Rabu, 27 Juli 2016

JOGJA, KOTA YANG HILANG














Bahkan bagi saya yang kurang berpengalaman, Jokyacarta adalah kota yang penting karena masyarakatnya tampak tidak menyadari keberadaan dunia luar. Mereka melakukan segala sesuatu menurut kehendak mereka sendiri ...

Betapa tulus dan pemurahnya pancaran kehidupan yang sebenarnya-rasa kemanusiaan yang umum ada di mana-mana. Seperti hujan, rumput dan matahari. Jika seorang siswa dari negeri yang jauh membaca tentang sejarah Pulau Jawa mulai dari masa Hindu hingga Belanda, ia akan membayangkan bahwa masyarakat Jawa telah kehilangan seluruh semangat dan kebahagiaan mereka setelah 15 abad berada di bawah tekanan kuat para penguasa dan yang tersisa hanyalah masyarakat homogen yang patuh, datar dan muram. Tetapi masih ada kebahagiaan terisa setelah pemerintahan paling kuat berkuasa. Pasar tradisional itu, meski setidaknya sama tuanya dengan kebiasaan sultan untuk memiliki selir, Dan bahkan jauh lebih tua dari penyebaran agama Islam di Jawa, mungkin satu-satunya tanda bahwa pagi hari telah tiba. Kerumunan orang yang sedang bersenang-senang telah lupa bahwa jalan militer di pulau surgawi ini dibangun dari tulang-tulang mereka. Masyarakat ini telah bangkit kembali ...
H.M. Tomlinson, 1923




Saat kau terlanjur mencintai sebuah kota, masyarakatnya, budayanya, dan apa yang ada di dalamnya, kau benar-benar ingin menangis saat kota yang kau cintai itu menjadi tempat di mana neraka manusia pun hadir. Kota yang berubah dengan cepat dan menghapus apapun yang kau cintai. Meluluhlantahkan segala kenangan masa kecil dan apa yang pernah kau miliki.

Di sebuah Jogja, kota yang hilang, Jawa yang perlahan lenyap, ada keinginan menumpahkan air mata sekeras-kerasnya. Saat hatimu sudah terpaut di sini. Di sebuah tanah, embun, sepoai angin dan senja yang turun, dan cakrawala yang masih kau temukan burung-burung yang lewat, mengepakkan sayapnya perlahan dari langit yang bagaikan lukisan yang tak mudah kau lupakan, kau ingin terus di sana dan berharap keindahan itu, surga itu, tak akan lenyap di balik gelombang besar perubahan yang menyeruak layaknya gempa dan luka.

Dan ketika semua berubah menjadi kekacauan yang paling tak masuk akal. Di dalam hatimu yang terdalam kau pun menangis. Menangis dalam kemarahan. Ada torehan luka yang dalam yang tak mungkin dilihat oleh orang biasa. Luka yang lahir dari kota yang terlukai. Dari dunia yang surut, remuk, berserak, dan masa lalu yang tipis menggelayut di tapak kenangan yang pernah kau tandai.

Saat kau terlanjur mencintai sebuah kota, bersama segala isinya yang pernah kau kenal dan agungkan. Sedikit sentakan kegilaan terpelajar bisa membuatmu tersungkur. Hilang arah. Dan saat kau terlanjur mencintai Jawa, kau tersedot ke dalamnya. Dalam kehalusannya. Dalam keindahannya. Dalam kegaiban yang agung dan samar. Dan saat kau bangun pagi hari, di waktu yang berbeda karena usia terus bergerak tak melambat, Jawa yang kau kenal dan cintai pun perlahan lenyap. Rusak. Yang bisa kau lakukan hanyalah menangis. Ya, hanya menangis. Sendirian di suatu tempat. Atau memandangi jalanan yang tak lagi tahu apa yang kini ada di dalamnya.

Di sebuah Jogja, kini aku menangis. Dan marah.



Di masa lalu yang jauh. Aku bagaikan dilahirkan di tanah ini. Dari rahim sorgaloka. Dari sang bayu yang melintas di atas percikan air selatan. Seolah-olah, aku yang sekarang hanya sekedar mengingat keterikatan yang bagaikan ditancapkan sejak masa belum mengenal keterputusan yang terlalu keras dan khianat. Segala sesuatu samar terkenang dalam rasa yang paling dalam yang hanya mampu ditampung oleh setandan hati. Ingatan tak perlu menujum di kedalaman kepala. Tapi ia mengakar di dalam lubuk.

Waktu itu, ketika pertamakali aku merebahkan tubuhku di tanah ini, dengan maksud untuk menjadikannya sebuah rumah. Di sebuah malam permulaan, seorang perempuan muda dengan paras yang sangat cantik datang di dalam mimpiku. Berdiri memandangiku dan seolah tersenyum. Rambutnya panjang terurai. Kembem hijau tersapu emas membuatnya laksana seorang putri atau bahkan ratu. Bahunya yang bening terbuka. Jariknya yang indah bermotof batik kekuningan melayang di udara. Auranya yang tenang dan gaib. Keteduhannya yang tak asing dan seolah ingin bertemu. Segala sesuatunya yang serba Jawa dan keraton, membuatku teringat akan pantai selatan. Mungkinkah ia sang ratu pantai selatan ataukan putrinya yang tercinta? Untuk apa dia datang seolah menyambutku? Lalu tiba-tiba ia pun menghilang. Aku pun terbangun. Keringat berjatuhan dari kulit tipisku. Dalam diam, dan sedikit keterguncangan, aku mengatur nafasku yang kadang tak beraturan. Apakah benar ia sang ratu selatan?

Malam berikutnya, ia datang lagi ke dalam mimpi di kamar kecilku yang pengap. Seolah ingin menegaskan keberadaannya kepadaku. Seolah ingin memastikan bahwa aku tak salah mengenai dirinya. Bagaikan kekasih yang hilang di masa lalu yang jauh, ia menampakkan wujudnya yang lain. Atau ia ingin menegaskan keberadaannya di hadapanku bahwa aku adalah tawanan yang dia inginkan untuk menghuni pantai selatan. Mungkin sebagai bawahannya, prajuritnya atau mungkin budak yang ia perlukan sebagai tumbal? Rambutnya masih terurai indah. Kembem hijau dengan atasan keemasan masih dikenakannya. Kecantikannya membius siapapun yang pernah bertemu dengannya. Walaupun itu hanya di dalam mimpi. Tapi, malam ini, saat udara turun melantunkan dendang kehilangan sang surya, kehangatan yang angslup di bawa oleh angin barat, ia datang padaku, dengan tubuh setengah ular. Melayang-layang dengan pancarannya yang megah dan penuh keanggunan.

Tubuh itu, dari pusar hingga ujung kaki, kini adalah sisik ular yang berkilau, berwarna hijau keemasan dan berlenggak-lenggok di udara kamarku yang dingin. Aku bingung dan bertanya, siapakah dia? Kenapa dia datang lagi kemari? Tidakkah aku baru pertama kali menginjakkan kakiku di tanah ini? Apakah dia menginginkanku? Ataukah ada maksud lain di datang langsung ke hadapanku dengan seterang-terangnya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran di kepalaku saat terbangun dari mimpi dengan tubuh yang gemetar dan basah.

Hari pertama di Jogja, aku disambut oleh makhluk halus penghuni rumah ini. Dan dua hari berturut-turut setelahnya oleh Ratu Selatan, Nyi Roro Kidul atau malah Nyi Blorong? Aku tak tahu. Mungkin aku hanya sekedar kelelahan. Aku hanya sekedar bermimpi. Atau semua itu hanyalah khayalanan aneh yang tak masuk akal dan menjelma dalam mimpi yang sekedar mimpi.

Setelah mimpi-mimpi itu, berbulan-bulan kemudian aku tak pernah mencoba menengok pantai selatan. Ada aura yang aneh, yang seolah mencegahku untuk datang ke sana. Perasaan di mana aku tak diperbolehkan menginjak pasir dan mendengar gemericik air dari pantai selatan yang aku sukai. Di dalam hatiku seolah berbisik, “jangan pergi ke sana untuk saat ini. Kalau tidak, pantai selatan akan mengambilmu.” Padahal sebelum sampai di kota ini, aku begitu rindunya dengan pantai itu.

Apakah perempuan muda bak ratu dan putri raja yang datang di dalam mimpiku lebih pada mengingatkanku agar tidak ke pantai selatan? Ataukah sebaliknya? Hingga saat ini aku masih tak tahu harus berkata apa. Dan aku lebih tak tahu lagi apakah mereka benar atau hanya sekedar mimpi yang terlalu biasa di dalam kehidupanku. Terlalu biasa. Hingga kadang menjadi wajar.

Sejak kecil aku terbiasa dengan mimpi. Entah berapa ratus mimpi atau ribu mimpi yang telah menyertaiku selama ini. Dan mimpi-mimpi itu seolah datang sebagai bentuk percakapan antara dua dunia yang berlainan. Kadang sebagai pesan. Kadang sebagai bentuk perkenalan di suatu tempat yang baru. Seringkali mimpi-mimpi itu membuatku takut. Sejak kecil, aku nyaris tak pernah memiliki mimpi yang bahagia atau baik. Mimpi-mimpi sangat seram bagaikan berada di dalam dunia yang tak aku mengerti. Para setan, jin, dan apapun itu datang dalam mimpiku. Aku yang tersesat berulang-ulang, berbagai jenis kematian, dan masa depan yang entah kenapa aku lihat dalam bentuk simbol-simbol yang harus aku tafsirkan dan renungi. Hingga saat ini, aku masih takut dengan mimpiku yang berbentuk pesan atau kenyataan yang ditutupi oleh orang lain. Ketakutan akan hal itu, membuatku seringkali benar-benar linglung dan cemas. Karena setiap mimpi yang datang, yang berkaitan erat dengan orang yang dekat denganku, seringkali berbentuk kehilangan atau sesuatu yang menusuk diriku. Dalam keadaan semacam itu, kadang aku membenci kemampuanku bermimpi.

Seringkali aku menyamakan pengalaman diriku dengan Carl Gustav Jung. Seorang laki-laki yang hidup dalam mimpi-mimpinya, rasa ingin tahu untuk memecahkan makna dari mimpi yang ia peroleh sekaligus ketakutan akan mimpi-mimpinya sendiri. Seorang ilmuwan, psikiater, yang memberikan ruang bagi alam lain masuk ke dalam dirinya, yang ditolak Freud mentah-mentah sebagai cara untuk melindungi diri sendiri yang terluka. Ketakutan-ketakutan, lintasan-lintasan pikiran, harapan-harapan, kegairahan untuk mencari kebenaran, berbagai macam penelitian dan perasaan aneh yang seolah di luar jangkauan diriku sendiri, samar-samar mengikatkanku pada Jung hingga Nietzsche. Nietzsche dan lainnya telah kalah. Apakah aku yang berikutnya? Ataukah aku harus berbalik dalam dunia Jung yang bermuka dua untuk meredam sisi lain yang tak mudah dihadapi dan dimengerti itu?

Dan di kota ini, aku ditarik terlalu dalam. Sangat dalam. Seperti mimpi yang samar-samar mengambil tempat di dunia nyata. Rasa rindu bercampur diri yang terhimpit, tertekan, dan tengkurap di balik selimut yang sepi.

Jogja seolah-olah hadir bagaikan kilasan di dalam hati. Jogja yang teduh. Nyaman. Dan kau bisa menghibur dirimu dengan wayang, alun gamelan, dan percakapan-percakapan yang penuh dengan tawa dan riang akan keingintahuan. Tapi kilasan-kilasan itu mulai lenyap. Menimbulkan marah. Sakit. Sakit yang tak tertahankan.



Aku tak bisa bercerita dengan lembut seperti Elizabeth D. Inandiak. Aku tak bisa menuliskan kata-kataku dengan halus seperti Babad Ngalor-Ngidul. Aku tak bisa membuat metafora yang bagaikan isi kitab di tengah dunia yang aku lihat, rasa dan masuki adalah kekacuan yang tak mudah untuk dijadikan indah dalam kata-kata, untaian sastra dan puisi. Aku tak bisa berpura-pura bahwa Jogja yang kini ada di dalam diriku telah berubah menjadi rasa frustasi. Kebosanan. Dan darahku pun mendidih layaknya lava memuntahkan perasaan lelah terkhianati.

Jogja yang kini aku hirup adalah kengerian yang berujung pada kegaduhan yang mana menjebak kesekaratan terus berdiam, larut ke dalam jantung dan merasuk menjadi keserakahan. Dalam dunia semacam ini, harusnya para cerdik cendikia bersuara. Tapi masihkan wajah para pandita agung, resi, dan pujangga tersimpan dalam lautan amarah penuh kebencian yang menyelimuti kota ini?

Jawa telah berubah. Begitu juga Jogja. Ada yang hilang dan mungkin tak akan kembali lagi. Ketika aku atau kau melangkahkan kaki di sepanjang jalan, yang kau rasakan bukanlah keteduhan dan keindahan yang luhur. Kau ingin marah ketika jalan penuh sesak dengan berbagai jenis kendaraan bermotor. Mobil. Becak motor. Trans Jogja. Sepeda motor. Dan kebisingan serta asap yang terus menerus tiada henti mengganjal segala perenungan akan yang gaib dan ilahi.

Kedamaian jiwa pun musnah. Yang tertinggal adalah hingar bingar dan rasa sedih yang pahit.

Pohon-pohon yang meneduhkan mereka yang sakit pun kini tak mampu lagi menampung gejala niat dan ingin manusia. Laut pantai selatan tak lagi sesuci dulu. Sampah plastik berserak seakan ingin menandakan kekuasaan manusia zaman baru yang telah tiba. Dan gelegar agung sang Merapi pun hanya igauan yang lenyap dan mudah dilupakan. Kesakralan hutan-hutan yang tersisa tak lagi menarik hati para perindu alam yang paling berani sekalipun. Jogja telah kehilangan dirinya sendiri. Sekarat. Kesakitan. Dan hampir tak seorang pun peduli.

Dan keraton lebih sering diam seribu bahasa dari pada yang seharusnya. Jawa pun lenyap. Tak ternaungi. Tak menaungi.




Sebuah cerita. Ya sebuah cerita. Mungkin aku membutuhkan sebuah cerita yang baru. Sebuah cerita akan awal atau mungkin akhir. Sebuah cerita mengenai kekalahan atau kebangkitan baru. Atau sebuah cerita kepasrahan yang tak lagi mampu menggerakkan jari jemari yang paling lentur sekalipun.

Dan cerita baru, babad baru, babak baru, membutuhkan kesadaran dan hati yang lembut. Seni telah melepaskan selendang kelembutannya dan menjadi jumawa penuh dengan kelupaan diri. Budaya telah lepas mahkota kebesarannya dan kini harus mengemis kepada orang asing. Masyarakat kini penuh dengan rasa takut, iri dan dengki. Dan mereka yang terpelajar, hidup sesuka hati dan melupakan semua hal selain dirinya sendiri.

Kemudian, tak ada yang tersisa dari kota ini selain amarah. Tangis. Kesedihan. Dan kecewa. Dan saat kau tak sengaja menemukan seseorang yang mengaku nyaman hidup di kota ini. Dia adalah penipu. Dia hidup bukan untuk kota ini. Dia sama tak mengenalnya mengenai Jawa seperti diriku ini. Dan dia, adalah pelacur.

Buku-buku bagaikan dilemparkan ke dalam api. Segala gelar diri telah habis dijual. Sikap ramah tamah, penuh dengan keterbukaan dan saling mengasihi, dibuang ke sudut paling gelap yang penuh dengan bau busuk dan hitung menghitung. Saling mengenal adalah mahal dan langka. Dan ketika kau terpaksa bangun di pagi yang buta, kau telah masuk ke dalam sebuah masa lalu yang padam. Jika kau mencintai kota ini. Kau akan menangis. Bersedih hati. Dan layu.

Di sebuah dunia yang hilang. Kau tak akan mudah untuk kembali lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar