Senin, 23 Januari 2017

JOGJA: KEDAI ANGKRING AB







bangun siang, suasana hati langsung buruk. menyebalkan. belum ada satu minggu di kota ini, perasaan hampa sudah sangat menelanku. memikirkan mencari uang setiap hari, benar-benar terasa konyol. sama saja sekedar menjadi pegawai atau karyawan. hidup terjerat dalam lingkaran keseharian semacam itu. kehidupan yang bodoh. idiot. sama dengan mati. tak jauh beda.
beberapa hari ke depan, kota ini akan meriah dengan sangat banyak acara. tapi entah mengapa, kota ini masih begitu sangat membosankan. terus menerus hanya sekedar seperti ini. aku tak tahu, orang macam apa yang kuat hidup dalam perintah orang lain setiap harinya. di sekolah, kampus, rumah, dan tempat kerja. tiba-tiba aku begitu dingin. tubuhku mendingin. begitu juga kecemasanku yang kembali lagi.
aku bosan. 

aku membawa satu buku lama, Berakhirnya Masa Kelimpah-Mewahan karya Paul R. Ehrlich dan Anne H. Ehrlich. buku langka, yang jarang dibaca orang. dan nyaris susah untu diterbitkan lagi. sebelum meninggalkan kamar, aku sempat membaca ulang dari awal dan mataku tertuju pada kalimat di halaman ke 4: pertumbuhan penduduk hanyalah satu dari tiga faktor penentu yang sekaligus mengancam integritas sistem-sistem lingkungan yang menunjang kita. faktor-faktor lainnya -meningkatnya kemewahan dan digunakannya teknologi yang keliru untuk mendukung kemewahan itu -tak mudah ditentukan dengan tindakan perorangan. keseluruhan masyarakat terkukung dalam suatu gaya hidup yang untuk berubah memerlukan waktu beberapa puluh tahun, sama seperti ia butuh beberapa puluh tahun untuk berkembang.

dan saat keluar dengan motorku menuju jl Gejayan, pertumbuhan penduduk terlihat tak terkendali beserta kemewahan yang menyertainya. jalanan sangatlah macet. begitu juga saat pulang. aku juga salah seorang penyumbang besar kemacetan itu. entah atas alasan apa pun. karena aku masih hidup, tentunya. Jogja, seperti itulah kenyataannya.

suasana mendung. perasaanku sangat runyam. dan tubuhku merespon dengan lelah. mataku bahkan ingin sekali ditidurkan. aku memutuskan untuk makan setelah sebentar mampir di sebuah bank. sekarang ini, aku sedang berada di Kedai Angkring AB. terletak di jl Sagan Utara. tepat di depan sebuah rumah bernomor 12. aku sering datang ke sini saat perutku sedang kelaparan.
boleh dibilang, tempat ini sangatlah murah. berada di pusat kota tak menjadikannya begitu mahal. rasa penyetnya tak kalah dengan warung makan SS atau Cowek Ireng. enam ribu sampai sepuluh ribu rupiah, sudah membuat perut kekenyangan. penyet tahu tempe hanya dihargai enam atau tujuh ribu dengan nasi yang cukup banyak. salah satu tempat kesukaanku. dan tempat makan yang sangat cocok untuk mahasiswa dan sejenisnya. 

awalnya tempat ini sangat teduh dengan banyak pepohonan yang menaunginya. sayangnya, kini banyak pohonnya telah ditebang beberapa hari yang lalu. dari tempat ini, IFI sangatlah dekat. tak ada lima menit jalan kaki. aku sering makan sambil membaca buku di sini. melihat kendaraan yang lewat tiada henti. dan merenungkan dunia yang berputar terus-menerus. yah, setidaknya, terkadang ada beberapa orang tolol yang mengendarai mobilnya hingga membuat macet. kedua mobil bertemu di tengah jalan yang sempit. di mana keduanya tak mau mengalah. bahkan seringkali membuat jengkel seorang yang membantu. mereka yang membuat masalah tapi tak mau sekedar berterimkasih. sangat banyak orang jenis seperti itu. dan menjengkelkan.

udara menjadi sangat dingin. Jogja semakin padat. dan saat aku kembali membuka-buka halaman buku Paul R. Ehrlich, aku sadar. dia cukup benar dalam hal-hal tertentu yang aku amati. kitalah manusia, yang membuat masalah setiap hari tapi tak merasa membuat masalah itu. dan kekayaan beserta otak terpelajar yang mandul, telah menghasilkan Jogja yang semrawut. kedai kecil ini, terkadang bisa menumbuhkan berbagai macam perenungan. yah, seperti yang aku renungkan kali ini. 

dunia semakin tampak aneh dan asing di mataku.

JOGJA: TELKOM










aku ingin pulang. mengayuh sepeda. yah, baru saja mengayuh, gerimis jatuh. baiklah, aku terpaksa kembali bergabung kembali dengan dua orang yang sibuk dengan percakapan mereka. yang satu asli Jogja. yang satunya lagi muslim asal Prancis. seorang imigran tentunya. mereka membicarakan banyak hal.

sedangkan aku membuka tasku, mengambil buku Dunia Tanpa Manusia karya Alan Weisman, dan mengamati jalanan di bawah sana yang semakin sepi. bau hujan menguar hingga ke kulitku. dingin. aku melingkarkan syal ke leherku. yah, sialnya, kaki dan tanganku yang terbuka, tak kebal dengan rasa dingin. bodoh.

aku membaca ulang karya Weisman, dan kini berada di halaman 139. lelah. ya, lelah. mata mengantuk. mau bagaimana lagi, sepertinya masih gerimis. sambil menunggu, aku lebih baik menulis sesuatu. tidakkah itu lebih baik?

aku sangat sering di tempat ini. beberapa bulan yang lalu, keadaan tak sebagus ini. setelah direnovasi dan dibangun kembali, suasananya benar-benar semakin ramai. stadiun Kridosono menjadi latar belakang yang suram. dan pohon-pohon yang menyergap SMAN 3 bagaikan membuat suasana berada di pinggiran hutan. hanya saja, keheningan selalu dipecah oleh percakapan, tawa terbahak bersama, dan kendaraan bermotor yang lewat. setidaknya aku tahu, aku berada di dunia manusia. di pusat kota Jogjakarta. bukan di hutan, yang tak akan mungkin tumbuh di sini.

sayangnya aku tak mengalami apa yang dirasakan Allan Cavinder, seperti yang diceritakan oleh Weisman:  ketiadaan suara manusia yang biasanya memantul dari dinding ke dinding membuatnya tertekan.

aku berada di tahap pertengahan. muak dengan yang terlalu ramai. dan tak tahan dengan yang terlalu sepi. bahkan terkadang tak betah berada di kondisi yang seharusnya pas dan cukup nyaman. huhf, hujan turun lagi. bagaimana aku akan pergi dari sini?

asap rokok dan pekak suara yang terlalu keras. aku benar-benar ingin memasukkan orang-orang itu ke tong sampah. apakah tong sampah akan menangis karena menampung orang-orang macam mereka? Jogja berjalan ke arah yang tak jelas. 

seharian ini aku bersepeda dari tempatku sampai ke Kota Baru. melihat suasana pagi di sekitar lembah UGM. melihat orang-orang sibuk berjalan kaki dan berolah raga. atau berjualan di sepanjang jalan yang ditutup. kondisinya tak terlalu menyedihkan seperti dulu saat jalan belum ditutup dan sebagiannya dibangun kembali. tak banyak sampah kali ini. cukup menyenangkan. kapan-kapan aku ingin membaca buku di danau kecil yang terletak di lembah UGM. banyak pohon dan suasananya sangat teduh. entah mengapa, baru beberapa hari di sini, aku sudah merasa kesepian.

hari minggu seperti ini, aku tak mau terganggu dengan berjualan atau apalah itu. aku masih sangat tak nyaman. aku ingin sedikit menikmati Jogja. malam ini, aku gagal untuk memperbaiki sepedaku dan merasakan Malioboro. tapi tak mengapa, aku mendapatkan banyak game yang bagus. dan kemarin, aku membeli handphone Lenovo Vibe X2, guna menemaniku mencari uang dan melepas kebosananku. aku mendapatkan cukup banyak game bagus hari ini di Telkom: Xenowerk, N.O.V.A 3, Asasin's Creed Pirates, World of Gunship, dan dua game lama: FIFA 16 dan NBA LIVE. dengan memori internal 32 giga, rasanya aku bisa memasukkan cukup banyak game di dalamnya. selain itu, aku masih memiliki OPPO Find 7a, yang aku gunakan untuk mendokumentasikan apa saja yang layak masuk dalam kameraku. yah, bisa dibilang, aku orang miskin yang masih beruntung. 

bau rokok sering menjengkelkanku. dan rasa kantuk semakin menyerang. saat aku melihat ke arah timur dari tempatku yang berada di barat, videotron, puluhan sepeda motor berjajar menandakan pola pikir dan gaya hidup anak muda hari ini. dan aku merasa, yah, aku hanya minoritas pesepeda yang semakin terancam punah. dan pendidikan di berbagai universitas di kota ini. terlihat sangat tidak maju. kesadaran akan lingkungan masih sangat rendah. tapi apa peduliku? 

'semua yang di Dunia Baru lebih buruk daripada yang ada di Dunia Lama, termasuk alam liarnya,' tulis Weisman mengulang pandangan tokoh dari Prancis. jika menyangkut alam liar, kota adalah alam liar yang lain. di mana kita saling memangsa dan mengabaikan. sebuah dunia, di mana orang mati besok lalu terhapus oleh tetangga sekitarnya. rasa-rasanya aku terlalu banyak berpikir. ini sangat tidak baik.

puluhan anak muda masih sibuk berinternet ria dan berbincang di sini. tempat ini menjadi ruang publik yang hidup. bahkan sering aku melihat ada seseorang yang terjaga hingga pagi hari demi menikmati jaringan data super murah. di sisi kiriku, ada perempuan cantik dikelilingi oleh banyak laki-laki. begitu juga di beberapa titik. dan perempuan-perempuan ini sangat modern, cantik, modis, tapi terlihat gelisah. mungkin sangat gelisah dan tak bahagia. dan ketika membuka-buka instagram, aku melihat generasiku berada dalam masa hidup yang kacau dan gagal mencapai kebahagiaan hidup. dan laki-lakinya? terlihat berantakan dan tak jelas. kadang lusuh. sedikit yang menyenangkan untuk sekedar dipandang. 

dengan banyaknya tempat semacam ini: akses terhadap internet, informasi, buku, perpustakaan, toko buku, universitas besar, ruang seni, sastra, dan budaya. dan ribuan anak muda yang sangat aktif hingga tengah malam sampai pagi hari. kenapa kota ini masih sangat buruk dan bagaikan tempat yang sangat tertinggal? sebuah kota, yang tak mampu memaksimalkan potensi yang ia miliki. atau masyarakat yang tak bisa memanfaatkan apa yang kota miliki?
aku semakin mengantuk. tapi entah kenapa, rasanya malas kembali ke kamar. aku memandangi bukuku dengan perasaan aneh. beberapa hari terakhir ini aku membawanya ke manapun. dan membacanya selagi sempat. terkadang, terpikir olehku, untuk apa lagi aku harus mencari uang? bekerja untuk mati. dan bermalas-malasan juga untuk mati. menyebalkan bukan?

di malam hari, atau pagi hari yang awal. Jogja terlihat sedikit lembut. atau melankolis. segala kesemrawutan dan bising jalanan seolah-olah ikut tertidur. dan seorang perempuan cantik yang merokok, tiba-tiba merusak segalanya. apakah aku membenci perempuan perokok? tidak. aku hanya sedikit kasihan dengan mereka. merokok adalah tanda kegelisahan. ketergantungan pada sesuatu guna menekan apa yang tidak menyenangkan di dalam hidup. kecemasan-kecemasan dan dunia yang dirasa kacau. dan rahim yang akan buruk. serta bayi yang berpotensi mengalami hal yang tak terlalu baik jika pada akhirnya memutuskan untuk memiliki anak. keberatanku, berada di seputar ini.
tubuhku sudah mulai memperingatkanku untuk pulang. udara semakin dingin dan tubuhku semakin tak kuat menanggungnya. terkadang aku merespon dua orang yang sejak tadi tak henti mengobrol menggunakan bahasa inggris. yah, masih ada yang harus aku kerjakan besok. hidupku tidak hanya sekedar ini. tempat ini, aku rasa, akan semakin ramai dan banyak diisi oleh anak-anak muda yang butuh ruang kebebasan yang lebih besar. hingga pada akhirnya, waktu terbalik bersama mereka. kegelisahan yang tak menghasilkan apa pun.

beberapa hari yang lalu, di tempat ini juga, aku terlibat sebuah perdebatan atau diskusi yang berujung pada ketidakjelasan. masing-masing mempertahankan gagasan sendiri tentang dunia. dan di titik tertentu aku berpikir, menyadarkan seluruh umat manusia terasa konyol. jika untuk menyadarkan satu orang saja, atau hanya sekedar saling mencari titik temu sudut pandang pun gagal. dan dunia ini, tak hanya diisi oleh satu orang saja. tapi milyaran. aku kasihan dengan para aktivis yang merasa bisa mengubah dunia denga menyadarkan orang-orang seperti hewan bodoh yang belum pernah belajar di sekolah. pengalamanku berbincang dengan berbagai macam jenis orang, memperlihatkanku bahwa dunia ini akan terus penuh denga konflik dan keluhan-keluhan konyolnya. dan Jogja, sedikit memiliki jenis manusia yang bisa aku ajak bicara panjang lebar. dibagian itulah aku merasa sangat bosan.

bau rokok elektrik sangat menyengat dan membuat dadaku terasa sakit. aku benci rokok tipe baru yang sangat brengsek itu. memang, sudah waktunya aku balik. di dalam dunia yang pendek ini. rasa-rasanya, kita makhluk yang memang tak terlalu berguna.

Sabtu, 21 Januari 2017

JOGJA; BENTARA BUDAYA







hidup di sebuah kota yang sangat membosankan semacam Jogjakarta. sebuah galeri seni semacam Bentara Budaya Yogyakarta, cukup bisa menghibur diriku. setidaknya, awal dari menginjakkan kaki kembali tak terlalu buruk. aku disuguhi pameran JLN Dua Pekan. cukup menarik tapi sangat biasa. sedikit karya seni yang kini bisa membuatku berdecak kagum. walaupun begitu, seni dan karya seni, selalu bisa membuatku sedikit terhibur dan melupakan lelah. dan yang menarik dari Bentara Budaya Yogyakarta adalah keramahtamahannya. seolah-olah aku bagaikan berada di rumah setelah sekian lama menghilang entah kemana. Bentara adalah satu-satu galeri seni yang paling layak aku kenang.

aku, dan salah seorang temanku, yang kini menjadi penghuni rumah tuhan, selalu berceloteh atau bergurau mengenai tempat kesenian ini. bahwa Bentara Budaya Yogyakarta adalah satu-satunya tempat yang menampung sekian banyak pelarian dan orang yang sedang kelaparan. dari para seniman tak banyak modal hidup. hingga para penulis dan mereka yang tak memiliki tempat untuk tinggal. Bentara Budaya adalah pahlawan bagi mereka yang kekurangan gizi dan hidup serba pas-pasan. penghuni nyaris tetapnya, yah, siapa lagi kalau bukan diriku ini dan beberapa orang yang sering terlihat bersamaku. tidakkah wajahku terlihat sangat miskin?

sangat banyak galeri di kota ini. tapi Bentara adalah yang paling membuatku sangat nyaman. melihat orang tertawa, berbincang, berkumpul, atau sekedar berjalan sesuka hatinya ke sana kemari, seolah-olah ada kebebasan untuk bergerak dan berekspresi tanpa harus malu di galeri ini. jajanan pasar dan seringkali soto panas yang sangat nikmat. membuat suasana begitu cair dan akrab. suasana yang jarang aku dapatkan di berbagai galeri lainnya yang terkesan sangat berjarak.

selain suasana akrab dan penyelamat orang-orang kelaparan. hal yang paling membuatku senang dari tempat ini adalah pemberian katalog atau poster gratis di hampir setiap acaranya. bagiku, inilah yang paling penting dan membuatku ingin selalu datang. kenapa begitu penting bagiku? sebagai orang yang belajar, katalog membantu menjebatani dari apa yang tak sempat dilihat atau direnungkan saat melihat karya seni. dan tentunya, bagi orang semacam aku, aku memiliki dokumentasi yang akan aku gunakan untuk menulis perihal seni di kota Jogja. walaupun begitu, di dalam dunia kesenian, aku ingin tenggelam dan berjarak.

Bentara Bentara memiliki letak yang sangat ideal. terletak di tengah kota dan dikelilingi oleh berbagai universitas besar semacam UGM, UNY, SANATA DHARMA, UAD, dan lainnya. sangat dekat dengan Tugu, Malioboro, Gramedia, toko buku Togamas, Perpus kota, dan deretan tempat nongkrong yang sangat banyak. yang paling menggelisahkan adalah jumlah ribuan mahasiswa dan orang lewat, tak membuat galeri ini, yang nyaris selalu aku datangi ketika ada acara, terlihat sangat penuh. kebanyakan hanya di antara kalangan seniman sendiri dan lebih banyak anak-anak ISI dari pada yang lainnya. orang semacam aku yang lebih suka mengamati, sedikit terpukul pada kenyataan bahwa, bahkan kesenian pun sangat sepi peminat. kebanyakan orang atau mahasiswa lebih menyukai cafe dan sejenisnya. sastra lebih tragis lagi. acara-acara sastra lebih mirip kuburan di tengah kota terpelajar dan dipenuhi banyak buku ini. setidaknya, kesenian belum mengalami hal yang terlalu buruk dibandingkan sastra dan lainnya.

jika berada di antara para seniman, aku selalu mengambil jarak. walaupun pada akhirnya kadang gagal dan malah berbincang atau kenal dengan beberapa seniman tertentu. seandainya aku mau, aku bisa kenal luar biasa banyak seniman. tapi aku berlaku surut. aku tak ingin banyak dikenali di dunia seni. aku hanya ingin menikmati berbagai jenis galeri seni dengan beragam acaranya tanpa harus dibebani oleh perasaan tak nyaman karena berkomentar terlalu sinis. hal semacam itu, akan ada tempatnya di saat nanti. dengan berlaku surut, aku bisa mengamati dunia kesenian dengan cukup bebas. aku bisa belajar banyak di dalamnya. membeli buku-buku seni dan menikmati apa yang selama ini aku sukai. sesekali aku juga membuat sketsa atau lainnya. walaupun begitu, aku tahu, aku tak terlalu pandai di bidang ini kecuali keragu-raguan. aku lebih cocok menjadi sekedar seorang yang menulis atau membicarakan filosofi seni yang menjadi landasan orang-orang berkesenian. dan mempertanyakannya. mungkin di situlah posisiku berada.

beberapa hari di kota ini, aku sudah disambut oleh beberapa pameran kesenian. aku hanya bisa mendatangi tiga di antaranya. yang satunya secara tak sengaja. pameran di Museum Affandi, Taman Budaya Yogyakarta, dan tentunya Bentara. walaupun begitu, Bentara Budaya Yogyakarta masih sangatlah intim bagiku. pernah, aku ingin sekali berbincang dengan romo Sindhu, tapi akhirnya aku surutkan karena aku tak ingin dikenali oleh banyak orang dan beberapa tokoh yang sudah terkenal. sering melihat Joko Pekik, Nasirun, dan pernah berbincang dengan Lindu, Andre Tanama, pak Tri dan beberapa seniman luar. tapi yang jelas, aku akan langsung menjaga jarak sejauh mungkin dari mereka. jika tidak, aku tak akan memiliki ruang gerak yang leluasa jika banyak orang mengenaliku di semua tempat aku berada. aku tak menginginkan hal semacam itu terjadi. dan kebebasan berpikirku akan hilang dan mati.

kebebasanku menganalisa, mengamati, dan berpikir adalah hal yang lebih besar dari segalanya. dan yah, jika berada di berbagai galeri seni, aku mirip orang asing yang tak nampak dan sangat kecil. dan itu menyenangkan. sangat menyenangkan menjadi tak terlihat di mana pun.

seperti Afrizal Malna dalam bukunya Perjalanan Teater Kedua, aku mengamati orang-orang lewat tubuh, gerak, dan apa yang mereka kenakan, bicarakan, dan teman dekat mereka untuk berkerumun. itulah yang sangat menarik ketika aku berada di berbagai pembukaan acara kesenian. mengamati orang-orang dan merenungkannya. melihat atau mengintip sedikit kepribadian mereka ketika berada di acara seni. lalu melihat kecenderungan besar dikemudian hari.

dan Bentara Budaya, dengan orang-orangnya yang sering aku lihat berkali-kali, seolah-olah bagaikan sebuah rumah tersendiri. sedikit tempat yang membuat aku terhibur dan melupakan bahwa aku sedang berada di sebuah kota yang sangat membosankan. mau bagaimana lagi, Jogja memang adalah kota yang membosankan. itu adalah kenyataan. 

JOGJA: 17 JANUARI 2017








angka 17, aku tak tahu kenapa angka ini seolah bagaikan menjadi misteri khusus bagiku ketika berada di kota ini. dua tahun yang lalu, aku mendapatkan tempat tinggal di Bantul, tepat pada tanggal 17. baiklah, ada apa ini? apa aku harus mencoba menyelidikinya melalui numerologi? aku rasa tidak. lagi pula, aku tak membawa buku karangan Annemarie Schimmel, The Mystery of Numbers. aku hanya membawa satu buku berwarna putih dari Afrizal Malna, Perjalanan Teater Kedua. dan sebuah tubuh yang sakit-sakitan. tentunya, jiwa yang kacau.

dan saat ini, aku sangat lelah. mataku ingin sekali mengucapkan sampai jumpa pada langit-langit kamar. sialnya, udara sangat dingin. kamarku sekarang ini, yang terletak di jalan Kaliurang Km. 5 Gg Kenari 3, hanya sekedar memiliki kasur dan bola lampu yang jelas berada di atas kepalaku. bahkan tak ada bantal atau guling. terlebih selimut. perabotan lain pun tak ada. beginilah tempat indekos di kota Jogjakarta. salah satu kota yang memiliki kamar kos terburuk dan termahal. tapi, yah, kamar yang ini, lumayanlah. tak terlalu buruk. walau jika dibandingkan dengan kota semacam Semarang atau Bandung, Jogja termasuk sangat mahal. kadang bisa aku bilang, kejam. sebanding dengan Surabaya yang kekejamannya mirip dengan kota ini. rasa-rasanya, kota ini menjadi semakin tolol saja. entahlah.

tanggal 17, Januari 2017. awal tahun dengan dua angka 17. sangat menarik. tempat tinggalku berada di Wisma Melati Bangsa. sangat dekat dengan Universitas Gadjah Mada. mungkin sekitar 2 menit. atau berjarak 150an meter. bisa dibilang, dibandingkan kamar indekos yang aku cari di internet dan aku telusuri di Sagan. ini termasuk cukup murah dan memuaskan. aku sempat tergoda untuk mencari kos ekslusif yang mirip hotel karena aku di sini hanya untuk sebulan. tapi buat apa membuang-buang uang? lebih baik aku simpan untuk nanti ke Surabaya atau Bandung lagi. aku sedang bosan, sakit-sakitan, dan kondisi jiwaku dalam keadaan menyedihkan. membuang uang di sini dengan percuma, benar-benar idiot. aku tak ingin menambah daftar orang idiot di dunia ini. dan aku sudah cukup menambah lagi kadar keidotan diriku. 

lagi pula, aku sedang miskin. orang yang sedang miskin jangan berlagak sok kaya dan uangnya bagaikan air terjun dari dimensi lain. baiklah, aku jadi iri dengan Eric Weiner kalau begini. dan rasa-rasanya pikiranku sedang dipenuhi berita-berita Wall Street, kejatuhan kedua Apple, dan mungkin, periode kemunduran Samsung. apakah aku sudah mirip pengamat ekonomi? oh tidak. menjadi pengusaha pun adalah sejenis penyelewengan. tapi, tidakkah selama ini, aku hidup persis sebaagi kapitalis kecil? 

ah, yang paling mengerikan dari seluruh bakatku adalah, aku memiliki bakat untuk menjadi seorang pedagang atau pengusaha. bakat yang menjengkelkan dan, mungkin untuk saat ini harus aku terima. aku juga memiliki bakat untuk menjadi politikus. tidakkah itu keterlaluan? seorang filsuf menjadi pengusaha, atau pedagang? oh ya, George Soros adalah filsuf dan juga pengusaha. aku tidak sendirian. Steve Jobs dan Bill Gates, bohemian dan pengusaha. masalahnya, bakatku ini tak ditopang dengan keinginan yang serius. aku lebih suka menjadi seorang filsuf. atau ideapacker. orang yang mengembara untuk idea-idea. apakah ini sejenis pengkhianatan bagi diriku sendiri?

oh, tidak. aku punya banyak kepribadian yang menopang berbagai bakat yang berbeda. aku hanya tinggal menggesernya, kepribadian mana, yang akan mengambil alih dan memimpin. kali ini, aku kembali ke Jogja setelah dua bulan kabur dari kota yang sangat membosankan ini. kota yang benar-benar sangat membosankan. 

kepergianku terasa mirip dengan Max Rodenbeck dalam bukunya Kairo, walau tak sama persis. dan untuk apa aku harus kembali ke kota brengsek ini? 

aku ingin menjual semua barang dan buku yang masih tersisa yang aku tinggal di kota ini. yang jumlahnya masih cukup banyak. dalam dunia ekonomi, terlebih manajemen, ada sebuah prinsip yang mengharuskan bersikap pragmatis. yang mana, barang yang sudah tak penting, tak terlalu berguna, atau menjadi beban, lebih baik harus dibuang atau dijadikan modal agar kembali berputar dan menghasilkan. walau itu berarti rugi pada tahap awalnya. lebih baik rugi dalam waktu singkat dari pada terus merugi dalam waktu sangat lama. sebagai seorang pragmatis dan ekonom amatir. aku menganut sudut pandang ini. mungkin terkesan sangat Amerika. lalu apa urusannya?

dan waktu satu bulan, adalah jarak di mana aku sedang menguji diriku sendiri. apakah aku masih merasa sangat bosan dengan kota ini atau pada akhirnya aku mampu sedikit hidup dan agak tenang. jika kondisi jiwaku masih saja kacau. yah, aku harus kembali angkat kaki. kota ini mungkin hanya diperuntukkan bagi orang-orang waras.


 
satu bulan adalah waktu lain yang ingin aku manfaatkan untuk mengenang tempat-tempat yang pernah aku datangi dan sukai. atau yang belum sempat aku injak. aku memilih tinggal di pusat kota dan dekat UGM agar aku bisa menggunakan sepeda sepuasku atau berjalan kaki, membaca buku di Malioboro, Tugu, atau sekitar UGM. aku juga sangat mudah ke perpus kota, Bentara, atau toko buku. aku ingin sedikit bersenang-senang dengan kota ini. bersenang-senang adalah hal yang sangat langka bagi otakku yang terus berpikir. rasa-,rasanya aku ingin melihat Merapi meletus. mungkin akan menyenangkan.

mencari kos-kosan, membuatku semakin sadar dengan kota ini. tak ada tempat yang cukup elegan di Jogja. bahkan jalan Sagan yang sangat terlihat istimewa hanyalah tempat bobrok, berisikan gang sempit, rumah berdempet, kecil, atau kadang terkesan suram. begitu juga di sekitar UKDW, Kaliurang, atau bahkan Prawirotaman atau Tirtodipuran. hanya sekitar jalan Suroto atau Kota Baru-lah, yang cukup bagus. lainnya hanyalah kampung. Barbasari, Seturan, Godean, Gejayan, Condong Catur, Sanata Dharma, tak jauh beda. walau ada beberapa yang lumayan di sela-sela tempat itu. selebihnya, buruk. atau menyedihkan.

Jogja adalah kota kecil yang sebentar lagi habis. apa boleh dibuat. dan yang sampai sekarang ini membuat aku jengkel adalah betapa kejamnya harga sewa kamar indekos di sini. dengan fasilitas yang seringkali kosongan. ya, kosongan. jadi, orang sudah mirip kambing yang harus tidur di atas lantai dengan karpet yang seadanya. seolah-olah karpet tipis yang super dingin itu sudah sangat mahal dan mewah untuk menghibur seorang yang sedang kelelahan, sakit, atau yang baru datang dari luar kota dan ingin segera tidur. dan hampir semua kos di Jogja adalah kosongan. sebentuk penghinaan terhadap kemanusiaan, dan tentunya, apalagi kalau tidak sangat rakus dan terkesan bermata uang? 

bagaimana seorang harus membeli kasur, bantal, lemari sendiri jika baru sampai di kota ini? inilah omong kosong Jogja. omong kosong paling tak berperasaan dan sungguh kejam. bahkan kamar seharga 400 ribu pun sangat suram dan mirip kandang babi. kosongan pula. 500 ribu, kecil dan kosongan. 600 ribu, kecil dan kosongan. bahkan ada yang 700 ribu kecil dan juga kosongan. aku berharap, seluruh kos di Jogja terbakar. ya, terbakar. aku bersumpah, aku akan sangat bergembira.

banyak kos di Bandung, cukup lebar, kadang lebih bagus, dan terisi oleh lemari, kasur, dan rak buku, bisa lebih murah dari kota ini. apalagi Semarang, 200 ribu bisa mendapatkan kos senilai 500-700 ribu dengan lemari dan kasur yang selalu tersedia. kota-kota kecil lebih istimewa lagi. 500 ribu, kau bagai mendapatkan kamar berbintang. Jogja? kota terpelit yang pernah aku tinggali. angkringan dan kamar kos, hal yang nyaris sinonim.

kamar kosongan akan menjadi kenangan yang paling aku benci dari kota ini. sedikit saja furniture, harga langsung melambung. tidakkah ini sejenis kota Kapitalis? atau kota iblis? seandainya ada kamar kos dikisaran 800-2juta. jelas masih tak sebanding dan terlalu mahal jika melihat isinya dibandingkan beberapa kota lain. kota berbudaya ini, semakin keranjingan dengan uang. masyarakat berlomba-lomba menjadi rakus. tanah menjadi mahal. begitu juga pendidikan dan ramah tamah.

Jogja semakin berubah menjadi kota mahal yang buruk rupa. 



sepertinya aku sudah lelah dan ingin segera mengatupkan mata. demam tubuhku sudah sedikit tak terlalu mengerikan. hanya saja, aku terserang flu. dan untuk mendapatkan tempat ini, aku beruntung ditemani seseorang laki-laki seniman yang, kalau dilihat-lihat, nyaris tak jelas bentuknya. tak jauh beda dengan bentukku yang buram.

550ribu sebulan. tak terlalu buruk dengan lingkungan yang bisa dikatakan lumayan. dan, sebelum aku menikmati mimpiku. ingin aku menghajar beberapa nyamuk yang tanpa rasa hormat birahi dengan kedua kakiku. 

pada akhirnya, aku kembali di angka 17. angka yang aneh dan misterius.

BANDUNG: KOTA ORANG-ORANG GILA








Di Indonesia, tidak semuanya terlihat seperti sebagaimana mestinya dan hal ini berulang kali terbukti sangat mengganggu.
Christoper Lucas
1970



Andre Vltchek, ya, Andre yang itu, menganggap Bandung sebagai kota yang tak layak mendapatkan penghargaan sebagai Kota Kreatif dari Unesco. Yah, aku pun geram, benar-benar geram ketika Bandung mendapatkan hal semacam itu. Itu menghina semua orang yang berakal sehat, di negara ini. Seandainya ada yang masih sehat juga. Dan seorang asing dari Bulgaria bernama, Inna Savova menganggap Bandung sebagai The City of Pigs. Dan tulisannya yang indah itu, membuatku terpingkal-pingkal; You are just a pig and money are not an excuse.  Dan aku harap, warga Bandung mengakuinya. Aku hanya berharap. Tak lebih. Dan aku pun tahu, Ridwan Kamil pun tak akan bisa menyelesaikan masalah Bandung di sebuah kota yang dihuni oleh orang-orang gila, yang tubuhnya hidup di antara abad 21 dan pikirannya di abad ke-13.

Masyarakatnya sendiri, akhir-akhir ini, menganggap kota itu sebagai Bandung Lautan Sampah. Beberapa waktu yang lalu, aku menjuluki Bandung sebagai Kota Bekas. Dan saat aku pikir-pikir kembali, mengingat kota yang harusnya indah dan terpelajar itu terlihat sangat mengerikan, Bandung lebih cocok disebut sebagai Kota Orang-Orang Gila. Ya, tempat orang-orang gila yang tak sadar akan kegilaannya, itulah Bandung. Dan aku sedang menuju kota itu. Meninggalkan Bogor yang samar di belakang sana. Yang kian hari semakin buram dalam kegilaan yang sama.

“Kembalinya Pram mengisyaratkan hidupnya kembali Indonesia,” harap Andre Vltchek dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian! pada tahun 2005. Dan Pram pun memenuhi berbagai macam toko buku, dibaca, didiskusikan, dikagumi. Lalu  apa yang terjadi? Kota-kota di Indonesia semakin runtuh beserta seluruh desa yang masih tersisa dan mereka yang bersembunyi di daerah yang susah dijamah manusia. Kesadaran masyarakat Indonesia merangkak lebih pelan dari pada amuba. Dan bus, dengan keremang-remangannya, merangkak menuju Bandung, kota yang tak jauh beda kengeriannya dengan Jakarta. Hujan pun jatuh. Membasahi kaca. Apakah sastra hanya onggokan tai bagi masyarakat negara ini?

Sesekali menatap perempuan cantik di seberang tempat aku duduk, aku mengambil buku catatanku, lalu menulis beberapa puisi:

ketika hujan
membekas mata
perjalanan adalah
menghapus lelah
dan menambah
lelah lainnya

tak ada yang sama
pada waktu yang terlihat
dunia adalah sementara yang rapuh
tak ada yang abadi dengan perjalanan-
perjalanan.

**

lampu-lampu
yang mengagumi cair
serta malam yang
membawa aku
kepada kemungkinan-
kemungkinan.

akhir yang hilang
bagi jiwa yang
termangu.

**

semua yang lahir
dari atas akhirnya
turun ke bawah

segalanya adalah
bercak di dalam
remang

tak ada yang bisa
kembali dari kematian

tak ada yang akan
datang dari jalan
yang hilang.

Hujan membuatku rentan. Apa yang harus aku lakukan setibanya di Bandung saat hujan deras mengguyur kota itu pada tengah malam? Di mana aku akan bermukim dengan barang bawaan yang sialnya, atau aku terlalu tolol karenanya, sangat berat dengan banyak buku di dalamnya? Sekali lagi, kecanduan buku bisa membuat orang terlihat sinting. Apalagi yang tak kecanduan dengannya di negara ini? Dan perjalanan adalah keanehan-keanehan yang tak terduga.



Aku pun turun di Luewi Panjang. Masih sangat gelap. 00:30. Sisa bau hujan masih menyengat di hidung dan kulitku. Apa yang harus aku lakukan di terminal, yang mana ketika aku baru saja turun sudah langsung diserbu oleh para sopir taksi dan ojek? Aku menolak mereka semua. Masuk ke dalam keramaian cahaya terang dari pedagang kaki lima di terminal kecil yang terkesan angker itu. Kata kekasihku, nanti setelah bertemu dengannya, di terminal ini, pernah terjadi pemerkosaan yang dilakukan oleh sopir dan teman-temannya. Yah, sayangnya aku laki-laki dan kelebihan kadar gilanya. Seandainya ada perempuan yang memperkosaku, aku akan mempersilahkannya dengan lapang dada. 

Aku memesan bakso satu porsi. Mendudukkan diri dengan barang-barang, yang, sialannya,  masih sangat berat. Mengambil salah satu buku dari dalam tas. Dan kini aku sedang membaca Mereka Bilang, Saya Monyet! Dari Djenar Maesa Ayu. Membacanya sebentar saja otakku nyaris pecah karena bosan. Otak macam apa orang Indonesia itu, karya sejelek ini, mereka kagumi nyaris sinting dan idiot?

Jam berganti jam. Orang-orang datang dan pergi. Aku menunggu pagi yang terasa sangat lama. Benar-benar terasa sangat lama. Membaca Djenar dengan perasaan enggan. Tubuh meliuk-liuk karena punggung terasa pegal dan perlahan nyeri makin merambat. Menyaksikan adegan seorang tua, anak muda yang lebih muda dari aku, berjualan mengurusi orang-orang hingga pagi menjelang. Betapa beratnya kehidupan mereka? Dan berat kehidupan itu, membuat mereka masih sangat ramah kepadaku. Benar-benar ramah. Atau apakah mereka menjalaninya dengan riang sementara aku ini, onggokan daging yang lebih sering mengeluh tentang kehidupan ini. 

Buku Djenar yang membosankan pun selesai aku baca. 05:00, aku memanggil Go-Jek. Berdiri di jalan Soekarno-Hatta yang gelap. Menunggu. Menerima panggilan telpon. Ah, ternyata sang Go-Jek muda ada di seberang jalan, sedang bercanda dengan teman-temannya di warung. Aku langkahkah kakiku dengan tiga beban berat memenuhi tubuhku. Tertatih. Menyeberangi jalanan yang masih sunyi kecuali satu dua kendaraan yang lewat. Di Bandung, hal yang paling menyenangkan adalah pagi. Pagi menjelang matahari terbit. Sebuah fajar yang indah di kota Bandung yang sebentar lagi menyeramkan.

Motor pun melaju sedang. Jalanan yang masih sangat sepi memang sangat memuaskan. Kegelapan dan remang jalanan membuat sisi-sisi terjelek kota ini terasa menghilang dan tiba-tiba terhapus. Bandung memiliki banyak daerah kumuh dengan beragam kemiskinannya. Tapi, kegelapan dan remang pagi membuat semua kenyataan itu menciut. Tak begitu nampak.

Motor meliuk-liuk. Melewati berbagai macam tempat yang tak begitu aku kenal. Aku sudah lelah. Aku malas untuk mencatat di buku jurnalku. Aku hanya mengandalkan suasana hatiku kali ini. Bandung bagian selatan tak enak jika dipandang di siang hari. Bahkan ketika pagi datang pun, sekitar jam 05;00 lebih, di beberapa bagian tertentu,  kota ini sudah mengerikan. Setidaknya, kali ini aku tak terlalu menemukannya. Jalanan masih cukup lancar. Motor menuju jalan Pangarang, ke Hotel Nandya. Aku mencari hotel murah nyaman untuk memulihkan kelelahanku. Dan aku benar-benar sudah lelah dan ingin tidur.

Memasuki gang atau jalan Pangarang, situasi kampung sangat kental mengingatkanku dengan Jakarta. Nyaris mirip. Bahkan sekitar Braga atau Alun-Alun pun, dunia di sekitar situ, nyaris terasa hampir runtuh dan bobrok. Kian hari, Bandung tak mampu menutupi kantong-kantong kemiskinan dan kekumuhannya. Terlebih bagi mereka yang senang menjelajah dan berjalan kaki akan terkaget melihat wajah Bandung yang lain itu. Mereka yang terbiasa dengan keindahan jalan Asia Afrika, Braga, dan Dago yang tersisa. Akan sangat sangat kecewa dengan penemuan yang benar-benar menggelisahkan di kota sebesar dan seelit Bandung. Trotoar yang rusak, hilang, bahkan tak ada. Gedung-gedung yang bagaikan terhantam bom. Sampah di mana-mana. Terlebih, yang paling mengesalkan adalah puntung rokok hampir ada di setiap tempat. Perokok adalah salah satu yang paling susah memiliki kesadaran lingkungan kebersihan, membuang abu dan sisa rokoknya di sembarang tempat. Tempat-tempat sampah yang dulunya menghiasi jalan Merdeka, entah hilang ke mana. Bahkan tanaman gantung untuk meminimalisir polusi pun rusak di sana-sini. Di hampir semua tempat, dari Masjid Raya hingga deretan Mal, kebersihan nyaris tak mungkin. Bahkan taman Balai Kota hingga taman Lansia, sampah seolah menjadi bagian dari warga kota. Tak heran jika Inna Savova geram. Aku sejujurnya juga merasa geram. Tapi, mengingat orang-orang Bandung lebih gila dari kota-kota lainnya, sudah bukan tahap geram lagi yang aku miliki. Tapi tahap pengakuan. Bahwa Bandung adalah kota gagal dan gila. Di mana kota yang memiliki universitas teknologi, kota pendidikan ini, dengan sederet orang kaya terpelajar, nyaris tak bisa melakukan apa-apa. Yah, karena mereka memang tak ingin melakukan apa pun kecuali kesenangan diri sendiri. Berbelanja habis-habisan. Menaiki mobil yang jumlahnya mengenaskan hingga membuat jalanan seperti tempat kebodohan sedang merumput aspal. Itulah Bandung. Kota bekas, yang bukan buatan sendiri, yang keindahannya dihancurkan di sana-sini.

Keindahan jalan RE. Martadinata, atau Riau pun akan hancur jika matahari sudah naik di ufuk timur. Bahkan, kemacetan sudah menjadi kewajaran di jalan ini. Anak-anak berangkat sekolah diantar oleh orang tua mereka dengan mobil. Coba bayangkan, apa jadinya jika anak-anak kecil, yang jumlahnya satu, di antar dengan mobil, mobil dan mobil? Satu anak dengan mobil. Lalu, berapa ratus atau ribu anak yang diantar dengan mobil? Lalu ketika pulang, mobil dan mobil lagi sebagai penjemput yang kadang benar-benar bagaikan ketololan permanen warga Bandung. Apa susahnya menggunakan motor atau angkutan kota? Efek kemanjaan dan gengsi, atau ketakutan-ketakutan, tak ubahnya membuat Bandung identik dengan Jakarta.

“... ilusi diperlukan, dan ‘kebenaran” mungkin hanya kesepakatan sosial dalam berkhayal,” celoteh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggirnya. Dan tepatnya, seperti itulah Bandung. Yang mengiklankan dirinya indah, dan di dalam khayalan kita, Bandung seolah-olah kota yang molek, warisan Moii Indie Raden Saleh atau lekukan kanvas Sudjodjono. Sebagai kota yang mengawali kesenian modern Indonesia, Bandung sangat jelas tak lagi terkesan dengan seni keindahannya. Melainkan seni kehancuran yang dipercepat.  



Go-Jek menurunkanku tepat di depan hotel. Aku memasukinya. Terlihat sepi dengan orang-orang yang terjatuh tertidur di kursi dan sofa. Aku membangunkan resepsionis, mengagetkannya, memesan hotel untuk jam 12;00 hingga besok, menitipkan barang bawaan yang jumlahnya mengerikan, mencuci muka, membuang hajat, memesan Go-jek, lalu kembalilah aku di jalanan menuju jalan Trunojoyo. Di pagi hari, sebelum jam beranjak ke angka 05:30, jalanan masih lumayan sepi.Walaupun begitu, pohon-pohon yang meneduhkan kawasan elit ini, belum mampu mengusir sampah yang terlihat di berbagai tempat. Sampah adalah makanan sehari-hari orang Bandung. Tapi yang lebih mencemaskan bukan itu. Bukan sampah. Bukan kekotorannya. Bukan kemacetan. Bukan sungai yang buruk. Bukan pohon-pohon yang semakin hilang. Bukan kota yang sesak dan padat. Bukan kendaraan dan polusi yang terus bertambah. Bukan kesehatan yang semakin mencemaskan. Bukan bangunan kumuh dan gedung yang menjulang kontras. Bukan miskin kaya yang bagaikan jurang sosial. Bukan kecanduan akan belanja. Bukan  kriminalitas. Bukan kerusuhan sosial. Bukan pula rasisme. Bukan pula minat baca yang minim dan tiadanya perpustakaan layak. Tapi, inti dari kota ini, Bandung, kota yang mendapatkan dirinya disetarakan dengan Paris di masa lampau, yang kini mendapatkan julukan baru berupa Bandung Lautan Sampah, Bandung Kota Babi, Bandung Kota Bekas, dan kini, aku akan menambahkannya, Bandung Kota Orang-Orang Gila. Kegilaanlah yang menjadi masalah serius kota ini. Karena, hampir semua orang Bandung, gila. Kegilaan yang akhirnya merusak dan mengacaukan kota yang seharusnya indah.

Kegilaan kota Bandung, seukuran jumlah penduduk Cimahi. Itu hal yang luar biasa mengerikan. Pada tahun 2007, tercatat 600 ribu warga Bandung mengidap gangguan jiwa. Sekarang, jumlah itu pastinya berlipat ganda. Itu pun yang baru terdeteksi. Tak ubahnya dengan Jakarta, kegilaan orang-orang Bandung membuat kota itu juga rusak. Apa yang akan terjadi dengan sebuah kota jika penduduknya mengidap gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat? Apalagi jika hampir semua penduduknya mengalami masalah kejiwaan akut semacam itu?

Orang-orang akan lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Tak peduli dengan yang lain selain dirinya sendiri. Agama akan diabaikan. Otak pun dibuang. Kewarasan logika disingkirkan. Percakapan menjadi semakin susah. Semua orang membentengi diri sendiri.  Kepekaan terhadap lingkungan sekitar sudah tak lagi digubris. Pertemanan dan kepedulian sosial semakin langka. Pendidikan tinggi tak lagi menjamin perasaan peduli terhadap sesama dan lingkungan. Dan pada akhirnya, kota pun rusak. Karena semua orang mencari kebahagiaan yang susah dicari di era sekarang ini. Pencarian yang membawa sekat yang sedemikian parahnya hingga segala bentuk atau apapun itu yang mengurangi perasaan bahagia yang jumlahnya sedikit itu, akan diabaikan atau dipangkas habis-habisan. Jadilah semacam kota mirip Jakarta. Dan kini, seperti inilah Bandung.

Di dalam kegilaan yang menekan, penuh rasa sakit, kesepian, perasaan diabaikan, kengerian yang tak mudah dijelaskan, kebingungan yang jumlahnya tak terkira, kerentanan jiwa dan pikiran itu, membuat orang mudah tersulut. Jadilah rasisme. Jadilah pencurian dan kriminalitas. Jadilah penyakit fisik. Jadilah sampah yang menumpuk. Jadilah sungai yang kotor. Jadilah kemacetan yang memperjelas kesintingan itu. Jadilah, sebuah kota yang indah, menjadi semengerikan ini. Dan semakin hari, kegilaan itu bertambah. Pada tahun 2015, rawat inap pasien Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat, yah, kota Bandung menyumbangkan orang gilanya sebanyak 11.363 jiwa. Diikuti kabupaten Bandung, 2.561 jiwa penduduknya tercatat pasien gila. Itu semua baru pertengahan tahun. Akhir Agustus. Sekarang sudah Agustus 2016. Sudah satu tahun lamanya. Dan pertambahan itu, pasti terjadi. Kegilaan ini, sayangnya, tidak berujung pada kretaivitas, pemecah solusi, atau bertambahnya penemuan agung dan mengagumkan di bidang ilmu pengetahuan. Kegilaan kota Bandung lebih bersifat merusak. Dan mataku ini, juga otakku yang tak henti bekerja, tak mudah untuk dibohongi.

Kenyataan ini sejujurnya agak menjengelkan. Karena fakta itu, mungkin, hampir semua perempuan cantik, laki-laki tampan di Bandung, mengidap gangguan jiwa yang terdeteksi maupun yang belum. Jadi saat aku berjalan kaki, di trotoar-trotoar Bandung, melihat perempuan cantik lewat, kemungkinan besar dia penderita gangguan jiwa atau berpotensi. Tidakkah itu menyebalkan, heh?

Sampailah aku di kompleks sekitar sekolah Aloysius. Menunggu seseorang. Dalam gelap. Seperti orang aneh yang datang entah dari mana. Tak lama kemudian, muncullah ia, pujaan hatiku. Berjalanlah kami; melewati trotoar yang sedang dalam masa perbaikan, yang tentunya menjengkelkan. Kaki masuk ke area kendaraan bermotor yang sudah agak terlihat ribut, berisik, dan tak sabaran. Sebisa mungkin, di jalan Merdeka ini, aku tak telalu banyak mengeluh seperti ketika di Jakarta. Ada sampah tergeletak di jalan, jangan sekali-kali bilang, halo, apakabar, bung sampah, mau aku bantu berdiri? Atau, trotoar menyempit, sedikit hilang, atau retak di sana-sini, jangan sekali-sekali mengatakan, kun faya kun, jadilah! Harapan untuk membuat trotoar halus, mulus, nyaman untuk saat ini, di jalan Merdeka, masih terasa tak mungkin. Dan jangan sekali berlagak menjadi penganut setia Harry Potter saat merasa jengah dengan kemacetan di jalanan. Tiba-tiba membawa sapu ijuk, ditunggangi, lalu berharap terbang menembus kemacetan. Jelas, itu akan dianggap sinting di tengah kesintingan normal yang ada. Sialnya lagi, dianggap tukang sampah atau orang gila yang sudah sering dan terbiasa menggelandang di jalanan ini. Dan jangan menambah beban kegilaan di Bandung dengan ikut-ikutan menjadi gila! Hanya saran. Tak perlu diwujudkan. Seandainya kamu sudah terinfeksi kegilaan Bandung. Maka bersabarlah atau suruh saja tetanggamu menamparmu dengan knalpot atau setrika. Menyadarkanmu yang sudah terinfeksi kegilaan kota ini luar biasa susah. Bahkan Ridwan Kamil harus menyempatkan geleng-geleng kepala setiap hari.

Kami berdua pun menikmati suasana halaman Bandung Indah Plaza di pagi hari yang nyaris tak ada satu pun orang di tempat ini selain kita berdua. Duduk di kursi dengan payung yang lebar. Membicarakan banyak hal. Mengambil gambar. Sesekali membuka buku Cendikiawan dan Politik ketika dia sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Suasana lebih nyaman. Seperti biasa, Bandung lebih indah di pagi hari. Di mana ketika orang-orang belum begitu banyak mengotori jalanan. Suara cicit burung-burung menyegarkan jiwa yang lelah terhadap kota jika melintasi pepohonan yang rimbun. Dan kebisingan, kesemrawutan, kemacetan dan panas yang belum menampakkan diri. Dalam dunia semacam itu, Bandung menjadi indah walau hanya sebentar.

“Secara keseluruhan di Jawa tidak ada warna yang menyegarkan pandangan,” tulis Geoffrey Gorer di tahun 1935. Dan sialnya, hari ini, hal semacam itu nyaris sempurna. Di masaku ini, Jawa adalah penyakit. Bobrok di sana-sini. Diperas habis-habisan. Dan jadilah kota ini, Bandung, yang diawal buku Wisata Paris van Java karya Her Suganda, mengatakan “jejak perjalanan kota Bandung di masa lalu memiliki dimensi yang penting. Baik dimensi ekonomi, pemerintahan, maupun pertahanan. Justru pada dimensi yang terakhir ini, Bandung merupakan kota terakhir yang membuat Belanda harus menyerahkan seluruh Hindia (nama lain dari Nusantara) kepada Jepang”. Dan sekarang, kota ini harus menyerahkan dirinya kepada kegilaan warganya yang benar-benar tak lagi pandang bulu. Sejujurnya, memasuki Bandung pertamakali terasa benar-benar mengecewakan. Harapan akan Bandung yang indah, seketika buyar. Dan kini, aku duduk-duduk santai di jalan merdeka,  merasa beruntung tak mengalamiapa yang pernah dirasakan Christopher Lucas saat dulu, 1970, merasa depresi  di Jakarta –maaf kawan, kau pun senasib denganku mengenai hal itu! - dan salah satu kenalananya menceritakan hal semacam ini; “Dua polisi sialan merampas mobil saya dan sekarang mobil itu digunakan oleh seorang walikota Bandung!”. Coba bayangkan, seandainya aku hidup di tahun sekitar itu? Apa yang bakal terjadi dengan diriku yang tak memiliki apa-apa ini?

Jam merambat ke angka 08:00. Kami berdua siap-siap memasuki Gramedia yang berada di seberang jalan. Tentunya, kali ini, Bandung sudah tak lagi indah. Menyeberang pun butuh perjuangan. Perjuangan hati dan pikiran. Melihat orang tua yang berjualan di depan Gramedia. Terkadang anak-anak kecil yang menawarkan tisu, koran, gerabah kecil berupa teko-tekoan, atau pengemis yang sudah mulai merambah kawasan ini. Sekarang ini, pusat Bandung pun tak kebal melihat itu semua. Dan jalan yang nyaris kurang ajar ini, saat matahari makin menanjak, tidak hanya panas, macet, tapi juga kadang dilewati oleh orang gila yang berjalan dengan santai di tengah kerumunan kemacetan yang merajalela. Aku salut kepadamu bung! Kau salah satu di antara mereka yang lebih sadar diri. Dan baiklah, aku pun masuk ke Gramedia. Memegang-megang majalah baru National Geographic Indonesia. Berjalan ke arah deretan buku-buku asing dan sastra. Berlama-lama di deretan rak kristiani. Tak lama kemudian, kelantai lebih atas lagi untuk melihatbuku-buku yang lebih menyegarkan. Dan sampai sekarang pun aku masih tertarik dengan buku Abad Bapak Saya dan Geger Pecinan. Dan entah mengapa, lama kelamaan aku semakin akrab dengan toko buku ini. Peneduh kota yang tak cepat membuat orang benar-benar sekarat.

Mendekati angka 12;00, suasana semakin ramai. Gramedia ini, lebih banyak diisi oleh para perempuan dari pada laki-laki. Dari mulai anak kecil, remaja, dewasa hingga mereka yangmenua. Yang semuanya, ke tempat Bandung Indah Plaza atau ke toko buku ini, dengan menggunakan mobil, motor, dan bisa jadi, angkutan kota. Karena tak jarang, banyak yang menggunakan angkutan kota sebagai berpergian. Walau seringkali menjengkelkan dan mirip yang dikeluhkan Andre Vltchek. Dan anehnya, menurut Ridwan Kamil, kota ini kekurangan perempuan! Dan mengimbau warga Bandung, perempuannya, untuk tak menikahi orang selain warga Bandung. Tetaplah menikah di antara warga Bandung sendiri karena laki-laki terlampau banyak! Betapa anehnya! Tidakkah itu akan mempersempit wawasan warga Bandung itu sendiri? Suatu ketika akan mudah memecah negara ini dengan alasan sepele semacam itu, heh?

Setelah itu, kami berdua menuju Braga, melihat lukisan-lukisan di pinggir jalan. Melihat kemacetan di jalan yang kecil itu. Mobil mobil mobil dan mobil luar biasa banyak.  Kami duduk di salah kursi yang berderet-deret. Kelelahan. Bercanda. Membuat beberapa sketsa pohon. Membuat sketsa dirinya dan gagal.  Lalu berjalan lagi. panas. Bandung semakin panas. Kendaraan bagaikan setan yang tak henti-hentinya habis. Dan aku semakin malas mengamati keadaan. Apakah gedung ini dulu bernama ini. Apakah jalan ini pernah pernah digunakan untuk Belanda untuk alasan tertentu. Apakah  dan apakah lainnya yang membuatku bertambah malas. Dan tentunya, sampah-sampah yang menjengkelkan mata ada di mana-mana. Seperti keparat kecil yang dimuntahkan oleh onggokan tai berwajah moralis.

“Lama setelah mobil, kota, dan pabrik, kelak menjadi debu, konsekuensi akibat pembakaran miliaran ton batu bara dan minyak kemungkinan akan tampak sangat jelas. Di saat kabron dioksida menghangatkan bumi, senyawa itu juga menelus ke lautan dan membuatnya bersifat asam. Suatu saat dalam abad ini lautan mungkin menjadi begitu asam sehingga karang tidak sanggup lagi membentuk terumbu, yang akan tercatat dalam sejarah geologi sebagai “kesenjangan karang”. Kesenjangan karang merupakan ciri khas dari lima kemusnahan massal besar yang telah terjadi. Kepunahan massal yang terakhir, yang diyakini disebabkan oleh dampak asteroid, terjadi 65 juta tahun yang lalu, di akhir periode Kretaseus: kepunahan itu memusnahkan bukan hanya dinosaurus, melainkan juga plesiosaurus, pterosaurus, dan amonit. Besarmnya ukuran bencana yang saat ini menimpa lautan, menurut para pakar, tidak tertandingi sejak saat itu. Bagi para ahli geologi masa depan, begitu kata Zalasiewicz, dampak ulah kita akan tampak begitu tiba-tiba dan sangat luar biasa sebagaimana dampak asteroid,” kata Elizabeth Kolbert dalam tulisannya Era Manusia: Fajar Antroposen.  Dan orang-orang Indonesia adalah salah satu penyumbang kepunahan terbesar, tapi sayangnya mereka menganggap diri tak melakukannya. Dengan kemacetan di depan mata, sampah di mana-mana, sungai rusak, hutan hilang, beragam spesies musnah, lingkungan cemar, segala jenis masalah bermunculan, hampir mayoritas mereka semua tak merasa sebagai bagian masalah dan telah membantu proses mempercepat kepunahan itu. Kebanyakan dari mereka akan selalu merasa sudah menjadi orang baik, tak melakukan kesalahan apapun dan berharap dunia selalu menjadi hal yang nyaman dan baik bagi mereka. Dan, seperti itu juga yang terjadi di Bandung hari ini. Orang-orang yang tak sadar diri gila dan telah merusak kota ini dengan pandangan hidup dan gaya hidup mereka. Kebanyakan orang gila tak mengakui kegilaan mereka sendiri. Yah, sayangnya seperti itu.

Julukan kota cerdas, kota kreatif, dan peraih Adipura tak membuat kota ini mampu menghilangkan sampah-sampahnya yang bertebaran di hampir setiap tempat yang ada. Ah, jadi, suatu nanti, kalau ke berbagai kota lainnya di Jawa atau Indonesia, tak sengaja mendengar, membaca, atau ada sebuah kota yang mendapatkan berbagai macam pujian nasional atau internasional, biasanya, isi di dalam kota itu sendiri, kalau dimasuki, sangat mengecewakan. Jauh dari kenyataan yang ada. Dan Bandung sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Gun Gun Saptari Hidayat, Direktur Umum Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung, warga kota Bandung mengonsumsi sampah sebesar 1.500-1.600 ton. Sebuah kota yang benar-benar memiliki semangat kegilaan akan sampah. Sebuah jumlah, yang aku tak tahu, apakah orang Bandung sendiri akan merasa cemas atau tidak. Oh ya, dan sekian banyak ton itu, hanya 250 ton perhari yang sempat dan masih mampu diolah dan dimanfaatkan. Apakah warga Bandung akan menangis mengetahui hal ini? Sementara sekitar 150-250 ton sampah berceceran di segenap kota Bandung; sungai, jalanan, dan berbagai macam tempat. Biaya pengankutan sampah yang sangat mahal. Banyak sekali mal dan gedung-gedung mewah yang tak membayar pajak atau kebersihan sampah. Tidakkah banyak warga Bandung yang sangat suka hidup di dalam mal, membiayai secara tak langsung mal-mal terus beroperasi dan membuat masalah di kota mereka? Apakah warga Bandung akan merasa sakit dan malu atau bahkan menangis melihat kenyataan semacam ini? Oh, tentunya tidak. Hati nurani dan kepekaan akan membuat warga Bandung hidupnya terepotkan. Biarlah hidup hanya seputar mencari kesenangan dan kebahagiaan saja. Walau pada dasarnya sedikit yang benar-benar mengalami kebahagiaan. Yang lain-lain, hanyalah sesuatu yang tak penting. Bukan berarti semua orang Bandung tak peka dan merasa tak melakukan apa-apa. Ridwan Kamil saja sudah nyaris menyerah seperti itu. Apa yang bisa dilakukan warga Bandung baik hati yang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan orang-orang gila yang jumlahnya nyaris memenuhi isi kota?

Kalau dilihat dari sudut pandang Howard Gardner, jelas warga kota Bandung tak memiliki kecerdasan ekologis. Kepekaan akan lingkungan mereka nyaris dalam taraf kerendahan yang paling sulit dibayangkan oleh mereka yang agak sadar diri. Jika ada seorang enviromentalis atau pencinta lingkungan fanatik melewati kota ini, yakinlah, dia akan berkata, “oh my god, oh my god, this is fuck city! Damn! ini kota atau kubangan anjing?!”.Dan persis eperti yang dikatakan oleh Inna Savova bahwa warga kota Bandung bahkan lebih kotor dari pada para babi. Dan mungkin, nyaris sudah kehilangan empati mereka terhadap apa yang ada di sekitar lingkungan mereka.

“Empati merupakan minyak pelumas bagi roda-roda kehidupan sosial. Ketika kita berbagi, mencintai, bekerja sama dan memberi, saat itulah empati bekerja. Ketika empati tidak ada, keakraban hilang dan hubungan-hubungan pun menjadi rusak. Kekerasan, pelecehan, diskriminasi dan keegoisan menjadi hal yang biasa ketika empati telah hilang,” tulis David Howe. Buku yang aku sarankan untuk dibaca oleh orang Bandung yang semakin kehilangan perasaan mereka terhadap pertemanan, keakraban dan dunia di sekitar mereka. Pertemanan seringkali malah menimbulkan rasa sakit dan perasaan rentan. Tidakkah itu juga aku? Yah, di sinilah aku hidup. Di Jawa yang semakin berubah. Menua. Sangat rentan dan kosong.Tapi, banyak orang tak mengakui bahwa mereka sakit. Karena ketika warga kota Bandung sakit. Maka sakitlah kota Bandung itu sendiri. Sebuah wajah kota adalah cerminan dari psikologi, jiwa, pikiran dan pandangan hidup dari orang-orang yang menghuninya. Beserta kegagalan-kegagalan dalam dirinya sendiri. “... di mana kita adalah sangat penting bagi siapa kita,” tegas Eric Weiner.

Atau, seperti yang dikeluhkan oleh Eric Weiner, dalam The Biography of Bliss, “toleransi itu sangat bagus, tetapi toleransi dapat dengan mudah bergeser ke ketidakpedulian, dan itu sama sekali tidak menyenangkan”. Apakah seperti itulah yang terjadidengan Jakarta, Jogja, kota besar lainnya bahkan Bandung yang kini aku lihat dengan wajah muram? Yang jelas, warga kota Bandung sudah semakin kesusahan mengakui diri mereka sebagai orang yang beriman, berbudaya, terpelajar, dan orang yang sungguh-sungguh bahagia. Kota mereka sama sekali tidak mencerminkan hal semacam itu. Kota mereka mencerminkan diri yang sakit. Diri yang abai. Diri, yang pada akhirnya, hidup dalam ketakutan-ketakutan walau memiliki kemewahan harta dan segala jenisnya. Ketakutan-ketakutan itulah yang berujung pada gangguan kejiwaan yang meluas dan pada akhirnya, ketidakpedulian terhadap banyak hal selain keinginan untuk keluar dari perasaan resah, sakit, kesepian dan keadaan yang bagai tak berarti setiap harinya. Dan hasilnya, dari keadaan seperti itu, kota pun mereka tinggalkan dalam keadaan kacau dan rusak.

Lingkungan adalah cerminan dari jiwa dan pikiran kita. Walau sekuat apapun kita mencoba untuk menolak dan membantahnya.

Sampai kapan Jawa akan terus bertahan dalam keadaan semacam ini? Dan tiba-tiba seorang lusuh, tua, keriput, menjulurkantangannya tepat di depanku. Sebuah keadaan, yang akan membuat benteng pertahankan terbaik pun akan runtuh seketika jika kau masih memiliki sedikit hati di kejauhan sana. Dalam hati yang gagal aku keraskan berkali-kali untuk melindungi diri dari kegilaanku sendiri yang sangat gelap. Akhirnya, aku meminta kekasihku untuk memberinya beberapa rupiah, yang aku tak tahu jumlahnya. Dan pengemis itu pun tersenyum, senang, ada secercah harapan dalam dirinya akan kepercayaan terhadap kehidupan yang saat ini tak kumiliki. Harapan dari sorot mata yang hidup dari keadaaan yang lebih buruk dariku. Seorang pengemis yang berbahagia dan seorang laki-laki yang berkecukupan yang sangat tak bahagia. Seperti inilah Jawa hari ini. Dan Braga yang aku lihat, memendam hal yang semacam itu. Braga yang tak lagi kebal terhadap pengamen, pengemis, dan kekumuhan. Juga Braga yang tak lagi kebal terhadap virus yang bernama ketidakbahagiaan orang-orang kaya dan berkecukupan dalam ekonomi.

Kecantikan tak akan menyelamatkanmu dari rasa kesepian. Begitu juga kekayaan, ketampanan, pertemanan, dan segala apa yang kita miliki. Kita adalah makhluk-makhluk modern yang gagal menjadi diri kita sendiri dan mencoba berkata cukup dan berbahagia. Yang bisa kita lakukan hanyalah berpura-pura hidup dan terus-menerus mengatasi perasaan itu dengan segala cara yang kita tahu dan mampu. Walau dengan cara merusak diri kita sendiri, agama yang kita percayai, dan ikatan-ikatan yang kita miliki.

Dan kami pun melangkah pergi. Berjalan menengok sebentar Riau Junction. Mengeluhkan panas kota yang dulunya, katanya indah dan sejuk ini. Kelelahan. Menikmati keakraban yang terakhir lalu kembali ke kota yang tak lagi mampu aku nikmati; Jogja, sebuah kota yang membuatku bosan dan letih.





 

BOGOR: KOTA YANG MENUJU BOBROK







Indonesia memiliki satu kemampuan, bahkan sudah jadi etos, mungkin juga nilai, yang bisa kita depankan di hadapan bangsa-bangsa lain (dengan bangga, seharusnya) yakni: korupsi. Serius. Dalam hemat, kapasitas dan kapabilitas bangsa kita dalam soal yang satu ini, sangat diakui dunia, bukan hanya karena kecerdasan, kelicikan, kecermatan, penciptaan varian, mengatasi hambatan, tapi juga jalan pikiran dan jalan perasaan yang begitu integrative dalam melahirkan tindak korupsi. Sehingga korupsi bukan lagi milik golongan atau kelas tertentu, tapi imanen dalam perikehidupan mayoritas bangsa ini.
Radhar Panca Dahana
Inikah Kita-Menuju Diri Baru



Perjalanan meninggalkan Jakarta itu bagaikan hadiah dari surga. Dan beruntunglah mereka yang tak terjebak hidup di dunia yang semengerikan itu. Di mana mereka mampu bertahun-tahun tinggal di dalamnya. Aku nyaris gila hanya sekedar membayangkannya. Bagaimana orang bisa hidup di sebuah lingkungan semacam itu kecuali bukan orang gila atau terlalu pasrah tertelan kegilaan itu sendiri? Kegilaan yang mandul dan hanya cacatnya yang tersisa. Sekarang, aku ada di stasiun Palmerah. Menunggu. Menunggu dalam keramaian. Tangan memegang National Geographic dengan judul Menjarah Masa Depan. Panas yang menyengat. Perempuan-perempuan cantik yang juga kepanasan. Ibu-ibu yang menahan lelah. Anak-anak muda yang jumlahnya sangat banyak. Kakek. Laki-laki paruh baya. Dan mereka-mereka yang wajahnya layu setelah seharian bekerja dalam kengerian dan kerutinan yang menekan. Dan, kereta pun datang. Sialnya kereta arah Depok. Menunggulah aku kembali. Membuka kembali majalah National Geographicku dengan barang bawaan yang tersender di kaki. Tas punggung yang beratnya, akibat Majalah National Geograhic Indonesia yang terlau menggoda untuk dilewatkan, membuat aku terseok-seok di teriknya matahari yang mulai memancarkan habis-habisan cahaya terakhir menuju senja beberapa jam lagi. Makhluk aneh macam aku, yang membaca di tengah kerumunan manusia gurun, pasti diperhatikan oleh banyak orang. Kemana pun aku membaca buku di tengah keramaian orang-orang. Aku bagaikan menjadi orang yang, entah datangnya dari UFO yang tak sengaja nyasar ke planet ini. Atau barang purbakala dari Museum Geologi Bandung yang tiba-tiba terlempar kemari. Dan mungkin juga aku ini salah satu spesies terancam punah terakhir yang belum pernah dilihat sebelumnya di negara ini dan baru akhir-akhir ini menampakkan diri. Membaca di depan publik adalah sebentuk kesadaran terakhir agar orang macam aku tidak segera punah. Karena membaca di depan umum, bagi masyarakat di Jawa, adalah Aib.

Ah, ternyata ada ada juga perempuan, dengan tubuh membulat, membaca buku Chelsea Wives karya Anna Lou di tengah-tengah kerumunan manusia-manusia cantik dan tampan yang menjadikan buku adalah bacaan paling aib di depan publik. Buku adalah aib. Lalu bagaimana negara ini maju jika masyarakatnya menganggap buku lebih rendah dari pada rumah pelacuran dan seonggok sampah di jalan-jalan? Lebih mudah membuka paha di jalan-jalan dari pada membuka buku di jalanan. Lebih mudah berias diri demi ketampanan dan memamerkannya ke setiap perempuan yang lewat dari pada memamerkan buku di ruang-ruang publik yang dipenuhi perempuan. Lebih mudah melihat sampah dari pada buku-buku di jalanan. Dan ketika ada seorang perempuan gendut, bulat, dan dianggap paling jelek di dunia tapi ia sedang membaca dan termenung dalam bukunya di sebuah tempat publik yang ramai. Dia aku anggap lebih cantik dari siapa pun. Tentunya, pasti lebih cantik kekasihku. Tapi setidaknya seperti itu. Buku bukan hal yang menyenangkan untuk dipamerkan. Di Jakarta sendiri, baru dua kali ini, setelah beberapa hari bergentayangan di dalamnya, aku menemukan seorang pembaca buku. Satu orang, lagi-lagi perempuan sedang terlihat membaca di Trans Jakarta. Dan sekarang ini, tak jauh dari pandangan mataku di stasiun ini. Dua pembaca buku terlihat selama aku beberapa hari di Jakarta. Sepeda pun nyaris tak terlihat sama sekali kecuali hitungan jari. Itu sungguh tragedi.

Dan, di mana laki-lakinya? Laki-laki pembaca buku? Maaf, mereka semua kebanyakan tiba-tiba menjadi tolol. Generasi laki-laki tolol yang merasa terbakar ketika memegang buku sudah semakin menjadi hal biasa. Laki-laki bodoh dan tak bertanggung jawab sudah semakin umum di negara ini. Jadi, di negara dengan 17 ribu pulau ini, jangan pernah heran melihat hal semacam itu. Dan jangan pernah heran jika menemukan, jika tak sengaja berjalan ke sana dan ke mari, laki-laki yang kebodohannya lebih mengerikan dari pada tukang parkir, ojek, atau supir bus kota. Kita hidup di sebuah negara yang, seperti kata Radhar Panca Dahana, “Pekerjaan resmi jadi sampiran, korupsi adalah tugas utama.” Kita tak tertarik dengan semangat menggebu Korea Selatan dalam mengejar Jepang yang lebih dulu termodernisasikan. Kita juga tak peduli jika India, Tiongkok, bahkan Bangladesh dan beberapa negara Asia lainnya sedang berlomba-lomba mengejar ilmu pengetahuan, prestasi dan percepatan dalam sains. Bahkan kita tak terlalu menggebu untuk mengejar Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam dan tetangga-tetangga dekat kita lainnya. Kegairahan akan ilmu pengetahuan masih berada dalam tahap paling merisaukan. Kegairahan akan kekayaan dengan jalan segala cara serta bagaimana memamerkan dan menghabiskannyalah yang paling populer. Dan ketika aku sedang bersiap-siap meninggalkan Jakarta sebagai pusat orang-orang bodoh dan gila berada. Aku pun sangat senang. Mana ada orang cerdas dan pintar yang menjadikan Jakarta semenakutkan itu? Entah dia seorang Presiden, menteri, hakim agung atau apalah. Jakarta tempatnya orang gila dan bodoh. Itu terlihat dari wajah Jakarta itu sendiri. Tak heran jika para gubernur jenderal di masa Hindia Belanda berbondong-bondong melakukan perjalanan dan memindahkan kediamannya di Bogor atau Buitenzorg di masa lalu. Tak heran pula jika negara ini salah urus.

Kereta pun datang. Bermacam orang berebutan ingin cepat-cepat masuk ke dalam. Tak ubahnya dengan perebutan daerah kekuasaan ketika bus Trans Jakarta tiba. Jadi, entah di jalanan atau ketika ingin masuk ke dalam bus maupun kereta, semuanya hampir sama saja: saling mendahului, terburu-buru ingin mendapatkan tempat dan ruang dari pada yang lainnya. Atmosfer semacam ini berada hampir di segala macam tempat.

Untuk sampai ke Stasiun Bogor, aku membayar 15 ribu rupiah karena harus transit ke Stasiun Tanah Abang lebih dahulu. Dari Stasiun Tanah Abang yang lebih penuh dan sesak lagi. Akhirnya aku berangkat dalam perjalanan menuju Bogor yang, dalam bayanganku akan sangat cepat, menggembirakan dan lapang. Seperti perjalananku ketika naik kereta KRL dari Bogor ke Jakarta beberapa bulan yang lampau.

Dan kini, di sinilah aku, duduk di sebuah tempat yang setiap transit dari satu stasiun ke satu stasiun lainnya, semakin sesak, padat, udara segar pun menghilang, dan sangat melelahkan. Tiga perempuan dengan baju kerjanya berdiri tepat di depanku. Yang satu, yang cukup cantik, melirikku berkali-kali. Entah karena aku membaca National Geographic yang gambar-gamnbarnya menarik perhatian atau entah karena apa. Begitu juga dengan banyak orang lainnya. Jadi, inilah yang ada di kepalaku; National Geographic Indonesia dengan muka majalah yang bagus dan elegan serta isi yang penuh dengan gambar-gambar yang bagus dan menarik perhatian bisa membuat orang-orang sangat penasaran. Tidakkah hari ini Indonesia sedang terkena ledakan gairah akan National Geographic yang bagaikan ada di mana-mana yang sayangnya, nyaris aku tak pernah melihat ada seseorang membaca National Geographic di jalan-jalan kecuali saat aku melihat tanganku sendiri yang memegang majalah itu. Dan entah kenapa, perjalanan menuju Bogor terasa sangat lama dan melelahkan. Sebuah kereta yang terlalu penuh dan sesak dengan bau nafas serta keringat manusia. Seolah-olah tak ada yang berubah dari tahun 50-an hingga hari ini kecuali kenaikan jumlah penumpang yang semakin mengerikan dan wajah stasiun yang mirip dengan tempat pengungsian.

Aku membuka-buka majalahku dengan mata yang dari menit ke menit semakin limbung. Aku terserang kantuk. Melihat seorang ibu-ibu dan bapak-bapak yang memegang sebuah buku di Jawa yang hari ini tak butuh ilmu pengetahuan adalah sebuah keajaiban. Sayangnya, kenapa yang terlihat memegang buku selalu orang yang beberapa tahun lagi akan mati? Di mana anak mudanya? Apa yang akan diwariskan kelak kepada masa depan negara ini jika anak mudanya, yah, terlihat sedang sibuk memencet, mengelus, dan berbicara mesra dengan gadget mereka masing-masing?



Udara semakin dingin. Terlihat kaca jendela mengembun. Waktu terasa memanjang, dan malam datang semakin menggelisahkan. Apakah aku nanti akan terlantar di kota yang bernama Bogor untuk yang kedua kalinya? Entahlah. Kesadaranku masih samar-samar. Aku jatuh tertidur dengan ketidaktahuan. Kereta semakin lapang dan tak lagi sesak. Untungnya, keadaan di luar jendela terlihat masih dalam keadaan senja. Aku mengira aku sudah kemalaman di kereta ini. Dan itu berarti berbahaya. Aku akan kesusahan untuk melihat suasana kota dan tentunya, aku takut jika nanti pada akhirnya tak menemukan satu bus pun yang akan membawaku ke Bandung.

Aku tiba di Stasiu Bogor yang selalu riuh dan penuh sesak. Menukarkan kartu tiket kereta dan mendapatkan kembalian sebesar 10 ribu rupiah. Lumayan, pikirku. Bisa aku gunakan untuk membayar Go-Jek atau pun angkutan kota. Kaki pun melangkah di tengah kerumunan orang dan orang yang luar biasa banyaknya. Mengingat Bogor kini memiliki lebih dari 1 juta jiwa penduduk. Tak mengherankan jika keadaannya sesesak ini. Dan yang jelas, pengemis, pengamen, sampah, sama banyaknya. Tak hanya Jakarta yang mengalami masalah yang pelik itu. Bogor pun mengalaminya. Juga Bandung. Konflik tempat pembuangan sampah. Pengemis yang semakin berkeliaran ke pusat-pusat kota. Dan konsumsi yang berlebihan tanpa mengindahkan pola pikir sehat dan berkelanjutan. Untuk yang berkelanjutan, pemerintah nyaris tak peduli sama sekali akan hal itu. Entah lewat kurikulum sekolah atau sosialiasi. Kecuali, hal yang benar-benar tindakan paling bodoh wali kota Bogor adalah sekedar membuat tempat pembuangan sampah baru tanpa memasukkan kesadaran ekologis ke dalam muatan mata pelajaran sekolah dan tentunya denda serta payung hukum yang efektif.

Jembatan yang penuh sesak. Pengemis yang sibuk memaparkan ketidakberartian dan kehinaan dirinya sendiri di hadapan banyak orang. Stasiun yang kotor. Terlebih di luar Stasiun, sampah sudah menjadi hal umum. Kendaraan, terlebih angkutan kota berwarna hijau bagaikan menjajah di segala macam ruang dan tempat. Pedagang kaki lima memenuhi setiap pinggiran jalan. Dari mereka yang menjual makanan hingga segala pernik asesoris handphone. Aku pun berjalan. Melewati begitu banyak perempuan cantik yang susah dicari di Jakarta. Bertanyaangkutan kota ke arah Masjid Raya Bogor. Dan ibu-ibu, bapak-bapak, dan lainnya, menyarankanku untuk naik angkutan kota bernomor 03. Aku pun menimbang-nimbang, lebih mahal mana dari pada Go-Jek? Setelah tahu bahwa Go-Jek bertarif 8 ribu hanya sekitar 3 kilometer. Aku pun memutuskan menaiki angkot bernomor 03 dengan tiga perempuan yang sudah ada di dalamnya; satu perempuan dengan usia di bawahku, sekitar 20-an dengan jilbab dan kecantikannya. Ibu-ibu berumur 50-60-an tahun dengan jilbab dan pakaian elegenannya yang aku kira ibu dari perempuan muda di depanku. Dan seorang perempuan yang berada tepat di belakang supir. Dan entah dari mana, tiba-tiba pengamen muncul, berlari, dan nongkrong di angkot yang aku naiki. Mulailah ia mendendang sebentar. Ya hanya sebentar. Seperti kebiasaan pengamen lainnya. Tak perlu waktu lama, terangkatlah wadah untuk mengumpulkan uang dari hasil mengamengnya yang hanya bermodal beberapa menit tadi. Dengan hanya empat orang penumpang, dan dua di antaranya absen. Dapatlah pengaman itu hanya dua penumpang yang bersedia memberikan sumbangan atau lebih tepatnya subsidi. Terbantulah pemerintah kota di Bogor dan yang ada di seluruh Jawa. Tentunya yang ada di pusat. Mungkin kita harus merayakan apa yang dikatakan lagi oleh Radhar Panca Dahana, Mari Menyubsidi Negara.

Jalanan terasa sejuk dan damai. Pohon-pohon tinggi terasa meneduhkan perasaanku yang sangat lelah dan mudah marah di Jakarta. Walaupun Bogor tidak memiliki banyak trotoar yang memadai dan sampah menjadi penduduk kota hujan ini. Bogor masih bisa sedikit menghaluskan perasaanku. Sisa hujan membuat suasana awal dari sebuah malam menjadi terasa agung. Jalanan pun seolah memberikanku jeda dari keributan yang hingar bingar. Di sebuah waktu yang harusnya berisikan kemacetan yang gila, kali ini, Bogor tak mengalaminya. Dan pastinya, dikisaran jam 18:00, Jakarta mengalami kemacetan total yang mengerikan. Bogor yang aku temukan kali ini, tak banyak merasakannya. Masih ada sela dan mudahnya kendaraan berjalan walau kepadatan kendaraan tidak bisa lagi dipungkiri. Keadaan Bogor tak sekeji Jakarta yang menjadi tetangganya. Seandainya Bogor ditata dengan benar. Kota ini, dengan rasa sejuk dan sisa pohon-pohonnya yang sangat rindang, benar-benar akan menjadi kota sangat indah. Sayangnya, aku sedang berada di sebuah negara yang berbagai pejabatnya selalu melakukan yang sama: salah kelola.

Aku diturunkan tepat di depan Carrefour. Untungnya, perempuan muda di depanku tadi cukup cantik sehingga kelelahan dari sebuah perjalanan agak terbilas sudah. Kecantikan bisa membuat perjalanan menjadi menyenangkan. Dan Bogor harus aku akui dari pada kota-kota lainnya, memiliki para gadis dan perempuan muda yang sangat cantik. Dan sangat mudah dijumpai di jalanan, di angkutan kota maupun di tempat-tempat umum. Tidak seperti di Jakarta yang sangat pelit perempuan cantik di jalan-jalan kecuali para pelacur yang terlihat di pinggirannya ketika tengah malam hari.

Aku menyeberang. Tentunya dengan cukup perjuangan seperti di tempat-tempat lainnya walau tak separah ketika menyeberang di Jakarta atau jalanan Jogja. Lalu berjalan kaki di sebuah trotoar yang hilang dan lubang menganga selebar-lebarnya ketika sedang menuju terminal yang sangat sepi yang masih terlihat satu dua bus. Aku bertanya bus jurusan Bandung, terlebih MGI. Jawabannya, yang ada di depanku sekarang ini adalah bus MGI terakhir. Aku pun naik. Membeli air minum. Dan berangkatlah bus menuju Bandung.

Lima menit kemudian; diturunkanlah aku di tempat, yang untungnya tak jauh dari Terminal Bogor. Keberuntungan yang menyebalkan. Karena aku harus berjalan kaki. Aku salah menaiki bus. Dipaksa membayar 10 ribu lagi. Yang pada akhirnya aku bayar 5 ribu rupiah. Dengan muka masam dan berkilah ini dan itu, kernet bus pun menerimanya. Sialan itu bus. Jarak luar biasa dekat dan rasa-rasanya cuma beberapa ratus meter saja dari Terminal aku diharuskan membayar. Baiklah. Tak masalah. Aku berjalan kaki. Menuju terminal. Mencari bus MGI yang jumlahnya lebih banyak lagi. Bertanya kapan bus terakhir akan berangkat. Jam 22:00 adalah jawabannya. Dan ah, aku masih memiliki cukup banyak waktu untuk menikmati kota hujan ini.

Dengan riang gembira aku pun berjalan dengan bersenandung. Aku bergegas mencari makan. Masuklah aku ke warung nasi padang Restoran Trio Permai. Memesan ikan kembung. Nasi kecil yang, ini cukup sialan, disediakan untuk menambah uang bayaran lagi. Berlama-lamalah aku di dalamnya. Mengisi baterai. Mengistirahatkan badan. Di depan sana, beberapa meter dariku, seorang yang sangat cantik terlihat sedang berbincang dan menikmatinya makannya dengan kekasihnya. Sangat cantik. Tak lama kemudian, puluhan remaja Tionghoa yang modis, seksi, cantik, berbondong-bondong memasuki restoran ini dan menempati tempat khusus. Sepertinya mereka anak-anak sekolah yang sedang berwisata dengan guru mereka dan anak laki-laki yang jumlahnya cukup banyak juga. Ah, Bogor tak pernah mengecewakan mata. Banyak perempuan cantik yang menyegarkan pandangan dalam waktu yang kurang dari satu jam saja.

Hampir jam 19:00. Aku pun membayar. 26 ribu rupiah. Luar biasa mahal. Di Jogja, aku bisa mendapatkan itu hanya dengan 12 ribu rupiah. Tak apalah. Sudah terjadi. Yang terpenting tubuhku sudah lumayan enak untuk digunakan berjalan. Aku pun segera menuju Botani Square.


Melewati jembatan penyeberangan yang berisikan banyak sekali pengemis dengan anak-anak kecil mereka yang tergelak di selembar tipis kain. Aku hanya sekedar melewatinya. Seperti banyaknya orang-orang lainnya. Sebuah dilema yang paling menyebalkan untuk hal semacam ini selalu berkaitan dengan belas kasihan, perasaan tak enak, merasa ingin membantu dan pada akhirnya, pemerintah tak ingin melakukan apa-apa dan masyarakat tak akan berinovasi untuk menyelesaikan pemecahannya. Karena kita lebih sering memberikan uang tanpa harus menyelesaikan akar masalahnya yang entah di mana.

Setibanya aku di mal setelah melewati lahan parkir yang cukup gelap. Sampailah aku di dalamnya. Mungkin salah satu atau bahkan satu-satunya yang termegah di Bogor ini. Dengan kecepatan penuh, aku pun melangkahkan kakiku menuju lantai dasar. Dan sebuah kejutan! Ada pameran buku cukup besar di depanku. Buku bertumpuk tak beraturan di banyak tempat. Bogor memang sebuah kejutan sekaligus tak peka terhadap seorang yang sedang kelelahan ini. Yang masih harus hidup beberapa hari lagi di Bandung. Ah buku, kenapa kau harus mengusik mataku. Terlebih uangku sudah dalan kondisi menakutkan! Tapi, yah, setelah bergerak kesana kemari, membongkar-bongkar tumpukan buku, aku pun mendapatkan banyak buku di tanganku. Banyak orang heran dengan laki-laki aneh ini. Dengan penampilan ala seniman tak jelas. Baju merah mencolok dengan syal sulamannya. Tas hijau yang terisi penuh dan berat. Lalu tangan satunya terlalu penuh dengan tas tangan. Tangan satunya lagi kewalahan memegang buku dan buku. Aku pun mengambil tas buku berwarna hitam dari Gramedia. Memasukkan buku-buku National Geographic, buku-buku sastra, menemukan buku sejarah mengenai rempah, buku perjalanan, buku mengenai keimanan kristen, dan beberapa lainnya. Tiba-tiba, tas mulai penuh dan berat. Dan aku mulai kelelahan. Luar biasa. Luar biasa konyol! Dua kali di Bogor selalu seperti ini. Antusiasku hanya bisa dikalahkan oleh ibu-ibu Tionghoa dan anaknya yang memborong luar biasa banyak komik! Ya, Bogor adalah kota pencinta komik dari pada pencinta buku. Tidakkah komik juga adalah buku? Sekaligus seni? Yah, dua-duanya. Tapi yang aku maksud buku adalah hal yang lebih konvensional yang seperti sekarang ini aku pegang dengan tangan yang kesemutan.

Antusias warga Bogor melihat dan membeli buku cukup mengagumkan. Cukup banyak mereka yang berkeliaran di sini. Dari para gadis yang masih remaja dengan gaya berpakaian sangat modis, hingga remaja berjilbab yang tak kalah modisnya. Sampai pada ibu-ibu yang sibuk memeloti buku-buku. Dan, jika bersangkut paut dengan buku. Para perempuanlah yang selalu menjadi mayoritas. Era laki-laki, sepertinya hampir berakhir di negara ini. Dalam artian, mereka akan lebih banyak tergeser jauh. Akhir-akhir ini para perempuanlah yang lebih banyak menghargai buku dan ilmu pengetahuan. Mereka juga memiliiki mentalitas yang lebih kuat saat membaca buku di jalan-jalan. Seandainya jam tidak melebihi angka 21:00, mungkin aku masih akan berkeliaran dan tenggelam dalam tumpukan buku-buku ini. Aku berjalan ke arah kasir. Gramedia adalah salah satu toko buku, di samping Gunung Agung yang memilih para pegawainya dengan cukup ketat dalam penampilan. Semakin hari, para pegawainya hanya diisi oleh perempuan cantik dan laki-laki cukup tampan. Sementara Toga Mas, Social Agency lebih memilih orang-orang yang jelas-jelas bisa untuk bekerja di dalamnya. Entah mereka gendut, cantik, ompong, jelek, hal semacam itu tak penting. Keadaan semacam itu cukup menandai karakter dari masing-masing toko buku yang mana sangat berbasis komersial dan cara bagaimana memikat konsumen dengan daya tarik tubuh. Yang lainnya dengan diskon harga buku dan layanan yang ramah.

Aku menyerahkan tas bukuku setelah beberapa menit antri. Dua pegawai perempuan muda, cantik sibuk dengan bukuku dan di belakangnya, para laki-laki mememasukkannya ke kantong plastik dengan buku sebanyak dan seberat itu, kantong plastik sangat tak cukup menahan berat beban di perjalanan. Aku pun membeli kantong kain berwarna putih seharga 19 ribu rupiah. Setelah buku-buku yang aku beli dimasukkan semuanya, aku pun pergi dengan tatapan mata yang masih melirik, menyorot buku bagus yang mungkin tak sengaja aku temukan. Manusia yang sudah terlanjur kecanduan buku memang berbahaya. Aku pun melangkahkan kakiku keluar dengan kedua tangan yang sama-sama penuh dan berat; buku dan pakaian.



Aku berjalan tertatih melewati Bogor yang hiruk pikuk dengan lampu-lampu redup dan tak terlalu terang. Sela-sela kegelapan masih banyak menyelimuti kota hujan ini. Aku berjalan. Berat. Sangat berat. Kadang kantong kain yang berisi buku-buku bagaikan terseret, terbentur sesuatu atau ketika tangan mulai pegal dan kesemutan, aku sandarkan ke kaki yang sedang berjalan. Berjalan. Ya berjalan. Melewati trotoar yang hilang entah kemana. Melewati mobil yang terparkir dan melenyapkan seperempat dari luas jalan raya. Melewati pedagang-pedagang kaki lima yang ada di mana-mana. Di tengah-tengah trotoar. Di pinggiran trotoar atau sama sekali tak menyisakan trotor. Kembali lagi menaiki tangga dengan tangan terasa pegal, lelah, keringat berceceran di dahi dan leher. Melihat kembali para pengemis yang tadi aku lewati. Para ibu dengan anak-anak kecil mereka bagaikan terserak begitu saja di tengah-tengah kota. Di depanku, seorang laki-laki paruh baya berkemeja putih, tiba-tiba mengulurkan tangannya dan terlihat uang kertas berwarna kebiruan sebesar 50 ribu rupiah. Pengemis itu senang bukan main. Mengucapkan syukur dengan raut muka berbinar-binar tak percaya. Tak percaya, malam seperti ini, malam yang dingin, beku, di mana hati-hati manusia kebanyakan sudah terlanjur hilang, masih ada seseorang yang rela mengeluarkan uang sebesar itu. Banyak orang mengeluarkan seribu rupiah saja sudah luar biasa susah, terasa besar dan mahal. Sementara aku? Aku hanya memandang tak percaya sambil berjalan terseok-seok, melewati mereka-mereka yang terserak dan membutuhkan belas kasihan dari banyak orang untuk hidup, merenungkan kota yang tak lagi kebal dengan kemiskinan.

Di kota mana pun, kemiskinan menjalar hingga ke bagian pusat kota. Dan menjadi miskin itu tak enak. Menyakitkan. Terlebih menjadi seorang pengemis. Hari ini, banyak orang mau merendahkan dirinya sendiri mengemis dalam kondisinya yang paling bugar karena malas dan mengemis hanya untuk cepat kaya. Tapi banyak dari mereka mengemis untuk bertahan hidup. Memiliki sakit parah. Tak ada sanak saudara. Cacat. Sebatang kara dan tak memiliki tempat tinggal. Dibuang oleh keluarga. Atau memang awalnya dilahirkan di jalanan. Tidakkah lebih baik seluruh pengemis ini diberi tempat tinggal-rumah sosial-dan diberi pekerjaan? Ah, pada akhirnya pun, dunia mereka akan kembali di korupsi oleh beberapa pihak atau bahkan di antara mereka sendiri. Tidakkah, sekali lagi, Radhar Panca Dahana sudah menguliti kita, dalam Inikah Kita? Dan Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia?

“Karena, bila kau mendekati kemiskinan, kau akan mendapatkan sebuah pelajaran yang lebih berharga dari yang lain. Kau akan berkenalan dengan kebosanan dan keruwetan hidup yang kejam dan rasa lapar, tetapi kau juga akan berkenalan dengan satu sifat kemiskinan yang dapat melipur sengsara: kemiskinan menghapus masa depanmu,” ujar George Orwell dalam Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London. Dan tentunya, seperti yang kembali ia ketahui bahwa “ … apa yang kamu makan ditentukan oleh kebohonganmu.” Seperti itulah kita hidup. Terlebih di negara ini. Kita makan dari kebohongan kita akan belas kasihan. Kita makan akan kebohongan kita menjadi orang baik yang mengeruk segala hal yang ada di dalam diri orang lain. Kita makan akan kebohongan jabatan yang kita emban. Kita makan akan penyimpangan-penyimpangan yang kita anggap normal setiap hari. Dan seperti itulah sebagian diri juga hidup.

Aku hanya bisa kembali melangkah. Tertatih. Ngilu. Dunia macam apa yang kini aku tinggali? Seolah, kita melakukan semua yang kita yakini sekaligus semua yang tidak kita yakini secara bersamaan. “Salah satu kelemahan kita, menurut penglihatan saya, ialah kita tidak berdaya melakukan pilihan, semuanya kita terima, dan kita biarkan hidup bersama, tanpa menggangu jiwa kita,” tulis Mohctar Lubis. Mohctar Lubis benar. Iya, dia benar mengenai hal itu di negara ini. Dan jika aku terus-menerus mempermasalahkan hal itu di otakku, aku bisa akan lebih cepat di bawa ke rumah sakit jiwa. Hari ini saja aku sudah terlanjur gila memikirkan hal yang bergentayangan tak jelas di kepala. Sayangnya aku tak bisa keluar dari kilasan-kilasan dunia yang aku lihat dari perjalanan-perjalananku. Orang macam apa yang melakukan kejatahan tanpa mau mengakui dan sadar bahwa dirinya jahat dan selalu menganggap dirinya baik? Orang macam apa aku ini?

Aku berjalan di trotoar yang buruk. Kecil. Remang-rermang. Seorang penjual jagung, laki-laki muda, mengipasi barang dagangannya yang tak seberapa. Sebuah bus terdiam menjepit pinggiran Trotoar. Membuat jalanan kian sempit dan menyusahkan kaki, badan dan barang bawaan di kedua tanganku akibat ketololan kepala yang terlalu kecanduan akan buku dan ilmu pengetahuan. Aku berjalan melewati pendagang kaki lima. Kaki-kaki orang. Neon yang memancar. Sederetan papan iklan yang membuyarkan kenyataan. Mengenai papan iklan jelas Bogor kalah dengan Jogja terlebih Jakarta yang sudah benar-benar membuat sakit mata dan lama kelamaan membuat jalanan semakin rabun. Papan iklan adalah monster ilusi yang membuat negara itu kacau dan jatuh pada khayalan konsusmerisme dan konsumerisme. Lalu, lupalah masyakarat dengan mencipta. Karena papan iklan sudah menyediakan segalanya.

Keringat bercucuran tiada henti. Kaos basah. Haus. Kelelahan yang luar biasa. Aku pun segera terduduk di depan bus MGI berwarna biru dikelilingi para laki-laki paruh baya yang menanyakan arah tujuan. Memaksa aku untuk ikut bus yang sebentar lagi akan berangkat ini. Suasana sangat remang-remang. Aku rasa Indonesia tak memiliki terminal yang dilihat dari mata telanjang tak nampak seperti tanah yang tak dihuni, menakutkan, seram, dan membuat siapapun yang tak terbiasa akan sangat ketakutan. Apakah tak ada terminal yang layak dan terang seperti di stasiun-stasiun?

Aku menenggak air minumku. Beberapa perempuan muda terlihat dari kaca bus. Memandangiku beberapa kali. Dan setelah aku membuka tas kantongku, totebag, mengambil salah satu buku untuk mengusir kebosananku, para perempuan itu semakin memusatkan matanya terhadap diriku. Apa yang salah dengan seorang pembaca buku dengan bukunya yang tertumpuk, di terminal yang bagaikan tempat hantu sedang menikmati malam-malamnya? Lagi-lagi, pembaca buku macam aku seperti barang tontonan langka yang harus diberi kagum atau diberi perasaan ngeri.

Aku mengambil Selimut Debu karya Agustinus Wibowo. Membacanya sebentar. Para kernet, sopir dan mereka yang berkepentingan dengan diriku agar terbujuk menaiki bus, mengerubungiku layaknya lalat berisik yang tak bisa meninggalkan diriku sebentar saja. Tapi, seringkali mereka menyenangkan. Terheran-heran melihat diriku membawa cukup banyak buku. Aku pada akhirnya terbujuk rayu mereka. Berharap bus terjebak kemacetan. Atau bus berjalan sangat pelan agar aku tak terjebak di Bandung pada tengah malam. Aku pun melangkahkan kaki yang sudah pegal, tangan kesemutan, keringat masih menetes di sekitar leher dan dahi, menuju pintu bus, menaiki tangganya, dan berjalan tersaruk-saruk ke arah belakang deretan kursi-kursi. Diikuti oleh beberapa pasang mata, yang beberapa di antaranya perempuan yang dari tadi berkepentingan memandangiku. Apakah aku cukup tampan, berpakaian aneh, atau pembaca buku yang hampir punahkah sehingga aku ditatap cukup lama dari arah depan ke belakang? Ah, tak mengapa, lagian, perempuan itu cantik juga. Dan kejutan lagi! Di seberang kursiku, terdapat dua perempuan, cantik, satu berkaca mata satunya tidak, dari Obrolanmereka, masih duduk di bangku sekolah, datang ke Bogor untuk sekedar berwisata. Ah, Bogor memang bisa membuat hati kembali menjadi segar.

Bogor, kota hujan, yang kian terjepit oleh Jakarta dan Bandung, harus mati-matian mengatur dirinya sendiri. Penduduk yang sangat cepat bertambah. Masalah sampah yang seringkali membuat tegang di tempat pembuangannya. Sampah terlihat di mana-mana seolah-olah sudah menjadi bagian dari hidup dan gaya hidup. Pohon-pohon yang kian hilang akibat pembangunan. Kemiskinan yang tak malu-malu di tengah-tengah kotanya. Kota yang lebih sibuk dengan berbelanja dan sekedar bekerja. Kendaraan bermotor yang tak ada habisnya. Setiap hari bertambah dan terus bertambah. Wajah kota yang belum terlalu kacau seperti Jakarta harus cepat-cepat diselamatkan. Kemacetan yang sudah mulai membuat masalah di mana-mana harus segera diatasi. Yah, kalau memang walikota beserta masyarakatnya memang cukup sadar diri. Kota yang sejuk dan menenangkan ini, kelak akan sekedar menjadi Bandung dan Jakarta baru. Itu akan menjadi kisah yang kelak akan paling banyak dibenci dan dianggap konyol oleh generasi yang akan datang. Orang tua mereka mewariskan Bogor yang bukan lagi surga. Tapi neraka.

Aku akan segera meninggalkan Bogor. Di malam yang sedikit sendu dan melankolis. Indah juga menyimpang banyak kengerian masa depan di dalamnya. Malam yang pendek telah menyembunyikan wajah Bogor yang sebenarnya di depanku. Tapi, tidak pikiranku dan apa yang telah aku tahu. Dengan para walikotanya yang hampir menyerah dan hanya bisa melakukan satu dua hal yang masih bisa dilakukan. Sebelum Bima Arya, walikota yang terdahulu sudah nyaris angkat tangan mengurusi kota hujan ini. Kota sejuta masalah. Kota sejuta angkutan kota. Kota yang akhirnya tidak bisa lepas dari Jakarta dan Bandung. Karena Bogor dikepung oleh dua kota gila. Maka, gilalah Bogor hari ini.

Jumlah penduduk yang melebihi 1 juta jiwa di tanah yang sangat sempit.  Membuat kota yang dulu sangat indah, sejuk, dan menjadikannya tempat ilmu pengetahuan terdepan flora fauna, pertanian, dan lainnya ini, hanya akan sekedar jadi kenangan. Bogor yang sangat indah di buku-buku, di masa kejayaannya, kini telah hilang. Pada tahun 2015, kota Bogor, dengan masyarakatnya yang gila kendaraan pribadi, lebih dari 70 persen warga bogor menggunakan kendaraan pribadi, kendaraan bermotor bertambah 40.478 unit. Ya, dengan luas jalanan yang sangat kecil, padat penduduk, angkutan kota yang jumlahnya tak terbilang banyaknya ditambah dari kabupaten Bogor sendiri. Arti dari 40.478 unit itu berarti sangat banyak. Luar biasa banyak. Dan bayangkanlah, setiap tahun akan ada kira-kira8.905 unit mobil dan 31.573 motor baru yang memenuhi jalanan Bogor dan menambahkan beban kemacetan dan kegilaannya. Bayangkanlah lagi, 10 unit motor sedang berjalan di depanmu, bertumpuk, kau nyaris tak bisa melakukan apa-apa. Apa yang bisa dilakukan oleh ribuan mobil itu di jalanan Bogor selain bukan hanyalah simbol dari kegilaan baru? Dan sampah yang 27-30 persen masih tak terangkut, membuat Bogor terasa seperti kota yang tak lama lagi akan tamat. Adipura pada 2015, hanya sekedar keganjilan. Adipura hanya berarti Bogor sedikit bersih. Hanya sedikit.Bahkan Kebun  Raya yang dulu megah itu kini pun sekedar jadi pusat onggokan bergagai jenis sub spesies sampah Nasional. Walau coba dilakukan segala upaya, mengajak warga untuk juga membersihkannya. Kota-kota di Indonesia tak bisa lagi ditangani dengan cara yang lembut. Kelembutan hanya menciptakan masalah-masalah baru. Dan yang lama masih tak terselesaikan. Politik partai, dan yang seringkali kita sebut populisme adalah akar dari segala jenis penyakit di Jawa ini. Penyakit yang juga menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia.

Berurusan dengan masyarakat Jawa yang cara berpikirnya selalu terlambat dan lebih menyukai kedamaian diri sendiri berserta kelambanan-kelambananya. Para guberbur dan walikota yang berharap bisa menyelesaikan masalah kota dan wilayah yang diurusinya dengan jalan rendah hati, bersifat kerakyatan, dan tak enak jika harus memperlakukan mereka yang dibilang orang kecil. Maka tak akan pernah ada kemajuan yang bisa diselesaikan. Jika tak mampu untuk mengubah dan menyadarakan orang-orang yang dianggap kelas menengah bawah. Bagaimana bisa mengubah secara singkat dengan kepemimpinan yang berusia beberapa tahun saja, warga atas-elite yang kesadarannya bahkan seringkali jauh lebih kolot dan buruk dari pada orang kampung dan desa pelosok itu sendiri? Jika tak ada seorang pun yang berani mengubah dengan lembut atau sangat keras warga kelas atas itu dengan segala kebudayaan gaya hidupnya. Apa yang bisa diharapkan dari seluruh walikota yang ada? Apa yang bisa diharapkan? Ketika para walikota dan gubernur lebih mengedepankan citra diri. Mempertahakan kedudukan. Takut dibenci. Takut dimusuhi. Takut tak dianggap demokratis dan bersahabat. Takut dianggap keras dan kejam karena hanya itulah jalan keluar untuk menyelesaikan masalahnya. Dan segala jenis ketakutannya lainnya; takut partainya sendiri. Takut anak istri. Takut dibunuh dan dilengserkan. Takut dikucilkan. Takut dianggap tak manusiawi. Maka, seluruh kota di Jawa akan jatuh pada neraka yang paling dalam. Neraka yang tak berdasar yang tak seorang pun bisa dan mau menyelesaikannya. Di sebuah masyarakat pragmatis, korup, dan hanya ingin enaknyanya sendiri. Semua lapisan masyarakat, menginginkan hal yang enak untuk diri dan kelas mereka sendiri tanpa peduli akan hal yang lebih besar dan kebersamaan. Untuk mengubah masyarakat yang sudah terlanjur gila seperti sekarang ini. Dibutuhkan seorang peminpin yang lebih gila dan siap untuk mati atau bahkan digantung oleh rakyatnya sendiri.

Bus berjalan. Meninggalkan kota yang sekarang mengidap kegilaan yang semakin parah. Jawa Barat, kota yang indah di masa lalu itu. Kini diisi oleh para penderita gangguan jiwa yang jumlahnya terus meningkat dan menjadi yang terbesar. Bogor pun tak kebal dari keadaan semacam itu. Di Bogor, kegilaan bertambah setiap harinya. 10 orang setiap hari mengalami kegilaan. Data dari 2014 itu, yah, tentunya pasti bertambah dan pastinya, kegilaan yang lebih banyak tak terdeteksi. Mengingat ada pengidap gangguan jiwa yang juga menyerang salah satu kantor desa di bagian kabupaten Bogor sendiri beberapa waktu yang lalu. Kota hujan ini, akan menjadi salah satu kota buruk yang meresahkan.

Hari ini, kita sedang hidup di sebuah kota yang sangat gila dengan warganya yang lebih gila lagi. Pada akhirnya, kegilaan telah menjadi umum. Wajar. Dan wajah kegilaan itu tercermin dari masing-masing kota yang aku masuki. Wajah sebuah kota adalah cerminan dari warganya. Cermin yang hingga kini masih tak mau diakui oleh banyak orang. Entah mengapa, kebanyakan dari kita nyaman dengan kebohongan dan kepura-puraan. Kita pandai di dunia semacam itu.

Dan bus semakin melaju. Meninggalkan kota hujan. Menuju pusat kegilaan yang sebenarnya; Bandung.