Minggu, 03 April 2016

TASIKMALAYA: NERAKA DARI TIMUR














Begitu banyak orang beruntung, 
yang gelisah di tengah gemilang kekayaannya.
Alexis de Tocqueville



Kota adalah rumah bagi segala macam kebobrokan. Kegilaan. Dan tempat tumbuh suburnya depresi hingga bunuh diri. Dan sayangnya, penemuan, dan juga kemajuan. Tapi di Indonesia, yang nama kota selalu membuat frustasi kalau sudah berada di jalanan. Benar-benar pengalaman yang seringkali bagaikan mimpi buruk.

Angkot yang aku naiki entah kapan akan memiliki niat untuk berjalan. Dimana-mana, yang namanya angkutan kota, selalu berhenti, berhenti dan berhenti. Jarak yang ditempuh tak kurang dari sepuluh menit bisa mencapai setengah jam bahkan berjam-jam. Jika menyangkut kesabaran, orang Indonesia termasuk berada di peringkat nominasi peraih penghargaan salah satu warga tersabar di dunia.

Akhirnya, angkot pun bergerak di jalanan RE Martadinata hingga akhirnya berhenti di perempatan jalan yang bagaikan sebuah kota yang gagal, habis ditinggalkan, dilanda perang atau memang, tak diurus dengan benar. Aku kini berada di perempatan jalan Dr. Sukarjo dengan seorang anak kecil kumal yang terlihat bermain dengan monyetnya. Topeng monyet. Dan Suasana begitu suram. Yakinlah sangat suram. Bahkan hantu pun akan pindah selagi sempat.

Bangunan yang sekarang ini aku jadikan tempat berdiri guna menghindari teriknya matahari, atapnya roboh di sana-sini. Tembok pun catnya mengelupas tak karuan. Berisikan grafiti dan corat-coretan yang kesan seninya sangat meragukan. Cicie cinta toto. Anak gaul ronald. Hasyim saiful. Dan semacam itu. Aku pikir, apa ini sedang era mengiklankan diri di tembok-tembok, atau mengklaim wilayah? Atau seniman yang esoknya ingin gantung diri? Sekilas pandang, aku berada di sebuah kota yang sama mengerikannya dengan Jakarta.  
 



Aku pun menyeberangi jalan. Berjalan di trotoar yang berlubang. Tak masalah. Aku sudah terbiasa dengan hal itu. Bahkan jika seluruh jalanan habis jadi lahan parkir pun aku tak akan kaget. Jangan pernah kaget menjadi orang Indonesia. Ini adalah negeri dengan milyaran kemungkinan. Jika ada mayat yang sudah mirip mumi diajak berfoto selfie, dikasih kaca mata, dirias, didandani dengan elegan, yah, kita sebagai orang Indonesia tak perlu heran. Tak perlu cemas. Tinggal pergi ke Toraja. Jika ingin berselfie dengan koruptur, tinggal pergi ke Senayan. Ingin lihat spesies buah-buahan baru? Tinggal pergi ke kebun raya Bogor. Ada banyak buah fanta yang tergeletak di bawah pepohonan. Tak punya modal melampiaskan nafsu birahi karena gulung tikar, uang dalam kondisi sekarat, atau tampang terlalu menyedihkan? Pergilah ke desa atau perkampungan terdekat. Carilah organ tunggal atau dangdut koplo yang lagi manggung. Dijamin puas. Gratis. Ingin yang lebih elegan? Carilah acara seni atau mall terdekat. Banyak perempuan muda yang kehabisan pakaian di sana-sini. Tak perlu ke sarkem atau warung remang-remang yang isinya nyoya tua gembur dan tinggal menghitung hari. Ingin laki-laki tampan yang bisa dikalungi rantai dan nurutnya minta ampun? Masukilah berbagai macam kampus. Akan kamu temukan laki-laki muda yang kerjanya hanya bisa minta makan pasangannya. Laki-laki jenis ini boleh kamu kurung dan kasih makan wortel. Ingin ciuman gratis dan sepuasnya? Pergilah ke Bali, tepatnya di Banjar Kaja, setelah hari raya Nyepi. Sebuah tradisi yang bernama Omed-omedan. Dan sayangnya, hanya untuk warga Banjar. Ingin cepat mati tapi takut ketahuan bunuh diri? Menyeberanglah di jalanan antar kota atau jalanan yang sering kali kamu lewati. Ingin cepat kaya? Ngepetlah! Atau jadilah wakil rakyat!

Kaki pun menyusuri trotoar menyedihkan dengan pohon-pohon yang tak mampu mengusir panas karena masih terlalu kecil. Menuju Masjid Agung Tasikmalaya. Sebuah Masjid, yang pernah, maaf, dijual di toko bagus oleh seorang siswi SMP. tepatnya pada tahun 2013. Tolong perhatian, ini benar-benar nyata. Di jual di toko bagus. What? Apa? Dengan harga 50 juta rupiah! Seharga sepeda motor atau mobil bekas yang sudah reot. Bahkan sekedar untuk membeli ruko yang mungil dan sempitnya minta ampun pun nyaris tak mungkin. Menyewa apartemen pun hanya cukup untuk satu bulan atau bahkan satu hari. Ini, Masjid Agung Tasikmalaya, dijual 50 juta? Yah, tak perlu panik. Biasa saja. Bayi dijual pun sudah biasa. Istri dijual ke tetangga pun sudah lumrah. Anak dan istri dijadikan pekerja seksual pun sudah sering. Bunuh diri pun hampir setiap hari. Seks massal anak sekolahan pun sudah semakin umum. Kalau hanya sekedar Masjid Agung dijual, tak perlu bersedih hati. Al Quran, dana Haji, dan daging qurban pun sudah biasa dibagi-bagi. Itulah tugas selingan atau kewajiban tersembunyi dari kementerian agama?

Aku pun terus berjalan. Berjalan. Ya berjalan. Suatu kegiatan yang semakin jarang terjadi di Indonesia kecuali hanya sekedar untuk berbelanja atau pergi mencari makan. Terus berjalan. Hingga akhirnya duduk di sebuah halte yang mirip tempat perhentian kambing. Lalu aku memandang sekitar. Jalanan terlihat masih baru dengan aspal yang bagus dan mulus. Naik ke atas, bangunan kusam. Reyot. Menyedihkan. Udara panas menyengat. Ingin rasanya mengganti judul majalah National Geographic Indonesia edisi november 2015, yang berjudul, Maaf. tak ada gambar indah untuk perubahan iklim dengan Maaf. tak ada gambar indah untuk kota tasikmalaya. Aku rasa itu lebih pas. Lebih cocok. Sesuai kenyataan. Lebih berhati nurani.

Seringkali aku merenung, akan jadi apa kota-kota di Indonesia nantinya? Sebuah kota yang kebanyakan warganya pun nyaris tak begitu perduli dengan perkembang ilmu pengetahuan yang ada. Kecuali akan sangat peka dengan perkembangan diskon tahunan dan hari raya. Segala jenis mode dan trend terkini. Atau motor dan mobil baru.

Kota ini panas. Benar-benar panas. Dan sebuah kota yang benar-benar dikelola dengan buruk.  Apakah walikota dan penduduknya tak pernah tahu soal perubahan iklim? Atau sesekali mendengar isu efek rumah kaca? Langganan saluran dan majalah National Geographic mungkin?




Aku pun berjalan dan tiba di sebuah masjid, yang, biasa-biasa saja. Masjid Agung Tasikmalaya yang berdiri tahun 1888. Tergolong masjid tua dengan perkembangan kesadaran pemeluknya yang mirip siput kehabisan nafas. Bagaimana tidak? Baru memasuki area masjid, para pengemis sudah bergentayangan meminta jatah belas kasihan. Kertas berterbangan kesana-kemari. Plastik dan sampah berserakan di rerumputan, taman, dan area masjid. Apakah orang Islam pernah mendengar, dari ajaran mereka sendiri bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman? Lihatlah! Sampah! Sampah! Ya tuhan. Astaga naga. Kemana Tuhan? Entahlah. Tuhan mungkin terlihat muram di atas sana jika tak sengaja melihat Masjid Agung Tasikmalaya.

Beberapa tahun lahu, Ibrahim Abdul-Matin, mengeluarkan sebuah buku berjudul Greendeen; What Islam Teaches About Protecting the Planet atau dalam bahasanya Indonesianya, Greendeen; Inspirasi Islam dalaml Menjaga dan Mengelola Alam. Seorang muslim Amerika. Jauh sebelum bermunculan buku-buku lingkungan yang ditulis oleh orang lokal yang bertemakan agama. Kesadaran yang keterlaluan telatnya. Di negara ini, siapa yang benar-benar perduli dengan agama?

Jika kita melihat seberang dunia, orang beragama di Indonesia harusnya malu dan tak lagi memiliki muka. Telmi. Telat mikir. National Geographic didirikan di Amerika Serikat tahun 1888 guna menyebarkan pengetahuan umum tentang geografi dunia, yang di antaranya menyangkut alam, berbagai spesies hewan, tumbuhan dan lingkungan. Sementara itu, Royal Society didirikan di Inggris, pada tahun 1660, untuk memajukan ilmu pengetahuan dan memetakan seluruh yang ada di muka bumi. Dan dewasa ini juga menyoroti persoalan lingkungan hidup, alam serta perubahan iklim. Sedangkan Sierra Club berdiri pada tahun 1892, oleh John Muir. Sebuah organisasi yang bertujuan untuk melindungi planet bumi dan lingkungan yang berpusat di San Fransisco, Amerika Serikat. Sedangkan Greenpeace berdiri tahun 1971, sebuah organisasi lingkungan internasional yang bermula dari penolakan pengujian bom nuklir oleh pihak Amerika di Amchitka, Alaska. Dan World Wide Fund for Nature atau dulunya World Wildlife Fund, didirkan pada tahun 1961 untuk perlindungan satwa dan hewan terancam punah, konservasi, restorasi lingkungan, dan penelitian. Friend of Earth,  lahir pada tahun 1969 sebagai grup anti nuklir dan berkembang menjadi semakin terinternasionalisasi dan mengedepankan aspek lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Dan masih banyak lainnya yang berderet-deret hingga tangan ini bisa jadi kebas.

Di lain sisi, para penulis yang mempelopori gerakan lingkungan hidup modern adalah Henry David Thoreu dengan bukunya Walden,mempengaruhi gerakan yang disebut primitivisme. Rachel Carson dengan bukunya Silent Spring, yang menyoroti bahayanya penggunaan peptisida bagi kehidupan burung dan hewan lainnya, mengawali gerakan lingkungan hidup modern yang berkembang luasEcosophy yang dicetuskan oleh Arne Ness, menciptakan dan menginspirasi1 gerakan Deep Ecology. Bahkan Bhiophilia, kecintaan akan alam atau keterikatan manusia dengan lingkungan sekitarnya, harus muncul dari seorang Ateis penganut paham Evolusi bernama E.O. Wilson. Bahkan novel The Mongkey Wrench Gang dari Edward Abbey, mempelopori gerakan Eko-Teroris yang akhri-akhir ini kian menanjak. Tak ada seorang pun dari mereka beragama Islam atau bertuhan dengan baik. Sedangkan aku sendiri susah mencari organisasi atau gerakan lingkungan hidup berbasis Islam yang sangat berpengaruh melewati apa yang sudah aku tuliskan lebih dulu. Atau anggap saja, aku tak tahu. Apakah ada yang lebih tahu akan hal ini?

Mataku pun bergerak ke kanan dan ke kiri. Ada banyak perempuan remaja dan muda berjilbab panjang. Terlihat, di sisi kiri jalan dari masjid terdapat gedung Dakwah Islamiyah. Sedangkan jalanan yang membelah Masjid Agung pun rusak. Aku mengamati seorang perempuan muda yang tengah asyik mencoba berbagai macam gaya di depan kamera. Ada penjual minuman yang sedang istirahat. Anak-anak sekolah. Dan orang-orang yang keluar dari Masjid sehabis sholat. Banyak sekali yang tidur dan melepas lelah di beranda. Semua orang ini, apakah tak ada yang memiliki kesadaran modern akan lingkungan hidup? Dan kota yang berantakan ini, dengan sampah berjejalan di sana-sini, membuat aku berpikir, agama macam apa yang dianut warga Tasikmalaya? Katanya, dulu, kota ini terkenal dengan santrinya. Apakah informasi semacam itu cukup penting dan menambah bobot kesadaran? Aku rasa tak perlu. Aku sudah cukup tahu. Tak perlu mata ketiga untuk melihat dunia.

Panasnya sungguh mengerikan. Di langit, terlihat awan bergerak pelan. Aku pun bosan, karena tak ada pembaca buku di sini, aku pun melangkahkan kaki. Bertanya arah ke Asia Plaza. Ternyata, di depanku, hanya tinggal menyeberang, adalah jalan HZ. Mustofa. Aku pun berjalan dari Masjid Agung Tasikmalaya ke Asia Plaza, yang trotoarnya nyaris hilang ditelan pedagang kaki lima yang acak-acakan.

Berjalan zig zag. Menunduk. Berhenti menunggu. Mundur ke belakang karena orang yang berada di depan. Menghindari pedagang kaki lima. Penjual mainan. Topi. Mie ayam. Aneka es. Tas. Pakaian. Jam tangan.  Ibu-ibu lewat. Pengemis lewat. Orang agak gendut lewat. Anak-anak lewat. Para gadis muda cantik mengekor pantat ibunya. Tukang becak. Penjual siomay. Dan segala macam keriuhan berserta sampah yang berserakan tak karuan, trotoar yang rusak dan habis, gedung-gedung yang mirip hantu, dan kekumuhan yang terletak di jantung utama kota. Apakah ini Sang Mutiara Priangan dari Timur? Sungguh mengenaskan. Salah satu kota yang tak akan pernah ingin aku tinggali. Dan pastinya salah satu kota yang tak akan membahagiakanku. Begitu juga Eric Weiner.




Aku pun berhenti sebentar. Melihat seberang jalan dan sebuah bangunan yang bertuliskan Monte Carlo. Sedangkan barisan motor, mobil, becak, berderet dari arah utara ke selatan. Hampir separuh jarak jalan HZ. Mustofa. Tokoh masyarakat yang sayang, namanya kini lebih identik dengan jalanan yang kumuh dan salah kelola. Macet. Dan sangat menyebalkan untuk dipandang.

Tak sengaja aku pun melewati Yogya Mall. Tanpa pikir panjang aku pun masuk. Sekedar melihat-lihat dan mencari pendingin kulit. Benar-benar, Tasik adalah Neraka dari Timur. Itulah sebutan yang lebih sesuai kenyataan dari pada Sang Mutiara Priangan dari Timur.

Di Yogya, mata ibu-ibu tampak berbinar riang. Berkerlap-kelip. Dan semua perempuan baik tua dan muda tampak antusias dan bergairah. Membolak-balikan pakaian. Mencari ini itu. Dan aku pun sampai di lantai teratas, tempat kantin atau cafe yang luas dengan deretan kursi yang menyenangkan. Sekali lihat, aku pun merasa bahwa ini adalah tempat yang cukup nyaman untuk membaca sambil memakan sesuatu. Berhenti sejenak. Mengatur nafas. Kelelahan. Keringat bercucuran. Dan menyesal. Setelah memutari ruangan yang luas dengan banyak sekali orang-orang, dari mulai warga biasa, terlihat sedang, elegan, hingga gadis-gadis tionghoa berpakaian serba hitam yang cantik-cantik, tak ada seorang pun dari mereka yang memegang buku. Apakah ini menyedihkan?

Aku rasa, di Indonesia, tak ada orang yang akan menyesal jika tak membaca sebuah buku. Kecuali buku ulangan dan ujian nasional atau tes masuk universitas dan pegawai negeri.

Berdasarkan lembaga riset Pew di Amerika, pembaca E-Book mengalami kenaikan. Tapi masalahnya, apakah E-Book mampu menggeser kepraktisan buku cetak berbasis kertas? Adakah orang yang mau dan rela membaca E-Book setebal 500-1000 halaman berulang-ulang? Apakah E-Book bisa dicoret-coret dan mampu mengganti daya ingatan khusus yang dimiliki oleh buku cetak? Dan banyak lainnya yang bisa dipertanyakan. Aku tak memiliki jawaban akan hal ini. Sebagai seorang pembaca yang cukup kuat, aku sendiri merasa kesusahan menggunakan E-Book dan sering tak nyaman.

Memerlukan listrik. Harus memiliki perangkat elektronik. Kerentanan hilang dan kerusakan sangat besar. Sangat melelahkan di mata. Susah untuk dipindahkan lembar halaman secara cepat dan seenaknya. Tak bisa dicoret, garis bawahi dan ditulisi seenaknya sebagai bentuk dari pemikiran dan tanggapan kita atas isi buku. Dan banyak kekurangan lainnya yang akan susah untuk dijembatani. Enaknya, aku bisa menyimpan banyak buku dengan sangat mudah di dalam satu perangkat saja. Hanya saja benar-benar butuh kesabaran.

Pada tahun 2012, survei yang dilakukan oleh Programme for International Student Assesment (PISA), Indonesia menempati urutan terbawah kedua mengenai kemampuan matematika. Dari 65 negara yang disurvei, yah, Indonesia harus bangga menempati peringakat ke-64. Tidakkah itu bagus, sebentar lagi mendekati 100? Tidakkah angka 100 biasanya angka terbaik di Indonesia? Di bidang sains, urutan ke-64. Untuk bidang membaca, berada di angka 60. Apakah aku salah membaca survei? Jika ini kenyataan, sungguh mengerikan masa depan Indonesia kelak. Dan sejujurnya, aku biasa-biasa saja. Hanya melihat di jalanan dan berbagai macam kota dan sekitarku sendiri pun, itu sudah sangat jelas.

Coba bayangkan, survey tahun 2012 di DIY, minat baca hanya sampai sejauh 0,049 persen? Lihatlah dengan jelas dengan mata batin sekaligus. Itu tertinggi se Indonesia. Minat baca serendah dan semengerikan itu tertinggi se Indonesia? Maaf, aku hampir tak mampu untuk membayangkannya. Jogjakarta? Serendah itu? Tak perlu heran. Ini Indonesia. Kota semilyar kemungkinan. Tak perlu cemas. Tak perlu kawatir. Kita masih bisa menggunakan Apple, Samsung, masih ada Asus, Oppo, Acer, Facebook, Google. Instagram dan banyak lainnya. Yah, minat baca rendah, kita masih bisa menggunakan buku ajar impor dan pengarang impor. Pengajar impor.  Ide-ide impor. Bahkan gaya seks impor. Tidakkah masih banyak penulis dan peneliti luar negeri yang memiliki minat untuk menulis segala hal tentang Indonesia? Yah, jadi serahkan saja kepada mereka. Itu ide yang bagus. Cemerlang.

Sementara Tasikmalaya? Sedang sibuk berbelanja.

Jika minat baca hanya sampai sejauh itu, tak heran jika pendaki gunung pulang dan turun gunung hanya sekedar membawa kembali tasnya di punggung. Dan aku sangat kasihan dengan Unesco. Apa tak bosan melakukan survei di Indonesia? Yang orangnya lebih siap sedia membawa kamera kesana-kemari tapi di otaknya nyaris tak ada isi.

Pertahun kira-kira antara nol sampai satu ekslempar buku. Itu semacam kebahagiaan yang direncanakan dengan matang. Paling rendah se Asia Tenggara. Mengagumkan. Sempurna. Jika cukup waras, bukalah buku Fernando Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Sejarah pembakar buku dari masa kuno hingga perang Irak. Masihkah kita menyiakan masa damai ini dengan buku yang berlimpah? Apakah karena terlalu kayanya, orang Indonesia setia mengimpor segala sesuatu dari luar negeri. Dari elektronik hingga ide dan teori.

Apakah minat baca yang luar biasa dari Tiongkok, Jepang, Korea Selatan hingga Sigapura, menunjukkan bahwa penduduk negara itu tergolong miskin dan seolah terkesan mati-matian meningkatkan ilmu pengetahuan dan segala macam bentuk penemuan dan inovasi guna meningkatkan kualitas otak dan ekonomi mereka? Sementara negara-negara lainnya sibuk membaca dan menemukan sesuatu. Kita? Dengan bangga dan berpuas diri, yah, kita sibuk ongkang-ongkang kaki di cafe. Kencan romantis di bioskop. Menguap di kelas. Bermalas-malasan menghadap berbagai macam konten digital. Bermain game hingga toilet kehabisan air. Kita orang-orang kaya yang sangat luar biasa. Membuang-buang waktu di masa damai dengan borosnya sementara Google, Apple, dan Microsoft mati-matian saling mengusai dan menentukan arah dunia ini. Samsung hingga Facebook pun tak kalah mengikutinya.

Sementara kita ongkang-ongkang kaki dengan santainya dan memencet layar gadget kita untuk membuka google dan segala macam jenis aplikasi lainnya. Charles Arthur dalam bukunya Digital Wars menulis, “pentingkah bagi kita untuk mengetahui untuk mengetahui mesin pencari mana yang digunakan oleh sebagian besar orang? Di mana kita bisa membeli musik digital? Siapa yang membuat perangkat lunak yang mendukung ponsel kita, atau tablet yang kita gunakan saat menunggu kereta datang atau rapat dimulai? Sebagian orang tak berpikir begitu: bahwa tujuan manusia adalah selalu mendapatkan hasil yang benar, tidak peduli siapa yang mengawasi pengalaman yang kita rasakan. Sementara itu, yang lain mengatakan bahwa dunia digital adalalah ibarat jalan tol, dan siapa yang mengendalikannya maka mereka akan selalu menentukan bentuk masa depan.”

Dan perkataan yang mungkin paling menjengkalkan sebagian besar orang Indonesia yang berhaluan kiri atau Marxis dan bermentalkan sosialis, adalah apa yang dikataan oleh Fredrich A. Hayek, dalam bukunya The Road to Serfdom, atau Ancaman Kolektivisme bahwa “suatu perubahan ide, dan kekuatan kemampuan manusia, telah membuat dunia seperti apa adanya sekarang..,” ternyata benar. Perubahan ide-ide dan penguasaan atasnya, telah mengubah wajah dunia. Termasuk dunia kita. Walau kita tak ambil pusing. Ide-ide yang kita impor dari Eropa dan Amerika telah dengan jelas membentuk watak dan tingkah laku kita. Bahkan mengubah gaya makan, cara berpakaian dan seks kita!

Seperti yang dikatakan oleh Ludwig von Mises, salah satu tokoh liberal lainnya yang pastinya paling banyak dihindari dan dikutuk di negara ini mengatakan, “ide, bukan senjata, yang mengubah keadaan.” Apakah ini lelucon? Kenapa para penganut liberal lah yang malah mengerti akan perputaran ide-ide dan apa yang terjadi jika sebuah negara menguasai ide-ide yang akan disebarkankan ke seluruh dunia?

Aku kembali berjalan. Belum sempat kaki melangkah jauh, tepat di samping Yogya, antrian panjang berderet bagaikan sedang menunggu jatah raskin atau pembagian ransum di penjara. Bangunan berwarna merah dengan tulisan McDonald, itulah yang membuat jalanan, yang lebih tepatnya trotoar, macet total. Kalau bukan pusat belanja, maka Pizaa Hut, KFC atau McD yang ramainya mengalahkan Masjid Agung atau Katedral besar di sebuah kota. Apakah nantinya di Gramedia akan seramai ini? Semoga. Optimisme hari ini hampir mustahil jika sudah menyangkut buku dan pembacanya di Indonesia. Aku pun kembali berjalan.

Dan apa ada yang tahu, jikalau KFC dan McD, membantai milayaran ayam dengan cara-cara yang kejam dengan peternakan yang buruk dan bahkan terkadang banyak ayam yang mati dan terinfeksi akhirnya dijagal untuk dijadikan menu makan kita? Di negara ini, siapa yang perduli?

Sama halnya, siapa yang perduli dengan perubahan iklim. Siapa yang perduli dengan Kiribati dan Maladewa yang mungkin akan ditenggelamkan gelombang. Siapa yang perduli dengan Kenya yang kekeringan. Siapa yang perduli dengan Arktika yang meleleh. Siapa yang perduli dengan burung Nazar yang terancam punah. Terlebih burung bangkai yang seolah tak berguna dan menakutkan itu.Siapa perduli dengan Jakarta, Semarang hingga Palembang yang pesisirnya kemungkinan lenyap. Siapa yang perduli jika Orang Utan dan Harimau Sumatra punah. Siapa yang mau perduli kecuali orang-orang gila minoritas di negara ini?

Aku pun berjalan lagi. Melewati TTPS, tempat pembuangan sampah sementara, yang tepat di pinggir jalan raya. Di depan bekas toko yang dindingnya menghitam dan dipenuhi coretan grafiti. Sampah menumpuk. Tak muat. Berserakan. Sungguh mengerikan dan bau. Dalam hal sampah pun, Indonesia nomor satu. Kebijakan membayar 200 rupiah untuk kantong plastik tak akan berpengaruh apa-apa bagi warga kota yang setiap hari bisa membuang uang sampai jutaan rupiah.

Indonesia adalah penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua setelah Tiongkok menurut data penelitian dari Jenna Jambeck et al pada tahun 2015, dengan sampah plastik seberat 187,2 juta ton. Sedangkan Tiongkok, cukup tipis dengan populasi milayaran hanya menghasilkan sampah plastik seberat 262,9 juta ton. Dengan populasi yang lebih besar, Tiongkok sebenarnya mengeluarkan jumlah total sampah lebih kecil dari pada Indonesia.  Dengan mental warga kota dan seluruh Indonesia yang berantakan semacam ini, apa jadinya negara ini kelak jika jumlah penduduk dan berpendidikan semakin membengkak?

Sesampainya aku di Plaza Asia, puntung rokok yang masih mengeluarkan asap seolah tak berdosa menyambutku di undahkan tangga mall. Puntung rokok di sini. Puntung rokok di sana. Sampah plastik di sebelah sana. Jalan beraspal di depan tangga berlubang. Sarang laba-laba dan rembesan air kekuningan memenuhi langit-langit. Sirna sudah harapanku selama ini.

Jadi ini mall terbesar di Tasikmalaya dan yang katanya salah satu terbesar di Jawa Barat itu? Dengan hati suram aku pun masuk ke dalam.

Kanankiri adalah gerai makanan cepat saji. Dari Pizza Hut sampai KFC. Sangat ramai. Penuh. Kesukaan orang Indonesia modern. Tempat yang katanya bergengsi. Dan apakah ada pembaca buku yang terlihat? Seandainya ada, aku bisa mati terkena serangan jantung di tempat.

Tak berapa lama kaki melangkah, terdapat keramaian di tengah-tengah lantai satu yang lantainya retak di sana-sini. Ajang model, be a Model Plaza Asia, dengan para remaja perempuan yang berlenggak-lenggok, memamerkan dada, paha, bokong dan banyak perempuan muda cantik yang terlihat modis. Kota ini terselamatkan dengan banyak perempuan cantik. Aku akui, perempuan Sunda memang memiliki paras menawan dan terlebih banyak Tionghoa di kota ini. Tapi sayang, wajah dan tubuh indah tanpa otak adalah kesalahan.

Aku pun bergegas mencari Gramedia yang ternyata ada di lantai 2. Dan sangat mengecewakan. Betapa kecilnya! Pintu masuk yang terkesan mempesona, membuat ilusi sementara betapa mengerikan Gramedia ini.



Nyaris jarang pengunjung terlihat. Kebanyakan anak remaja yang membaca novel teenlet dan komik. Isi rak buku yang membuat aku benar-benar depresi. Dari sekian banyak buku, hanya ini yang cukup layak; Zarathusrta karya Nietzche, Max Havelar dari Mutatuli, buku Jenderal Spoor yang ditulis oleh J. A. De Moor, Matinya Socrates dari Plato, Kota di Djawa Tempo Doelole karangan Oliver Johannes Raap, Eden in the East oleh Stephen Oppenheimer, The Origin of Species miliknya Darwin, Tan Malaka dengan Madilog, Serat Centhini, Sejarah Dunia Kuno karya Susan Wise Bauer, Raffles yang disusun oleh Tim Hannigan, Melipat Air dari Agus Hermawan T, dan bagian filsafat sangat mengenaskan. Hanya ada buku Taoisme dari Toshihiko Izautsu yang layak dibaca.

Dan ketika aku berjalan ke pojok paling barat di sebelah rak-rak buku sekolah, terdapat berbagai novel sastra Indonesia. Penataan buku yang sangat buruk dan tak becus. Salah satu Gramedia dengan penataan buku terburuk yang pernah aku masuki. Hanya ada beberapa buku yang menarik; Einstein’s Dreams karya Alan Ligthman, Ronggeng Dukuh Paruk kepunyaan Ahmad Tohari, Hujan Bulan Juni dari Sapardi, buku-buku milik Pramoedya Ananta Toer, Centhini karya Elizabeth Inandiak, Novel Amba dari Laksmi Pamuncak, Titik Nol yang ditulis oleh Agustinus Wibowo,  Ikan-Ikan Hiu karangan Romo Mangun, Pengakuan Pariyem Linus, Aku Ini Binatang Jalang  dari Chairil Anwar, dan apakah Kambing dan Hujan karangan Mahfud Ikhwan dan Lelaki Harimau serta O milik Eka Kurniawan layak dimasukkan buku bagus? Aku pikir tidak. Beberapa buku yang aku tulis di atas pun sebenarnya biasa saja.

Dan yah, hanya itu. Habis. Benar-benar toko buku yang buruk. Mengerikan. Tragedi di kota sebesar Tasikmalaya dengan penduduk yang beberapa tahun lagi mendekati sekitar 1 juta jiwa. Aku pun akhirnya membeli National Geograhpic Indonesia edisi April 2016 dengan judul, Suka Cita Kematian. Salah satu edisi terbaik yang pernah aku lihat dan akhirnya baca.

Hanya beberapa menit di Gramedia aku pun sudah bosan. Keluar. Banyak orang berkerumun untuk melihat ajang pencarian model yang ada di lantai dasar. Aku pun sekedar ikut melihat, dan, besi pegangan pun berkarat. Melangkahkan kaki dengan malas. Tap tap tap. Meja-meja penuh orang yang sibuk menunggu dan menguyah makanan. Ada pembaca? Ah tidak. Aku pun melangkah. Sampai di lantai dasar lalu keluar dan bertanya ke beberapa sosok orang di mana letak Toga Mas berada.

“kurang tahu ya. Sepertinya dulu di dekat sana,” sambil meneunjuk arah. “Tapi sekarang tak tahu masih ada atau ndak,’ kata perempuan muda berjilbab dengan ragu-ragu.
“ndak tahu,” sambil menggelengkan kepala, raut muka datar tanda tanpa adanya penyelasan dan perasaan malu dari dua orang perempuan remaja berjilbab yang sibuk menghamba gadgetnya.

Dan kini, aku sedang dinaungi oleh pohon Ketapang yang tumbuh sangat besar menurutku. Aku pun menanyakan Toga Mas ke sekumpulan bapak-bapak yang jawabannya tidak tahu. Strees dan frustasi, aku kembali memasuki mall dan pergi ke toilet; kencing. Lalu duduk di sebuah kursi di dekat keramaian ajang model dan membuka membaca National Geographic Indonesia. Mengagumi foto-foto Joel Sartore dalam Proyek Photo Ark: Mengabadikan Satwa.  Dan merenungkan Taman Kota yang ditulis oleh Ken Ottenbourg. Jika New York, London, Barcelona, Chorzow, hingga Seoul sibuk mendirikan taman kota untuk kebutuhan warganya. Tasikmalaya dan berbagai macam ibu kota di Indonesia sibuk menebangi pohon, mendirikan mall dan pusat belanja, rumah-rumah, pabrik dan gedung pemerintahan bahkan tempat ibadah yang terasa berceceran di mana-mana.

Edisi yang sempurna. Menuju Seberang karangan Robin Marantz Henig yang membicarakan sains ajal dan kemungkinan untuk menghidupkan lagi manusia yang telah mati atau bagaimana cara mengelak dari kematian di masa depan. Tulisan lainnya, Ketika Kematian Bukanlah Berpisah dari Amanda Benntt, yang menjadikan kematian bagi masyarakat Toraja sebagai hal yang bertolak belakangan dengan pengertian Barat mengenai kematian itu sendiri. Dan Tanah Hantu dari Paul Salopek, menceritakan proyek perjalanannya Keluar dari Nirwana, dan sesampainya dia di Armenia yang kelam, membuat edisi National Geographic Indonesia terasa sempurna dan lengkap.

Aku pun membaca di tengah masyarakat yang tak memiliki antusias membaca di tempat umum. Seperti makhluk halus di dunia modern. Atau suku terpencil yang baru saja ditemukan dengan tatapan heran dan waspada. Aku pun terus membaca. Perempuan muda dengan berbagai macam gaya dan kecantikan modern lewat bergantian di depanku. Begitu juga dengan laki-lakinya. Tak ada yang membawa buku. Tak ada yang terlihat membaca. Tubuh-tubuh indah yang kosong.

Aku tersesat di negara ini. Sebuah negara, yang berbagai macam kotanya bukanlah tempat untuk aku mampu mengekspresikan duniaku dengan cukup sempurna. Aku rasa, sampai berpuluh tahun yang akan datang, tak akan pernah ada kota yang benar-benar aku impikan terwujud di negara ini.

Aku pun berjalan, melangkah keluar. Bertanya lagi tentang Togas Mas. Adanya yang mengatakannya sudah pindah dan sangat banyak yang tahu apa itu Togas Mas. Aku cukup frustasi mencari salah satu toko buku ini. Ketika melihat tiga orang laki-laki muda yang tengah asyik membuat Grafiti di perempatan jalan HZ Mustofa, aku sedikit bersemangat. Dan ternyata mereka tak tahu. Sungguh mahkluk-makhluk bodoh dan kurang isi, pikirku sebal. Aku pun melangkah, bertanya kepada bapak dan ibu-ibu yang terlihat berpendidikan dari kalangan berada, mereka pun menggelengkan kepalanya. Di negara ini, yang membaca koran dan cukup tahu tempat toko buku, apakah hanya orang jompo dan mereka yang berpenampilan biasa saja bahkan nyais lusuh? Itulah ironi di berbagai kota yang aku masuki di Jawa. Begitu juga di Tasikmalaya. Mereka yang berpenampilan rapi dan terkesan terpelajar belum tentu tahu banyak hal dan malah seringkali lebih bodoh dari pada tukang tambal ban. Jika aku adalah seorang turis asing, aku akan mengandalkan tukang becak dari pada mereka yang berpendidikan sarjana.




Dan, aku pun melangkah dengan kecewa. Menyusuri kota yang berantakan. Deretan parkir yang memanjang. Kesibukan perut dan kepuasaan berbelanja memenuhi semua tempat dan ruang. Duduk di bawah Ananda yang di seberang sana terdapat gerai Mcd yang selalu ramai dan Agung Fashion serta Yogya yang penuh. Aku terlahir di dunia yang salah.

Kembali melangkah. Lelah. Panas. Memandang lelah di sebuah kota yang hancur dan kacau balau. Duduk lagi. Menatap bangunan tinggi menjulang yang ditinggalkan dan bagaikan menyimpan masa depan yang rapuh dan rusak. Kembali berjalan dengan perasaan bosan. Belum sampai setengah hari, aku sudah sangat bosan dengan kota ini. Sebuah kota yang tidak aku anjurkan untuk ditinggali. Terlebih seorang macam aku yang Jogja saja mulai sangat membosankan.

Neraka dari Timur..

Aku berjalan. Dan terus berrjalan. Dan bertanya pada diriku sendiri, apakah ada sebuah kota untuk seorang filsuf di negara ini?




Tidak ada komentar:

Posting Komentar