kita merupakan makhluk
pencari makna dan, berbeda dengan hewan-hewan, sangat mudah jatuh putus asa
jika kita tidak bisa menemukan nilai dan arti penting hidup kita.
Karen Armstrong
The Great Transformation
Aku tidah bahagia. Aku
hidup seperti pengembara, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain,
merasa kesepian dan tersesat. Harapanku selalu, di tempat yang yang baru,
akhirnya akan kutemukan kebahagiaan. Namun tiap kali aku kecewa... Aku merasa
tidak hidup, hanya sekedar ada. aku mencari nafkah, memenuhi segala kewajiban,
namun tetap saja hidupku telah berhenti bertahun-tahun yang lalu. Kelihatannya
tidak ada kemajuan.
Sabine Kuegler
Jungle Child
Sejak
awal, para filsuf adalah makluk yang hampir tak pernah diinginkan hidup di bumi
ini. Semenjak Socrates akhirnya mati karena kebebasan berpikirnya. Hingga Nietzsche
yang akhirnya mengembara dengan kesakitan dan kesepian dari pikirannya yang
bagaikan salah tempat,yang akhirnya mengambil nyawanya dan membuat ia gila. Dan
Harapan Plato berakhir di Lee Kuan Yew.
Pada
dasarnya, aku tak menginginkan ideal Plato yang seolah terwujud dengan lahirnya
Lee Kuan Yew di dunia modern. Tapi keberadaan Lee, sudah menjadi bukti bagi
diriku sendiri, bahwa seorang filsuf akan selalu menjadi minoritas di mana pun
ia berada. Terlebih di dunia modern sekarang ini. Apakah aku sudah layak untuk
menggorok diri sekarang?
Tunggu..
mungkin masih ada kemungkinan yang lain yang perlu dicoba. Baiklah. Masalahnya,
sepertinya aku sudah mencobanya. Setelah mengelilingi Jawa, apakah aku harus
mengelilingi berbagai macam kota di dunia untuk mencari tempat yang paling
layak aku tinggali? Mungkin, aku akan sedikit lebih berbahagia. Atau malah, aku
akan langsung bunuh diri? Semuanya mungkin. Tapi entah kenapa, aku sudah sangat
pesimis sejak awal. Apakah aku adalah salah satu orang yang tak bahagia di
dunia ini, karena memiliki pikiran yang salah tempat? Apakah ternyata, masih
banyak orang di luar sana, yang memiliki masalah serius seperti yang aku miliki
yang merasa sangat tertekan di sebuah masyarakat, negara, dan kebudayaan yang
tak menganjurkan orang untuk berpikir bebas, membaca buku dan mencari ilmu
pengetahuan? Dan terpenjara di sebuah masyarakat yang orangnya susah untuk
diajak bicara akan banyak hal? Hingga akhirnya tak mampu mengembangkan potensi,
merasa tak didengar, dan semua yang dipikirkan dianggap asing, aneh, dan tak
dimengerti oleh orang di sekitarnya. Aku adalah jenis orang semacam itu. Itulah
awal dan titik di mana aku sangat tidak bahagia. Karena tak ada ruang yang bisa
memenuhi keinginan kepalaku di berbagai kota di negara ini.
Selama
ini, tak ada seorang pun yang bisa aku ajak bicara dengan terbuka dan bijak
dari mulai Darwinisme, Lubang Hitam, Zarathustra, Ekoterisme, resusitasi,
hingga kenapa Tuhan rela menjadi bodoh, mengenaskan dan melakukan bunuh diri
dalam bentuk Yesus.
Apakah
aku harus ke Yunani Kuno yang pada dasarnya dihuni oleh para politisi dan kaum
militernya dari pada para filsuf? Ataukah aku harus pergi ke Perancis
menggunakan mesin waktu dan berada di masa ketika era pencerahan dimulai hingga
awal abad ke-20, yang sepertinya tak jauh beda dengan kondisi di Yunani kuno.
Karya-karya Voltaire dicekal dan dibakar. Buku Denis Diderot pun tak lepas dari
lalapan api. Buah pikir Mostesquieau pun dilarang terbit. Tulisan milik
Jean-Jacques Rousseau juga dibakar dan ia harus lari ke luar negeri. Lalu apa
jadinya jika negara ini akan dikuasai oleh orang-orang berpikiran sempit
semacam kaum sosialis atau Marxis? Hanya menengok awal revolusi Perancis yang
membakar berbagai macam buku dan perpustakaan, sudah cukup untuk membuat aku
merasa bahwa negara ini untuk kedepannya semakin mengerikan bagi diriku. Lalu
apa aku harus lari ke Jerman yang telah melahirkan banyak tokoh besar, filsuf,
kaum intelektual dan ilmuwan terkemuka dalam sejarah? Pada akhirnya, dari mulai
Nietzsche yang mati mengenaskan hingga Einstein, Adorno, Sigmund Freud, Hannah
Arendt dan lainnya melarikan diri ketika Nazi berkuasa, atau aku harus memilih
dan mengamini keputusan Heidegger? Kembali ke masa lalu pun tak akan mungkin.
Apakah
Jerman modern, yang menjadi tempat suaka, para imigran dan surga para pelarian
akan lebih cocok bagiku? Aku rasa tidak. Bahkan ketika Perancis modern
melahirkan sosok-sosok semacam Albert Camus, Jean Paul Satre, Foucault, Lyotard
hingga Derrida. Mereka semua adalah minoritas. Kehidupan dan akhir riwayat
mereka kebanyakan tragis. Dan para teroris pun tak kebal dengan kesekuleran
negara itu. Ataukah aku harus lari ke Inggris, yang Richard Dawkins dan banyak
lainnya, dikutuki oleh mereka yang percaya akan keberadaan Tuhan yang selalu
benar? Ataukah aku harus mengepak tasku, sayang aku belum punya koper, dan
pergi ke Amerika yang mana Noam Chomsky pun bagaikan orang asing yang tersesat
atau Edward Said yang matanya sendu dan sangat kesepian? Sementara itu para
fundamentalis agama semakin tumbuh subur di samping Ku Klux Klan yang bisa
menghabisi siapa saja, terlebih kulit berwarna dengan otak aneh semacam diriku
ini?
Ataukah
aku harus bergabung dengan para anarkis yang tersebar di berbagai negara Barat
ataukah mencoba untuk mendaftarkan diri bergabung menjadi warga negara dunia
kecil dan baru berdiri semacam Enclava?
Aku
berada dalam keadaan seperti yang diungkapkan Socrates dalam Phaedo, “rasanya
gila jika mencoba mempertahankan hidup jika tidak ada lagi yang bisa tawarkan.”
Dan disitulah aku berada. Mengambang. Tak jelas. Merasa terpuruk. Bosan. Walau
segala macam hal sudah aku coba lakukan.
Apa
yang sudah aku lakukan? Baiklah. Aku sudah masuk ke berbagai macam tempat. Aku
tak tahu, berbagai macam tempat itu yang salah atau diriku sendiri yang salah.
Dari mulai tempat yang berisikan orang-orang kiri, penganut agama fanatik, mereka
yang menyebut dirinya demokrat dan liberal, dan mereka yang menganganggap
dirinya nasionalis, pencinta lingkungan hidup, para feminis dan mereka yang
ingin kembali ke tradisi dan budaya lokal. Aku sudah hidup di desa. Aku juga
hidup di kota. Adakalnya pergi ke pantai, alam, hingga memasuki berbagai macam
tempat, dari kota ke kota, dari ruang diskusi ke ruang diskusi lainnya. Banyak forum,
seminar, dan komunitas. Tak ada yang cocok buatku. Dan aku selalu bagaikan
orang asing dengan kepala dan isi pikiranku. Mengingat, presentase minat baca
masyarakat Indonesia terburuk di dunia dan kawasan Asia Tenggara, dengan 0,049
persen pembaca bukunya, berada di Jogja dan tertinggi dari seluruh penduduk dan
kota di Indonesia yang membaca buku, yang tak ada satu buku dalam setahun yang
dibaca. Ini negara yang benar-benar membuat aku sekarat secara intelektual dan
kejiwaan.
Dan
jika aku berada di kalangan para intelektual, sastrawan, seniman atau aktivis,
mereka terjebak dalam ideologi mereka masing-masing. Berkubu-kubu. Dan lebih
sering membaca buku yang lebih mengarah pada dunia atau komunitas yang mereka
ikuti dan menjadi bagian di dalamnya. Melenceng sedikit dari dunia mereka,
kebanyakan sudah tak tahu lagi akan berkata apa. Dan berbagai macam ruang
diskusi, seminar, dan forum, membuat aku benar-benar depresi dan semakin malas.
Apakah masih ada alasan aku untuk hidup?
Pergi
ke tempat diskusi, peluncuran buku, seminar, nyaris tak ada yang bertanya.
Selalu begitu. Ini kenyataan umum. Bagaimana aku tidak gila hidup di sebuah
negara semacam Indonesia ini? Dan jika ada yang bertanya, itu pertanyaan yang
nyaris tak penting, terlalu biasa, dan sedikit yang berisi. Seandainya cukup
berisi, gantian yang menjawab dan menjadi narasumbernya memberi jawaban yang
seadanya, terkesan mengindar dan kadang benar-benar tolol. Apakah aku hidup di
dunia yang salah?
Sementara
itu, banyak anak muda yang otaknya dicuci oleh Marxsime, Komunisme, dan
Sosialisme, semakin bertambah setiap harinya di negara ini.Apakah ini tidak
mengkhawatirkan jika hampir semua buku yang berbicara mengenainya habis
terjual? Anak-anak muda, yang seperti dikatakan oleh Fredrich A. Hayek, tak
tahu akan konsekuensi yang mereka pegang dan ingin wujudkan. Jadi, hari ini,
aku sedang dikelilingi anak muda, yang mengidamkan revolusi dan cita-cita
komunisme terwujud, dan akan bersiap-siap memenggal, memenjarakan, dan
menghabisi siapa saja yang akan berseberangan dalam hal berpikir dan bertindak.
Lalu kebebasan berpendapat akan jadi masa lalu. Di dalam negara demokrasi semu
hari ini saja, aku telah melihat buku Lima
Kota karangan Douglas Wilson dimusnahkan dan dibakar habis dari peredaran.
Dan orang yang aku kenal, bukunya ditarik dan pengarangnya dikecam
habis-habisan oleh beberapa orang dan komunitas masyarakat yang tak suka.
Apalagi jika aku hidup dalam negara sosialis-fasis? Anak-anak muda yang tanpa
mereka sadari mengembangkan mental diktator dan para penjagal yang sangat
potensial. Sial, aku dikelilingi oleh berbagai macam anak muda yang kemungkinan
besar akan mudah mengayunkan parangnya untuk menggorok leherku. Atau
menembuskan pelurunya ke tempurung tengkorak depresiku.
Sementara
itu, para filsufnya hanya sekedar mengulang dan terus mengulang karya dan
pemikiran orang lain. Masyarakatnya sudah merasan cukup puas dan bergembira
dengan novel-novel Ayu Utami, Eka Kurniawan, Tere Liye, Dee, Asma Nadia, Habbiburahman,
dan Andrea Hirata. Coba bayangkanlah, seberapa jauh kebanyakan otak dan daya
berpikir, orang-orang yang sudah paus dengan membaca karya-karya itu?
Apa
tak ada yang ingin mengganti posisinya Darwin, Freud, Nietzsche, hingga
Eisntein atau Stephen Hawking? Apakah hanya sekedar karya-karya semacam itu,
masyarakat ini sudah bergembira dan merasa puas? Entahlah. Mungkin aku salah.
Mungkin juga aku terlahir salah sejak awal.
Sial,
sebenarnya, apa aku ini lahir di negara yang salah. Lingkungan yang salah.
Masyarakat yang salah. Keluarga yang salah. Atau Tuhan yang salah?
Eric
Weiner benar, kebahagian itu berkaitan erat dengan geografi berserta isi di
dalamnya. Dan aku, di tanah ini, bahkan di Jogja, sebagai tempat yang paling
baik dari seluruh kota-kota lainnya, tak membuat aku senang. Bahagia. Dan
merasa ada atau hidup. Apa yang salah denganku?
Albert
Camus pernah berkata, dalam Pemberontak,
“adalah kewajiban kita-dalam hal apa saja-untuk memberikan suatu jawaban yang
pasti pada pertanyaan yang muncul pada zaman ini. kenapa? Karena kita sudah
terlanjur diletakkan di tempat yang memojokkan.” Dan akulah orang yang terpojok
itu. Dengan otak yang penuh pertanyaan dan kesimpulan-kesimpulan. Dan tak ada
seorang pun yang mampu menjawabnya. Maka, seperti sekarang inilah aku. Bosan
selama bertahun-tahun. Frustasi. Dan seandainya aku mati hari ini, aku tak akan
menyesal. Sejak awal, aku memang lahir di dunia yang salah.
Ataukah
pada akhirnya aku akan memilih seperti apa yang Camus, sekali lagi katakan,
“Tuhan itu penipu: seluruh dunia-termasuk duniaku sendiri-adalah penuh dengan
kepalsuan; oleh sebab itu, aku memilih untuk mati.” Yah, sudah berkali-kali aku
menginginkan hal itu. Tapi pikiran tak warasku akhirnya memilih untuk
menuliskan sebuah buku, sisi lain dari diriku, Mengembara di Tanah Asing. Dan itu benar-benar sangat menyakitkan,
melelahkan, di saat aku sudah bosan terhadap apa pun. Apakah aku harus berhenti
dan berkata cukup mulai sekarang?
Nietzsche
pernah berkata, “musuh-musuhku adalah mereka yang ingin merusak tanpa
menciptakan diri sendiri.” Baiklah. Ini sangat dilematis. Orang yang aku kagumi
tidak mengijinkan aku untuk mati dan merusak diri sendiri tanpa mencipta lebih
dulu. Dan, sejujurnya, aku sudah semakin malas untuk sekedar keluar dari kamar
dan membuka mata. Satu-satunya cara adalah menyelesaikan karya ini, lalu mati
dengan tenang. Apakah aku bisa mati dengan tenang?
Banyak
berpikir tak hanya membuat gila tapi benar-benar mengarahkan pada kematian.
Tentunya, di saat kau hidup di suatu tempat dan lingkungan yang salah. Jika kau
merasa seperti itu, kita berdua memiliki kemiripan. Kita adalah orang-orang
yang tidak berbahagia di negara ini karena masalah otak kita yang terlalu banyak
berpikir dan agak aneh dari pada otak kebanyakan orang. Aku menyebut ini
sebagai gangguan intelektual.
Sayangya, negara ini tak memberikan jaminan terhadap gangguan jenis ini. Dan
asuransi jiwa pun aku rasa tidak melibatkan salah satu masalah yang kita alami.
Jalan buntu. Kita sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali menunggu malaikat
maut menghadiahi kita ciuman mesra atau masing-masing dari kita berkata,
baiklah, ini sudah cukup.
Sialnya,
masyarakat tak akan kesepian jika aku mati. Tidakkah ini akan menjadi cara mati
yang paling mengenaskan dan mengerikan? Apakah ada cara mati yang lebih baik?
Kembali ke Niezsche; mencipta. Menghasilkan karya. Lalu mati.
Tapi
perduli apa dengan masyarakat? Perduli apa dengan karya, ciptaan dan
sebagainya? Apakah itu penting bagi orang yang sudah mati?
Ini
sungguh sulit. Benar-benar sulit. Yang aku butuhkan hanya aktualisasi diri seperti yang Abraham Maslow katakan untuk individu
yang sehat, berkembang dengan baik dan seimbang. Tapi, tak ada untuk ruang
semacam itu bagiku. Banyak orang baik di negara ini. tapi tak ada kota dan ruang yang baik untuk aku tinggali.
Aku
hanya menginginkan kota yang rimbun oleh pepohonan. Segar. Memiliki akses ke
perpustakaan lengkap. Dengan orang-orang yang bisa bebas diajak bicara dengan
apapun dan tentunya cukup paham dengan berbagai macam tema dan isu. Jalanan
terbebas dari kemacetan. Orang-orang yang bisa berjalan kaki dengan santai dan
ramah. Sepeda ada di mana-mana. Dan tentunya, seorang kekasih yang menemani.
Untuk yang itu, aku sudah punya. Sementara yang lainnya, sama sekali jauh dari
kenyataan. Seolah-olah aku sedang memikirkan sebuah utopia yang tak mungkin.
Kota untuk seorang filsuf? Mimpi kadaluarsa.
Apakah
aku harus pergi ke Belanda? Sayangnya, aku tak bisa bahasa Belanda. Apakah aku
harus mulai belajar dari sekarang? Aku rasa tak mungkin. Pintu tertutup.
Kemungkinan sudah hilang. Apakah boleh aku bunuh diri sekarang?
Tunggu
dulu. Aku belum selesai menulis. Masih ada beberapa kota yang harus aku masuki.
Dan buku The Revenant karya Michael
Punke pun baru mulai aku baca. Tapi setelah itu, bolehkah aku mati dengan
tenang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar