Sebuah kota terbentang di
samping Sungai Solo, sungai terbesar
dan terindah di Jawa.
Arthur Goodfriend
1958
Aku
memasuki Surakarta. Sebuah kota bersejarah. Pusat kebudayaan Jawa selain
Jogjakarta. Dan juga, kota kekalahan, kota boneka, dan sebuah sejarah panjang
pengkhianatan. Aku memasuki sebuah daerah yang kaum bangsawan dan para rajanya
terlalu terlambat bergabung dengan Republik Indonesia. Kadang jika mengingat
Legiun Mangkunegaran dan apa yang dilakukan oleh Pakualaman dan Mangkunegara di
Jogjakarta semasa Inggris, aku tak tahu
lagi harus berkata apa. Yah, setidaknya sekarang daerah ini sudah bergabung.
Apa jadinya jika daerah ini menjadi negara sendiri? Seperti halnya negara
Pasundan masa lampau yang gagal? Aku kira, aku akan membutuhkan visa dan menabung
lebih banyak lagi. Itu berarti, beberapa minggu ke depan aku akan terkena
busung lapar dan bangkrut.
Perjalanan
di Jawa adalah perjalanan paling mahal semenjak era kolonial, Hinda-Belanda.
Itu pun ketika seluruh Jawa sudah dikuasai oleh Belanda. Hal yang mengerikan,
apajadinya, jika kota-kota yang ada di seluruh Jawa adalah sebuah kota untuk
masing-masing negara? Mungkin aku akan menjual diriku sendiri hanya untuk
sekedar mengelilingi Jawa. Karena hari
ini pun, perjalanan mengelilingi Jawa adalah perjalanan yang mahal, tak terlalu
populer dan lebih murah dari pada ke
negara-negara Eropa dan Asia.
Dan
aku teringat perkataan Arthur Goodfriend pada tahun 1958, “inilah Jawa, negeri
dengan rakyatnya yang ingin kami kenali sehingga kami rela menempuh perjalanan
jauh.” Aku pun memasuki Surakarta. Tak mau kalah dengan orang asing yang
memasuki pulau ini dan pulang membawa oleh-oleh berupa tulisan, pengamatan,
atau malah sebuah buku besar dan tebal. Aku pun memasuki Surakarta.
Aku
berada di sepanjang jalan menuju pusat kota, pohon-pohon memenuhi sisi-sisi
jalan. Dan itu sangat menenangkan. Sejujurnya, aku agak menyukai kota ini.
Dengan kerimbunannya, jalanannya yang lebar, dan suasananya yang menenangkan.
Seandainya kesan menyenangkan itu tidak dirusak oleh sedotan plastik, plastik
sisa es teh, dan bungkus cemilan pabrik yang tergeletak di sela-sela tetumbuhan
atau di jalanan, dan kemacetan beserta ketidaksabaran orang-orang yang berada
di jalanan, yang membunyikan klakson berulang-ulang bahkan sebelum lampu
berwarna hijau. Apa yang bisa aku lakukan? Yah, hanya sekedar geleng-geleng
kepala. Lalu kembali meneruskan perjalanan.
Aku
pun sampai di Gramedia. Hari yang menunjukkan akan datangnya hujan. Selasa 12
April 2016, aku pun memarkir motor. Langsung secepat kilat ke toilet. Membuang
hajat. Menitipkan tas dan jaket. Lalu menuju Sriwedari yang berada di seberang
jalan. Semuanya berada di jalan Slamet Riyadi, tokoh besar revolusi Indonesia.
Dan ternyata, menyeberangi jalanan tak semudah yang aku harapkan. Setidaknya
lebih mudah dari pada jalanan Jogja yang mirip jalanan khusus bunuh diri.
“Barangkali
tidak ada situs yang lebih sesuai untuk ini dalam Indonesia Kotemporer kecuali
kota Solo, atau Surakarta. Bagi orang Jawa Orde Baru, kota ini adalah kota asal-usul,
suatu penempatan masa lalu di tempatnya, suatu fokus istimewa bagi kebanyakan
hal yang digali kembali sebagai “Jawa”. Walau Surakarta bukan satu-satunya kota
keraton di Jawa Tengah, kota ini tetap sangat kuat membayangi bagi mereka yang
bertekad menggali kembali kesadaran dari apa yang mungkin, dengan satu atau
lain cara, adalah “asli Jawa”,” seperti itulah yang dikatakan oleh John
Pemberton mengenai Surakarta dalam bukunya Jawa.
Buku yang hanya aku bolak-balik secara cepat dan sekedar mencari hal-hal yang
penting.
Aku
tak punya banyak waktu untuk membaca buku itu. Dan aku akui, aku sosok
mengenaskan yang kalah telak dengan para peneliti asing yang rela bersusah
payah ingin kembali menghadirkan berbagai macam hal tentang Jawa. Dan, jika
kota ini diselamatkan kembali oleh Orde Barunya Soeharto, apakah itu sejenis
penyelamatan yang salah? Jawa yang tunduk berabad-abad semenjak pecahnya
Mataram menjadi dua bagian dan keenganannya untuk mendukung gerakan nasionalis
anti-Belanda, dipulihkan atas nama kembali ke tradisi. Ke Idenitas awal.
Sayangnya, saat aku melihat diriku sendiri, aku tak tahu lagi siapa diriku ini.
Dan aku berada di sini, hanya ingin sekedar mencari para pembaca buku, pesepeda
dan sekedar lewat dan merasakan kesan akan sebuah kota. Aku tak sedang
berceramah perihal sejarah dan otakku yang sering lupa ini adalah penyimpan
sejarah yang buruk.
Aku
memasuki komplek Sriwedari. Tempat yang sangat tua dan sarat dengan aura
kesenian. Aku pun duduk di bawah Beringin besar. Banyak orang di sini. Tapi tak
ada satu pun yang terlihat memegang buku. Yasudahlah, aku tak akan terkejut.
Aku sudah kebal. Aku telah memutuskan memakai kulit badak dan gajah untuk hal
yang satu ini.
Aku
duduk di dekat papan petunjuk nama tempat, di antara beberapa orang muda yang
semuanya laki-laki. Mataku berkeliling kesana-kemari. Dan, ah, di bawah kakiku,
dan tepat di bawah kaki laki-laki di sebelahku, sampah plastik menumpuk di
sela-sela tempat duduk beton yang mengelilingi Beringin yang menjulang tinggi.
Dan aku rasa, semua orang tak begitu perduli dengan kenyataan yang ada. Sampah
bagaikan debu di jalanan yang tak terlalu menarik minat dan dianggap biasa
saja. Keseharian orang Indonesia dan berbagai macam kota besar di Jawa.
Tidakkah
ini kebesaran masyarakat Jawa Modern?
Aku
pun memasuki Sriwedari. Disambut oleh seorang laki-laki tua yang tertidur pulas
di kursi rodanya. Seolah, dunia hanyalah miliknya sendiri. Pendopo dipenuhi
berbagai macam orang. kotor. Tak bersih. Sampah dan sampah lagi terlihat di
sana-sini. Mobil box dengan layar digital dan pengeras suara berisik, yang
menampilkan sosok-sosok seksi dan mirip pekerja seks komersial, melantunkan
lagu-lagu dangdut. Beberapa orang terlihat sangat antusias. Kakek-kakek yang
rasanya sebentar lagi hampir mati. Laki-laki muda yang sibuk memegangi mike dan
temannya yang sibuk bergoyang-goyang sambil duduk. Mereka sedang bersemangat berkaraoke ria.
Sedang anak-anak kecil berlarian ke sana-kemari. Dua gadis kecil bergantian
memandangi tab di tangan. Ibu-ibu yang terlihat seksi. Sosok-sosok berjilbab.
Beberapa perempuan muda dengan pakaian seadanya tengah bercakap-cakap. Remaja
laki-laki yang sibuk berlatih sesuatu. Dan aku pun lapar.
Tak
butuh waktu lama aku sudah berada di lapak Mie Ayam. Dan hidungku tiba-tiba
menghirup udara yang mirip selokan atau air comberan. Aku tak tahu letaknya di
mana. Tapi hal itu sudah cukup menggelisahkan. Aku pun makan dengan cepat.
Membayar seharga delapan ribu rupiah beserta satu kerupuk. Membeli Aqua kecil
yang dihargai empat ribu rupiah. Setelah bertanya letak penjual buku-buku di
sekitar sini, aku pun berbegas pergi.
Melewati
jalanan dan rumah-rumah kecil atau lebih tepatnya warung yang selokan kecilnya
nyaris tidak bisa disebut selokan karena tak ada saluran air yang memanjang
untuk menampung air atau membiarkan air mengalir. Air hitam dengan bau
mengerikan menggenang di sepanjang deretan rumah-rumah. Inilah asal dari bau
tak sedap yang menggelisahkan tadi. Benar-benar pemandangan yang mengerikan.
Air cucian dan apa pun itu mengalir dan dibuang langsung tepat di depan halaman
hingga warnanya sangat hitam dengan bau yang bisa membunuh seekor sianga dalam
hitungan menit.
Aku
pun bergegas pergi. Melewati bangunan yang nyaris rubuh, berkarat, dan rusak di
komplek Sriwedari ini. Hanya rerimbunan pohonlah yang sedikit menyelamatkan
area kesenian yang terkenal ini. Dan yang membuat aku heran, kenapa hampir di
tempat kesenian tradisonal yang terbuka untuk umum, kebersihan nyaris mustahil
dijumpai? Sepertilah ini masyarakat Jawa
modern hidup. Sebentuk mentalitas baru yang mencerminkan sisi kejiwaan, sudut
pandang hidup dan sejauh mana mereka menjalankan dan mengerti agama yang mereka
anut. Para turis dan peneliti asing mungkin akan kecewa dengan kota ini jika
hal itu menyangkut kebersihan dan pemeliharaan sebuah kota dan aspek terpenting
dari sebuah kebudayaan. Aku sendiri kecewa. Tapi apa gunanya kecewa? Masalahnya, aku sedang berada di sebuah kota
yang raja-rajanya menamakan dirinya sebagai “sumbu bumi” atau Pakubuwana. Sumbu
Bumi? Tidakkah itu sangat mengesalkan jika mengurus sampah saja nyaris tak
becus. Setidaknya, masyarakat Jawa yang berada di kota ini sangat ramah.
Keberadaan yang mungkin akan susah dihilangkan dari masyarakat Jawa secara umum
dan menjadikan Jawa sebagai suatu tempat yang masih layak untuk ditinggali.
Walau tetap saja, banyak penipu dan koruptor tumbuh berkembang di Jawa modern
ini. itu pun, aku rasa, tak jauh beda dari Jawa lama. Ah, masyarakat Jawa memang
masyarakat lentur yang bisa melakukan apa saja. Dari yang terbaik sampai
terburuk sekalipun tanpa perlu mempermasalahkannya dengan rumit dan
bertele-tele. Aku sendiri tak tahu apakah itu kelebihan atau memang kekurangan.
Clifford
Geertz pernah mengatakan dalam Agama Jawa,
bahwa “Jawa tak mudah dicirikan dengan satu label atau digambarkan di bawah
satu tema yang dominan. Pulau itu lebih lama mengalami peradaban daripada
Inggris yang selama lebih dari 1500 tahun telah menyaksikan orang-orang India,
Arab, Cina, Portugis serta Belanda, datang dan pergi. Dewasa ini, Jawa memiliki
jumlah penduduk yang termasuk paling padat di dunia, pertumbuhan kesenian yang
paling tinggi dan serta petanian yang paling intensif. Sungguh benar bahwa
dalam menggambarkan agama sebuah peradaban yang begitu kompleks sebagaimana
peradaban Jawa, pandangan tunggal sederhana mana pun pasti tidak memadai.” Jika
Clifford Geertz saja mengakui hal itu, apalagi diriku ini yang masih serba
amatir ini?
Setidaknya
aku tahu, pertanian semakin merosot. Dengan jumlah petani yang semakin menurun.
Tanah pertanian yang kian hilang dan beralih fungsi. Dan generasi muda yang
lebih suka melakukan urbanisasi atau memilih bekerja dan tinggal di kota. Yah,
dah aku salah satunya. Dan tentunya, hanya sekedar menuliskan pulau Jawa saja
itu seolah bagaikan kutukan tersendiri bagi siapa pun yang mencoba. Berbagai
macam kota dengan bahasa, budaya, wilayah, sejarah, masyarakatnya dan
kependudukan, adat dan hukumnya, agama dan keyakinan penghuninya, kecenderungannya,
perekonomian, perpolitikan, dan percampuran antar berbagai macam hal. Terlebih
jika harus dibarengi dengan geliat pendidikan, intelektual, kesenian, trend,
tata kota, arsitektur, mitologi, kebijakan pemerintah, keadaan alam dan
berbagai jenis tetumbuhan dan hewan, hal yang hari ini, kemarin, dan dan apa
yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Aku akan sangat yakin, itu akan
menjadi kajian paling berat bagi siapa pun yang ingin menuliskannya dalam
perspektif luas dan hampir menyeluruh. Dan aku akan mengatakan, itu akan
menjadi rencana gila yang mempesona. Dan aku pun, sayangnya tak mampu. Yah,
hanya sejauh inilah kemampuanku. Mau bagaimana lagi? Apakah aku harus protes ke
Tuhan, orang tua yang melahirkanku atau pemerintah Indonesia dan bangsa-bangsa
Eropa yang datang dan pergi?
Dan
apa yang aku katakan itu akan menjadi batu besar bagi siapapun yang ingin
mengkaji perihal kota. Tantangan mempesona tapi akan sangat melelahkan dan
membuat frustasi. Dan apa yang dilakukan oleh Gerry van Klinken dan Ward
Berenschot dalam In Seacrh of Middle
Indonesia, akan terasa sangat kecil dan tak memuaskan. Walau pun begitu, kajian akan perkotaan yang
coba dilakukan oleh beberapa orang dalam buku tersebut, yang mengeluhkan hasil
dari penelitian Cifford Geertz, layak untuk direnungkan dan cukup bermanfaat
walau penuh dengan lubang besar dan celah yang susah untuk bisa diisi dengan
penuh bahkan untuk suatu saat nanti.
Aku
pun melihat perpustakaan Sriwedari yang tak bersahabat karena tutup. Dan di
sebelah kiriku berdiri, berderet lapak penjual buku, yang sayangnya, ketika aku
sampai di ujung, tak ada yang memuaskan. Biasa saja. Lebih baik dari yang ada
di Semarang. Dan. Aku kini sedang memandangi deretan para pedagang dan pembuat
frame atau figura. Tepatnya di jalan Musium, sebelah Sriwedari. Lalu masuk ke
toko alat tulis Tunas Mekar atau TM. Membeli dua note seharga tiga ribu enam
ratus rupiah. Lalu keluar, menyusuri trotoar kecil yang sampahnya berserak di
sana dan di sini. Jalan yang ditambal. Dan beberapa bangunan yang terlihat
ditelantarkan. Ada dua buah keranjang anyaman bambu yang digunakan sebagai
tempat sampah. Yang satu cukup terisi dan yang satunya lagi jatuh telungkup.
Apakah keranjang bambu layak dijadikan tempat sampah di saat hujan dan angin
besar terus-menerus terjadi? Aku rasa, itu ide terkonyol yang pernah aku
saksikan di musim penghujan ini.
Kali
ini aku sudah berada di pedestrian jalan Slamet Riyadi, sedang bergegas menuju
keraton yang
jaraknya sekitar 2.3 kilometer. Awalnya aku kira cukup dekat, tak sadar akan
hal itu, setelah berjalan kaki ternyata memang cukup jauh. Sebuah jalan yang
dulunya pernah dilewati oleh Arthur Goodfrend, yang menuliskan kesannya, “kami
melintas di antara dua pilar peringatan dan terus melaju melewati jalan Slamet
Rijadi, jalan utama yang dinamai sesuai nama seorang pahlawan revolusi besar.
Jalan ini diapit oleh bungalo-bungalo Belanda yang sudah diubah fungsi menjadi
kantor-kantor pemerintahan, barak dan sekolah. Sebuah rel kereta terletak
berdampingan dengan jalan untuk kereta kuda, betcha, pejalan kaki yang bertelanjang kaki, serta kawanan kambing dan angsa. Pedagang
kaki lima yang yang menjajakan makanan, mainan, kacamata, ramuan ajaib, tukang
potong rambut berjongkok di sepanjang trotoar. Dua bioskop mendominasi bangunan
di perempatan jalan, papan iklannya yang meriah mengiklankan film thriller
mengenai kelompok geng di Amerika serta film propaganda dari Peiping (Beijing).
Meski tampak kumuh dan tidak memiliki sebuah ciri arsitektur, solo terlihat
hidup dan meriah; satu-satunya hal yang memancarkan kesedihan adalah reruntuhan
bangunan yang rusak selama revolusi.” Dan itu kesan yang Arthur Goodfriend
alami di tahun 1958. Dan hari ini, aku berjalan kaki di sepanjang pedestarian
dan mengamali hal yang hampir sama dan juga berbeda.
Pepohonan
sangat lebat di sepanjang jalan Slamet Riyadi. Dari yang berusia tua hingga
masih muda. Berbagai macam tanaman dan tumbuhan hias membuat keindahan jalan
ini begitu membuatku kagum. Seandainya Braga seperti jalan ini, mungkin aku
akan melemparkan pujianku kepada Braga yang panasnya mengerikan di siang hari.
Ketika
berjalan di atas pedestrian yang luas dan lebar, tak berlubang, dan
menyenangkan ini, aku berpapasan dengan cukup banyak pesepeda dari segala umur.
Suatu kegembiraan tersendiri mengingat aku tak menemukan orang yang yang sedang
membaca buku. Pesepeda sedikit untuk menghibur mata dan hatiku. Lebih banyak
pesepeda di kota ini dari pada di Jogja yang dulu dijuluki sebagai kota sepeda.
Lalu, ada banyak becak seperti yang Arthur Goodfriend lihat. Pedagang kaki lima
hanya di beberapa tempat, seperti Sriwedari. Pejalan kaki tak terlalu banyak.
Hanya terlihat satu dan dua. Semua orang, aku rasa, lebih suka naik dengan
motor dan mobilnya atau sepeda yang hilir mudik di pedestarian. Mungkin itulah
asalannya banyak becak yang menganggur dan pengayuhnya terlihat sedih, menatap
kosong atau jatuh tertidur. Dan tampilan becak di kota ini lebih enak dipandang
dan sedikit elegan dari pada yang berada di Jogja.Aku tak melihat bioskop,
kawanan kambing atau angsa dan orang-orang yang berjongkok untuk berjualan.
Tapi aku melihat berbagai macam gelandangan dan pengumpul sampah atau pemulung
terlihat jatuh tertidur di sebuah kursi dekat pergola, atau di bawah bangunan
yang sudah tak lagi difungsikan dan terlihat rusak di sana-sini. Jadi semenjak
revolusi hingga hari ini, ternyata nyaris sama. Masih banyak bangunan kosong,
teronggok, tak terawat, atau hancur di sepanjang kaki melangkah. Yah, jadi aku
sedikit melihat apa yang Goodfriend lihat lebih dari setengah abad yang lalu.
Dan, entah datang dari mana, ada seekor ayam muda, berjalan terpincang-pincang,
mematuk-matuk tanah, di tengah pusat kota yang semakin termodernisasikan ini.
Seandainya
tak banyak sampah yang mengganggu pemandangan, entah di selokan atau sela-sela
tetumbuhan, kota ini termasuk indah. Lebih indah dan enak di pandang dari pada
Jogjakarta yang berada tak jauh di sisi baratnya.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTNewzUCHSQkY9BwrGbRutJd4x76s4fSZScvXugM80AwitI1QOZwcUGWNO6K26hl7YiTQ3FCumZaC5f0RARubaPA5S2gLa7m4zXS-gs5jDupS_r9vCtQAY2e6SRGzaliM1lkF0GyrXh691/s400/12985555_1223292354349968_1637747668329665452_n.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9uQaA1anlxKXxFzyl8oMww1NwilldazlfmfnKI2GBwBSBNDZtSnSMuJTqnpy2qp21quM02Bpu9xRCD7vY63zmawNPArbSaENOADY_V2tEIZMvAq3VJ6wlT3QmHDLkWzt67pZkb4y9v2T0/s400/13006509_1223292554349948_6162454010955253812_n.jpg)
Keindahan
itu berkat rimbunnya pepohonan dan berbagai jenis tanaman yang ada di kedua
sisi jalan. Sejujurnya di sisi kiri, tengah, dan kanan. Seandainya pohon-pohon
itu ditebang atau dicabut, keindahan kota ini mungkin lenyap dan terlihat kumuh
dan kusam seperti yang Goodfriend pernah lihat. Jalan-jalan yang lebih kecil
yang kehilangan pepohonannya, terlihat menyedihkan di kota ini. Itulah mengapa,
seandainya kelak banyak pohon dan kerimbunan saat ini ada lenyap, Surakarta
akan menjadi neraka yang sama dengan Jogja hari ini. Terlebih ketika jalanan
semakin penuh dengan kendaraan bermesin. Kota dengan penduduk sekitar setengah
juta jiwa ini, sedang memasuki masa-masa gawatnya sebagai sebuah kota. Jika
tidak berhati-hati dan salah ditangani suatu saat nanti atau ketika dipimpin
oleh orang yang salah, tidak hanya sekedar sampah yang terlihat menyedihkan,
tapi juga jalanan yang macet, panas, dan berbagai macam pusat perbelanjaan
modern bersaing dengan bangunan-bangunan baru. Mengingat kota ini adalah salah
satu kota yang mengalami perkembangan yang sangat cepat di Indonesia. Masa
depan apa yang akan dialami kota ini jika penduduknya semakin berlipat, dan
orang-orang di berbagai kota lainnya di seluruh Indonesia dan wilayah pedesaan
di sekitarnya, berkeinginan untuk pindah dan menetap, belajar, mencari kerja,
dan hidup di kota ini? Dan apa jadinya jika desa-desa di sekitarnya berubah
jadi kota? Mungkin akan seperti Kertasura yang agak menyedihkan.
Berjalan
di antara pepohonan besar yang menjulang tinggi dan angin sepoi-sepoi, sungguh
benar-benar nikmat. Aku pun melihat Angsana,
Ketapang, Lidah Buaya, Beringin, Tanjung, Asem Jawa, Lili Prancis, dan
banyak lainnya. maksud aku, banyak lainnya yang tak aku tahu karena tak ada
seorang pun yang bisa ditanyai kecuali para tukang becak yang sedang sibuk
mendengkur, para gelandangan yang tertidur dengan tanpa bergerak sedikit pun,
atau anak-anak muda yang mungkin juga tak tahu menahu.
Di
sepanjang pedestrian dan seberang jalan, aku lihat beberapa bangunan; Gramedia
yang menghuni bekas rumahnya Soedjatmoko. Lembaga Pendidikan Indonesia Amerika
atau LPIA, tepat di depan Gramedia. Lalu ada Danar Hadi “Soga”, sebuah museum
batik kuno. Lalu House of Danar Hadi, yang ketika aku lewati, terlihat berbagai
macam model batik dengan sentuhan modern. Aku rasa, semacam butik. Wisma
Batari. Tiga gelandangan dan dua buah becak bersama pengayuhnya tertidur di
bawah bangunan Overseas Securities atau W.R. Mang Johan. Aku pun melewati Music
Square. Candi Elektronik. Bangunan rusak bertuliskan “Roti dan Resto Hallan
Solo” lalu ada juga Poligon. McD. Lazzy Cow. Dan Optik Atlas. Aku lihat tiga
gelandangan di samping Hotel Kota. Melewati toko bunga. Dan kaki mulai
pegal-pegal. Aku pun berdiri di depan gapura kecil, pintu masuk sebuah jalan
atau gang, Kauman; Kampung Wisata Batik.
Sementara di tempatku berdiri, terdapat sampah dan lagi lagi sampah.
Kembali
berjalan. Melihat sekelompok burung gereja. Ah, akhirnya ada burung juga. Aku
kira burung di kota ini telah musnah dikalahkan oleh burung milik wisatawan
laki-laki dan penduduk kota solo yang semakin bertambah. Ada pesepeda.
Sejujurnya, cukup banyak pesepeda yang melewatiku daripada pejalan kaki. Dan
tentunya sepeda motor yang berjalan dari arah yang sebaliknya atau mendadak
muncul dari jalanan yang tak terlihat. Jalanan utama tentunya tak pernah sepi.
Dan hal semacam itu tak perlu diingatkan lagi. Lalu aku melihat lagi beberapa
gelandangan yang bagaikan sebuah keluarga yang terdiri dari seorang kakek,
ibu-ibu, perempuan muda, dan anak kecil, sedang mengistirahatkan dirinya di bawah
toko alat-alat Tulis “Rina” yang tentunya terlantar. Solo ternyata surga para
gelandangan. Berkeluarga lagi. Menakjubkan. Jadi kota ini meruntuhkan mitos
umum yang sering kita bicarakan. Membangun sebuah keluarga, ternyata bisa, tak
membutuhkan sebuah rumah. Tak jauh beda dengan kota Jogja yang menjadi saudara
dekatnya. Tak beda pula dengan Semarang yang semuanya bernama Jawa Tengah.
Kembali
berjalan, melihat The Royal Surakarta Heritage yang cukup megah lalu segera
duduk di kursi-kursi yang di depannya dinaungi pergola dengan tumbuhan
merambat. Entah kenapa, aku suka pergola di kota ini. Cukup indah dan terkesan
elegan karena tumbuhan rambatnya. Ternyata, di kuri yang aku duduki, ada dua
tong sampah dari kayu, cukup enak dipandang, dari sisi kiri dan kanan, tapi tak
layak untuk menampung sampah. Untuk apa ada tempat sampah jika sampahnya
tercecer di bawahnya? Tempat sampahnya rusak dan tak rapat. Itu semacam gurauan
elegan yang percuma dan membuat mata sakit. Di sepanjang jalan Slamet Riyadi,
sedikit sekali tong atau tempat sampah. Mungkin itulah yang membuat sepanjang
jalan itu tak bisa bebas dari sampah. Sangat disayangkan. Atau mengirit
anggaran?
Sampailah
aku di patung tinggi, tampan, dan gagah, yang satu tangan kirinya memegang
pistol sambil mengacung ke atas, dan tangan kirinya tergenggam. Itulah patung
Ignatius Slamet Riyadi. Pahlawan besar revolusi. Dan keangkeran dan kemegahan
pahlawan itu tak berlangsung lama.
Aku
pun menyeberangi jalan. Mendekat. Berjalan menuju belakang patung berada. Dan, ada
tulisan dan corat-coret yang riuh dan penuh keberanian tak perduli dan
benar-benar tak takut dengan sosok Slamet Riyadi yang sedang berdiri kokoh
mengawasi sepanjang jalan yang dipersembahkan untuknya.
Corat-coret
itu khas Indonesia dan mirip yang ada di Tasikmalaya. Membuat aku tersenyum dan
kadang ngeri memgingat monumen penting ini dicorat-coret layaknya meja sekolah
atau toilet umum yang biasa kita jumpai. Seperti inilah macam-macam coretannya;
Candra ada? Polisi cinta Soom. Aku teko meneh AYIX cah
ngawi. Jadi, ada anak iseng dari ngawi, kurang kerjaan, atau ingin
dikenang, mengabadikan namanya dengan perasaan bangga, tepat di bawah kaki
patung kebanggaan kota Surakarta. Berada di sebuah pintu kecil berwarna
kekuningan yang berkarat. Dan batu-batu yang menopang patung keramat itu pun
tak lepas dari tangan yang bakat seninya melebihi orang-orang gua masa lampau.
Aku rasanya, orang-orang prasejarah bahkan lebih berbakat dari pada coretan
yang aku sedang lihat ini. Ada juga coretan Ampri
“Aremania”. Pantang mundur. Dan
gambar kemaluan laki-laki. Dan beberapa lainnya, yang anehnya, masyarakat
sekitar pun tak terlalu perduli atau pemerintah kota kekurangan cat atau
mungkin toko cat seluruh Surakarta, atau Solo ini, mendadak sedang gulung tikar
secara bersama-sama? Apa susahnya mengecat ulang pintu kecil dan menutupi
seluruh coretan yang ada dan membersihkan sisa coretan yang ada di batu-batu?
Sebegitu malaskah masyarakat kota ini atau memang, pahlawan satu ini tak
terlalu penting. Masyarakat dan pemerintah kota pun tak mau ambil pusing. Lalu
pihak keraton? Sedang asyik tertidur di surga mungkin.
Beberapa
waktu yang lalu, tiba-tiba muncul seekor bunglon yang mengagetkanku. Muncul
mendadak di sela-sela tanaman hias. Aku mencoba menangkapnya namun tak berhasil.
Setidaknya, masih ada makhluk hidup lainnya yang terlihat, tidak melulu manusia
dan manusia, yang kadang-kadang membosankan. Hanya itu itu saja. Setiap hari
terus menerus melihat manusia dan manusia bisa-bisa membuat diriku gila dan
bosan.
Semua
kota yang ada, dibangun hanya untuk manusia. Bukan untuk hewan. Terlebih di
Indonesia. Jadi, film semacam Zootopia
itu, kalau sudah sampai di sini, hanya sekedar jadi cemilan sesaat habis itu
entah jadi apa. Tak masuk di otak. Apalagi hati.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgx84m57w3unW1pZ0lGIXFkVJej0KQSbkFG30_51Lq8GlRBcuA1VhYhU6SCEjtmmtqqG0qQqTHkgPalN1LUpGRp4SegE4B2TUfkh2sjWQwlvNcfQItUu9ZPuEjs0Z3ETGyrVEzj_Eg2IF3V/s400/12963394_1223292264349977_815143103018450798_n.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZbDjvSUhP3syzpIvGa61YwKC5y_EY5EUoiJW7axhm-EgSi90_8Ilo1wId7f5sTN32x7V-xXGr5u8c2_AzXA1FfnQhhFYsZLf9UQWXAVaf_7lsOl3JpuRmIkc2q0iYpk-dzlD-QhPE_xzN/s400/12993622_1223292497683287_4783548702214056670_n.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgi2aB43KI-jsUjDa_ThLMKdZlUjodiVwRoo-hJttz0VnuWdAACus7LiFxXfsUOXtFXrMrxaqI60bLw0Y3akd03FrWKyMVttht2cZd9Bl_mi6hgbiC7IWnL5y1IBpGZSsn0xA3hxWI06Apo/s400/13006570_1223292284349975_8753137855087985107_n.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLGkPdm9lAmHEwJSfZT4wWSALmhChh1ODFRBqr2KjXuKTuQoxAChOPoq_VZNQFFNKx-ONO5Z0Kt3WeiQjdI7eaZ9V-LQ1YRb7kuasbGrByQ0l9ehKXXyoaYpIXzp7RDKByzcPE1QdZ-Boh/s400/13006743_1223292421016628_3399212158649244353_n.jpg)
Aku
pun bergegas memasuki jalan Pakubuwana yang dinaungi oleh pohon beringin besar
dan terasa sangat sejuk dan damai. Di samping jalan ini ada bangunan kusam,
Pusat Grosir Solo atau PGS. Aku pun duduk mengamati. Ada gelandangan. Manusia
modern. Becak. Penjual kaca mata dan stiker sepeda motor. Dan anak-anak muda
yang terlihat memegang kamera DSLR, di sampingku. Sedangkan aku ini, hanya
sekedar memegang catatan kecil seharga seribu enam ratus rupiah. Tak sebanding
memang. Tapi perbedaannya, mereka seolah tak berkepentingan dengan buku
catatan, pensil atau bolpoin. Anak-anak muda yang mudah ditebak. Kamera
ditangan tanpa sebuah otak, itu semacam penghinaan sistematis terhadap
teknologi dan peradaban. Jauh beda dengan film dokumenter berjudul Chasing Ice beberapa waktu yang lalu.
Yang menceritakan seorang fotografer bernama James Bulog akan kegigihannya
untuk membuktikan masalah perubahan iklim dan hilangnya berbagai macam kawasan
es lewat fotografi yang bisa saja merenggut kakinya untuk selamanya. Fotografer
semacam itulah yang aku kagumi. Yang membawa dunia gambar, fotografi, ke arah
yang lebih luas dan berisi. Pertanyaan terbesarku adalah, seberapa banyak anak
muda di Indonesia yang memegang kamera, memiliki otak yang cukup atau
setidaknya gagasan-gagasan yang tidak hanya sekedar menjepret dirinya sendiri
atau lagi lagi kekasihnya dan alam yang sekedar hanya dijadikan sumber
kekaguman sementara. Sehebat apa pun teknologi jika dipegang oleh orang bodoh
dan tolol, kehebatannya pun surut dan tekonologi yang tadinya hebat itu tiba-tiba
jadi kerdil dan seolah karya dari seorang idiot.
Aku
pun melanjutkan perjalanan. Menembus keramaian. Masuk di alun-alun yang berubah
menjadi pasar Klewer sementara. Membelah dua Beringin keramat. Dan bergegas
menuju Keraton yang diapit oleh jalan sempit dan benteng berwarna putih
kekusaman. Ada banyak tukang patri emas di sekitar kawasan ini. Tentunya,
berbagai macam penjual makanan dan lainnya di sekitar pasar yang tadinya aku
lalui.
Aku
berjalan tertatih-tatih. Sesekali kaki membentur kerikil atau batu. Berjalan di
tepian, melawan arah jalannya kendaraan. Dan tibalah aku di gerbang keraton.
Aku pun lalu duduk di sisi bangsal Brodjonolo Kiwo. Baru masuk saja sudah ada
sampah kertas bekas nasi, puntung rokok, plastik es, dan lainnya. Warna tembok
di bangsal pun kelihatan kusam dan tak terawat. Benar-benar keadaan yang
menggelisahkan dan gawat. Sebelum masuk keraton saja sudah seperti ini, apalagi
kota secara kesuluruhan? Komplek keraton pun tak bebas dari sampah dan dianggap
biasa. Maklumlah kalau sampah-sampah bebas berkeliaran, seolah seperti warga
kota itu sendiri dengan hak untuk hidup dan mengada sesuka mereka.
Kekurangannya cuma satu; plastik dan sampah di kota ini tak memiliki hak pilih.
Itulah kesialan tertinggi menjadi sampah. Tak akan mendapatkan jatah dari
serangan fajar dan serangan malam.
Di
bangsal Wisomarto pun keadaan tak jauh beda. Dipenuhi sampah. Benar-benar
keraton yang aneh dan tak layak diberi tongkat sapu Harry Potter.
Aku
pun menuju loket bersama empat orang lainnya yang entah dari mana. Karena
keraton dalam mau ditutup, aku pun disuruh untuk cepat-cepat dan jangan
memotret lebih dulu. Setelah mengeluarkan sepuluh ribu rupiah, mendapat tiket,
aku langsung bergegas, dengan langkah seribu, menuju museum keraton. Melewati bapak-bapak
penjual boneka mainan dari anyaman. Dan melewati sampah dan sampah. Bisa tidak
sih sepuluh menit saja aku tidak melihat sampah jika sedang berjalan? Memangnya
sampah di kota ini sudah mirip masyarakat itu sendiri, ada di mana-mana? Bebas
berkeliaran manasuka. Itu benar-benar menjengkelkan. Dan yah, setelah melihat
pintu dan patung yang berdiri gagah, aku pun langsung berlari menuju pintu
lainnya yang dijaga seorang bapak tua yang sedang melambaikan tangannya.
Pertanda yang sangat jelas. Cepat. Sebentar lagi tutup.
Jadi,
aku sekarang berada di dalam musem keraton, yang cukup rapi dan dipenuhi
pepohonan. Dan tanpa punya banyak waktu untuk mengagumi, aku pun disuruh ke
sisi dalam keraton. Disapa oleh tiga orang bapak-bapak dengan senyum ramah. Dan
melihat sekilas tata cara berkunjung. Tak boleh hanya sekedar memakai celana
dalam atau baju renang. Itu jelas dari gambar pemberitahuan. Dan orang gila
macam apa yang mau pakai bikini di zaman modern ini? Terlebih di sebuah keraton yang masyarakatnya secara
sadar dan tak sadar, masih sangat kuat akan tata cara beretika atau
berperilaku. Orang gila pun akan paham dengan hal semacam itu. Aku pun melepas
sandal, dan ternyata, harus juga melepas topi di kepalaku sebagai tanda
kesopanan.
Yah,
pada akhirnya, aku berada di kompleks dalam keraton. Pusat masyarakat dan
kebudayaan Jawa. Dan pusat pengkhianatan, intrik politik, egoisme, hasrat
kekuasaan, dan jejak kekalahan yang tak akan pernah hilang untuk selamanya. Di
sinilah, Belanda menjadikan raja-raja keraton Surakarta layaknya boneka dan
tahananan yang setiap saat harus diawasi. Dan aku rasa, banyak dari raja dan
kerabatnya pun senang akan hal itu. Dan di sinilah, tempat di mana kebijakaan
dibuat, yang mana, Surakarta memainkan peranan besar dalam penghancuran keraton
Jogjakarta yang pada akhirnya ditutup dengan penjarahan besar-besaran oleh
Inggris. Sebuah peristiwa bersejarah di mana saudara, dan kebudayaan yang sama
lebih suka mengambil keuntungan dan membuat yang lainnya menderita dan mati.
Dan mengawali apa yang kelak akan disebut oleh para ahli sejarah sebagai Perang Jawa.
Aku
pun berpikir selagi mengagumi keindahan komplek dalam ini yang ditumbuhi oleh
pepohonan yang bernama Sawo Kecik.
Dan istana, atau lebih tepatnya pendopo, yang dikelilingi oleh patung-patung
perempuan berwarna putih susu bergaya Eropa Yunani-Romawi. Apalagi ini? Yah,
itulah kesan kolonialisme yang dibanggakan. Sejujurnya, masyarakat Jawa dan
pemerintah Indonesia, kerjaannyakan hanya sekedar memugar dan mengalih
fungsikan bangunan dan artefak lama milik dan bergaya Belanda-Eropa, lalu
dengan bangga mempersembahkannya ke pada turis asing dan lokal. Jalan Slamet
Riyadi sudah menjawab hal semacam itu. Dan yang kadang menggelisahkan, setiap
bangunan yang ada seringkali diberi tulisan sebagai Cagar Budaya. Apa, Budaya?
Melindungi budaya kolonial atau apa ini? Sejujurnya, aku bingung dengan
pemerintah Indonesia dan di berbagai macam kota. Sejak dulu kita hidup di
sebuah masyarakat yang para pemimpinnya memang membingungkan. Jadi untuk apa
harus bingung?
Lima
menit di keraton dalam. sepuluh menit di museum. Dan aku sekedar memandang
menara yang dulu sempat terbakar. Keraton ini pun dulu pernah dijarah dan
mengalami masa kelamnya tersendiri karena beberapa macam pemberontakan. Tapi
setidaknya, sekarang terlihat baik-baik saja. Dan sepertinya keraton pun mulai
menyebarkan budaya baru ke seluruh wilayah Surakata. Budaya sampah. Tapi di
sini, aku tak melihat sampah. Sangat bersih. Seolah-olah ada kekedapan dari
dunia luar sana. Semacam tempat tertutup yang tak mampu keluar dari kungkungan
zaman masa lampau. Aku lihat, empat orang yang tadinya masuk di belakangku,
didekati oleh bapak yang tadi menyambut di pintu. Tanda-tanda waktu lima menit
pun habis. Aku juga terpaksa harus merelakan kakiku untuk kembali ke sandal dan
lantai.
Tak
perlu waktu lama aku berada di musem keraton, disambut oleh sederatan foto para
raja dan orang dalam yang berpengaruh di kota ini. Semuanya dalam cahaya remang,
cat foto yang luntur, dan tembok yang kusam kehitam-hitaman, serta bau udara
yang memiliki kesan masa lalu yang jauh. Masa lalu yang mati tapi hidup dan
sekarang dicoba untuk dihidupkan dalam museum yang pengap dan panas ini.
Aku
pun berjalan. Melewati ruang candi. Wayang. Tari dan topeng. Lalu benda pusaka
yang ada beberapa barang yang dipajang; Kendi Pratolo. Ketel. Kecohan. Cincin.
Suweng. Beri. Bokor. Klemuh. Dan Timang. Lalu aku pun keluar. Karena di dalam
sangatlah panas.
Lebih
menyenangkan di luar dari pada di dalam. Pohon-pohon besar membuat udara
menjadi sejuk diiringi sepoi angin yang menangkan. Aku pun tak perlu banyak
waktu, bergerak ke arah pohon beringin besar, di mana terdapat semacam kuburan,
atau entah apalah itu, aku tak tahu. Waktu 15 menit dengan melihat banyak hal
di dalam sini, aku bisa dapat apa? Aku pun memberishkan muka di gentong
pancuran. Lalu bertanya nama-nama pepohonan kepada penjaga yang terlihat
menutupi pintu-pintu museum. Mau bagaimana lagi, seperti inilah anak muda
sekarang ini. Segalanya nyaris hampir tak tahu. Yang aku tahu hanya Pohon Mangga, Pepaya, Angsana, Turi dan Matoa. Kalau aku tak salah lihat. Sedangkan lainnya, harus bertanya; Klengkeng dan Gayam. Jenis pohon yang baru aku tahu ketika bertanya. Sejujurnya
aku sangat tak asing dengan dua pohon itu. Tapi semakin dewasa, banyak hal yang
aku lupakan dan terlupa secara sadar maupun tidak. Dan untungnya pihak keraton
tahu nama-nama pohon yang ada di komplek keraton. Dan itu membuat aku sangat
senang.
Lalu
apa yang dilihat oleh pengunjung lainnya? seperti biasa, kerjaan mereka berfoto
bersama. Sekedar lihat ini itu secara sekilas. Lalu fokus kembali kepada
kekasihnya masing-masing. Ingat. Jangan pernah berjalan dengan kekasih atau
teman yang otaknya susah berkembang dan rasa ingin tahunya setara dengan mumi
yang sudah diawetkan. Yah, yang kamu dapatkan hanya sekedar foto dan foto.
Rasanya ingin tahumu pun terhambat jadinya. Perjalanan pun menjadi dangkal.
Walaupun begitu, ada empat orang yang sibuk memegangi catatan dan berceloteh
ini itu, seolah-olah sedang berkunjung demi sebuah tugas atau semacam itu.
Setidaknya mereka membawa buku catatan. Dan baru kali ini aku melihat orang
membawa buku walau sekedar catatan. Kecuali di Gramedia tentunya. Dan fokusnya
mereka hanya di seputar bangunan dan artefak di dalam museum.
Bertanya
jenis dan nama pohon di sebuah kota atau desa, sekarang ini sangat tak mudah.
Sudah jarang anak muda atau bahkan seorang tua, yang tahu secara pasti jenis
dan nama pohon yang ada. Dan hal itu langsung terasa ketika keluar dari pintu
dan akhirnya menghirup udara segar lainnya.
Tak
perlu waktu lama, aku mengenali pohon Jambu,
Kresen, Palem, Jeruk Nipis, dan
sepertinya Tanjung. Ada yang tak aku
kenali. Menjulang tinggi yang mana daunnya mirip jagung atau talas-talasan. Aku
bertanya ke seorang bapak yang umurnya mungkin empat puluhan. Dia tak tahu. Dan
temannya pun juga sama saja. Lalu, bapak muda itu bertanya pada seorang tua
yang terlihat memakai caping, dan dialah yang menjawab. Pohon yang aku tanyakan
ini, namanya Palem Besi. Seorang tua
dengan tampang yang sangat terkesan tak modern itulah yang bisa menjawabnya.
Aku kira, wali kota pun tak begitu tahu apa yang ditanam di dalam kota yang
kini diperintahnya.dan jangan sekali-kali bertanya nama pohon kepada orang yang
terlihat terpelajar, rapi, dan menampilkan aura modern dan berkelas. Yakinlah,
banyak dari mereka pasti tak tahu. Begitu juga orang-orang di sekitar alun-laun
yang aku tanyai mengenai nama pohon unik yang baru kali aku lihat. Dengan buah
lonjong yang ditopong oleh semacam akar gantung yang mirip Beringin, warna
kulit pohon berwarna cokelat kekuningan dan daun yang mirip jambu, dan terlihat
banyak lalat hijau yang sedang asyik berkerumun di ujung sulur buah yang sudah
putus. Nyaris tak seorang pun yang tahu. Begitu juga tiga petugas yang sedang
mengawasi pasar. Ada seorang berwajah Tionghoa yang mengatakan bahwa namanya
pohon Kunto Dewo dengan nada yang
sangat penuh dengan keraguan. Dan sejauh itulah yang aku dapatkan. Dan itu pun
menandakan pergeseran besar-besaran yang sangat nyata. Hari ini, kita semakin
hari semakin tak mengenali lingkungan kita sendiri.
Perut
mulas. Jalan secepat mungkin ke PGS yang kusam dan ubinnya retak di sana-sini.
Mencari toilet. Tap tap tap. Melewati pakaian. Ibu-ibu lalu semacam kantin dan
dapatlah surga yang dicari. Sehabis beres urusan perut. Aku pun makan, mengisi
baterai tab dan mp3, lalu membaca Orang Indonesia
dan Orang Prancis karya Bernard Dorleans. Hanya di sinilah aku memiliki
waktu sejenak untuk membaca. Aku tak sempat membaca di jalanan sepanjang Slamet
Riyadi. Aku juga tak sempat membaca dan menikmati trans Solo. Aku juga
mengurungkan niat untuk melihat dan memasuki perpustakaan daerah. Waktu tak
cukup. Aku baru sampai di kota ini sekitar jam 11;00, dan jalan kaki pun
menguras banyak waktu yang ada.
Angin
mulai ribut. Pohon beringin di luar pun mulai bergoyang. Udara menjadi lebih
dingin. Dan langit mulai gelap. Tanda-tanda hujan sudah mulai jelas. Aku pun
membayar, tepatnya sebesar tiga belas ribu rupiah. Dengan nasi sekecil itu, aku
anggap mahal. Tapi aku sudah tak punya waktu untuk mengutuki diri sendiri. Aku
bergegas keluar, dan secepat mungkin harus sampai Gramedia.
Sampai
di jalan, gerimis sudah mulai berjatuhan walau tak seberapa. Aku pun berjalan
secepat mungkin hingga membuat selangkanganku lecet dan terasa sakit. Kakiku
benar-benar sudah sangat pegal dan telapak kakiku sakit. Aku harus berjalan di
sepanjang pedestarian Slamet Riyadi, 2.3 kilometer, disertai gerimis dan
ketakutan seandainya hujan tiba-tiba jatuh dengan deras.
Berjalan.
Berjalan. Terus berjalan. Satu persatu melewati bangunan, orang-orang, toko dan
pohon yang tadinya sudah aku lewati. Dan seolah-olah terasa lama dan tak
sampai-sampai. Hujan jatuh walau tak terlalu deras ketika aku ingin
menyeberangi jalan dan sebal bahkan di hati uring-uringan mengingat bajuku
sudah mulai basah dengan tetesan hujan, sedangkan kendaraan tak mau memberikan
celah untuk lewat. Para pengendara sialan dan tak tahu diri. Dan akhirnya,
berjalan lagi dan lagi. Hujan makin deras. Tak tahunya, aku sudah sampai di
sekitar Gramedia. Tak perlu waktu lama, aku pun mulai menyeberang dengan
teegesa. Berlari kencang-kencang. Dan, selamatlah aku. sesampainya di Balai
Soedjatmoko, hujan turun dengan luar biasa deras. Aku terselamatkan. Hanya
tetesan kecil yang membahasi baju, celana dan tasku.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxtG7dwCrBSo5KzOfC3YFhlGw3KkY5V-nD6OmfgiV2HfS4bVXM7ijBgGPLJVcnyGSD5Px7uejmNC5PFXDwmcQp8INoF4kwwzIUnFnpgjcKFsfzlDV6aJTKiP7XRgcnU6_UlPPwWIuMaxVE/s400/12987108_1223292597683277_8120542803477063962_n.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1KPeoz8ezje-mWOSmLp03Cl5LW3y5FH3L3bRPnbJ0C88urmDlPjs7MhwnGJZ9I2a9T7bBpKyCA7dXD35XuPyjOqQsP40vwTbFm_hfFV86b_OXvAIJpHEgVj2juDSBqWEIa568kWyzFmlm/s400/12987219_1223292231016647_7912689373238605599_n.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi86BAd-pwcAqGbC53dma0VrUCHxiJ7cyH3LgoQc4Db-_fzjC_YlPuhAHoEAynEJ2ZGxMZ21lDx4gRvUq8pxNf5xP4SlRZLeRke_GBsSrgwS5sdK6V1b5ljOfS0HwqTw0h9cgVvug_JfqmC/s400/12991089_1223292727683264_1262641982424084661_n.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLPrv2IAaErAKiz5xbyoqHzMa3i5VyvKPR551mjwfmt4oSY0PNQ5hPockMtKwLacKTAFkXETvizsvFkt-oLAZ2KdX7I2xByiEaPz0hGNxE68DUqVj3r3NMLFFy36Pt1FVz_1419sPdsqWR/s400/12994526_1223292387683298_3428294749471848365_n.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqh_tWwFufpVCVjMDWD68gWKgwAlLoK-X9SnY3O_wiLoNJfNYCikpe9tGHbBEBNGrCrONrLGk38KOqdML7XYPLBA62ckGOxyfCvOSIyQj8v9uo-nbsHipnS3dufz-c4M51ufY4zEBhx76f/s400/13006471_1223292747683262_2816804850822264448_n.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjW8ilHBjw6d922lipnCcKcNJHTl2E1EYnGboEh8sS8X8W9Q5tUFO0pEWVLbGYJiQHOB8mJzDf4qjQlyhSXNiJEeUOQCMuy0_DkHiJpkAEaHbOz5tIMxqJG54uVPtDwMD0isnWU4mz7YOE/s400/13012631_1223292877683249_8831832053906720164_n.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvCHwoVugOEPJupWF7QX8hPlxXTMPKDPj88L0nmX6jApR_6THsMD5j5MuM7enCV7CdxeE-dFrNGiDSKRfZUkpOX0nsOcgxjoHMjDiZvFEG91twF9jteLSelT3Dbadgd7LtWY8HUlKSuQ3k/s400/13015202_1223292481016622_4809446473571211724_n.jpg)
Malam
ini ada pementasan tari dari Djarot B. Darsono berjudul angon angin. Sudah lama aku tak melihat acara kesenian di kota ini
setelah beberapa tahun yang lalu. Karena hujan semakin deras, aku pun
memutuskan untuk menunggu dan melihat acara di tempat ini untuk pertamakalinya.
Aku pun tak jadi untuk melanjutkannya ke Purwodadi. Hujan terlalu deras. Tak
tanggung-tanggung. Sial, aku pun tertahan di sini. Sedangkan hari semakin
gelap.
Yah,
pada akhirnya aku memasuki Gramedia, menuju lantai dua, dan seketika, mataku
disuguhi perempuan cantik dengan kaki disilangkan, dan celana dalam nyaris
kelihatan. Seolah-olah aku sedang menyaksikan perempuan sempurna, membaca buku,
dan di bagian bawahnya dibiarkan telanjang. Bentuk tubuh yang seksi dan kaki
serta paha yang bagus dan jenjang. Apakah ada rasa malu dan risih dari
perempuan itu? yah, tidak. Tidakkah tren hari ini adalah cabai-cabaian dan
buka-bukaan? Aku hanya orang lewat yang mendapatkan berkah tersembunyi dari
seorang cantik yang mempersembahkan dirinya sendiri untuk dipandangi.
Aku
pun membaca Desi Anwar, Hidup Sederhana,
yang ternyata sangat biasa. Ada beberapa laki-laki muda yang sedang membaca
karya Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja.
Suasana sangat sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat. Dari pada pengunjung,
lebih banyak petugas tokonya yang terlihat. Benar-benar mirip kuburan. Lebih
ramai beberapa waktu yang lalu ketika aku juga berada di sini/ Mungkin juga
hujan. Mungkin juga banyak orang yang lagi bosan dan malas ke toko buku. Dan
akhirnya, aku pun terpaku pada sebuah buku karya Tim Haggin yang berjudul Raffles. Buku yang bagus. Langka untuk
ukuran biografi Thomas Raffles. Menceritakan tentang masa singkat Inggris di
Jawa yang tadinya dikuasai Belanda. Dan masa-masa suram sejarah Jawa Tengah.
Terlebih Jogjakarta.
Yang
membuat gelisah adalah awal dan akhir dari buku itu. Ketika Tim Haggin memiliki
pengalaman terhadap anak-anak didiknya dan orang yang ditemuinya di jalan-jalan
yang pemikiran mereka, lebih menyukai dijajah Inggris dari pada Belanda dan
menyesali tak dijajah Inggris lagi, yang mereka pikir, seandainya dijajah
Inggris, mungkin Indonesia hari ini maju seperti Singapura, Malaysia, Hongkong
dan India. Buku Raffles dari Tim Hagin mencoba memberikan sudut baru dan
membantah pikiran keliru itu. Lima tahun Inggris berkuasa, telah menghancurkan
banyak hal dan yang pada akhirnya akan mengubah Jawa selamanya. Tidak hanya
sewa tanah yang gagal total. Tapi penyerbuan Inggris yang dibantu oleh pihak
Surakarta, menghancurkan secara terang-terangan keraton Jogjakarta beserta adat
istiadat, etika, budaya, dan kedaulatan mereka. Surakarta pun akhirnya sekedar
menjadi boneka baik dibawah Inggris maupun kedatangan kembali Belanda. Yah,
buku bagus yang layak dibaca. Setidaknya, aku akan ngeri jika ada lagi orang
yang berkata bahwa mungkin Jepang kurang lama menjajah di Indonesia atau
kebanggaan akan dijajah oleh bangsa lain yang lebih dianggap maju, adalah
anugrah, perlu dan seolah dinginkan. Dan hal semacam itu masih tercermin dari
banyaknya arsitektur peninggalan kolonial yang dibanggakan oleh berbagai macam
kota di Indonesia. Dan anehnya, Anies Baswedan pun, beberapa waktu yang lalu,
ingin membiayai para penulis Indonesia untuk hidup di luar negeri dan berkarya
dengan produktif dan tenang di sana. Itu kebijakan paling aneh yang pernah aku
dengar dan baca. Kenapa harus keluar negeri? Di saat negara ini lebih banyak
ditulis dan diteliti oleh orang asing. Terlebih, banyak surga dunia di negara
ini. Dari mulai Mentawai, Raja Ampat, Bajo, Lombok dan beberapa tempat di Jawa.
Aku menyukai Anies Baswedan. Tapi keinginannya kali ini, benar-benar absurd.
Bahkan ada yang mencemooh bermental inlander. Mengerikan memang negara ini.
Hanya sekedar menulis saja harus repot-repot keluar negeri. Yaelah.
Dan
akhirnya, tarian pun dimulai pada jam delapan malam. Banyak perempuan cantik di
kota ini. Banyak wajah-wajah Tionghoa. Dan mengingatkanku akan seseorang yang
membuat aku gelisah beberapa hari ini.
Hujan
tak juga berhenti. Banyak orang yang tengah menonton perempuan-perempuan muda
berdandan Jawa, dengan payudara menonjol dan seolah ingin keluar dari
tempatnya. Menari menggunakan lidi dan berbicara dengan gaya datar, tak enak,
layaknya orang yang sedang menipu diri sendiri. Hujan, suara kendaraan dari
arah jalan, dan suara penari yang tak jelas. Beserta lenggak-lenggok yang juga
sama tak jelasnya, membuat pertunjukkan ini terasa aneh dan kosong. Hanya kesan
Gending Jawa, konde, Batik, Jarik atau Kemben, dan Selendanglah yang membuat aku merasa melihat masa
lampau. Jawa yang hilang. Masa kecil yang punah.
Sepertinya
banyak wartawan, orang asing, tokoh seni dan orang penting di tempat aku
sekarang berdiri. Aku pun tak begitu perduli. Aku tak tahu siapa mereka. Dan
aku pun bukan siapa-siapa.
Karena
lelah berdiri, aku pun tak tahu isi dari tarian ini. Dan benar-benar gagal
paham.Hanya kalimat inilah yang aku dengar dan tulis, “Menjadi bahagia itu
bukan takdir, tapi pilihan”. Yah setidaknya cocok dengan keadaan dan perasaanku
saat ini. Mataku pun seringkali gagal fokus dan lebih suka mengagumi sosok
cantik di sisi seberang dan berada di tengah-tengah penonton. Dan, pada
akhirnya, acara ditutup dengan anak-anak muda yang kebanyakan perempuan, sangat
cantik aku akui, yang berbondong-bondong memasuki tempat pertunjukkan, membawa
handphone yang menyala-nyala, dan tangan lainya memegang lidi yang ujungnya
menempel bendera merah putih. Itulah inti pesannya. Yah, terserahlah. Banyak
karya seni itu membingungkan penonton yang kebanyakan otaknya tak tahu apa itu
seni. Melihat seni adalah melihat kebingungan itu sendiri. Dan aku pun bergegas
pergi. Memasuki lahan parkir Gramedia. Memakai jas hujan lalu menerobos hujan
hingga sampai di Jogjakarta.
Aku
gagal ke melanjutkannya ke Purwodadi lalu ke kota-kota berikutnya. Padahal aku
sudah membawa beberapa buku untuk teman perjalanan; Nusantara karya Bernard H. M. Vlekke, Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Bernard Dorleans, Catatan Pinggir 8 yang ditulis
Goenawan Mohamad, dan karyaku sendiri, Dunia
yang Harus Kita Akhiri. Setidaknya, aku sedikit melihat kota Surakarta.
Malam
yang benar-benar melelahkan. Ah, lupa, aku pun tak melihat satu pun pembaca
buku kecuali secuil di Gramedia. Yah, perjalanan negara ini ke depannya
benar-benar sangat suram kalau terus seperi ini.