Senin, 18 April 2016

SURAKARTA; KEINDAHAN YANG HAMPIR





















Sebuah kota terbentang di samping Sungai Solo, sungai terbesar
dan terindah di Jawa.
Arthur Goodfriend
1958



Aku memasuki Surakarta. Sebuah kota bersejarah. Pusat kebudayaan Jawa selain Jogjakarta. Dan juga, kota kekalahan, kota boneka, dan sebuah sejarah panjang pengkhianatan. Aku memasuki sebuah daerah yang kaum bangsawan dan para rajanya terlalu terlambat bergabung dengan Republik Indonesia. Kadang jika mengingat Legiun Mangkunegaran dan apa yang dilakukan oleh Pakualaman dan Mangkunegara di Jogjakarta semasa Inggris, aku  tak tahu lagi harus berkata apa. Yah, setidaknya sekarang daerah ini sudah bergabung. Apa jadinya jika daerah ini menjadi negara sendiri? Seperti halnya negara Pasundan masa lampau yang gagal? Aku kira, aku akan membutuhkan visa dan menabung lebih banyak lagi. Itu berarti, beberapa minggu ke depan aku akan terkena busung lapar dan bangkrut.

Perjalanan di Jawa adalah perjalanan paling mahal semenjak era kolonial, Hinda-Belanda. Itu pun ketika seluruh Jawa sudah dikuasai oleh Belanda. Hal yang mengerikan, apajadinya, jika kota-kota yang ada di seluruh Jawa adalah sebuah kota untuk masing-masing negara? Mungkin aku akan menjual diriku sendiri hanya untuk sekedar mengelilingi Jawa.  Karena hari ini pun, perjalanan mengelilingi Jawa adalah perjalanan yang mahal, tak terlalu populer  dan lebih murah dari pada ke negara-negara Eropa dan Asia.

Dan aku teringat perkataan Arthur Goodfriend pada tahun 1958, “inilah Jawa, negeri dengan rakyatnya yang ingin kami kenali sehingga kami rela menempuh perjalanan jauh.” Aku pun memasuki Surakarta. Tak mau kalah dengan orang asing yang memasuki pulau ini dan pulang membawa oleh-oleh berupa tulisan, pengamatan, atau malah sebuah buku besar dan tebal. Aku pun memasuki Surakarta.

Aku berada di sepanjang jalan menuju pusat kota, pohon-pohon memenuhi sisi-sisi jalan. Dan itu sangat menenangkan. Sejujurnya, aku agak menyukai kota ini. Dengan kerimbunannya, jalanannya yang lebar, dan suasananya yang menenangkan. Seandainya kesan menyenangkan itu tidak dirusak oleh sedotan plastik, plastik sisa es teh, dan bungkus cemilan pabrik yang tergeletak di sela-sela tetumbuhan atau di jalanan, dan kemacetan beserta ketidaksabaran orang-orang yang berada di jalanan, yang membunyikan klakson berulang-ulang bahkan sebelum lampu berwarna hijau. Apa yang bisa aku lakukan? Yah, hanya sekedar geleng-geleng kepala. Lalu kembali meneruskan perjalanan.

Aku pun sampai di Gramedia. Hari yang menunjukkan akan datangnya hujan. Selasa 12 April 2016, aku pun memarkir motor. Langsung secepat kilat ke toilet. Membuang hajat. Menitipkan tas dan jaket. Lalu menuju Sriwedari yang berada di seberang jalan. Semuanya berada di jalan Slamet Riyadi, tokoh besar revolusi Indonesia. Dan ternyata, menyeberangi jalanan tak semudah yang aku harapkan. Setidaknya lebih mudah dari pada jalanan Jogja yang mirip jalanan khusus bunuh diri.

“Barangkali tidak ada situs yang lebih sesuai untuk ini dalam Indonesia Kotemporer kecuali kota Solo, atau Surakarta. Bagi orang Jawa Orde Baru, kota ini adalah kota asal-usul, suatu penempatan masa lalu di tempatnya, suatu fokus istimewa bagi kebanyakan hal yang digali kembali sebagai “Jawa”. Walau Surakarta bukan satu-satunya kota keraton di Jawa Tengah, kota ini tetap sangat kuat membayangi bagi mereka yang bertekad menggali kembali kesadaran dari apa yang mungkin, dengan satu atau lain cara, adalah “asli Jawa”,” seperti itulah yang dikatakan oleh John Pemberton mengenai Surakarta dalam bukunya Jawa. Buku yang hanya aku bolak-balik secara cepat dan sekedar mencari hal-hal yang penting.

Aku tak punya banyak waktu untuk membaca buku itu. Dan aku akui, aku sosok mengenaskan yang kalah telak dengan para peneliti asing yang rela bersusah payah ingin kembali menghadirkan berbagai macam hal tentang Jawa. Dan, jika kota ini diselamatkan kembali oleh Orde Barunya Soeharto, apakah itu sejenis penyelamatan yang salah? Jawa yang tunduk berabad-abad semenjak pecahnya Mataram menjadi dua bagian dan keenganannya untuk mendukung gerakan nasionalis anti-Belanda, dipulihkan atas nama kembali ke tradisi. Ke Idenitas awal. Sayangnya, saat aku melihat diriku sendiri, aku tak tahu lagi siapa diriku ini. Dan aku berada di sini, hanya ingin sekedar mencari para pembaca buku, pesepeda dan sekedar lewat dan merasakan kesan akan sebuah kota. Aku tak sedang berceramah perihal sejarah dan otakku yang sering lupa ini adalah penyimpan sejarah yang buruk.

Aku memasuki komplek Sriwedari. Tempat yang sangat tua dan sarat dengan aura kesenian. Aku pun duduk di bawah Beringin besar. Banyak orang di sini. Tapi tak ada satu pun yang terlihat memegang buku. Yasudahlah, aku tak akan terkejut. Aku sudah kebal. Aku telah memutuskan memakai kulit badak dan gajah untuk hal yang satu ini.

Aku duduk di dekat papan petunjuk nama tempat, di antara beberapa orang muda yang semuanya laki-laki. Mataku berkeliling kesana-kemari. Dan, ah, di bawah kakiku, dan tepat di bawah kaki laki-laki di sebelahku, sampah plastik menumpuk di sela-sela tempat duduk beton yang mengelilingi Beringin yang menjulang tinggi. Dan aku rasa, semua orang tak begitu perduli dengan kenyataan yang ada. Sampah bagaikan debu di jalanan yang tak terlalu menarik minat dan dianggap biasa saja. Keseharian orang Indonesia dan berbagai macam kota besar di Jawa.

Tidakkah ini kebesaran masyarakat Jawa Modern?

Aku pun memasuki Sriwedari. Disambut oleh seorang laki-laki tua yang tertidur pulas di kursi rodanya. Seolah, dunia hanyalah miliknya sendiri. Pendopo dipenuhi berbagai macam orang. kotor. Tak bersih. Sampah dan sampah lagi terlihat di sana-sini. Mobil box dengan layar digital dan pengeras suara berisik, yang menampilkan sosok-sosok seksi dan mirip pekerja seks komersial, melantunkan lagu-lagu dangdut. Beberapa orang terlihat sangat antusias. Kakek-kakek yang rasanya sebentar lagi hampir mati. Laki-laki muda yang sibuk memegangi mike dan temannya yang sibuk bergoyang-goyang sambil duduk.  Mereka sedang bersemangat berkaraoke ria. Sedang anak-anak kecil berlarian ke sana-kemari. Dua gadis kecil bergantian memandangi tab di tangan. Ibu-ibu yang terlihat seksi. Sosok-sosok berjilbab. Beberapa perempuan muda dengan pakaian seadanya tengah bercakap-cakap. Remaja laki-laki yang sibuk berlatih sesuatu. Dan aku pun lapar.

Tak butuh waktu lama aku sudah berada di lapak Mie Ayam. Dan hidungku tiba-tiba menghirup udara yang mirip selokan atau air comberan. Aku tak tahu letaknya di mana. Tapi hal itu sudah cukup menggelisahkan. Aku pun makan dengan cepat. Membayar seharga delapan ribu rupiah beserta satu kerupuk. Membeli Aqua kecil yang dihargai empat ribu rupiah. Setelah bertanya letak penjual buku-buku di sekitar sini, aku pun berbegas pergi.

Melewati jalanan dan rumah-rumah kecil atau lebih tepatnya warung yang selokan kecilnya nyaris tidak bisa disebut selokan karena tak ada saluran air yang memanjang untuk menampung air atau membiarkan air mengalir. Air hitam dengan bau mengerikan menggenang di sepanjang deretan rumah-rumah. Inilah asal dari bau tak sedap yang menggelisahkan tadi. Benar-benar pemandangan yang mengerikan. Air cucian dan apa pun itu mengalir dan dibuang langsung tepat di depan halaman hingga warnanya sangat hitam dengan bau yang bisa membunuh seekor sianga dalam hitungan menit.

Aku pun bergegas pergi. Melewati bangunan yang nyaris rubuh, berkarat, dan rusak di komplek Sriwedari ini. Hanya rerimbunan pohonlah yang sedikit menyelamatkan area kesenian yang terkenal ini. Dan yang membuat aku heran, kenapa hampir di tempat kesenian tradisonal yang terbuka untuk umum, kebersihan nyaris mustahil dijumpai?  Sepertilah ini masyarakat Jawa modern hidup. Sebentuk mentalitas baru yang mencerminkan sisi kejiwaan, sudut pandang hidup dan sejauh mana mereka menjalankan dan mengerti agama yang mereka anut. Para turis dan peneliti asing mungkin akan kecewa dengan kota ini jika hal itu menyangkut kebersihan dan pemeliharaan sebuah kota dan aspek terpenting dari sebuah kebudayaan. Aku sendiri kecewa. Tapi apa gunanya kecewa?  Masalahnya, aku sedang berada di sebuah kota yang raja-rajanya menamakan dirinya sebagai “sumbu bumi” atau Pakubuwana. Sumbu Bumi? Tidakkah itu sangat mengesalkan jika mengurus sampah saja nyaris tak becus. Setidaknya, masyarakat Jawa yang berada di kota ini sangat ramah. Keberadaan yang mungkin akan susah dihilangkan dari masyarakat Jawa secara umum dan menjadikan Jawa sebagai suatu tempat yang masih layak untuk ditinggali. Walau tetap saja, banyak penipu dan koruptor tumbuh berkembang di Jawa modern ini. itu pun, aku rasa, tak jauh beda dari Jawa lama. Ah, masyarakat Jawa memang masyarakat lentur yang bisa melakukan apa saja. Dari yang terbaik sampai terburuk sekalipun tanpa perlu mempermasalahkannya dengan rumit dan bertele-tele. Aku sendiri tak tahu apakah itu kelebihan atau memang kekurangan.

Clifford Geertz pernah mengatakan dalam Agama Jawa, bahwa “Jawa tak mudah dicirikan dengan satu label atau digambarkan di bawah satu tema yang dominan. Pulau itu lebih lama mengalami peradaban daripada Inggris yang selama lebih dari 1500 tahun telah menyaksikan orang-orang India, Arab, Cina, Portugis serta Belanda, datang dan pergi. Dewasa ini, Jawa memiliki jumlah penduduk yang termasuk paling padat di dunia, pertumbuhan kesenian yang paling tinggi dan serta petanian yang paling intensif. Sungguh benar bahwa dalam menggambarkan agama sebuah peradaban yang begitu kompleks sebagaimana peradaban Jawa, pandangan tunggal sederhana mana pun pasti tidak memadai.” Jika Clifford Geertz saja mengakui hal itu, apalagi diriku ini yang masih serba amatir ini?

Setidaknya aku tahu, pertanian semakin merosot. Dengan jumlah petani yang semakin menurun. Tanah pertanian yang kian hilang dan beralih fungsi. Dan generasi muda yang lebih suka melakukan urbanisasi atau memilih bekerja dan tinggal di kota. Yah, dah aku salah satunya. Dan tentunya, hanya sekedar menuliskan pulau Jawa saja itu seolah bagaikan kutukan tersendiri bagi siapa pun yang mencoba. Berbagai macam kota dengan bahasa, budaya, wilayah, sejarah, masyarakatnya dan kependudukan, adat dan hukumnya, agama dan keyakinan penghuninya, kecenderungannya, perekonomian, perpolitikan, dan percampuran antar berbagai macam hal. Terlebih jika harus dibarengi dengan geliat pendidikan, intelektual, kesenian, trend, tata kota, arsitektur, mitologi, kebijakan pemerintah, keadaan alam dan berbagai jenis tetumbuhan dan hewan, hal yang hari ini, kemarin, dan dan apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Aku akan sangat yakin, itu akan menjadi kajian paling berat bagi siapa pun yang ingin menuliskannya dalam perspektif luas dan hampir menyeluruh. Dan aku akan mengatakan, itu akan menjadi rencana gila yang mempesona. Dan aku pun, sayangnya tak mampu. Yah, hanya sejauh inilah kemampuanku. Mau bagaimana lagi? Apakah aku harus protes ke Tuhan, orang tua yang melahirkanku atau pemerintah Indonesia dan bangsa-bangsa Eropa yang datang dan pergi?
Dan apa yang aku katakan itu akan menjadi batu besar bagi siapapun yang ingin mengkaji perihal kota. Tantangan mempesona tapi akan sangat melelahkan dan membuat frustasi. Dan apa yang dilakukan oleh Gerry van Klinken dan Ward Berenschot dalam In Seacrh of Middle Indonesia, akan terasa sangat kecil dan tak memuaskan.  Walau pun begitu, kajian akan perkotaan yang coba dilakukan oleh beberapa orang dalam buku tersebut, yang mengeluhkan hasil dari penelitian Cifford Geertz, layak untuk direnungkan dan cukup bermanfaat walau penuh dengan lubang besar dan celah yang susah untuk bisa diisi dengan penuh bahkan untuk suatu saat nanti.

Aku pun melihat perpustakaan Sriwedari yang tak bersahabat karena tutup. Dan di sebelah kiriku berdiri, berderet lapak penjual buku, yang sayangnya, ketika aku sampai di ujung, tak ada yang memuaskan. Biasa saja. Lebih baik dari yang ada di Semarang. Dan. Aku kini sedang memandangi deretan para pedagang dan pembuat frame atau figura. Tepatnya di jalan Musium, sebelah Sriwedari. Lalu masuk ke toko alat tulis Tunas Mekar atau TM. Membeli dua note seharga tiga ribu enam ratus rupiah. Lalu keluar, menyusuri trotoar kecil yang sampahnya berserak di sana dan di sini. Jalan yang ditambal. Dan beberapa bangunan yang terlihat ditelantarkan. Ada dua buah keranjang anyaman bambu yang digunakan sebagai tempat sampah. Yang satu cukup terisi dan yang satunya lagi jatuh telungkup. Apakah keranjang bambu layak dijadikan tempat sampah di saat hujan dan angin besar terus-menerus terjadi? Aku rasa, itu ide terkonyol yang pernah aku saksikan di musim penghujan ini.

Kali ini aku sudah berada di pedestrian jalan Slamet Riyadi, sedang bergegas menuju keraton  yang jaraknya sekitar 2.3 kilometer. Awalnya aku kira cukup dekat, tak sadar akan hal itu, setelah berjalan kaki ternyata memang cukup jauh. Sebuah jalan yang dulunya pernah dilewati oleh Arthur Goodfrend, yang menuliskan kesannya, “kami melintas di antara dua pilar peringatan dan terus melaju melewati jalan Slamet Rijadi, jalan utama yang dinamai sesuai nama seorang pahlawan revolusi besar. Jalan ini diapit oleh bungalo-bungalo Belanda yang sudah diubah fungsi menjadi kantor-kantor pemerintahan, barak dan sekolah. Sebuah rel kereta terletak berdampingan dengan jalan untuk kereta kuda, betcha, pejalan kaki yang bertelanjang kaki,  serta kawanan kambing dan angsa. Pedagang kaki lima yang yang menjajakan makanan, mainan, kacamata, ramuan ajaib, tukang potong rambut berjongkok di sepanjang trotoar. Dua bioskop mendominasi bangunan di perempatan jalan, papan iklannya yang meriah mengiklankan film thriller mengenai kelompok geng di Amerika serta film propaganda dari Peiping (Beijing). Meski tampak kumuh dan tidak memiliki sebuah ciri arsitektur, solo terlihat hidup dan meriah; satu-satunya hal yang memancarkan kesedihan adalah reruntuhan bangunan yang rusak selama revolusi.” Dan itu kesan yang Arthur Goodfriend alami di tahun 1958. Dan hari ini, aku berjalan kaki di sepanjang pedestarian dan mengamali hal yang hampir sama dan juga berbeda.

Pepohonan sangat lebat di sepanjang jalan Slamet Riyadi. Dari yang berusia tua hingga masih muda. Berbagai macam tanaman dan tumbuhan hias membuat keindahan jalan ini begitu membuatku kagum. Seandainya Braga seperti jalan ini, mungkin aku akan melemparkan pujianku kepada Braga yang panasnya mengerikan di siang hari.

Ketika berjalan di atas pedestrian yang luas dan lebar, tak berlubang, dan menyenangkan ini, aku berpapasan dengan cukup banyak pesepeda dari segala umur. Suatu kegembiraan tersendiri mengingat aku tak menemukan orang yang yang sedang membaca buku. Pesepeda sedikit untuk menghibur mata dan hatiku. Lebih banyak pesepeda di kota ini dari pada di Jogja yang dulu dijuluki sebagai kota sepeda. Lalu, ada banyak becak seperti yang Arthur Goodfriend lihat. Pedagang kaki lima hanya di beberapa tempat, seperti Sriwedari. Pejalan kaki tak terlalu banyak. Hanya terlihat satu dan dua. Semua orang, aku rasa, lebih suka naik dengan motor dan mobilnya atau sepeda yang hilir mudik di pedestarian. Mungkin itulah asalannya banyak becak yang menganggur dan pengayuhnya terlihat sedih, menatap kosong atau jatuh tertidur. Dan tampilan becak di kota ini lebih enak dipandang dan sedikit elegan dari pada yang berada di Jogja.Aku tak melihat bioskop, kawanan kambing atau angsa dan orang-orang yang berjongkok untuk berjualan. Tapi aku melihat berbagai macam gelandangan dan pengumpul sampah atau pemulung terlihat jatuh tertidur di sebuah kursi dekat pergola, atau di bawah bangunan yang sudah tak lagi difungsikan dan terlihat rusak di sana-sini. Jadi semenjak revolusi hingga hari ini, ternyata nyaris sama. Masih banyak bangunan kosong, teronggok, tak terawat, atau hancur di sepanjang kaki melangkah. Yah, jadi aku sedikit melihat apa yang Goodfriend lihat lebih dari setengah abad yang lalu. Dan, entah datang dari mana, ada seekor ayam muda, berjalan terpincang-pincang, mematuk-matuk tanah, di tengah pusat kota yang semakin termodernisasikan ini.

Seandainya tak banyak sampah yang mengganggu pemandangan, entah di selokan atau sela-sela tetumbuhan, kota ini termasuk indah. Lebih indah dan enak di pandang dari pada Jogjakarta yang berada tak jauh di sisi baratnya.




Keindahan itu berkat rimbunnya pepohonan dan berbagai jenis tanaman yang ada di kedua sisi jalan. Sejujurnya di sisi kiri, tengah, dan kanan. Seandainya pohon-pohon itu ditebang atau dicabut, keindahan kota ini mungkin lenyap dan terlihat kumuh dan kusam seperti yang Goodfriend pernah lihat. Jalan-jalan yang lebih kecil yang kehilangan pepohonannya, terlihat menyedihkan di kota ini. Itulah mengapa, seandainya kelak banyak pohon dan kerimbunan saat ini ada lenyap, Surakarta akan menjadi neraka yang sama dengan Jogja hari ini. Terlebih ketika jalanan semakin penuh dengan kendaraan bermesin. Kota dengan penduduk sekitar setengah juta jiwa ini, sedang memasuki masa-masa gawatnya sebagai sebuah kota. Jika tidak berhati-hati dan salah ditangani suatu saat nanti atau ketika dipimpin oleh orang yang salah, tidak hanya sekedar sampah yang terlihat menyedihkan, tapi juga jalanan yang macet, panas, dan berbagai macam pusat perbelanjaan modern bersaing dengan bangunan-bangunan baru. Mengingat kota ini adalah salah satu kota yang mengalami perkembangan yang sangat cepat di Indonesia. Masa depan apa yang akan dialami kota ini jika penduduknya semakin berlipat, dan orang-orang di berbagai kota lainnya di seluruh Indonesia dan wilayah pedesaan di sekitarnya, berkeinginan untuk pindah dan menetap, belajar, mencari kerja, dan hidup di kota ini? Dan apa jadinya jika desa-desa di sekitarnya berubah jadi kota? Mungkin akan seperti Kertasura yang agak menyedihkan.

Berjalan di antara pepohonan besar yang menjulang tinggi dan angin sepoi-sepoi, sungguh benar-benar nikmat. Aku pun melihat Angsana, Ketapang, Lidah Buaya, Beringin, Tanjung, Asem Jawa, Lili Prancis, dan banyak lainnya. maksud aku, banyak lainnya yang tak aku tahu karena tak ada seorang pun yang bisa ditanyai kecuali para tukang becak yang sedang sibuk mendengkur, para gelandangan yang tertidur dengan tanpa bergerak sedikit pun, atau anak-anak muda yang mungkin juga tak tahu menahu.

Di sepanjang pedestrian dan seberang jalan, aku lihat beberapa bangunan; Gramedia yang menghuni bekas rumahnya Soedjatmoko. Lembaga Pendidikan Indonesia Amerika atau LPIA, tepat di depan Gramedia. Lalu ada Danar Hadi “Soga”, sebuah museum batik kuno. Lalu House of Danar Hadi, yang ketika aku lewati, terlihat berbagai macam model batik dengan sentuhan modern. Aku rasa, semacam butik. Wisma Batari. Tiga gelandangan dan dua buah becak bersama pengayuhnya tertidur di bawah bangunan Overseas Securities atau W.R. Mang Johan. Aku pun melewati Music Square. Candi Elektronik. Bangunan rusak bertuliskan “Roti dan Resto Hallan Solo” lalu ada juga Poligon. McD. Lazzy Cow. Dan Optik Atlas. Aku lihat tiga gelandangan di samping Hotel Kota. Melewati toko bunga. Dan kaki mulai pegal-pegal. Aku pun berdiri di depan gapura kecil, pintu masuk sebuah jalan atau gang, Kauman; Kampung Wisata Batik. Sementara di tempatku berdiri, terdapat sampah dan lagi lagi sampah.

Kembali berjalan. Melihat sekelompok burung gereja. Ah, akhirnya ada burung juga. Aku kira burung di kota ini telah musnah dikalahkan oleh burung milik wisatawan laki-laki dan penduduk kota solo yang semakin bertambah. Ada pesepeda. Sejujurnya, cukup banyak pesepeda yang melewatiku daripada pejalan kaki. Dan tentunya sepeda motor yang berjalan dari arah yang sebaliknya atau mendadak muncul dari jalanan yang tak terlihat. Jalanan utama tentunya tak pernah sepi. Dan hal semacam itu tak perlu diingatkan lagi. Lalu aku melihat lagi beberapa gelandangan yang bagaikan sebuah keluarga yang terdiri dari seorang kakek, ibu-ibu, perempuan muda, dan anak kecil, sedang mengistirahatkan dirinya di bawah toko alat-alat Tulis “Rina” yang tentunya terlantar. Solo ternyata surga para gelandangan. Berkeluarga lagi. Menakjubkan. Jadi kota ini meruntuhkan mitos umum yang sering kita bicarakan. Membangun sebuah keluarga, ternyata bisa, tak membutuhkan sebuah rumah. Tak jauh beda dengan kota Jogja yang menjadi saudara dekatnya. Tak beda pula dengan Semarang yang semuanya bernama Jawa Tengah.

Kembali berjalan, melihat The Royal Surakarta Heritage yang cukup megah lalu segera duduk di kursi-kursi yang di depannya dinaungi pergola dengan tumbuhan merambat. Entah kenapa, aku suka pergola di kota ini. Cukup indah dan terkesan elegan karena tumbuhan rambatnya. Ternyata, di kuri yang aku duduki, ada dua tong sampah dari kayu, cukup enak dipandang, dari sisi kiri dan kanan, tapi tak layak untuk menampung sampah. Untuk apa ada tempat sampah jika sampahnya tercecer di bawahnya? Tempat sampahnya rusak dan tak rapat. Itu semacam gurauan elegan yang percuma dan membuat mata sakit. Di sepanjang jalan Slamet Riyadi, sedikit sekali tong atau tempat sampah. Mungkin itulah yang membuat sepanjang jalan itu tak bisa bebas dari sampah. Sangat disayangkan. Atau mengirit anggaran?

Sampailah aku di patung tinggi, tampan, dan gagah, yang satu tangan kirinya memegang pistol sambil mengacung ke atas, dan tangan kirinya tergenggam. Itulah patung Ignatius Slamet Riyadi. Pahlawan besar revolusi. Dan keangkeran dan kemegahan pahlawan itu tak berlangsung lama.

Aku pun menyeberangi jalan. Mendekat. Berjalan menuju belakang patung berada. Dan, ada tulisan dan corat-coret yang riuh dan penuh keberanian tak perduli dan benar-benar tak takut dengan sosok Slamet Riyadi yang sedang berdiri kokoh mengawasi sepanjang jalan yang dipersembahkan untuknya.

Corat-coret itu khas Indonesia dan mirip yang ada di Tasikmalaya. Membuat aku tersenyum dan kadang ngeri memgingat monumen penting ini dicorat-coret layaknya meja sekolah atau toilet umum yang biasa kita jumpai. Seperti inilah macam-macam coretannya; Candra ada?  Polisi cinta Soom. Aku teko meneh AYIX cah ngawi. Jadi, ada anak iseng dari ngawi, kurang kerjaan, atau ingin dikenang, mengabadikan namanya dengan perasaan bangga, tepat di bawah kaki patung kebanggaan kota Surakarta. Berada di sebuah pintu kecil berwarna kekuningan yang berkarat. Dan batu-batu yang menopang patung keramat itu pun tak lepas dari tangan yang bakat seninya melebihi orang-orang gua masa lampau. Aku rasanya, orang-orang prasejarah bahkan lebih berbakat dari pada coretan yang aku sedang lihat ini. Ada juga coretan Ampri “Aremania”. Pantang mundur. Dan gambar kemaluan laki-laki. Dan beberapa lainnya, yang anehnya, masyarakat sekitar pun tak terlalu perduli atau pemerintah kota kekurangan cat atau mungkin toko cat seluruh Surakarta, atau Solo ini, mendadak sedang gulung tikar secara bersama-sama? Apa susahnya mengecat ulang pintu kecil dan menutupi seluruh coretan yang ada dan membersihkan sisa coretan yang ada di batu-batu? Sebegitu malaskah masyarakat kota ini atau memang, pahlawan satu ini tak terlalu penting. Masyarakat dan pemerintah kota pun tak mau ambil pusing. Lalu pihak keraton? Sedang asyik tertidur di surga mungkin.

Beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba muncul seekor bunglon yang mengagetkanku. Muncul mendadak di sela-sela tanaman hias. Aku mencoba menangkapnya namun tak berhasil. Setidaknya, masih ada makhluk hidup lainnya yang terlihat, tidak melulu manusia dan manusia, yang kadang-kadang membosankan. Hanya itu itu saja. Setiap hari terus menerus melihat manusia dan manusia bisa-bisa membuat diriku gila dan bosan.

Semua kota yang ada, dibangun hanya untuk manusia. Bukan untuk hewan. Terlebih di Indonesia. Jadi, film semacam Zootopia itu, kalau sudah sampai di sini, hanya sekedar jadi cemilan sesaat habis itu entah jadi apa. Tak masuk di otak. Apalagi hati. 



Aku pun bergegas memasuki jalan Pakubuwana yang dinaungi oleh pohon beringin besar dan terasa sangat sejuk dan damai. Di samping jalan ini ada bangunan kusam, Pusat Grosir Solo atau PGS. Aku pun duduk mengamati. Ada gelandangan. Manusia modern. Becak. Penjual kaca mata dan stiker sepeda motor. Dan anak-anak muda yang terlihat memegang kamera DSLR, di sampingku. Sedangkan aku ini, hanya sekedar memegang catatan kecil seharga seribu enam ratus rupiah. Tak sebanding memang. Tapi perbedaannya, mereka seolah tak berkepentingan dengan buku catatan, pensil atau bolpoin. Anak-anak muda yang mudah ditebak. Kamera ditangan tanpa sebuah otak, itu semacam penghinaan sistematis terhadap teknologi dan peradaban. Jauh beda dengan film dokumenter berjudul Chasing Ice beberapa waktu yang lalu. Yang menceritakan seorang fotografer bernama James Bulog akan kegigihannya untuk membuktikan masalah perubahan iklim dan hilangnya berbagai macam kawasan es lewat fotografi yang bisa saja merenggut kakinya untuk selamanya. Fotografer semacam itulah yang aku kagumi. Yang membawa dunia gambar, fotografi, ke arah yang lebih luas dan berisi. Pertanyaan terbesarku adalah, seberapa banyak anak muda di Indonesia yang memegang kamera, memiliki otak yang cukup atau setidaknya gagasan-gagasan yang tidak hanya sekedar menjepret dirinya sendiri atau lagi lagi kekasihnya dan alam yang sekedar hanya dijadikan sumber kekaguman sementara. Sehebat apa pun teknologi jika dipegang oleh orang bodoh dan tolol, kehebatannya pun surut dan tekonologi yang tadinya hebat itu tiba-tiba jadi kerdil dan seolah karya dari seorang idiot.

Aku pun melanjutkan perjalanan. Menembus keramaian. Masuk di alun-alun yang berubah menjadi pasar Klewer sementara. Membelah dua Beringin keramat. Dan bergegas menuju Keraton yang diapit oleh jalan sempit dan benteng berwarna putih kekusaman. Ada banyak tukang patri emas di sekitar kawasan ini. Tentunya, berbagai macam penjual makanan dan lainnya di sekitar pasar yang tadinya aku lalui.

Aku berjalan tertatih-tatih. Sesekali kaki membentur kerikil atau batu. Berjalan di tepian, melawan arah jalannya kendaraan. Dan tibalah aku di gerbang keraton. Aku pun lalu duduk di sisi bangsal Brodjonolo Kiwo. Baru masuk saja sudah ada sampah kertas bekas nasi, puntung rokok, plastik es, dan lainnya. Warna tembok di bangsal pun kelihatan kusam dan tak terawat. Benar-benar keadaan yang menggelisahkan dan gawat. Sebelum masuk keraton saja sudah seperti ini, apalagi kota secara kesuluruhan? Komplek keraton pun tak bebas dari sampah dan dianggap biasa. Maklumlah kalau sampah-sampah bebas berkeliaran, seolah seperti warga kota itu sendiri dengan hak untuk hidup dan mengada sesuka mereka. Kekurangannya cuma satu; plastik dan sampah di kota ini tak memiliki hak pilih. Itulah kesialan tertinggi menjadi sampah. Tak akan mendapatkan jatah dari serangan fajar dan serangan malam.

Di bangsal Wisomarto pun keadaan tak jauh beda. Dipenuhi sampah. Benar-benar keraton yang aneh dan tak layak diberi tongkat sapu Harry Potter.

Aku pun menuju loket bersama empat orang lainnya yang entah dari mana. Karena keraton dalam mau ditutup, aku pun disuruh untuk cepat-cepat dan jangan memotret lebih dulu. Setelah mengeluarkan sepuluh ribu rupiah, mendapat tiket, aku langsung bergegas, dengan langkah seribu, menuju museum keraton. Melewati bapak-bapak penjual boneka mainan dari anyaman. Dan melewati sampah dan sampah. Bisa tidak sih sepuluh menit saja aku tidak melihat sampah jika sedang berjalan? Memangnya sampah di kota ini sudah mirip masyarakat itu sendiri, ada di mana-mana? Bebas berkeliaran manasuka. Itu benar-benar menjengkelkan. Dan yah, setelah melihat pintu dan patung yang berdiri gagah, aku pun langsung berlari menuju pintu lainnya yang dijaga seorang bapak tua yang sedang melambaikan tangannya. Pertanda yang sangat jelas. Cepat. Sebentar lagi tutup.

Jadi, aku sekarang berada di dalam musem keraton, yang cukup rapi dan dipenuhi pepohonan. Dan tanpa punya banyak waktu untuk mengagumi, aku pun disuruh ke sisi dalam keraton. Disapa oleh tiga orang bapak-bapak dengan senyum ramah. Dan melihat sekilas tata cara berkunjung. Tak boleh hanya sekedar memakai celana dalam atau baju renang. Itu jelas dari gambar pemberitahuan. Dan orang gila macam apa yang mau pakai bikini di zaman modern ini? Terlebih  di sebuah keraton yang masyarakatnya secara sadar dan tak sadar, masih sangat kuat akan tata cara beretika atau berperilaku. Orang gila pun akan paham dengan hal semacam itu. Aku pun melepas sandal, dan ternyata, harus juga melepas topi di kepalaku sebagai tanda kesopanan.

Yah, pada akhirnya, aku berada di kompleks dalam keraton. Pusat masyarakat dan kebudayaan Jawa. Dan pusat pengkhianatan, intrik politik, egoisme, hasrat kekuasaan, dan jejak kekalahan yang tak akan pernah hilang untuk selamanya. Di sinilah, Belanda menjadikan raja-raja keraton Surakarta layaknya boneka dan tahananan yang setiap saat harus diawasi. Dan aku rasa, banyak dari raja dan kerabatnya pun senang akan hal itu. Dan di sinilah, tempat di mana kebijakaan dibuat, yang mana, Surakarta memainkan peranan besar dalam penghancuran keraton Jogjakarta yang pada akhirnya ditutup dengan penjarahan besar-besaran oleh Inggris. Sebuah peristiwa bersejarah di mana saudara, dan kebudayaan yang sama lebih suka mengambil keuntungan dan membuat yang lainnya menderita dan mati. Dan mengawali apa yang kelak akan disebut oleh para ahli sejarah sebagai Perang Jawa.

Aku pun berpikir selagi mengagumi keindahan komplek dalam ini yang ditumbuhi oleh pepohonan yang bernama Sawo Kecik. Dan istana, atau lebih tepatnya pendopo, yang dikelilingi oleh patung-patung perempuan berwarna putih susu bergaya Eropa Yunani-Romawi. Apalagi ini? Yah, itulah kesan kolonialisme yang dibanggakan. Sejujurnya, masyarakat Jawa dan pemerintah Indonesia, kerjaannyakan hanya sekedar memugar dan mengalih fungsikan bangunan dan artefak lama milik dan bergaya Belanda-Eropa, lalu dengan bangga mempersembahkannya ke pada turis asing dan lokal. Jalan Slamet Riyadi sudah menjawab hal semacam itu. Dan yang kadang menggelisahkan, setiap bangunan yang ada seringkali diberi tulisan sebagai Cagar Budaya. Apa, Budaya? Melindungi budaya kolonial atau apa ini? Sejujurnya, aku bingung dengan pemerintah Indonesia dan di berbagai macam kota. Sejak dulu kita hidup di sebuah masyarakat yang para pemimpinnya memang membingungkan. Jadi untuk apa harus bingung?

Lima menit di keraton dalam. sepuluh menit di museum. Dan aku sekedar memandang menara yang dulu sempat terbakar. Keraton ini pun dulu pernah dijarah dan mengalami masa kelamnya tersendiri karena beberapa macam pemberontakan. Tapi setidaknya, sekarang terlihat baik-baik saja. Dan sepertinya keraton pun mulai menyebarkan budaya baru ke seluruh wilayah Surakata. Budaya sampah. Tapi di sini, aku tak melihat sampah. Sangat bersih. Seolah-olah ada kekedapan dari dunia luar sana. Semacam tempat tertutup yang tak mampu keluar dari kungkungan zaman masa lampau. Aku lihat, empat orang yang tadinya masuk di belakangku, didekati oleh bapak yang tadi menyambut di pintu. Tanda-tanda waktu lima menit pun habis. Aku juga terpaksa harus merelakan kakiku untuk kembali ke sandal dan lantai.

Tak perlu waktu lama aku berada di musem keraton, disambut oleh sederatan foto para raja dan orang dalam yang berpengaruh di kota ini. Semuanya dalam cahaya remang, cat foto yang luntur, dan tembok yang kusam kehitam-hitaman, serta bau udara yang memiliki kesan masa lalu yang jauh. Masa lalu yang mati tapi hidup dan sekarang dicoba untuk dihidupkan dalam museum yang pengap dan panas ini.
Aku pun berjalan. Melewati ruang candi. Wayang. Tari dan topeng. Lalu benda pusaka yang ada beberapa barang yang dipajang; Kendi Pratolo. Ketel. Kecohan. Cincin. Suweng. Beri. Bokor. Klemuh. Dan Timang. Lalu aku pun keluar. Karena di dalam sangatlah panas.

Lebih menyenangkan di luar dari pada di dalam. Pohon-pohon besar membuat udara menjadi sejuk diiringi sepoi angin yang menangkan. Aku pun tak perlu banyak waktu, bergerak ke arah pohon beringin besar, di mana terdapat semacam kuburan, atau entah apalah itu, aku tak tahu. Waktu 15 menit dengan melihat banyak hal di dalam sini, aku bisa dapat apa? Aku pun memberishkan muka di gentong pancuran. Lalu bertanya nama-nama pepohonan kepada penjaga yang terlihat menutupi pintu-pintu museum. Mau bagaimana lagi, seperti inilah anak muda sekarang ini. Segalanya nyaris hampir tak tahu. Yang aku tahu hanya Pohon Mangga, Pepaya, Angsana, Turi dan Matoa. Kalau aku tak salah lihat. Sedangkan lainnya, harus bertanya; Klengkeng dan Gayam. Jenis pohon yang baru aku tahu ketika bertanya. Sejujurnya aku sangat tak asing dengan dua pohon itu. Tapi semakin dewasa, banyak hal yang aku lupakan dan terlupa secara sadar maupun tidak. Dan untungnya pihak keraton tahu nama-nama pohon yang ada di komplek keraton. Dan itu membuat aku sangat senang.

Lalu apa yang dilihat oleh pengunjung lainnya? seperti biasa, kerjaan mereka berfoto bersama. Sekedar lihat ini itu secara sekilas. Lalu fokus kembali kepada kekasihnya masing-masing. Ingat. Jangan pernah berjalan dengan kekasih atau teman yang otaknya susah berkembang dan rasa ingin tahunya setara dengan mumi yang sudah diawetkan. Yah, yang kamu dapatkan hanya sekedar foto dan foto. Rasanya ingin tahumu pun terhambat jadinya. Perjalanan pun menjadi dangkal. Walaupun begitu, ada empat orang yang sibuk memegangi catatan dan berceloteh ini itu, seolah-olah sedang berkunjung demi sebuah tugas atau semacam itu. Setidaknya mereka membawa buku catatan. Dan baru kali ini aku melihat orang membawa buku walau sekedar catatan. Kecuali di Gramedia tentunya. Dan fokusnya mereka hanya di seputar bangunan dan artefak di dalam museum.

Bertanya jenis dan nama pohon di sebuah kota atau desa, sekarang ini sangat tak mudah. Sudah jarang anak muda atau bahkan seorang tua, yang tahu secara pasti jenis dan nama pohon yang ada. Dan hal itu langsung terasa ketika keluar dari pintu dan akhirnya menghirup udara segar lainnya.

Tak perlu waktu lama, aku mengenali pohon Jambu, Kresen, Palem, Jeruk Nipis, dan sepertinya Tanjung. Ada yang tak aku kenali. Menjulang tinggi yang mana daunnya mirip jagung atau talas-talasan. Aku bertanya ke seorang bapak yang umurnya mungkin empat puluhan. Dia tak tahu. Dan temannya pun juga sama saja. Lalu, bapak muda itu bertanya pada seorang tua yang terlihat memakai caping, dan dialah yang menjawab. Pohon yang aku tanyakan ini, namanya Palem Besi. Seorang tua dengan tampang yang sangat terkesan tak modern itulah yang bisa menjawabnya. Aku kira, wali kota pun tak begitu tahu apa yang ditanam di dalam kota yang kini diperintahnya.dan jangan sekali-kali bertanya nama pohon kepada orang yang terlihat terpelajar, rapi, dan menampilkan aura modern dan berkelas. Yakinlah, banyak dari mereka pasti tak tahu. Begitu juga orang-orang di sekitar alun-laun yang aku tanyai mengenai nama pohon unik yang baru kali aku lihat. Dengan buah lonjong yang ditopong oleh semacam akar gantung yang mirip Beringin, warna kulit pohon berwarna cokelat kekuningan dan daun yang mirip jambu, dan terlihat banyak lalat hijau yang sedang asyik berkerumun di ujung sulur buah yang sudah putus. Nyaris tak seorang pun yang tahu. Begitu juga tiga petugas yang sedang mengawasi pasar. Ada seorang berwajah Tionghoa yang mengatakan bahwa namanya pohon Kunto Dewo dengan nada yang sangat penuh dengan keraguan. Dan sejauh itulah yang aku dapatkan. Dan itu pun menandakan pergeseran besar-besaran yang sangat nyata. Hari ini, kita semakin hari semakin tak mengenali lingkungan kita sendiri.

Perut mulas. Jalan secepat mungkin ke PGS yang kusam dan ubinnya retak di sana-sini. Mencari toilet. Tap tap tap. Melewati pakaian. Ibu-ibu lalu semacam kantin dan dapatlah surga yang dicari. Sehabis beres urusan perut. Aku pun makan, mengisi baterai tab dan mp3, lalu membaca Orang Indonesia dan Orang Prancis karya Bernard Dorleans. Hanya di sinilah aku memiliki waktu sejenak untuk membaca. Aku tak sempat membaca di jalanan sepanjang Slamet Riyadi. Aku juga tak sempat membaca dan menikmati trans Solo. Aku juga mengurungkan niat untuk melihat dan memasuki perpustakaan daerah. Waktu tak cukup. Aku baru sampai di kota ini sekitar jam 11;00, dan jalan kaki pun menguras banyak waktu yang ada.

Angin mulai ribut. Pohon beringin di luar pun mulai bergoyang. Udara menjadi lebih dingin. Dan langit mulai gelap. Tanda-tanda hujan sudah mulai jelas. Aku pun membayar, tepatnya sebesar tiga belas ribu rupiah. Dengan nasi sekecil itu, aku anggap mahal. Tapi aku sudah tak punya waktu untuk mengutuki diri sendiri. Aku bergegas keluar, dan secepat mungkin harus sampai Gramedia.

Sampai di jalan, gerimis sudah mulai berjatuhan walau tak seberapa. Aku pun berjalan secepat mungkin hingga membuat selangkanganku lecet dan terasa sakit. Kakiku benar-benar sudah sangat pegal dan telapak kakiku sakit. Aku harus berjalan di sepanjang pedestarian Slamet Riyadi, 2.3 kilometer, disertai gerimis dan ketakutan seandainya hujan tiba-tiba jatuh dengan deras.

Berjalan. Berjalan. Terus berjalan. Satu persatu melewati bangunan, orang-orang, toko dan pohon yang tadinya sudah aku lewati. Dan seolah-olah terasa lama dan tak sampai-sampai. Hujan jatuh walau tak terlalu deras ketika aku ingin menyeberangi jalan dan sebal bahkan di hati uring-uringan mengingat bajuku sudah mulai basah dengan tetesan hujan, sedangkan kendaraan tak mau memberikan celah untuk lewat. Para pengendara sialan dan tak tahu diri. Dan akhirnya, berjalan lagi dan lagi. Hujan makin deras. Tak tahunya, aku sudah sampai di sekitar Gramedia. Tak perlu waktu lama, aku pun mulai menyeberang dengan teegesa. Berlari kencang-kencang. Dan, selamatlah aku. sesampainya di Balai Soedjatmoko, hujan turun dengan luar biasa deras. Aku terselamatkan. Hanya tetesan kecil yang membahasi baju, celana dan tasku.




Malam ini ada pementasan tari dari Djarot B. Darsono berjudul angon angin. Sudah lama aku tak melihat acara kesenian di kota ini setelah beberapa tahun yang lalu. Karena hujan semakin deras, aku pun memutuskan untuk menunggu dan melihat acara di tempat ini untuk pertamakalinya. Aku pun tak jadi untuk melanjutkannya ke Purwodadi. Hujan terlalu deras. Tak tanggung-tanggung. Sial, aku pun tertahan di sini. Sedangkan hari semakin gelap.

Yah, pada akhirnya aku memasuki Gramedia, menuju lantai dua, dan seketika, mataku disuguhi perempuan cantik dengan kaki disilangkan, dan celana dalam nyaris kelihatan. Seolah-olah aku sedang menyaksikan perempuan sempurna, membaca buku, dan di bagian bawahnya dibiarkan telanjang. Bentuk tubuh yang seksi dan kaki serta paha yang bagus dan jenjang. Apakah ada rasa malu dan risih dari perempuan itu? yah, tidak. Tidakkah tren hari ini adalah cabai-cabaian dan buka-bukaan? Aku hanya orang lewat yang mendapatkan berkah tersembunyi dari seorang cantik yang mempersembahkan dirinya sendiri untuk dipandangi.

Aku pun membaca Desi Anwar, Hidup Sederhana, yang ternyata sangat biasa. Ada beberapa laki-laki muda yang sedang membaca karya Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja. Suasana sangat sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat. Dari pada pengunjung, lebih banyak petugas tokonya yang terlihat. Benar-benar mirip kuburan. Lebih ramai beberapa waktu yang lalu ketika aku juga berada di sini/ Mungkin juga hujan. Mungkin juga banyak orang yang lagi bosan dan malas ke toko buku. Dan akhirnya, aku pun terpaku pada sebuah buku karya Tim Haggin yang berjudul Raffles. Buku yang bagus. Langka untuk ukuran biografi Thomas Raffles. Menceritakan tentang masa singkat Inggris di Jawa yang tadinya dikuasai Belanda. Dan masa-masa suram sejarah Jawa Tengah. Terlebih Jogjakarta.

Yang membuat gelisah adalah awal dan akhir dari buku itu. Ketika Tim Haggin memiliki pengalaman terhadap anak-anak didiknya dan orang yang ditemuinya di jalan-jalan yang pemikiran mereka, lebih menyukai dijajah Inggris dari pada Belanda dan menyesali tak dijajah Inggris lagi, yang mereka pikir, seandainya dijajah Inggris, mungkin Indonesia hari ini maju seperti Singapura, Malaysia, Hongkong dan India. Buku Raffles dari Tim Hagin mencoba memberikan sudut baru dan membantah pikiran keliru itu. Lima tahun Inggris berkuasa, telah menghancurkan banyak hal dan yang pada akhirnya akan mengubah Jawa selamanya. Tidak hanya sewa tanah yang gagal total. Tapi penyerbuan Inggris yang dibantu oleh pihak Surakarta, menghancurkan secara terang-terangan keraton Jogjakarta beserta adat istiadat, etika, budaya, dan kedaulatan mereka. Surakarta pun akhirnya sekedar menjadi boneka baik dibawah Inggris maupun kedatangan kembali Belanda. Yah, buku bagus yang layak dibaca. Setidaknya, aku akan ngeri jika ada lagi orang yang berkata bahwa mungkin Jepang kurang lama menjajah di Indonesia atau kebanggaan akan dijajah oleh bangsa lain yang lebih dianggap maju, adalah anugrah, perlu dan seolah dinginkan. Dan hal semacam itu masih tercermin dari banyaknya arsitektur peninggalan kolonial yang dibanggakan oleh berbagai macam kota di Indonesia. Dan anehnya, Anies Baswedan pun, beberapa waktu yang lalu, ingin membiayai para penulis Indonesia untuk hidup di luar negeri dan berkarya dengan produktif dan tenang di sana. Itu kebijakan paling aneh yang pernah aku dengar dan baca. Kenapa harus keluar negeri? Di saat negara ini lebih banyak ditulis dan diteliti oleh orang asing. Terlebih, banyak surga dunia di negara ini. Dari mulai Mentawai, Raja Ampat, Bajo, Lombok dan beberapa tempat di Jawa. Aku menyukai Anies Baswedan. Tapi keinginannya kali ini, benar-benar absurd. Bahkan ada yang mencemooh bermental inlander. Mengerikan memang negara ini. Hanya sekedar menulis saja harus repot-repot keluar negeri. Yaelah.

Dan akhirnya, tarian pun dimulai pada jam delapan malam. Banyak perempuan cantik di kota ini. Banyak wajah-wajah Tionghoa. Dan mengingatkanku akan seseorang yang membuat aku gelisah beberapa hari ini.

Hujan tak juga berhenti. Banyak orang yang tengah menonton perempuan-perempuan muda berdandan Jawa, dengan payudara menonjol dan seolah ingin keluar dari tempatnya. Menari menggunakan lidi dan berbicara dengan gaya datar, tak enak, layaknya orang yang sedang menipu diri sendiri. Hujan, suara kendaraan dari arah jalan, dan suara penari yang tak jelas. Beserta lenggak-lenggok yang juga sama tak jelasnya, membuat pertunjukkan ini terasa aneh dan kosong. Hanya kesan Gending Jawa, konde, Batik, Jarik atau Kemben, dan Selendanglah yang membuat aku merasa melihat masa lampau. Jawa yang hilang. Masa kecil yang punah.

Sepertinya banyak wartawan, orang asing, tokoh seni dan orang penting di tempat aku sekarang berdiri. Aku pun tak begitu perduli. Aku tak tahu siapa mereka. Dan aku pun bukan siapa-siapa.

Karena lelah berdiri, aku pun tak tahu isi dari tarian ini. Dan benar-benar gagal paham.Hanya kalimat inilah yang aku dengar dan tulis, “Menjadi bahagia itu bukan takdir, tapi pilihan”. Yah setidaknya cocok dengan keadaan dan perasaanku saat ini. Mataku pun seringkali gagal fokus dan lebih suka mengagumi sosok cantik di sisi seberang dan berada di tengah-tengah penonton. Dan, pada akhirnya, acara ditutup dengan anak-anak muda yang kebanyakan perempuan, sangat cantik aku akui, yang berbondong-bondong memasuki tempat pertunjukkan, membawa handphone yang menyala-nyala, dan tangan lainya memegang lidi yang ujungnya menempel bendera merah putih. Itulah inti pesannya. Yah, terserahlah. Banyak karya seni itu membingungkan penonton yang kebanyakan otaknya tak tahu apa itu seni. Melihat seni adalah melihat kebingungan itu sendiri. Dan aku pun bergegas pergi. Memasuki lahan parkir Gramedia. Memakai jas hujan lalu menerobos hujan hingga sampai di Jogjakarta.

Aku gagal ke melanjutkannya ke Purwodadi lalu ke kota-kota berikutnya. Padahal aku sudah membawa beberapa buku untuk teman perjalanan; Nusantara karya Bernard H. M. Vlekke, Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Bernard Dorleans, Catatan Pinggir 8 yang ditulis Goenawan Mohamad, dan karyaku sendiri, Dunia yang Harus Kita Akhiri. Setidaknya, aku sedikit melihat kota Surakarta.

Malam yang benar-benar melelahkan. Ah, lupa, aku pun tak melihat satu pun pembaca buku kecuali secuil di Gramedia. Yah, perjalanan negara ini ke depannya benar-benar sangat suram kalau terus seperi ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar