Hal yang memisahkan kita
sebenarnya
adalah perasaan kesepian yang
mendalam.
- Paul Salopek
Hari esok cahaya terang hidup
mengambang
- Leo Kristi
Sang Mutiara Priangan dari Timur, seperti itulah Tasikmalaya
disebut. Apa benar seindah mutiara? Semenjak perjalanan dari Jogja menuju
Stasiun Tasikmalaya aku pun sudah sangat pesimis. Apakah ada kota yang cukup
layak dan indah di pulau Jawa? Ah, aku bergerak ke arah barat menuju kota Tasik
karena ingin melihat Leo Kristi manggung dan bertemu dengan pak Roman Saragih. Dan
dibalik kedua hal itu, aku ingin melihat kota Tasikmalaya dari dekat. Walau hanya
sebentar.
Sejujurnya,
Bandung saja, yang sering disebut Paris van Java pun terkesan cukup
berantakan. Jika tak ada Belanda di Indonesia, kota tua Bandung atau kawasan
jalan Asia-Afrika, hingga Braga sampai Dago tak akan pernah ada. Kota Bandung
adalah kota bekas. Jadi apa yang dikagumi oleh para wisatawan dan masyarakat
Bandung sendiri adalah kota yang dibuat, dirancang, dan ditata oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda bukan pemerintah Bandung hari ini yang nyaris tak
membangun apa-apa kecuali sedikit. Jika seluruh bangunan tua atau kolonial kota
Bandung dihapus, apa jadinya kota yang dijuluki Paris van Java itu? Apa jadinya
pariwisata di Bandung? Karena saat berjalan di kota Bandung, aku bagaikan
sedang berjalan di sebuah kota yang terpaksa ditinggalkan oleh pihak Belanda. Sebuah
kota bekas yang dipuja yang kenyataannya bukan hasil dari masyarakat Bandung
atau Sunda itu sendiri. Kota kebanggaan masyarakat Sunda yang dibangun oleh
bangsa lain. Dan anehnya dipuja-puja.
Kita sering
memuja sebuah kota yang pada dasarnya bukan kita sendiri yang membangunnya. Dan
anehnya, kita menganggap bahwa kota yang kita puja itu milik kita dan bahkan
termasuk menjadi bagian identitas kita. Itulah ironi Bandung. Sedang,
Tasikmalaya? Salah satu kota terpadat di Indonesia itu?
Kereta Agro Wilis melaju dari
Jogja menuju Tasikmalaya. Melewati berbagai bangunan kumuh di sepanjang jalan. Bangunan
milik penduduk yang sangat berantakan. Kotor. Rusak di sana-sini. Dan sangat
tak enak untuk dipandang.
Entah kenapa,
rumah atau berbagai macam bangunan di sepanjang rel kereta menuju Tasikmalaya,
terlihat sangat berantakan dan semrawut. Kesemrawutan itu sangat terlihat di
sepanjang deru kereta yang sedang melewati sebuah kota atau kawasan sub-urban. Kadang
aku berpikir, apakah kota itu berarti kesemrawutan? Apa tak ada orang
yang bisa membangun kota yang cukup indah dan layak dipandang di negara
ini? Itulah sebabnya, aku lebih senang ketika kereta memasuki area pedesaan,
yang bagiku terkesan rapi, halaman rumah yang sangat bersih, dengan pepohonan
di sana-sini. Seolah-olah, desa yang seringkali diejek oleh banyak orang itu,
mengejek mataku yang kadang bosan duduk di deretan kursi eksekutif yang
ternyata sudah luntur oleh berbagai macam keringat yang menempel di sana-sini. Menghitamkan
busa kursi, dan menampilkan kecenderungan yang merusak imajinasi. Kadang kemewahan
bisa membuat kita bosan setengah mati.
Entah bus
atau kereta, atau apapun itu, yang namanya eksekutif tak akan seperti
yang dibayangkan. Bersih, mulus, mewah, nyaman, atau baru. Eksekutif, di
daratan Indonesia tak ubahnya semacam bekas. Ah, kita memang hidup di suatu
tempat yang penuh ilusi. Berbagai macam hal yang tak sesuai dengan kenyataan
yang ada.
Kereta terus
melaju, menghadirkan keburukan diselingi beberapa keindahan yang dulu banyak
dikagumi oleh para penjelajah dan petualang. Kadang aku menemukan deretan
pepohonan kelapa yang nampak mengagumkan bersandingkan dengan tumbuhan lainnya.
Terkadang ada pohon jati, pisang, singkong, bambu, waru, gelodokan, turi,
petai, talas-talasan, ketapang, mahoni, trembesi, angsana, tanjung, asam jawa,
kresen, tebu, pepaya, durian, cabai, putri malu, berbagai macam jenis
paku-pakuan, cemara, jambu, enceng gondok dan banyak lainnya. Aliran sungai,
pegunungan dan sawah-sawah yang menguning dan terlihat sedang dipanen menemani
perjalananku. Terlalu banyak yang aku tidak tahu dari perjalananku ini. Bagiku sendiri,
perjalanan adalah ketidaktahuan-ketidaktahuan yang kadang harus aku akui.
Ketidahtahuan
kadang membuatku sangat frustasi. Pulau Jawa, adalah pulau yang asing bagiku. Dan
perjalananku telah membuktikan banyaknya ketidaktahuanku. Momok terbesar bagi
warga kota atau anak-anak yang lahir di kota adalah ketika mereka bertemu
dengan orang yang banyak tanya dan ingin tahu. Karena anak-anak hari ini lebih
sering diasuh oleh internet dan gadget dari pada oleh orang tua dan dunia
pendidikan mereka, yang seringkali dunia pendidikan pun membuat anak-anak
menjadi depresi. Sedikit anak-anak dan berbagai macam orang yang terlahir di
sebuah perkotaan tahu lingkungan mereka sendiri. Lalu pendidikan kita
sebenarnya mengajarkan apa? Selain mengajarkan depresi, frustasi, dan air mata
yang jatuh nyaris setiap hari. Pendidikan kita hanya diisi dengan pelajaran
yang cenderung membosankan, dengan pekerjaan rumah yang segunung, ulangan dan
ulangan, dan ketakutan-ketakutan yang nyaris setiap hari menumpuk. Lalu, les,
les, dan ke tempat les. Lalu apa sebenarnya gunanya guru dan sekolah jika
nyaris hampir semua anak sekolah hari ini harus terus berkutat dengan pelajaran
dan pelajaran tanpa ada waktu untuk membaca buku selain pelajaran,
bersenang-senang atau mengembangkan hobi yang ia miliki tanpa harus takut
dengan pelajaran-pelajaran yang terasa bagaikan monster yang membuat siapapun
nyaris tak bisa tidur.
Menjadi anak
sekolahan di Indonesia mirip menjadi tahanan di rumah sakit jiwa atau penjara
paling ketat sedunia. Masa-masa yang membuat siapa saja jatuh dalam kegilaan,
frustasi dan depresi. Karena itulah, generasi hari ini, terlihat sakit secara
jiwa dan keseluruhan, mental. Semenjak lahir, kita sudah dituntut oleh
berbagai hal yang mengerikan. Dan kebahagiaan, adalah kerja keras bagaikan
kerja rodi dan romusha. Dan aku salah satu jenis manusia yang tak bahagia itu. Dan
aku pun berjalan. Dari kota ke kota. Mencari para pembaca buku, pengayuh sepeda
dan mungkin tempat yang akan cukup nyaman aku tinggali.
Sejujurnya
sangat wajar, kalau banyak anak remaja dan muda hari ini tak tahu berbagai macam
jenis pepohonan, satwa, nama tempat, dan lainya sebagainya. Mereka dikungkung
untuk hidup dalam sistem maya internet dan kenyataan yang terpisah dari
lingkungan sekitarnya. Dan aku tak heran, kalau banyak anak sekolahan hari ini
tak tahu apa itu kelelawar dan mungkin burung pipit. Apalagi bekantan, owa,
lutung, atau macaca? Dari harimau sumatra, orang utan, hingga merak dan burung
layang-layang, siapa yang hari ini perduli dengan itu semua? Ironisnya, aku pun
tak tahu banyak jenis hewan. Aku pun buta dengan banyaknya jenis tetumbuhan. Yah,
laki-laki yang ironis memang.
Apakah kebahagiaan
itu seperti yang dikatakan oleh Eric Weiner dalam The Geography of Bliss?
Bahwa "secara tidak sadar kita menggabungkan geografi dan
kebahagiaan." dan apakah Tasikmalaya adalah kota yang cukup membahagiakan
buatku? Yah, mari kita lihat.
Kereta terus
melaju. Berbagai jenis awan terlihat di ketinggian sana. Jendela kaca yang
berubah-ubah menampilkan berbagai macam jenis awan yang kadang indah dan kadang
lucu. Cumulonimbus, Cumulus, Altostrastus, dan awan Stratus
mendominasi langit. Sebuah tanda-tanda yang nantinya akan menuju hujan yang
luar biasa deras. Sesekali terlihat awan tinggi Cirrus dan Cirrocumulus.
Ketika bosan dan lelah, aku membuka buku yang aku bawa, The God Delusion
karya Richard Dawkins yang membuatku mendapatkan banyak kalimat menusuk dan
tajam tapi juga terlalu banyak argumen yang dangkal.
Memasuki Stasiun
Tasikmalaya, hujan jatuh dengan derasnya. Aku pun, selama lebih dari 4 jam,
dari mulai jam 16;11 hingga 20;30an, terdampar di Stasiun sampai pak Roman
datang. Terdampar adakalanya bisa menyenangkan. Tapi terdampar dengan hujan
lebat di Stasiun yang sepi dari manusia, sungguh benar-benar seperti Tom Hanks
di film The Terminal.
Aku telah
memasuki kota yang sering disebut sebagai Sang Mutiara Priangan dari Timur. Aku
telah ada di sini. Tak ada pembaca buku yang aku cari terlihat di Stasiun ini. Dan
yang kutemukan adalah seorang dari Tegal yang sedang berjualan nasi goreng dan
pembeli perempuannya dari Jawa Timur. Lalu ada bapak-bapak yang mengeluh
tentang kemacetan di beberapa tempat di Tasik. Dan sedikit bangga dengan Asia
Plaza, sebagai mall terbesar melebihi yang ada di Bandung, Cirebon atau bahkan
beberapa tempat di Jakarta. Apakah benar memang seperti itu? Aku pun
bersemangat tapi juga ragu. Karena aku berharap akan pergi ke sana, mencari
tahu tentang toko buku yang aku ingin masuki; Gramedia.
Pak Roman
sedang dalam perjalanan ke Tasik. Terserang macet. Di kota-kota yang tersebar
di hampir seluruh Indonesia, terlebih Jawa, kemacetan seolah-olah sedang
mengejek segala bentuk kekayaan secara keras dan terang-terangan. Kemacetan seringkali
membuat aku frustasi. Sekaya, sekonglomerat apa pun seseorang, tak ada yang
tahan dan nyaman dengan kemacetan. Bahkan, orang miskin pun ngeri melihat
kemacetan. Dan ketika baru sampai di sini, kemacetan sudah menjadi perbincangan
di sana-sini oleh orang-orang di sekitar stasiun yang aku temui. Ah, salah satu
kota dengan penduduk terbesar di pulau Jawa ini ternyata tak sanggup terhindar
dari kemacetan. Kemacetan adalah kewajiban yang harus kita sembah setiap hari
dengan nada jengkel, menghina dan seringkali uring-uringan. Dan aku ingin tahu,
seberapa parah kemacetan yang terjadi di kota ini. Walau katanya, kemacetan
berasal dari liburan sekolah dan dari kota-kota lainnya. Yah, yang namanya
macet ya macet. Tak ada tapi dan tapi.
Pak Roman
pun datang dengan taksi bernama Budiman. Budiman? Mungkin taksi yang baik hati.
Tak sombong. Rajin menabung. Tak suka poligami. Dan kami pun sampai di hotel
bernama Crown.
Pertama melihat
pak Roman, aku tak menyangka, gaya pakaiannya terkesan sangat gaul seperti anak
muda. Aku kira akan terlihat seperti kebanyakan bapak-bapak lainnya. Memakai pakaian
yang orang-orang bilang sebagai hal yang rapi; celana panjang. Kemeja. Sepatu dan
seperti itulah arti dari rapi secara umum. Dan yang paling menjengkelkan dari
etika kerapian yang aneh ini, apakah ketika seseorang memakai celana panjang,
sepatu, kemeja, bahkan dasi, jika orang yang memakainya tak terawat, kusam,
banyak jerawat, dan terlihat kumal, masih bisa dibilang rapi? Kata rapi, atau
kerapian di Indonesia seringkali bermakna sangat sewenang-wenang. Kerapian hanya
untuk yang berkulit mulus. Harum. Terlihat gagah, cantik, seksi atau tampan. Dan
bukan dari jenis miskin yang memakai apa pun masih tak akan pernah terlihat
rapi bagi mata-mata yang penuh dengan perhitungan.
Pokoknya aku
telah bertemu pak Roman. Murah hati. Kadang cerewet tapi dengan maksud yang
baik. Dan, berjiwa muda. Katanya, "jiwa tua yang sudah habis di masa muda,"
ungkapan yang menarik. Kami pun tertidur, bercerita, dan menonton televisi,
yang hingga pagi, akhirnya hanya saluran National Geographic. Sedang pak Roman
langsung jatuh tertidur setelah menyeduh kopi dan mie gorengnya. Sangat kecapaian,
wajahnya sangat kelelahan sejak pertama bertemu. Aku menikmati saluran National
Geographic hingga pagi. Sampai tubuh kelelahan.
Mendapatkan
berbagai macam ilmu dan pengetahuan baru. Ada ikan arwana amazon di layar kaca.
Vikuna, Iguana laut galapagos, burung bobby kaki biru dan burung cikalang yang
suka mencuri dan merampok bahkan sesamanya sendiri. Ada harimau sumatra, lutung
kelabu, rusa tikus, buaya air asin, monyet bekantan, burung bangkai atau yang
sering disebut burung nazar tapi bukan penyanyi dangdut atau yang dipenjara
karena kasus suap. Selain itu, saluran National Geography atau Nat Geo Wild dan
lainnya, menyuguhi mataku dengan rusa thomson, singa, cheetah, dan gazzele dari
Kenya. Ada juga hyena. Lalu gabon, kuda nil, kerbau hutan dan gajah Afrika. Ikan
serigala atau wolf fish dari Guyana. Bersamanya ada ikan vampir, lele
jaguar, ikan lele macan, lele biru, piranha hitam, kaiman, anakonda, dan ikan
lele goliath. Dan masih banyak jenis ikan lainnya, kakak merak, ikan lele
berbaja zirah, dan berbagai jenis laba-laba. Dan dunia laba-laba inilah yang
seringkali menarik hatiku.
Dalam sekali
tayang, aku lebih mudah mencerna acara National Geographic dari pada membaca
majalan National Geographic Indonesia. Dan tak butuh lama aku mendapatkan
pengalaman untuk mengenal secara tak langsung laba-laba solifuge, laba-laba
pelompat, laba-laba penjerat, laba-laba golden orb, laba-laba pemancing,
laba-laba lonceng penyelam, laba-laba babun, laba-laba cambuk, laba-laba roda
mas, bark, hingga laba-laba merak yang suka berdansa ketika musim kawin tiba
dan laba-laba mematikan seperti black widow yang terlihat elegan dan tarantula
goliath yang sanggup memangsa burung.
Jika aku
jadi orang tua, aku akan menyediakan saluran National Geographic setiap waktu. Karena
saluran atau majalah itulah yang mengisi kekosongan kita, manusia modern, untuk
lebih mengenal lagi lingkungan kita yang hilang dan pengetahuan kita yang
terpenjara karena sistem pendidikan yang salah arah. Sayangnya, banyak anak UGM
pun, jurusan biologi, merasa enggan untuk sekedar membeli majalah itu. Yah,
membaca buku dan membeli untuk pengetahuan lebih susah dari pada pergi ke cafe
dan berkencan semalaman.
Besok paginya...
Sejujurnya
nyaris tak ada pagi untuk kami berdua. Aku dan pak Roman, menikmati tempat
tidur hingga sekitar jam 10 an. Tiba-tiba ada Leo Kristi dan Istrinya berada di
ruangan yang aku gunakan untuk masuk dan keluar. Pak Roman tampak bingung. Tak ingin
terlihat oleh Leo dan istrinya. Ingin sekali mencari jalan lainnya. Dan kabur
secepat mungkin yang bisa kaki harapkan. Tapi harapan semacam itu tak kunjung
muncul. Harapan tinggalan harapan. Kami pun pusing dan akhir pak Roman nekat
menerobos pasukan. Pasukan itu terdiri dari Leo Kristi dan istrinya. Titi
Manyar. Dan sekumpulan orang yang menjadi bagian dari acara konser rakyat di
Tasik. Secepat kilat kami pun berjalan, pak Roman terlihat menunduk, memberi
salam, berjabat tangan, lalu dengan langkah seribu, kami pun sudah berada di
luar hotel. Mencari makan.
Yah, baru
keluar dari hotel, di depan indomart yang terletak di jl. RE Martadinata, ada
kecelakaan yang melibatkan mobil warna merah dan dua mobil lainnya. Kemacetan pun
terjadi. Kami berdua pun berjalan di sisi trotoar yang remuk di sana-sini. Melangkahkan
kaki, dengan panas yang menyengat, bertanya tempat makan khas sunda atau tasik
kalau ada, dan orang tua yang ditanyai ternyata menyesatkan kami di jalan Mitra
Batik yang tak ada apa-apa kecuali perempatannya dipenuhi oleh berbagai jenis
kendaraan yang berjalan suka-suka. Warung. Ruko yang tampak kusam. Toserba yang
dipenuhi berbagai jenis orang yang kebanyakan ibu-ibu. Dan berbagai penjual
makanan dengan gerobaknya di sana-sini. Sangat khas Indonesia. Yah, tentunya
macet adalah kewajiban setiap kota di Indonesia. Tak perlu ada kecelakaan atau
tabrakan, kemacetan membuat siapa saja yang ada di jalan raya menjadi gila. Dan
logika yang memuat etika, sopan santun, dan segala jenis aturan pun seakan sirna.
Ingat;
kemacetan dapat membunuhmu. Membuatmu frutasi. Gila. Marah-marah. Dan membuat
segala bentuk kemewahan kendaraan jadi percuma. Kemacetan, membuat orang
beriman pun benar-benar susah menjaga keimanannya yang sopan dan santun. Sejujurnya,
teroris pun kalah telak dengan jumlah kengerian dan tekanan emosi yang
diberikan oleh jalanan di berbagai macam kota di Indonesia.
Lalu kami
pun berbelok arah, ke kiri, atau ke timur, berjalan kaki menuju nama tempat
makan yang susah diucapkan. Tepatnya di jalan Cipedes 2 dan papan nama yang
bertuliskan Balakecrakan. Kata-kata yang memang membuat kuping yang
pertamakali mendengarnya terasa suram dan lidah menjadi salah tingkah. Yah,
akhirnya kami berdua masuk, mengambil nasi, lauk-pauk, sambal, dan
melihat-lihat sekeliling. Sesekali mengambil gambar. Pak Roman yang katanya
sedang diet, eh, tahunya, sudah melahap habis nasi yang ada. Sementara aku
sendiri baru memulainya. Luar biasa. Aku pun geleng-geleng kepala dibuatnya.
"diet
mas arah. Baru bilang diet kalau sudah habis dimakan," sambil tertawa
lepas dengan tingkah kekanak-kanakan. Dan itulah yang membuat keberadaan pak
Roman menarik dan nyaman untuk anak muda semacam aku. Yang kadang, susah
memakai etika gaya lama.
Ketika mata
melihat sekeliling, tiba-tiba pak Roman berbicara mengenai beberapa benda kuno
yang ada di dinding warung ini. Yah, dekorasi atau interior warung makan khas
sunda ini diisi dengan barang-barang dapur atau rumah tangga yang cukup klasik.
Dan bagiku sendiri, serta pak Roman, sangat tak terasa asing. Ada teko,
berbagai macam gelas, tempat nasi, dan macam-macamnya yang mengingatkan aku di
masa kecil. Semuanya terbuat dari seng, besi, atau alumunium. Cukup banyak
orang yang mampir dan melahap makanan untuk ukuran warung yang baru dua tahun
buka. Tapi sayang, tak ada pembaca buku yang aku lihat. Sementara mobil nyaris
memenuhi lahan parkir yang sejatinya bernama aspal jalan atau dipaksakan hingga
hampir mencapai beranda. Kelak, mungkin kita harus memiliki ide parkir yang
unik dan kreatif untuk menyiasati suasana parkir yang begitu mengerikan. Membuat
mobil yang bisa dimasukkan ke dalam koper atau semacam mobil lipat. Dan bisa
juga dilarang memakai kendaraan jika ke tempat makan. Mungkin terdengar konyol.
Tapi apa boleh buat. Dilema parkir Indonesia memang bisa membuat siapa saja
pusing dan memilih gantung diri. Menyeberang jalan di kota-kota Indonesia pun
bagaikan sedang ingin bunuh diri secara sadar.
Setelah kenyang,
kami pun berjalan, dari jalan Cipedes 2 lalu belok ke kiri, melewati jalan
Cipedes Paledang yang berisikan rumah-rumah separuh kuno dan modern yang
terlihat tak begitu rapi hingga sampai di jalan RE Martadinata tempat
kecelakaan yang tadi kami berdua lihat. Tap tap tap. Kami melangkah lagi
setelah pak Roman memasuki Indomart. Di Tasikmalaya, Indomart sangatlah langka.
Di sepanjang jalan, terdapat berbagai macam pohon dari mulai Mahoni, Kuncup
Merah yang aku tahu dari penduduk setempat, dan beberapa jenis pohon lainnya. Kami
berdua pun akhirnya sampai di hotel, kembali lagi melewati Leo Kristi dan
lainnya dengan agak malu-malu dan kaki dilangkahkan sepanjang mungkin.
Lalu,
selang beberapa waktu, aku pun dengan perasaan sedikit was-was, meminta
tanda kepada Leo Kristi yang sedang sibuk dengan corat-coretan lagu yang tengah
dipersiapkannya. Lalu segera kabur dan masuk ke kamar hotel seolah-olah habis
memenangkan semacam olimpiade.
Sekitar jam
11;-an lebih, kami pun kembali tidur. Hibernasi. Tidur lagi dan lagi. Bangun sebentar.
Tidur lagi. Bangun. Eh tidur lagi. Terus seperti itu hingga jam 16;-an dan
gerimis kembali jatuh di atas bumi Tasik.
Bangun,
mandi, dan bergegas menuju gedung kesenian atau tempat acara akan dimulai. Dan becak
yang kami naiki, berjalan bagaikan gajah yang sedang terserang sembelit, atau
kutu yang berlari sekuat tenaga, dan bekicot yang berjalan tanpa rasa berdosa. Dan
kursi duduk becak pun nyaris habis untuk satu bokong pak Roman saja. Sungguh menakjubkan.
Dua orang, yang beratnya mungkin bisa lebih dari 1.5 kwintal, dikayuh oleh
orang tua yang berusia sekitar 70an. Becak pun bergerak. Bergerak. Pelan. Sangat
pelan. Benar-benar pelan. Luar biasa pelan. Hingga aku berpikir, ini sebenarnya
naik becak atau sedang menyaksikan waktu yang bergerak lambat?
Kami pun
memasuki jalan Dr. Sukarjo. Seorang tokoh perintis berdirinya rumah sakit
pertama di Tasikmalaya dan sebagai dokter dengan kewarganegaraan Indonesia
pertama di kota itu. Yang sayangnya, nama jalan dan kenyataan yang ada di jalan
itu sendiri tak sesuai. Dengan waktu yang seolah bergerak lambat. Bangunan tua
di sana-sini. Kusam. Kumuh. Berantakan. Jalanan sangat padat. Lalu melewati
Masjid Agung yang biasa-biasa saja. Terus berjalan, pelan, yakinlah, benar-benar
pelan. Memasuki kawasan yang nampak mengerikan. Seperempat jalan dipenuhi
dengan berbagai jenis mobil dan sepeda motor. Becak yang kami naiki pun
terseok-seok dilewati oleh berbagai jenis kendaraan bermesin. Keramaian yang
benar-benar berantakan berada tepat di jantung kota, yaitu jalan HZ Mustofa. Tokoh
agama paling terkenal di Tasikmalaya, yang lagi-lagi, kenyataan jalannya tak
sesuai dengan agama yang dianut oleh tokoh masyarakat itu. Jadi, di Indonesia,
nama tempat atau jalan, seringkali mengingkari kenyataan yang ada. Ini sungguh
terjadi. Benar-benar terjadi. Percayalah. Percayalah.
Kami pun
melewati berbagai macam bangunan tua yang rusak di sana-sini. Trotoar yang
diambil alih oleh perluasan pedagang kaki lima. Dan kendaraan bermesin yang
mirip semut merayap di sana-sini. Sampah. Sampah. Sampah di mana-mana. Macet. Becak
bergerak sedikit. Macet lagi. Becak yang mirip keong ini, dengan dua penduduk
di depannya yang berat badannya mengagumkan, dan orang tua yang hampir
mendekati jompo, bagaikan sedang bergerak di arus waktu yang benar-benar
lambat. Sangat mirip dengan cerita-cerita di science fiksi. Dan sungguh,
menurutku, wajah kota ini begitu mengerikan dan juga menyesatkan. Nama tak
sesuai kenyataan. Julukan kota yang jauh dari kata benar. Dan keindahan yang
nyaris tak mungkin. Kota yang pernah menjadi sangat penting bagi Jawa Barat dan
pergerakan nasional Indonesia ini sekarang begitu kumuh dan seakan habis
ditinggalkan dari semacam peperangan. Apa ini Sang Mutiara Priangan dari
Timur itu?
Lalu,
terdengar alunan musik dangdut yang membuat aku tersenyum-senyum sendiri. Pak
Roman menganggap aku tiba-tiba antusias mendengar musik itu. Dalam artian
banyak, aku cukup kenal dengan nada dan dunia dangdut. Karena sejak kecil, di
sekitarku, musik itu yang sering diputar berulang-ulang. di radio, televisi,
pengeras suara, atau ketika ada orang sedang hajatan. Tapi aku lebih menyukai
dangdut melayu yang bagiku seolah mirip puisi dan memiliki ciri khas yang unik.
Dan sayangnya, musik yang digaungkan oleh Rhoma Irama itu, harus rela ditulis
oleh orang asing bernama Andrew N. Weintraub dengan bukunya, Dangdut; Musik, Identitas, dan Budaya
Indonesia. Sangat disayangkan memang. Seolah-olah kita tak mampu mengenal
dan menghargai apa yang kita punyai.
Dulu aku
pernah berceloteh dengan temanku karena lirik-lirik dangdut populer seringkali
sangat vulgar. Bahwa jika kamu ingin mengenal kondisi ekonomi, kejiwaan,
mental, psikologis, dan kenyataan sehari-hari kelas menengah-bawah, pahamilah
lirik dangdut populer. Akan ada perihal candu. Cerai. Hamil diluar nikah.
Perselingkuhan. Judi. Kebobrokan sosial. Kemiskinan. Kawin lari. Poligami.
Keretakan dan kekerasan rumah tangga. Sex bebas. Dan banyak lainnya. Hanya di
dangdutlah, kenyataan itu diungkapkan dalam lagu-lagu yang akan dinyanyikan
oleh banyak orang. Akhir-akhir ini pun, kenyataan kelas atas pun terdengar
nyaring lewat dangdut. Ketika dangdut semakin dikomersilkan dan kini masuk ke
dalam pendengaran dan ruang keluarga orang-orang kaya dan kelas atas Indonesia.
Buku Andrew N. Weintraub, juga mengungkapkan hal semacam itu. Hanya saja, aku
tak menyukai dangdut populer. Sama halnya aku tak menyukai lagu pop mainstream.
Tapi lirik dangdut, sering aku gunakan untuk menilai suatu kondisi sosial yang
ada.
Becak pun
berbelok ke kiri, di jalan Penyerutan, dan ketika berada di jalan Tentara
Pelajar, kemacetan seolah-olah sudah menjadi tradisi Indonesia baru. Akhirnya,
sampailah kami di Gelanggang Olahraga Dadaha, dengan rimbun pohonnya, dan
lagi-lagi sampah di sana-sini. Apa ada kota yang tak bebas dari sampah? Bebas
sampah, apakah hanya semacam utopia?
Akhirnya sampai
juga kami di gedung yang menjulang tinggi dan terlihat angker, kusam, dan
seolah hendak roboh. Namanya Gedung Kesenian Tasikmalaya. Entah kenapa, yang
namanya gedung kesenian selalu saja terlihat mengerikan dan tak terawat dengan
benar. Gedung yang entah masih dipersengketakan oleh pihak pemerintah kabupaten
dan kota itu, benar-benar terlihat menakutkan. Dan ternyata, ketika aku
melihat-lihat sejenak, memang gedung kesenian yang benar-benar remuk dan tak
layak pakai. Kadang aku pikir, apakah setelah Belanda meninggalkan Indonesia,
kita tak bisa membuat sebuah kota yang cukup layak, indah, dan mungkin agak
mengagumkan? Atau bangunan yang cukup bisa mengistirahatkan jantung sejenak?
Singkat cerita.
Cipika cipiki. Dan yang paling berkesan adalah gayanya seorang Albert Go,
benar-benar mirip yakuza. Seolah-olah aku sedang melihat semacam tokoh di layar
televisi. Lalu makan di rumah singgah. Ngobrol panjang lebar dengan pak Roman,
Narto, dan pak Bambang. Hujan turun. Deras. Sangat deras. Hingga seolah-olah
menenggelamkan tempat yang kini mirip sungai. Hujan membuat kami agak ragu akan
banyaknya orang yang nantinya datang. Tapi untungnya, hujan mulai mereda. Genangan
air yang menenggelamkan roda sepeda motor matic dikarenakan aliran air yang
terhambat. Kami pun berjalan menuju Gedung Kesenian. Cepat-cepat ingin
menyaksikan Leo Kristi manggung.
Aku dan
pak Roman pun akhirnya memilih tempat duduk di depan, sisi barat. Mengobrol
dengan orang-orang yang ada di samping badan kami. Di sebelah kananku, terdapat
seorang bapak, yang tak salah Deddy Wahyudi. Kadang kita saling mengobrol dan
singkat cerita, kandung kemihku menjerit. Aku pun lari sekencang mungkin mencari
toilet. Dan, setelah di toilet, ternyata konser sudah dimulai. Aku pun
terburu-buru, kembali ke dalam, menyaksikan sesosok Leo Kristi yang dikagumi
oleh banyak orang. Terutama Pak Roman, yang seolah-olah Lombok-Jawa seluas peta
yang ada di kertas-kertas.
Dan benar
saja, mungkin Leo, adalah salah satu orang yang benar-benar paling menarik
setelah kedatangan Alif Naaba, pemusik asal Afrika, ke Indonesia lewat
Institute Francais Indonesia beberapa bulan yang lalu. Sejujurnya, aku jarang
sekali mengagumi sebuah konser. Banyak konser yang aku lihat terasa menjemukan
dan biasa saja. Tapi Alif Naaba, dengan gaya musik etniknya yang khas, dengan
gerakan tangannya serta keinginannya untuk berkomunikasi dengan pentonton,
mampu menyihir dan membuat suasana jadi hidup dan meriah. Dan, kali ini, aku
melihatnya lagi di sosok tua dengan tubuh tegap, kencang, berisi, dan
benar-benar membuatku malu; Leo Kristi. Yah, jelaslah, dilihat dari jauh saja perut
pak Roman bagaikan hamil 3 bulan. Saat aku melihat perutku sendiri, astaga,
tanda-tanda buncit pun hampir menguasaiku. Sakit terus menerus membuat tubuhku
semakin membengkak. Dan ketika menyaksikan sendiri sosok Leo Kristi melantunkan
lagu-lagu kebangsaan ketika diatas panggung, keberadaanku sebagai orang muda
terasa benar-benar dipecundangi.
Aku nyaris
tak habis pikir, sosok setua itu, memiliki kegigihan, daya tahan tubuh,
kreativitas, dan kegairahan layaknya anak muda. Ketika di panggung, seolah-olah
bagaikan hidup walau kadang diselingi dengan kata-kata yang terbata-bata ketika
ingin menjelaskan sesuatu. Saat kata-kata kesulitan keluar dari mulutnya. Musik
beserta alunan nada mampu mendorong keluar segala yang ada dalam dirinya. Dan sungguh,
aku tak habis pikir, entah 20 atau 30 lagu telah dinyanyikan, nyaris tanpa putus
kecuali diselingi oleh keinginannya untuk berbicara dengan penontonnya yang
nyaris hampir mirip sebuah keluarga besar yang sedang berkumpul bersama. Aku
nyaris tak pernah melihat konser semacam itu. Semua konser yang aku lihat,
hanya setelah membawakan beberapa lagu saja, para vokalisnya sudah kewalahan
dan terlihat sangat kelelahan. Orang ini, orang setua itu? Benar-benar membuat
malu siapapun yang mengaku dirinya muda. Termasuk diriku ini; penonton yang
menggeliat kesana-kemari. Bokong yang tak bisa diam. Punggung yang sudah
merasakan nyeri kesakitan padahal duduk hanya beberapa menit saja. Untuk hal
ini, aku kalah telak. Benar-benar telak.
Sebagai anak
muda yang lahir di era akhir abad tahun 80an, tepatnya 1989. Aku lebih kenal
dengan Efek Rumah Kaca, Dialog Dini Hari, Sisir Tanah, Tigapagi dan lainnya. Musik-musik
yang bagiku sendiri, menyelamatkan anak muda semacam aku, dari konsep musik
populer yang dangkal. Atau ketika masih kecil dengan sosok Gombloh, Ebit, Iwan
Fals, Roma Irama dan musik melayu yang sangat khas. Jadi, entah kenapa,
generasi pemusik modern, aku akui, memiliki kelemahan mendasar perihal ciri
khas dan penampilan di saat konser. Tak banyak kulihat pemusik yang memiliki
ciri khas yang benar-benar menonjol di dalam tarikan suaranya, lagu-lagunya,
nada-nada mereka, dan ketika mereka sedang menggelar konser pun cenderung mudah
kelelahan.
Sejujurnya
tak mudah mendengarkan musik dari Leo Kristi. Terlebih bagi mereka yang selalu
menyukai musik populer atau kupingnya terbiasa dengan nada-nada mainstream yang
nyaris tak berubah dan datar-datar saja. Tentunya dengan lirik-lirik yang
sialan dan membuat kepala pecah berantakan. Coba bayangkanlah, sejak aku kecil
hingga sekarang ini, musik pop Indonesia mirip sinetron yang diputar seribu
kali hingga akhirnya membuat siapa saja bisa terkena gagal ginjal. Lirik-lirik
yang bahkan bayi yang baru lahir pun bisa mengucapkannya. Dan orang mati pun
kemungkinan akan hidup kembali karena terkejut heran. Bahkan filsuf Heraklitus
pun mungkin akan menangis histeris. Dan Plato pun mungkin akan gantung diri
dibalik gua gelapnya. Socarates, seandainya masih hidup dan berkenan
mengunjungi dan tinggal di Indonesia, akan memilih mati lebih cepat tanpa harus
ada paksaan sekalipun. Hannibal seandainya ada, karangan Thomas Harris, akan
gila dalam waktu kurang lebih sepuluh menit. Dan Winston dalam novelnya George
Orwel akan langsung terkena migran tanpa harus menunggu adanya big brother yang
mengawasinya. Sementara Ki Hadjar Dewantara akan depresi jika ia masih hidup. Yah,
suara mayoritas terkadang tak enak untuk didengar. Kata ‘kebanyakan; seringkali
menghasilkan keburukan yang berulang-ulang. Tak selamanya, yang banyak itu
baik.
“noh, lagu
lu tuh,” kata Pak Roman.
Lagu itu Sayur Asam Kacang Panjang, lagu
kesukaanku. Kata pak Roman, lagu itu jarang sekali dibawakan. Dan malam ini
adalah malam keberuntunganku. Aku pun mengikuti alunan lagu. Kegirangan. Entah
kenapa, ada aura kuat untuk mengikuti setiap lagu yang dibawakan. Aku tengok
kanan-kiriku. Pak Roman yang kadang tangannya menyembah ke atas lalu ke bawah
lagi. Perempuan muda, Katy, yang bergoyang-goyang sendiri. Dan banyak lagi yang
mirip kerasukan. Aku lihat banyak yang terlalu letih hingga jatuh tertidur dan
lain sebagainya. Tapi, walaupun begitu, masih terdengar suara antusias dalam
mengiringi lagu-lagunya Leo. Bagi orang yang baru pertamakali, atau tak
terbiasa mengikuti konser Leo, mungkin akan heran dengan keakraban yang aneh
dan seolah tak berjarak. Sedikit konser yang rasanya senikmat ini.
Kalau
tak dihentikan atau ada batas waktu, mungkin akan terus berlanjut hingga pagi
hari. Padahal Titi Manyar sudah terlihat kelelahan dan ingin segera berhenti. Dalam artian membutuhkan istirahat sejenak dan pasti akan lanjut lagi. Konser
yang menakjubkan. Leo Kristi memiliki suara yang khas. Lengkingan yang unik.
Dan nada-nada mulut yang tak aku temukan di pemusik lain. Benar-benar beda.
Keberuntunganku terletak bahwa aku juga menyukai jenis musik folk, balada,
etnik, pop indie, country, sedikit blues dan jazz, hingga hard rock. Itulah
yang membuat aku mudah masuk dan menyukai lagu-lagunya. Walau kadang butuh
proses di lagu-lagu tertentu. Dan yah, aku salah seorang pendengar musik yang
terlalu pemilih. Musik yang terlalu biasa-biasa saja tak terlalu menarik
minatku.
Jam
22;39, konser pun berakhir. Hampir 4 jam. Mengesankan. Lalu, kami berdua, aku
dan Pak Roman, naik ke atas mobil bersama bu Linda dan Titi Manyar. Di dunia, masih banyak orang baik yang aku temui. Tak lama
kemudian, mobil berhenti di bangunan berbentuk strawberry. lebih tepatnya Asstro. Aku kira akan
langsung ke hotel. Tak apalah. Dan kami pun masuk. Berbondong-bondong. Memesan makanan yang lamanya membuat frustasi.
Di
Indonesia, kemewahan itu bisa menyebalkan. Membuat frustasi. Dan sangat
melelahkan. Pak Roman saja terlihat jengkel. Titi Manyar geleng-geleng kepala.
Dan yang lainnya terlihat pasrah dan seolah berhenti berharap. Baru satu
setengah jam kemudian, makanan terlihat. Hanya terlihat lauk pauknya. Nasinya?
Yah, nasinya masih menunggu. Benar-benar rumah makan yang bisa membuat gila.
Setelah nasinya tiba, datanglah rombongan lainnya. Yang menunggu makanan nyaris
gila. Sedangkan yang menyediakan makanannya nyaris depresi. Tengah malam, lebih
dari 30 orang memesan ini dan itu. Sedangkan pelayannya tinggal beberapa biji.
Mungkin kami adalah mimpi buruk bagi mereka.Dan mereka mimpi buruk bagi kami
semua. Setelah selesai makan, foto bersama lalu menuju tempat masing-masing. Malam
yang benar-benar melelahkan.
Aku
dan pak Roman pun akhirnya jatuh tertidur. Bangun jam 09;23, mandi, beres-beres
lalu mengantar pak Roman menuju terminal dengan taksi budiman. Taksi yang baik
hati. Rajin menabung. Menghormati ayah dan ibu. Menyanyangi teman. Rajin ke
sekolah. Itulah taksi yang budiman.
11;35,
taksi pun datang. Baru masuk, dan taksi baru saja bergerak, lampu merah sudah
menghadang. Di pinggir jalan terlihat banyak pohon Asam Jawa dan Angsana.
Banyak juga rumah lusuh dan berantakan. Grafiti tak jelas. Aku rasa kota ini
memang sudah tak jelas. SMPN 5. Masjid Baiturrahman. RS Bunda Aisyah. Dan
sampailah di terminal Primajasa.
Sebelum
berangkat kami pun makan di makanan khas sunda, Rumah Makan Cibieuk. Memesan ayam
bambu, tahu, sambal, dan lainnya. Entah kenapa, seandainya kami berdua ikut
lomba makan, entah makan kerupuk atau apalah itu, pasti pak Roman akan selalu
jadi juara. Aku baru saja makan dan habis separuh, isi piring pak Roman sudah
habis. Setelah itu, “diet mas arah. Diet.” Sambil ketawa dan cengar-cengir
seeperti biasanya.
Pak
Roman lah yang membawakan virus LK ke dalam otakku. Menghujaniku dengan
berbagai macam lagu Leo Kristi sampai aku kewalahan. Saat pertamakali aku lihat
video Leo Kristi, aku anggap luar biasa unik. Karena sangat banyaknya lagu, aku
pun kebingungan harus mendengarkan dan memilih yang mana untuk dihayati lebih
dulu. Akhirnya, ada beberapa lagu yang langsung aku suka. Sementara yang
lainnya membutuhkan beberapa kali didengar untuk bisa aku nikmati.
Seorang
baik yang langka di dunia yang penuh dengan egoisme ini. Itulah pak Roman.
Rendah hati. Enak diajak ngobrol. Dan menyenangkan untuk menemani tertawa
berempati dengan orang lain. Dan bagaikan sosok orang tua yang menenangkan.
Mungkin karena aku tak memiliki sosok orang tua yang mampu aku ajak bicara. Pak
Roman kadang bagaikan pengganti sosok itu. Yang
kadang cerewetnya minta ampun tapi dengan maksud baik. Sosok yang akan
disukai oleh banyak anak-anak. Terlebih anak muda yang mudah gelisah dan setiap
hari tak berhenti berpikir semacam aku.
Akhirnya
pak Roman pun naik bus Primajasa menuju Jakarta. Sedangkan aku memilih naik
angkot putih dengan nomor 05 dari jalan RE. Martadinata. Inilah waktunya
benar-benar mencari tahu, apakah kota ini layak dijuluki Sang Mutiara Priangan dari Timur?
catatan; tak semua orang dan peristiwa serta kesan aku tulis di sini. dan yang paling membingungkan adalah memakai penggunaan nama dan cara memanggil seorang tokoh. semisal, cukup Titi Manyar atau nenek Titi. aku rasa, panggilan nenek terasa tak enak dan menyenangkan. seperti Leo Kristi atau paman Leo, kakek Leo? coba bayangkan memanggil Leo Kristi dengan kakek Leo. benar-benar luar biasa aneh. untuk alasan khusus, penggunaan nama panggilan hanya menggunakan Leo Kristi dan Titi Manyar. tak ada nenek dan kakek di dlamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar