Kamis, 14 April 2016

JOGJA; SUASANA BARU DAN SUASANA LAMA











kota berubah dengan cepat.
diperbaiki dalam waktu yang sangat cepat dan rusak dalam kadar yang sama cepatnya. dan bagi para pejalanan kaki, atau mereka yang sangat suka mengamati, entah itu para penulis dan peneliti, kota selalu sukar untuk ditangkap. itulah hal yang paling menjengkelkan dari sebuah kota untuk orang-orang tertentu. aku juga jengkel dibuatnya.

beberapa waktu yang lalu, ketika aku berada di suatu tempat, melihat sesuatu dan menuliskannya, mungkin hari ini suatu tempat itu sudah berubah total dan tak lagi sama. hal semacam itu, membuat tulisan yang lalu nampak usang seketika. walau ada kadar tertentu dari rekaman akan masa lalu, tapi ada yang tak lagi ditangkap hari ini jika ingin disandingkan dengan masa depan atau yang sekarang. begitu juga dengan Jogja yang sedikit berubah.



hari ini, 14 april, aku ke perpustakaan Grahatama pustaka, di dekat gedung JEC, dan menikmati membaca di sana. petugas perpustakaan yang otaknya bukan pustakawan. selalu begitu. di Indonesia, yang namanya pustakawan murni dan cukup tahu buku itu langka. Negara ini benar-benar sedang krisis pustakawan. dan krisis perpustakaan yang bagus dengan isi yang lumayan.

perpustakaan yang, aku katakan, cukup layak tapi tak terlalu bagus. karena semuanya seolah serba terburu-buru. dari cat yang tak sempurna. internet yang ala kadarnya. stop kontak yang rusak. toilet yang gagang pintungnya menghilang entah dimana. tempat duduk yang berderit-derit dan beberapa sudah tak nyaman. penutup jendela kaca yang kabur entah kemana. hujan yang tumpah dan merembes di beberapa tempat. lahan parkir yang berdebu dan berkerikil. tangga yang ubinnya mengelupas. hingga loker yang kadang susahnya minta ampun untuk dibuka. dan, yah, masih banyak yang lainnya. kebaruan yang dipaksakan dan begitulah hasilnya.

walaupun begitu, ada banyak sofa yang cukup nyaman dan ruangan yang bersih dan enak untuk membaca. buku-buku yang cukup layak walau tak terlalu lengkap. dan yang sangat disayangkan, kenapa pihak perpustakaan atau pemerintah selalu memperkerjakan seorang yang otaknya nyaris tak mengenal buku sama sekali? sebegitu langka dan nyaris tak adakah para perpustakawan dan perpustakawati yang sebenarnya? yang bukan abal-abal? sial, sayang, aku juga memiliki teman, yang dulunya mengambil jurusan perpustakaan dan kini dia sedang mengelilingi Indonesia, dan apa hasilnya? tulisannya biasa-biasa saja. nyaris sisa kepustakawannya hampir tak membekas.

aku pun mencari tempat duduk. bersandar di onggokan hijau yang menggelembung dan cukup nyaman untuk punggung. mengeluarkan buku dari tas, Catatan Pinggir 8 dari Goenawan Mohamad dan bukunya sendiri. lalu mulailah aku membaca dan menemukan kesalahan dalam buku Goenawan di halaman 66, Grand Canyon. Goenawan dalam tulisan itu mengutip ilmuwan yang mengatakan bahwa bumi berusia 4.5 triliun tahun. aku tak tahu ini kesalahan cetak atau Goenawan memang lupa? atau mungkin ini Ilmuwan lainnya dengan metode pengukuran yang berbeda? yah,setidaknya, secara umum, umur bumi itu antara 4.5-4.6 miliar tahun. tidak sampai triliun. bahkan semesta ini hanya berusia sekitar 13.75 miliar tahun saja. entalah, mungkin Goenawan sudah tua. atau perlu mempertebal kaca mata. tapi, hari ini, aku cukup menikmati tulisannya. yah, hanya cukup. karena bagiku, lebih menggigit Catatan Pinggir yang dulu-dulu.



beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 9 april, aku memutuskan meninggalkan motorku di perpustakaan kota dan menuju halte Trans Jogja. suasana buruk membawaku ingin menikmati membaca di dalam bus dan melihat dalam sudut pandang yang berbeda. sudah sering aku membaca di dalam bus. dan aku benar-benar menikmatinya. tapi kali ini benar-benar menyebalkan. dulu juga menyebalkan tapi sekarang lebih menyebalkan lagi.

bayangkanlah, dari jalan Cik Di Tiro, dekat Gramedia Sudirman hingga ujung Gejayan atau Jalan Affandi hingga ring road utara atau masuk ke Condong Catur, membutuhkan waktu hampir satu jam! baru saja naik bus, macet menghadang di sekitar bundaran UGM. lalu macet lagi ketika mendekati perempatan jalan Colombo dan akhirnya bus seolah tak bergeming di jalan Gejayan. sampai di Condong Catur benar-benar sudah membuat siapapun yang mengejar waktu menjadi gila. jika transportasi umum semacam ini, mau bagaimana orang meninggalkan kendaraan pribadinya yang memacetkan jalanan Jogja?

akhirnya, aku memutuskan untuk terus menaiki bus ini tanpa harus pindah lebih dulu. dan dari jalan Cik Di Tiro sampai di halte bandara Adi Sutjipto, senja turun dan suara adzan hampir berkumandang. hampir dua jam perjalanan dengan jarak sedekat itu! benar-benar gila! seandainya aku dari jalan Sudirman ingin ke Toga Mas di jalan Affandi saja, membutuhkan waktu satu jam, itu benar-benar pemborosan waktu, tubuh, dan segalanya. itulah yang membuat orang-orang lebih suka dengan motor dan mobilnya. tapi, pemborosan waktu itu akan sangat nikmat jika kita sedang malas-malasan. menghabiskan waktu untuk melihat sebuah kota yang berbeda sudut pandang atau seperti diriku, membaca sebuah buku dan menghilangkan penat atau kebosanan yang menumpuk.

dan entah kenapa, ada perasaan yang menggebu ketika melihat trotoar jalan Affandi. kelak aku akan berjalan kaki di trotoar itu hingga ke ujungnya. ketika sedang berada di dalam bus, dunia seolah berubah. Jogja tak terlalu horor. seolah-olah sampah dan yang lainnya lenyap. dan bangunan-bangunan agak cukup layak untuk dipandang tapi tak benar-benar layak. dalam artian banyak, bus membawa kita pada ilusi atau sudut pandang baru. sama halnya dengan mobil atau motor. dan ketika menaiki bus sambil membaca, kenyataan yang aku rasakan tak berubah; macet. entah mau naik bus, delman, mobil, atau sepeda, macet akan menghadang siapa saja.

saat bus berhenti di lampu merah ring road utara, di kaca jendela sebelah kanan, aku melihat dua bapak yang umurnya cukup tua, mengayuh sepedanya dengan tertatih-tatih di tengah himpitan motor dan mobil yang membeludak. pertanyaannya, kapan sepeda akan punah di kota ini? oh bukan, sepeda tak akan punah. kapan pesepeda yang sebenarnya punah dari kota ini?

aku membaca The Revenant karya Michael Punke. buku bagus. tapi lebih bagus film yang disutradarai oleh Alejandro G Inarritu. dalam artian banyak, buku dan film cukup berbeda. film The Revenant hanya mengambil beberapa bab awal dalam buku karya Punke. tapi, aku menyukai keduanya. sebuah buku dan film yang layak aku puji dari sekian banyak hal yang membosankan. ah, sejujurnya, aku kesusahan untuk memuji sebuah buku atau pun film. dan jalanan semakin nampak gelap dan lampu-lampu pun berkelebatan di sana-sini.

Jogja Berhati Nyaman? huhf, jengkel itu iya.

setelah menunggu lama di halte Adi Sutjipto dan menahan keinginan kencing yang mengerikan. akhirnya bus ke arah perpustakaan Grahatama pun tiba. aku pun langsung masuk. cukup lancarThe Revenant walau agak tersendat dan tibalah aku di perpustakaan yang sudah cukup sepi. entah sudah berapa kali aku ke perpustakaan itu. dan inilah kali kedua di waktu malam aku sampai di sini.

aku menikmati waktu di perpustakaan lalu muncullah pemikiran untuk berjalan kaki dari ujung selatan ke ujung utara Malioboro. aku pun keluar dari perpus menuju jalan Janti, memasuki halte dan menunggu dengan agak bosan. benar-benar kedatangan bus yang lama. jadi, jangan pernah menaiki bus Trans Jogja jika lagi terburu-buru. selain jalan macet, lama, bahkan kadang seolah bagaikan tak datang. seolah sedang menunggu hantu.

kota ini tak memiliki transportasi publik yang layak. bahkan susah sekali mencarinya. ada yang baru, Gojek, tapi mahal. masih ada becak. tapi apa iya, becak mau mengantarkan kita dari Malioboro ke Prambanan? sedangkan taksi? yah, bus saja susah gerak apalagi taksi. kecuali di saat jalan cukup sepi, itulah pilihan yang rasional. tapi ketika jalanan memasuki kondisi terpadatnya, itu keputusan sinting.

dan sampailah aku di halte Taman Pintar. lalu berjalan kaki sebentar menuju 0 km. suasana sangat ramai. baiklah, apa ada pembaca buku? yap, oh ternyata, masih tak ada. dan aku lihat berbagai macam orang sibuk berfoto ria. burung gagak yang harusnya di alam liar dan dilindungi, merelakan waktunya untuk membiayai kehidupan tuannya. begitu juga reptil dan ular, dari Sanca Bodo biasa hingga Sanca Bodo Albino, yang seharusnya ada di hutan. sejujurnya, pencita binatang itu musuh terbesar binatang. entah sudah berapa banyak yang mati oleh mereka yang mengaku mencintai binatang?

aku pun duduk di besi pengatur lalu lintas pejalan kaki. lebih tepatnya untuk difabel. membuka buku. membaca. dan seolah, akulah satu-satunya yang membaca di situ di sebuah kota yang terdiri dari banyak orang terpelajar. sebuah ironi. benar benar ironi.

lalu aku pun berjalan menuju utara dalam lajur pedestrian yang sesak tapi mulai menyenangkan dan terasa lebih luas dan lega. motor-motor sudah dienyahkan. para petugas berjaga-jaga di sekitar jalan ini. dan sayangnya, dengan lalu lintas yang sangat padat dan meresahkan pejalan kaki. Jogja masih belum memiliki jembatan penyeberangan. sebuah keanehan bagi kota yang padat dengan turis dan pelajar. dan Jogja juga belum memiliki banyak tong dan tempat sampah. masih banyak sampah di sana-sini. seperti biasa. susah untuk dihilangkan. setidaknya aku mulai menyukai pedestrian sisi timur Malioboro. saat berjalan kaki di malam hari, suasana begitu berbeda. setidaknya, aku suka. tak terlampau buruk seperti yang kemarin ketika segenap parkir seolah bagaikan bom dan ranjau saja.

akhirnya, aku sampai di ujung jalan dan melihat ada kursi-kursi dari batu dan kayu. ah, keberadaan yang sungguh tepat. tak perlu dijelaskan, aku pun duduk berlama-lama di salah satu kursi, dan membaca. mengamati orang-orang yang lewat dan suasana baru yang cukup melegakan. di sini, juga tak ada pembaca buku. tapi ada tempat parkir sepeda yang diisi oleh dua sepeda. memang tak sebanding dengan kendaraan bermesin yang ada. tapi tak apalah. sedikit kemajuan. hanya sedikit. tapi lumayan dan harus ditingkatkan lagi.

aku pun memutuskan untuk berjalan lagi. melewati rel kereta. melewati jalan Margo Utomo dan sampailah aku di Tugu Jogja. cukup ramai dan aku ingatkan sekali lagi, tetap tak ada yang memegang buku selain aku di situ. aku cukup berlama-lama di situ. menghirup nafas sejenak. melihat lalu lalang orang. Tionghoa. Jawa. warga Asing dan berbagai macam ras dan suku bercampur dari seluruh Indonesia di sini. seperti biasa, mereka berfoto ria. sesekali sepeda melintas. yah, hanya sesekali. jangan pernah berharap lebih soal pengayuh sepeda di jalanan kota ini. dan seorang bapak penjual minuman yang nampak lesu dan lelah. aku pun kembali berjalan.

melewati jalan Sudirman dan sampailah aku di perpustakaan kota. benar-benar melelahkan tapi menyenangkan. seandainya aku tak sering sakit-sakitan dan tempatku terlalu jauh dari pusat kota. setiap hari mungkin aku akan lebih memilih berjalan kaki atau menggunakan sepeda. dalam artian banyak, aku adalah pejalan kaki. lebih sehat dan mengurangi kemacetan. eh tunggu dulu. lebih sehat? hal semacam itu perlu diragukan. bagaimana mau sehat kalau berjalan kaki yang dihirup adalah asap knalpot? yah, setidaknya tidak benar-benar langsung mati.

hari berikutnya, 10 april, aku tinggalkan motorku kembali di perpustakaan kota dan mulai berjalanlah aku di jalan Suroto menuju utara ke arah stadiun Kridisono. melewati jalan Yos Sudarso yang selalu ramai dan padat. melewati deretan mobil dan motor yang juga ramai diparkir di sebelah dan depan SMA 3 karena sedang sibuk mengenyangkan perutnya. lalu memasuki jalan Faridan Muridan Noto yang berisi rumah-rumah bagus dan indah. cukup rapi dan enak dipandang walau tak bisa bebas dari sampah dan memasuki jalan Ngadikan, berbelok ke arah utara, sampai di jalan Abu Bakar Ali, berbelok ke barat, berjalan, berjalan, dan suasana ramai orang-orang yang sedang beribadah di Gereja Katolik St Antonius. membuat macet. kalau hanya sekedar orangnya, bagiku  bukan masalah. tapi kebanyakan jemaat gereja, lebih suka membawa mobil dan penuhlah jalan yang sudah sempit dan pengendara kendaraan bermesinnya semakin banyak. macetlah keadaan. apa Tuhan pernah menyuruh jemaat gereja untuk menaiki mobil dari pada sepeda?

yah, aku pun berjalan. melewati mobil-mobil yang diparkir. sangat banyak. melewati polisi lalu lintas. dan jengkel ketika trotoar hilang oleh pedagang helm. benar-benar jengkel. aku nyaris tak tahu harus lewat kemana. trotoar hilang dan seolah bagai jalan buntu. sementara jalan raya berisikan segala jenis kendaraan yang diam tak bergerak dan sesekali melihatkan tingkah tak sabarnya. menjadi pejalan kaki di kota ini benar-benar butuh kesabaran tingkat tinggi. kota yang nyaris tak mendukung pejalan kaki.

setelah bisa melewati kemacetan. sial, pejalan kaki pun bisa terjebak macet di kota ini. itu sungguh mengagumkan. kota yang tak ada duanya. semoga saja kelak pesawat terbang tak mengalami kemacetan juga. atau ambulan pun pada akhirnya menyerah untuk menolong orang yang butuh pertolongan. di kota semacam ini, seorang yang sedang kritis pasti akan lebih dulu mati di jalan sebelum sampai rumah sakit. berjalan kaki saja macet. apalagi ambulan?

tap tap tap. berjalan. melewati jembatan. sampah di sana dan sampah di sini. memandang lahan parkir baru yang menjulang tinggi lalu sampailah di Malioboro. menyeberang. niatnya sih ingin menyeberang ke arah pedestrian. hati-hati. ingin menyeberang. belum menyeberang. masih ingin menyeberang. dan belum juga menyeberang. karena motor dan mobil di kota ini susah untuk mengalah. untunglah, aku di selamatkan oleh banyak orang yang datang dan akhirnya ikutlah aku dalam arus penyeberangan paksa yang penuh dengan heroisme tingkat atas. karena menyeberang di jalanan Jogja itu tak hanya menyebalkan namun juga mempertaruhkan kehidupan.

aku pun duduk di tempat kemarin. menikmati keadaan. membaca buku Orang Indonesia dan Orang Prancis karya Bernard Dorleans. menikmati pemandangan, perempuan-perempuan muda yang cantik dan mulus yang lewat. memang, tempat ini, di ujung utara Malioboro, suatu tempat yang menyenangkan untuk memanjakan mata. lalu lalang orang-orang yang ada bagai tak habis-habis. terlebih jika musim liburan semacam ini.

aku pun menikmati waktu berlama-lama. menghabiskan banyak halaman. dan di sebelahku, ada sekelompok muda-mudi yang sibuk memegangi dan bermain dengan ular Sanca Bodo. ular ini salah satu yang dilindungi oleh undang-undang. tapi sangat bisa dan mudah untuk diambil alih menjadikannya milik pribadi. dan aku tak bisa berpikir lebih jauh, apakah para pemeliknya lebih suka reptil mereka itu mati di tangan mereka atau ular-ular itu lebih baik berada di alam liar? aku kira, banyak pencinta binatang tak akan senang jika binatang kesayangan mereka lepas atau menghirup kebebasan. sebuah kontradiksi aneh.

aku pun terus membaca. ada satu sepeda terparkir di parkiran untuk sepeda. sementra ratusan dan mungkin ribuan kendaraan bermesin lewat. dan beberapa kali, entah orang tua, perempuan muda dari yang jelek hingga tercantik, kaget dan lari ketika tiba-tiba melihat ular. tak kecuali banyak wisatan asing. dan aku pun terus membaca. suasana baru yang sungguh nyaman. surga kecil baru untukku di tengah kota yang semakin berantakan dan tak jelas ini.

aku pun mulai berdiri dari tempat dudukku. aku rasa, sebentar lagi hujan. mulailah aku berjalan. melewati jalan yang hampir sama. dan ketika sampai di jalan Abu Bakar Ali, aku memutuskan untuk berjalan ke jalan  I Dewa Nyoman Oka, melewati Gereja dan seorang perempuan muda yang sedang menunggu sesuatu dan beberapa pemuda pemudi Tionghoa yang sibuk berfoto. suasana begitu damai dan sejuk. aku menyukai berjalan di malam hari di sekitar kota baru ini. lalu berbelok ke timur melewati jalan Sunaryo trus menuju jalan Supadi. banyak bangunan kuno di sekitar sini. bergaya kolonial. cukup bersih. yah, sebenarnya masih banyak sampah tergeletak di sana-sini dan tempat sampah yang menumpuk tak jelas. tapi aku sungguh suka suasananya. seandainya bebas dari sampah, aku akan sangat senang dengan suasana kota baru yang ada.

dan akhirnya, sampailah aku di perpustakaan kota. yah, berjalan kaki itu menyenangkan. walau kota ini masih tak terlalu menyenangkan. setidaknya, ada banyak hal yang baru.

kota baru pun, tak benar-benar baru. dan sampah, apakah orang elite di kota ini pun sangat suka dengan sampah? aku tak tahu. setidaknya mereka tak akan mau untuk memakannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar