Begitu banyak orang
beruntung,
yang gelisah di tengah gemilang kekayaannya.
Alexis de Tocqueville
Kota
adalah rumah bagi segala macam kebobrokan. Kegilaan. Dan tempat tumbuh
suburnya depresi hingga bunuh diri. Dan sayangnya, penemuan, dan juga kemajuan. Tapi di
Indonesia, yang nama kota selalu membuat frustasi kalau sudah berada di
jalanan. Benar-benar pengalaman yang seringkali bagaikan mimpi buruk.
Angkot
yang aku naiki entah kapan akan memiliki niat untuk berjalan. Dimana-mana, yang
namanya angkutan kota, selalu berhenti, berhenti dan berhenti. Jarak yang
ditempuh tak kurang dari sepuluh menit bisa mencapai setengah jam bahkan
berjam-jam. Jika menyangkut kesabaran, orang Indonesia termasuk berada di
peringkat nominasi peraih penghargaan salah satu warga tersabar di dunia.
Akhirnya,
angkot pun bergerak di jalanan RE Martadinata hingga akhirnya berhenti di
perempatan jalan yang bagaikan sebuah kota yang gagal, habis ditinggalkan,
dilanda perang atau memang, tak diurus dengan benar. Aku kini berada di
perempatan jalan Dr. Sukarjo dengan seorang anak kecil kumal yang terlihat
bermain dengan monyetnya. Topeng monyet. Dan Suasana begitu suram. Yakinlah
sangat suram. Bahkan hantu pun akan pindah selagi sempat.
Bangunan
yang sekarang ini aku jadikan tempat berdiri guna menghindari teriknya
matahari, atapnya roboh di sana-sini. Tembok pun catnya mengelupas tak karuan.
Berisikan grafiti dan corat-coretan yang kesan seninya sangat meragukan. Cicie
cinta toto. Anak gaul ronald. Hasyim saiful. Dan semacam itu. Aku pikir, apa
ini sedang era mengiklankan diri di tembok-tembok, atau mengklaim wilayah? Atau
seniman yang esoknya ingin gantung diri? Sekilas pandang, aku berada di sebuah
kota yang sama mengerikannya dengan Jakarta.
Aku
pun menyeberangi jalan. Berjalan di trotoar yang berlubang. Tak masalah. Aku
sudah terbiasa dengan hal itu. Bahkan jika seluruh jalanan habis jadi lahan
parkir pun aku tak akan kaget. Jangan pernah kaget menjadi orang Indonesia. Ini
adalah negeri dengan milyaran kemungkinan. Jika ada mayat yang sudah mirip mumi
diajak berfoto selfie, dikasih kaca mata, dirias, didandani dengan elegan, yah,
kita sebagai orang Indonesia tak perlu heran. Tak perlu cemas. Tinggal pergi ke
Toraja. Jika ingin berselfie dengan koruptur, tinggal pergi ke Senayan. Ingin
lihat spesies buah-buahan baru? Tinggal pergi ke kebun raya Bogor. Ada banyak
buah fanta yang tergeletak di bawah pepohonan. Tak punya modal melampiaskan
nafsu birahi karena gulung tikar, uang dalam kondisi sekarat, atau tampang
terlalu menyedihkan? Pergilah ke desa atau perkampungan terdekat. Carilah organ
tunggal atau dangdut koplo yang lagi manggung. Dijamin puas. Gratis. Ingin yang
lebih elegan? Carilah acara seni atau mall terdekat. Banyak perempuan muda yang
kehabisan pakaian di sana-sini. Tak perlu ke sarkem atau warung remang-remang
yang isinya nyoya tua gembur dan tinggal menghitung hari. Ingin laki-laki
tampan yang bisa dikalungi rantai dan nurutnya minta ampun? Masukilah berbagai
macam kampus. Akan kamu temukan laki-laki muda yang kerjanya hanya bisa minta
makan pasangannya. Laki-laki jenis ini boleh kamu kurung dan kasih makan
wortel. Ingin ciuman gratis dan sepuasnya? Pergilah ke Bali, tepatnya di Banjar
Kaja, setelah hari raya Nyepi. Sebuah tradisi yang bernama Omed-omedan. Dan sayangnya, hanya untuk warga Banjar. Ingin cepat
mati tapi takut ketahuan bunuh diri? Menyeberanglah di jalanan antar kota atau
jalanan yang sering kali kamu lewati. Ingin cepat kaya? Ngepetlah! Atau jadilah
wakil rakyat!
Kaki
pun menyusuri trotoar menyedihkan dengan pohon-pohon yang tak mampu mengusir
panas karena masih terlalu kecil. Menuju Masjid Agung Tasikmalaya. Sebuah
Masjid, yang pernah, maaf, dijual di toko bagus oleh seorang siswi SMP. tepatnya
pada tahun 2013. Tolong perhatian, ini benar-benar nyata. Di jual di toko
bagus. What? Apa? Dengan harga 50 juta rupiah! Seharga sepeda motor atau mobil
bekas yang sudah reot. Bahkan sekedar untuk membeli ruko yang mungil dan
sempitnya minta ampun pun nyaris tak mungkin. Menyewa apartemen pun hanya cukup
untuk satu bulan atau bahkan satu hari. Ini, Masjid Agung Tasikmalaya, dijual
50 juta? Yah, tak perlu panik. Biasa saja. Bayi dijual pun sudah biasa. Istri
dijual ke tetangga pun sudah lumrah. Anak dan istri dijadikan pekerja seksual
pun sudah sering. Bunuh diri pun hampir setiap hari. Seks massal anak sekolahan
pun sudah semakin umum. Kalau hanya sekedar Masjid Agung dijual, tak perlu
bersedih hati. Al Quran, dana Haji, dan daging qurban pun sudah biasa
dibagi-bagi. Itulah tugas selingan atau kewajiban tersembunyi dari kementerian
agama?
Aku
pun terus berjalan. Berjalan. Ya berjalan. Suatu kegiatan yang semakin jarang
terjadi di Indonesia kecuali hanya sekedar untuk berbelanja atau pergi mencari
makan. Terus berjalan. Hingga akhirnya duduk di sebuah halte yang mirip tempat
perhentian kambing. Lalu aku memandang sekitar. Jalanan terlihat masih baru
dengan aspal yang bagus dan mulus. Naik ke atas, bangunan kusam. Reyot. Menyedihkan.
Udara panas menyengat. Ingin rasanya mengganti judul majalah National
Geographic Indonesia edisi november 2015, yang berjudul, Maaf. tak ada gambar indah untuk perubahan iklim dengan Maaf. tak ada gambar indah untuk kota
tasikmalaya. Aku rasa itu lebih pas. Lebih cocok. Sesuai kenyataan. Lebih
berhati nurani.
Seringkali
aku merenung, akan jadi apa kota-kota di Indonesia nantinya? Sebuah kota yang
kebanyakan warganya pun nyaris tak begitu perduli dengan perkembang ilmu
pengetahuan yang ada. Kecuali akan sangat peka dengan perkembangan diskon
tahunan dan hari raya. Segala jenis mode dan trend terkini. Atau motor dan
mobil baru.
Kota
ini panas. Benar-benar panas. Dan sebuah kota yang benar-benar dikelola dengan
buruk. Apakah walikota dan penduduknya
tak pernah tahu soal perubahan iklim? Atau sesekali mendengar isu efek rumah
kaca? Langganan saluran dan majalah National Geographic mungkin?
Aku
pun berjalan dan tiba di sebuah masjid, yang, biasa-biasa saja. Masjid Agung
Tasikmalaya yang berdiri tahun 1888. Tergolong masjid tua dengan perkembangan
kesadaran pemeluknya yang mirip siput kehabisan nafas. Bagaimana tidak? Baru
memasuki area masjid, para pengemis sudah bergentayangan meminta jatah belas
kasihan. Kertas berterbangan kesana-kemari. Plastik dan sampah berserakan di
rerumputan, taman, dan area masjid. Apakah orang Islam pernah mendengar, dari
ajaran mereka sendiri bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman? Lihatlah!
Sampah! Sampah! Ya tuhan. Astaga naga. Kemana Tuhan? Entahlah. Tuhan mungkin
terlihat muram di atas sana jika tak sengaja melihat Masjid Agung Tasikmalaya.
Beberapa
tahun lahu, Ibrahim Abdul-Matin, mengeluarkan sebuah buku berjudul Greendeen; What Islam Teaches About
Protecting the Planet atau dalam bahasanya Indonesianya, Greendeen; Inspirasi Islam dalaml Menjaga
dan Mengelola Alam. Seorang muslim Amerika. Jauh sebelum bermunculan
buku-buku lingkungan yang ditulis oleh orang lokal yang bertemakan agama.
Kesadaran yang keterlaluan telatnya. Di negara ini, siapa yang benar-benar
perduli dengan agama?
Jika
kita melihat seberang dunia, orang beragama di Indonesia harusnya malu dan tak
lagi memiliki muka. Telmi. Telat mikir. National Geographic didirikan di
Amerika Serikat tahun 1888 guna menyebarkan pengetahuan umum tentang geografi
dunia, yang di antaranya menyangkut alam, berbagai spesies hewan, tumbuhan dan
lingkungan. Sementara itu, Royal Society didirikan di Inggris, pada tahun 1660,
untuk memajukan ilmu pengetahuan dan memetakan seluruh yang ada di muka bumi.
Dan dewasa ini juga menyoroti persoalan lingkungan hidup, alam serta perubahan
iklim. Sedangkan Sierra Club berdiri pada tahun 1892, oleh John Muir. Sebuah
organisasi yang bertujuan untuk melindungi planet bumi dan lingkungan yang
berpusat di San Fransisco, Amerika Serikat. Sedangkan Greenpeace berdiri tahun
1971, sebuah organisasi lingkungan internasional yang bermula dari penolakan
pengujian bom nuklir oleh pihak Amerika di Amchitka, Alaska. Dan World Wide
Fund for Nature atau dulunya World Wildlife Fund, didirkan pada tahun 1961
untuk perlindungan satwa dan hewan terancam punah, konservasi, restorasi
lingkungan, dan penelitian. Friend of Earth,
lahir pada tahun 1969 sebagai grup anti nuklir dan berkembang menjadi
semakin terinternasionalisasi dan mengedepankan aspek lingkungan hidup dan hak
asasi manusia. Dan masih banyak lainnya yang berderet-deret hingga tangan ini
bisa jadi kebas.
Di
lain sisi, para penulis yang mempelopori gerakan lingkungan hidup modern adalah
Henry David Thoreu dengan bukunya Walden,mempengaruhi
gerakan yang disebut primitivisme. Rachel Carson dengan bukunya Silent Spring, yang menyoroti bahayanya
penggunaan peptisida bagi kehidupan burung dan hewan lainnya, mengawali gerakan
lingkungan hidup modern yang berkembang luasEcosophy
yang dicetuskan oleh Arne Ness, menciptakan dan menginspirasi1 gerakan Deep Ecology. Bahkan Bhiophilia, kecintaan akan alam atau
keterikatan manusia dengan lingkungan sekitarnya, harus muncul dari seorang
Ateis penganut paham Evolusi bernama E.O. Wilson. Bahkan novel The Mongkey Wrench Gang dari Edward
Abbey, mempelopori gerakan Eko-Teroris yang akhri-akhir ini kian menanjak. Tak
ada seorang pun dari mereka beragama Islam atau bertuhan dengan baik. Sedangkan
aku sendiri susah mencari organisasi atau gerakan lingkungan hidup berbasis
Islam yang sangat berpengaruh melewati apa yang sudah aku tuliskan lebih dulu.
Atau anggap saja, aku tak tahu. Apakah ada yang lebih tahu akan hal ini?
Mataku
pun bergerak ke kanan dan ke kiri. Ada banyak perempuan remaja dan muda berjilbab
panjang. Terlihat, di sisi kiri jalan dari masjid terdapat gedung Dakwah
Islamiyah. Sedangkan jalanan yang membelah Masjid Agung pun rusak. Aku
mengamati seorang perempuan muda yang tengah asyik mencoba berbagai macam gaya
di depan kamera. Ada penjual minuman yang sedang istirahat. Anak-anak sekolah.
Dan orang-orang yang keluar dari Masjid sehabis sholat. Banyak sekali yang
tidur dan melepas lelah di beranda. Semua orang ini, apakah tak ada yang
memiliki kesadaran modern akan lingkungan hidup? Dan kota yang berantakan ini,
dengan sampah berjejalan di sana-sini, membuat aku berpikir, agama macam apa
yang dianut warga Tasikmalaya? Katanya, dulu, kota ini terkenal dengan
santrinya. Apakah informasi semacam itu cukup penting dan menambah bobot
kesadaran? Aku rasa tak perlu. Aku sudah cukup tahu. Tak perlu mata ketiga
untuk melihat dunia.
Panasnya
sungguh mengerikan. Di langit, terlihat awan bergerak pelan. Aku pun bosan,
karena tak ada pembaca buku di sini, aku pun melangkahkan kaki. Bertanya arah
ke Asia Plaza. Ternyata, di depanku, hanya tinggal menyeberang, adalah jalan
HZ. Mustofa. Aku pun berjalan dari Masjid Agung Tasikmalaya ke Asia Plaza, yang
trotoarnya nyaris hilang ditelan pedagang kaki lima yang acak-acakan.
Berjalan
zig zag. Menunduk. Berhenti menunggu. Mundur ke belakang karena orang yang
berada di depan. Menghindari pedagang kaki lima. Penjual mainan. Topi. Mie
ayam. Aneka es. Tas. Pakaian. Jam tangan.
Ibu-ibu lewat. Pengemis lewat. Orang agak gendut lewat. Anak-anak lewat.
Para gadis muda cantik mengekor pantat ibunya. Tukang becak. Penjual siomay.
