Di
Indonesia, tidak semuanya terlihat seperti sebagaimana mestinya dan hal ini berulang
kali terbukti sangat mengganggu.
Christoper Lucas
1970
Andre
Vltchek, ya, Andre yang itu, menganggap Bandung sebagai kota yang tak layak
mendapatkan penghargaan sebagai Kota Kreatif dari Unesco. Yah, aku pun geram,
benar-benar geram ketika Bandung mendapatkan hal semacam itu. Itu menghina semua
orang yang berakal sehat, di negara ini. Seandainya ada yang masih sehat juga. Dan
seorang asing dari Bulgaria bernama, Inna Savova menganggap Bandung sebagai The
City of Pigs.
Dan tulisannya yang indah itu, membuatku terpingkal-pingkal; You are just a pig and money are not an
excuse. Dan aku harap, warga Bandung
mengakuinya. Aku hanya berharap. Tak lebih. Dan aku pun tahu, Ridwan Kamil pun
tak akan bisa menyelesaikan masalah Bandung di sebuah kota yang dihuni oleh
orang-orang gila, yang tubuhnya hidup di antara abad 21 dan pikirannya di abad
ke-13.
Masyarakatnya
sendiri, akhir-akhir ini, menganggap
kota itu sebagai Bandung Lautan Sampah. Beberapa waktu yang lalu, aku menjuluki
Bandung sebagai Kota Bekas. Dan saat aku pikir-pikir kembali, mengingat kota
yang harusnya indah dan terpelajar itu terlihat sangat mengerikan, Bandung
lebih cocok disebut sebagai Kota
Orang-Orang Gila. Ya, tempat orang-orang gila yang tak sadar akan
kegilaannya, itulah Bandung. Dan aku sedang menuju kota itu. Meninggalkan Bogor
yang samar di belakang sana. Yang kian hari semakin buram dalam kegilaan yang
sama.
“Kembalinya
Pram mengisyaratkan hidupnya kembali Indonesia,” harap Andre Vltchek dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian! pada
tahun 2005. Dan Pram pun memenuhi berbagai macam toko buku, dibaca,
didiskusikan, dikagumi. Lalu apa yang
terjadi? Kota-kota di Indonesia semakin runtuh beserta seluruh desa yang masih
tersisa dan mereka yang bersembunyi di daerah yang susah dijamah manusia.
Kesadaran masyarakat Indonesia merangkak lebih pelan dari pada amuba. Dan bus,
dengan keremang-remangannya, merangkak menuju Bandung, kota yang tak jauh beda
kengeriannya dengan Jakarta. Hujan pun jatuh. Membasahi kaca. Apakah sastra
hanya onggokan tai bagi masyarakat negara ini?
Sesekali
menatap perempuan cantik di seberang tempat aku duduk, aku mengambil buku
catatanku, lalu menulis beberapa puisi:
ketika
hujan
membekas
mata
perjalanan
adalah
menghapus
lelah
dan
menambah
lelah
lainnya
tak
ada yang sama
pada
waktu yang terlihat
dunia
adalah sementara yang rapuh
tak
ada yang abadi dengan perjalanan-
perjalanan.
**
lampu-lampu
yang
mengagumi cair
serta
malam yang
membawa
aku
kepada
kemungkinan-
kemungkinan.
akhir
yang hilang
bagi
jiwa yang
termangu.
**
semua
yang lahir
dari
atas akhirnya
turun
ke bawah
segalanya
adalah
bercak
di dalam
remang
tak
ada yang bisa
kembali
dari kematian
tak
ada yang akan
datang
dari jalan
yang
hilang.
Hujan
membuatku rentan. Apa yang harus aku lakukan setibanya di Bandung saat hujan
deras mengguyur kota itu pada tengah malam? Di mana aku akan bermukim dengan
barang bawaan yang sialnya, atau aku terlalu tolol karenanya, sangat berat
dengan banyak buku di dalamnya? Sekali lagi, kecanduan buku bisa membuat orang
terlihat sinting. Apalagi yang tak kecanduan dengannya di negara ini? Dan
perjalanan adalah keanehan-keanehan yang tak terduga.
Aku
pun turun di Luewi Panjang. Masih sangat gelap. 00:30. Sisa bau hujan masih
menyengat di hidung dan kulitku. Apa yang harus aku lakukan di terminal, yang
mana ketika aku baru saja turun sudah langsung diserbu oleh para sopir taksi
dan ojek? Aku menolak mereka semua. Masuk ke dalam keramaian cahaya terang dari
pedagang kaki lima di terminal kecil yang terkesan angker itu. Kata kekasihku,
nanti setelah bertemu dengannya, di terminal ini, pernah terjadi pemerkosaan
yang dilakukan oleh sopir dan teman-temannya. Yah, sayangnya aku laki-laki dan
kelebihan kadar gilanya. Seandainya ada perempuan yang memperkosaku, aku akan
mempersilahkannya dengan lapang dada.
Aku
memesan bakso satu porsi. Mendudukkan diri dengan barang-barang, yang,
sialannya, masih sangat berat. Mengambil
salah satu buku dari dalam tas. Dan kini aku sedang membaca Mereka Bilang, Saya Monyet! Dari Djenar
Maesa Ayu. Membacanya sebentar saja otakku nyaris pecah karena bosan. Otak
macam apa orang Indonesia itu, karya sejelek ini, mereka kagumi nyaris sinting
dan idiot?
Jam
berganti jam. Orang-orang datang dan pergi. Aku menunggu pagi yang terasa
sangat lama. Benar-benar terasa sangat lama. Membaca Djenar dengan perasaan
enggan. Tubuh meliuk-liuk karena punggung terasa pegal dan perlahan nyeri makin
merambat. Menyaksikan adegan seorang tua, anak muda yang lebih muda dari aku, berjualan
mengurusi orang-orang hingga pagi menjelang. Betapa beratnya kehidupan mereka?
Dan berat kehidupan itu, membuat mereka masih sangat ramah kepadaku.
Benar-benar ramah. Atau apakah mereka menjalaninya dengan riang sementara aku
ini, onggokan daging yang lebih sering mengeluh tentang kehidupan ini.
Buku
Djenar yang membosankan pun selesai aku baca. 05:00, aku memanggil Go-Jek.
Berdiri di jalan Soekarno-Hatta yang gelap. Menunggu. Menerima panggilan
telpon. Ah, ternyata sang Go-Jek muda ada di seberang jalan, sedang bercanda
dengan teman-temannya di warung. Aku langkahkah kakiku dengan tiga beban berat
memenuhi tubuhku. Tertatih. Menyeberangi jalanan yang masih sunyi kecuali satu
dua kendaraan yang lewat. Di Bandung, hal yang paling menyenangkan adalah pagi.
Pagi menjelang matahari terbit. Sebuah fajar yang indah di kota Bandung yang
sebentar lagi menyeramkan.
Motor
pun melaju sedang. Jalanan yang masih sangat sepi memang sangat memuaskan.
Kegelapan dan remang jalanan membuat sisi-sisi terjelek kota ini terasa
menghilang dan tiba-tiba terhapus. Bandung memiliki banyak daerah kumuh dengan
beragam kemiskinannya. Tapi, kegelapan dan remang pagi membuat semua kenyataan
itu menciut. Tak begitu nampak.
Motor
meliuk-liuk. Melewati berbagai macam tempat yang tak begitu aku kenal. Aku
sudah lelah. Aku malas untuk mencatat di buku jurnalku. Aku hanya mengandalkan
suasana hatiku kali ini. Bandung bagian selatan tak enak jika dipandang di
siang hari. Bahkan ketika pagi datang pun, sekitar jam 05;00 lebih, di beberapa
bagian tertentu, kota ini sudah
mengerikan. Setidaknya, kali ini aku tak terlalu menemukannya. Jalanan masih
cukup lancar. Motor menuju jalan Pangarang, ke Hotel Nandya. Aku mencari hotel
murah nyaman untuk memulihkan kelelahanku. Dan aku benar-benar sudah lelah dan
ingin tidur.
Memasuki
gang atau jalan Pangarang, situasi kampung sangat kental mengingatkanku dengan
Jakarta. Nyaris mirip. Bahkan sekitar Braga atau Alun-Alun pun, dunia di
sekitar situ, nyaris terasa hampir runtuh dan bobrok. Kian hari, Bandung tak
mampu menutupi kantong-kantong kemiskinan dan kekumuhannya. Terlebih bagi
mereka yang senang menjelajah dan berjalan kaki akan terkaget melihat wajah
Bandung yang lain itu. Mereka yang terbiasa dengan keindahan jalan Asia Afrika,
Braga, dan Dago yang tersisa. Akan sangat sangat kecewa dengan penemuan yang
benar-benar menggelisahkan di kota sebesar dan seelit Bandung. Trotoar yang
rusak, hilang, bahkan tak ada. Gedung-gedung yang bagaikan terhantam bom.
Sampah di mana-mana. Terlebih, yang paling mengesalkan adalah puntung rokok
hampir ada di setiap tempat. Perokok adalah salah satu yang paling susah
memiliki kesadaran lingkungan kebersihan, membuang abu dan sisa rokoknya di
sembarang tempat. Tempat-tempat sampah yang dulunya menghiasi jalan Merdeka,
entah hilang ke mana. Bahkan tanaman gantung untuk meminimalisir polusi pun
rusak di sana-sini. Di hampir semua tempat, dari Masjid Raya hingga deretan
Mal, kebersihan nyaris tak mungkin. Bahkan taman Balai Kota hingga taman Lansia,
sampah seolah menjadi bagian dari warga kota. Tak heran jika Inna Savova geram.
Aku sejujurnya juga merasa geram. Tapi, mengingat orang-orang Bandung lebih
gila dari kota-kota lainnya, sudah bukan tahap geram lagi yang aku miliki. Tapi
tahap pengakuan. Bahwa Bandung adalah kota gagal dan gila. Di mana kota yang
memiliki universitas teknologi, kota pendidikan ini, dengan sederet orang kaya
terpelajar, nyaris tak bisa melakukan apa-apa. Yah, karena mereka memang tak
ingin melakukan apa pun kecuali kesenangan diri sendiri. Berbelanja
habis-habisan. Menaiki mobil yang jumlahnya mengenaskan hingga membuat jalanan
seperti tempat kebodohan sedang merumput aspal. Itulah Bandung. Kota bekas,
yang bukan buatan sendiri, yang keindahannya dihancurkan di sana-sini.
Keindahan
jalan RE. Martadinata, atau Riau pun akan hancur jika matahari sudah naik di
ufuk timur. Bahkan, kemacetan sudah menjadi kewajaran di jalan ini. Anak-anak
berangkat sekolah diantar oleh orang tua mereka dengan mobil.
Coba bayangkan, apa jadinya jika anak-anak kecil, yang jumlahnya satu, di antar
dengan mobil, mobil dan mobil? Satu anak dengan mobil. Lalu, berapa ratus atau
ribu anak yang diantar dengan mobil? Lalu ketika pulang, mobil dan mobil lagi
sebagai penjemput yang kadang benar-benar bagaikan ketololan permanen warga
Bandung. Apa susahnya menggunakan motor atau angkutan kota? Efek kemanjaan dan
gengsi, atau ketakutan-ketakutan, tak ubahnya membuat Bandung identik dengan
Jakarta.
“...
ilusi diperlukan, dan ‘kebenaran” mungkin hanya kesepakatan sosial dalam
berkhayal,” celoteh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggirnya. Dan tepatnya,
seperti itulah Bandung. Yang mengiklankan dirinya indah, dan di dalam khayalan
kita, Bandung seolah-olah kota yang molek, warisan Moii Indie Raden Saleh atau
lekukan kanvas Sudjodjono.
Sebagai kota yang mengawali kesenian modern Indonesia, Bandung sangat jelas tak
lagi terkesan dengan seni keindahannya. Melainkan seni kehancuran yang
dipercepat.
Go-Jek
menurunkanku tepat di depan hotel. Aku memasukinya. Terlihat sepi dengan
orang-orang yang terjatuh tertidur di kursi dan sofa. Aku membangunkan
resepsionis, mengagetkannya, memesan hotel untuk jam 12;00 hingga besok,
menitipkan barang bawaan yang jumlahnya mengerikan, mencuci muka, membuang
hajat, memesan Go-jek, lalu kembalilah aku di jalanan menuju jalan Trunojoyo.
Di pagi hari, sebelum jam beranjak ke angka 05:30, jalanan masih lumayan
sepi.Walaupun begitu, pohon-pohon yang meneduhkan kawasan elit ini, belum mampu
mengusir sampah yang terlihat di berbagai tempat. Sampah adalah makanan
sehari-hari orang Bandung. Tapi yang lebih mencemaskan bukan itu. Bukan sampah.
Bukan kekotorannya. Bukan kemacetan. Bukan sungai yang buruk. Bukan pohon-pohon
yang semakin hilang. Bukan kota yang sesak dan padat. Bukan kendaraan dan
polusi yang terus bertambah. Bukan kesehatan yang semakin mencemaskan. Bukan
bangunan kumuh dan gedung yang menjulang kontras. Bukan miskin kaya yang
bagaikan jurang sosial. Bukan kecanduan akan belanja. Bukan kriminalitas. Bukan kerusuhan sosial. Bukan
pula rasisme. Bukan pula minat baca yang minim dan tiadanya perpustakaan layak.
Tapi, inti dari kota ini, Bandung, kota yang mendapatkan dirinya disetarakan
dengan Paris di masa lampau, yang kini mendapatkan julukan baru berupa Bandung
Lautan Sampah, Bandung Kota Babi, Bandung Kota Bekas, dan kini, aku akan
menambahkannya, Bandung Kota Orang-Orang Gila. Kegilaanlah yang menjadi masalah
serius kota ini. Karena, hampir semua orang Bandung, gila. Kegilaan yang
akhirnya merusak dan mengacaukan kota yang seharusnya indah.
Kegilaan
kota Bandung, seukuran jumlah penduduk Cimahi. Itu hal yang luar biasa
mengerikan. Pada tahun 2007, tercatat 600 ribu warga Bandung mengidap gangguan
jiwa. Sekarang, jumlah itu pastinya berlipat ganda. Itu pun yang baru terdeteksi.
Tak ubahnya dengan Jakarta, kegilaan orang-orang Bandung membuat kota itu juga
rusak. Apa yang akan terjadi dengan sebuah kota jika penduduknya mengidap
gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat? Apalagi jika hampir semua
penduduknya mengalami masalah kejiwaan akut semacam itu?
Orang-orang
akan lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Tak peduli dengan yang lain selain
dirinya sendiri. Agama akan diabaikan. Otak pun dibuang. Kewarasan logika
disingkirkan. Percakapan menjadi semakin susah. Semua orang membentengi diri
sendiri. Kepekaan terhadap lingkungan
sekitar sudah tak lagi digubris. Pertemanan dan kepedulian sosial semakin
langka. Pendidikan tinggi tak lagi menjamin perasaan peduli terhadap sesama dan
lingkungan. Dan pada akhirnya, kota pun rusak. Karena semua orang mencari
kebahagiaan yang susah dicari di era sekarang ini. Pencarian yang membawa sekat
yang sedemikian parahnya hingga segala bentuk atau apapun itu yang mengurangi
perasaan bahagia yang jumlahnya sedikit itu, akan diabaikan atau dipangkas habis-habisan.
Jadilah semacam kota mirip Jakarta. Dan kini, seperti inilah Bandung.
Di
dalam kegilaan yang menekan, penuh rasa sakit, kesepian, perasaan diabaikan,
kengerian yang tak mudah dijelaskan, kebingungan yang jumlahnya tak terkira,
kerentanan jiwa dan pikiran itu, membuat orang mudah tersulut. Jadilah rasisme.
Jadilah pencurian dan kriminalitas. Jadilah penyakit fisik. Jadilah sampah yang
menumpuk. Jadilah sungai yang kotor. Jadilah kemacetan yang memperjelas
kesintingan itu. Jadilah, sebuah kota yang indah, menjadi semengerikan ini. Dan
semakin hari, kegilaan itu bertambah. Pada tahun 2015, rawat inap pasien Rumah
Sakit Jiwa Jawa Barat, yah, kota Bandung menyumbangkan orang gilanya sebanyak
11.363 jiwa. Diikuti kabupaten Bandung, 2.561 jiwa penduduknya tercatat pasien
gila. Itu semua baru pertengahan tahun. Akhir Agustus. Sekarang sudah Agustus
2016. Sudah satu tahun lamanya. Dan pertambahan itu, pasti terjadi. Kegilaan ini,
sayangnya, tidak berujung pada kretaivitas, pemecah solusi, atau bertambahnya
penemuan agung dan mengagumkan di bidang ilmu pengetahuan. Kegilaan kota
Bandung lebih bersifat merusak. Dan mataku ini, juga otakku yang tak henti
bekerja, tak mudah untuk dibohongi.
Kenyataan
ini sejujurnya agak menjengelkan. Karena fakta itu, mungkin, hampir semua
perempuan cantik, laki-laki tampan di Bandung, mengidap gangguan jiwa yang
terdeteksi maupun yang belum. Jadi saat aku berjalan kaki, di trotoar-trotoar
Bandung, melihat perempuan cantik lewat, kemungkinan besar dia penderita
gangguan jiwa
atau berpotensi. Tidakkah itu menyebalkan, heh?
Sampailah
aku di kompleks sekitar sekolah Aloysius. Menunggu seseorang. Dalam gelap.
Seperti orang aneh yang datang entah dari mana. Tak lama kemudian, muncullah
ia, pujaan hatiku. Berjalanlah kami; melewati trotoar yang sedang dalam masa
perbaikan, yang tentunya menjengkelkan. Kaki masuk ke area kendaraan bermotor
yang sudah agak terlihat ribut, berisik, dan tak sabaran. Sebisa mungkin, di
jalan Merdeka ini, aku tak telalu banyak mengeluh seperti ketika di Jakarta.
Ada sampah tergeletak di jalan, jangan sekali-kali bilang, halo, apakabar, bung
sampah, mau aku bantu berdiri? Atau, trotoar menyempit, sedikit hilang, atau
retak di sana-sini, jangan sekali-sekali mengatakan, kun faya kun, jadilah!
Harapan untuk membuat trotoar halus, mulus, nyaman untuk saat ini, di jalan
Merdeka, masih terasa tak mungkin. Dan jangan sekali berlagak menjadi penganut
setia Harry Potter saat merasa jengah dengan kemacetan di jalanan. Tiba-tiba
membawa sapu ijuk, ditunggangi, lalu berharap terbang menembus kemacetan. Jelas,
itu akan dianggap sinting di tengah kesintingan normal yang ada. Sialnya lagi,
dianggap tukang sampah atau orang gila yang sudah sering dan terbiasa
menggelandang di jalanan ini. Dan jangan menambah beban kegilaan di Bandung
dengan ikut-ikutan menjadi gila! Hanya saran. Tak perlu diwujudkan. Seandainya
kamu sudah terinfeksi kegilaan Bandung. Maka bersabarlah atau suruh saja
tetanggamu menamparmu dengan knalpot atau setrika. Menyadarkanmu yang sudah
terinfeksi kegilaan kota ini luar biasa susah. Bahkan Ridwan Kamil harus
menyempatkan geleng-geleng kepala setiap hari.
Kami
berdua pun menikmati suasana halaman Bandung Indah Plaza di pagi hari yang
nyaris tak ada satu pun orang di tempat ini selain kita berdua. Duduk di kursi
dengan payung yang lebar. Membicarakan banyak hal. Mengambil gambar. Sesekali
membuka buku Cendikiawan dan Politik
ketika dia sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Suasana lebih nyaman. Seperti
biasa, Bandung lebih indah di pagi hari. Di mana ketika orang-orang belum
begitu banyak mengotori jalanan. Suara cicit burung-burung menyegarkan jiwa
yang lelah terhadap kota jika melintasi pepohonan yang rimbun. Dan kebisingan,
kesemrawutan, kemacetan dan panas yang belum menampakkan diri. Dalam dunia
semacam itu, Bandung menjadi indah walau hanya sebentar.
“Secara
keseluruhan di Jawa tidak ada warna yang menyegarkan pandangan,” tulis Geoffrey
Gorer di tahun 1935. Dan sialnya, hari ini, hal semacam itu nyaris sempurna. Di
masaku ini, Jawa adalah penyakit. Bobrok di sana-sini. Diperas habis-habisan.
Dan jadilah kota ini, Bandung, yang diawal buku Wisata Paris van Java karya Her
Suganda, mengatakan “jejak perjalanan kota Bandung di masa lalu memiliki
dimensi yang penting. Baik dimensi ekonomi, pemerintahan, maupun pertahanan.
Justru pada dimensi yang terakhir ini, Bandung merupakan kota terakhir yang
membuat Belanda harus menyerahkan seluruh Hindia (nama lain dari Nusantara)
kepada Jepang”. Dan sekarang, kota ini harus menyerahkan dirinya kepada
kegilaan warganya yang benar-benar tak lagi pandang bulu. Sejujurnya, memasuki
Bandung pertamakali terasa benar-benar mengecewakan. Harapan akan Bandung yang
indah, seketika buyar. Dan kini, aku duduk-duduk santai di jalan merdeka, merasa beruntung tak mengalamiapa yang pernah
dirasakan Christopher Lucas saat dulu, 1970, merasa depresi di Jakarta –maaf kawan, kau pun senasib
denganku mengenai hal itu! - dan salah satu kenalananya menceritakan hal
semacam ini; “Dua polisi sialan merampas mobil saya dan sekarang mobil itu
digunakan oleh seorang walikota Bandung!”. Coba bayangkan, seandainya aku hidup
di tahun sekitar itu? Apa yang bakal terjadi dengan diriku yang tak memiliki
apa-apa ini?
Jam
merambat ke angka 08:00. Kami berdua siap-siap memasuki Gramedia yang berada di
seberang jalan. Tentunya, kali ini, Bandung sudah tak lagi indah. Menyeberang
pun butuh perjuangan. Perjuangan hati dan pikiran. Melihat orang tua yang
berjualan di depan Gramedia. Terkadang anak-anak kecil yang menawarkan tisu,
koran, gerabah kecil berupa teko-tekoan, atau pengemis yang sudah mulai
merambah kawasan ini. Sekarang ini, pusat Bandung pun tak kebal melihat itu
semua. Dan jalan yang nyaris kurang ajar ini, saat matahari makin menanjak,
tidak hanya panas, macet, tapi juga kadang dilewati oleh orang gila yang
berjalan dengan santai di tengah kerumunan kemacetan yang merajalela. Aku salut
kepadamu bung! Kau salah satu di antara mereka yang lebih sadar diri. Dan
baiklah, aku pun masuk ke Gramedia. Memegang-megang majalah baru National
Geographic Indonesia. Berjalan ke arah deretan buku-buku asing dan sastra.
Berlama-lama di deretan rak kristiani. Tak lama kemudian, kelantai lebih atas
lagi untuk melihatbuku-buku yang lebih menyegarkan. Dan sampai sekarang pun aku
masih tertarik dengan buku Abad Bapak
Saya dan Geger Pecinan. Dan entah
mengapa, lama kelamaan aku semakin akrab dengan toko buku ini. Peneduh kota
yang tak cepat membuat orang benar-benar sekarat.
Mendekati
angka 12;00, suasana semakin ramai. Gramedia ini, lebih banyak diisi oleh para
perempuan dari pada laki-laki. Dari mulai anak kecil, remaja, dewasa hingga
mereka yangmenua. Yang semuanya, ke tempat Bandung Indah Plaza atau ke toko
buku ini, dengan menggunakan mobil, motor, dan bisa jadi, angkutan kota. Karena
tak jarang, banyak yang menggunakan angkutan kota sebagai berpergian. Walau seringkali
menjengkelkan dan mirip yang dikeluhkan Andre Vltchek. Dan anehnya, menurut
Ridwan Kamil, kota ini kekurangan perempuan! Dan mengimbau warga Bandung,
perempuannya, untuk tak menikahi orang selain warga Bandung. Tetaplah menikah
di antara warga Bandung sendiri karena laki-laki terlampau banyak! Betapa
anehnya! Tidakkah itu akan mempersempit wawasan warga Bandung itu sendiri?
Suatu ketika akan mudah memecah negara ini dengan alasan sepele semacam itu, heh?
Setelah
itu, kami berdua menuju Braga, melihat lukisan-lukisan di pinggir jalan.
Melihat kemacetan di jalan yang kecil itu. Mobil mobil mobil dan mobil luar
biasa banyak. Kami duduk di salah kursi
yang berderet-deret. Kelelahan. Bercanda. Membuat beberapa sketsa pohon.
Membuat sketsa dirinya dan gagal. Lalu
berjalan lagi. panas. Bandung semakin panas. Kendaraan bagaikan setan yang tak
henti-hentinya habis. Dan aku semakin malas mengamati keadaan. Apakah gedung
ini dulu bernama ini. Apakah jalan ini pernah pernah digunakan untuk Belanda
untuk alasan tertentu. Apakah dan apakah
lainnya yang membuatku bertambah malas. Dan tentunya, sampah-sampah yang
menjengkelkan mata ada di mana-mana. Seperti keparat kecil yang dimuntahkan
oleh onggokan tai berwajah moralis.
“Lama
setelah mobil, kota, dan pabrik, kelak menjadi debu, konsekuensi akibat
pembakaran miliaran ton batu bara dan minyak kemungkinan akan tampak sangat
jelas. Di saat kabron dioksida menghangatkan bumi, senyawa itu juga menelus ke
lautan dan membuatnya bersifat asam. Suatu saat dalam abad ini lautan mungkin
menjadi begitu asam sehingga karang tidak sanggup lagi membentuk terumbu, yang
akan tercatat dalam sejarah geologi sebagai “kesenjangan karang”. Kesenjangan
karang merupakan ciri khas dari lima kemusnahan massal besar yang telah
terjadi. Kepunahan massal yang terakhir, yang diyakini disebabkan oleh dampak
asteroid, terjadi 65 juta tahun yang lalu, di akhir periode Kretaseus:
kepunahan itu memusnahkan bukan hanya dinosaurus, melainkan juga plesiosaurus,
pterosaurus, dan amonit. Besarmnya ukuran bencana yang saat ini menimpa lautan,
menurut para pakar, tidak tertandingi sejak saat itu. Bagi para ahli geologi
masa depan, begitu kata Zalasiewicz, dampak ulah kita akan tampak begitu
tiba-tiba dan sangat luar biasa sebagaimana dampak asteroid,” kata Elizabeth
Kolbert dalam tulisannya Era Manusia:
Fajar Antroposen. Dan orang-orang Indonesia
adalah salah satu penyumbang kepunahan terbesar, tapi sayangnya mereka
menganggap diri tak melakukannya. Dengan kemacetan di depan mata, sampah di
mana-mana, sungai rusak, hutan hilang, beragam spesies musnah, lingkungan
cemar, segala jenis masalah bermunculan, hampir mayoritas mereka semua tak
merasa sebagai bagian masalah dan telah membantu proses mempercepat kepunahan
itu. Kebanyakan dari mereka akan selalu merasa sudah menjadi orang baik, tak
melakukan kesalahan apapun dan berharap dunia selalu menjadi hal yang nyaman
dan baik bagi mereka. Dan, seperti itu juga yang terjadi di Bandung hari ini.
Orang-orang yang tak sadar diri gila dan telah merusak kota ini dengan
pandangan hidup dan gaya hidup mereka. Kebanyakan orang gila tak mengakui
kegilaan mereka sendiri. Yah, sayangnya seperti itu.
Julukan
kota cerdas, kota kreatif, dan peraih Adipura tak membuat kota ini mampu
menghilangkan sampah-sampahnya yang bertebaran di hampir setiap tempat yang
ada. Ah, jadi, suatu nanti, kalau ke berbagai kota lainnya di Jawa atau
Indonesia, tak sengaja mendengar, membaca, atau ada sebuah kota yang
mendapatkan berbagai macam pujian nasional atau internasional, biasanya, isi di
dalam kota itu sendiri, kalau dimasuki, sangat mengecewakan. Jauh dari
kenyataan yang ada. Dan Bandung sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Gun Gun
Saptari Hidayat, Direktur Umum Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung, warga
kota Bandung mengonsumsi sampah sebesar 1.500-1.600 ton. Sebuah kota yang
benar-benar memiliki semangat kegilaan akan sampah. Sebuah jumlah, yang aku tak
tahu, apakah orang Bandung sendiri akan merasa cemas atau tidak. Oh ya, dan sekian
banyak ton itu, hanya 250 ton perhari yang sempat dan masih mampu diolah dan
dimanfaatkan. Apakah warga Bandung akan menangis mengetahui hal ini? Sementara
sekitar 150-250 ton sampah berceceran di segenap kota Bandung; sungai, jalanan,
dan berbagai macam tempat. Biaya pengankutan sampah yang sangat mahal. Banyak
sekali mal dan gedung-gedung mewah yang tak membayar pajak atau kebersihan
sampah. Tidakkah banyak warga Bandung yang sangat suka hidup di dalam mal,
membiayai secara tak langsung mal-mal terus beroperasi dan membuat masalah di
kota mereka? Apakah warga Bandung akan merasa sakit dan malu atau bahkan
menangis melihat kenyataan semacam ini? Oh, tentunya tidak. Hati nurani dan
kepekaan akan membuat warga Bandung hidupnya terepotkan. Biarlah hidup hanya
seputar mencari kesenangan dan kebahagiaan saja. Walau pada dasarnya sedikit
yang benar-benar mengalami kebahagiaan. Yang lain-lain, hanyalah sesuatu yang
tak penting. Bukan berarti semua orang Bandung tak peka dan merasa tak
melakukan apa-apa. Ridwan Kamil saja sudah nyaris menyerah seperti itu. Apa
yang bisa dilakukan warga Bandung baik hati yang jumlahnya sedikit dibandingkan
dengan orang-orang gila yang jumlahnya nyaris memenuhi isi kota?
Kalau
dilihat dari sudut pandang Howard Gardner, jelas warga kota Bandung tak
memiliki kecerdasan ekologis. Kepekaan akan lingkungan mereka nyaris dalam
taraf kerendahan yang paling sulit dibayangkan oleh mereka yang agak sadar
diri. Jika ada seorang enviromentalis atau pencinta lingkungan fanatik melewati
kota ini, yakinlah, dia akan berkata, “oh my god, oh my god, this is fuck city!
Damn! ini kota atau kubangan anjing?!”.Dan persis eperti yang dikatakan oleh
Inna Savova bahwa warga kota Bandung bahkan lebih kotor dari pada para babi. Dan
mungkin, nyaris sudah kehilangan empati mereka terhadap apa yang ada di sekitar
lingkungan mereka.
“Empati
merupakan minyak pelumas bagi roda-roda kehidupan sosial. Ketika kita berbagi,
mencintai, bekerja sama dan memberi, saat itulah empati bekerja. Ketika empati
tidak ada, keakraban hilang dan hubungan-hubungan pun menjadi rusak. Kekerasan,
pelecehan, diskriminasi dan keegoisan menjadi hal yang biasa ketika empati
telah hilang,” tulis David Howe. Buku yang aku sarankan untuk dibaca oleh orang
Bandung yang semakin kehilangan perasaan mereka terhadap pertemanan, keakraban
dan dunia di sekitar mereka. Pertemanan seringkali malah menimbulkan rasa sakit
dan perasaan rentan. Tidakkah itu juga aku? Yah, di sinilah aku hidup. Di Jawa
yang semakin berubah. Menua. Sangat rentan dan kosong.Tapi, banyak orang tak
mengakui bahwa mereka sakit. Karena ketika warga kota Bandung sakit. Maka
sakitlah kota Bandung itu sendiri. Sebuah wajah kota adalah cerminan dari
psikologi, jiwa, pikiran dan pandangan hidup dari orang-orang yang menghuninya.
Beserta kegagalan-kegagalan dalam dirinya sendiri. “... di mana kita adalah
sangat penting bagi siapa kita,” tegas Eric Weiner.
Atau,
seperti yang dikeluhkan oleh Eric Weiner, dalam The Biography of Bliss, “toleransi itu sangat bagus, tetapi
toleransi dapat dengan mudah bergeser ke ketidakpedulian, dan itu sama sekali
tidak menyenangkan”. Apakah seperti itulah yang terjadidengan Jakarta, Jogja,
kota besar lainnya bahkan Bandung yang kini aku lihat dengan wajah muram? Yang
jelas, warga kota Bandung sudah semakin kesusahan mengakui diri mereka sebagai
orang yang beriman, berbudaya, terpelajar, dan orang yang sungguh-sungguh
bahagia. Kota mereka sama sekali tidak mencerminkan hal semacam itu. Kota
mereka mencerminkan diri yang sakit. Diri yang abai. Diri, yang pada akhirnya,
hidup dalam ketakutan-ketakutan walau memiliki kemewahan harta dan segala
jenisnya. Ketakutan-ketakutan itulah yang berujung pada gangguan kejiwaan yang
meluas dan pada akhirnya, ketidakpedulian terhadap banyak hal selain keinginan
untuk keluar dari perasaan resah, sakit, kesepian dan keadaan yang bagai tak
berarti setiap harinya. Dan hasilnya, dari keadaan seperti itu, kota pun mereka
tinggalkan dalam keadaan kacau dan rusak.
Lingkungan
adalah cerminan dari jiwa dan pikiran kita. Walau sekuat apapun kita mencoba
untuk menolak dan membantahnya.
Sampai
kapan Jawa akan terus bertahan dalam keadaan semacam ini? Dan tiba-tiba seorang
lusuh, tua, keriput, menjulurkantangannya tepat di depanku. Sebuah keadaan, yang
akan membuat benteng pertahankan terbaik pun akan runtuh seketika jika kau
masih memiliki sedikit hati di kejauhan sana. Dalam hati yang gagal aku
keraskan berkali-kali untuk melindungi diri dari kegilaanku sendiri yang sangat
gelap. Akhirnya, aku meminta kekasihku untuk memberinya beberapa rupiah, yang
aku tak tahu jumlahnya. Dan pengemis itu pun tersenyum, senang, ada secercah
harapan dalam dirinya akan kepercayaan terhadap kehidupan yang saat ini tak
kumiliki. Harapan dari sorot mata yang hidup dari keadaaan yang lebih buruk
dariku. Seorang pengemis yang berbahagia dan seorang laki-laki yang
berkecukupan yang sangat tak bahagia. Seperti inilah Jawa hari ini. Dan Braga
yang aku lihat, memendam hal yang semacam itu. Braga yang tak lagi kebal
terhadap pengamen, pengemis, dan kekumuhan. Juga Braga yang tak lagi kebal
terhadap virus yang bernama ketidakbahagiaan orang-orang kaya dan berkecukupan
dalam ekonomi.
Kecantikan
tak akan menyelamatkanmu dari rasa kesepian. Begitu juga kekayaan, ketampanan,
pertemanan, dan segala apa yang kita miliki. Kita adalah makhluk-makhluk modern
yang gagal menjadi diri kita sendiri dan mencoba berkata cukup dan berbahagia.
Yang bisa kita lakukan hanyalah berpura-pura hidup dan terus-menerus mengatasi
perasaan itu dengan segala cara yang kita tahu dan mampu. Walau dengan cara
merusak diri kita sendiri, agama yang kita percayai, dan ikatan-ikatan yang
kita miliki.
Dan
kami pun melangkah pergi. Berjalan menengok sebentar Riau Junction. Mengeluhkan
panas kota yang dulunya, katanya indah dan sejuk ini. Kelelahan. Menikmati
keakraban yang terakhir lalu kembali ke kota yang tak lagi mampu aku nikmati;
Jogja, sebuah kota yang membuatku bosan dan letih.