Senin, 23 Januari 2017

JOGJA: TELKOM










aku ingin pulang. mengayuh sepeda. yah, baru saja mengayuh, gerimis jatuh. baiklah, aku terpaksa kembali bergabung kembali dengan dua orang yang sibuk dengan percakapan mereka. yang satu asli Jogja. yang satunya lagi muslim asal Prancis. seorang imigran tentunya. mereka membicarakan banyak hal.

sedangkan aku membuka tasku, mengambil buku Dunia Tanpa Manusia karya Alan Weisman, dan mengamati jalanan di bawah sana yang semakin sepi. bau hujan menguar hingga ke kulitku. dingin. aku melingkarkan syal ke leherku. yah, sialnya, kaki dan tanganku yang terbuka, tak kebal dengan rasa dingin. bodoh.

aku membaca ulang karya Weisman, dan kini berada di halaman 139. lelah. ya, lelah. mata mengantuk. mau bagaimana lagi, sepertinya masih gerimis. sambil menunggu, aku lebih baik menulis sesuatu. tidakkah itu lebih baik?

aku sangat sering di tempat ini. beberapa bulan yang lalu, keadaan tak sebagus ini. setelah direnovasi dan dibangun kembali, suasananya benar-benar semakin ramai. stadiun Kridosono menjadi latar belakang yang suram. dan pohon-pohon yang menyergap SMAN 3 bagaikan membuat suasana berada di pinggiran hutan. hanya saja, keheningan selalu dipecah oleh percakapan, tawa terbahak bersama, dan kendaraan bermotor yang lewat. setidaknya aku tahu, aku berada di dunia manusia. di pusat kota Jogjakarta. bukan di hutan, yang tak akan mungkin tumbuh di sini.

sayangnya aku tak mengalami apa yang dirasakan Allan Cavinder, seperti yang diceritakan oleh Weisman:  ketiadaan suara manusia yang biasanya memantul dari dinding ke dinding membuatnya tertekan.

aku berada di tahap pertengahan. muak dengan yang terlalu ramai. dan tak tahan dengan yang terlalu sepi. bahkan terkadang tak betah berada di kondisi yang seharusnya pas dan cukup nyaman. huhf, hujan turun lagi. bagaimana aku akan pergi dari sini?

asap rokok dan pekak suara yang terlalu keras. aku benar-benar ingin memasukkan orang-orang itu ke tong sampah. apakah tong sampah akan menangis karena menampung orang-orang macam mereka? Jogja berjalan ke arah yang tak jelas. 

seharian ini aku bersepeda dari tempatku sampai ke Kota Baru. melihat suasana pagi di sekitar lembah UGM. melihat orang-orang sibuk berjalan kaki dan berolah raga. atau berjualan di sepanjang jalan yang ditutup. kondisinya tak terlalu menyedihkan seperti dulu saat jalan belum ditutup dan sebagiannya dibangun kembali. tak banyak sampah kali ini. cukup menyenangkan. kapan-kapan aku ingin membaca buku di danau kecil yang terletak di lembah UGM. banyak pohon dan suasananya sangat teduh. entah mengapa, baru beberapa hari di sini, aku sudah merasa kesepian.

hari minggu seperti ini, aku tak mau terganggu dengan berjualan atau apalah itu. aku masih sangat tak nyaman. aku ingin sedikit menikmati Jogja. malam ini, aku gagal untuk memperbaiki sepedaku dan merasakan Malioboro. tapi tak mengapa, aku mendapatkan banyak game yang bagus. dan kemarin, aku membeli handphone Lenovo Vibe X2, guna menemaniku mencari uang dan melepas kebosananku. aku mendapatkan cukup banyak game bagus hari ini di Telkom: Xenowerk, N.O.V.A 3, Asasin's Creed Pirates, World of Gunship, dan dua game lama: FIFA 16 dan NBA LIVE. dengan memori internal 32 giga, rasanya aku bisa memasukkan cukup banyak game di dalamnya. selain itu, aku masih memiliki OPPO Find 7a, yang aku gunakan untuk mendokumentasikan apa saja yang layak masuk dalam kameraku. yah, bisa dibilang, aku orang miskin yang masih beruntung. 

bau rokok sering menjengkelkanku. dan rasa kantuk semakin menyerang. saat aku melihat ke arah timur dari tempatku yang berada di barat, videotron, puluhan sepeda motor berjajar menandakan pola pikir dan gaya hidup anak muda hari ini. dan aku merasa, yah, aku hanya minoritas pesepeda yang semakin terancam punah. dan pendidikan di berbagai universitas di kota ini. terlihat sangat tidak maju. kesadaran akan lingkungan masih sangat rendah. tapi apa peduliku? 

'semua yang di Dunia Baru lebih buruk daripada yang ada di Dunia Lama, termasuk alam liarnya,' tulis Weisman mengulang pandangan tokoh dari Prancis. jika menyangkut alam liar, kota adalah alam liar yang lain. di mana kita saling memangsa dan mengabaikan. sebuah dunia, di mana orang mati besok lalu terhapus oleh tetangga sekitarnya. rasa-rasanya aku terlalu banyak berpikir. ini sangat tidak baik.

puluhan anak muda masih sibuk berinternet ria dan berbincang di sini. tempat ini menjadi ruang publik yang hidup. bahkan sering aku melihat ada seseorang yang terjaga hingga pagi hari demi menikmati jaringan data super murah. di sisi kiriku, ada perempuan cantik dikelilingi oleh banyak laki-laki. begitu juga di beberapa titik. dan perempuan-perempuan ini sangat modern, cantik, modis, tapi terlihat gelisah. mungkin sangat gelisah dan tak bahagia. dan ketika membuka-buka instagram, aku melihat generasiku berada dalam masa hidup yang kacau dan gagal mencapai kebahagiaan hidup. dan laki-lakinya? terlihat berantakan dan tak jelas. kadang lusuh. sedikit yang menyenangkan untuk sekedar dipandang. 

dengan banyaknya tempat semacam ini: akses terhadap internet, informasi, buku, perpustakaan, toko buku, universitas besar, ruang seni, sastra, dan budaya. dan ribuan anak muda yang sangat aktif hingga tengah malam sampai pagi hari. kenapa kota ini masih sangat buruk dan bagaikan tempat yang sangat tertinggal? sebuah kota, yang tak mampu memaksimalkan potensi yang ia miliki. atau masyarakat yang tak bisa memanfaatkan apa yang kota miliki?
aku semakin mengantuk. tapi entah kenapa, rasanya malas kembali ke kamar. aku memandangi bukuku dengan perasaan aneh. beberapa hari terakhir ini aku membawanya ke manapun. dan membacanya selagi sempat. terkadang, terpikir olehku, untuk apa lagi aku harus mencari uang? bekerja untuk mati. dan bermalas-malasan juga untuk mati. menyebalkan bukan?

di malam hari, atau pagi hari yang awal. Jogja terlihat sedikit lembut. atau melankolis. segala kesemrawutan dan bising jalanan seolah-olah ikut tertidur. dan seorang perempuan cantik yang merokok, tiba-tiba merusak segalanya. apakah aku membenci perempuan perokok? tidak. aku hanya sedikit kasihan dengan mereka. merokok adalah tanda kegelisahan. ketergantungan pada sesuatu guna menekan apa yang tidak menyenangkan di dalam hidup. kecemasan-kecemasan dan dunia yang dirasa kacau. dan rahim yang akan buruk. serta bayi yang berpotensi mengalami hal yang tak terlalu baik jika pada akhirnya memutuskan untuk memiliki anak. keberatanku, berada di seputar ini.
tubuhku sudah mulai memperingatkanku untuk pulang. udara semakin dingin dan tubuhku semakin tak kuat menanggungnya. terkadang aku merespon dua orang yang sejak tadi tak henti mengobrol menggunakan bahasa inggris. yah, masih ada yang harus aku kerjakan besok. hidupku tidak hanya sekedar ini. tempat ini, aku rasa, akan semakin ramai dan banyak diisi oleh anak-anak muda yang butuh ruang kebebasan yang lebih besar. hingga pada akhirnya, waktu terbalik bersama mereka. kegelisahan yang tak menghasilkan apa pun.

beberapa hari yang lalu, di tempat ini juga, aku terlibat sebuah perdebatan atau diskusi yang berujung pada ketidakjelasan. masing-masing mempertahankan gagasan sendiri tentang dunia. dan di titik tertentu aku berpikir, menyadarkan seluruh umat manusia terasa konyol. jika untuk menyadarkan satu orang saja, atau hanya sekedar saling mencari titik temu sudut pandang pun gagal. dan dunia ini, tak hanya diisi oleh satu orang saja. tapi milyaran. aku kasihan dengan para aktivis yang merasa bisa mengubah dunia denga menyadarkan orang-orang seperti hewan bodoh yang belum pernah belajar di sekolah. pengalamanku berbincang dengan berbagai macam jenis orang, memperlihatkanku bahwa dunia ini akan terus penuh denga konflik dan keluhan-keluhan konyolnya. dan Jogja, sedikit memiliki jenis manusia yang bisa aku ajak bicara panjang lebar. dibagian itulah aku merasa sangat bosan.

bau rokok elektrik sangat menyengat dan membuat dadaku terasa sakit. aku benci rokok tipe baru yang sangat brengsek itu. memang, sudah waktunya aku balik. di dalam dunia yang pendek ini. rasa-rasanya, kita makhluk yang memang tak terlalu berguna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar