Bahkan
bagi saya yang kurang berpengalaman, Jokyacarta adalah kota yang penting karena
masyarakatnya tampak tidak menyadari keberadaan dunia luar. Mereka melakukan
segala sesuatu menurut kehendak mereka sendiri ...
Betapa
tulus dan pemurahnya pancaran kehidupan yang sebenarnya-rasa kemanusiaan yang
umum ada di mana-mana. Seperti hujan, rumput dan matahari. Jika seorang siswa
dari negeri yang jauh membaca tentang sejarah Pulau Jawa mulai dari masa Hindu
hingga Belanda, ia akan membayangkan bahwa masyarakat Jawa telah kehilangan
seluruh semangat dan kebahagiaan mereka setelah 15 abad berada di bawah tekanan
kuat para penguasa dan yang tersisa hanyalah masyarakat homogen yang patuh,
datar dan muram. Tetapi masih ada kebahagiaan terisa setelah pemerintahan
paling kuat berkuasa. Pasar tradisional itu, meski setidaknya sama tuanya
dengan kebiasaan sultan untuk memiliki selir, Dan bahkan jauh lebih tua dari
penyebaran agama Islam di Jawa, mungkin satu-satunya tanda bahwa pagi hari
telah tiba. Kerumunan orang yang sedang bersenang-senang telah lupa bahwa jalan
militer di pulau surgawi ini dibangun dari tulang-tulang mereka. Masyarakat ini
telah bangkit kembali ...
H.M. Tomlinson, 1923
Saat
kau terlanjur mencintai sebuah kota, masyarakatnya, budayanya, dan apa yang ada
di dalamnya, kau benar-benar ingin menangis saat kota yang kau cintai itu
menjadi tempat di mana neraka manusia pun hadir. Kota yang berubah dengan cepat
dan menghapus apapun yang kau cintai. Meluluhlantahkan segala kenangan masa
kecil dan apa yang pernah kau miliki.
Di sebuah
Jogja, kota yang hilang, Jawa yang perlahan lenyap, ada keinginan menumpahkan
air mata sekeras-kerasnya. Saat hatimu sudah terpaut di sini. Di sebuah tanah,
embun, sepoai angin dan senja yang turun, dan cakrawala yang masih kau temukan
burung-burung yang lewat, mengepakkan sayapnya perlahan dari langit yang
bagaikan lukisan yang tak mudah kau lupakan, kau ingin terus di sana dan
berharap keindahan itu, surga itu, tak akan lenyap di balik gelombang besar
perubahan yang menyeruak layaknya gempa dan luka.
Dan ketika
semua berubah menjadi kekacauan yang paling tak masuk akal. Di dalam hatimu
yang terdalam kau pun menangis. Menangis dalam kemarahan. Ada torehan luka yang
dalam yang tak mungkin dilihat oleh orang biasa. Luka yang lahir dari kota yang
terlukai. Dari dunia yang surut, remuk, berserak, dan masa lalu yang tipis
menggelayut di tapak kenangan yang pernah kau tandai.
Saat kau
terlanjur mencintai sebuah kota, bersama segala isinya yang pernah kau kenal
dan agungkan. Sedikit sentakan kegilaan terpelajar bisa membuatmu tersungkur.
Hilang arah. Dan saat kau terlanjur mencintai Jawa, kau tersedot ke dalamnya.
Dalam kehalusannya. Dalam keindahannya. Dalam kegaiban yang agung dan samar.
Dan saat kau bangun pagi hari, di waktu yang berbeda karena usia terus bergerak
tak melambat, Jawa yang kau kenal dan cintai pun perlahan lenyap. Rusak. Yang
bisa kau lakukan hanyalah menangis. Ya, hanya menangis. Sendirian di suatu
tempat. Atau memandangi jalanan yang tak lagi tahu apa yang kini ada di
dalamnya.
Di sebuah
Jogja, kini aku menangis. Dan marah.
Di
masa lalu yang jauh. Aku bagaikan dilahirkan di tanah ini. Dari rahim
sorgaloka. Dari sang bayu yang melintas di atas percikan air selatan.
Seolah-olah, aku yang sekarang hanya sekedar mengingat keterikatan yang
bagaikan ditancapkan sejak masa belum mengenal keterputusan yang terlalu keras
dan khianat. Segala sesuatu samar terkenang dalam rasa yang paling dalam yang hanya
mampu ditampung oleh setandan hati. Ingatan tak perlu menujum di kedalaman
kepala. Tapi ia mengakar di dalam lubuk.
Waktu itu,
ketika pertamakali aku merebahkan tubuhku di tanah ini, dengan maksud untuk
menjadikannya sebuah rumah. Di sebuah malam permulaan, seorang perempuan muda
dengan paras yang sangat cantik datang di dalam mimpiku. Berdiri memandangiku
dan seolah tersenyum. Rambutnya panjang terurai. Kembem hijau tersapu emas
membuatnya laksana seorang putri atau bahkan ratu. Bahunya yang bening terbuka.
Jariknya yang indah bermotof batik kekuningan melayang di udara. Auranya yang
tenang dan gaib. Keteduhannya yang tak asing dan seolah ingin bertemu. Segala
sesuatunya yang serba Jawa dan keraton, membuatku teringat akan pantai selatan.
Mungkinkah ia sang ratu pantai selatan ataukan putrinya yang tercinta? Untuk
apa dia datang seolah menyambutku? Lalu tiba-tiba ia pun menghilang. Aku pun
terbangun. Keringat berjatuhan dari kulit tipisku. Dalam diam, dan sedikit
keterguncangan, aku mengatur nafasku yang kadang tak beraturan. Apakah benar ia
sang ratu selatan?
Malam
berikutnya, ia datang lagi ke dalam mimpi di kamar kecilku yang pengap. Seolah
ingin menegaskan keberadaannya kepadaku. Seolah ingin memastikan bahwa aku tak
salah mengenai dirinya. Bagaikan kekasih yang hilang di masa lalu yang jauh, ia
menampakkan wujudnya yang lain. Atau ia ingin menegaskan keberadaannya di
hadapanku bahwa aku adalah tawanan yang dia inginkan untuk menghuni pantai
selatan. Mungkin sebagai bawahannya, prajuritnya atau mungkin budak yang ia
perlukan sebagai tumbal? Rambutnya masih terurai indah. Kembem hijau dengan
atasan keemasan masih dikenakannya. Kecantikannya membius siapapun yang pernah
bertemu dengannya. Walaupun itu hanya di dalam mimpi. Tapi, malam ini, saat
udara turun melantunkan dendang kehilangan sang surya, kehangatan yang angslup
di bawa oleh angin barat, ia datang padaku, dengan tubuh setengah ular.
Melayang-layang dengan pancarannya yang megah dan penuh keanggunan.
Tubuh itu,
dari pusar hingga ujung kaki, kini adalah sisik ular yang berkilau, berwarna
hijau keemasan dan berlenggak-lenggok di udara kamarku yang dingin. Aku bingung
dan bertanya, siapakah dia? Kenapa dia datang lagi kemari? Tidakkah aku baru
pertama kali menginjakkan kakiku di tanah ini? Apakah dia menginginkanku?
Ataukah ada maksud lain di datang langsung ke hadapanku dengan
seterang-terangnya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran di kepalaku
saat terbangun dari mimpi dengan tubuh yang gemetar dan basah.
Hari
pertama di Jogja, aku disambut oleh makhluk halus penghuni rumah ini. Dan dua
hari berturut-turut setelahnya oleh Ratu Selatan, Nyi Roro Kidul atau malah Nyi
Blorong? Aku tak tahu. Mungkin aku hanya sekedar kelelahan. Aku hanya sekedar
bermimpi. Atau semua itu hanyalah khayalanan aneh yang tak masuk akal dan
menjelma dalam mimpi yang sekedar mimpi.
Setelah
mimpi-mimpi itu, berbulan-bulan kemudian aku tak pernah mencoba menengok pantai
selatan. Ada aura yang aneh, yang seolah mencegahku untuk datang ke sana. Perasaan
di mana aku tak diperbolehkan menginjak pasir dan mendengar gemericik air dari
pantai selatan yang aku sukai. Di dalam hatiku seolah berbisik, “jangan pergi
ke sana untuk saat ini. Kalau tidak, pantai selatan akan mengambilmu.” Padahal
sebelum sampai di kota ini, aku begitu rindunya dengan pantai itu.
Apakah
perempuan muda bak ratu dan putri raja yang datang di dalam mimpiku lebih pada
mengingatkanku agar tidak ke pantai selatan? Ataukah sebaliknya? Hingga saat
ini aku masih tak tahu harus berkata apa. Dan aku lebih tak tahu lagi apakah
mereka benar atau hanya sekedar mimpi yang terlalu biasa di dalam kehidupanku.
Terlalu biasa. Hingga kadang menjadi wajar.
Sejak
kecil aku terbiasa dengan mimpi. Entah berapa ratus mimpi atau ribu mimpi yang
telah menyertaiku selama ini. Dan mimpi-mimpi itu seolah datang sebagai bentuk
percakapan antara dua dunia yang berlainan. Kadang sebagai pesan. Kadang
sebagai bentuk perkenalan di suatu tempat yang baru. Seringkali mimpi-mimpi itu
membuatku takut. Sejak kecil, aku nyaris tak pernah memiliki mimpi yang bahagia
atau baik. Mimpi-mimpi sangat seram bagaikan berada di dalam dunia yang tak aku
mengerti. Para setan, jin, dan apapun itu datang dalam mimpiku. Aku yang
tersesat berulang-ulang, berbagai jenis kematian, dan masa depan yang entah
kenapa aku lihat dalam bentuk simbol-simbol yang harus aku tafsirkan dan
renungi. Hingga saat ini, aku masih takut dengan mimpiku yang berbentuk pesan
atau kenyataan yang ditutupi oleh orang lain. Ketakutan akan hal itu, membuatku
seringkali benar-benar linglung dan cemas. Karena setiap mimpi yang datang,
yang berkaitan erat dengan orang yang dekat denganku, seringkali berbentuk
kehilangan atau sesuatu yang menusuk diriku. Dalam keadaan semacam itu, kadang
aku membenci kemampuanku bermimpi.
Seringkali
aku menyamakan pengalaman diriku dengan Carl Gustav Jung. Seorang laki-laki
yang hidup dalam mimpi-mimpinya, rasa ingin tahu untuk memecahkan makna dari
mimpi yang ia peroleh sekaligus ketakutan akan mimpi-mimpinya sendiri. Seorang
ilmuwan, psikiater, yang memberikan ruang bagi alam lain masuk ke dalam
dirinya, yang ditolak Freud mentah-mentah sebagai cara untuk melindungi diri
sendiri yang terluka. Ketakutan-ketakutan, lintasan-lintasan pikiran,
harapan-harapan, kegairahan untuk mencari kebenaran, berbagai macam penelitian
dan perasaan aneh yang seolah di luar jangkauan diriku sendiri, samar-samar
mengikatkanku pada Jung hingga Nietzsche. Nietzsche dan lainnya telah kalah.
Apakah aku yang berikutnya? Ataukah aku harus berbalik dalam dunia Jung yang
bermuka dua untuk meredam sisi lain yang tak mudah dihadapi dan dimengerti itu?
Dan di
kota ini, aku ditarik terlalu dalam. Sangat dalam. Seperti mimpi yang
samar-samar mengambil tempat di dunia nyata. Rasa rindu bercampur diri yang
terhimpit, tertekan, dan tengkurap di balik selimut yang sepi.
Jogja
seolah-olah hadir bagaikan kilasan di dalam hati. Jogja yang teduh. Nyaman. Dan
kau bisa menghibur dirimu dengan wayang, alun gamelan, dan
percakapan-percakapan yang penuh dengan tawa dan riang akan keingintahuan. Tapi
kilasan-kilasan itu mulai lenyap. Menimbulkan marah. Sakit. Sakit yang tak
tertahankan.
Aku
tak bisa bercerita dengan lembut seperti Elizabeth D. Inandiak. Aku tak bisa
menuliskan kata-kataku dengan halus seperti Babad
Ngalor-Ngidul. Aku tak bisa membuat metafora yang bagaikan isi kitab di
tengah dunia yang aku lihat, rasa dan masuki adalah kekacuan yang tak mudah
untuk dijadikan indah dalam kata-kata, untaian sastra dan puisi. Aku tak bisa
berpura-pura bahwa Jogja yang kini ada di dalam diriku telah berubah menjadi
rasa frustasi. Kebosanan. Dan darahku pun mendidih layaknya lava memuntahkan
perasaan lelah terkhianati.
Jogja yang
kini aku hirup adalah kengerian yang berujung pada kegaduhan yang mana menjebak
kesekaratan terus berdiam, larut ke dalam jantung dan merasuk menjadi
keserakahan. Dalam dunia semacam ini, harusnya para cerdik cendikia bersuara.
Tapi masihkan wajah para pandita agung, resi, dan pujangga tersimpan dalam
lautan amarah penuh kebencian yang menyelimuti kota ini?
Jawa telah
berubah. Begitu juga Jogja. Ada yang hilang dan mungkin tak akan kembali lagi.
Ketika aku atau kau melangkahkan kaki di sepanjang jalan, yang kau rasakan
bukanlah keteduhan dan keindahan yang luhur. Kau ingin marah ketika jalan penuh
sesak dengan berbagai jenis kendaraan bermotor. Mobil. Becak motor. Trans
Jogja. Sepeda motor. Dan kebisingan serta asap yang terus menerus tiada henti
mengganjal segala perenungan akan yang gaib dan ilahi.
Kedamaian
jiwa pun musnah. Yang tertinggal adalah hingar bingar dan rasa sedih yang
pahit.
Pohon-pohon
yang meneduhkan mereka yang sakit pun kini tak mampu lagi menampung gejala niat
dan ingin manusia. Laut pantai selatan tak lagi sesuci dulu. Sampah plastik
berserak seakan ingin menandakan kekuasaan manusia zaman baru yang telah tiba.
Dan gelegar agung sang Merapi pun hanya igauan yang lenyap dan mudah dilupakan.
Kesakralan hutan-hutan yang tersisa tak lagi menarik hati para perindu alam
yang paling berani sekalipun. Jogja telah kehilangan dirinya sendiri. Sekarat.
Kesakitan. Dan hampir tak seorang pun peduli.
Dan
keraton lebih sering diam seribu bahasa dari pada yang seharusnya. Jawa pun
lenyap. Tak ternaungi. Tak menaungi.
Sebuah
cerita. Ya sebuah cerita. Mungkin aku membutuhkan sebuah cerita yang baru.
Sebuah cerita akan awal atau mungkin akhir. Sebuah cerita mengenai kekalahan
atau kebangkitan baru. Atau sebuah cerita kepasrahan yang tak lagi mampu
menggerakkan jari jemari yang paling lentur sekalipun.
Dan cerita
baru, babad baru, babak baru, membutuhkan kesadaran dan hati yang lembut. Seni
telah melepaskan selendang kelembutannya dan menjadi jumawa penuh dengan
kelupaan diri. Budaya telah lepas mahkota kebesarannya dan kini harus mengemis
kepada orang asing. Masyarakat kini penuh dengan rasa takut, iri dan dengki.
Dan mereka yang terpelajar, hidup sesuka hati dan melupakan semua hal selain
dirinya sendiri.
Kemudian,
tak ada yang tersisa dari kota ini selain amarah. Tangis. Kesedihan. Dan
kecewa. Dan saat kau tak sengaja menemukan seseorang yang mengaku nyaman hidup
di kota ini. Dia adalah penipu. Dia hidup bukan untuk kota ini. Dia sama tak
mengenalnya mengenai Jawa seperti diriku ini. Dan dia, adalah pelacur.
Buku-buku
bagaikan dilemparkan ke dalam api. Segala gelar diri telah habis dijual. Sikap
ramah tamah, penuh dengan keterbukaan dan saling mengasihi, dibuang ke sudut
paling gelap yang penuh dengan bau busuk dan hitung menghitung. Saling mengenal
adalah mahal dan langka. Dan ketika kau terpaksa bangun di pagi yang buta, kau
telah masuk ke dalam sebuah masa lalu yang padam. Jika kau mencintai kota ini.
Kau akan menangis. Bersedih hati. Dan layu.
Di sebuah
dunia yang hilang. Kau tak akan mudah untuk kembali lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar