter Kinlock pun mengatakan nada yang hampir sama ketika tengah melakukan perjalanan mengelilingi Jawa pada tahun 1852 guna memulihkan kesehatannya. Angkot pun melaju di tengah hiruk pikuk pinggiran jalan yang di isi oleh orang-orang yang sedang menuju pasar. Mungkin sebentar lagi aku akan melihat Bandung yang luar biasa.
Beberapa menit kemudian. Tak jauh dari tempatku menunggu angkot. Kurang dari 50 meter. Pasar pun sangat ramai. Kesannya sangat mirip di pasar sekitar Johar, Mranggen, atau Bringharjo. Pasar tradisional dimana-mana pun hampir sama saja pikirku. Hampir dikuasai oleh ibu-ibu nyaris di semua bidang. Entah sejak kapan, roda ekonomi tradisional, selalu ibu-ibu yang menjadi kunci utama sebagai penggerak, pelaku dan sosok-sosok yang sangat cekatan dan inspiratif. Bapak-bapak atau kaum laki-laki, biasanya hanya sebagai buruh panggul, pengantar barang, atau tukang daging dan jagal. Sesekali penjual sayur mayur, rempah-rempah dan kebutuhan pokok lainnya. Dalam suasana desa atau perkampungan, kaum laki-laki nyaris tersingkirkan dan tak terlalu dominan dan penting. Banyak dari mereka ongkang-ongkang kaki sementara istrinya sibuk mencari uang bahkan harus ke luar negeri. Begitulah sisi lain Indonesia. Dan apakah Bandung juga seperti itu? Aku tak tahu. Biarkan para sosiolog yang menanganinya. Seandainya para sosiolog negara ini pun terkesan malas, biarlah orang asing yang mengurusinya. Beres. Tak perlu ribet. Tak usah banyak berpikir. Semua urusan selesai.
Dan, angkutan kota pun terdiam. Merenungi diri. Terkesan sedang berpikir. Mungkin berfilsafat. Dan, ah macet.
Sesekali aku mengambil gambar. Menikmati suasana dan polah tingkah warga Bandung, masyarakat Sunda yang sedang sibuk di pasar. Lima menit pun berlalu. Angkot tersendat-sendat maju ke depan. Tujuh menit kemudian. Sepuluh menit kemudian. Lima belas menit kemudian. Aku pun hilang kesabaran. Baru saja sampai di Bandung dan mengkhayalkan para petualang masa lalu yang berkesempatan datang kemari, di depanku, segala jenis angkutan dan kendaraan nyaris tak bergerak. Dan entah kenapa, orang-orang di pasar lewat dengan seenaknya sendiri. Seolah-olah, berbagai macam jenis kendaraan bermesin yang diam tak bergerak dan semakin memanjang pun tak begitu penting. Dan, dua puluh menit pun berlalu. Baiklah, Paris van Java! Paris van Java!
Hampir setengah jam angkot yang aku naiki nyaris tak bergerak kemana-mana. Sungguh mengagumkan memang. Aku pun menggerutu tak karuan di dalam hati. Sebenarnya ini kota atau kampung besar berwajahkan kota?
Ketika mampu keluar dari kemegahan macet di pagi hari, angkot yang aku naiki pun bergerak dengan cepat lalu menikung untuk berbelok ke lajur yang lain. Semua kendaraan lainnya pun berhenti. Menahan nafas. Sebagian lainnya kelihatan saling ingin mendahului seolah-olah tak sabar ingin segera menyelinap di celah angkot ini. Wajah-wajah tak sabaran pun sudah bermunculan di pagi hari dengan cara berkendara yang semrawut dan tak beraturan. Dari mulai anak sekolahan, pekerja kantoran, yang miskin dan kaya. Mobil, motor, truk dan angkutan kota, tak jauh beda. Rasa-rasanya keadaan macam ini aku pernah mengalaminya? Ah iya, hampir semua kota juga melakukannya. Aku juga pernah dan bahkan sering melakukannya.
Di dunia yang tak sabaran ini, ketika orang-orang lebih suka terburu-buru dari pada bersopan santun, apa yang terjadi jika mendadak semua orang yang berebut tempat tanpa mengindahkan kiri dan kanan itu menjadi kaya raya? Aku rasa itu akan jadi horor besar di negara ini.
Kemakmuran tak membuat otak kita maju dan hati kita bijaksana. Itulah sebabnya masalah di negara ini tak akan pernah tuntas. Dan apakah kemakmuran membuat orang-orang berbahagia? Sialnya, banyak temanku sendiri yang terlihat sinting, gila, depresi, dan tak lagi perduli dengan aturan dan tabu. Diriku sendiri pun mengidap bipolar. Apa boleh buat memang.
Angkot yang aku naiki melewati jalan yang diapit oleh bangunan-bangunan kusam. Kumuh. Trotoar yang rusak. Bangunan bobrok. Sampah kadang terlihat di sana-sini. Selokan yang pengerjaannya tak selesai. Dan lampu merah yang tak berfungsi dan membuat semua kendaraan bermesin berhenti di tengah-tengah jalan karena semua orang ingin lebih dulu dan lekas sampai. Dan di sepanjang jalan Gatot Subroto sampai jalan Dewi Kartika, tak ada bangunan yang terlihat rapi dan elegan. Bahkan jembatan penyebrangan pun terlihat berkarat. Hanya ada beberapa kesan modern dari The Grand Ballroom atau Trans Studio. Untungnya angkot yang aku naiki memiliki supir yang ramah dan mudah diajak bicara.
"Adek dari mana? Jawa yak?"
"Jogja pak. Bantul tepatnya. Wah, jalanan Bandung ternyata sempit dan macet ya pak. Lebih mengerikan daripada Jogja," timpalku sambil mengeluhkan wajah kota yang baru aku masuki ini.
"Oh, waah saya juga pernah di Jogja dek. Saya asli Magelang. Ndak nyangka ini ternyata kita satu daerah, dan ya kaya gitulah dek, tiap pagi, jam kerja siang, dan nanti kalau menjelang sore, waah, macetnya ndak karuan itu. Apalagi kalau malam minggu." Sesekali penumpang dari kursi belakang juga menimpali. Dan bapak sopir terkadang terlihat cengar-cengir dalam percakapan mereka.
"Saya baru beberapa lama di sini, enam bulan lebihlah, tapi ya masih ndak bisa bahasa Sunda. Susah. Ya wes, mau gimana lagi. Jalan saja kadang belum hapal benar ini. Tapi gadis sunda di sini memang cantik-cantik hehe.. Walau gitu, banyak yang ndak bener. Jadi hati-hati." Saran pak sopir dengan nada menceramahi tapi dengan raut muka jenaka. Dan tak lama kemudian, angkot yang aku naiki pun telah sampai di Masjid Raya.
"Berapa pak?," tanyaku.
"Sebenernya kalau ndak pagi-pagi dan baru keluar, saya ndak mau narik adik. Kan sama-sama satu daerah. Tapi ini baru ngangkut yang pertama soalnya. Lima ribu saja dek."
"Tak perlu sungkan pak. Bapak kan sopir dan saya yang berkewajiban bayar. Terimakasih ya pak." Jawabku dengan bibir tersenyum.
"Hati-hati ya dek."
"Oh ya pak, terimakasih sekali lagi."
Dan angkot itu pun segera berlalu di tengah-tengah berbagai macam kendaraan lainnya yang terkesan berlebihan di kota ini.
Di mataku, untuk pertamakalinya, Masjid Raya terkesan megah, elegan, dan trotoarnya sangat rimbun. Kursi-kursi berderet di sepanjang trotoar masjid dan diisi oleh sebagian besar orang. Otakku pun langsung berfungsi. Siapa tahu ada beberapa pembaca di sini. Tak pernah kulihat masjid yang seramai ini kecuali Masjid Baiturrahman di Simpang Lima Semarang. Dan ternyata sejak dahulu kala, di masa Hindia Belanda, keramaian itu sudah sangat wajar karena halaman lebar yang ada di depan masjid yang aku kira hanya bagian serambi atau taman masjid, ternyata adalah Alun-alun. Kesadaran itu muncul ketika aku membaca Kota di Djawa Tempo Doeloe karya Oliver Johannes Raap. Padahal aku sudah membaca buku Herr Suganda dan mencari infromasi lainnya. Aku telah membayangkan bahwa Alun-Alun berada di dekat masjid tapi agak menjauh. Sebelum kesadaran itu muncul, aku berjalan di tengah rimbunnya pohon-pohon dan ingin menyaksikan geliat kota Bandung di pagi hari.
Alun-alun Bandung dulu terkenal dengan Waringin atau pohon Beringinnya yang terletak di tengah-tengah alun-alun. Sementara jenis pohon lainnya adalah semak dan perdu. Sementara itu, karena kelelahan aku nyaris tak memperhatikan berbagai macam pohon yang ada. Yang sempat aku lihat hanyalah pohon ketapang dan kemungkinan besar tanjung atau angsana. Di sepanjang deretan kursi, tak aku temukan seorang pun yang membaca buku kecuali sesosok bapak-bapak tua yang sedang tenggelam dalam korannya. Ada apalagi ini, pikirku. Apakah koran itu bacaannya orang yang hampir pasti sedang menunggu mati ya? Apakah para remaja dan muda-mudi negara ini kerjaannya hanya menunduk menyembahi Tuhan gadget?
Sesekali aku lihat pesepeda lewat. Itu cukup menghibur walau tak terlalu banyak. Bahkan ketika masih di angkot, aku mendapatkan beberapa pesepeda yang sedang mengayuh di tengah belantara roda bermesin. Itu sudah membuat hatiku sangat senang dan melonjak gembira. Karena sepeda sama langkanya dengan buku.
Perutku mulai lapar. Dan aku pun terus berjalan ke ujung timur Masjid Raya. Di sana-sini tak terlihat tempat atau warung makan. Hingga pada akhirnya, di seberang jalan, di pojok tenggara lapangan Masjid Raya, ada warung yang terlihat dan dari kesan yang aku lihat, pasti warung Tegal atau lebih dikenal dengan Warteg. Aku kadang memelesetkannya menjadi warung tokek. Walau itu hanya sekedar untuk bercanda.
Aku segera menyeberangi jalan dengan penuh perjuangan dan harga diri. Seolah-olah menyeberang jalan raya adalah pertaruhan hidup dan mati. Melebihi peperangan terbesar di masa lampau. Aku bahkan pernah membayangkan bahwa menyeberangi jalan raya di beberapa kota di Jawa adalah pengalaman yang setara dengan perjuangan hidup matinya Diponegoro dalam memerangi Keraton Jogja dan Belanda. Atau setara dengan apa yang dilakukan oleh Cut Nyak Dhien di Aceh. Jadi ketika aku kadang tak sengaja melihat bule menyeberangi jalanan di Jogja, aku seolah-olah sedang melihat seseorang yang tengah menuju medan tempur di Irak dan Suriah atau bahkan Vietnam. Jalanan di berbagai kota besar di Indonesia sepertinya lebih mengerikan dari pada Al Qaeda atau bahkan lebih kejam dari pada ISIS.
Aku pun memesan nasi dan air putih dengan sayur dan lauk pauk yang menggunung. Dan hanya membayar kurang dari 10 ribu rupiah. Jadi rasa-rasanya, aku akan sering datang kemari untuk menghemat uang jika kelak tak sengaja kembali ke kota ini. Warung Tegal adalah surga bagi orang-orang bermuka pas-pasan seperti diriku ini. Dan orang-orang Tegal, disamping orang Padang dengan nasinya atau angkringan yang khas Jawa Tengah, layak dijadikan pahlawan karena telah menemukan dan mengembangkan warung makan yang murah meriah tapi tetap ada cita rasa di dalamnya. Walau tak selalu bercita rasa dan bahkan banyak yang pelit dengan bumbunya. Walaupun begitu, seharusnya itu hampir setara dengan apa yang dilakukan Muhammad Yunus dengan Garmen Banknya atau Moh Hatta dengan koperasinya.
Perut kenyang tapi tubuh sangat lelah, aku pun bersandar di salah satu deretan kursi berwarna merah di sepanjang area timur lapangan Masjid. Warna merah kursi dengan bentuknya yang melengkung, sangat terkesan elegan bagiku. Di depan mataku, keramaian terasa bagaikan ruang rekreasi atau hari minggu. Baru kali ini aku melihat hari yang bukan minggu, pagi bisa seramai ini. Dari mulai orang jompo, bapak paruh baya, nenek-nenek, anak-anak yang berlarian dan menukik sekehendak hati mereka, bahkan yang sangat seksi dan terkesan berjilbab, semuanya ada. Suasanya sangat hidup. Masjid Raya Bandung menjadi latar untuk berfoto ria, bermain, atau sekedar merenungi diri, melepas lelah, dan membaca seperti yang sedang aku lakukan.
Aku turunkan tasku dari punggung. Lalu aku ambil buku Jawa Tempo Doeloe dari James R. Rush dan Jendela Bandung milik Herr Suganda. Aku sebar buku-buku itu diatas kursi ditambah dengan peta kota Bandung dan buku catatan harianku. Beberapa kali mengambil gambar. Dan akhirnya kembali memandangi Masjid Raya dengan polah tingkahnya. Sesekali mencatat. Membuka-buka buku. Dan pikiranku pun bergejolak, siapa tahu aku akan menemukan pembaca buku di sekitar sini? Siapa tahu. Tapi sekali lagi, pikiranku lebih dulu sangat pesimis.
Aku pun berjalan ke arah utara. Deretan kursi-kursi yang dipenuhi oleh orang-orang. Beberapa langkah, aku tak melihat apa-apa kecuali orang-orang yang sibuk bengong memikirkan kekasih yang mungkin hilang atau anak muda yang masih saja sibuk dengan Tuhan gadgetnya. Beberapa langkah kemudian, aku melihat dua orang tua, nyaris mau mati, menundukkan kepalanya, membaca koran pagi. Yah, koran memang bukan makanan sehari-hari anak muda yang sehat, segar, dan otaknya masih jalan dengan baik. Aku rasa, besok koran-koran di seluruh Indonesia lebih baik hanya dikhususkan untuk para jompo, warung makan, tukang tambal ban, abang becak, sopir bus dan truk, dan penjual koran itu sendiri yang sering terlihat di pinggiran jalan. Anak muda membaca koran galau di beranda facebooknya masing-masing. Apakah dalam bukunya Grown Up Digital, Don Tapscoot pernah memikirkan jenis pembaca di Indonesia yang lebih suka membaca berita patah hati, diskon akhir tahun, dan apa-apa saja yang bisa dibeli online? Koran online hanya sesekali mampir kalau itu pun tak sengaja dan kalau sedang tak sadarkan diri. Hanya beberapa persen pembaca Indonesia yang serius membaca koran atau situs penting secara online? Aku tak tahu. Aku hanya merasakannya, dengan penuh ketulusan dan lembah lembut, bahwa itu tak banyak.
Pada tahun 2015, Anis Baswedan, selaku menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengutip data UNESCO, mengatakan bahwa budaya membaca di Indonesia hanya sekedar 0,01 persen. Apakah kalian bisa merasakannya? 0,01 persen? Jika angka satu dibelakang angka 0 digeser sedikit lebih kebelakang, itu mirip dengan nyaris tidak ada. Sungguh memesona. Luar biasa. mengagumkan. Dan yah, sejujurnya biasa saja. Aku pun nyaris tak kaget akan hal itu bahkan sampai satu abad yang akan datang. Tapi yang membuat aku heran adalah ini; di masa setelah reformasi, dengan ekenomi yang nyaris stabil dan malah berkembang, masyarakat Indonesia adalah salah satu masyarakat yang paling merelakan diri untuk dijajah, dieksploitasi, ditundukkan, dan diteliti oleh orang lain. Dan ironisnya, dalam bukunya yang berjudul Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan, Andrew Gross menganggap para intelektual Indonesia nyaris tak begitu penting. Bahkan dalam bukunya Asia Hemisfer Baru Dunia, Kishore Mahbubani, jelas-jelas menganggap Indonesia secara intelektual, sains, dan lainnya tak penting untuk ditulis dan dimasukkan dalam ruang berpikir dia tentang Asia yang sedang berkembang dan maju. Tak ada satu pun pemikir, ilmuwan atau tokoh pemikir Indonesia yang ia masukkan dalam bukunya itu. Apakah itu sebentuk penghinaan ataukah memang kenyataan?
Dan yang paling mencengangkan adalah perkataan-perkataan yang menganggap Belanda lebih baik dari pada Jepang yang nyaris tak membangun apa-apa. Perkataan semacam itu nyaris membuatku terjungkal ke neraka. Baiklah. Baiklah. Apa kita suruh saja Jepang menjajah kita lagi selama paling tidak satu abad? Lebih sedikit dari apa yang pernah dilakukan Belanda. Mungkin akan lebih banyak yang bisa diperbuat Jepang. Kadang aku ingin membalas dengan kalimat semacam itu. Kata-kata aneh yang dilontarkan dan sering muncul dikalangan pakar yang kepakarannya luar biasa meragukan. Tidakkah selama lebih dari setengah abad merdeka, hanya sekedar membaca, masyarakat kita pun sangat malas dan lebih memilih orang lain yang menyuapi buku untuk kita? Peraih Nobel, The New York Times Bestseller, Man Book Prize, Pulitzer, dan segala macam jenisnya; dari yang berkualitas tinggi sampai buku yang bisa kita lapkan di pantat kita masing-masing.
Aku berkeliling sebentar. Tak menemukan satu pembaca pun di sekitar lapangan masjid. Aku bertanya arah menuju Braga dan Asia-Afrika kepada salah watu warga. Ternyata tepat di depan mataku. Aku pun berjalan. Berhati-hati menyeberang. Berdiri di dekat Tugu Bola Dunia. Tertarik dengan nama-nama negara yang tertera. Saat aku berjalan makin ke ujung utara, ada beberapa nama negara yang hilang. Bahkan monumennya pun terlihat retak dan rusak di sisi sudut bawah. Nama-nama yang hilang sebanyak 29 nama negara. Orang Bandung dan wisatawannya ternyata luar biasa. Menghapus tanpa sengaja dan mencuri nama 29 negara dengan mudahnya. Bahkan mungkin nyaris tanpa penyesalan. Aku rasa itu pencapaian yang tak akan mudah ditandingi oleh negara Barat dan bahkan Amerika sekalipun! Aku geleng-geleng kepala dengan perasaan takjub, kagum, atau keheranan.
Aku pun berjalan kembali. Memasuki semacam terowongan pendek dan seketika mataku terpaku karena tulisan yang ada di dindingnya; Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi. Dari bawah tulisan itu terdapat nama Pidi Baiq. Penulis novel remaja Dilan? Apakah tak ada nama yang lainnya? Tokoh yang lebih berjasa besar terhadap Bandung? Bukan aku hendak meremehkan Pidi Baiq yang aforisma-aforisma-aforismanya kadang cukup menggigit. Tapi, apakah hanya sejauh itu kemampuan pemerintah kota Bandung berpikir? Dalam memilih sosok tokoh saja sudah sangat meragukan. Pidi Baiq? Dilan? Astaga Naga! Dan lalu, di seberang satunya, aku melihat kata-kata yang pada awalnya terkesan sangat memikat; Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum. Tak perlu waktu lama, aku langsung berpikir, betapa bodohnya pemerintah Bandung ini. Tidakkah Bandung lahir ketika Prancis sedang tersenyum? Dibawah Louis, dibawah Napoleon, dan tidakkah dibuat oleh Daendels?
Dan ironisnya, kata-kata dari Psikolog fenomenolog, M.A.W. Brower yang ditolak menjadi warga negara itu adalah Pasundan. Apakah pemerintah Bandung berencana memisahkan diri dari Indonesia? Mendirikan negara Pasundan seperti ketika masa Van Mook atau mendukung cita-cita Kartalegawa yang ingin mendirikan negara Pasundan dan memisahkan diri dari Republik Indonesia? Ataukah mengikuti presiden negara Pasundan pertama, Wiranatakusumah yang lebih pro republik? Tapi tidakkah negara Pasundan bubar ketika tahun 1950? Kenapa harus kata Pasundan bukan Priangan yang lebih memiliki akar yang terasa lebih dalam? Ataukah karena Priangan hanya mewakili beberapa wilayah saja? Ataukah kata Pasundan lebih dekat dengan Paguyuban Pasundan? Mungkin malah Kerajaan Sunda pada abad ke-7? Atau mungkin masyarakat dan budaya Sunda secara umum? Sebenarnya, kata Pasundan dalam kalimat Brower pada dinding terowongan jalan raya Asia-Afrika itu lebih merujuk kemana? Sampai di sini otakku buntu. Sebagai orang yang bukan sejarawan, harusnya pihak pemerintak kota Bandung atau malah Jawa Barat, bisa memberikan refrensi dan memperjelasnya entah lewat situs atau website yang dimilikinya. Aku rasa, masyarakat Sunda pun tak begitu perduli dengan masalah asal mula kata itu.
Aku pun bingung dibuatnya. Memasuki kota ini saja sudah terkesan berantakan. Melihat kalimat di dinding jalan ini lebih membuat aku pusing. Yang satu Pidi Baiq yang kontribusinya masih tak jelas. Satunya lagi, orang Belanda yang menggunakan kata Pasundan dari pada Bandung atau Sunda. Mengingat aku sedang berjalan di kota Bandung, apa tak ada tokoh besar lainnya, yang asli Indonesia, yang menggunakan kata Bandung yang bisa mewakili kota ini? Kota ini sudah tidak jelas memang sejak awal. Menatap kalimat-kalimat di depanku saja nampak terlihat siapa yang mengusulkan dan membuatny pasti orang-orang linglung yang lagi entah melakukan apa.
Setelah tersadar dari perenungan, aku pun memasuki jalan yang berderat bangunan-bangunan kolonial. Jalan yang dulu bernama Grote Posweg, yang kini menjadi jalan Asia-Afrika oleh Soekarno karena alasan persiapan Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955. Akhirnya aku pun tersadar. Oh ya Tuhan, aku sedang berada di Kota bekas! Kota second. Kota hasil dari kerjaan orang lain yang terpaksa ditinggalkan. Dan parahnya, jika masyarakat Sunda, yang sejujurya lebih berada di wilayah bagian selatan, bukan sekitar jalan Asia-Afrika hingga Dago, merasa bangga dengan kota hasil olah tangan dan buah pikir para arsitek dan pemangku kebijakan Hindia Belanda yang ingin memindahkan pusat pemerintahannya ke tanah ini. Dan anehnya, aku seolah sedang menengok kota peninggalan Belanda bukan kota yang dibuat oleh orang-orang asli Bandung atau Sunda. Ah, sial, ternyata aku sedang berdiri di kota bekas. Kota yang dibangun karena paksaan Daendels. Seandainya tak ada Belanda atau tangan panjang Prancis, mungkin tak ada yang bisa bakal dijadikan tempat wisata di kota ini. Sungguh kabar yang memang mengerikan.
Aku kembali melangkahkan kakiku. Tap tap tap. Memasuki kota yang awal mulanya dibangun Daendeles dan kemudian dirancang kembali oleh Thomas Karsten demi kepentingan orang Eropa. Jadi aku sedang memasuki kawasan yang dulunya bebas Pribumi. Melewati satu persatu bangunan yang berdiri tegak sebagai penghinaan besar ketidakmampuan orang Indonesia membangun suatu gedung yang sangat berkelas, tertata dan rapi. Tap tap tap aku pun sampai di jembatan yang aliran sungainya, ah, berisi sampah-sampah mengagumkan. Sungai Cikapundung membelah Asia dan Afrika hingga akhirnya aku sampai di gedung merdeka yang asal mulanya adalah Societet Concordia. Semua nama kolonial nyaris diganti total oleh Soekarno. Tapi sayangnya, Seokarno tidak mengganti gedungnya. Namanya berganti, fisik gedungnya tetap sama. Inikan namanya ketidakmampuan yang disembunyikan?
Aku pun beristirahat sejenak di deratan kursi-kursi kosong. Membaca Jawa Tempo Doeloe-nya James R. Rush dan menikmati sepanjang jalan Asia-Afrika yang membuat aku seolah berada di Eropa. Dan sayangnya sangat tidak terasa berada di kota orang Sunda. Jalanan berisikan kendaraan bermesin dan para wisatan yang tak sadar diri terlihat di sana-sini sejauh mata menandang. Tentunya, tak ada orang yang membaca di kawasan yang tertata rapi bergaya Eropa dan Art Deco ini. Bangunan-bangunan Eropa ini bagaikan terasa percuma jika para pembaca bukunya pun nyaris tak ada. Sedangkan para pesepeda hanya sesekali lewat. Mirip di hampir semua kota besar di Jawa. Bangunanya Eropa tapi mentalnya tetap Inlander.
Setelah melepas lelah, aku kembali berjalan melewati Museum Konferensi Asia-Afrika. Menuju Braga, memasuki kawasan bergaya Eropa yang menjadi pusat perbelanjaan dan bergaya paling bergengsi di masa lalu, dan meninggalkan sejarah penting yang menghasilkan Dasa Sila Bandung. Sebuah ironi yang aneh. Pertemuan menentang kolonialisme tapi memakai gedung bekas kolonial. Dan ironisnya hingga hari ini. Apakah tidak ada gedung lainnya, buatan sendiri yang lebih layak, yang wajahnya tidak terang-terangan berbau Eropa atau kolonial?
Aku terus berjalan. Melewati berbagai gedung yang di antaranya dibangun oleh guru Soekarno; C.P. Wolf Schoemaker. Berhenti sejenak di gedung Bioskop Majestic masa lampau. Lalu terus berjalan. Terus berjalan. Aku sama sekali tak merasakan aura Sunda di sekitar sini. Nyaris semua bangunan yang berdiri, yang tak perlu disebutkan satu persatu, karena aku bukan berjalan untuk mencatat bangunan-bangunan tapi mencari para pembawa buku dan pesepeda atau geliat kota dan sedikit memikirkannya.
Ada banyak lukisan yang dipajang untuk dijual di sepanjang jalan Braga. Lukisan-lukisan gaya Indie Moii, Naturalisme, Realisme, Impresionisme, Ekspresionisme hingga Abstrak. Seluruh kawasan ini bercirikan Eropa. Sedang para wisatawan yang kebanyakan memakai jilbab, jeaans, dan juga celana pendek, sekedar menikmati. Pada akhirnya kita pun sekedar konsumen keindahan. Berwisata dan berjalan di tempat yang dibangun oleh bukan bangsa sendiri. Begitu juga aku, yang nyaris tak membuat dan melahirkan karya apapun.
Sesekali aku pun berhenti, duduk di kursi kecoklatan yang berderet-deret di sepanjang jalan Braga yang diselingi beberapa pohon yang tak seberapa banyaknya. Kebanyakan adalah pohon berbunga kuning yang sering disebut Karet Belanda. Pohonnya saja namanya Belanda. Aku tak tahu Ridwan Kamil itu inginnya menjadikan Bandung tetap sebagai masa kolonial atau apa. Dan pohon Karet itu pun sekedar meneduhkan sebentar dan tak banyak karena masih sangat muda. Kehadiran pohon-pohon muda yang membuat angin bertiup cukup segar di jantung Braga itu membuat aku pun sadar bahwa Bandung pun semakin panas dan mendekati neraka.
Maksud aku ke Bandung, selain untuk mengamati, berjalan, dan menikmati, juga ingin bertemu dengan kekasihku, seorang Tionghoa yang lumayan gemar membaca, tapi kadang agak malas dan tiba-tibna menjadi pinter dengan sendirinya atau malah tak bisa sama sekali, yang bersekolah di salah satu yang terbaik di Bandung. Tapi terbaik bukan tentu terbaik menurut siswa-siswinya. Itulah ilusi besar kata terbaik di berbagai universitas dan sekolah di Indoenesia. Nyata-nyatanya sekolah dan universitasnya menjemukan, para guru dan dosennya mengajar sangat tak bertanggung jawab dan di dalam kelas seolah berada di penjara yang membuat siapa saja ingin segera gantung diri. Membayar mahal tapi masih saja les. Seolah-olah pendidikan adalah barang dagangan yang layak diperjual belikan tanpa rasa tanggung jawab akan kesusahan pihak murid dalam mencerna pelajaran.
Rencananya aku akan bertemu di Gramedia jalan Merdeka atau dulunya Dago. Dan sialnya lagi, Bandung pun semakin panas. Aku pun tertatih dengan beban di tas yang terasa menyakitkan serta buku-buku yang tak kalah beratnya, menelusuri jalanan Braga yang bagaikan api menuju jalan Merdeka yang berada di sisi utara. Akhirnya aku memutuskan berhenti di suatu taman, yang lebih dikenal dengan taman Dewi Sartika atau Balai Kota. Banyak pepohonan besar dan sesekali burung yang bercicit membantu sedikit, dan hanya sedikit memulihkan kondisiku yang sudah sangat kelelahan dan loyo. Taman itu luar biasa ramai untuk ukuran taman kota. Banyak sekali anak-anak, orang tua dengan anak mereka, perempuan muda dan gadis remaja, laki-laki dengan berbagai usia, dan mereka yang bermesra-mesraan.
Aku pun berkeliling taman itu. melihat Sosok Dewi Sartika yang mematung dengan raut muka tembem dan nyaris terlihat sedang mengalami obesitas. Sebuah taman yang dulunya disebut Piterpark, yang dirancang oleh Dr. R. Teuseur pada tahun 1885, guna mengenang jasa budi Asisten Residen Pieter Sijthoff terhadap kota Bandung. Taman saja buatan kolonial. Benar-benar kota bekas yang sempurna! Pemerintah Bandung Modern hampir tak menambahkan apa-apa kecuali sangat sedikit.
Di sekitar taman itu berdirilah berbagai bangunan yang kini menjadi sekolah St. Angela, Gereja St. Petrus dan bahkan gedung Balai Kota itu sendiri adalah warisan kolonial. Setelah berkeliling dan melihat, nyaris tak ada satu pun sesesok manusia yang terlihat memegang sebuah buku bacaan. Kota yang dulunya sebagai pusat intelektual Hindia Belanda kini berubah hanya sekedar kota bersantai dan bersenang-senang. Sungguh sebuah dekadensi dan penurunan yang luar biasa pada sebuah kota. Sisi baiknya, kota Bandung kini berganti warna dengan berbagai macam jenis kulit dan manusia. Tidak terlalu seekslusif dahulu kala. Tapi kota besar warisan Belanda dan pernah dibangga-banggakan di seluruh dunia ini, nyaris tak terlihat pembaca buku di ruang-riuang publiknya, hal semacam itu sungguh mengerikan.
Kawasan elite Dago tanpa para pembaca buku tidak hanya penghinaan tapi sebentuk jenis ketololan umum di masa damai. Aku tahu. Aku tahu. Pasti akan banyak yang menolak dan beragumen bahwa Bandung masih memiliki banyak pembaca karena kota ini adalah kota Seni Modernis, musik dan tempat para pengarang besar lahir. Tapi sayangnya, itu tak terlalu banyak dibanding jumlah yang tersisa. Tidakkah pembaca di Indonesia hanya sekitar 0,01 persen? Hanya menengok Stasiun dan ruang publiknya saja aku langsung paham. Bahwa kota ini bukanlah kota intelektual dan inovasi atau penemuan menurut standar yang aku pahami yang tentunya sangat subyektif dan luar biasa ketat dan egois. Inilah yang aku sebut pemborosan waktu dan tempat. Di mana masa damai tidak dimanfaatkan dengan baik bahkan oleh orang-orang menengah ke atas atau elite yang berada di kota ini. Apakah kita berpikir Indonesia akan terus menerus berada di masa damai? Pikiran semacam itu patut ditertawakan dan lebih baik aku anggap tolol dan berbahaya. Dan bencana karena ketololan semacam itu, yang juga terjadi dalam kasus Lapindo dan juga kebakaran Riau, aku sebut sebagai Tragedi Orang-Orang Awam.
Apakah aku terkesan sedang marah-marah? Aku rasa, orang-orang Bandung terlebih yang tinggal di kawasan elite Dago memang layak kita marahi. Apalagi yang sedang belajar di ITB yang lagi-lagi dulunya adalah buatan Belanda. Universitas besar saja warisan kolonial. Lalu apa yang tersisa dari Bandung kecuali sekedar rasa malu dan ketidakbecusan untuk merawat bahkan memanfaatkan kota yang pada dasarnya lebih hebat dari pada Batavia itu sendiri?
Panas, macet, dan penduduk yang terus bertambah padat di Bandung semakin hari sangat menggelisahkan. Apa jadinya jika seluruh kota di Indonesia bergerak mendekati Bandung.dan pinggiran kota berubah menjadi kota sepenuhnya?
Aku pun kembali berpikir. Memandang kota yang tak lagi nyaman ini.
Pada masa pendudukan Jepang yang singkat di Indoensia. Jepang mengalami semacam kefrustasian yang luar biasa mengingat tingkat prokdutivitas beras yang sangat rendah. Jepang berkontribuasi besar atas pertanian Indonesia. Nilai baik di tengah-tengah banyaknya ketidakbaikan lainnya. Dan kini, di tengah infrastruktur yang serba kurang, pupuk semakin mahal dan kian merusak tanah dan lingkungan, lalu cara tanam dan panen yang masih dalam tingkat tradisional, apakah kelak Indonesia, terutama Jawa mampu bertahan mati-matian dari serangan negara lain seandainya terjadi perang kawasan atau perang dunia bahkan perang antar benua? Apakah Jawa akan bertahan dari embargo atau penutupan semua wilayah laut dan udaranya jika perang besar meletus?
Hindia Belanda mendasari hampir segala macam kebutuhannya dari impor; Belanda dan juga Amerika. Pemutusan hubungan dagang seketika saat Jepang merebut kekuasaan dan memaksa Belanda menyerah. Membuat Jepang frustasi dan terpaksa mengalihkannya ke tempat-tempat yang dikuasai Jepang. Indonesia Modern kelak akan bisa mengalami nasib yang lebih parah dari pada itu. Bagi Inggris, Jawa adalah tanah yang sangat tidak menarik dan pendudukannya pada waktu itu hanya sekedar kebetulan guna membalas apa yang dilakukan oleh pihak Belanda saat perang besar meletus di dataran Eropa. Tapi yang jelas, Jawa adalah pusat untuk mengontrol nyaris semua yang ada di kepulauan lainnya. Dan tanah di Jawa bisa dimaksimalkan jika pengolahan dan penerapan tekniknya sangat tepat. Belanda bahkan bergantung pada Jawa berabad-abad lamanya. Begitu juga Jepang di masa krisis perang.
Hutan yang terus menghilang di wilayah Jawa Barat dan hampir semua pulau di Indonesia, dan berpindah menjadi lahan pertanian adalah semacam indikasi lainnya. Setelah itu, apa jadinya jika lahan-lahan pertanian yang pada dasarnya berguna untuk menjamin keberlangsungan hidup semakin hilang dan diisi oleh berbagai macam gedung dan bangunan perumahan karena pertumbuhan penduduk yang tak terkendali dan hasrat akan kemakmuran yang ditawarkan oleh kota dan pemerintah yang jelas-jelas berada di kota? Inilah yang akan terus-menerus menjadi sejarah kelam berbagai macam kota di Indonesia. Yang secara pasti, kelak, jika krisis politik nasional atau antar negara terjadi, desa-desalah yang menangung beban yang sangat berat dan kerja paksa yang mematikan. Di sisi lainnya, jika seluruh daerah pedesaan menjadi kota, pulau Jawa beserta pulau-pulau lainnya tak akan bisa menanggung beban yang lebih parah lagi selain perang, krisis lingkungan dan kelaparan.
Kita semua sedang bergerak dalam dilema besar. Sebuah dilema yang kelak akan menjadi masalah yang sangat susah diatasi. Yang sangat konyol adalah ketika masa damai sekarang ini tidak dimanfaatkan untuk mencapai ketahanan sains dan pangan guna mengatasi apa yang kelak sewaktu-waktu bakal terjadi jika seandainya Indonesia menjadi sangat terisolir. Apakah kelas menengah-atas di Indonesia hanyalah orang-orang yang berfisik Barat tapi bermental kerbau? Dan apakah hal semacam itu yang juga menjelaskan kenapa pemerintah pun nyaris tak mampu untuk menyebarkan berbagai macam informasi ilmu pengetahuan dan sains bagi warga negaranya?
Kita sedang berada di pinggir jurang. Tapi anehnya kita semua merasa bahwa kita sedang berada di tempat tidur dan sedang bermimpi.
Kadang aku berpikir, Eropa dan pihak Amerika yang semakin terkotakan hampir di semua wilayahnya, mengatasi segala macam kebutuhan di belahan bumi lainnya. Bahkan tak segan-segan ingin mengeksploitasi Arktika dan sangat terang-terangan menginvasi beberapa negara Timur Tengah dan Afrika. Apa jadinya jika perang besar berikutnya adalah perang sumber daya alam ketika penduduk dunia menjadi lebih dari 9 miliar dan terus bertambah? Dan tentunya, semuanya membutuhkan udara bersih, air bersih, tanah, kendaraan, rumah, pendidikan, kesehatan, dan makanan untuk hidup.
Aku sering berpikir, ketika aku mengamati India dan Tiongkok dari berbagai bentuk berita dan buku. Lalu menyaksikan perkembangan kota dan berbagai desa di negara ini. Apakah pada akhirnya kita akan diinvasi kembali atau karena kebutuhan sumber daya alam dan bahan pangan dan segala macam suku cadang, akan bergerak keluar untuk menginvasi negara terdekat; semisal Australia? Lalu apa jadinya, jika Tiongkok, India, dan Indonesia, pada akhirnya juga mengalami apa telah dialami Barat mengenai kelangkaan sumber daya alam karena pertambahan penduduk dan tingkat konsumsi yang tak terkendali? Mengingat tiga negara berjumlah besar itu bergabung saja, dengan perkembangan sains dan militer yang sangat cepat, itu jelas-jelas sangat menakutkan. Apakah kelak Eropa yang akan bergerak menginvasi kembali Asia atau Asialah yang malah akan berbalik menginvasi Eropa demi keberlangsungan hidup dan terjaganya apa yang selama ini kita sebut kemakmuran? Apa jadinya jika Jepang, Korea, dan negara-negara Asia Tenggara yang jumlah penduduknya lebih besar dari Australia dan beberapa neraga Eropa pun ikut bergabung?
Lambatnya proses penyerapan ilmu pengetahuan di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Bahkan sekedar membaca saja sangatlah susah. Itulah sebabnya aku sempat berpikir, baiklah, kita ini adalah masyarakat yang paling baik di dunia. Kita selama berabad-abad merelakan diri kita dijajah oleh bangsa lain. Harusnya kita mendapatkan penghargaan dari pihak internasional mengenai kerelaan dan sikap baik hati kita yang mengijinkan pengurasan sumber daya alam dan tenaga manusia yang membuat beberapa negara Eropa tetap bertahan sampai sekarang.
Melihat orang cebol dan nyaris mirip kurcaci yang aku lihat di buku-buku sejarah, Jepang, menginvasi Jawa, itu adalah sebentuk pengetahuan yang membuat orang yang cukup waras sangatlah frustasi dan malu.
Dan ah, sudahlah, aku hanya sedang ingin mencari pembaca buku di kota ini beserta sepedanya. Aku pun kembali melangkahkan kakiku. Dan tak butuh waktu lama, ketika jarum jam mendekati angka 11;00, aku pun sampai di Gramedia. Melewati panas yang sangat mengerikan dan beban tas yang meremukkan tulang.
Kelelahan yang luar biasa membuatku ingin mencari tempat merebahkan diri atau tidur sejenak. Aku pun pergi ke toilet, menemukan tempat sholat di sana. Lalu, tak perlu waktu lama, aku pun merebahkan badan di dalamnya. Nyaris hampir ketiduran. Tas dan lainnya, telah aku titipkan di penitipan barang lebih dulu. Keringat berhamburan dari badangku. Nafas tersengal-sengal keluar dari mulutku.
Tubuh yang kelelahan dan fisik yang payah adalah musuh bagi para pejalan, pengembara, penjelajah atau petualang. Sebaik apapun persiapan dan keinginan untuk melihat, meneliti atau melakukan observasi, tak akan bisa berjalan dengan baik jika tubuh tak mendukung. Akhirnya fokus perjalanan hanya sekedar untuk mencari tempat melepas lelah dan menenangkan tubuh. Itu juga berlaku padaku. Kadang, aku begitu iri dengan mereka yang memiliki tubuh yang sehat dan kuat sehingga bisa berhari-hari bahkan bertahun-tahun berada di jalanan untuk melakukan berbagai macam jenis perjalanan atau penelitian. Tubuhku tak mampu melakukan hal semacm itu dan tubuhku juga tak mampu menangani aliran kepalaku.
Sambil merebahkan badan, aku pun menunggu waktu berputar mendekati jam 12 siang. Aku harus berteemu dengan kekasihku. Tubuh yang kelelahan akhirnya aku paksa untuk menaiki tangga demi tangga. Aku anggap, Gramedia jalan Merdeka ini adalah salah satu toko buku yang cukup nyaman dengan penataan buku dan ruang yang bagus. Tak perlu membuang banyak waktu, aku pun dengan cepat menyukainya. Aku berjalan dari rak ke rak. Hanya sedikit pengunjung yang masih terlihat dan selalu tersebar di berbagai ruang dan tempat. Hampir di semua toko buku, terlebih Gramedia, rak yang bertuliskan filsafat, budaya, politik dan sejenisnya selalu saja sepi. Hanya ada orang para orang tua yang berdiri mematung dan membolak-balikkan halaman buku. Sedikit anak muda yang terlihat. Dan lebih sedikit laki yang berjenis kelamin perempuan. Banyak orang yang lebih suka di rak berisikan tas, pernak pernik, berbagai alat tulis, buku sekolah, novel, bacaan populer dan semacamnya. Saat melihat-lihat berbagai macam isi rak, aku tak sengaja menemukan buku langkanya Jean Paul Satre yang berjudul kata-kata. Ingin sekali aku membelinya. Tapi jika aku membelinya, bebanku semakin bertambah. Dan niatku berjalan bukan untuk kembali membeli buku dan buku tapi melihat seseorang membaca buku. Tapi pada akhirnya, suatu nanti aku akan menyesal karena tidak mengambilnya.
Masih cukup banyak buku langka dan beberapa buku yang telah habis di toko-toko buku sekitar Jogja dan Semarang tapi ada di tempat ini. Aku menemukan buku Eden In The East karya Stephen Oppenheimer dan Atlantis karya Prof. Arysio Santos. Dua buku yang cukup penting bagiku. Aku sudah memiliki Eden In The East dan melahapnya dengan sangat rakus. Dua buku itu, entah benar atau tidak mengenai keberadan Atlantis di Indonesia, adalah semacam hipotesa yang menggugah. Bahwa Nusantara atau Indonesia adalah sebuah jalinan kepulauan yang sejak dulu dan hingga kini sangat penting dan menyimpan banyak hal. Dan terutama Eden In The East, buku itu membuat aku semakin malu dengan diriku sendiri. Kenapa harus orang asing lagi yang malah sibuk dan melakukan berbagai penelitian selama bertahun-tahun di bagian-bagian Indonesia? Dan menghasilkan buku-buku tebal dengan informasi dan pengetahuan yang tak bisa disepelekan. Mungkin aku termasuk salah satu generasi yang malas untuk mengenal diri sendiri. Atau lebih tepatnya tak mampu untuk mengenal diri sendiri.
Sambil menunggu kekasihku pulang sekolah dan datang kemari, aku berjalan kesana-kemari dan terpikat dengan buku Pulau Run karya Giles Milton. Salah satu buku yang memikatku beberapa hari sebelum keberangkatanku ke Bandung. Kekasihku berjanji akan membelikanku buku itu untukku sebagai hadiah ulang tahunku yang sudah lewat. Sejujurnya aku bisa membelinya sendiri. Tapi aku ingin mendapatkan buku itu sebagai buku khusus berupa hadiah ulang tahun. Pada akhirnya nanti, buku itu menemani perjalananku antara Bogor-Jakarta.
Bagiku sendiri, buku karya Milton itu sangat berharga, guna melengkapi buku-buku yang berbicara perihal rempah-rempah dan alasan kenapa penghuni benua Eropa harus rela datang ke tempat ini dengan taruhan nyawa. Sejauh ini aku hanya memiliki sebuah buku karya Jack Turner yang berjudul Sejarah Rempah dan beberapa buku lainnya yang terkait tapi tak banyak. Tapi buku itu juga sangat menyakitkan karena lagi-lagi orang asinglah yang membukakan mataku mengenai sejarah penting salah satu kepulauan di Nusantara yang rela ditukar dengan Manhattan. Sebuah pulau kecil yang sangat luar biasa yang bernama Run. Berada di dekat kepulauan Banda dan Neira yang susah untuk dimasuki. Di sanalah, dahulu kala, sumber rempah-rempah terpenting dan sangat diperebutkan di abad ke-17 berasal.
Di akhir bukunya, Giles Milton menyempatkan diri menemui pulau yang pernah menjadi sangat penting dan bersejarah itu. Dan ia pun menulis denga nada agak getir, "tak seorang pun di sini mengetahui apa pun tentang sejarah pulau mereka yang luar biasa walaupun mereka selamanya akan menemukan koin dan senapan di ladang sayuran mereka. Tidak ada juga yang menyadari bahwa kampung halaman mereka-panjangnya hanya dua mil dan lebarnya setengah mil-pernah dianggap sebagai pertukaran yang adil untuk sebuah pulau yang sangat berbeda-Manhattan-di ujung lain dunia."
Sering aku berpikir, ketika nyaris aku sendiri tak tahu apa pun tentang pulau yang aku diami ini, apakah banyak orang yang pernah aku temui dan tak sengaja aku lihat mengerti betapa beruntungnya mereka hidup di sebuah negara yang nyaris memiliki segalanya dan bagaikan surga dunia.? Ketika krisis ekonomi, politik, wabah penyakit dan krisis lingkungan menghancurkan sebagian negara lain di dunia. Negara ini tak banyak terguncang dan hanya sekedar riak kecil yang sangat cepat menghilang. Walau akhir-akhir ini surga dunia ini menjadi lebih panas dan mendekati neraka. Tapi, seburuk apa pun negara ini, Timur Tengah dan bahkan sebagian Eropa harusnya memiliki tanah dan sejarah politik yang lebih buruk dari pada apa yang kini aku tempati. Keburukan utama negara kepulauan ini hanyalah tidak terlalu cocok ditinggali oleh para intelektual dan ilmuwan yang ingin cepat berkembang dan otaknya terlalu bercabang kemana-mana. Negara ini belum siap menangani seorang jenius yang berbeda dari orang normal pada umumnya. Atau anak-anak muda yang memiliki potensi khusus yang tak dimiliki banyak orang.
Tak lama kemudian kekasih pun memasuki Gramedia. Berputar kesana-kemari mencariku. Yah, otakku pun langsung segera bekerja untuk mengerjainya. Aku pun bersembunyi di antara rak-rak. Dia pun terlihat mondar mandir dan wajahnya terlihat agak sebal. Aku pun cengar-cengir mirip Sinchan. Lalu mengagetkan dia sambil tersenyum malu-malu. Karena itulah pertemuan kedua kami setelah yang pertama di Jogja. Pertemuan yang paling aneh dan lucu yang pernah aku lakukan. Pertemuan yang hanya sekedar memandang sekilas dari kejauhan. Dan di Gramedia Merdeka ini pun, kami masih malu-malu seperti anak kecil. Seorang filsuf pun akan salah tingkah jika berkaitan dengan cinta dan seorang perempuan.
Aku pun membawa dia ke berbagai rak dan menunjukkan berbagai jenis buku yang aku suka dan miliki. Adakalanya dia tertarik dan adakalanya tak terlalu memperdulikan. Tapi lebih banyak tertariknya karena apa yang aku sukai kadang juga ia sukai. Aku pun berjalan kesana-kemari bersamanya. Dia membelikan buku Pulau Run karya Giles Milton sebagai hadiah ulang tahunku. Buku yang nantinya menemaniku di perjalanan antara Bogor dan Jakarta.
Tak banyak pembaca buku di Gramedia Merdeka yang aku lihat. Karena setelah kami memasuki mall besar yang berada di seberang Gramedia, lebih banyak warga dan orang yang tinggal di Bandung tersedot kesana. Bahkan aku sangat yakin seyakin yakinnya. Jika Gramedia itu adalah Gereja atau Masjid, deretan mall yang ada akan lebih banyak pengunjungnya dari pada jemaat gereja atau orang yang sedang beribadah di masjid. Di dunia modern, Tuhan pun harus rela pindah dan bermukim di mall. Dan mungkin, sedang menikmati McD?
Semua perempuan di mana pun hampir sama saja. Kalau sudah melihat boneka, tas, pernak pernik, berbagai gantungan, alat tulis, baju, dan semacamnya, matanya langsung bersinar dengan terang. Seterang-terangannya. Mengalahkan matahari dan lampu-lampu. Jadi, sisa hari, dari sore hingga malam, aku harus seperti anak anjing, menemaninya kesana-kemari. Dari mulai berjalan di antara berbagai rak tas dan pernak pernik di Gramedia hingga naik turun beberapa Mall dan melihat berbagai macam pakaian dan sandal, yang membuat kakiku seolah hampir lumpuh. Kelelahan yang luar biasa tak bisa lagi aku pungkiri. Dan dia pun, masih terlihat sangat senang dengan gemerlap mall beserta isinya. Aku tak terlalu tetarik dengan mall. Hanya sekedar observasi atau kebutuhan tertentu aku akan memasukinya. Dan juga, nyaris tak ada pembaca buku di mall.
Bandung dipenuhi dengan berbagai macam mall, yang seolah sudah mirip seperti gulma atau kuman. Banyak anak muda di dalamnya. Juga para orang tua. Melepas lelah. Bersenang-bersenang. Bercanda. Bersosialisasi. Dan menggunakan mall sebagai ruang untuk menghilangkan stress dan menghibur diri sendiri. Itulah mungkin sisi positif dari Mall sebagai ruang terbuka. Tapi sisi negatifnya, ruang tersebut lebih lanyak sebagai tempat bersenang-senang. Membuat masyarakat menjadi konsumtif. Sekedar pembeli. Menumbuhkan hasrat untuk terus berbelanja atau sekedar membeli makanan yang harganya kadang terasa konyol.
Sebelum kami berpisah, kami duduk-duduk di beberapa kursi kosong gerai McD. Mencorat-coret catatan. Mengambil gambar dirinya secara sembunyi-sembunyi. Aku membuka isi tasku lalu memberikan buku Catatan Seorang Demonstran dari Gie kepadanya. Ada beberapa anak-anak sekolah, perempuan, di sekitar tempat kami duduk. Dia pun tiba-tiba memiliki ide agar aku menemui mereka dan bertanya apakah mereka mengenal Gie atau tidak. Dan apakah aku berani atau tidak melakukannya. Aku pun berkata, mereka tak akan tahu siapa itu Gie. Dan aku lihat, mereka lumayan cantik. Dan memang, ketika aku mendekati mereka, menunjukkan buku Catatan Seorang Demonstran kepada mereka, mereka tak tahu sama sekali siapa itu Gie. Bahkan filmnya yang sudah terkenal pun mereka menggelengkan kepala. Sementara itu, kekasihku langsung meninggal kursi sambil tersenyum dan terkesan cengar-cengir. Yah, aku dikerjai ternyata. Aku pun berlari-lari kecil mengejarnya. Sedangkan anak-anak sekolah tadi terlihat keheranan dan bingung. Dan mungkin lebih tepatnya, merasa lega ketika aku pergi. Anjing pun mungkin lebih baik menyerah ketika berurusan denganku.
Bandung menjelang malam hari, bahkan bukan malam minggu, terasa sangat gemerlapan dan juga mengerikan. Tak hanya mengerikan. Luar biasa super dan ekstra mengerikan. Angkot yang aku naiki seolah bagai tak bergerak kemana-mana. Paris van Java? Astaga kucing. Macet van Java itu baru benar. Untung ada perempuan cantik berwajah Tionghoa di dalam angkot ini. Jadi kengerian kota Bandung sedikit terkurangi. Wajah cantik di jalanan itu bisa mengurangi kadar depresi yang diberikan oleh sebuah kota yang sudah mulai berantakan. Bukan wali kota, departemen pekerjaan umum atau tata ruang. Beruntunglah kota Bandung dibantu dengan banyaknya perempuan cantik yang ada. Bukan bermaksud seksis. Tapi melihat jalanan yang semrawut, kota ini sudah tak layak disebut apa-apa. Dan wajah-wajah yang menawan bisa mengobati sedikit kefrustasian yang diberikan jalanan.
Melihat lampu merah saja sudah membuat aku ingin meloncat layaknya adegan dalam Fear Factor. Benar-benar membuat putus saja. Papan waktu, menunjukkan deretan bilangan yang lama waktunya bisa membuat kepala sakit. Mobil, angkot, mobil, mobil, mobil, sepeda motor dikali sepuluh, mobil lagi, lagi-lagi mobil dan mobil lalu angkot, bus kota, angkot, mobil, sepeda motor. Dan entahlah, mau menoleh kanan kiri depan belakang, memanjang deretan kendaraan bermesin. Bertumpuk-tumpuk. Saling mendahului dalam mencari celah kosong. Dan mana ada keindahan jika isinya hanya deretan lampu merah dan tumpukan mesin yang tersendat-sendat seperti sedang sekarat? Aku rasa, besok Bandung harus memiliki angkot semacam helikopter atau parasut untuk mengatasi kekacauan kota yang tak menyenangkan ini. Dan anehnya, para penumpang pun terasa biasa-biasa saja. Tak banyak protes. Diam dengan tenang dan penuh kebiasaan.
Jika semua orang Bandung atau mereka yang ingin ke Bandung, menggunakan mobil, mobil dan mobil, dengan ribuan sepeda motor yang berkeliaran, apa bisa aku sebut kota ini sebagai Taman Tuhan seperi julukanya di masa lalu? Mungkin, julukan yang tepat, Bandung Taman Neraka. Keindahan yang menyesatkan.
Ketika kenyaman dan kemudahan lebih terlihat sebagai semacam bentuk dari egoisme. Mungkin itulah yang menyebabkan Jakarta, sebagai ibu kota hancur. Dan Bandung semakin hari mengikutinya. Dan Ali Sadikin benar, Bandung adalah kota berengsek. Dan sayangnya, Jakarta lebih berengsek lagi.
Angkot yang aku naiki terseok-seok hingga akhirnya tiba di kawasan kusam dan tak terlalu menarik untuk keindahan tapi menarik sebagai suasan sosial dan kehidupan masyarakat di sekitar Masjid Raya. Beberapa ratus meter dari Masjid Raya, berbagai macam kios dan suasana perbelanjaan dengan dinding kusam, mengelupas, dan luntur oleh alir terhampar di segala macam sisi jalan. Aku pun harus turun di situ karena ternyata angkot tidak sampai tepat di Masjid Raya. Hap hap hap. Sampailah aku di jalanan yang sangat sibuk.
Dari seberang jalan, aku lihat banyak penjual buku bekas. Kaki dengan segera melangkah. Mata meloncat kesana-kemari, mencari sesuatu yang mungkin berharga dan susah dicari. Tak ada yang menarik dari buku-buku yang dijual. Ada beberapa buku Tan Malaka, Soekarno dan lainya. Dari bekas hingga bajakan yang tertumpuk dengan buku-buku lainnya. Ada bapak-bapak dengan anaknya yang juga sedang memilah-milah buku beserta beberapa orang lainnya yang junmlahnya tak banyak. Mataku masih mencari-cari dan tak sengaja aku temukan majalah-majalah bekas National Geographic berbahasa inggris. Aku pun bertanya apakah ada yang berbahasa Indonesia. Penjual pun sibuk mencari. Tak butuh waktu lama, ia serahkan satu lembar majalah National Geographic Indonesia edisi februari 2010 dengan judul Seribu Makhluk Dalam Satu Kaki Kubik Lahan. Aku pun langsung membeli majalah itu dengan harga 10 ribu rupiah. Majalah yang sudah tak lagi terlihat baru dan agak lusuh tapi dengan isi yang memikat. Salah satu edisi yang sejak dulu aku cari dan ingin miliki. Setidaknya, ada cukup banyak penjual buku bekas di Bandung Selatan yang lebih identik dengan perkampungan. Setelah itu, aku berjalan menuju Masjid Raya.
Karena sangat kelelahan, aku tak begitu memperhatikan suasana jalan yang dipenuhi dengan berbagai macam orang. Ruko-ruko yang berisikan berbagai macam jenis pakaian dan tas berderet di sepanjang jalan menuju Masjid Raya. Benar-benar sangat ramai. Hanya keramaian itulah yang benar-benar masuk di kepalaku. Tubuhku sudah sangat ingin sampai di Masjid Raya untuk beristirahat. Sementara itu, perutku butuh bantuan untuk bertahan. Aku lapar.
Susah mencari warung atau tempat makan di Bandung kecuali para pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di pinggiran jalan. Itu pun tak banyak. Dan harganya pun meragukan. Dari pada nantinya terlalu mahal, lebih baik aku kembali ke warung tegal yang berada di Masjid Raya.
Masjid Raya sangatlah ramai. Berisikan berbagai macam jenis orang dengan segala macam tingkah laku mereka. Tapi aku tak begitu peduli. Perutku lapar. Dan aku bukanlah dewa atau malaikat yang kebal dengan kebutuhan perut. Bahkan Nietzsche pun pernah berkata, "perut adalah alasan manusia tidak langsung menjadikan dirinya sebagai dewa." Tak butuh waktu lama, ketika malam mulai merayap dan suara adzan bergema dengan angkuhnya, aku pun sudah berada di dalam warung. Memesan nasi rames berlaukkan ikan lele. Ditemani dengan majalah National Geographic Indonesia yang tadi aku beli. Dan tiba-tiba hujan pun mengguyur kota Bandung. Begitu sejuk. Tapi membuatku khawatir.
Bagaimana tidak khawatir? Untuk menghemat biaya, aku memutuskan tidur di serambi Masjid Raya. Karena aku berpikir, aku berjalan bukan untuk bersenang-senang. Hujan gerimis yang hanya sebentar membuat udara menjadi dingin. Aku pun tak lagi memiliki daya untuk menikmati kota lama pada malam hari. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur di tengah banyaknya orang-orang yang mungkin nasibnya sama dengan aku. Dingin yang menusuk. Udara yang berhembus. Aku pun menggulung tubuhku dengan sarung dan penutup kepala, jaket, dan segala hal yang bisa menghangatkan diri dari terpaan lantai serambi masjid dan udara yang menggemeretakan gigi.
Tuhan menciptakan manusia dengan cara yang paling aneh. Yah, sejak awal, keadilan dan kesetaraan adalah mitos. Tapi setidaknya, masjid menyelamatkan banyak orang di sini dari keterombang-ambingan hidup atau sebuah perjalanan yang gagap. Sebuah fungsi yang jarang dimiliki oleh bangunan lainnya. Aku pun jatuh tertidur.
Suara adzan subuh membangunkanku. Lebih tepatnya, petugas keamanan masjidlah yang membangunkanku. Bukan malaikat atau tuhan. Aku pun menggeliat kesana kemari. Masih tak rela jika kebahagiaanku diambil paksa. Tapi sayangnya, petugas tak mengijinkanku untuk sekedar menikmati surga yang nyenyak ini.
Aku pun bangun. Dengan mata yang masih sangat berat untuk dinyalakan. Seperti orang-orang lainnya; bapak-bapak, kakek-nenek, anak-anak, orang-orang paruh baya, dari berwajah cukup hingga yang paling terkesan gembel, semua ada di serambi masjid ini. Dengan mata yang lelah, wajah yang kuyu, tampang yang tak jelas, aku rasa niat mereka sama dengan yang ada di otakku. Melanjutkan tidur dan menikmati hotel mewah gratis di serambi masjid ini. Petugas pun datang lagi. Sedangkan kantuk dan lelah tak kunjung mau hilang dan pergi dari tubuh. Tiba-tiba ide menarik lainnya muncul.
Srek srek srek. Aku pun bangun dengan antusias. Memasukkan semua barang ke dalam tas. Langsung mengambil wudlu. Pura-pura sholat lalu tidur lagi di hamparan karpet yang lebih hangat dan menggoda. Ah, ide yang cemerlang. Sempurna. Sayang, hanya bantal, guling, selimut dan kasur yang kurang. Aku pun tertidur nyenyak seperti sedang menari-nari di taman eden sampai pengelola masjid lagi-lagi tak peka dengan manusia yang malang ini. Setidaknya aku mendapatkan 1.5 jam tidur yang sangat nyaman. Dan pagi pun menyambutku dengan lapar.
Mandi. Dinginnya mengerikan. Baru sadar kalau sabun hilang dan juga botol air. Lalu, setelah agak tampan yang dipaksakan, aku pun menikmati pagi hari di keramaian alun-alun. Yah, aku baru tahu ternyata ini alun-alun. Memandang kejauhan di antara deretan kursi-kursi merah. Bapak-bapak yang berjualan air, mainan anak-anak, balon, ibu-ibu yang kesana-kemari menjajakan daganganya yang berupa makanan dan baru kali ini aku melihat ada seorang penjual plastik perbiji berjalan kesana-kemari. Kehidupan memang aneh. Tak akan pernah ada kesejahteraan yang penuh dalam masyarakat. Yah, masyarakat semut pun bertingkat-tingkat. Dari budak prajurit hingga ratu. Apalagi manusia?
Dan, lagi-lagi, hanya ada orang-orang jompo yang menikmati koran. Mungkin ini tandanya dunia akan kiamat. Yah, setidaknya, aku masih bisa kencing, memilik lidah dan mata yang normal.
Aku pun pergi meninggalkan alun-alun, setelah membaca untuk beberapa saat di naungi oleh latar Masjid Raya yang megah dan Mall Pahrayangan yang kusam. Setidaknya, tadi malam, banyak orang yang berpacaran mesum di sekitar sini. Fungsi baru rumah ibadah modern. Tempat wisata dan sedikit birahi anak muda. Dan sejujurnya, apa gunanya Mall di samping selatan masjid itu? yah, hanya Tuhan yang tahu.
Tak perlu banyak penggambaran, aku berada di halte. Bertanya ke petugas di sekitar bagaimana cara pergi ke Gedung Sate. Dan yah, aku sudah berada di Gedung Sate. Tentunya melewati deretan gedung-gedung menjulang, sedikit kemacetan di pagi hari dan sepeda, sepeda dan kadang sepeda yang cukup banyak! Melihat sepeda itu layaknya melihat wajah malaikat yang turun dari becak. Damai. Hijau dan bersih. Dan tidak bising dan menyebalkan. Aku pun turun dari angkot. Tap tap tap Jalan kaki di pagi yang agak dingin. Melewati pohon-pohon muda yang di bawahnya tidak cukup rapi dan adakalanya terselip sampah dan sampah. Tak apalah, asalkan jangan terselip bayi aborsi yang dibuang. Dan aku pun berjalan, di depanku ada ibu-ibu, bapak-bapak, yang ingin menikmati pagi dengan berolahraga. Dan entah kenapa, sepeda sangat banyak tak seperti biasanya?
Jalanan dipenuhi dengan banyak sekali sepeda dengan pengayuh dari segala jenis umur. Pemandangan yang benar-benar membuat berbinar, terharu, dan senang. Betapa tidak, ketika aku nyaris tak melihat pembaca buku di jalanan dan ruang publik kota ini, dan sepeda yang jarang di hari yang kemarin, sekarang, tiba-tiba banyak sepeda bergentanyangan dan bemunculan dengan berkelompok di jalan raya. Ketika mengingat dalam buku Melihat Indonesia Dari Sepeda yang dieditori Ahmad Arif, Bandung adalah tempat di mana sepeda adalah gaya hidup untuk mejeng dan tentunya, yang sangat mengejutkan, menandakan pergeseran norma dan adat-istiadat. Dan kini jelas-jelas status sosial. Karena kini yang hampir memiliki sepeda adalah orang-orang menengah-atas dan seperti yang sekarang ada di depanku.
Dan seandainya sepeda digunakan setiap hari dan tak hanya di hari-hari tertentu, sabtu dan minggu atau seperti saat ini, acara sepeda santai yang dipenuhi oleh para pesepeda dari berbagai kalangan usia. Mungkin aku akan mengagumi Bandung berkali-kali lipat. Sayangnya, warga kota hanya beradab ketika hari sabtu dan minggu dan hari-hari khusus saja. Sayangnya, orang beradab di kota hanya bisa disaksikan di hari-hari semacam itu dan tidak di hari-hari yang lainnya.
Aku pun bergegas menuju gerbang Gedung Sate yang dipenuhi oleh anak-anak muda yang tengah sibuk mengurusi stand dan berbagai jenis makanan dan minuman guna menyambut para pesepeda yang nantinya pulang. Cukup ramai dan sibuk. Pagi masih sedikit dingin. Dan di depanku, perlahan dan pasti, menjulang sebuah gedung masa lalu, yang sayangnya kini menjadi kebanggaan untuk kesekian lagi selain gedung-gedung lainnya, warga Sunda atau Bandung itu sendiri. Dan ironisnya, menjadi gedung Gubernur Jawa Barat. Kita hari ini terlalu bangga dengan apa yang didirikan bangsa lainnya, menempatinya, mengklaimnya, menjadikannya ikon dan memujanya. Padahal kita tahu, bangunan itu bukan hasil dari pikiran dan masa kita. Para tukang dan pengrajinnnya mungkin dari orang kita beserta orang Tionghoa, tapi tetap saja, itu adalah gedung kolonial di masa Hindia Belanda. Hanya untuk urusan bangunan saja kita bersikap seperti itu. Wajarlah kalau kita sibuk menjadi konsumen dan sekedar pengagum. Bukan pembuat dan pencipta. Benar-benar kesadaran yang konyol dan memalukan.
Gedung megah karya Ir. J. Gerber ini, mengingatkanku akan kemungkinan betapa indah dan nyamannyanya kota Bandung di mana lalu. Mengingat Belanda telah menyiapkan berbagai macam halnya untuk memindahkan ibu kotanya dari Batavia yang tak sehat dan buruk itu. Tapi, sumpah, seandainya hari ini ibu kota negara dipindah ke kota ini, itu namanya kecelakaan fatal. Dan aku akan berkata, itu sejenis ketololan yang mengerikan. Begitu juga seandainya ibu kota negara dipindah ke Jogja hari ini, itu sama dengan bunuh diri. Dan di manapun tempatnya di Jawa, ibu kota negara akan tetap saja menjadi kota monster dan hantu besar. Karena tak ada satu pun hari ini, sebuah kota di Jawa yang layak dijadikan ibu kota negara. Dan Bandung, yang pada tahun 2015 penduduk kotanya berjumlah 2.536.649 jiwa, benar-benar kota yang sudah terlalu padat dan tak memungkinan lagi untuk menampung lebih banyak para setan berkepala manusia yang semuanya menginginkan hidup dengan sejahtera tanpa mau berpikir mengenai lingkungan dan masa depan kota itu sendiri. Kota yang sejatinya diperuntukkan hanya untuk sekitar 400.000 jiwa kini membengkak dan benar-benar bagaikan teror yang mengerikan, ditambah suhu udara yang kini semakin panas, dan pohon-pohon yang tak lagi rimbun, kemacetan yang menggurita, gaya hidup perkotaan yang penuh gengsi dan membikin sesak jalanan, dan tentunya terlalu banyak orang terpelajar yang tak beradab yang setiap hari kerjaannya hanya mengurusi diri sendiri.
Apakah Individualisme adalah sesuatu yang buruk? Tentunya tidak sepenuhnya. Individualisme adalah tempat dan ruang di mana kreativitas, gagasan, penemuan tumbuh subur. Bahkan Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa orang Indonesia kekurangan Individualisme dan Egoisme untuk maju. Tentunya yang ia sebutkan adalah Individualisme dan Egoisme yang baik. Dan makin benarlah apa yang dikatakannya hari ini, "Kebudayaan kita adalah kebudayaan yang kalah. Tidak ada yang bisa dibanggakan. J.P. Coen mengalahkan mataram mungkin sekali dengan pasukan yang hanya terdiri dari 200 orang. setelah itu kekalahan terjadi secara terus menerus. Jadi apa yang mau dibanggakan? Kalau kita kuat maka kita telah mengusir Belanda sejak semula. Nyatanya kebudayaan kita kalah. Dan kebudayaan semacam itu yang masih dipuja-puji".
Entah kenapa, kalau aku mengingat beberapa lagu kebangsaan, perasaanku terasa merinding dan ngeri. Contohnya lagu Indonesia Pusaka karangan Ismail Mrzuki itu, yang benar-benar layaknya penipuan sempurna yang masih didongengkan ke sekolah-sekolah dan anak-anak sampai dewasa hingga kini:
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap di puja-puja bangsa
Di sana tempat air beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata
Sungguh indah tanah air beta
Tiada bandingnya di dunia
Karya indah tuhan Maha Kuasa
Bagi bangsa yang memujanya
Indonesia ibu pertiwi
Kan kupuja kau kukasihi
Tenagaku bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi
Dibaca dari sudut manapun, lirik Indonesia Pusaka benar-benar ilusi dan kebohongan yang harusnya tak lagi dijadikan sebagai lagu wajib. Lagu itu nyaris menolak kenyataan. Benar-benar pemaksaan imajinasi yang sangat keterlaluan jika diberlakukan hari ini. Itulah sebabnya negeri kita tetap kalah karena kita dinina bobokan dengan igauan-igauan yang jauh dari dunia nyata. Sebuah kesalahan sempurna yang anehnya terus diulang-ulang, dilagukan dan dikagumi. Tidakkah ini membuktikan sedikit orang cerdas dan berotak di negara ini? Bagaimana tidak? Bagaimana kita, ratusan juta orang, yang berpendidikan, yang terpelajar, yang mencerna modernitas walau agak terlambat, dan yang memiliki otak dan daya pikir, bisa-bisanya nyaris tak peka dengan lirik lagu yang aneh dan benar-benar menghina itu, selama berpuluh-puluh tahun lamanya?
Indonesia bukan lagi tanah air beta. Bukan lagi tanah air kita sendiri. Tapi sederet perusahaan asing yang lahir di sini, mengeruk segala sesuatu di sini, dan menghancurkan lingkungan dan warga yang ada di sini. Apakah perusahaan asing itu harus dibenci dan ditakuti? Tidak. Investasi asing itu sangat penting. Dan gairah pasar dan keterbukaan globalisasi itu sangatlah baik. Masalahnya, terletak pada keburukan terlalu banyak perusahaan yang didukung pejabat setempat atau nasional yang tak mementingkan lingkungan, warga sekitar dan cenderung bersikap kapitalistik tulen. Seandainya banyak perusahaan dan orang-orang asing di dalamnya, bahkan orang Indonesia yang bagaikan orang asing karena menjual negaranya sendiri itu, adalah orang baik dan tidak mementingkan diri sendiri, yah, setidaknya aku tak akan banyak mengeluh. Dan siapa yang cukup goblok yang sangat optimis kalau tanah air ini akan abadi? Hanya tinggal menunggu waktu saja, kelak akan ada lagi Timor-Timur kedua, ketiga, dan seterusnya. Bahkan banyak daerah dan pinggiran yang nyaris tak merasa bagaikan hidup dan ada di Indonesia. Dan tidakkah banyak orang Tionghoa, yang memiliki kewarganegaraan Indonesia tapi nyaris tak mau mengakui ke-Indonesiaannya dan menganggap semua orang selain Tionghoa adalah pribumi? Lalu Aceh? Lalu Papua dan beberapa daerah dan provinsi lainnya hanya berkepentingan tatkala negara ini masih dalam keadaan aman dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dan stabil. Dan jika nanti kondisi ekonomi terguncang terlalu lama, jelaslah sudah, akan banyak ketidakpuasaan dan keinginan untuk memisahkan diri. Alasan lainnya, karena orang-orang kota hari ini terlalu egois dan tak mau susahg-susah memikirkan apa yang ada di luar Jakarta, dan kota-kota di Jawa. Lalu apa pentingnya Indonesia sebagai tanah air bagi orang-orang di sebuah masyarkat dan daerah yang diabaikan?
Jaya? Sejak kapan Indonesia jaya? Baiklah, tak perlu dibahas panjang lebar pun kita tahu, nyaris tak ada kejayaan untuk Indonesia selain biasa-biasa saja, keterpurukan, dan saling cakar di sana-sini. Dan anehnya, aku tak tahu, apakah Ismail Marzuki ini sedang bermimpi saat membuat lagu atau sedang mabuk, entah kapan, jika dia sadar diri, Indonesia dipuja-puja bangsa lainnya bahkan sejak dulu kala? Tidakkah sejak dulu hingga sekarang kita ini dijajah terus dan nyaris hampir tak mandiri? Bahkan tetangga Asia Tenggara kita sendiri menganggap kita adalah negara miskin dan budak TKI.
Dan yang jelas, Indonesia bukan tempat yang nyaman di hari tua. Terlalu banyak polusi. Terlalu banyak anak tak berbakti. Dan hari tua adalah hari habis-habisan, ditelantarkan dan dikhianati. Dan menutup mata dengan tumor, kanker, jantung dan harta dihabisi anak dan gerombolan menantu dan mertua serta sekian banyak pengusaha dan pejabat yang datang tiba-tiba, berlagak membeli tanah, lalu mengambilnya tanpa sisa tanpa sepeser uang pun dengan dalih kepentingan nasional atau pembangunan dan perusahaan tertentu. Dan bukan bunda yang membuai kita tapi kebanyakan pembantu atau ayah karena kasus cerai dan cerai lagi semakin mewabah. Dan mungkin Bunda tiri. Yah, terlalu banyak bunda tiri akhir-akhir ini sangatlah populer dan menggemaskan bukan?
Memang negara ini dulu sempat indah, tapi sayangnya lebih dari 300 tahun keindahannya hanya dinikmati oleh para raja, bangsawan, kalangan ksatira, elite, orang kaya, dan tentunya warga Belanda dan sekian banyak bangsa lainnya. Dan kini, keindahan itu sudah nyaris habis. Semuanya hampir hilang. Dari mulai hutan dan gunung. Dari sungai hingga laut.. Dari binatang dan tumbuhan liar. Dan bahkan udara segar dan kenyamanan, sekarang semuanya langka dan jarang. Walau masih ada yang tersisa, tapi hanya tinggal di tempat-tempat yang jauh yang kelak mungkin juga akan sesak dan membosankan. Dan sejak kapan, di dunia modern ini, orang cinta Indonesia? Nasionalisme sekarang hanyalah masa lalu. Tidak ada uang dan hidup nyaman, tak akan ada nasionalisme. Bahkan nasionalisme telah direnggut oleh kesejahteraan. Ironis memang. Maksud sebuah negara mensejahterakan rakyatnya agar semakin betah dan cinta dengan negaranya. Tapi hasilnya berbalik. Semakin sejahtera seorang warga negara. Semakin abailah ia terhadap negara itu sendiri. Dan Indonesia bukan negara yang dikasihi. Pejebat negara, anggota DPR, para hakim, jaksa, penegak hukum, pengusaha, dosen, para akademisi, dan lainnya, apakah selama ini rela memberikan dirinya untuk negara ini? sayangnya, saat aku terpaksa melihat televisi dan berita, hal semacam itu nyaris tak nyata. Hanya sekedar imajinasi.
Dan lagu terkonyol dan paling menakutkan adalah lagu wajib yang harus dihapal oleh semua orang dan harus dilagukan di sekolah-sekolah dan semua instansi pemerintah. Lagu yang menyesatkan ini, nyaris tak pernah dikritisi, digubah, atau diganti liriknya bahkan sama sekali tidak dipermasalahkan di masa kita ini! Benar-benar masyarakat yang memiliki corak otak yang mengerikan. Dan lagu itu adalah Indonesia Raya dari WR. Supratman:
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Baiklah, baru pembukaannya saja, jelas-jelas Indonesia memiliki lagu yang sangat menyukai darah yang tumpah. Sebuah negara yang lagu kebangsaannya menyukai darah, kemungkinan juga akan menyukai perang, pembunuhan, intrik politik yang mematikan, dan pemusnahaan massal. Sebuah lirik lagu yang membingungkan. Entah bermaksud sebagai tanah kelahiran atau tanah kelahiran yang harus diambil dengan darah dan nyawa manusia. Dan anehnya, sebuah lagu kebangsaan yang liriknya membuat orang yang melagukannya seolah-olah berada jauh di luar negerinya sendiri. sebuah lagu kebangsaan yang menjarakkan penghuninya dan membuatnya terlempar dari negaranya sendiri. Indonesia raya, sebenarnya adalah sebuah lagu yang cocok untuk orang rantau, eksil, mereka yang berkompetisi di ajang internasional dan merayakan kemenangannya di sana, atau bagi para diplomat dan utusan politik. Selebihnya, ratusan juta manusia di negara ini disuruh menyanyikan sebnuah lirik, di sanalah aku berdiri, padahal jelas-jelas kita berdiri tepat di sini. Di tanah air ini. Bukan terletak di sana yang jauh.
Sejak sekolah dasar hingga kini, aku memiliki kebiasaan melenceng di saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Ketika sudah sampai pada baris lirik di sanalah aku berdiri, aku secara keras-keras melagukan lirik di sinilah aku berdiri sehingga membuat banyak teman-temanku sendiri menatapku heran dan tak percaya. Saat orang-orang dengan heran bertanya, kenapa? Aku akan menjawab, jelas-jelas aku berdiri di sini dan bukan di sana. Apakah aku terlalu konyol dan mengatakan bahwa aku berdiri di sana dan bukan di sini? Bahkan ketika sekolah dasar pun aku sudah sadar betapa anehnya lagu Indonesia Raya dan juga kebanyakan rakyat Indonesia. Saat lagu kebangsaan dikumandangkan, semua orang Indonesia seolah-olah sedang menyanyikan betapa jauhnya mereka dari negaranya sendiri sehingga tanpa sadar mengakui lirik di sanalah aku berdiri. Seolah-olah menandakan kenyataan bahwa jarang sekali ada orang yang benar-benar merasa bahwa mereka berada di negara ini dan merasa menjadi bagian nyata dari negara ini. Dan lagu Indonesia Raya semakin memukuk perasaan keterasingan itu. Entahlah, sepertinya aku sedang hidup di sebuah negara dengan masyarakatnya yang aneh dan nyaris tak peka bahkan terhadap apa yang dikenalnya sekalipun dan telah menjadi kesehariannya.
Tapi entah kenapa, sekarang ini, ketika lagu itu dinyanyinkan, aku hanya diam. Yah, diam. Aku sudah tak lagi tahu dan mengerti apa itu Indonesia. Mungkin aku mengalami apa yang juga dirasakan oleh seorang Audrey dalam kisahnya, Mellow Yellow Drama. Dan di manakah Indonesia di hati banyak warganya kini? Dan bahkan banyak pejabat publiknya sendiri dan yang di pemerintahan pun nyaris tak terlalu menganggap Indonesia penting. Indonesia benar-benar sekarat. Negara ini benar-benar nyaris tak lagi dipedulikan.
Dan Bandung adalah salah satu kota yang sekarat. Kota berpenyakit yang tak sadar dirinya berpenyakit. Kota gila yang menganggap dirinya waras. Setidaknya, kota ini masih terdapat sisa kenyaman di dalamnya. Kota ini belum benar-benar hancur dan menjadi sangat mengerikan.
Pagi ini, suasana sangat ramai dengan anak-anak dan sepeda. Aku cukup antusias melihat anak-anak kecil dengan ekpresi yang penuh percaya diri mengendarai sepeda kayu mereka yang digerakkan dengan kaki itu. Bersama ibu-ibu mereka yang menemani, mereka terlihat sangat senang dan tidak takut, bahkan seolah-olah sedang berkendara dan menancapkan gas dengan kecepatan maksimal. Dengan nuansa kekunoan yang dibajak ini, dan sepeda-sepeda yang bederet di depan Gedung Sate, aku merasa sedikit lega. Tak kulihat pembaca buku di jalanan. Setidaknya, aku masih bisa melihat sepeda di jalanan. Tapi sayangnya, lebih banyak sepeda berjenis motor. Memang sama-sama sepeda. Tapi kecenderungan dan efeknya sangat berbeda. Yang satunya kini dijadikan gaya hidup dan keseharian warga Eropa, gaya hidup dan pola pikir hijau. Sedangkan yang terakhir adalah gaya hidup orang Indonesia yang semrawut. Sesukanya sendiri. Kesadaran yang selalu telat dan etika buruk untuk lingkungan dan kesehatan. Dan apakah anak-anak kecil yang aku lihat dengan wajah bahagia sekarang ini kelak akan masih bisa hidup dengan tawa yang lebar, di mana kita telah meninggalkan dunia yang buruk dan rusak untuk mereka di masa yang akan datang?
Apakah layak mencerna masyarakat yang kebanyakan adalah menengah ke bawah, yang menggunakan motor itu dengan etika keras lingkungan hidup? Yah, ada sebuah dilema. Tapi setidaknya, apakah kita kelak lebih suka hidup di dunia yang nyaris tak nyaman atau berusaha untuk menyadarkan diri sendiri dan mendorong pemerintah untuk bergerak lebih cepat? Dan apakah kita memiliki kemauan bersama dalam menghadapinya dan menyerukan tindakan tegas bagi perusahaan dan mereka yang mencemari sungai, menebangi hutan, dan mencemari kota?
Karena kita semua bertanggung jawab terhadap kekacauan yang terjadi hari ini. Kita pun diam. Memilih aman. Dan dunia, terlebih mereka yang tinggal di tanah Jawa, lebih memilih jalan seperti yang dikeluhkan Al Gore dalam In Convenient Truth bahwa ‘jika suatu masalah tak terkait dengan mereka, mudah bagi mereka mengacuhkannya." Dan seperti itulah kenyataannya. Karena masing-masing dari kita menganggap apa yang terjadi di dunia ini, di negara ini, tak terlalu terkait dengan diri kita sendiri. Jadi kita bisa mengabaikan apapun yang kita maui tanpa harus terbebani aspek moral, lingkungan dan agama. Dan jika nyaris semua orang berpikir semacam itu. Maka bencanalah pada akhirnya. Yah, siapa sih yang peduli dengan bencana dan segala kekacauan dan semua jenis penderitaan yang masih mungkin dan mengambang di masa yang akan datang? Siapa yang peduli?
Aku pun begerak melangkah. Setelah percakapan dengan salah satu perempuan yang menjadi pembimbing dari anak-anak yang sedang asyik bermain dengan sepeda kayunya itu, aku pun menelusuri jalanan dan meninggalkan warisan kolonial yang berdiri dengan tegap dan megah, seolah mengejek warga Bandung yang tak becus membuat ikonnya sendiri.
Sruk sruk sruk. Aku berjalan melewati beberapa pengayuh sepeda. Melewati beberapa jenis sampah. Tak ada kota yang tak bersampah. Seharusnya itu menjadi moto kota-kota di Indonesia.
Aku melangkah. Melangkah. Tibalah di sebuah taman yang jelas-jelas sangat tak bersih. Bandung pun memiliki banyak titik umum yang nyaris tak bisa bebas dari sampah. Dan di taman Lansia ini, aku pun sekedar berjalan mengitarinya, menembus deretan orang-orang yang sedang berlari ringan untuk olah raga, yang tentunya kebanyakan adalah manula dan paruh baya. Di Indonesia, kegiataan berolahgara adalah milik mereka yang mau mati atau terserang penyakit. Sedikit anak muda di sini. Oh ya, tidakkah ini taman Lansia? Khusus untuk mereka yang umurnya sebentar lagi memasuki kuburan? Dan olah raga adalah untuk mereka yang takut pacar atau istri dan suaminya kabur pergi dengan orang lain. Olah raga adalah mentalitas ketakutan dan sakit. Sebuah kecenderungan yang nyaris tak masuk akal mengingat olah raga pastilah untuk memperbaiki diri dan menjaga kebugaran badan dan pikiran.
Aku mencari tempat untuk membaca. Aku pun membuka bukuku, Jawa Tempo Doeloe. Membaca dan membaca. Dilihat oleh orang-orang yang melintas sekitar. Dan dilihat. Dilihat. Yah, aku mungkin orang asing dan setan dari neraka sebelah yang tersasar di kota megah yang nyaris tamat ini. Sebuah kota yang warganya nyaris berada di tingkatan ekonomi dan pendidikan yang lebih mapan dari pada kota-kota lainnya, yang mana, untuk sekedar membaca buku saja susah. Mungkin kita harus memperadabkan lagi orang-orang kota. Dan salah satu dari kita harus berani memperadabkan lagi orang-orang Bandung. Ataukah warga Bandung merasa dirinya sudah beradab sehingga tak memiliki kepentingan yang lainnya selain mengejar status sosial dan kenyamanan diri?
Kalau orang Bandung merasa dirinya sudah beradab, seharusnya mereka lebih memiliki banyak penemu, pemikir, inovator, ilmuwan, seniman, dan lainnya lebih dari pada kota manapun dan tak kalah suburnya di bidang ilmu pengetahuan di banding kota-kota besar lainnya di dunia. Tapi kenyataannya, hanya masalah kemudahan transportasi publik pun, kota ini kesusahan. Hanya sekedar mengurai kemacetan pun kota ini nyaris tak becus dan malah memilih bentrok dengan Jakarta. Lalu apa yang bisa dibanggakan dari kota ini kecuali warisan kolonial yang dibajak habis-habisan itu?
Di bawah rindang pohon-pohon yang masih tersisa dan burung-burung yang entah pergi kemana. Aku pun bangkit dari tempat duduk. Menggeliat. Dan langsung menuju toilet umum. Memandikan tubuh dengan air yang masih dingin. Memandikan pikiran. Dan membuat segar kembali diri yang masih dihantui demam.
Byur byur byur. Mandi terasa bagaikan berada di surga tanpa perlu didampingi tuhan maupun bidadari. Byur byur byur. Aku pun telanjang. Hanya orang bodoh yang mandi menyiram semua pakaiannya di tengah perjalanan. Byur byur byur. Sambil menyanyi. Mengingkari kenyataan bahwa kota ini tak seindah di buku-buku. Byur byur byur. Menikmati makanan ringan yang ada di tas. Byur byur byur peduli amat orang mengatakan apa. Kan tidak ada orang di sini selain aku, dan mungkin setan? Byur byur byur memikirkan kota sialan ini yang warnet pun susah sekali dicari. Padahal aku sangat ingin menuliskan sedikit dari apa yang aku jalani. Yah, bodoh amat. Kota ini terlalu sok kaya memang. Byur byur byur. Memikirkan betapa memalukannya kota megah ini dengan penghinaan luar biasa terhadap ilmu pengetahuan dan masa damai yang ada. Apa betul ini Paris van Java dan kota yang terkenal disebut sebagai tempat di selenggarakannya konferensi Asia-Afrika itu? Tempat lahirnya Dasa Sila Bandung yang sangat bersifar internasional? Apakah benar-benar ini kota yang diisi oleh banyaknya sekolah dan universitas bertaraf nasional? Bahkan di masa Belanda pun kota ini menjadi pusat intelekatual. Apakah, dan apakah lainnya yang membuat aku mendengus dan ingin menggigit orang yang sedang lewat. Dan sangat tidak mungkin ada orang lewat di depan mataku di dalam toilet semacam ini. Byur Byur Byur aku berpikir kota ini dengan apa yang dimilikinya sangatlah menyedihkan. Yah, setidaknya banyak perempuannya yang cantik. Byur byur byur. Air hampir habis. Membuka kran air. Penuh lagi sudah. Cepat. Tanpa peduli air dari mana yang aku pakai untuk menyiram tubuhku ini. Byur byur byur. Membayangkan hal yang agak menjengkelkan, betapa susahnya warung di tempat ini berada. Benar-benar kota yang mahal. Atau apa gara-gara aku yang terlalu miskin yak? Ya sudahlah. Byur byur byur. Ingin tidur lagi rasanya. Seandainya aku bawa kasur dan bantal. Mungkin aku akan tidur di sini. Kan masih seandainya? Byur byur byur. Dingin luar biasa. mengeringkan diri pakai handuk. Karena tak ada orang yang bakal mau mengeringkan diri dengan hati nurani atau cokelat bahkan serbuk emas sekalipun. Cepat-cepat memakai baju. Nampang sebentar di kaca yang sudah berumur walau tak memiliki jenggot dan kumis. Dan yah, akhirnya, tak ada perubahan yang berarti. Masih jelek seperti biasanya. Setidaknya tidak buruk-buruk amat. Ah, sudah tak ada lagi byur byur byur.
Singkat cerita, karena kalau tidak disingkat, entah sudah berapa puluh pohon yang akan ditebang, hutang yang hilang dan satwa yang punah guna meneruskan cerita perjalanan ini dengan panjang lebar. Aku kini berdiri menunggu sebuah bus Damri yang akan membawaku ke sebuah terminal untuk melanjutkan perjalanan ke Bogor. Kota yang aku harap akan lebih baik dari pada Bandung.
Sebelumnya, aku melewati kebun binatang Bandung. Sejauh ini, belum ada kebun orang dan peternakan manusia. Melewati Institute Teknologi Bandung yang dosen dan mahasiswanya, dari gadget hingga mobil berteknologikan impor dan berpaten warga negara asing. Sangat disayangkan memang. Dan melewati rindang pohon-pohon yang sejuk dan damai. Beserta bangunan-bangunan yang cukup rapi dan menyenangkan untuk dilihat. Ah, kota yang disia-siakan.
Dan kini, di sinilah aku. Setelah menunggu tak terlalu lama di sebuah halte yang tak tahu di mana haltenya berada, aku pun sudah berada di dalam bus yang aku akui, nyaman, luas, dan sangat menenangkan. Di sebelah kananku, terdapat pasangan muda-mudi yang malu-malu kucing untuk berpegangan. Dan di deretan depan sana, ada ibu-ibu dan anaknya yang sesekali menatapku. Mereka berdua Tionghoa. Dan di depan mereka terdapat nenek-nenek yang masih hidup. Dan di depannya lagi ada sopir. Lalu jalan raya. Dan pikirkanlah sendiri.
Bus berjalan ke arah selatan. Menuju terminal. Melewati bangunan yang indah, sedikit indah, berantakan, kacau, jalanan yang buram, macet, gedung-gedung bertingkat, sampah-sampah yang tersasar, dan semakin ke selatan, suasana semakin kian memprihatinkan.
Aku pun mencari bus untuk membawaku ke Bogor. Tak perlu terlalu banyak kata, sampailah aku di terminal bus Leuwipanjang. Namanya memang unik. Mengingatkanku dengan tragedi Leuwigajah beberapa tahun yang lalu yang menewaskan 157 orang akibat gunungan sampah yang longsor. Tragedi sampah yang sangat membuatku geli. Dan harusnya membuat malu warga Bandung itu sendiri. Tapi di zaman ini, siapa yang masih memiliki malu?
Bandung adalah kota yang sangat konsumtif dan keterlaluan. Kadang aku berpikir, dengan banyaknya orang terpelajar dan berkecukupan di situ, pernah mereka merasa malu dan sadar jika terus-meenrus menghasiilkan sampah adalah hal yang bermasalah?
Pada 26 sepetember 2014, National Geographic Indonesia pun harus menurunkan sebuah berita yang berjudul ‘Setiap Hari 400 Ton Sampah di Kota Bandung Tak Terangkut’ yang diambil dari Kompas. Dan isi berita itu pun sangat memesona. Liar. Penuh dengan ketidaksadaran. Dan sangat kuat sekali sikap acuh tak acuhnya. Apakah kita harus mulai meniupkan balon, berteriak hore, dan menyulut kembali api sekarang juga?
Bandung kekurangan truk sampah ataukah memang warganya terlalu membuang banyak sampah tanpa peduli mengenai lingkungan, mahalnya makanan di negara lainnya hingga banyak membuang makanan yang ada dan sisa makanan yang terbuang dengan percuma, dan tentunya gengsi dan sikap acuh serta kebiasaan yang sudah menggurita sehingga orang lebih suka meminum dan membeli air minum botolan sekali pakai, cemilan dan segala jenis lainnya yang menggunakan plastik atau kertas.Dan jika membaca ulang berita itu, aku nyaris menyerah. Kita benar-benar kecanduan sampah;
Setiap hari sampah di Kota Bandung sekitar 1.600 ton. Dari jumlah itu, yang dapat terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti sekitar 1.200 ton. Sisanya, sebanyak 150-250 ton diolag warga, 150-250 ton sampah lainnya tidak terangkut, dan dibuang di tempat pembuangan liar.
Aku sudah berada di terminal. Suasananya seperti biasa, berantakan. Dan sejak dulu, aku tak tahu, apakah Indonesia pernah memiliki terminal yang cukup bagus layaknya bandara atau mungkin stasiun kereta api? Terminal selalu terlihat memprihatinkan.
Kandung kemihku sudah terasa tak enak. Terpaksa aku pun mencari toilet yang kebersihannya seringkali meragukan. Dan toilet adalah tempat penjaharan dan perampokan. Jika stasiun dan bandara memiliki toilet gratis. Terminal hanya memandang toiletnya saja yang gratis. Dan terpaksalah aku memasuki dunia luar dengan visa berupa uang di tangan setiap kali harus keluar-masuk toilet. Keluar-masuk toilet berkali-kali karena sakit perut atau ingin kencing, benar-benar menyebalkan. Dan terminal Leuwipanjang terlihat seperti monster.
Mengisi baterai gadget bayar. Ke toilet bayar. Dan mungkin kelak, sekedar ingin melihat wujud bangunan terminal pun harus bayar. Karena perutku sudah lapar, aku pun mencari makan sambil menunggu bus yang ingin aku naiki.
Aku berpikir, apa jadinya jika Bandung bagian selatan ini meniru dan menjadi mirip dengan Bandung bagian utara? Dunia macam apa yang akan dialami kota Bandung jika seluruh bagian dari Kabupaten Bandung berubah menjadi kota sepenuhnya dengan egoisme warga perkotaan yang menggurita? Dalam artian, apakah seluruh Bandung mampu menampung dan menahan perkembangan ekononi dan kesejahteraan warganya yang belum maju secara pemikiran, kesadaran akan lingkungan, politik dan tanggung jawab secara moral tentang dunia yang terhubung di mana kita yang juga bertanggung jawab atas berbagai bencana di wilayah lainnya karena gaya hidup dan apa yang kita lakukan?
Perpolitikan di Indonesia dan kecenderungan masyarakatnya, terlebih yang berdiam di pulau Jawa, sangat meresahkan dan nyaris susah untuk dibebani proyek jangka panjang yang lama untuk melindungi sebuah kota dan lain sebagainya. Perlu seorang diktator untuk membangun sebuah kota yang nyaman di Indonesia. Karena masyarakat luas lebih menghargai orang buruk dari pada orang baik di negara ini. Orang baik di negara ini tak akan bertahan lama karena banyak masyarakat lainnya berkepentingan akan uang, jabatan, ijin proyek dan untuk kemudahan dan kesejahteraan diri mereka sendiri. Yah, menjadi orang baik di negara ini sama saja membunuh diri sendiri. Dan ini adalah negara paling aneh yang pernah aku tinggali. Semua orang nyaris bersepakat bahwa kebaikan hanyalah angan-angan dan sesuatu yang sekedar terucap di bibir. Agama, kemanusiaan, dan rasa keadilan hanyalah latar belakang yang hanya sesaat di anggap serius. Dengan kondisi semacam ini, ketika berbagai negara berlomba-lomba menghijaukan dirinya beserta berbagai macam kota yang ada di dalamnya, kota-kota di Indonesia, terkhusus di Jawa sedang giat berlomba-lomba untuk memanggang dirinya sendiri. Sisa feodalisme yang terlalu kuat, membuat berbagai macam kota di Jawa tak akan pernah nyaman ditinggali lagi dan terlalu depresif untuk dipertahankan
Banyak bus berderet-deret. Kebanyakan dari bus-bus itu tak layak untuk jalan. Dan akhirnya, satu bus yang tampak menenangkan hati pun bergerak akan berangkat. Aku pun terburu-buru naik. Meninggalkan Bandung yang terlalu padat, gila, dan terlalu keranjingan belanja dan mengonsumsi segala sesuatunya tanpa berpikir panjang. Sebuah kota yang menyerah terhadap Jepang dan kelak akan kembali menyerah terhadap keserakahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar