Rabu, 13 Juli 2016

BUKU, KEGILAAN, PERJALANAN, RASA SAKIT DAN BERTAHAN HIDUP















ketika memperdebatkan pilihan yang tersisa,
stressku berubah menjadi pesimis.

...

berulang-ulang kuembuskan napas putus asa,
sekuat tenaga berjuang agar tidak menangis.
sekarang aku sungguh di tepi jurang kejatuhan
mental. 
Aron Ralston
Between a Rock and a Hard Place






kadang, cukup menyenangkan membayangkan menjadi anak tengil bernama Tom Sawyer atau Huckleberry Finn, salah satu teman Sawyer yang tak kalah nakal dan kurang ajarnya. Atau melakukan petualangan gila seperti yang pernah dilakukan oleh Tom Sullivan, dengan dua temannya yang sama-sama buta dalam memoar yang mengharukan, Adventure In Darkness. berpetualang menyusuri dunia yang baru, aneh, penuh tantangan, dan bahkan gila. keluar dari kungkungan lingkungan dan dunia normal yang selalu memaksakan banyak hal. akhir-akhir ini aku membayangkan menjadi mereka. untuk keluar dari rasa sakit yang tak terbayangkan ini. untuk mempertahankan sisi baik yang masih tersisa dalam hidupku. demi masyarakat dan orang-orang yang tak aku kenal agar aku tak menyelesaikan salah satu buku yang paling kelam dan berbahaya. dan seringkali aku ingin menangis, ketika teriakan minta tolongku berulang-ulang tak digubris. kadang aku berpikir, begitu kejamnya manusia. sama ketika Karen Armstrong berteriak dan nyaris diabaikan begitu saja.

dan, sudahlah, aku akhirnya menemukan kalimat yang sangat mewakiliku, yang tak sengaja aku temukan ketika sedang membolak-balikkan Max Havelar dari Multatuli; percayalah kita keliru jika marah besar terhadap seseorang yang jahat karena orang-orang baik di antara kita juga sangat mendekati jahat.

lalu aku berpikir tentang perjalananku. tentang buku-buku. tentang kegilaan dan rasa sakit yang harus aku tekan setiap harinya. semua berkelebat dalam kepalaku dan perasaaku. rasa marah karena diabaikan selama bertahun-tahun, walau aku sudah berteriak sekencang-kencangnya. meminta tolong dan mengemis seperti orang sekarat yang menyedihkan. dan melakukan segala macam cara agar aku tak kalah terhadap keinginan bunuh diri, membunuh orang-orang atau berhenti dan menjadi benar-benar gila.

aku pun harus menjual buku-buku yang kusukai, dengan harga luar biasa murah, yang ingin aku gunakan menuliskan beberapa gagasanku. gagasan-gagasan agar aku menjadi sedikit mampu berjalan dalam masyarakat dan tak terus tenggelam dalam dunia yang semakin jauh. aku semakin terjepit. tak ada harapan lagi. aku berada di ujung kegagalan menyembuhkan diri sendiri. krisis yang akan meledak menjadi teror.

dan semua orang tetap diam. tak membantuku sedikitpun. baiklah. baiklah. aku masih hidup, sedikit hidup mungkin. dan akan aku lakukan usaha terakhirku untuk keluar dari kegelapan yang paling gelap. siapa di negara ini yang pernah mengalami dunia paling mematikan seperti yang aku alami ini? terjebak dalam sangkar berbagai macam hal dan nyaris tak mampu melihat sedikit pun pintu yang terbuka.

akhir-akhir ini aku sudah mempersiapkan diri untuk mempertahankan kehidupanku yang aneh ini. entah demi siapa, kadang aku juga tak tahu. beberapa pilihan yang masih tersisa; menjual tablet, sepeda fixie, motor, menjual habis seluruh isi perpustakaanku, dan menyelesaikan Mengembara Di Tanah Asing yang nantinya akan aku serahkan ke beberapa penerbit. itu plihan terakhirku saat ini. dan kembali berjalan tertatih-tatih memasuki beberapa kota dan berjuang mati-matian untuk menuliskannya.

setidaknya aku sudah berjuang. yah, jika nantinya aku gagal kembali, biarlah. lebih baik mencintai iblis dari pada tuhan yang membisu. dan meminta tolong pada kematian dari pada manusia-manusia yang bengis. 

begitu konyolnya diriku. itulah yang aku pikirkan. membaca buku demi buku. berjalan dari satu tempat ke  tempat lainnya. menjalani hidup dalam kebosanan yang tak bisa lagi dijadikan hiburan. dan siapa yang berpikir kebosanan bisa menghibur, heh?

mencoba bangkit. jatuh lagi. jatuh. terus jatuh. lalu bangkit. berjalan tertatih. sedikit bernafas. semua demi meredakan segala hal yang nyaris mustahil dalam diriku; bipolar. gangguan intelektual. komplikasi penyakit fisik dan psikosomatis. keluarga yang entah akhir-akhir ini. keuangan yang berada di dalam kekacauan. kehidupan yang nyaris tak memiliki ketenangan. mimpi-mimpi buruk yang lebih gila dari kenyataan itu sendiri ketika sedang jatuh tertidur. dan terlalu banyak hal yang bahkan belum sempat untuk dibicarakan sudah akan membuat pusing dan depresi para psikiter dan psikolog yang ada.

aku akan menjual puluhan bukuku demi kembali berjalan. meneruskan menulis dengan sentakan kemuraman dan bertahan terhadapnya. kalau bukan aku sendiri yang mencoba mengurangi tekanan-tekanan mengerikan ini, lalu siapa? tuhankah? malaikat? orang-orang yang menyembah diriNya, yang nyaris hampir tak aku lihat di mana-mana? ataukah, pada mereka yang menyebut dirinya humanis, pembela ham, pembela keadilan, dan bla bla bla lainnya. 

aku akan kembali berjalan bersama buku-buku. pikiran-pikiranku. mengulangi hal yang sama lagi dan lagi. menghabiskan sisa hidupku hanya untuk sekedar aku tak terjatuh dan kepribadianku terambil alih olehnya. dan, entahlah, beberapa bulan terakhir ini, aku cenderung nyaris tak bisa lagi mengontrol segala yang ada di dalam diriku; kepribadian-kepribadian yang saling bertolak belakang. itu artinya buruk. buruk bagiku atau buruk bagi orang-orang? 

walaupun begitu, buku-buku kadang menghiburku. lalu kembali menghajarku dengan keras dan penuh dengan kesedihan.





aku merenung. iya, merenung.
siapa yang peduli dengan kematian Van Gogh? siapa yang mau bersusah-susah memahami derita dan kegilaan Nietzsche? untuk apa sibuk-sibuk dan berkerut menyelami bunuh dirinya Hemingway, Virginia Wolf, bahkan Bruno yang dibakar? orang lebih tenang dan nyaman membaca Plato, Aristoteles, Socrates, Democritus, hingga Dante sampai terkagum-kagum dengan permainan catur Bobby Fischer? tapi siapa yang mau peduli dengan dunia menyakitkan yang mereka alami? John Nash, Stephen Hawking, Karen Armstrong, Einstein dan para pendaki, pencinta lingkungan, para pembela kebenaran, pencinta damai dan banyak lainnya yang mati entah di mana dan tertekan hingga pada titik penghabisan. siapa yang peduli proses dan rasa kesakitan mereka? yah, cacing-cacing dan ikan hiu mungkin peduli terhadap mereka. 

dan tidakkah Mein Kampf yang ditulis Hitler awalnya diolok-olok dan dianggap sinting, gila dan bejat serta nyaris omong kosong dan tak mungkin? dan bahkan apa yang ia tulis diabaikan saja dengan mudahnya. penyesalan memang selalu datang belakangan. begitulah dunia manusia. dunia orang-orang secara keumuman.

seringkali aku mengingat Albert Camus dan masih terkagum-kagum dengan buku Pemberontak miliknya. betapa kasihannya dia. buku luar biasa itu, suatu pencapaian guna mendekati dunia manusia yang lain, nyaris tak terlalu dianggap di sini. atau siapa yang mau merasakan begitu repotnya dunia orang-orang yang hari ini menciptakan ranah yang bernama psikologi itu? demi memahami dan membantu manusia-manusia yang hilang arah, kesakitan, dan mendekati gila serta diacuhkan.

aku hampir mendekati kegilaan sama persis yang pernah dialami Nietzsche. apaklah kelak aku akan menjadi salah satu barisan orang yang pernah mengalami nasib sama seperti yang dialaminya?  setidaknya, hari ini, masih ada buku-buku yang bisa aku jual, untuk membiayai diriku yang sudah sekarat dan sebenarnya mati ini. setelah semua yang aku miliki habis. usailah susah. masa yang baik dan sedikit manusiawi, usailah sudah. 

dan ketika orang-orang masih tak datang menyelamatkanku. itu urusan mereka.

aku merenung. masih merenung. apakah ini akan menjadi usaha terakhirku? mungkin. di dunia di mana filsuf tak diperbolehkan hidup. ini adalah usaha terakhir untuk sedikit tak menjadi filsuf. dan berpura-pura tak sakit lebih menjengkelkan lagi. karena itulah aku tak ingin berpura-pura. sudah cukup aku berpura-pura dan mengalami masa-masa tersuram dalam kehidupanku yang terlalu singkat. 

kehidupan yang singkat ini terbukti bisa sangat menyakitkan jika kita hidup di dunia yang tak tepat. ah, duniaku memang tak tepat. 

aku kembali teringat dengan para petualang, yang mencari arti hidup dan memburu gagasan-gagasan. aku teringat Paul Salopek. aku teringat Eric Weinar. aku teringat perjalanan kocak dan konyol Tom Sawyer, Huckleberry Finn dan Tom Sullivan. aku teringat sejarah menyedihkan orang-orang sebelumku; para ilmuwan, seniman, penyair, sastrawan, pemikir, negarawan, penjelajah, petualang, dramawan, intelektual dan lainya, yang hidupnya habis hanya untuk masyarakat yang terkadang menghina dan menghukum mati mereka. 

dan aku masih ingat buku-bukuku. dan oh iya, aku masih bisa berpikir dan menulis! akan aku terus ingat hal itu. lalu setelah itu, biarlah yang ada adalah kemungkinan-kemungkinan. dan mungkin aku akan menjadi Niccolo Machiavelli yang kedua. tapi siapa yang peduli? 

untuk saat ini aku akan bertahan hidup. untuk yang terakhir. untuk penghabisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar