Sabtu, 09 Juli 2016

MENUJU KOTA HUJAN, BOGOR














.. meski memgalami pertumbuhan pesat dalam aspek ilmu pengetahuan dan penelitian profesional selama satu abad terakhir, hanya ada beberapa pencapaian international dari ilmu pengetahuan Indonesia. Jika melihat wajah ilmu pengetahuan Indonesia dari luar, ilmu pengetahuan alam Indonesia secara umum biasa-biasa aja. Di antara para ilmuwan Asia yang meraih Penghargaan Nobel, tidak ada satu pun ilmuwan Indonesia yang pernah mendapatkannya. Hanya ada satu orang ilmuwan kolonial, ahli kimia berkebangsaan Belanda Chistiaan Eijkman, yang memenangkan penghargaan tersebut pada 1929. Ia mendapatkan penghargaan untuk rangkaian penelitian penyebab beri-beri pada ayam yang dilakukannya di kioloni Belanda pada 1890-an.
-          Andrew Goss
Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan



Bus melaju meninggalkan kota Bandung yang berantakan di pinggirannya. Kota yang disia-siakan dengan sempurna dan dihancurkan oleh keranjingan akan berbelanja, bersenang-senang, membuang sampah seenak dan sebanyak-banyaknya dan sebuah kota yang panas, sesak, tak terlalu mengagumi ilmu pengetahuan dan sebentar lagi akan semakin membuat frustasi.Yah, aku meninggalkan kota itu, menuju Bogor, yang dulu dikenal sebagai Buitenzorg, yang lebih dingin dan mungkin lebih indah. Di dalam angan-anganku, Bogor adalah kota yang indah dengan kebersihan dan ketertiban yang tak akan aku temui di kota-kota lainnya. Selain itu, aku terpikat dengan kisah Kebun Raya Buitenzorg atau yang kini dikenal dengan Kebun Raya Bogor yang ditulis oleh Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan, dan betapa penting dan mengagumkannya Kebun Raya itu di masa keemasannya. Dan sisi lain yang buram adalah ilmu pengetahuan yang tenggelam hingga kini.

Negara yang para pemimpin dan masyarakatnya tidak mengagumi ilmu pengetahuan, cepat atau lambat akan tersingkir dan selalu menjadi yang tertinggal.

Ada aura gelap yang aku bayangkan di bus yang sedang melaju ini. Membayangkan sebuah surga yang disia-siakan sangatlah menyedihkan. Kalau orang tidak sedih mengenai hal semacam itu. Sebaiknya kita antarkan saja orang itu ke psikiater dan psikolog terdekat.

Setelah kulihat-lihat, hanya ada seorang saja yang tengah memegang sebuah buku yang berkaitan dengan bisnis. Seorang perempuan. Dan yang lain, aku tak merasakannya. Pembaca buku adalah hantu yang nyaris tak terlihat kemana pun aku pergi. Dan jika sesekali aku melihatnya, aku nyaris bagai bertemu dengan ketidakmungkinan.

Aku duduk di kursi paling depan, sebelah kiri, kursi kanan dekat jalannya kaki-kaki, di temani seorang perempuan yang juga ingin ke Bogor. Hanya sesekali kami bertukar kata. Mungkin aku sedang tak ingin bicara atau sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku lebih sering memilih diam dan membiarkan mataku berkeliling dan meraba-raba. Dan akhirnya aku terselamatkan dengan colokan listrik yang ada di depan, dekat supir. Dengan begitu, aku akan masih sempat untuk mengambil gambar. Karena semua gaget yang aku bawa memiliki kecepetan baterai yang mudah terkuras. Aku tak punya power bank. Lagian, tasku sudah sangat berat dan melelahkan.

Aku bagikan turis asing di negara sendiri. seorang Jawa yang tak tahu apa itu sebenarnya Jawa. Dan perjalanan ini, membuatku sadar akan betapa butanya aku akan tempat di mana aku dilahirkan. Karena aku buta akan banyak hal, yah, akhirnya aku harus terpaksa membolak-balikkan buku Jawa Tempo Doeloe dan Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan. Demi mencari tahu tentang Bogor, di dalam bus yang sedang melaju pun, aku harus secepat mungkin mencari tahu kota itu. Buku aku bolak-balik. Indeks aku jelajahi hingga membuat kepalaku pusing. Seepat mungkin mencari tahu apa yang harus aku tahu dan inginkan ketika di sana. Begitu juga dengan Jakarta. Aku nyaris tak tahu banyak hal tentang kota itu. Lalu aku membentangkan peta hijau kota Jakarta secara lebar-lebar di dalam bus. Menandai apa saja yang nanti akan inginkan. Dan tentunya, agar orang-orang di dekat, samping dan belakangku tahu bahwa ada seorang yang sedang sibuk dengan buku-bukunya.

Aku harus sering membuat buku-buku berada di kerumunan orang. Sebagai sebentuk kritik dan juga mengajak masyarakat secara tak langsung untuk menghargai buku di tempat-tempat publik atau di tengah-tengah orang banyak. Aku kembali membuka bukuku. membacanya. Dan terkadang memandang jauh dari balik kaca  jalan tol Cipularang.

Sisa-sisa kebakaran di pinggir ruas jalan masih sangat terlihat jelas. Entah itu karena di bakar atau terbakar, aku pun tak tahu. Sisa-sisa hutan yang semakin habis oleh berbagai macam perumahan yang seolah menggantung di antara lembah. Dan kemacetan. Yah, di tol pun ada kemacetan. Itu baru luar biasa.

Entah kenapa aku malah sangat terhibur dengan kemacetan yang terjadi di tol yang sangat memesona. Kemacetan di tanah Jawa memang sangat memesona. Hingga membuat kendaraan nyaris tak bergerak seinci pun. Untungnya sisi jalan ke arah Bandung lah yang dalam keadaan macet. Panjang. Sangat panjang. Begitu panjang. Hingga aku berpikir, mungkin sebaiknya besok para insinyur dan ahli mesin di Indonesia harus menemukan bus yang mampu terbang mirip helikopter atau pesawat terbang. Atau sekalin saja helikopter dan pesawat terbang sebagai angkuan publik yang murah dan handal. Sejujurnya, itu bukan solusi. Mengingat orang Indonesia keranjingan menabrakkan pesawat terbang hampir setiap tahunnya. Dilema masyarakat Jawa dan Indonesia secara keseluruhan mengingat penduduk yang semakin padat dan warga kota yang nyaris belum beradab. Benar-benar dilema antara peningkatan kesejahteraan yang penuh gengsi atau sikap bijaksana yang beradab dan sadar diri. Sayang, yang terakhir hanyalah gurauan dan sekedar hiburan di buku-buku.

Semua orang ingin bahagia. Berwisata dan berpergian tanpa harus berpikir panjang lebar mengenai kemungkinan terburuk dengan gaya hidup umum dewasa ini dan berbesar hati menggunakan transportasi publik. Seperti yang dikatakan Felipe Buistrago Restrepo dan Ivan Duque Marquez dalam Orange Economy, “lagi pula, setiap orang ingin pergi ke surga, tetapi tak seorang pun ingin mati.” Seperti itulah tepatnya yang terjadi di Jawa.
Semua orang ingin berbahagia. Hingga tak ada seorang pun yang pada akhirnya berbahagia.

Dan apa yang dikatakan berulangkali oleh Eric Weiner mengenai kaitan antara geografi dan kebahagiaan, sangatlah teruji di kota-kota yang tersebar di Jawa. Kadang aku iri dengan Eric Weiner yang bisa dengan mudah mengatakan, “pertanyaan besarnya adalah; Apakah yang terjadi pada jiwa seseorang ketika dia memuaskan diri dengan kemewahan pengecut yang berlebihan, vulgar, benar-benar vulgar? Saya tidak mengetahui jawaban pertanyaan tersebut, tetapi saya dan kartu kredit American Ekpress saya memutuskan untuk mencari tahu.” Yah, kenyataannya aku tak memiliki kartu kredit yang bisa mencari tahu akan banyak hal dan apa yang ingin aku cari. Setidaknya, tepat di depan mataku, dan tak perlu menggesek kartu kredit, aku melihat kemewahan yang menjamur di jalan tol ini. Kemewahan yang menimbulkan kemacetan dan asap knalpot yang mengerikan.

Kemewahan yang pengecut dan vulgar. Aku rasa, aku sangat setuju dengan Eric Weinar mengenai hal itu. Terlebih jika menyangkut masyarakat di pulau ini. Di mana hampir semua orang ingin menunjukkan kemewahannya di setiap jalan yang ada sehingga nyaris membuat kemewahan itu tak berguna.

Sampai di tol Cikampek, suasana benar-benar muram. Bus sudah mulai tersendat-sendat. Kendaraan bermesin menumpuk. Dan ruas jalan ke arah sebaliknya terlihat sangat mengerikan. Kemacetan yang menggurita. Benar-benar mirip wabah penyakit yang mengantri untuk melenyapkan nyawa siapa saja yang mungkin lemah dan tak memiliki cadangan nyawa. Baru kali ini aku melihat kemacetan yang begitu parah seperti sekarang ini. Jika tol saja nyaris tak mampu menghentikan pola hidup mereka yang tinggal dan berwisata di Jawa. Bagaimana dengan apa yang ada di dalam kota itu sendiri?

Kemacetan bisa membunuh orang. Menghancurkan badan dan jiwa. Merusak rasa persaudaraan. Menimbulkan perpecahan dan konflik. Menjadikan orang mengalami gangguan jiwa, depresi, frustasi, lelah, dan menimbulkan masalah kesehatan. Kemacetan membuat segala macam jenis harapan hilang, musnah, dan hancur. Membuat transaksi usaha dan bisnis mati total, terbengkalai dan remuk. Sehingga banyak pengusaha yang mungkin memandam perasaan marah terhadap segala jenis kemacetan yang ada. kemacetan juga mempercundangi masyarakat beragama yang ada dan seringkali adalah mayoritas. Menningkatkan rasio kecelakan lebih mudah akibat kehilangan fokus dan kelelahan selama kemacetan terjadi. Angkutan publik antar kota dan provinsi yang semakin tak sabaran karena waktu yang dimilikinya dipangkas oleh macet. Mengejar setoran dan pemasukan di tengah kelelahan, jengkel, dan perasaan marah yang ditahan. Terlebih akan benar-benar menghancurkan tubuh yang mana terpapar penyejuk udara yang efek sampingnya menghancurkan. Terlalu lama di jalanan, berarti harus semakin lama terpapar oleh penyejuk udara di dalam ruangan. Sementara mereka yang tidak menikmati penyejuk udara akan mengalami rasa panas yang luar biasa sehingga bisa membuat tubuh rusak lebih cepat lagi. Dan semua itu berujung pada kelelahan jiwa dan emosi yang tak stabil. Hal semacam ini berarti, Indonesia sedang berada dalam darurat nasional.

Anak yang hari ini masih sangat kecil dan kemungkinan bayi, sudah sangat biasa dan sering terpapar oleh udara panas, penyejuk udara yang merusak, asap knalpot, makanan dan mainan yang berbahan kimia dan beracun, lingkungan yang semakin rusak, dan kemungkinan besar ditambah kemiskinan, atau perceraian, ketidakpedulian dalam keluarga dan kekayaan yang tak mampu mendekatkan suasana hangat antara orang tua dan si anak itu sendiri.

Kita semua adalah generasi yang sakit dan tak tahu harrus bagaimana dalam menjalahi hidup. Dan ketika melihat jalan tol yang semakin suram. Aku tiba-tiba begitu sedih. Rasa ingin tahuku masihlah meluap-luap. Tapi kali ini dimasuki perasaan haru dan cemas.

Melihat Jawa kau akan selalu cemas. Karena jika Jawa rusak. Maka pulau-pulau lainnya akan juga menjadi rusak. Jika masyakat perkotaan di Jawa yang identik dengan peradaban melakukan semua hal yang nyaris tak beradab. Maka pulau-pulau lainnya kemungkinan besar akan mengalami hal yang sama.

Kita harus menyembuhkan kota-kota di Jawa. Begitu juga orang-orangnya.

Perjalanan menuju Bogor benar-benar bisa sangat melelahkan bahkan menyakitkan. Itu baru kata menuju. Belum sampai dan berada di dalam kota Bogor itu sendiri. Mengingat jalanan nyaris tak tersisa sedikit pun, bayangan akan gunung-gunung, seperti yang pernah aku baca dari buku milik Clement Steve, Menyusuri Garis Bumi, nyaris tak berguna. Aku tak lagi peduli, bahkan sejak awal Gunung apa saja yang pernah aku lihat. Dan bahkan, sesungguihnya, semuanya nyaris tak terlihat.

Benar-benar sangat beruntung apa yang dilakukan oleh Charles Walter Kinloch dengan kereta kudanya saat sedang menuju Buitenzorg atau Bogor. Kemewahan yang benar-benar nyaris tak aku alami:

Alangkah indahnya pagi; betapa segar dan bersihhnya udara dan betapa harumnya aroma ratusan bunga liar yang tumbuh semarak di pinggir jalan, mewangikan udara dengan bau yang mengingatkan seseorang akan wangi syringa (sejenis bunga lilac) di kebun Inggris kami. Serta alangkah indahnya pemandangan yang terbentang di depan kami. Di hadapan kami terdapat hutan Megamendon (Megamendung) yang lebat dan sekitar empat jam kemudian akan kami lalui dengan kereta kami. Hutan ini berada pada ketinggian 4.300 kaki di atas permukaan laut.

Sedikit agak ke kanan, dan saat ini sudah tertutup oleh kabut, terdapat Simoet yang megah. Di bagian ujung kiri, dan di puncaknya terkadang terlihat muncul dari balik kumpulan awan putih yang menutupinya, berdirilah Gunung Salok (Salak) yang anggung pada ketinggian 7.000 kaki. Di bawah kami, dan yang saat ini perlahan-lahan mulai menghilang dari pandangan, teradapat sejumlah pemandangan indah perbukitan kecil yang hampir mengelilingi kota Buitenzorg. Dan bermil-mil jauh di sana, terbentang dataran hijau yang berada di antara distrik Buitenzorg dan Batavia.

Sisa-sisa keindahan yang dilihat oleh Charles Walter Kinloch masihlah terlihat di sana-sini. Tapi, jika aku mengamati dari balik bangku bus antar kota ini, sejujurnya keindahannya nyaris benar-benar tak terlihat. Kita semua membatasi cakrawala perjalanan kita di dalam sebuah kotak berbentuk bus, mobil, kereta atau pesawat. Sejujurnya bukan kotak. Hanya saja seperti ungkapan out of the box. Kita berada di dalamnya. Menenggelamkan diri di dalamnya. Dan yang terjadi adalah, kita kehilangan dan melupakan banyak hal; lanskap alam, struktur geografi, macam jenis pepohonan dan tetumbuhan, suasana pedesaan atau kota yang kita lewati, hingga masyarakat sampai apa yang aku sebut kepekaan. Kotak yang selama ini kita bawa-bawa dalam setiap kehidupan dan perjalanan kita telah membatasi diri kita sendiri dalam melihat dan mengalami peristiwa dan segala sesuatunya. Kemajuan teknologi dan alat transportasi telah menjauhkan kita dari alam sekitar dan apa yang seharusnya kita renungkan dan selamatkan.

Dan kali ini, bus kembali tersendat-sendat. Bahkan tidak hanya tersendat. Lebih tepatnya nyaris berhenti. Sedangkan pemandangan di balik kaca sangatlah membosankan. Penambangan tanah. Erosi. Sisa kebakaran. Hutan yang kehilangan dirinya sendiri. Rumah yang bertumpuk-tumpuk memenuhi banyak tempat. Rimbun pepohonan yang tak mungkin karena nyaris tak ada lagi. Burung-burung yang tak terlihat ada di mana-mana. Semakin banyaknya tempat singgah berbentuk Mall atau Swalayan. Dan kemacetan yang berlimpah ruah.

Baiklah, aku mulai sadar diri, aku sedang menuju kota yang dulu bernama Buitenzorg, yang berarti kota tanpa kecemasan dan sebuah kota yang aman lagi tentram. Dan tentunya, lebih dikenal sebagai kota hujan yang memiliki curah hujan yang lebih tinggi dan suhu udara yang lebih dingin. Apakah kota Bogor akan kebal dengan panas yang kini kian mengerikan di Jawa? Yang mana kota Bandung sendiri sekarang sudah tak lagi kenal dengan udara panas menyengat dan terik matahari yang semakin mudah turun ke tanah atau aspal jalanan.

Bus terus melaju. Atau lebih baik aku katakan sebagai merangkak atau sedang memperagakan dongeng kancil dan kura-kura. Dan bus ini, bagaikan kura-kura di dalam kisah dongeng itu. Sungguh pelan. Luar biasa pelan. Sangat pelan. Dan di depanku, di mana kaca depan kepala bus menghamparkan pemandangan yang nyaris serupa. Semua kendaraan tiba-tiba berubah menjadi kura-kura.

Memasuki jalan tol Jagorawi rasanya ingin sekali bunuh diri. Terlebih ketika bus mulai berbelok menuju entah kemana. Aku tak begitu paham. Aku baru pertamakali kemari. Yang jelas, berbelok pun berarti tersendat-sendat dan menunggu berbagai jenis mobil, bus dan truk yang juga sedang berbelok.

Memasuki area kota Bogor, jalanan nyaris berhenti. Benar-benar keadaan yang sangat tolol. Aku pun menjadi muram. Apakah seperti ini kota Bogor?

Hari sabtu adalah hari terberengsek sedunia. Sabtu adalah hari yang sangat menyebalkan untuk melakukan perjalanan. Dan sabtu adalah di mana kota menjadi penuh sesak dengan omong kosong. Lama kelamaan, aku ingin memuseumkan hari sabtu dan memasukkannya ke dalam peti lalu menguburkannya atau membuangnya ke laut. Sabtu adalah hari yang mengerikan. Sabtu adalah hari pembantaian massal kebahagiaan.

Ya, hari ini adalah hari sabtu, 4 September 2015, dan aku sedang memasuki sebuah kota yang dulunya dijadikan tempat peristirahatan berbagai pejabat penting Belanda dan tempat di mana berbagai macam kerajaan Sunda berdiri. Dan tiba-tiba, bus memasuki terminal Bogor, yang entah kenapa, di dalam otakku terbesit sebuah pertanyaan, apakah aku benar-benar sudah berada di Bogor?


Tap tap tap. Aku melangkah turun. Dan di depanku, terpampang terminal yang sungguh mengerikan. Dan, di sinilah aku. Bagaikan dilempar dari imajinasiku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar