Kereta ekonomi adalah neraka bagi nyeri punggungku. Hal itu baru aku sadari ketika kereta berderit-derit hanya berselang beberapa puluh menit. Punggungku terasa sakit tak terkira. Kursi yang sandarannya tegak lurus benar-benar menyiksa hidupku yang yang sudah tersiksa bertahun-tahun lamanya. Sedangkan pasangan suami istri yang ada di depanku dengan wajah tanpa dosa membuka bingkisan makanan mereka tanpa malu-malu. Bau ayam goreng menembus hidungku yang seketika membuatku berharap tiba-tiba ayam goreng itu mendadak menjadi hidup dan terbang keluar jendela. Tapi sayang, khayalanku pun terhalang oleh jendela kaca. Apa ada ayam yang bisa menembus kaca? Dan anehnya seketika pikiranku pun menimpali. Berkhayal itu tak perlu sok logis bung! Berkhayal kok masih ikut yang nyata-nyata. Jika berkhayal saja sudah takut-takut, apa jadinya negara ini? Ah, ternyata adakalanya otakku bisa sedikit normal juga. Bagus. Bagus.
Ayam goreng yang tiba-tiba hidup dan terbang dan kalau bisa memakai baju superman dan hilang sejauh semut berjalan. Eh, itukan sama saja? Niat awalnya agar tak ada ayam dengan baunya yang menggoda imajinasi laparku. Pada akhirnya aku sedih, kenapa tadi aku tak membeli makanan di luar saja? Perutku pun menggeliat-geliat tak karuan. Dasar ideapacker manja! Aku pun mengangguk-angguk sendiri dalam imajinasi.
Apakah kamu berpikir pasangan suami istri itu mencoba menawariku? Tidak. Tidak. Aku tak berharap juga akan hal itu. Tapi entah kenapa, seolah-olah ada yang hilang. Sesuatu kesan di saat dulu aku sering berada di jalan; entah di bus atau transportasi umum lainnya. Budaya ramah tamah, saling menyapa dan sekedar menawarkan makanan yang seringkali terjadi di lingkungan negara ini ketika dalam satu perjalanan, tak lagi banyak berlaku. Makananku adalah makananku. Bukan makananmu. Ya, wajar juga sih. Siapa yang mau suamiku adalah suamimu. Istrimu adalah istriku. Bisa hancur ini dunia! Ah bukan itu maksudku. Yang jelas, awal perjalananku berisikan kesan bahwa negara ini sedang berubah. Begitu juga dengan orangnya beserta budaya dan sikap yang mereka miliki.
Pada akhirnya aku membuka tas dan menarik satu buku yang berjudul Jendela Bandung karangan Her Suganda. Tanpa malu-malu aku pun mulai menikmati makanan ringanku dan tentunya sebagai bentuk perlawanan dan balas dendam. Alunan musik semakin kencang mengalun di telingaku; Efek Rumah Kaca. Halaman demi halaman buku pun aku nikmati. Dan ah, sial, aku pun telah berubah. Menjadi egois.
Entah di menit keberapa, setelah kereta melajukan roda-rodanya, ada pengumuman yang intinya; jaga diri anda baik-baik. Pastikan aman barang bawaan anda dan pihak kereta api tak bertanggung jawab atas segala jenis kehilangan. Dalam hal ini aku sempat berpikir. Apajadinya jika ada seorang perempuan yang kehilangan kekasihnya? Atau seorang nenek yang lupa menaruh suaminya? Entahlah, soal itu aku tak mau tahu. Dan pihak kereta api menghimbau agar bertingkah laku sewajarnya. Dalam artian, jangan tidur di kolong kursi dan di bawah lantai kereta api. Dan himbauan inilah yang membuatku penasaran. Masalahnya, hal yang baik bagi pihak kereta api tak berlaku bagi pihak penumpang yang kebanyakan adalah kelas menengah ke bawah.
Di dalam hati, di menit-menit pertama, aku merasa sangat optimis. Kereta api Indonesia sedang berubah. Tidak hanya interiornya yang semakin bagus dan cukup nyaman setelah ganti kepemimpinan. Tapi juga para penumpangnya yang tentunya warga Indonesia dan banyak dari mereka adalah adalah orang Jawa. Orang yang tinggal di pulau Jawa. Aku pun tersenyum di dalam hati. Orang Indonesia telah berubah. Indonesia sedang berubah! Indonesia sedang berubah!
Beberapa puluh menit kemudian...
Ada kaki yang entah dari mana tiba-tiba menyembul di bawah deretan kursi di belakangku. Awalnya aku kaget. Apa itu? Tak perlu waktu lama bagi otakku untuk berpikir bahwa itu kaki manusia. Kaki itu bertingkah kesana-kemari. Dan tak tahunya, masih ada kaki-kaki yang lainnya. Aku pun berpikir, apa mereka tak akan takut jika petugas datang?
Dan akhirnya petugas pun datang dari arah kepala kereta. Tentunya, hanya sekedar lewat. Tak ada teguran. Semua urusan selesai. Sungguh sangat Indonesia!
Sedangkan di sebelah kiriku, di deretan kursi lainnya, ada seorang ibu-ibu yang berkuasa atas satu tahta penuh kursi yang seharusnya untuk empat orang. Sambil meringkuk dengan tubuh dimasukkan ke dalam selimut, ibu itu seolah-olah nampak sedang mengejekku yang lagi kesakitan berganti-ganti posisi tanpa ada satu pun yang memuaskanku. Sedangkan ibu itu, gaya tidurnya yang menjelajah ke semua tempat sesuka hatinya, membuat hatiku kecut. Kaki berada di atas kursi dengan arah ekor gerbong. Sedangkan kepala berada di arah kepala kereta. Sedangkan aku tak hanya sekedar mengutuk sumpahi eros. Aku pun akhirnya menjadi warga Indonesia yang baik. Sangat baik. Aku pun mengikuti sebagian banyak warga gerbong yang hidup bagaikan berada di surga suka-suka aku. Dengan tak adanya sesosok orang di sebelahku, aku manfaatkan kekosongan itu bagi dua kakiku yang perlu perluasan wilayah. Ekspansi. Dan mencoba untuk sedikit membuat nyaman rasa nyeri yang menjalar di sekujur punggungku. Kedua pasangan suami-istri yang sedari tadi sibuk bermesraan pun terlelap. Baiklah, waktunya untuk membaca dan berpikir!
Sedikit info; petugas yang terlalu suka ikut campur urusan orang sudah lama lewat. Biasa, penarik karcis. Tampang sangar. Berlagak penting. Dengan sederet pengikut di belakang dan segenap pentungan yang ada. Apa tak bisa petugas penarik karcis itu memasang wajah yang penuh senyum dan terlihat ceria agar anak-anak kecil dan aku sendiri tak merasa ngeri?
Tak lama kemudian aku berpikir, apa jadinya jika semua orang di gerbong ekonomi ini tiba-tiba menjadi kaya raya dan semua pindah ke gerbong eksekutif? Apa jadinya jika semua orang di Indonesia tak lagi miskin dan akhirnya lebih memilih memelihara gengsi? Apakah masih ada canda tawa, sikap sesukanya tapi tanpa tatapan menusuk itu? Apakah masih ada sikap ramah tamah dan gelak tawa, atau percakapan yang biasa aku jumpai di desa, kampung, dan pasar-pasar itu? Masihkah ada sedikit kejujuran yang tersisa?
Aku pun teringat sebuah buku peraih nobel perdamaian tahun 2006 dari Bangladesh, Muhammad Yunus. Judul buku itu, Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan, membuat aku bingung menahan nafas. Dunia tanpa kemiskinan? Apakah ada hal semacam itu?
Jika membayangkan dunia yang tanpa kemiskinan di dalamnya, berisi orang yang berkecukupan, kaya, bahkan kaya raya, siapa yang bakal mau menjadi pengepel lantai dan pembawa makanan di kereta api ini? Siapa yang akan mau menundukkan kepalanya untuk melayani orang lain?
Dan aku membayangkan ketika semua orang Indonesia pada akhirnya membawa mobil di jalan-jalan. Semua orang Indonesia yang jumlahnya adalah gabungan dari beberapa negara Eropa dijadikan satu itu. Membayangkan jika separuh warga negara ini memiliki mobil saja membuatku ngeri. Dan tiba-tiba aku memikirkan Jogja yang sangat semrawut dan penuh dengan polusi itu.
Bukannya aku tak mendukung orang-orang miskin untuk bisa hidup lebih enak dan sejahtera. Apa yang dilakukan Muhammad Yunus adalah hal yang baik. Tapi sebagai seorang yang menginginkan kebaikan untuk orang yang hidupnya penuh penderitaan itu, Muhammad Yunus pun tahu. Ia sedang berada di tengah-tengah dilema pertumbuhan. Bahkan seorang peraih Nobel Perdamaian untuk kredit mikro bagi orang miskin itu pun tahu, bahwa penambahan kekayaan di dunia akan membuat pemanasan global dan juga perubahan iklim akan semakin memburuk. Apa jadinya jika Barat tidak mau mengencangkan ikat pinggang mereka sementara India, Tiongkok, Brasil dan Indonesia, empat negara dengan penduduk luar biasa besar akhirnya menjadi negara sejahtera, makmur, dan memiliki warga yang kecukupan atau bertambah banyaknya orang kaya baru? Maaf, hanya sekedar melihat jalanan di negara ini, sekitar Jawa, aku sudah tak mampu lagi membayangkannya.
Setidaknya, Muhammad Yunus cukup waras dan tahu mengenai masalah dan dilema yang dihadapi dirinya sendiri dengan agenda pengentasan kemiskinannya. Tapi apa hal semacam ini pernah dipikirkan oleh para ahli dan orator populis di negara ini? Yang seringkali berkoar-koar menjanjikan hidup berkelimpahan tanpa pernah berpikir secara panjang dan mendalam? Yah, mau bagaimana lagi, sebagian banyak pejabat negara ini pun akhirnya berubah menjadi koruptor. Tubuh di zaman modern. Otak dan hati berada di zaman batu. Sangat disayangkan memang.
Kekayaan dan kemiskinan, pada akhirnya kembali pada apa yang pernah disuarakan oleh George Simmel bahwa orang akan saling memandang antara satu dan lainnya. Bahkan orang yang kaya pun bisa saja masih menganggap dirinya miskin dan merasa kurang. Sayangnya, dunia tanpa kemiskinan adalah dunia yang tak pernah bisa diselesaikan oleh kaum anarkis sekalipun. Orang sosialis dan komunis, apalagi itu? Kerjanya hanya pura-pura mengelabui orang-orang bahwa semua orang harus setara dalam kekayaan atau malah dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan pada akhirnya? Dan seolah-olah gaung para fungsionalis bergema lagi; kemiskinan pun dibutuhkan agar seluruh dunia ini berjalan. Apa jadinya jika tak ada orang miskin? Pada akhirnya, sebagian benar, sebagian lagi hanya sekedar pembenaran atas penindasan orang lainnya.
Entahlah, memikirkan masalah kemiskinan di negara ini, di tengah-tengah perjalanan bisa membuat kepalaku pecah berantakan. Para dosen dan guru besar saja lebih banyak memikirkan kenaikan gaji dan bagaimana tak segera lengser dari kursi. Dan pejabat negara pun nyaris tak menyelesaikan apa pun walau mereka sudah sangat sering berkampanye dari zaman baheula. Semenjak aku kecil dan masih ingusan dan telanjang di jalanan untuk menyambut musim hujan. Bayangkan, semenjak aku kecil dan masih suka telanjang di jalanan dan lari kesana kemari tanpa memikirkan apa itu pornoaksi dan sopan santun itu! Apa waktu sebanyak itu masih belum cukup?
Kereta pun terus melaju. Berderit-derit. Terkadang harus berhenti untuk mengalah pada kereta yang lebih kaya. Yah, dalam perkereta apian pun, mengalah kepada kereta lainnya yang lebih mewah itu juga penting dan kewajiban. Apakah itu sebentuk feodalisme? Entahlah. Yang jelas, dinginnya kereta membuat tubuhku seperti ada di lapisan es dan punggungku pun menjerit-jerit. Aku pun terpaksa memindahkan kaki kesana kemari. Berganti posisi entah berapa puluh kali dalam beberapa menit. Mencoba membuat sketsa suasana kereta, hasil akhirnya buruk. Mencorat-coret catatan dengan pengamatan akan sekitar. Atau mencoba untuk masih bisa menikmati halaman demi halaman buku yang semakin tampak kabur. Akhirnya, aku pun tertidur.
Dan tenyata, bangun lagi..
Mana bisa aku tidur dengan nyaman jika punggungku menderita sakit yang susah untuk ditidurkan. Selain kursi yang sempit dan kaki yang susah untuk dipanjangkan. Tidur di kereta ekonomi hanyalah milik manusia-manusia setengah dewa. Dan sialnya, ternyata banyak manusia setengah dewa di gerbong kereta api ini.
Antara kagum dan heran, itulah sebagian dari manusia Indonesia yang berada di pulau Jawa ini. Gerbong ekonomi sudah mirip seperti berada di Bali dan Hawaii saja. Susah dijelaskan memang. Tapi itulah kenyataannya. Kenyataan yang akan ditolak oleh hampir semua pemangku kebijakan yang ada jika mereka berpergian. Seandainya ada walikota atau presiden yang rela naik kereta dengan gerbong ekonomi, mungkin itu tanda dunia akan segera tamat. Tanda-tanda kiamat akan muncul jika bupati atau menteri memakai sepeda dan naik bus ekonomi di negara ini.
Kereta masih terus melaju. Di luar jendela kaca hanya ada kegelapan dan kilasan cahaya dari lampu-lampu perumahan. Menandakan kereta melewati daerah pemukiman penduduk. Kudekatkan wajahku di kaca, siapa tahu ada hantu yang berpakaian Superman atau Spiderman. Atau Kuntilanak yang berdandan ala Britney Spear. Tapi sayangnya tak ada. Kenapa di Indonesia tak ada hantu impor? Masih ada orang Belanda. Serdadu masa lalu. Tapi, hantu modern mungkin lebih menarik. Orang-orang dari Eropa terlebih Asia Timur, sangat suka dengan segala yang berbau hantu dan mistik di Indonesia. Sering aku berpikir, siapa tahu orang bule itu mendadak ketemu hantu bergaya Rock and Roll atau Punk. Atau hantu K-POP mungkin. Sayang hantu di negara ini kurang mengikuti perkembangan zaman. Sayang memang. Hantu pun mencerminkan kondisi sosial, pikiran dan mental warga negara ini. Di era modern ini, siapa yang masih percaya hantu? Ah Eka Kurniawan masih mempercayainya dan orang Eropa pun suka.
Indonesia adalah hantu masa lalu.
Kereta terus melaju. Malam merayap. Kereta sunyi dari suara manusia. Aku lihat orang-orang tertidur seolah-olah wajah mereka mereka bisa menghina orang-orang kaya yang selalu resah dan berpenyakitan. Posisi tidur mereka adalah suka-suka. Tak lama kemudian kantuk juga menyerangku. Aku melihat seorang bapak yang berdiri menahan kantuknya demi sang istri yang terserang angin di perutnya. Wajah yang memelas tapi dengan sabar, tanpa protes, menjalani kehidupannya. Kadang terpikir olehku untuk merelakan sebagian tempat dudukku. Tapi punggungku meronta-ronta. Dan demam di tubuhku pun tak kunjung hilang. Pada akhirnya, aku hanya sekedar mampu memandangi bapak itu dan semoga ia nanti mau mengambil tempat duduk di samping ibu-ibu yang bagai ratu kereta tadi. Dan ketika aku jatuh tertidur, walau hanya sebentar, ketika aku terbangun, bapak itu sudah ada di kursi yang tadi aku pikirkan. Dan semua orang tertidur dengan wajah dan tubuhnya masing-masing. Mengamati mereka yang tertidur seperti mengamati sebagian dari diri mereka yang telanjang tanpa ditutup-tutupi.
Aku arahkan mataku kesana-kemari. Lalu kedua bola matanya tertahan pada dua orang yang ada di depanku. Sepasang suami istri yang, yah, terlalu mesra di saat anak lugu seperti aku ini berada di depan mereka. Dan jangan pernah percaya kalau aku masih lugu. Teman-temanku sendiri nyaris akan wafat kalau mendengar aku masih lugu dan polos.
Aku amat-amati sekilas, nyaris semua yang dikenakannya bermerek Nike; dari jaket hingga sepatu. Virginia Wolf mungkin akan sedih melihat itu. Bukunya yang berjudul No Logo nyaris tak berlaku di negara ini. Dan Allisa Quart, yang bukunya diterjemahkan menjadi Belanja Sampai Mati, akan geleng-geleng kepala. Aku pun juga geleng-geleng kepala saat melihatnya. Tubuh ibu itu dimeriahkan oleh barang-barang impor. Dengan gaya anak muda, ia tertidur tanpa mungkin tahu siapa dirinya sebenarnya. Dan sial, ketika aku melihat jaketku sendiri, jaket berwarna merah, ada tulisan Nike tertoreh di bagian dada sebelah kiri. Yang diamati dan yang mengamati ternyata tak jauh beda. Ironis memang. Sungguh, aku ini makhluk ironis yang suka menggerutu dan tak sadar diri. Sedang bapak paruh baya yang menemaninya, mendendangkan suara mesin ribut yang tak karuan bisingnya. Dan anehnya, kereta pun masih berjalan seperti biasanya.
Tak lama kemudian, kereta memasuki stasiun terakhir. Aku pun bersiap-siap. Udara dingin meremukan tulangku dan membuat hidungku berair. Aku telah sampai di Bandung. Tentunya semua orang pun bangun dengan urusannya masing-masing. Aku pun sibuk mengemasi barang-barangku. Tas yang lumayan berat ditambah tas cangklong yang berisikan buku-buku yang sama beratnya. Ah, akhirnya aku melangkahkan kakiku di tangga kereta api. Aku telah mencapai Paris Van Java!
Mengenai pembaca buku, aku hampir lupa. Sejujurnya aku malas menuliskannya. Karena ceritanya akan sama saja. Karena hampir tak ada yang membaca buku di gerbong yang aku duduki kecuali diriku seorang ini. Walau terdapat beberapa anak muda. Mereka setiap saat tak mau lepas dari sesembahannya; gadget.
Akhirnya kaki dan tubuhku telah berada di luar gerbong. Aku pun melangkah terhuyung-huyung. Mencari tempat untuk menyandarkan punggung. Suasana tampak cukup ramai namun juga terkesan sepi dan hening. Dan stasiun ini terasa begitu kecil dan biasa saja. Apakah benar aku telah sampai di Paris Van Java? Sial, udara begitu ngilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar