perjalanan kali ini sangatlah menjengkelkan. tidak hanya menjengkelkan, tapi benar-benar luar biasa mengerikan. jalan Jogja-Solo yang bergelombang, rusak sana-sini, berlubang, diselilingi oleh perbaikan jalan, membuat perut terasa mulas. yah, paling tidak, tubuhku masih utuh dan malaikat belum menjemputku. kondisi jalan di sepanjang Jogja-Solo masih lumayan. karena saat menuju ke Purwodadi, jalan sepanjang Solo-Purwodadi, benar-benar membuat depresi. jalanan tidak hanya bergelombang, berlubang, dan rusak. tapi juga di sekitar Karanganyar dan Toroh, perbaikan jalan panjangnya terasa mengagumkan. seolah-olah sedang menyaksikan rekontruksi pembangunan tembok besar China. luar biasa panjang hingga harus membawa motor dengan penuh kesabaran, hati-hati, dan melewati pinggiran jalan yang becek, tergenang air, berbatu, dan berlumpur. jatuh sedikit saja langsung disambar oleh deretan truk. dan itu sangatlah melelahkan. perjalanan yang paling melelahkan adalah perjalanan di mana jalanan rusak, diperbaiki, atau macet. tidak hanya menguras bensin, ban, tapi juga menguras waktu, tubuh dan pikiran. bahkan menjengkelkan hati. seperti itulah kondisi jalanan dari Jogja menuju Purwodadi melewati Solo. apakah pemerintah daerah dan pusat tak menghitung hal semacam ini? ah, di DPR saja kadang ada yang asyik menonton video porno atau pulas ke alam seberang. beginilah kondisi Jawa bagian Tengah.
dan pemerintah Indonesia memang benar-benar tak pandai membuat jalan raya. aku rasa kita semua harus setuju. tak perlu memakai teori atau harus menjadi profesor untuk hal ini. dan aku masih bingung, entah untuk apa para ahli teknik sipil kita selama ini? aku rasa, jalanan kita lebih banyak menewaskan orang dari pada serangan teroris sekalipun. bahkan seringkali para mandor, pemborong, atau kontraktornya mengambil jatah jalan untuk diri sendiri. wajarlah, jika jalanan di berbagai macam kota sangat memalukan. ataukah pemerintah kita, entah kota atau pusat, tidak memiliki cukup banyak uang? aku kira, saat tak sengaja melihat berita, banyak koruptor tertangkap, sudah menjelaskan kondisi negara ini. uang banyak. tapi uang itu habis masuk ke kantung berbagai macam pejabat negara.
intinya, di sepanjang jalan Jogja-Solo-Purwodadi, berderet berbagai pemukiman yang bernamakan desa. dengan sawah di sana-sini yang berisikan padi. dan sesekali hutan di sepanjang jalan Solo-Purwodadi. yang mana, hutan pun mulai ditanami jagung dan akan habis oleh pemukiman. penduduk yang semakin meningkat dan keinginan akan berbagai macam hal yang semakin meningkat, membuat alam harus tergusur bahkan oleh desa sekalipun. dan sialannya, perjalanan pun diisi dengan kemacetan atau, kondisi jalan yang penuh dengan berbagai macam kendaraan, itu sudah cukup meresahkan. ditambah hujan dan jalan rusak, membuat aku benar-benar jengkel dan menggerutu.
sampai di kota Purwodadi, 22 april 2016, aku pun sudah kelelahan. di tasku, ada beberapa buku sebagai teman; Orang Indonesia dan Orang Prancis karya Bernard Dorleans, Nusantara dari Bernard Vlekke, dan Memoar Seorang Filosof yang ditulis oleh Bryan Magee. lalu bukuku sendiri.
aku memasuki sebuah kota yang pernah diceritakan oleh Soe Hok Gie. kota pusat Komunis dan pembantaian besar-besaran yang terjadi setelah peristiwa yang gagal. sebuah kota yang tampangnya pun sangat tidak mengagumkan. dan mungkin, sejarah akan hal itu, penduduknya pun tak terlalu banyak tahu dan mengingatnya. kota kecil, atau lebih tepatnya kecamatan yang berubah menjadi sebuah kota, sub urban, di tengah hamparan desa dan sawah. kabupaten Grobogan memang adalah kabupaten sebuah desa besar dengan mayoritas petani, pekerja bangunan dan pabrik, atau pengangguran. dan aku pun sampai di sini. kota yang luar biasa kecil dan tak ada apa-apa yang layak untuk dikagumi. menjemukan. benar-benar tak ada apa-apa.
tak ada toko buku di sini yang layak kecuali beberapa toko buku pelajaran dan alat tulis. aku pun melewati simpang lima yang sudah rusak di sana-sini. terlihat cukup bersih tapi sampah sangat jelas tersebar di berbagai macam tempat. bodohnya pemerintah setiap kota adalah memperkerjakan tukang sapu dan sampah tanpa membuat peraturan dan hukum yang keras terhadap perilaku membuang sampah. yah, sampai mati pun, kalau tak ada peraturan yang keras, sampah tak akan pernah tuntas di berbagai macam kota di Jawa dan seluruh Indonesia. dan alun-alunannya pun lebih bagus dari Klaten. pedestrian yang rusak dan batakonya hilang entah kemana. dan tak ada pembaca buku. bahkan sepeda pun bisa dihitung dengan jari.
pembaca buku? yaelah, aku mungkin bermimpi kalau ada pembaca buku dengan penduduk yang hanya sebesar 134.354 jiwa pada tahun 2014 dengan luas wilayah hanya 77,65 kilometer saja. Jogja saja mencari pembaca buku susahnya minta ampun, apalagi di kota luar biasa kecil ini yang lebih tepatnya adalah desa atau terdiri dari berbagai macam dusun?
dan trotoar yang luar biasa kecil, yang habis oleh pedagang kaki lima yang kebanyakan adalah penyet atau warung lesehan. juru parkir yang menjengkel. entah mengapa, juru parkir ada di setiap kota, dan itu bagaikan wabah yang tak enak di mata dan pikiran. dan geliat kota seolah hanya bertumpu pada jalan Suprapto, yang terdiri dari deretan berbagai macam toko, tempat makan, itu pun sedikit sekali yang terlihat bagus, dan swalayan atau mini mall semisal Luwes dan juga Surya Laksana. tak ada Mall besar di sini. jalanan pun tambah sulam, bergelombang dan sedikit enak untuk dinikmati. tapi hanya sedikit. di sisi jalan, motor memenuhi hampir semua tempat dan mobil berderet parkir di sepanjang jalan. sesekali ada laki-laki dengan perilaku sok di tunggangan motor mereka atau perempuan muda yang menggunakan pakaian yang nyaris hilang. dalam artian, celana luar biasa pendek dan tato terlihat dari punggungnya, entah memakai tank top atau baju yang melebihi model di ibu kota. jadi, kota kecil ini, dengan berbagai macam desa di sekitarnya, tak kebal dari godaan modernitas dan tren ibu kota. seolah-olah, desa pun menghilang. yang ada hanyalah kota dengan fisik sebuah desa. dan itu sangat mengganggu otakku.
ketika melewati jalan Suprapto, aku melihat deretan motor panjang di parkir di jalanan, di depan sebuah toko. dan ternyata, itu toko handphone yang sedang mengadakan promo. pengunjung benar-benar membludak. sungguh mengerikan. tak di kota besar, tak juga di kota luar biasa kecil ini, perilaku konsumsi hampir sama saja. aku rasa, kota ini pelan dan pasti mengikuti wajah kota-kota besar di Indonesia; kendaraan bermotor dan mobil memenuhi jalanan bahkan sangat penuh dengan ukuran kota sekecil ini. tingkat konsumsi kelas menengahnya yang sudah mulai sangat terang-terangan. keinginan untuk memiliki berbagai macam benda dan hal untuk meningkatkan status dan identitas diri. perilaku konsumsif yang memasuki berbagai macam desa di sekitarnya. sampah di sana-sini. dan panas luar biasa. pohon-pohon juga sudah mulai menghilang dari kota ini dan berbagai macam desa yang mengelilinginya. walau pun begitu, kota kecil ini jalanannya dipenuhi dengan berbagai macam pepohonan; kebanyakan adalah Angsana, Asam Jawa, Glodokan, dan Mahoni. tapi, lebih banyak pohon yang hilang untuk pemukiman dan sawah atau pabrik-pabrik baru di sepanjang kabupaten Grobogan.
untuk melihat Indonesia masa depan, kota kecil ini, beserta desa-desa di sekitarnya, adalah kajian yang sangat tepat untuk melihat tingkat laku, pola pikir, kecenderungan, dan apa saja yang nantinya akan menjadi ciri khas Indonesia di masa yang akan datang. ketika sebuah desa, yang cenderung agraris, para penduduknya, generasi muda, mulai tak lagi menginginkan menjadi petani, dan pergi merantau ke berbagai kota entah untuk menjadi tukang bangunan, jalan, bekerja di warung, restoran, menjadi TKI, bekerja di pabrik, dan beberapa di antara sedang menempuh pendidikan, keluar dari jati diri kedesaannya dan bersekolah atau masuk ke sebuah universitas. orang kaya baru dan kelas menengah baru pun bermunculan di sana-sini. sebuah desa pun banyak penduduknya yang kini mulai memiliki mobil. sedangkan motor hampir setiap rumah memiliki. bahkan satu keluarga, yang berjumlah antara tiga sampai lima dan tujuh orang, kadang masing-masing di antara memiliki kendaraan bermotor. sedang sepeda? sepeda nyaris menghilang. hanya digunakan oleh orang-orang yang tak terlalu berpunya dan anak kecil saja. ketika sebuah desa pun terdiri dari gengsi, sikap iri, dan ditentukan oleh harta kekayaannya, ditambah dengan hasrat untuk memiliki berbagai macam barang dan tubuh yang berada di televisi dan kota-kota besar di Indonesia. maka, sebuah desa pun lenyap. hilang. tak ada lagi sebuah desa. yang ada hanyalah sebuah kota baru. kota baru dan kota baru. dan itu benar-benar sangat mengerikan dan akan menjadi bencana.
jadi, anggapan yang selama ini diperdebatkan di kalangan para sosiolog dan pengkaji masalah kependudukan, yang menganggap desa bersifat tradisional, sudah hampir tak berlaku. desa secara fisik berubah. tapi desa sebagai sebuah pemikiran, hasrat, dan keinginan, benar-benar hampir mengalami kepunahan. seorang penduduk desa pun, dalam otak dan hasratnya, adalah seorang kota. lalu apa yang akan terjadi di masa depan? rasa-rasanya aku ingin menenggelamkan diriku di sungai atau masuk ke jurang. ada beban luar biasa berat yang menunggu negara ini. dan Jawa akan mengalami beban yang sangat mengerikan suatu nanti.
masyarakat adat, suku, daerah terpencil pun cepat atau lambat akan menjadi kota dan mengikutinya. bahkan orang Rimba pun, seperti yang diceritakan oleh Butet Manurung dalam bukunya Sokola Rimba, harus bersiap-siap memasuki modernisasi, terpapar oleh perkotaan, dan cara hidup mereka. itu juga berlaku bagi penduduk Papua, suku Fayu, yang dikisahkan oleh Sabine Kuegler dalam Jungle Child atau orang Mentawai Sakuddei yang ditulis oleh Reimar Schefold, Aku dan Orang Sakuddei.
sebentar lagi, apa yang masih kita sebut dengan orang rimba dan penduduk desa, akan lenyap dan tinggal sejarah. lenyap oleh ketidaksiapan memasuki modernitas. ketika penduduk berbagai macam kota hari ini, memaknai modernitas lebih pada sebatas fisik dan materi. itu berarti kekacuan. benar-benar kekacauan besar.
negara ini, terlebih Jawa, sangat tidak siap menuju moderninasi. modernisasi, di berbagai macam kota yang aku lihat, kebanyakan hanyalah sebatas fisik dan fisik. dalam artian, kepuasaan akan tubuh, perut, dan identitas yang di dalamnya ditopang oleh kekayaan, materi, status sosial dan semacamnya. kecenderungan akan otak dan hasrat untuk berpikir, membaca, berinovasi, dan meneliti, berbanding jauh akan hasrat akan tubuh dan segala turunannya. apakah ini bisa kita katakan sebagai bentuk dari kemajuan?
yah, paling tidak penduduk di kota ini cukup cantik dan aku akui sangat cantik dengan ukuran kota sekecil ini. ini juga meruntuhkan anggapan mengenai tubuh di berbagai macam kota yang ada. bahwa, hanya untuk menjadi cantik dan tampan itu sangatlah mudah. para penduduk desa dan kota kacil pun sudah cukup untuk menjelaskannya. tapi, ini berarti, kerja kasar dan berat, entah di sawah atau mencari air, sudah banyak ditinggalkan oleh kaum perempuan muda dan remaja. banyak perempuan muda pun mulai menginginkan apa yang dimiliki dan dikerjakan oleh mereka yang berada di kota-kota besar. kerja tak terlalu keras, dengan didasari pengetahuan dari hasil pendidikan, membuat mereka menjadi lebih modis dan mulus dan penghasilan yang ada di tangan mereka sendiri. pada dasarnya, sejak dulu, kaum perempuanlah yang benar-benar mempercundangi para laki-lakinya. banyak laki-laki yang hanya ongkang-ongkang kaki dan bertindak seenaknya. tapi itu juga menunjukkan, bahwa kaum perempuan dan laki-laki pun semakin manja dalam artian desa tradisonal dan berubah perlahan mengikuti contok warga perkotaan.
buku Ayu Utami, Si Parasit Lajang, benar-benar membuat aku tertawa dan suatu kenyataan yang benar dan nyata, ketika ia menceritakan berbagai macam remaja laki-laki yang ia perkerjakan dari desa, lebih ribut dan sibuk untuk memutihkan kulit, takut matahari, ogah kerja keras, sok penting dan hampir tak tahu kondisi alam sekitarnya. seperti itulah kondisi laki-laki yang kini berada di pedesaan walau tak secara keseluruhan. begitu juga para perempuannya. di sebuah desa, hambil di luar nikah pun sudah menjadi kebiasaan. sudah menjadi fakta umum. dan keperjakaan pun sudah nyaris punah. aku tak akan membicarakan banyak hal yang berbau moralitas. tapi aku ingin membicarakan dunia yang sudah berubah bahkan di desa sekali pun.
aku lihat di sepanjang jalan, banyak tempat praktik dokter, bidan, klinik, dan ahli notaris. itu menunjukkan, bahwa, kota kecil ini, dan desa sekitarnya, memulai babak baru menuju kota. banyak kelas menengah di sana-sini. dan jalanan kecil sebuah desa pun, kadang bisa macet dibuatnya. mengagumkan. atau lebih tepatnya merisaukan.
dan ketika desa-desa menghilang, lebih tepatnya menghilang dalam ketidaksiapan, apa yang akan terjadi di sama yang akan datang? desa-desa pun pada akhirnya adalah kota. sebuah kota di dalam diri masing-masing penduduknya yang sedang bersaing mengejar pendidikan, baju baru, rumah bata, elektorik dan hanpdhone model terbaru, menginginkan mobil dan motor untuk sekedar gengsi atau sebagai kendaraan pribadi, dan sebuah hasrat yang tak kungjung padam mengenai segala hal.
dari Purwodadi ke arah utara, melewati berbagai macam desa, hutan, dan sawah atau ladang, aku akan melihat Pati. sedangkan jika berbelok ke arah Barat dari kecamatan Grobogan, aku akan menyaksikan Kudus. jika aku bertolak dari pasar Purwodadi ke arah Barat, aku akan sampai ke Demak atau Semarang. dan jika aku ke timur, aku akan sampai di Surabaya. sedang ke selatan sangat jelas menuju Surakarta atau Solo. dan ke arah mana pun, yang ada adalah berbagai macam desa, sawah, sisa dari sebuah hutan, dan suatu wajah yang mulai berubah. apa jadinya jika lahan kosong dan apa yang bernama desa di antara berbagai macam kota yang aku sebutkan, berlomba-lomba menjadi sebuah kota? tak hanya dalam pikiran dan hasrat dalam hati tapi juga secara fisik?
aku sedang melihat, sebuah Jawa, dan juga sebuah negara, dan juga kota-kota, beserta penduduknya, memulai apa yang aku sebut sebagai penghancuran diri sendiri secara terang-terangan. penghancuran terhadap apa pun yang dulu ada dan dipercayai. dan juga, apa yang ada di sekitarnya.
yah, kota kecil ini adalah awal yang baik untuk kajian sebuah kota. dan juga awal yang mengerikan bagi masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar