Sabtu, 23 April 2016

PURWODADI: KETIKA DESA-DESA MENGHILANG














perjalanan kali ini sangatlah menjengkelkan. tidak hanya menjengkelkan, tapi benar-benar luar biasa mengerikan. jalan Jogja-Solo yang bergelombang, rusak sana-sini, berlubang, diselilingi oleh perbaikan jalan, membuat perut terasa mulas. yah, paling tidak, tubuhku masih utuh dan malaikat belum menjemputku. kondisi jalan di sepanjang Jogja-Solo masih lumayan. karena saat menuju ke Purwodadi, jalan sepanjang Solo-Purwodadi, benar-benar membuat depresi. jalanan tidak hanya bergelombang, berlubang, dan rusak. tapi juga di sekitar Karanganyar dan Toroh, perbaikan jalan panjangnya terasa mengagumkan. seolah-olah sedang menyaksikan rekontruksi pembangunan tembok besar China. luar biasa panjang hingga harus membawa motor dengan penuh kesabaran, hati-hati, dan melewati pinggiran jalan yang becek, tergenang air, berbatu, dan berlumpur. jatuh sedikit saja langsung disambar oleh deretan truk. dan itu sangatlah melelahkan. perjalanan yang paling melelahkan adalah perjalanan di mana jalanan rusak, diperbaiki, atau macet. tidak hanya menguras bensin, ban, tapi juga menguras waktu, tubuh dan pikiran. bahkan menjengkelkan hati. seperti itulah kondisi jalanan dari Jogja menuju Purwodadi melewati Solo. apakah pemerintah daerah dan pusat tak menghitung hal semacam ini? ah, di DPR saja kadang ada yang asyik menonton video porno atau pulas ke alam seberang. beginilah kondisi Jawa bagian Tengah.

dan pemerintah Indonesia memang benar-benar tak pandai membuat jalan raya. aku rasa kita semua harus setuju. tak perlu memakai teori atau harus menjadi profesor untuk hal ini. dan aku masih bingung, entah untuk apa para ahli teknik sipil kita selama ini? aku rasa, jalanan kita lebih banyak menewaskan orang dari pada serangan teroris sekalipun. bahkan seringkali para mandor, pemborong, atau kontraktornya mengambil jatah jalan untuk diri sendiri. wajarlah, jika jalanan di berbagai macam kota sangat memalukan. ataukah pemerintah kita, entah kota atau pusat, tidak memiliki cukup banyak uang? aku kira, saat tak sengaja melihat berita, banyak koruptor tertangkap, sudah menjelaskan kondisi negara ini. uang banyak. tapi uang itu habis masuk ke kantung berbagai macam pejabat negara.

intinya, di sepanjang jalan Jogja-Solo-Purwodadi, berderet berbagai pemukiman yang bernamakan desa. dengan sawah di sana-sini yang berisikan padi. dan sesekali hutan di sepanjang jalan Solo-Purwodadi. yang mana, hutan pun mulai ditanami jagung dan akan habis oleh pemukiman. penduduk yang semakin meningkat dan keinginan akan berbagai macam hal yang semakin meningkat, membuat alam harus tergusur bahkan oleh desa sekalipun. dan sialannya, perjalanan pun diisi dengan kemacetan atau, kondisi jalan yang penuh dengan berbagai macam kendaraan, itu sudah cukup meresahkan. ditambah hujan dan jalan rusak, membuat aku benar-benar jengkel dan menggerutu.

sampai di kota Purwodadi, 22 april 2016, aku pun sudah kelelahan. di tasku, ada beberapa buku sebagai teman; Orang Indonesia dan Orang Prancis karya Bernard Dorleans, Nusantara dari Bernard Vlekke, dan Memoar Seorang Filosof yang ditulis oleh Bryan Magee. lalu bukuku sendiri.

aku memasuki sebuah kota yang pernah diceritakan oleh Soe Hok Gie. kota pusat Komunis dan pembantaian besar-besaran yang terjadi setelah peristiwa yang gagal. sebuah kota yang tampangnya pun sangat tidak mengagumkan. dan mungkin, sejarah akan hal itu, penduduknya pun tak terlalu banyak tahu dan mengingatnya. kota kecil, atau lebih tepatnya kecamatan yang berubah menjadi sebuah kota, sub urban, di tengah hamparan desa dan sawah. kabupaten Grobogan memang adalah kabupaten sebuah desa besar dengan mayoritas petani, pekerja bangunan dan pabrik, atau pengangguran. dan aku pun sampai di sini. kota yang luar biasa kecil dan tak ada apa-apa yang layak untuk dikagumi. menjemukan. benar-benar tak ada apa-apa.

tak ada toko buku di sini yang layak kecuali beberapa toko buku pelajaran dan alat tulis. aku pun melewati simpang lima yang sudah rusak di sana-sini. terlihat cukup bersih tapi sampah sangat jelas tersebar di berbagai macam tempat. bodohnya pemerintah setiap kota adalah memperkerjakan tukang sapu dan sampah tanpa membuat peraturan dan hukum yang keras terhadap perilaku membuang sampah. yah, sampai mati pun, kalau tak ada peraturan yang keras, sampah tak akan pernah tuntas di berbagai macam kota di Jawa dan seluruh Indonesia. dan alun-alunannya pun lebih bagus dari Klaten. pedestrian yang rusak dan batakonya hilang entah kemana. dan tak ada pembaca buku. bahkan sepeda pun bisa dihitung dengan jari. 

pembaca buku? yaelah, aku mungkin bermimpi kalau ada pembaca buku dengan penduduk yang hanya sebesar 134.354 jiwa pada tahun 2014 dengan luas wilayah hanya 77,65 kilometer saja. Jogja saja mencari pembaca buku susahnya minta ampun, apalagi di kota luar biasa kecil ini yang lebih tepatnya adalah desa atau terdiri dari berbagai macam dusun?
dan trotoar yang luar biasa kecil, yang habis oleh pedagang kaki lima yang kebanyakan adalah penyet atau warung lesehan. juru parkir yang menjengkel. entah mengapa, juru parkir ada di setiap kota, dan itu bagaikan wabah yang tak enak di mata dan pikiran. dan geliat kota seolah hanya bertumpu pada jalan Suprapto, yang terdiri dari deretan berbagai macam toko, tempat makan, itu pun sedikit sekali yang terlihat bagus, dan swalayan atau mini mall semisal Luwes dan juga Surya Laksana. tak ada Mall besar di sini. jalanan pun tambah sulam, bergelombang dan sedikit enak untuk dinikmati. tapi hanya sedikit. di sisi jalan, motor memenuhi hampir semua tempat dan mobil berderet parkir di sepanjang jalan. sesekali ada laki-laki dengan perilaku sok di tunggangan motor mereka atau perempuan muda yang menggunakan pakaian yang nyaris hilang. dalam artian, celana luar biasa pendek dan tato terlihat dari punggungnya, entah memakai tank top atau baju yang melebihi model di ibu kota. jadi, kota kecil ini, dengan berbagai macam desa di sekitarnya, tak kebal dari godaan modernitas dan tren ibu kota. seolah-olah, desa pun menghilang. yang ada hanyalah kota dengan fisik sebuah desa. dan itu sangat mengganggu otakku.

ketika melewati jalan Suprapto, aku melihat deretan motor panjang di parkir di jalanan, di depan sebuah toko. dan ternyata, itu toko handphone yang sedang mengadakan promo. pengunjung benar-benar membludak. sungguh mengerikan. tak di kota besar, tak juga di kota luar biasa kecil ini, perilaku konsumsi hampir sama saja.  aku rasa, kota ini pelan dan pasti mengikuti wajah kota-kota besar di Indonesia; kendaraan bermotor dan mobil memenuhi jalanan bahkan sangat penuh dengan ukuran kota sekecil ini. tingkat konsumsi kelas menengahnya yang sudah mulai sangat terang-terangan. keinginan untuk memiliki berbagai macam benda dan hal untuk meningkatkan status dan identitas diri. perilaku konsumsif yang memasuki berbagai macam desa di sekitarnya. sampah di sana-sini. dan panas luar biasa. pohon-pohon juga sudah mulai menghilang dari kota ini dan berbagai macam desa yang mengelilinginya. walau pun begitu, kota kecil ini jalanannya dipenuhi dengan berbagai macam pepohonan; kebanyakan adalah Angsana, Asam Jawa, Glodokan, dan Mahoni. tapi, lebih banyak pohon yang hilang untuk pemukiman dan sawah atau pabrik-pabrik baru di sepanjang kabupaten Grobogan.

untuk melihat Indonesia masa depan, kota kecil ini, beserta desa-desa di sekitarnya, adalah kajian yang sangat tepat untuk melihat tingkat laku, pola pikir, kecenderungan, dan apa saja yang nantinya akan menjadi ciri khas Indonesia di masa yang akan datang. ketika sebuah desa, yang cenderung agraris, para penduduknya, generasi muda, mulai tak lagi menginginkan menjadi petani, dan pergi merantau ke berbagai kota entah untuk menjadi tukang bangunan, jalan, bekerja di warung, restoran, menjadi TKI, bekerja di pabrik, dan beberapa di antara sedang menempuh pendidikan, keluar dari jati diri kedesaannya dan bersekolah atau masuk ke sebuah universitas. orang kaya baru dan kelas menengah baru pun bermunculan di sana-sini. sebuah desa pun banyak penduduknya yang kini mulai memiliki mobil. sedangkan motor hampir setiap rumah memiliki. bahkan satu keluarga, yang berjumlah antara tiga sampai lima dan tujuh orang, kadang masing-masing di antara memiliki kendaraan bermotor. sedang sepeda? sepeda nyaris menghilang. hanya digunakan oleh orang-orang yang tak terlalu berpunya dan anak kecil saja. ketika sebuah desa pun terdiri dari gengsi, sikap iri, dan ditentukan oleh harta kekayaannya, ditambah dengan hasrat untuk memiliki berbagai macam barang dan tubuh yang berada di televisi dan kota-kota besar di Indonesia. maka, sebuah desa pun lenyap. hilang. tak ada lagi sebuah desa. yang ada hanyalah sebuah kota baru. kota baru dan kota baru. dan itu benar-benar sangat mengerikan dan akan menjadi bencana.

jadi, anggapan yang selama ini diperdebatkan di kalangan para sosiolog dan pengkaji masalah kependudukan, yang menganggap desa bersifat tradisional, sudah hampir tak berlaku. desa secara fisik berubah. tapi desa sebagai sebuah pemikiran, hasrat, dan keinginan, benar-benar hampir mengalami kepunahan. seorang penduduk desa pun, dalam otak dan hasratnya, adalah seorang kota. lalu apa yang akan terjadi di masa depan? rasa-rasanya aku ingin menenggelamkan diriku di sungai atau masuk ke jurang. ada beban luar biasa berat yang menunggu negara ini. dan Jawa akan mengalami beban yang sangat mengerikan suatu nanti.
  
masyarakat adat, suku, daerah terpencil pun cepat atau lambat akan menjadi kota dan mengikutinya. bahkan orang Rimba pun, seperti yang diceritakan oleh Butet Manurung dalam bukunya Sokola Rimba, harus bersiap-siap memasuki modernisasi, terpapar oleh perkotaan, dan cara hidup mereka. itu juga berlaku bagi penduduk Papua, suku Fayu, yang dikisahkan oleh Sabine Kuegler dalam Jungle Child atau orang Mentawai Sakuddei yang ditulis oleh Reimar Schefold, Aku dan Orang Sakuddei.

sebentar lagi, apa yang masih kita sebut dengan orang rimba dan penduduk desa, akan lenyap dan tinggal sejarah. lenyap oleh ketidaksiapan memasuki modernitas. ketika penduduk berbagai macam kota hari ini, memaknai modernitas lebih pada sebatas fisik dan materi. itu berarti kekacuan. benar-benar kekacauan besar.

negara ini, terlebih Jawa, sangat tidak siap menuju moderninasi. modernisasi, di berbagai macam kota yang aku lihat, kebanyakan hanyalah sebatas fisik dan fisik. dalam artian, kepuasaan akan tubuh, perut, dan identitas yang di dalamnya ditopang oleh kekayaan, materi, status sosial dan semacamnya. kecenderungan akan otak dan hasrat untuk berpikir, membaca, berinovasi, dan meneliti, berbanding jauh akan hasrat akan tubuh dan segala turunannya. apakah ini bisa kita katakan sebagai bentuk dari kemajuan?

yah, paling tidak penduduk di kota ini cukup cantik dan aku akui sangat cantik dengan ukuran kota sekecil ini. ini juga meruntuhkan anggapan mengenai tubuh di berbagai macam kota yang ada. bahwa, hanya untuk menjadi cantik dan tampan itu sangatlah mudah. para penduduk desa dan kota kacil pun sudah cukup untuk menjelaskannya. tapi, ini berarti, kerja kasar dan berat, entah di sawah atau mencari air, sudah banyak ditinggalkan oleh kaum perempuan muda dan remaja. banyak perempuan muda pun mulai menginginkan apa yang dimiliki dan dikerjakan oleh mereka yang berada di kota-kota besar. kerja tak terlalu keras, dengan didasari pengetahuan dari hasil pendidikan, membuat mereka menjadi lebih modis dan mulus dan penghasilan yang ada di tangan mereka sendiri. pada dasarnya, sejak dulu, kaum perempuanlah yang benar-benar mempercundangi para laki-lakinya. banyak laki-laki yang hanya ongkang-ongkang kaki dan bertindak seenaknya. tapi itu juga menunjukkan, bahwa kaum perempuan dan laki-laki pun semakin manja dalam artian desa tradisonal dan berubah perlahan mengikuti contok warga perkotaan. 

buku Ayu Utami, Si Parasit Lajang, benar-benar membuat aku tertawa dan suatu kenyataan yang benar dan nyata, ketika ia menceritakan berbagai macam remaja laki-laki yang ia perkerjakan dari desa, lebih ribut dan sibuk untuk memutihkan kulit, takut matahari, ogah kerja keras, sok penting dan hampir tak tahu kondisi alam sekitarnya. seperti itulah kondisi laki-laki yang kini berada di pedesaan walau tak secara keseluruhan. begitu juga para perempuannya. di sebuah desa, hambil di luar nikah pun sudah menjadi kebiasaan. sudah menjadi fakta umum. dan keperjakaan pun sudah nyaris punah. aku tak akan membicarakan banyak hal yang berbau moralitas. tapi aku ingin membicarakan dunia yang sudah berubah bahkan di desa sekali pun.

aku lihat di sepanjang jalan, banyak tempat praktik dokter, bidan, klinik, dan ahli notaris. itu menunjukkan, bahwa, kota kecil ini, dan desa sekitarnya, memulai babak baru menuju kota. banyak kelas menengah di sana-sini. dan jalanan kecil sebuah desa pun, kadang bisa macet dibuatnya. mengagumkan. atau lebih tepatnya merisaukan.

dan ketika desa-desa menghilang, lebih tepatnya menghilang dalam ketidaksiapan, apa yang akan terjadi di sama yang akan datang? desa-desa pun pada akhirnya adalah kota. sebuah kota di dalam diri masing-masing penduduknya yang sedang bersaing mengejar pendidikan, baju baru, rumah bata, elektorik dan hanpdhone model terbaru, menginginkan mobil dan motor untuk sekedar gengsi atau sebagai kendaraan pribadi, dan sebuah hasrat yang tak kungjung padam mengenai segala hal. 

dari Purwodadi ke arah utara, melewati berbagai macam desa, hutan, dan sawah atau ladang, aku akan melihat Pati. sedangkan jika berbelok ke arah Barat dari kecamatan Grobogan, aku akan menyaksikan Kudus. jika aku bertolak dari pasar Purwodadi ke arah Barat, aku akan sampai ke Demak atau Semarang. dan jika aku ke timur, aku akan sampai di Surabaya. sedang ke selatan sangat jelas menuju Surakarta atau Solo. dan ke arah mana pun, yang ada adalah berbagai macam desa, sawah, sisa dari sebuah hutan, dan suatu wajah yang mulai berubah. apa jadinya jika lahan kosong dan apa yang bernama desa di antara berbagai macam kota yang aku sebutkan, berlomba-lomba menjadi sebuah kota? tak hanya dalam pikiran dan hasrat dalam hati tapi juga secara fisik?

aku sedang melihat, sebuah Jawa, dan juga sebuah negara, dan juga kota-kota, beserta penduduknya, memulai apa yang aku sebut sebagai penghancuran diri sendiri secara terang-terangan. penghancuran terhadap apa pun yang dulu ada dan dipercayai. dan juga, apa yang ada di sekitarnya. 

yah, kota kecil ini adalah awal yang baik untuk kajian sebuah kota. dan juga awal yang mengerikan bagi masa depan.


Kamis, 21 April 2016

RENCANA BUNUH DIRI











setiap perjalanan harus diakhiri. begitu juga perjalananku. 
pada dasarnya, aku sudah memutuskan, aku ingin mati di suatu tempat yang jauh, yang tak bisa ditemukan oleh siapa pun. dan aku ingin, jasadku pun lenyap. tak bersisa. itulah yang aku pikirkan dua minggu terakhir ini. 

yah, seandainya kedua orang tuaku sudah tidak ada, mungkin akan lebih mudah untuk melakukannya. itulah alasan terakhir aku masih hidup sampai sekarang. aku tak mau mati dengan jasad yang ditemukan. aku ingin mati sebagai orang hilang. dan, sebuah perjalanan mengajariku. ada suatu tempat di negara ini yang mungkin tak akan terjangkau oleh siapapun.

aku sudah tak lagi menganggap kehidupan adalah hal yang suci dan layak untuk dipertahankan. kehidupan yang terlalu lama sama saja adalah menyia-nyiakan waktu dan kehampaan yang semakin panjang. kali ini aku sangat serius memikirkannya.

seandainya aku membuat karya yang cukup menarik dan luar biasa pun, itu juga sudah tak terlalu penting. dan aku ingin cepat-cepat menyelesaikan prosesku mengelilingi kota-kota penting di Jawa.

aku sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. itu sudah cukup. lagian, yah, aku juga tak akan sembuh dari semua yang aku alami ini. dan, orang-orang yang aku cintai pun pergi meninggalkanku. dunia semakin tak berarti lagi. dan aku sudah bosan berusaha menjadi orang baik. 

aku ingin serius merencanakan kematianku kali ini. aku ingin bunuh diri di tengah-tengah alam. membaca buku, mendengarkan Schubert dan Chopin sebelum menuju ke ruang hampa. aku akan menikmati Theme from Adente dan Serenade dari Franz Schubert. tentunya, yang akan membuatku kematianku semakin indah adalah Chopin yang dimainkan kembali oleh Chad Lawson, Nocturne in F Minor-Op. 55, No 1. melodi itu membuatku benar-benar menikmati rasa sakit yang nyaman. rasa kesendirian yang utuh. dan keberakhiran yang elegan. dan aku akan berlama-lama menikmatinya. di bawah pohon-pohon dengan kanopi yang menutupi langit-langit atau di tengah lautan luas yang bagai memuja langit yang berawan. 

aku merencakan kematian yang cukup elegan bagi diriku sendiri. kematian yang sendu tapi dalam. dan mungkin, aku akan menulis puisi terakhir sebelum hilang selamanya dari kehidupan di permukaan. dan menyatu kembali ke alam yang selama ini aku tolak untuk masuki sebagai dirinya sendiri.

ah iya, aku akan membaca Zarathustra karya Nietzsche sambil diiringi oleh Chopin dan Schubert. menikmati suara angin laut atau kicau burung dan dedauan digoyangkan angin. 

bunuh diri apa yang aku inginkan?

yah, aku menginginkan mati yang seperti ini. meminum sebuah racun yang langsung membunuh seketika. lalu bersandar di tengah-tengah alam yang luas dengan sebuah buku di tangan. dan aku tak ingin ada seorang pun yang menggangguku dalam keadaan itu. aku tak ingin ditemukan siapapun. atau, aku mencari laut yang bebas dari keberadaan siapapun selain diriku. suatu tempat di mana terdapat beberapa hewan atau ikan beracun. atau mungkin ular laut dan ubur-ubur yang memiliki sengat yang langsung membunuh dalam beberapa menit. atau aku akan membaca laba-laba atau sejenis ular yang memiliki bisa yang tak menginjinkan aku kembali lagi menuju hidup. setelah itu aku akan mengambang di perairan. mengapung dalam diam dan hening. seolah-olah menjadi Buddha. lalu, muncullah para hiu, dan terurailah aku oleh alam secara utuh. 

atau, aku pergi ke padang luas yang masih berisikan oleh berbagai macam hal di sana. singa. hyena. burung bangkai. macan tutul. cheetah. beruang. harimau. serigala. coyote. atau apapun itu, yang jelas, pemakan bangkai yang akan langsung menghabisi tubuhku tanpa sisa kecuali tinggal tulang belulang. aku tak ingin tubuhku ditemukan. dikubur. diratapi. aku ingin hilang dan kembali ke dalam alam. dalam tiada yang aku bayangkan, sangat agung.


di sisa terakhir hidupku. aku ingin bergerak dari suatu forum ke forum lainnya. dari suatu ruang ke ruang lainnya. aku akan mengabarkan nihilisme terakhir. menyuarakannya dengan lantang dan keras kepala. aku tak perduli dengan tatapan tak nyaman dengan orang-orang yang aku bicarakan dan kritik. aku juga tak akan perduli dengan berbagai macam organisasi dan lain sebagainya. aku hanya ingin menyuarakan pikiranku dan apa yang salah dan terus dipercayai orang-orang. 

aku ingin mengisi perjalananku dalam suara paling keras dan memekakan telinga. lalu kembali dalam diam yang tenang. 

aku ingin membangunkan orang-orang sebelum aku tertidur panjang. yah, aku rasa, itu rencana yang menarik. aku suka rencana itu. aku bukan hidup untuk hari esok. aku juga tak hidup untuk menenangkan hati orang-orang, membuat mereka nyaman, dan diam demi ikatan sosial. 

dan di hari-hari terakhirku, aku ingin tenggelam dalam perjalanan yang Nietzsche pernah alami. dan seorang enviromentalis yang akhirnya tahu, perjalanan terakhir seorang manusia adalah kembali dalam tiada. menjadi tanah. diserap oleh pepohonan. atau menjadi makanan binatang liar yang sedang lapar.

dan, setelah aku selesai menulis dan mengisi perjalananku. aku ingin membunuh diriku sendiri. tak aku ijinkan orang lain yang akan membunuhku. tidak juga tuhan. aku hanya ingin kembali ke asal mulaku. kembali ke rahim paling awal; ke asal mula; ketiadaan. di sanalah aku ingin jatuh tertidur untuk selamannya.

Senin, 18 April 2016

SURAKARTA; KEINDAHAN YANG HAMPIR





















Sebuah kota terbentang di samping Sungai Solo, sungai terbesar
dan terindah di Jawa.
Arthur Goodfriend
1958



Aku memasuki Surakarta. Sebuah kota bersejarah. Pusat kebudayaan Jawa selain Jogjakarta. Dan juga, kota kekalahan, kota boneka, dan sebuah sejarah panjang pengkhianatan. Aku memasuki sebuah daerah yang kaum bangsawan dan para rajanya terlalu terlambat bergabung dengan Republik Indonesia. Kadang jika mengingat Legiun Mangkunegaran dan apa yang dilakukan oleh Pakualaman dan Mangkunegara di Jogjakarta semasa Inggris, aku  tak tahu lagi harus berkata apa. Yah, setidaknya sekarang daerah ini sudah bergabung. Apa jadinya jika daerah ini menjadi negara sendiri? Seperti halnya negara Pasundan masa lampau yang gagal? Aku kira, aku akan membutuhkan visa dan menabung lebih banyak lagi. Itu berarti, beberapa minggu ke depan aku akan terkena busung lapar dan bangkrut.

Perjalanan di Jawa adalah perjalanan paling mahal semenjak era kolonial, Hinda-Belanda. Itu pun ketika seluruh Jawa sudah dikuasai oleh Belanda. Hal yang mengerikan, apajadinya, jika kota-kota yang ada di seluruh Jawa adalah sebuah kota untuk masing-masing negara? Mungkin aku akan menjual diriku sendiri hanya untuk sekedar mengelilingi Jawa.  Karena hari ini pun, perjalanan mengelilingi Jawa adalah perjalanan yang mahal, tak terlalu populer  dan lebih murah dari pada ke negara-negara Eropa dan Asia.

Dan aku teringat perkataan Arthur Goodfriend pada tahun 1958, “inilah Jawa, negeri dengan rakyatnya yang ingin kami kenali sehingga kami rela menempuh perjalanan jauh.” Aku pun memasuki Surakarta. Tak mau kalah dengan orang asing yang memasuki pulau ini dan pulang membawa oleh-oleh berupa tulisan, pengamatan, atau malah sebuah buku besar dan tebal. Aku pun memasuki Surakarta.

Aku berada di sepanjang jalan menuju pusat kota, pohon-pohon memenuhi sisi-sisi jalan. Dan itu sangat menenangkan. Sejujurnya, aku agak menyukai kota ini. Dengan kerimbunannya, jalanannya yang lebar, dan suasananya yang menenangkan. Seandainya kesan menyenangkan itu tidak dirusak oleh sedotan plastik, plastik sisa es teh, dan bungkus cemilan pabrik yang tergeletak di sela-sela tetumbuhan atau di jalanan, dan kemacetan beserta ketidaksabaran orang-orang yang berada di jalanan, yang membunyikan klakson berulang-ulang bahkan sebelum lampu berwarna hijau. Apa yang bisa aku lakukan? Yah, hanya sekedar geleng-geleng kepala. Lalu kembali meneruskan perjalanan.

Aku pun sampai di Gramedia. Hari yang menunjukkan akan datangnya hujan. Selasa 12 April 2016, aku pun memarkir motor. Langsung secepat kilat ke toilet. Membuang hajat. Menitipkan tas dan jaket. Lalu menuju Sriwedari yang berada di seberang jalan. Semuanya berada di jalan Slamet Riyadi, tokoh besar revolusi Indonesia. Dan ternyata, menyeberangi jalanan tak semudah yang aku harapkan. Setidaknya lebih mudah dari pada jalanan Jogja yang mirip jalanan khusus bunuh diri.

“Barangkali tidak ada situs yang lebih sesuai untuk ini dalam Indonesia Kotemporer kecuali kota Solo, atau Surakarta. Bagi orang Jawa Orde Baru, kota ini adalah kota asal-usul, suatu penempatan masa lalu di tempatnya, suatu fokus istimewa bagi kebanyakan hal yang digali kembali sebagai “Jawa”. Walau Surakarta bukan satu-satunya kota keraton di Jawa Tengah, kota ini tetap sangat kuat membayangi bagi mereka yang bertekad menggali kembali kesadaran dari apa yang mungkin, dengan satu atau lain cara, adalah “asli Jawa”,” seperti itulah yang dikatakan oleh John Pemberton mengenai Surakarta dalam bukunya Jawa. Buku yang hanya aku bolak-balik secara cepat dan sekedar mencari hal-hal yang penting.

Aku tak punya banyak waktu untuk membaca buku itu. Dan aku akui, aku sosok mengenaskan yang kalah telak dengan para peneliti asing yang rela bersusah payah ingin kembali menghadirkan berbagai macam hal tentang Jawa. Dan, jika kota ini diselamatkan kembali oleh Orde Barunya Soeharto, apakah itu sejenis penyelamatan yang salah? Jawa yang tunduk berabad-abad semenjak pecahnya Mataram menjadi dua bagian dan keenganannya untuk mendukung gerakan nasionalis anti-Belanda, dipulihkan atas nama kembali ke tradisi. Ke Idenitas awal. Sayangnya, saat aku melihat diriku sendiri, aku tak tahu lagi siapa diriku ini. Dan aku berada di sini, hanya ingin sekedar mencari para pembaca buku, pesepeda dan sekedar lewat dan merasakan kesan akan sebuah kota. Aku tak sedang berceramah perihal sejarah dan otakku yang sering lupa ini adalah penyimpan sejarah yang buruk.

Aku memasuki komplek Sriwedari. Tempat yang sangat tua dan sarat dengan aura kesenian. Aku pun duduk di bawah Beringin besar. Banyak orang di sini. Tapi tak ada satu pun yang terlihat memegang buku. Yasudahlah, aku tak akan terkejut. Aku sudah kebal. Aku telah memutuskan memakai kulit badak dan gajah untuk hal yang satu ini.

Aku duduk di dekat papan petunjuk nama tempat, di antara beberapa orang muda yang semuanya laki-laki. Mataku berkeliling kesana-kemari. Dan, ah, di bawah kakiku, dan tepat di bawah kaki laki-laki di sebelahku, sampah plastik menumpuk di sela-sela tempat duduk beton yang mengelilingi Beringin yang menjulang tinggi. Dan aku rasa, semua orang tak begitu perduli dengan kenyataan yang ada. Sampah bagaikan debu di jalanan yang tak terlalu menarik minat dan dianggap biasa saja. Keseharian orang Indonesia dan berbagai macam kota besar di Jawa.

Tidakkah ini kebesaran masyarakat Jawa Modern?

Aku pun memasuki Sriwedari. Disambut oleh seorang laki-laki tua yang tertidur pulas di kursi rodanya. Seolah, dunia hanyalah miliknya sendiri. Pendopo dipenuhi berbagai macam orang. kotor. Tak bersih. Sampah dan sampah lagi terlihat di sana-sini. Mobil box dengan layar digital dan pengeras suara berisik, yang menampilkan sosok-sosok seksi dan mirip pekerja seks komersial, melantunkan lagu-lagu dangdut. Beberapa orang terlihat sangat antusias. Kakek-kakek yang rasanya sebentar lagi hampir mati. Laki-laki muda yang sibuk memegangi mike dan temannya yang sibuk bergoyang-goyang sambil duduk.  Mereka sedang bersemangat berkaraoke ria. Sedang anak-anak kecil berlarian ke sana-kemari. Dua gadis kecil bergantian memandangi tab di tangan. Ibu-ibu yang terlihat seksi. Sosok-sosok berjilbab. Beberapa perempuan muda dengan pakaian seadanya tengah bercakap-cakap. Remaja laki-laki yang sibuk berlatih sesuatu. Dan aku pun lapar.

Tak butuh waktu lama aku sudah berada di lapak Mie Ayam. Dan hidungku tiba-tiba menghirup udara yang mirip selokan atau air comberan. Aku tak tahu letaknya di mana. Tapi hal itu sudah cukup menggelisahkan. Aku pun makan dengan cepat. Membayar seharga delapan ribu rupiah beserta satu kerupuk. Membeli Aqua kecil yang dihargai empat ribu rupiah. Setelah bertanya letak penjual buku-buku di sekitar sini, aku pun berbegas pergi.

Melewati jalanan dan rumah-rumah kecil atau lebih tepatnya warung yang selokan kecilnya nyaris tidak bisa disebut selokan karena tak ada saluran air yang memanjang untuk menampung air atau membiarkan air mengalir. Air hitam dengan bau mengerikan menggenang di sepanjang deretan rumah-rumah. Inilah asal dari bau tak sedap yang menggelisahkan tadi. Benar-benar pemandangan yang mengerikan. Air cucian dan apa pun itu mengalir dan dibuang langsung tepat di depan halaman hingga warnanya sangat hitam dengan bau yang bisa membunuh seekor sianga dalam hitungan menit.

Aku pun bergegas pergi. Melewati bangunan yang nyaris rubuh, berkarat, dan rusak di komplek Sriwedari ini. Hanya rerimbunan pohonlah yang sedikit menyelamatkan area kesenian yang terkenal ini. Dan yang membuat aku heran, kenapa hampir di tempat kesenian tradisonal yang terbuka untuk umum, kebersihan nyaris mustahil dijumpai?  Sepertilah ini masyarakat Jawa modern hidup. Sebentuk mentalitas baru yang mencerminkan sisi kejiwaan, sudut pandang hidup dan sejauh mana mereka menjalankan dan mengerti agama yang mereka anut. Para turis dan peneliti asing mungkin akan kecewa dengan kota ini jika hal itu menyangkut kebersihan dan pemeliharaan sebuah kota dan aspek terpenting dari sebuah kebudayaan. Aku sendiri kecewa. Tapi apa gunanya kecewa?  Masalahnya, aku sedang berada di sebuah kota yang raja-rajanya menamakan dirinya sebagai “sumbu bumi” atau Pakubuwana. Sumbu Bumi? Tidakkah itu sangat mengesalkan jika mengurus sampah saja nyaris tak becus. Setidaknya, masyarakat Jawa yang berada di kota ini sangat ramah. Keberadaan yang mungkin akan susah dihilangkan dari masyarakat Jawa secara umum dan menjadikan Jawa sebagai suatu tempat yang masih layak untuk ditinggali. Walau tetap saja, banyak penipu dan koruptor tumbuh berkembang di Jawa modern ini. itu pun, aku rasa, tak jauh beda dari Jawa lama. Ah, masyarakat Jawa memang masyarakat lentur yang bisa melakukan apa saja. Dari yang terbaik sampai terburuk sekalipun tanpa perlu mempermasalahkannya dengan rumit dan bertele-tele. Aku sendiri tak tahu apakah itu kelebihan atau memang kekurangan.

Clifford Geertz pernah mengatakan dalam Agama Jawa, bahwa “Jawa tak mudah dicirikan dengan satu label atau digambarkan di bawah satu tema yang dominan. Pulau itu lebih lama mengalami peradaban daripada Inggris yang selama lebih dari 1500 tahun telah menyaksikan orang-orang India, Arab, Cina, Portugis serta Belanda, datang dan pergi. Dewasa ini, Jawa memiliki jumlah penduduk yang termasuk paling padat di dunia, pertumbuhan kesenian yang paling tinggi dan serta petanian yang paling intensif. Sungguh benar bahwa dalam menggambarkan agama sebuah peradaban yang begitu kompleks sebagaimana peradaban Jawa, pandangan tunggal sederhana mana pun pasti tidak memadai.” Jika Clifford Geertz saja mengakui hal itu, apalagi diriku ini yang masih serba amatir ini?

Setidaknya aku tahu, pertanian semakin merosot. Dengan jumlah petani yang semakin menurun. Tanah pertanian yang kian hilang dan beralih fungsi. Dan generasi muda yang lebih suka melakukan urbanisasi atau memilih bekerja dan tinggal di kota. Yah, dah aku salah satunya. Dan tentunya, hanya sekedar menuliskan pulau Jawa saja itu seolah bagaikan kutukan tersendiri bagi siapa pun yang mencoba. Berbagai macam kota dengan bahasa, budaya, wilayah, sejarah, masyarakatnya dan kependudukan, adat dan hukumnya, agama dan keyakinan penghuninya, kecenderungannya, perekonomian, perpolitikan, dan percampuran antar berbagai macam hal. Terlebih jika harus dibarengi dengan geliat pendidikan, intelektual, kesenian, trend, tata kota, arsitektur, mitologi, kebijakan pemerintah, keadaan alam dan berbagai jenis tetumbuhan dan hewan, hal yang hari ini, kemarin, dan dan apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Aku akan sangat yakin, itu akan menjadi kajian paling berat bagi siapa pun yang ingin menuliskannya dalam perspektif luas dan hampir menyeluruh. Dan aku akan mengatakan, itu akan menjadi rencana gila yang mempesona. Dan aku pun, sayangnya tak mampu. Yah, hanya sejauh inilah kemampuanku. Mau bagaimana lagi? Apakah aku harus protes ke Tuhan, orang tua yang melahirkanku atau pemerintah Indonesia dan bangsa-bangsa Eropa yang datang dan pergi?
Dan apa yang aku katakan itu akan menjadi batu besar bagi siapapun yang ingin mengkaji perihal kota. Tantangan mempesona tapi akan sangat melelahkan dan membuat frustasi. Dan apa yang dilakukan oleh Gerry van Klinken dan Ward Berenschot dalam In Seacrh of Middle Indonesia, akan terasa sangat kecil dan tak memuaskan.  Walau pun begitu, kajian akan perkotaan yang coba dilakukan oleh beberapa orang dalam buku tersebut, yang mengeluhkan hasil dari penelitian Cifford Geertz, layak untuk direnungkan dan cukup bermanfaat walau penuh dengan lubang besar dan celah yang susah untuk bisa diisi dengan penuh bahkan untuk suatu saat nanti.

Aku pun melihat perpustakaan Sriwedari yang tak bersahabat karena tutup. Dan di sebelah kiriku berdiri, berderet lapak penjual buku, yang sayangnya, ketika aku sampai di ujung, tak ada yang memuaskan. Biasa saja. Lebih baik dari yang ada di Semarang. Dan. Aku kini sedang memandangi deretan para pedagang dan pembuat frame atau figura. Tepatnya di jalan Musium, sebelah Sriwedari. Lalu masuk ke toko alat tulis Tunas Mekar atau TM. Membeli dua note seharga tiga ribu enam ratus rupiah. Lalu keluar, menyusuri trotoar kecil yang sampahnya berserak di sana dan di sini. Jalan yang ditambal. Dan beberapa bangunan yang terlihat ditelantarkan. Ada dua buah keranjang anyaman bambu yang digunakan sebagai tempat sampah. Yang satu cukup terisi dan yang satunya lagi jatuh telungkup. Apakah keranjang bambu layak dijadikan tempat sampah di saat hujan dan angin besar terus-menerus terjadi? Aku rasa, itu ide terkonyol yang pernah aku saksikan di musim penghujan ini.

Kali ini aku sudah berada di pedestrian jalan Slamet Riyadi, sedang bergegas menuju keraton  yang jaraknya sekitar 2.3 kilometer. Awalnya aku kira cukup dekat, tak sadar akan hal itu, setelah berjalan kaki ternyata memang cukup jauh. Sebuah jalan yang dulunya pernah dilewati oleh Arthur Goodfrend, yang menuliskan kesannya, “kami melintas di antara dua pilar peringatan dan terus melaju melewati jalan Slamet Rijadi, jalan utama yang dinamai sesuai nama seorang pahlawan revolusi besar. Jalan ini diapit oleh bungalo-bungalo Belanda yang sudah diubah fungsi menjadi kantor-kantor pemerintahan, barak dan sekolah. Sebuah rel kereta terletak berdampingan dengan jalan untuk kereta kuda, betcha, pejalan kaki yang bertelanjang kaki,  serta kawanan kambing dan angsa. Pedagang kaki lima yang yang menjajakan makanan, mainan, kacamata, ramuan ajaib, tukang potong rambut berjongkok di sepanjang trotoar. Dua bioskop mendominasi bangunan di perempatan jalan, papan iklannya yang meriah mengiklankan film thriller mengenai kelompok geng di Amerika serta film propaganda dari Peiping (Beijing). Meski tampak kumuh dan tidak memiliki sebuah ciri arsitektur, solo terlihat hidup dan meriah; satu-satunya hal yang memancarkan kesedihan adalah reruntuhan bangunan yang rusak selama revolusi.” Dan itu kesan yang Arthur Goodfriend alami di tahun 1958. Dan hari ini, aku berjalan kaki di sepanjang pedestarian dan mengamali hal yang hampir sama dan juga berbeda.

Pepohonan sangat lebat di sepanjang jalan Slamet Riyadi. Dari yang berusia tua hingga masih muda. Berbagai macam tanaman dan tumbuhan hias membuat keindahan jalan ini begitu membuatku kagum. Seandainya Braga seperti jalan ini, mungkin aku akan melemparkan pujianku kepada Braga yang panasnya mengerikan di siang hari.

Ketika berjalan di atas pedestrian yang luas dan lebar, tak berlubang, dan menyenangkan ini, aku berpapasan dengan cukup banyak pesepeda dari segala umur. Suatu kegembiraan tersendiri mengingat aku tak menemukan orang yang yang sedang membaca buku. Pesepeda sedikit untuk menghibur mata dan hatiku. Lebih banyak pesepeda di kota ini dari pada di Jogja yang dulu dijuluki sebagai kota sepeda. Lalu, ada banyak becak seperti yang Arthur Goodfriend lihat. Pedagang kaki lima hanya di beberapa tempat, seperti Sriwedari. Pejalan kaki tak terlalu banyak. Hanya terlihat satu dan dua. Semua orang, aku rasa, lebih suka naik dengan motor dan mobilnya atau sepeda yang hilir mudik di pedestarian. Mungkin itulah asalannya banyak becak yang menganggur dan pengayuhnya terlihat sedih, menatap kosong atau jatuh tertidur. Dan tampilan becak di kota ini lebih enak dipandang dan sedikit elegan dari pada yang berada di Jogja.Aku tak melihat bioskop, kawanan kambing atau angsa dan orang-orang yang berjongkok untuk berjualan. Tapi aku melihat berbagai macam gelandangan dan pengumpul sampah atau pemulung terlihat jatuh tertidur di sebuah kursi dekat pergola, atau di bawah bangunan yang sudah tak lagi difungsikan dan terlihat rusak di sana-sini. Jadi semenjak revolusi hingga hari ini, ternyata nyaris sama. Masih banyak bangunan kosong, teronggok, tak terawat, atau hancur di sepanjang kaki melangkah. Yah, jadi aku sedikit melihat apa yang Goodfriend lihat lebih dari setengah abad yang lalu. Dan, entah datang dari mana, ada seekor ayam muda, berjalan terpincang-pincang, mematuk-matuk tanah, di tengah pusat kota yang semakin termodernisasikan ini.

Seandainya tak banyak sampah yang mengganggu pemandangan, entah di selokan atau sela-sela tetumbuhan, kota ini termasuk indah. Lebih indah dan enak di pandang dari pada Jogjakarta yang berada tak jauh di sisi baratnya.




Keindahan itu berkat rimbunnya pepohonan dan berbagai jenis tanaman yang ada di kedua sisi jalan. Sejujurnya di sisi kiri, tengah, dan kanan. Seandainya pohon-pohon itu ditebang atau dicabut, keindahan kota ini mungkin lenyap dan terlihat kumuh dan kusam seperti yang Goodfriend pernah lihat. Jalan-jalan yang lebih kecil yang kehilangan pepohonannya, terlihat menyedihkan di kota ini. Itulah mengapa, seandainya kelak banyak pohon dan kerimbunan saat ini ada lenyap, Surakarta akan menjadi neraka yang sama dengan Jogja hari ini. Terlebih ketika jalanan semakin penuh dengan kendaraan bermesin. Kota dengan penduduk sekitar setengah juta jiwa ini, sedang memasuki masa-masa gawatnya sebagai sebuah kota. Jika tidak berhati-hati dan salah ditangani suatu saat nanti atau ketika dipimpin oleh orang yang salah, tidak hanya sekedar sampah yang terlihat menyedihkan, tapi juga jalanan yang macet, panas, dan berbagai macam pusat perbelanjaan modern bersaing dengan bangunan-bangunan baru. Mengingat kota ini adalah salah satu kota yang mengalami perkembangan yang sangat cepat di Indonesia. Masa depan apa yang akan dialami kota ini jika penduduknya semakin berlipat, dan orang-orang di berbagai kota lainnya di seluruh Indonesia dan wilayah pedesaan di sekitarnya, berkeinginan untuk pindah dan menetap, belajar, mencari kerja, dan hidup di kota ini? Dan apa jadinya jika desa-desa di sekitarnya berubah jadi kota? Mungkin akan seperti Kertasura yang agak menyedihkan.

Berjalan di antara pepohonan besar yang menjulang tinggi dan angin sepoi-sepoi, sungguh benar-benar nikmat. Aku pun melihat Angsana, Ketapang, Lidah Buaya, Beringin, Tanjung, Asem Jawa, Lili Prancis, dan banyak lainnya. maksud aku, banyak lainnya yang tak aku tahu karena tak ada seorang pun yang bisa ditanyai kecuali para tukang becak yang sedang sibuk mendengkur, para gelandangan yang tertidur dengan tanpa bergerak sedikit pun, atau anak-anak muda yang mungkin juga tak tahu menahu.

Di sepanjang pedestrian dan seberang jalan, aku lihat beberapa bangunan; Gramedia yang menghuni bekas rumahnya Soedjatmoko. Lembaga Pendidikan Indonesia Amerika atau LPIA, tepat di depan Gramedia. Lalu ada Danar Hadi “Soga”, sebuah museum batik kuno. Lalu House of Danar Hadi, yang ketika aku lewati, terlihat berbagai macam model batik dengan sentuhan modern. Aku rasa, semacam butik. Wisma Batari. Tiga gelandangan dan dua buah becak bersama pengayuhnya tertidur di bawah bangunan Overseas Securities atau W.R. Mang Johan. Aku pun melewati Music Square. Candi Elektronik. Bangunan rusak bertuliskan “Roti dan Resto Hallan Solo” lalu ada juga Poligon. McD. Lazzy Cow. Dan Optik Atlas. Aku lihat tiga gelandangan di samping Hotel Kota. Melewati toko bunga. Dan kaki mulai pegal-pegal. Aku pun berdiri di depan gapura kecil, pintu masuk sebuah jalan atau gang, Kauman; Kampung Wisata Batik. Sementara di tempatku berdiri, terdapat sampah dan lagi lagi sampah.

Kembali berjalan. Melihat sekelompok burung gereja. Ah, akhirnya ada burung juga. Aku kira burung di kota ini telah musnah dikalahkan oleh burung milik wisatawan laki-laki dan penduduk kota solo yang semakin bertambah. Ada pesepeda. Sejujurnya, cukup banyak pesepeda yang melewatiku daripada pejalan kaki. Dan tentunya sepeda motor yang berjalan dari arah yang sebaliknya atau mendadak muncul dari jalanan yang tak terlihat. Jalanan utama tentunya tak pernah sepi. Dan hal semacam itu tak perlu diingatkan lagi. Lalu aku melihat lagi beberapa gelandangan yang bagaikan sebuah keluarga yang terdiri dari seorang kakek, ibu-ibu, perempuan muda, dan anak kecil, sedang mengistirahatkan dirinya di bawah toko alat-alat Tulis “Rina” yang tentunya terlantar. Solo ternyata surga para gelandangan. Berkeluarga lagi. Menakjubkan. Jadi kota ini meruntuhkan mitos umum yang sering kita bicarakan. Membangun sebuah keluarga, ternyata bisa, tak membutuhkan sebuah rumah. Tak jauh beda dengan kota Jogja yang menjadi saudara dekatnya. Tak beda pula dengan Semarang yang semuanya bernama Jawa Tengah.

Kembali berjalan, melihat The Royal Surakarta Heritage yang cukup megah lalu segera duduk di kursi-kursi yang di depannya dinaungi pergola dengan tumbuhan merambat. Entah kenapa, aku suka pergola di kota ini. Cukup indah dan terkesan elegan karena tumbuhan rambatnya. Ternyata, di kuri yang aku duduki, ada dua tong sampah dari kayu, cukup enak dipandang, dari sisi kiri dan kanan, tapi tak layak untuk menampung sampah. Untuk apa ada tempat sampah jika sampahnya tercecer di bawahnya? Tempat sampahnya rusak dan tak rapat. Itu semacam gurauan elegan yang percuma dan membuat mata sakit. Di sepanjang jalan Slamet Riyadi, sedikit sekali tong atau tempat sampah. Mungkin itulah yang membuat sepanjang jalan itu tak bisa bebas dari sampah. Sangat disayangkan. Atau mengirit anggaran?

Sampailah aku di patung tinggi, tampan, dan gagah, yang satu tangan kirinya memegang pistol sambil mengacung ke atas, dan tangan kirinya tergenggam. Itulah patung Ignatius Slamet Riyadi. Pahlawan besar revolusi. Dan keangkeran dan kemegahan pahlawan itu tak berlangsung lama.

Aku pun menyeberangi jalan. Mendekat. Berjalan menuju belakang patung berada. Dan, ada tulisan dan corat-coret yang riuh dan penuh keberanian tak perduli dan benar-benar tak takut dengan sosok Slamet Riyadi yang sedang berdiri kokoh mengawasi sepanjang jalan yang dipersembahkan untuknya.

Corat-coret itu khas Indonesia dan mirip yang ada di Tasikmalaya. Membuat aku tersenyum dan kadang ngeri memgingat monumen penting ini dicorat-coret layaknya meja sekolah atau toilet umum yang biasa kita jumpai. Seperti inilah macam-macam coretannya; Candra ada?  Polisi cinta Soom. Aku teko meneh AYIX cah ngawi. Jadi, ada anak iseng dari ngawi, kurang kerjaan, atau ingin dikenang, mengabadikan namanya dengan perasaan bangga, tepat di bawah kaki patung kebanggaan kota Surakarta. Berada di sebuah pintu kecil berwarna kekuningan yang berkarat. Dan batu-batu yang menopang patung keramat itu pun tak lepas dari tangan yang bakat seninya melebihi orang-orang gua masa lampau. Aku rasanya, orang-orang prasejarah bahkan lebih berbakat dari pada coretan yang aku sedang lihat ini. Ada juga coretan Ampri “Aremania”. Pantang mundur. Dan gambar kemaluan laki-laki. Dan beberapa lainnya, yang anehnya, masyarakat sekitar pun tak terlalu perduli atau pemerintah kota kekurangan cat atau mungkin toko cat seluruh Surakarta, atau Solo ini, mendadak sedang gulung tikar secara bersama-sama? Apa susahnya mengecat ulang pintu kecil dan menutupi seluruh coretan yang ada dan membersihkan sisa coretan yang ada di batu-batu? Sebegitu malaskah masyarakat kota ini atau memang, pahlawan satu ini tak terlalu penting. Masyarakat dan pemerintah kota pun tak mau ambil pusing. Lalu pihak keraton? Sedang asyik tertidur di surga mungkin.

Beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba muncul seekor bunglon yang mengagetkanku. Muncul mendadak di sela-sela tanaman hias. Aku mencoba menangkapnya namun tak berhasil. Setidaknya, masih ada makhluk hidup lainnya yang terlihat, tidak melulu manusia dan manusia, yang kadang-kadang membosankan. Hanya itu itu saja. Setiap hari terus menerus melihat manusia dan manusia bisa-bisa membuat diriku gila dan bosan.

Semua kota yang ada, dibangun hanya untuk manusia. Bukan untuk hewan. Terlebih di Indonesia. Jadi, film semacam Zootopia itu, kalau sudah sampai di sini, hanya sekedar jadi cemilan sesaat habis itu entah jadi apa. Tak masuk di otak. Apalagi hati. 



Aku pun bergegas memasuki jalan Pakubuwana yang dinaungi oleh pohon beringin besar dan terasa sangat sejuk dan damai. Di samping jalan ini ada bangunan kusam, Pusat Grosir Solo atau PGS. Aku pun duduk mengamati. Ada gelandangan. Manusia modern. Becak. Penjual kaca mata dan stiker sepeda motor. Dan anak-anak muda yang terlihat memegang kamera DSLR, di sampingku. Sedangkan aku ini, hanya sekedar memegang catatan kecil seharga seribu enam ratus rupiah. Tak sebanding memang. Tapi perbedaannya, mereka seolah tak berkepentingan dengan buku catatan, pensil atau bolpoin. Anak-anak muda yang mudah ditebak. Kamera ditangan tanpa sebuah otak, itu semacam penghinaan sistematis terhadap teknologi dan peradaban. Jauh beda dengan film dokumenter berjudul Chasing Ice beberapa waktu yang lalu. Yang menceritakan seorang fotografer bernama James Bulog akan kegigihannya untuk membuktikan masalah perubahan iklim dan hilangnya berbagai macam kawasan es lewat fotografi yang bisa saja merenggut kakinya untuk selamanya. Fotografer semacam itulah yang aku kagumi. Yang membawa dunia gambar, fotografi, ke arah yang lebih luas dan berisi. Pertanyaan terbesarku adalah, seberapa banyak anak muda di Indonesia yang memegang kamera, memiliki otak yang cukup atau setidaknya gagasan-gagasan yang tidak hanya sekedar menjepret dirinya sendiri atau lagi lagi kekasihnya dan alam yang sekedar hanya dijadikan sumber kekaguman sementara. Sehebat apa pun teknologi jika dipegang oleh orang bodoh dan tolol, kehebatannya pun surut dan tekonologi yang tadinya hebat itu tiba-tiba jadi kerdil dan seolah karya dari seorang idiot.

Aku pun melanjutkan perjalanan. Menembus keramaian. Masuk di alun-alun yang berubah menjadi pasar Klewer sementara. Membelah dua Beringin keramat. Dan bergegas menuju Keraton yang diapit oleh jalan sempit dan benteng berwarna putih kekusaman. Ada banyak tukang patri emas di sekitar kawasan ini. Tentunya, berbagai macam penjual makanan dan lainnya di sekitar pasar yang tadinya aku lalui.

Aku berjalan tertatih-tatih. Sesekali kaki membentur kerikil atau batu. Berjalan di tepian, melawan arah jalannya kendaraan. Dan tibalah aku di gerbang keraton. Aku pun lalu duduk di sisi bangsal Brodjonolo Kiwo. Baru masuk saja sudah ada sampah kertas bekas nasi, puntung rokok, plastik es, dan lainnya. Warna tembok di bangsal pun kelihatan kusam dan tak terawat. Benar-benar keadaan yang menggelisahkan dan gawat. Sebelum masuk keraton saja sudah seperti ini, apalagi kota secara kesuluruhan? Komplek keraton pun tak bebas dari sampah dan dianggap biasa. Maklumlah kalau sampah-sampah bebas berkeliaran, seolah seperti warga kota itu sendiri dengan hak untuk hidup dan mengada sesuka mereka. Kekurangannya cuma satu; plastik dan sampah di kota ini tak memiliki hak pilih. Itulah kesialan tertinggi menjadi sampah. Tak akan mendapatkan jatah dari serangan fajar dan serangan malam.

Di bangsal Wisomarto pun keadaan tak jauh beda. Dipenuhi sampah. Benar-benar keraton yang aneh dan tak layak diberi tongkat sapu Harry Potter.

Aku pun menuju loket bersama empat orang lainnya yang entah dari mana. Karena keraton dalam mau ditutup, aku pun disuruh untuk cepat-cepat dan jangan memotret lebih dulu. Setelah mengeluarkan sepuluh ribu rupiah, mendapat tiket, aku langsung bergegas, dengan langkah seribu, menuju museum keraton. Melewati bapak-bapak penjual boneka mainan dari anyaman. Dan melewati sampah dan sampah. Bisa tidak sih sepuluh menit saja aku tidak melihat sampah jika sedang berjalan? Memangnya sampah di kota ini sudah mirip masyarakat itu sendiri, ada di mana-mana? Bebas berkeliaran manasuka. Itu benar-benar menjengkelkan. Dan yah, setelah melihat pintu dan patung yang berdiri gagah, aku pun langsung berlari menuju pintu lainnya yang dijaga seorang bapak tua yang sedang melambaikan tangannya. Pertanda yang sangat jelas. Cepat. Sebentar lagi tutup.

Jadi, aku sekarang berada di dalam musem keraton, yang cukup rapi dan dipenuhi pepohonan. Dan tanpa punya banyak waktu untuk mengagumi, aku pun disuruh ke sisi dalam keraton. Disapa oleh tiga orang bapak-bapak dengan senyum ramah. Dan melihat sekilas tata cara berkunjung. Tak boleh hanya sekedar memakai celana dalam atau baju renang. Itu jelas dari gambar pemberitahuan. Dan orang gila macam apa yang mau pakai bikini di zaman modern ini? Terlebih  di sebuah keraton yang masyarakatnya secara sadar dan tak sadar, masih sangat kuat akan tata cara beretika atau berperilaku. Orang gila pun akan paham dengan hal semacam itu. Aku pun melepas sandal, dan ternyata, harus juga melepas topi di kepalaku sebagai tanda kesopanan.

Yah, pada akhirnya, aku berada di kompleks dalam keraton. Pusat masyarakat dan kebudayaan Jawa. Dan pusat pengkhianatan, intrik politik, egoisme, hasrat kekuasaan, dan jejak kekalahan yang tak akan pernah hilang untuk selamanya. Di sinilah, Belanda menjadikan raja-raja keraton Surakarta layaknya boneka dan tahananan yang setiap saat harus diawasi. Dan aku rasa, banyak dari raja dan kerabatnya pun senang akan hal itu. Dan di sinilah, tempat di mana kebijakaan dibuat, yang mana, Surakarta memainkan peranan besar dalam penghancuran keraton Jogjakarta yang pada akhirnya ditutup dengan penjarahan besar-besaran oleh Inggris. Sebuah peristiwa bersejarah di mana saudara, dan kebudayaan yang sama lebih suka mengambil keuntungan dan membuat yang lainnya menderita dan mati. Dan mengawali apa yang kelak akan disebut oleh para ahli sejarah sebagai Perang Jawa.

Aku pun berpikir selagi mengagumi keindahan komplek dalam ini yang ditumbuhi oleh pepohonan yang bernama Sawo Kecik. Dan istana, atau lebih tepatnya pendopo, yang dikelilingi oleh patung-patung perempuan berwarna putih susu bergaya Eropa Yunani-Romawi. Apalagi ini? Yah, itulah kesan kolonialisme yang dibanggakan. Sejujurnya, masyarakat Jawa dan pemerintah Indonesia, kerjaannyakan hanya sekedar memugar dan mengalih fungsikan bangunan dan artefak lama milik dan bergaya Belanda-Eropa, lalu dengan bangga mempersembahkannya ke pada turis asing dan lokal. Jalan Slamet Riyadi sudah menjawab hal semacam itu. Dan yang kadang menggelisahkan, setiap bangunan yang ada seringkali diberi tulisan sebagai Cagar Budaya. Apa, Budaya? Melindungi budaya kolonial atau apa ini? Sejujurnya, aku bingung dengan pemerintah Indonesia dan di berbagai macam kota. Sejak dulu kita hidup di sebuah masyarakat yang para pemimpinnya memang membingungkan. Jadi untuk apa harus bingung?

Lima menit di keraton dalam. sepuluh menit di museum. Dan aku sekedar memandang menara yang dulu sempat terbakar. Keraton ini pun dulu pernah dijarah dan mengalami masa kelamnya tersendiri karena beberapa macam pemberontakan. Tapi setidaknya, sekarang terlihat baik-baik saja. Dan sepertinya keraton pun mulai menyebarkan budaya baru ke seluruh wilayah Surakata. Budaya sampah. Tapi di sini, aku tak melihat sampah. Sangat bersih. Seolah-olah ada kekedapan dari dunia luar sana. Semacam tempat tertutup yang tak mampu keluar dari kungkungan zaman masa lampau. Aku lihat, empat orang yang tadinya masuk di belakangku, didekati oleh bapak yang tadi menyambut di pintu. Tanda-tanda waktu lima menit pun habis. Aku juga terpaksa harus merelakan kakiku untuk kembali ke sandal dan lantai.

Tak perlu waktu lama aku berada di musem keraton, disambut oleh sederatan foto para raja dan orang dalam yang berpengaruh di kota ini. Semuanya dalam cahaya remang, cat foto yang luntur, dan tembok yang kusam kehitam-hitaman, serta bau udara yang memiliki kesan masa lalu yang jauh. Masa lalu yang mati tapi hidup dan sekarang dicoba untuk dihidupkan dalam museum yang pengap dan panas ini.
Aku pun berjalan. Melewati ruang candi. Wayang. Tari dan topeng. Lalu benda pusaka yang ada beberapa barang yang dipajang; Kendi Pratolo. Ketel. Kecohan. Cincin. Suweng. Beri. Bokor. Klemuh. Dan Timang. Lalu aku pun keluar. Karena di dalam sangatlah panas.

Lebih menyenangkan di luar dari pada di dalam. Pohon-pohon besar membuat udara menjadi sejuk diiringi sepoi angin yang menangkan. Aku pun tak perlu banyak waktu, bergerak ke arah pohon beringin besar, di mana terdapat semacam kuburan, atau entah apalah itu, aku tak tahu. Waktu 15 menit dengan melihat banyak hal di dalam sini, aku bisa dapat apa? Aku pun memberishkan muka di gentong pancuran. Lalu bertanya nama-nama pepohonan kepada penjaga yang terlihat menutupi pintu-pintu museum. Mau bagaimana lagi, seperti inilah anak muda sekarang ini. Segalanya nyaris hampir tak tahu. Yang aku tahu hanya Pohon Mangga, Pepaya, Angsana, Turi dan Matoa. Kalau aku tak salah lihat. Sedangkan lainnya, harus bertanya; Klengkeng dan Gayam. Jenis pohon yang baru aku tahu ketika bertanya. Sejujurnya aku sangat tak asing dengan dua pohon itu. Tapi semakin dewasa, banyak hal yang aku lupakan dan terlupa secara sadar maupun tidak. Dan untungnya pihak keraton tahu nama-nama pohon yang ada di komplek keraton. Dan itu membuat aku sangat senang.

Lalu apa yang dilihat oleh pengunjung lainnya? seperti biasa, kerjaan mereka berfoto bersama. Sekedar lihat ini itu secara sekilas. Lalu fokus kembali kepada kekasihnya masing-masing. Ingat. Jangan pernah berjalan dengan kekasih atau teman yang otaknya susah berkembang dan rasa ingin tahunya setara dengan mumi yang sudah diawetkan. Yah, yang kamu dapatkan hanya sekedar foto dan foto. Rasanya ingin tahumu pun terhambat jadinya. Perjalanan pun menjadi dangkal. Walaupun begitu, ada empat orang yang sibuk memegangi catatan dan berceloteh ini itu, seolah-olah sedang berkunjung demi sebuah tugas atau semacam itu. Setidaknya mereka membawa buku catatan. Dan baru kali ini aku melihat orang membawa buku walau sekedar catatan. Kecuali di Gramedia tentunya. Dan fokusnya mereka hanya di seputar bangunan dan artefak di dalam museum.

Bertanya jenis dan nama pohon di sebuah kota atau desa, sekarang ini sangat tak mudah. Sudah jarang anak muda atau bahkan seorang tua, yang tahu secara pasti jenis dan nama pohon yang ada. Dan hal itu langsung terasa ketika keluar dari pintu dan akhirnya menghirup udara segar lainnya.

Tak perlu waktu lama, aku mengenali pohon Jambu, Kresen, Palem, Jeruk Nipis, dan sepertinya Tanjung. Ada yang tak aku kenali. Menjulang tinggi yang mana daunnya mirip jagung atau talas-talasan. Aku bertanya ke seorang bapak yang umurnya mungkin empat puluhan. Dia tak tahu. Dan temannya pun juga sama saja. Lalu, bapak muda itu bertanya pada seorang tua yang terlihat memakai caping, dan dialah yang menjawab. Pohon yang aku tanyakan ini, namanya Palem Besi. Seorang tua dengan tampang yang sangat terkesan tak modern itulah yang bisa menjawabnya. Aku kira, wali kota pun tak begitu tahu apa yang ditanam di dalam kota yang kini diperintahnya.dan jangan sekali-kali bertanya nama pohon kepada orang yang terlihat terpelajar, rapi, dan menampilkan aura modern dan berkelas. Yakinlah, banyak dari mereka pasti tak tahu. Begitu juga orang-orang di sekitar alun-laun yang aku tanyai mengenai nama pohon unik yang baru kali aku lihat. Dengan buah lonjong yang ditopong oleh semacam akar gantung yang mirip Beringin, warna kulit pohon berwarna cokelat kekuningan dan daun yang mirip jambu, dan terlihat banyak lalat hijau yang sedang asyik berkerumun di ujung sulur buah yang sudah putus. Nyaris tak seorang pun yang tahu. Begitu juga tiga petugas yang sedang mengawasi pasar. Ada seorang berwajah Tionghoa yang mengatakan bahwa namanya pohon Kunto Dewo dengan nada yang sangat penuh dengan keraguan. Dan sejauh itulah yang aku dapatkan. Dan itu pun menandakan pergeseran besar-besaran yang sangat nyata. Hari ini, kita semakin hari semakin tak mengenali lingkungan kita sendiri.

Perut mulas. Jalan secepat mungkin ke PGS yang kusam dan ubinnya retak di sana-sini. Mencari toilet. Tap tap tap. Melewati pakaian. Ibu-ibu lalu semacam kantin dan dapatlah surga yang dicari. Sehabis beres urusan perut. Aku pun makan, mengisi baterai tab dan mp3, lalu membaca Orang Indonesia dan Orang Prancis karya Bernard Dorleans. Hanya di sinilah aku memiliki waktu sejenak untuk membaca. Aku tak sempat membaca di jalanan sepanjang Slamet Riyadi. Aku juga tak sempat membaca dan menikmati trans Solo. Aku juga mengurungkan niat untuk melihat dan memasuki perpustakaan daerah. Waktu tak cukup. Aku baru sampai di kota ini sekitar jam 11;00, dan jalan kaki pun menguras banyak waktu yang ada.

Angin mulai ribut. Pohon beringin di luar pun mulai bergoyang. Udara menjadi lebih dingin. Dan langit mulai gelap. Tanda-tanda hujan sudah mulai jelas. Aku pun membayar, tepatnya sebesar tiga belas ribu rupiah. Dengan nasi sekecil itu, aku anggap mahal. Tapi aku sudah tak punya waktu untuk mengutuki diri sendiri. Aku bergegas keluar, dan secepat mungkin harus sampai Gramedia.

Sampai di jalan, gerimis sudah mulai berjatuhan walau tak seberapa. Aku pun berjalan secepat mungkin hingga membuat selangkanganku lecet dan terasa sakit. Kakiku benar-benar sudah sangat pegal dan telapak kakiku sakit. Aku harus berjalan di sepanjang pedestarian Slamet Riyadi, 2.3 kilometer, disertai gerimis dan ketakutan seandainya hujan tiba-tiba jatuh dengan deras.

Berjalan. Berjalan. Terus berjalan. Satu persatu melewati bangunan, orang-orang, toko dan pohon yang tadinya sudah aku lewati. Dan seolah-olah terasa lama dan tak sampai-sampai. Hujan jatuh walau tak terlalu deras ketika aku ingin menyeberangi jalan dan sebal bahkan di hati uring-uringan mengingat bajuku sudah mulai basah dengan tetesan hujan, sedangkan kendaraan tak mau memberikan celah untuk lewat. Para pengendara sialan dan tak tahu diri. Dan akhirnya, berjalan lagi dan lagi. Hujan makin deras. Tak tahunya, aku sudah sampai di sekitar Gramedia. Tak perlu waktu lama, aku pun mulai menyeberang dengan teegesa. Berlari kencang-kencang. Dan, selamatlah aku. sesampainya di Balai Soedjatmoko, hujan turun dengan luar biasa deras. Aku terselamatkan. Hanya tetesan kecil yang membahasi baju, celana dan tasku.




Malam ini ada pementasan tari dari Djarot B. Darsono berjudul angon angin. Sudah lama aku tak melihat acara kesenian di kota ini setelah beberapa tahun yang lalu. Karena hujan semakin deras, aku pun memutuskan untuk menunggu dan melihat acara di tempat ini untuk pertamakalinya. Aku pun tak jadi untuk melanjutkannya ke Purwodadi. Hujan terlalu deras. Tak tanggung-tanggung. Sial, aku pun tertahan di sini. Sedangkan hari semakin gelap.

Yah, pada akhirnya aku memasuki Gramedia, menuju lantai dua, dan seketika, mataku disuguhi perempuan cantik dengan kaki disilangkan, dan celana dalam nyaris kelihatan. Seolah-olah aku sedang menyaksikan perempuan sempurna, membaca buku, dan di bagian bawahnya dibiarkan telanjang. Bentuk tubuh yang seksi dan kaki serta paha yang bagus dan jenjang. Apakah ada rasa malu dan risih dari perempuan itu? yah, tidak. Tidakkah tren hari ini adalah cabai-cabaian dan buka-bukaan? Aku hanya orang lewat yang mendapatkan berkah tersembunyi dari seorang cantik yang mempersembahkan dirinya sendiri untuk dipandangi.

Aku pun membaca Desi Anwar, Hidup Sederhana, yang ternyata sangat biasa. Ada beberapa laki-laki muda yang sedang membaca karya Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja. Suasana sangat sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat. Dari pada pengunjung, lebih banyak petugas tokonya yang terlihat. Benar-benar mirip kuburan. Lebih ramai beberapa waktu yang lalu ketika aku juga berada di sini/ Mungkin juga hujan. Mungkin juga banyak orang yang lagi bosan dan malas ke toko buku. Dan akhirnya, aku pun terpaku pada sebuah buku karya Tim Haggin yang berjudul Raffles. Buku yang bagus. Langka untuk ukuran biografi Thomas Raffles. Menceritakan tentang masa singkat Inggris di Jawa yang tadinya dikuasai Belanda. Dan masa-masa suram sejarah Jawa Tengah. Terlebih Jogjakarta.

Yang membuat gelisah adalah awal dan akhir dari buku itu. Ketika Tim Haggin memiliki pengalaman terhadap anak-anak didiknya dan orang yang ditemuinya di jalan-jalan yang pemikiran mereka, lebih menyukai dijajah Inggris dari pada Belanda dan menyesali tak dijajah Inggris lagi, yang mereka pikir, seandainya dijajah Inggris, mungkin Indonesia hari ini maju seperti Singapura, Malaysia, Hongkong dan India. Buku Raffles dari Tim Hagin mencoba memberikan sudut baru dan membantah pikiran keliru itu. Lima tahun Inggris berkuasa, telah menghancurkan banyak hal dan yang pada akhirnya akan mengubah Jawa selamanya. Tidak hanya sewa tanah yang gagal total. Tapi penyerbuan Inggris yang dibantu oleh pihak Surakarta, menghancurkan secara terang-terangan keraton Jogjakarta beserta adat istiadat, etika, budaya, dan kedaulatan mereka. Surakarta pun akhirnya sekedar menjadi boneka baik dibawah Inggris maupun kedatangan kembali Belanda. Yah, buku bagus yang layak dibaca. Setidaknya, aku akan ngeri jika ada lagi orang yang berkata bahwa mungkin Jepang kurang lama menjajah di Indonesia atau kebanggaan akan dijajah oleh bangsa lain yang lebih dianggap maju, adalah anugrah, perlu dan seolah dinginkan. Dan hal semacam itu masih tercermin dari banyaknya arsitektur peninggalan kolonial yang dibanggakan oleh berbagai macam kota di Indonesia. Dan anehnya, Anies Baswedan pun, beberapa waktu yang lalu, ingin membiayai para penulis Indonesia untuk hidup di luar negeri dan berkarya dengan produktif dan tenang di sana. Itu kebijakan paling aneh yang pernah aku dengar dan baca. Kenapa harus keluar negeri? Di saat negara ini lebih banyak ditulis dan diteliti oleh orang asing. Terlebih, banyak surga dunia di negara ini. Dari mulai Mentawai, Raja Ampat, Bajo, Lombok dan beberapa tempat di Jawa. Aku menyukai Anies Baswedan. Tapi keinginannya kali ini, benar-benar absurd. Bahkan ada yang mencemooh bermental inlander. Mengerikan memang negara ini. Hanya sekedar menulis saja harus repot-repot keluar negeri. Yaelah.

Dan akhirnya, tarian pun dimulai pada jam delapan malam. Banyak perempuan cantik di kota ini. Banyak wajah-wajah Tionghoa. Dan mengingatkanku akan seseorang yang membuat aku gelisah beberapa hari ini.

Hujan tak juga berhenti. Banyak orang yang tengah menonton perempuan-perempuan muda berdandan Jawa, dengan payudara menonjol dan seolah ingin keluar dari tempatnya. Menari menggunakan lidi dan berbicara dengan gaya datar, tak enak, layaknya orang yang sedang menipu diri sendiri. Hujan, suara kendaraan dari arah jalan, dan suara penari yang tak jelas. Beserta lenggak-lenggok yang juga sama tak jelasnya, membuat pertunjukkan ini terasa aneh dan kosong. Hanya kesan Gending Jawa, konde, Batik, Jarik atau Kemben, dan Selendanglah yang membuat aku merasa melihat masa lampau. Jawa yang hilang. Masa kecil yang punah.

Sepertinya banyak wartawan, orang asing, tokoh seni dan orang penting di tempat aku sekarang berdiri. Aku pun tak begitu perduli. Aku tak tahu siapa mereka. Dan aku pun bukan siapa-siapa.

Karena lelah berdiri, aku pun tak tahu isi dari tarian ini. Dan benar-benar gagal paham.Hanya kalimat inilah yang aku dengar dan tulis, “Menjadi bahagia itu bukan takdir, tapi pilihan”. Yah setidaknya cocok dengan keadaan dan perasaanku saat ini. Mataku pun seringkali gagal fokus dan lebih suka mengagumi sosok cantik di sisi seberang dan berada di tengah-tengah penonton. Dan, pada akhirnya, acara ditutup dengan anak-anak muda yang kebanyakan perempuan, sangat cantik aku akui, yang berbondong-bondong memasuki tempat pertunjukkan, membawa handphone yang menyala-nyala, dan tangan lainya memegang lidi yang ujungnya menempel bendera merah putih. Itulah inti pesannya. Yah, terserahlah. Banyak karya seni itu membingungkan penonton yang kebanyakan otaknya tak tahu apa itu seni. Melihat seni adalah melihat kebingungan itu sendiri. Dan aku pun bergegas pergi. Memasuki lahan parkir Gramedia. Memakai jas hujan lalu menerobos hujan hingga sampai di Jogjakarta.

Aku gagal ke melanjutkannya ke Purwodadi lalu ke kota-kota berikutnya. Padahal aku sudah membawa beberapa buku untuk teman perjalanan; Nusantara karya Bernard H. M. Vlekke, Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Bernard Dorleans, Catatan Pinggir 8 yang ditulis Goenawan Mohamad, dan karyaku sendiri, Dunia yang Harus Kita Akhiri. Setidaknya, aku sedikit melihat kota Surakarta.

Malam yang benar-benar melelahkan. Ah, lupa, aku pun tak melihat satu pun pembaca buku kecuali secuil di Gramedia. Yah, perjalanan negara ini ke depannya benar-benar sangat suram kalau terus seperi ini.