Dan segala macam keriuhan berserta sampah yang berserakan tak karuan, trotoar
yang rusak dan habis, gedung-gedung yang mirip hantu, dan kekumuhan yang
terletak di jantung utama kota. Apakah ini Sang
Mutiara Priangan dari Timur? Sungguh mengenaskan. Salah satu kota yang tak
akan pernah ingin aku tinggali. Dan pastinya salah satu kota yang tak akan
membahagiakanku. Begitu juga Eric Weiner.
Aku
pun berhenti sebentar. Melihat seberang jalan dan sebuah bangunan yang
bertuliskan Monte Carlo. Sedangkan
barisan motor, mobil, becak, berderet dari arah utara ke selatan. Hampir
separuh jarak jalan HZ. Mustofa. Tokoh masyarakat yang sayang, namanya kini
lebih identik dengan jalanan yang kumuh dan salah kelola. Macet. Dan sangat
menyebalkan untuk dipandang.
Tak
sengaja aku pun melewati Yogya Mall. Tanpa pikir panjang aku pun masuk. Sekedar
melihat-lihat dan mencari pendingin kulit. Benar-benar, Tasik adalah Neraka dari Timur. Itulah sebutan yang
lebih sesuai kenyataan dari pada Sang
Mutiara Priangan dari Timur.
Di
Yogya, mata ibu-ibu tampak berbinar riang. Berkerlap-kelip. Dan semua perempuan
baik tua dan muda tampak antusias dan bergairah. Membolak-balikan pakaian.
Mencari ini itu. Dan aku pun sampai di lantai teratas, tempat kantin atau cafe
yang luas dengan deretan kursi yang menyenangkan. Sekali lihat, aku pun merasa
bahwa ini adalah tempat yang cukup nyaman untuk membaca sambil memakan sesuatu.
Berhenti sejenak. Mengatur nafas. Kelelahan. Keringat bercucuran. Dan menyesal.
Setelah memutari ruangan yang luas dengan banyak sekali orang-orang, dari mulai
warga biasa, terlihat sedang, elegan, hingga gadis-gadis tionghoa berpakaian
serba hitam yang cantik-cantik, tak ada seorang pun dari mereka yang memegang
buku. Apakah ini menyedihkan?
Aku
rasa, di Indonesia, tak ada orang yang akan menyesal jika tak membaca sebuah
buku. Kecuali buku ulangan dan ujian nasional atau tes masuk universitas dan
pegawai negeri.
Berdasarkan
lembaga riset Pew di Amerika, pembaca E-Book mengalami kenaikan. Tapi
masalahnya, apakah E-Book mampu menggeser kepraktisan buku cetak berbasis
kertas? Adakah orang yang mau dan rela membaca E-Book setebal 500-1000 halaman
berulang-ulang? Apakah E-Book bisa dicoret-coret dan mampu mengganti daya
ingatan khusus yang dimiliki oleh buku cetak? Dan banyak lainnya yang bisa
dipertanyakan. Aku tak memiliki jawaban akan hal ini. Sebagai seorang pembaca
yang cukup kuat, aku sendiri merasa kesusahan menggunakan E-Book dan sering tak
nyaman.
Memerlukan
listrik. Harus memiliki perangkat elektronik. Kerentanan hilang dan kerusakan
sangat besar. Sangat melelahkan di mata. Susah untuk dipindahkan lembar halaman
secara cepat dan seenaknya. Tak bisa dicoret, garis bawahi dan ditulisi
seenaknya sebagai bentuk dari pemikiran dan tanggapan kita atas isi buku. Dan
banyak kekurangan lainnya yang akan susah untuk dijembatani. Enaknya, aku bisa
menyimpan banyak buku dengan sangat mudah di dalam satu perangkat saja. Hanya
saja benar-benar butuh kesabaran.
Pada
tahun 2012, survei yang dilakukan oleh Programme for International Student
Assesment (PISA), Indonesia menempati urutan terbawah kedua mengenai kemampuan
matematika. Dari 65 negara yang disurvei, yah, Indonesia harus bangga menempati
peringakat ke-64. Tidakkah itu bagus, sebentar lagi mendekati 100? Tidakkah
angka 100 biasanya angka terbaik di Indonesia? Di bidang sains, urutan ke-64.
Untuk bidang membaca, berada di angka 60. Apakah aku salah membaca survei? Jika
ini kenyataan, sungguh mengerikan masa depan Indonesia kelak. Dan sejujurnya,
aku biasa-biasa saja. Hanya melihat di jalanan dan berbagai macam kota dan
sekitarku sendiri pun, itu sudah sangat jelas.
Coba
bayangkan, survey tahun 2012 di DIY, minat baca hanya sampai sejauh 0,049
persen? Lihatlah dengan jelas dengan mata batin sekaligus. Itu tertinggi se
Indonesia. Minat baca serendah dan semengerikan itu tertinggi se Indonesia?
Maaf, aku hampir tak mampu untuk membayangkannya. Jogjakarta? Serendah itu? Tak
perlu heran. Ini Indonesia. Kota semilyar kemungkinan. Tak perlu cemas. Tak
perlu kawatir. Kita masih bisa menggunakan Apple, Samsung, masih ada Asus,
Oppo, Acer, Facebook, Google. Instagram dan banyak lainnya. Yah, minat baca
rendah, kita masih bisa menggunakan buku ajar impor dan pengarang impor.
Pengajar impor. Ide-ide impor. Bahkan
gaya seks impor. Tidakkah masih banyak penulis dan peneliti luar negeri yang
memiliki minat untuk menulis segala hal tentang Indonesia? Yah, jadi serahkan
saja kepada mereka. Itu ide yang bagus. Cemerlang.
Sementara
Tasikmalaya? Sedang sibuk berbelanja.
Jika
minat baca hanya sampai sejauh itu, tak heran jika pendaki gunung pulang dan
turun gunung hanya sekedar membawa kembali tasnya di punggung. Dan aku sangat
kasihan dengan Unesco. Apa tak bosan melakukan survei di Indonesia? Yang
orangnya lebih siap sedia membawa kamera kesana-kemari tapi di otaknya nyaris
tak ada isi.
Pertahun
kira-kira antara nol sampai satu ekslempar buku. Itu semacam kebahagiaan yang
direncanakan dengan matang. Paling rendah se Asia Tenggara. Mengagumkan.
Sempurna. Jika cukup waras, bukalah buku Fernando Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Sejarah pembakar buku dari
masa kuno hingga perang Irak. Masihkah kita menyiakan masa damai ini dengan
buku yang berlimpah? Apakah karena terlalu kayanya, orang Indonesia setia
mengimpor segala sesuatu dari luar negeri. Dari elektronik hingga ide dan
teori.
Apakah
minat baca yang luar biasa dari Tiongkok, Jepang, Korea Selatan hingga
Sigapura, menunjukkan bahwa penduduk negara itu tergolong miskin dan seolah
terkesan mati-matian meningkatkan ilmu pengetahuan dan segala macam bentuk
penemuan dan inovasi guna meningkatkan kualitas otak dan ekonomi mereka? Sementara
negara-negara lainnya sibuk membaca dan menemukan sesuatu. Kita? Dengan bangga
dan berpuas diri, yah, kita sibuk ongkang-ongkang kaki di cafe. Kencan romantis
di bioskop. Menguap di kelas. Bermalas-malasan menghadap berbagai macam konten
digital. Bermain game hingga toilet kehabisan air. Kita orang-orang kaya yang
sangat luar biasa. Membuang-buang waktu di masa damai dengan borosnya sementara
Google, Apple, dan Microsoft mati-matian saling mengusai dan menentukan arah
dunia ini. Samsung hingga Facebook pun tak kalah mengikutinya.
Sementara
kita ongkang-ongkang kaki dengan santainya dan memencet layar gadget kita untuk
membuka google dan segala macam jenis aplikasi lainnya. Charles Arthur dalam
bukunya Digital Wars menulis,
“pentingkah bagi kita untuk mengetahui untuk mengetahui mesin pencari mana yang
digunakan oleh sebagian besar orang? Di mana kita bisa membeli musik digital?
Siapa yang membuat perangkat lunak yang mendukung ponsel kita, atau tablet yang
kita gunakan saat menunggu kereta datang atau rapat dimulai? Sebagian orang tak
berpikir begitu: bahwa tujuan manusia adalah selalu mendapatkan hasil yang
benar, tidak peduli siapa yang mengawasi pengalaman yang kita rasakan.
Sementara itu, yang lain mengatakan bahwa dunia digital adalalah ibarat jalan
tol, dan siapa yang mengendalikannya maka mereka akan selalu menentukan bentuk
masa depan.”
Dan
perkataan yang mungkin paling menjengkalkan sebagian besar orang Indonesia yang
berhaluan kiri atau Marxis dan bermentalkan sosialis, adalah apa yang dikataan
oleh Fredrich A. Hayek, dalam bukunya The
Road to Serfdom, atau Ancaman
Kolektivisme bahwa “suatu perubahan ide, dan kekuatan kemampuan manusia,
telah membuat dunia seperti apa adanya sekarang..,” ternyata benar. Perubahan
ide-ide dan penguasaan atasnya, telah mengubah wajah dunia. Termasuk dunia
kita. Walau kita tak ambil pusing. Ide-ide yang kita impor dari Eropa dan
Amerika telah dengan jelas membentuk watak dan tingkah laku kita. Bahkan
mengubah gaya makan, cara berpakaian dan seks kita!
Seperti
yang dikatakan oleh Ludwig von Mises, salah satu tokoh liberal lainnya yang
pastinya paling banyak dihindari dan dikutuk di negara ini mengatakan, “ide,
bukan senjata, yang mengubah keadaan.” Apakah ini lelucon? Kenapa para penganut
liberal lah yang malah mengerti akan perputaran ide-ide dan apa yang terjadi
jika sebuah negara menguasai ide-ide yang akan disebarkankan ke seluruh dunia?
Aku
kembali berjalan. Belum sempat kaki melangkah jauh, tepat di samping Yogya,
antrian panjang berderet bagaikan sedang menunggu jatah raskin atau pembagian
ransum di penjara. Bangunan berwarna merah dengan tulisan McDonald, itulah yang
membuat jalanan, yang lebih tepatnya trotoar, macet total. Kalau bukan pusat
belanja, maka Pizaa Hut, KFC atau McD yang ramainya mengalahkan Masjid Agung
atau Katedral besar di sebuah kota. Apakah nantinya di Gramedia akan seramai
ini? Semoga. Optimisme hari ini hampir mustahil jika sudah menyangkut buku dan
pembacanya di Indonesia. Aku pun kembali berjalan.
Dan
apa ada yang tahu, jikalau KFC dan McD, membantai milayaran ayam dengan
cara-cara yang kejam dengan peternakan yang buruk dan bahkan terkadang banyak
ayam yang mati dan terinfeksi akhirnya dijagal untuk dijadikan menu makan kita?
Di negara ini, siapa yang perduli?
Sama
halnya, siapa yang perduli dengan perubahan iklim. Siapa yang perduli dengan
Kiribati dan Maladewa yang mungkin akan ditenggelamkan gelombang. Siapa yang
perduli dengan Kenya yang kekeringan. Siapa yang perduli dengan Arktika yang
meleleh. Siapa yang perduli dengan burung Nazar yang terancam punah. Terlebih
burung bangkai yang seolah tak berguna dan menakutkan itu.Siapa perduli dengan
Jakarta, Semarang hingga Palembang yang pesisirnya kemungkinan lenyap. Siapa
yang perduli jika Orang Utan dan Harimau Sumatra punah. Siapa yang mau perduli
kecuali orang-orang gila minoritas di negara ini?
Aku
pun berjalan lagi. Melewati TTPS, tempat pembuangan sampah sementara, yang
tepat di pinggir jalan raya. Di depan bekas toko yang dindingnya menghitam dan
dipenuhi coretan grafiti. Sampah menumpuk. Tak muat. Berserakan. Sungguh
mengerikan dan bau. Dalam hal sampah pun, Indonesia nomor satu. Kebijakan
membayar 200 rupiah untuk kantong plastik tak akan berpengaruh apa-apa bagi
warga kota yang setiap hari bisa membuang uang sampai jutaan rupiah.
Indonesia
adalah penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua setelah Tiongkok
menurut data penelitian dari Jenna Jambeck et al pada tahun 2015, dengan sampah
plastik seberat 187,2 juta ton. Sedangkan Tiongkok, cukup tipis dengan populasi
milayaran hanya menghasilkan sampah plastik seberat 262,9 juta ton. Dengan
populasi yang lebih besar, Tiongkok sebenarnya mengeluarkan jumlah total sampah
lebih kecil dari pada Indonesia. Dengan
mental warga kota dan seluruh Indonesia yang berantakan semacam ini, apa
jadinya negara ini kelak jika jumlah penduduk dan berpendidikan semakin membengkak?
Sesampainya
aku di Plaza Asia, puntung rokok yang masih mengeluarkan asap seolah tak
berdosa menyambutku di undahkan tangga mall. Puntung rokok di sini. Puntung
rokok di sana. Sampah plastik di sebelah sana. Jalan beraspal di depan tangga
berlubang. Sarang laba-laba dan rembesan air kekuningan memenuhi langit-langit.
Sirna sudah harapanku selama ini.
Jadi
ini mall terbesar di Tasikmalaya dan yang katanya salah satu terbesar di Jawa
Barat itu? Dengan hati suram aku pun masuk ke dalam.
Kanankiri
adalah gerai makanan cepat saji. Dari Pizza Hut sampai KFC. Sangat ramai.
Penuh. Kesukaan orang Indonesia modern. Tempat yang katanya bergengsi. Dan apakah
ada pembaca buku yang terlihat? Seandainya ada, aku bisa mati terkena serangan
jantung di tempat.
Tak
berapa lama kaki melangkah, terdapat keramaian di tengah-tengah lantai satu
yang lantainya retak di sana-sini. Ajang model, be a Model Plaza Asia, dengan para remaja perempuan yang
berlenggak-lenggok, memamerkan dada, paha, bokong dan banyak perempuan muda
cantik yang terlihat modis. Kota ini terselamatkan dengan banyak perempuan
cantik. Aku akui, perempuan Sunda memang memiliki paras menawan dan terlebih
banyak Tionghoa di kota ini. Tapi sayang, wajah dan tubuh indah tanpa otak
adalah kesalahan.
Aku
pun bergegas mencari Gramedia yang ternyata ada di lantai 2. Dan sangat
mengecewakan. Betapa kecilnya! Pintu masuk yang terkesan mempesona, membuat
ilusi sementara betapa mengerikan Gramedia ini.
Nyaris
jarang pengunjung terlihat. Kebanyakan anak remaja yang membaca novel teenlet
dan komik. Isi rak buku yang membuat aku benar-benar depresi. Dari sekian
banyak buku, hanya ini yang cukup layak; Zarathusrta
karya Nietzche, Max Havelar dari
Mutatuli, buku Jenderal Spoor yang
ditulis oleh J. A. De Moor, Matinya
Socrates dari Plato, Kota di Djawa
Tempo Doelole karangan Oliver Johannes Raap, Eden in the East oleh Stephen Oppenheimer, The Origin of Species miliknya Darwin, Tan Malaka dengan Madilog, Serat Centhini, Sejarah Dunia
Kuno karya Susan Wise Bauer, Raffles
yang disusun oleh Tim Hannigan, Melipat
Air dari Agus Hermawan T, dan bagian filsafat sangat mengenaskan. Hanya ada
buku Taoisme dari Toshihiko Izautsu
yang layak dibaca.
Dan
ketika aku berjalan ke pojok paling barat di sebelah rak-rak buku sekolah, terdapat
berbagai novel sastra Indonesia. Penataan buku yang sangat buruk dan tak becus.
Salah satu Gramedia dengan penataan buku terburuk yang pernah aku masuki. Hanya
ada beberapa buku yang menarik; Einstein’s
Dreams karya Alan Ligthman, Ronggeng
Dukuh Paruk kepunyaan Ahmad Tohari, Hujan
Bulan Juni dari Sapardi, buku-buku milik Pramoedya Ananta Toer, Centhini karya Elizabeth Inandiak,
Novel Amba dari Laksmi Pamuncak, Titik Nol yang ditulis oleh Agustinus
Wibowo, Ikan-Ikan Hiu karangan Romo Mangun, Pengakuan Pariyem Linus, Aku
Ini Binatang Jalang dari Chairil
Anwar, dan apakah Kambing dan Hujan
karangan Mahfud Ikhwan dan Lelaki Harimau
serta O milik Eka Kurniawan layak
dimasukkan buku bagus? Aku pikir tidak. Beberapa buku yang aku tulis di atas
pun sebenarnya biasa saja.
Dan
yah, hanya itu. Habis. Benar-benar toko buku yang buruk. Mengerikan. Tragedi di
kota sebesar Tasikmalaya dengan penduduk yang beberapa tahun lagi mendekati
sekitar 1 juta jiwa. Aku pun akhirnya membeli National Geograhpic Indonesia
edisi April 2016 dengan judul, Suka Cita
Kematian. Salah satu edisi terbaik yang pernah aku lihat dan akhirnya baca.
Hanya
beberapa menit di Gramedia aku pun sudah bosan. Keluar. Banyak orang berkerumun
untuk melihat ajang pencarian model yang ada di lantai dasar. Aku pun sekedar
ikut melihat, dan, besi pegangan pun berkarat. Melangkahkan kaki dengan malas.
Tap tap tap. Meja-meja penuh orang yang sibuk menunggu dan menguyah makanan.
Ada pembaca? Ah tidak. Aku pun melangkah. Sampai di lantai dasar lalu keluar dan
bertanya ke beberapa sosok orang di mana letak Toga Mas berada.
“kurang
tahu ya. Sepertinya dulu di dekat sana,” sambil meneunjuk arah. “Tapi sekarang
tak tahu masih ada atau ndak,’ kata perempuan muda berjilbab dengan ragu-ragu.
“ndak
tahu,” sambil menggelengkan kepala, raut muka datar tanda tanpa adanya
penyelasan dan perasaan malu dari dua orang perempuan remaja berjilbab yang
sibuk menghamba gadgetnya.
Dan
kini, aku sedang dinaungi oleh pohon Ketapang yang tumbuh sangat besar
menurutku. Aku pun menanyakan Toga Mas ke sekumpulan bapak-bapak yang
jawabannya tidak tahu. Strees dan frustasi, aku kembali memasuki mall dan pergi
ke toilet; kencing. Lalu duduk di sebuah kursi di dekat keramaian ajang model
dan membuka membaca National Geographic Indonesia. Mengagumi foto-foto Joel
Sartore dalam Proyek Photo Ark:
Mengabadikan Satwa. Dan merenungkan Taman Kota yang ditulis oleh Ken
Ottenbourg. Jika New York, London, Barcelona, Chorzow, hingga Seoul sibuk mendirikan
taman kota untuk kebutuhan warganya. Tasikmalaya dan berbagai macam ibu kota di
Indonesia sibuk menebangi pohon, mendirikan mall dan pusat belanja,
rumah-rumah, pabrik dan gedung pemerintahan bahkan tempat ibadah yang terasa
berceceran di mana-mana.
Edisi
yang sempurna. Menuju Seberang
karangan Robin Marantz Henig yang membicarakan sains ajal dan kemungkinan untuk
menghidupkan lagi manusia yang telah mati atau bagaimana cara mengelak dari
kematian di masa depan. Tulisan lainnya, Ketika
Kematian Bukanlah Berpisah dari Amanda Benntt, yang menjadikan kematian
bagi masyarakat Toraja sebagai hal yang bertolak belakangan dengan pengertian
Barat mengenai kematian itu sendiri. Dan Tanah
Hantu dari Paul Salopek, menceritakan proyek perjalanannya Keluar dari Nirwana, dan sesampainya dia
di Armenia yang kelam, membuat edisi National Geographic Indonesia terasa
sempurna dan lengkap.
Aku
pun membaca di tengah masyarakat yang tak memiliki antusias membaca di tempat
umum. Seperti makhluk halus di dunia modern. Atau suku terpencil yang baru saja
ditemukan dengan tatapan heran dan waspada. Aku pun terus membaca. Perempuan
muda dengan berbagai macam gaya dan kecantikan modern lewat bergantian di
depanku. Begitu juga dengan laki-lakinya. Tak ada yang membawa buku. Tak ada yang
terlihat membaca. Tubuh-tubuh indah yang kosong.
Aku
tersesat di negara ini. Sebuah negara, yang berbagai macam kotanya bukanlah
tempat untuk aku mampu mengekspresikan duniaku dengan cukup sempurna. Aku rasa,
sampai berpuluh tahun yang akan datang, tak akan pernah ada kota yang
benar-benar aku impikan terwujud di negara ini.
Aku
pun berjalan, melangkah keluar. Bertanya lagi tentang Togas Mas. Adanya yang
mengatakannya sudah pindah dan sangat banyak yang tahu apa itu Togas Mas. Aku
cukup frustasi mencari salah satu toko buku ini. Ketika melihat tiga orang
laki-laki muda yang tengah asyik membuat Grafiti di perempatan jalan HZ
Mustofa, aku sedikit bersemangat. Dan ternyata mereka tak tahu. Sungguh
mahkluk-makhluk bodoh dan kurang isi, pikirku sebal. Aku pun melangkah, bertanya
kepada bapak dan ibu-ibu yang terlihat berpendidikan dari kalangan berada,
mereka pun menggelengkan kepalanya. Di negara ini, yang membaca koran dan cukup
tahu tempat toko buku, apakah hanya orang jompo dan mereka yang berpenampilan
biasa saja bahkan nyais lusuh? Itulah ironi di berbagai kota yang aku masuki di
Jawa. Begitu juga di Tasikmalaya. Mereka yang berpenampilan rapi dan terkesan
terpelajar belum tentu tahu banyak hal dan malah seringkali lebih bodoh dari
pada tukang tambal ban. Jika aku adalah seorang turis asing, aku akan
mengandalkan tukang becak dari pada mereka yang berpendidikan sarjana.
Dan,
aku pun melangkah dengan kecewa. Menyusuri kota yang berantakan. Deretan parkir
yang memanjang. Kesibukan perut dan kepuasaan berbelanja memenuhi semua tempat
dan ruang. Duduk di bawah Ananda yang
di seberang sana terdapat gerai Mcd yang selalu ramai dan Agung Fashion serta Yogya
yang penuh. Aku terlahir di dunia yang salah.
Kembali
melangkah. Lelah. Panas. Memandang lelah di sebuah kota yang hancur dan kacau
balau. Duduk lagi. Menatap bangunan tinggi menjulang yang ditinggalkan dan
bagaikan menyimpan masa depan yang rapuh dan rusak. Kembali berjalan dengan
perasaan bosan. Belum sampai setengah hari, aku sudah sangat bosan dengan kota
ini. Sebuah kota yang tidak aku anjurkan untuk ditinggali. Terlebih seorang
macam aku yang Jogja saja mulai sangat membosankan.
Neraka
dari Timur..
Aku
berjalan. Dan terus berrjalan. Dan bertanya pada diriku sendiri, apakah ada
sebuah kota untuk seorang filsuf di negara ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar