.. meski memgalami pertumbuhan
pesat dalam aspek ilmu pengetahuan dan penelitian profesional selama satu abad
terakhir, hanya ada beberapa pencapaian international dari ilmu pengetahuan
Indonesia. Jika melihat wajah ilmu pengetahuan Indonesia dari luar, ilmu
pengetahuan alam Indonesia secara umum biasa-biasa aja. Di antara para ilmuwan
Asia yang meraih Penghargaan Nobel, tidak ada satu pun ilmuwan Indonesia yang
pernah mendapatkannya. Hanya ada satu orang ilmuwan kolonial, ahli kimia
berkebangsaan Belanda Chistiaan Eijkman, yang memenangkan penghargaan tersebut
pada 1929. Ia mendapatkan penghargaan untuk rangkaian penelitian penyebab beri-beri
pada ayam yang dilakukannya di kioloni Belanda pada 1890-an.
-
Andrew
Goss
Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan
Bus melaju meninggalkan kota
Bandung yang berantakan di pinggirannya. Kota yang disia-siakan dengan sempurna
dan dihancurkan oleh keranjingan akan berbelanja, bersenang-senang, membuang
sampah seenak dan sebanyak-banyaknya dan sebuah kota yang panas, sesak, tak
terlalu mengagumi ilmu pengetahuan dan sebentar lagi akan semakin membuat
frustasi.Yah, aku meninggalkan kota itu, menuju Bogor, yang dulu dikenal
sebagai Buitenzorg, yang lebih dingin
dan mungkin lebih indah. Di dalam angan-anganku, Bogor adalah kota yang indah
dengan kebersihan dan ketertiban yang tak akan aku temui di kota-kota lainnya. Selain
itu, aku terpikat dengan kisah Kebun Raya Buitenzorg atau yang kini dikenal
dengan Kebun Raya Bogor yang ditulis oleh Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan, dan
betapa penting dan mengagumkannya Kebun Raya itu di masa keemasannya. Dan sisi
lain yang buram adalah ilmu pengetahuan yang tenggelam hingga kini.
Negara yang para pemimpin dan
masyarakatnya tidak mengagumi ilmu pengetahuan, cepat atau lambat akan
tersingkir dan selalu menjadi yang tertinggal.
Ada aura gelap yang aku bayangkan
di bus yang sedang melaju ini. Membayangkan sebuah surga yang disia-siakan
sangatlah menyedihkan. Kalau orang tidak sedih mengenai hal semacam itu.
Sebaiknya kita antarkan saja orang itu ke psikiater dan psikolog terdekat.
Setelah kulihat-lihat, hanya ada
seorang saja yang tengah memegang sebuah buku yang berkaitan dengan bisnis.
Seorang perempuan. Dan yang lain, aku tak merasakannya. Pembaca buku adalah
hantu yang nyaris tak terlihat kemana pun aku pergi. Dan jika sesekali aku
melihatnya, aku nyaris bagai bertemu dengan ketidakmungkinan.
Aku duduk di kursi paling depan,
sebelah kiri, kursi kanan dekat jalannya kaki-kaki, di temani seorang perempuan
yang juga ingin ke Bogor. Hanya sesekali kami bertukar kata. Mungkin aku sedang
tak ingin bicara atau sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku lebih sering memilih
diam dan membiarkan mataku berkeliling dan meraba-raba. Dan akhirnya aku
terselamatkan dengan colokan listrik yang ada di depan, dekat supir. Dengan
begitu, aku akan masih sempat untuk mengambil gambar. Karena semua gaget yang
aku bawa memiliki kecepetan baterai yang mudah terkuras. Aku tak punya power
bank. Lagian, tasku sudah sangat berat dan melelahkan.
Aku bagikan turis asing di negara
sendiri. seorang Jawa yang tak tahu apa itu sebenarnya Jawa. Dan perjalanan
ini, membuatku sadar akan betapa butanya aku akan tempat di mana aku
dilahirkan. Karena aku buta akan banyak hal, yah, akhirnya aku harus terpaksa
membolak-balikkan buku Jawa Tempo Doeloe
dan Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan.
Demi mencari tahu tentang Bogor, di dalam bus yang sedang melaju pun, aku harus
secepat mungkin mencari tahu kota itu. Buku aku bolak-balik. Indeks aku
jelajahi hingga membuat kepalaku pusing. Seepat mungkin mencari tahu apa yang
harus aku tahu dan inginkan ketika di sana. Begitu juga dengan Jakarta. Aku
nyaris tak tahu banyak hal tentang kota itu. Lalu aku membentangkan peta hijau
kota Jakarta secara lebar-lebar di dalam bus. Menandai apa saja yang nanti akan
inginkan. Dan tentunya, agar orang-orang di dekat, samping dan belakangku tahu
bahwa ada seorang yang sedang sibuk dengan buku-bukunya.
Aku harus sering membuat
buku-buku berada di kerumunan orang. Sebagai sebentuk kritik dan juga mengajak
masyarakat secara tak langsung untuk menghargai buku di tempat-tempat publik
atau di tengah-tengah orang banyak. Aku kembali membuka bukuku. membacanya. Dan
terkadang memandang jauh dari balik kaca
jalan tol Cipularang.
Sisa-sisa kebakaran di pinggir
ruas jalan masih sangat terlihat jelas. Entah itu karena di bakar atau
terbakar, aku pun tak tahu. Sisa-sisa hutan yang semakin habis oleh berbagai
macam perumahan yang seolah menggantung di antara lembah. Dan kemacetan. Yah,
di tol pun ada kemacetan. Itu baru luar biasa.
Entah kenapa aku malah sangat
terhibur dengan kemacetan yang terjadi di tol yang sangat memesona. Kemacetan
di tanah Jawa memang sangat memesona. Hingga membuat kendaraan nyaris tak
bergerak seinci pun. Untungnya sisi jalan ke arah Bandung lah yang dalam
keadaan macet. Panjang. Sangat panjang. Begitu panjang. Hingga aku berpikir,
mungkin sebaiknya besok para insinyur dan ahli mesin di Indonesia harus
menemukan bus yang mampu terbang mirip helikopter atau pesawat terbang. Atau
sekalin saja helikopter dan pesawat terbang sebagai angkuan publik yang murah
dan handal. Sejujurnya, itu bukan solusi. Mengingat orang Indonesia keranjingan
menabrakkan pesawat terbang hampir setiap tahunnya. Dilema masyarakat Jawa dan
Indonesia secara keseluruhan mengingat penduduk yang semakin padat dan warga
kota yang nyaris belum beradab. Benar-benar dilema antara peningkatan
kesejahteraan yang penuh gengsi atau sikap bijaksana yang beradab dan sadar
diri. Sayang, yang terakhir hanyalah gurauan dan sekedar hiburan di buku-buku.
Semua orang ingin bahagia.
Berwisata dan berpergian tanpa harus berpikir panjang lebar mengenai kemungkinan
terburuk dengan gaya hidup umum dewasa ini dan berbesar hati menggunakan
transportasi publik. Seperti yang dikatakan Felipe Buistrago Restrepo dan Ivan
Duque Marquez dalam Orange Economy, “lagi pula, setiap orang ingin pergi ke
surga, tetapi tak seorang pun ingin mati.” Seperti itulah tepatnya yang terjadi
di Jawa.
Semua orang ingin berbahagia.
Hingga tak ada seorang pun yang pada akhirnya berbahagia.
Dan apa yang dikatakan
berulangkali oleh Eric Weiner mengenai kaitan antara geografi dan kebahagiaan,
sangatlah teruji di kota-kota yang tersebar di Jawa. Kadang aku iri dengan Eric
Weiner yang bisa dengan mudah mengatakan, “pertanyaan besarnya adalah; Apakah
yang terjadi pada jiwa seseorang ketika dia memuaskan diri dengan kemewahan
pengecut yang berlebihan, vulgar, benar-benar vulgar? Saya tidak mengetahui
jawaban pertanyaan tersebut, tetapi saya dan kartu kredit American Ekpress saya
memutuskan untuk mencari tahu.” Yah, kenyataannya aku tak memiliki kartu kredit
yang bisa mencari tahu akan banyak hal dan apa yang ingin aku cari. Setidaknya,
tepat di depan mataku, dan tak perlu menggesek kartu kredit, aku melihat
kemewahan yang menjamur di jalan tol ini. Kemewahan yang menimbulkan kemacetan
dan asap knalpot yang mengerikan.
Kemewahan yang pengecut dan
vulgar. Aku rasa, aku sangat setuju dengan Eric Weinar mengenai hal itu.
Terlebih jika menyangkut masyarakat di pulau ini. Di mana hampir semua orang
ingin menunjukkan kemewahannya di setiap jalan yang ada sehingga nyaris membuat
kemewahan itu tak berguna.
Sampai di tol Cikampek, suasana
benar-benar muram. Bus sudah mulai tersendat-sendat. Kendaraan bermesin
menumpuk. Dan ruas jalan ke arah sebaliknya terlihat sangat mengerikan.
Kemacetan yang menggurita. Benar-benar mirip wabah penyakit yang mengantri
untuk melenyapkan nyawa siapa saja yang mungkin lemah dan tak memiliki cadangan
nyawa. Baru kali ini aku melihat kemacetan yang begitu parah seperti sekarang
ini. Jika tol saja nyaris tak mampu menghentikan pola hidup mereka yang tinggal
dan berwisata di Jawa. Bagaimana dengan apa yang ada di dalam kota itu sendiri?
Kemacetan bisa membunuh orang.
Menghancurkan badan dan jiwa. Merusak rasa persaudaraan. Menimbulkan perpecahan
dan konflik. Menjadikan orang mengalami gangguan jiwa, depresi, frustasi, lelah,
dan menimbulkan masalah kesehatan. Kemacetan membuat segala macam jenis harapan
hilang, musnah, dan hancur. Membuat transaksi usaha dan bisnis mati total,
terbengkalai dan remuk. Sehingga banyak pengusaha yang mungkin memandam
perasaan marah terhadap segala jenis kemacetan yang ada. kemacetan juga
mempercundangi masyarakat beragama yang ada dan seringkali adalah mayoritas.
Menningkatkan rasio kecelakan lebih mudah akibat kehilangan fokus dan kelelahan
selama kemacetan terjadi. Angkutan publik antar kota dan provinsi yang semakin
tak sabaran karena waktu yang dimilikinya dipangkas oleh macet. Mengejar
setoran dan pemasukan di tengah kelelahan, jengkel, dan perasaan marah yang
ditahan. Terlebih akan benar-benar menghancurkan tubuh yang mana terpapar
penyejuk udara yang efek sampingnya menghancurkan. Terlalu lama di jalanan,
berarti harus semakin lama terpapar oleh penyejuk udara di dalam ruangan. Sementara
mereka yang tidak menikmati penyejuk udara akan mengalami rasa panas yang luar
biasa sehingga bisa membuat tubuh rusak lebih cepat lagi. Dan semua itu
berujung pada kelelahan jiwa dan emosi yang tak stabil. Hal semacam ini
berarti, Indonesia sedang berada dalam darurat nasional.
Anak yang hari ini masih sangat
kecil dan kemungkinan bayi, sudah sangat biasa dan sering terpapar oleh udara
panas, penyejuk udara yang merusak, asap knalpot, makanan dan mainan yang
berbahan kimia dan beracun, lingkungan yang semakin rusak, dan kemungkinan
besar ditambah kemiskinan, atau perceraian, ketidakpedulian dalam keluarga dan
kekayaan yang tak mampu mendekatkan suasana hangat antara orang tua dan si anak
itu sendiri.
Kita semua adalah generasi yang
sakit dan tak tahu harrus bagaimana dalam menjalahi hidup. Dan ketika melihat
jalan tol yang semakin suram. Aku tiba-tiba begitu sedih. Rasa ingin tahuku
masihlah meluap-luap. Tapi kali ini dimasuki perasaan haru dan cemas.
Melihat Jawa kau akan selalu
cemas. Karena jika Jawa rusak. Maka pulau-pulau lainnya akan juga menjadi
rusak. Jika masyakat perkotaan di Jawa yang identik dengan peradaban melakukan
semua hal yang nyaris tak beradab. Maka pulau-pulau lainnya kemungkinan besar
akan mengalami hal yang sama.
Kita harus menyembuhkan kota-kota
di Jawa. Begitu juga orang-orangnya.
Perjalanan menuju Bogor
benar-benar bisa sangat melelahkan bahkan menyakitkan. Itu baru kata menuju.
Belum sampai dan berada di dalam kota Bogor itu sendiri. Mengingat jalanan
nyaris tak tersisa sedikit pun, bayangan akan gunung-gunung, seperti yang pernah
aku baca dari buku milik Clement Steve, Menyusuri
Garis Bumi, nyaris tak berguna. Aku tak lagi peduli, bahkan sejak awal
Gunung apa saja yang pernah aku lihat. Dan bahkan, sesungguihnya, semuanya
nyaris tak terlihat.
Benar-benar sangat beruntung apa
yang dilakukan oleh Charles Walter Kinloch dengan kereta kudanya saat sedang
menuju Buitenzorg atau Bogor. Kemewahan yang benar-benar nyaris tak aku alami:
Alangkah indahnya pagi; betapa
segar dan bersihhnya udara dan betapa harumnya aroma ratusan bunga liar yang
tumbuh semarak di pinggir jalan, mewangikan udara dengan bau yang mengingatkan
seseorang akan wangi syringa (sejenis bunga lilac) di kebun Inggris kami. Serta
alangkah indahnya pemandangan yang terbentang di depan kami. Di hadapan kami
terdapat hutan Megamendon (Megamendung) yang lebat dan sekitar empat jam
kemudian akan kami lalui dengan kereta kami. Hutan ini berada pada ketinggian
4.300 kaki di atas permukaan laut.
Sedikit agak ke kanan, dan saat
ini sudah tertutup oleh kabut, terdapat Simoet yang megah. Di bagian ujung
kiri, dan di puncaknya terkadang terlihat muncul dari balik kumpulan awan putih
yang menutupinya, berdirilah Gunung Salok (Salak) yang anggung pada ketinggian
7.000 kaki. Di bawah kami, dan yang saat ini perlahan-lahan mulai menghilang
dari pandangan, teradapat sejumlah pemandangan indah perbukitan kecil yang
hampir mengelilingi kota Buitenzorg. Dan bermil-mil jauh di sana, terbentang
dataran hijau yang berada di antara distrik Buitenzorg dan Batavia.
Sisa-sisa keindahan yang dilihat
oleh Charles Walter Kinloch masihlah terlihat di sana-sini. Tapi, jika aku
mengamati dari balik bangku bus antar kota ini, sejujurnya keindahannya nyaris
benar-benar tak terlihat. Kita semua membatasi cakrawala perjalanan kita di
dalam sebuah kotak berbentuk bus, mobil, kereta atau pesawat. Sejujurnya bukan
kotak. Hanya saja seperti ungkapan out of
the box. Kita berada di dalamnya. Menenggelamkan diri di dalamnya. Dan yang
terjadi adalah, kita kehilangan dan melupakan banyak hal; lanskap alam,
struktur geografi, macam jenis pepohonan dan tetumbuhan, suasana pedesaan atau
kota yang kita lewati, hingga masyarakat sampai apa yang aku sebut kepekaan.
Kotak yang selama ini kita bawa-bawa dalam setiap kehidupan dan perjalanan kita
telah membatasi diri kita sendiri dalam melihat dan mengalami peristiwa dan
segala sesuatunya. Kemajuan teknologi dan alat transportasi telah menjauhkan
kita dari alam sekitar dan apa yang seharusnya kita renungkan dan selamatkan.
Dan kali ini, bus kembali
tersendat-sendat. Bahkan tidak hanya tersendat. Lebih tepatnya nyaris berhenti.
Sedangkan pemandangan di balik kaca sangatlah membosankan. Penambangan tanah.
Erosi. Sisa kebakaran. Hutan yang kehilangan dirinya sendiri. Rumah yang
bertumpuk-tumpuk memenuhi banyak tempat. Rimbun pepohonan yang tak mungkin
karena nyaris tak ada lagi. Burung-burung yang tak terlihat ada di mana-mana.
Semakin banyaknya tempat singgah berbentuk Mall atau Swalayan. Dan kemacetan
yang berlimpah ruah.
Baiklah, aku mulai sadar diri,
aku sedang menuju kota yang dulu bernama Buitenzorg, yang berarti kota tanpa
kecemasan dan sebuah kota yang aman lagi tentram. Dan tentunya, lebih dikenal
sebagai kota hujan yang memiliki
curah hujan yang lebih tinggi dan suhu udara yang lebih dingin. Apakah kota
Bogor akan kebal dengan panas yang kini kian mengerikan di Jawa? Yang mana kota
Bandung sendiri sekarang sudah tak lagi kenal dengan udara panas menyengat dan
terik matahari yang semakin mudah turun ke tanah atau aspal jalanan.
Bus terus melaju. Atau lebih baik
aku katakan sebagai merangkak atau sedang memperagakan dongeng kancil dan
kura-kura. Dan bus ini, bagaikan kura-kura di dalam kisah dongeng itu. Sungguh
pelan. Luar biasa pelan. Sangat pelan. Dan di depanku, di mana kaca depan
kepala bus menghamparkan pemandangan yang nyaris serupa. Semua kendaraan
tiba-tiba berubah menjadi kura-kura.
Memasuki jalan tol Jagorawi
rasanya ingin sekali bunuh diri. Terlebih ketika bus mulai berbelok menuju
entah kemana. Aku tak begitu paham. Aku baru pertamakali kemari. Yang jelas,
berbelok pun berarti tersendat-sendat dan menunggu berbagai jenis mobil, bus
dan truk yang juga sedang berbelok.
Memasuki area kota Bogor, jalanan
nyaris berhenti. Benar-benar keadaan yang sangat tolol. Aku pun menjadi muram.
Apakah seperti ini kota Bogor?
Hari sabtu adalah hari
terberengsek sedunia. Sabtu adalah hari yang sangat menyebalkan untuk melakukan
perjalanan. Dan sabtu adalah di mana kota menjadi penuh sesak dengan omong
kosong. Lama kelamaan, aku ingin memuseumkan hari sabtu dan memasukkannya ke
dalam peti lalu menguburkannya atau membuangnya ke laut. Sabtu adalah hari yang
mengerikan. Sabtu adalah hari pembantaian massal kebahagiaan.
Ya, hari ini adalah hari sabtu, 4
September 2015, dan aku sedang memasuki sebuah kota yang dulunya dijadikan tempat
peristirahatan berbagai pejabat penting Belanda dan tempat di mana berbagai
macam kerajaan Sunda berdiri. Dan tiba-tiba, bus memasuki terminal Bogor, yang
entah kenapa, di dalam otakku terbesit sebuah pertanyaan, apakah aku
benar-benar sudah berada di Bogor?
Tap tap tap. Aku melangkah turun.
Dan di depanku, terpampang terminal yang sungguh mengerikan. Dan, di sinilah
aku. Bagaikan dilempar dari imajinasiku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar