ketika memperdebatkan pilihan yang tersisa,
stressku berubah menjadi pesimis.
...
berulang-ulang kuembuskan napas putus asa,
sekuat tenaga berjuang agar tidak menangis.
sekarang aku sungguh di tepi jurang kejatuhan
mental.
Aron Ralston
Between a Rock and a Hard Place
kadang,
cukup menyenangkan membayangkan menjadi anak tengil bernama Tom Sawyer
atau Huckleberry Finn, salah satu teman Sawyer yang tak kalah nakal dan
kurang ajarnya. Atau melakukan petualangan gila seperti yang pernah
dilakukan oleh Tom Sullivan, dengan dua temannya yang sama-sama buta
dalam memoar yang mengharukan, Adventure In Darkness.
berpetualang menyusuri dunia yang baru, aneh, penuh tantangan, dan
bahkan gila. keluar dari kungkungan lingkungan dan dunia normal yang
selalu memaksakan banyak hal. akhir-akhir ini aku membayangkan menjadi
mereka. untuk keluar dari rasa sakit yang tak terbayangkan ini. untuk
mempertahankan sisi baik yang masih tersisa dalam hidupku. demi
masyarakat dan orang-orang yang tak aku kenal agar aku tak menyelesaikan
salah satu buku yang paling kelam dan berbahaya. dan seringkali aku
ingin menangis, ketika teriakan minta tolongku berulang-ulang tak
digubris. kadang aku berpikir, begitu kejamnya manusia. sama ketika
Karen Armstrong berteriak dan nyaris diabaikan begitu saja.
dan,
sudahlah, aku akhirnya menemukan kalimat yang sangat mewakiliku, yang
tak sengaja aku temukan ketika sedang membolak-balikkan Max Havelar dari Multatuli; percayalah
kita keliru jika marah besar terhadap seseorang yang jahat karena
orang-orang baik di antara kita juga sangat mendekati jahat.
lalu
aku berpikir tentang perjalananku. tentang buku-buku. tentang kegilaan
dan rasa sakit yang harus aku tekan setiap harinya. semua berkelebat
dalam kepalaku dan perasaaku. rasa marah karena diabaikan selama
bertahun-tahun, walau aku sudah berteriak sekencang-kencangnya. meminta
tolong dan mengemis seperti orang sekarat yang menyedihkan. dan
melakukan segala macam cara agar aku tak kalah terhadap keinginan bunuh
diri, membunuh orang-orang atau berhenti dan menjadi benar-benar gila.
aku
pun harus menjual buku-buku yang kusukai, dengan harga luar biasa
murah, yang ingin aku gunakan menuliskan beberapa gagasanku.
gagasan-gagasan agar aku menjadi sedikit mampu berjalan dalam masyarakat
dan tak terus tenggelam dalam dunia yang semakin jauh. aku semakin
terjepit. tak ada harapan lagi. aku berada di ujung kegagalan
menyembuhkan diri sendiri. krisis yang akan meledak menjadi teror.
dan
semua orang tetap diam. tak membantuku sedikitpun. baiklah. baiklah.
aku masih hidup, sedikit hidup mungkin. dan akan aku lakukan usaha
terakhirku untuk keluar dari kegelapan yang paling gelap. siapa di
negara ini yang pernah mengalami dunia paling mematikan seperti yang aku
alami ini? terjebak dalam sangkar berbagai macam hal dan nyaris tak
mampu melihat sedikit pun pintu yang terbuka.
akhir-akhir
ini aku sudah mempersiapkan diri untuk mempertahankan kehidupanku yang
aneh ini. entah demi siapa, kadang aku juga tak tahu. beberapa pilihan
yang masih tersisa; menjual tablet, sepeda fixie, motor, menjual habis seluruh isi perpustakaanku, dan menyelesaikan Mengembara Di Tanah Asing yang nantinya akan aku serahkan ke beberapa penerbit.
itu plihan terakhirku saat ini. dan kembali berjalan tertatih-tatih
memasuki beberapa kota dan berjuang mati-matian untuk menuliskannya.
setidaknya
aku sudah berjuang. yah, jika nantinya aku gagal kembali, biarlah.
lebih baik mencintai iblis dari pada tuhan yang membisu. dan meminta
tolong pada kematian dari pada manusia-manusia yang bengis.
begitu
konyolnya diriku. itulah yang aku pikirkan. membaca buku demi buku.
berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya. menjalani hidup dalam
kebosanan yang tak bisa lagi dijadikan hiburan. dan siapa yang berpikir
kebosanan bisa menghibur, heh?
mencoba
bangkit. jatuh lagi. jatuh. terus jatuh. lalu bangkit. berjalan
tertatih. sedikit bernafas. semua demi meredakan segala hal yang nyaris
mustahil dalam diriku; bipolar. gangguan intelektual. komplikasi
penyakit fisik dan psikosomatis. keluarga yang entah akhir-akhir ini.
keuangan yang berada di dalam kekacauan. kehidupan yang nyaris tak
memiliki ketenangan. mimpi-mimpi buruk yang lebih gila dari kenyataan
itu sendiri ketika sedang jatuh tertidur. dan terlalu banyak hal yang
bahkan belum sempat untuk dibicarakan sudah akan membuat pusing dan
depresi para psikiter dan psikolog yang ada.
aku
akan menjual puluhan bukuku demi kembali berjalan. meneruskan menulis
dengan sentakan kemuraman dan bertahan terhadapnya. kalau bukan aku
sendiri yang mencoba mengurangi tekanan-tekanan mengerikan ini, lalu
siapa? tuhankah? malaikat? orang-orang yang menyembah diriNya, yang
nyaris hampir tak aku lihat di mana-mana? ataukah, pada mereka yang
menyebut dirinya humanis, pembela ham, pembela keadilan, dan bla bla bla
lainnya.
aku
akan kembali berjalan bersama buku-buku. pikiran-pikiranku. mengulangi
hal yang sama lagi dan lagi. menghabiskan sisa hidupku hanya untuk
sekedar aku tak terjatuh dan kepribadianku terambil alih olehnya. dan,
entahlah, beberapa bulan terakhir ini, aku cenderung nyaris tak bisa
lagi mengontrol segala yang ada di dalam diriku; kepribadian-kepribadian
yang saling bertolak belakang. itu artinya buruk. buruk bagiku atau
buruk bagi orang-orang?
aku merenung. iya, merenung.
siapa
yang peduli dengan kematian Van Gogh? siapa yang mau bersusah-susah
memahami derita dan kegilaan Nietzsche? untuk apa sibuk-sibuk dan
berkerut menyelami bunuh dirinya Hemingway, Virginia Wolf, bahkan Bruno
yang dibakar? orang lebih tenang dan nyaman membaca Plato, Aristoteles,
Socrates, Democritus, hingga Dante sampai terkagum-kagum dengan
permainan catur Bobby Fischer? tapi siapa yang mau peduli dengan dunia
menyakitkan yang mereka alami? John Nash, Stephen Hawking, Karen
Armstrong, Einstein dan para pendaki, pencinta lingkungan, para pembela
kebenaran, pencinta damai dan banyak lainnya yang mati entah di mana dan
tertekan hingga pada titik penghabisan. siapa yang peduli proses dan
rasa kesakitan mereka? yah, cacing-cacing dan ikan hiu mungkin peduli
terhadap mereka.
dan tidakkah Mein Kampf
yang ditulis Hitler awalnya diolok-olok dan dianggap sinting, gila dan
bejat serta nyaris omong kosong dan tak mungkin? dan bahkan apa yang ia
tulis diabaikan saja dengan mudahnya. penyesalan memang selalu datang
belakangan. begitulah dunia manusia. dunia orang-orang secara keumuman.
seringkali aku mengingat Albert Camus dan masih terkagum-kagum dengan buku Pemberontak miliknya.
betapa kasihannya dia. buku luar biasa itu, suatu pencapaian guna
mendekati dunia manusia yang lain, nyaris tak terlalu dianggap di sini.
atau siapa yang mau merasakan begitu repotnya dunia orang-orang yang
hari ini menciptakan ranah yang bernama psikologi itu? demi memahami dan
membantu manusia-manusia yang hilang arah, kesakitan, dan mendekati
gila serta diacuhkan.
aku
hampir mendekati kegilaan sama persis yang pernah dialami Nietzsche.
apaklah kelak aku akan menjadi salah satu barisan orang yang pernah
mengalami nasib sama seperti yang dialaminya? setidaknya, hari ini,
masih ada buku-buku yang bisa aku jual, untuk membiayai diriku yang
sudah sekarat dan sebenarnya mati ini. setelah semua yang aku miliki
habis. usailah susah. masa yang baik dan sedikit manusiawi, usailah
sudah.
dan ketika orang-orang masih tak datang menyelamatkanku. itu urusan mereka.
aku
merenung. masih merenung. apakah ini akan menjadi usaha terakhirku?
mungkin. di dunia di mana filsuf tak diperbolehkan hidup. ini adalah
usaha terakhir untuk sedikit tak menjadi filsuf. dan berpura-pura tak
sakit lebih menjengkelkan lagi. karena itulah aku tak ingin
berpura-pura. sudah cukup aku berpura-pura dan mengalami masa-masa
tersuram dalam kehidupanku yang terlalu singkat.
kehidupan
yang singkat ini terbukti bisa sangat menyakitkan jika kita hidup di
dunia yang tak tepat. ah, duniaku memang tak tepat.
aku
kembali teringat dengan para petualang, yang mencari arti hidup dan
memburu gagasan-gagasan. aku teringat Paul Salopek. aku teringat Eric
Weinar. aku teringat perjalanan kocak dan konyol Tom Sawyer, Huckleberry
Finn dan Tom Sullivan. aku teringat sejarah menyedihkan orang-orang
sebelumku; para ilmuwan, seniman, penyair, sastrawan, pemikir,
negarawan, penjelajah, petualang, dramawan, intelektual dan lainya, yang
hidupnya habis hanya untuk masyarakat yang terkadang menghina dan
menghukum mati mereka.
dan
aku masih ingat buku-bukuku. dan oh iya, aku masih bisa berpikir dan
menulis! akan aku terus ingat hal itu. lalu setelah itu, biarlah yang
ada adalah kemungkinan-kemungkinan. dan mungkin aku akan menjadi Niccolo
Machiavelli yang kedua. tapi siapa yang peduli?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar