aku ingin pulang. mengayuh sepeda. yah, baru saja mengayuh, gerimis
jatuh. baiklah, aku terpaksa kembali bergabung kembali dengan dua orang
yang sibuk dengan percakapan mereka. yang satu asli Jogja. yang satunya
lagi muslim asal Prancis. seorang imigran tentunya. mereka membicarakan
banyak hal.
sedangkan aku membuka tasku, mengambil buku Dunia Tanpa Manusia
karya Alan Weisman, dan mengamati jalanan di bawah sana yang semakin
sepi. bau hujan menguar hingga ke kulitku. dingin. aku melingkarkan syal
ke leherku. yah, sialnya, kaki dan tanganku yang terbuka, tak kebal
dengan rasa dingin. bodoh.
aku membaca ulang karya Weisman, dan kini berada di halaman 139.
lelah. ya, lelah. mata mengantuk. mau bagaimana lagi, sepertinya masih
gerimis. sambil menunggu, aku lebih baik menulis sesuatu. tidakkah itu
lebih baik?
aku sangat sering di tempat ini. beberapa bulan yang lalu, keadaan
tak sebagus ini. setelah direnovasi dan dibangun kembali, suasananya
benar-benar semakin ramai. stadiun Kridosono menjadi latar belakang yang
suram. dan pohon-pohon yang menyergap SMAN 3 bagaikan membuat suasana
berada di pinggiran hutan. hanya saja, keheningan selalu dipecah oleh
percakapan, tawa terbahak bersama, dan kendaraan bermotor yang lewat.
setidaknya aku tahu, aku berada di dunia manusia. di pusat kota
Jogjakarta. bukan di hutan, yang tak akan mungkin tumbuh di sini.
sayangnya aku tak mengalami apa yang dirasakan Allan Cavinder,
seperti yang diceritakan oleh Weisman: ketiadaan suara manusia yang
biasanya memantul dari dinding ke dinding membuatnya tertekan.
aku berada di tahap pertengahan. muak dengan yang terlalu ramai. dan
tak tahan dengan yang terlalu sepi. bahkan terkadang tak betah berada di
kondisi yang seharusnya pas dan cukup nyaman. huhf, hujan turun lagi.
bagaimana aku akan pergi dari sini?
asap rokok dan pekak suara yang terlalu keras. aku benar-benar ingin
memasukkan orang-orang itu ke tong sampah. apakah tong sampah akan
menangis karena menampung orang-orang macam mereka? Jogja berjalan ke
arah yang tak jelas.
seharian ini aku bersepeda dari tempatku sampai ke Kota Baru. melihat
suasana pagi di sekitar lembah UGM. melihat orang-orang sibuk berjalan
kaki dan berolah raga. atau berjualan di sepanjang jalan yang ditutup.
kondisinya tak terlalu menyedihkan seperti dulu saat jalan belum ditutup
dan sebagiannya dibangun kembali. tak banyak sampah kali ini. cukup
menyenangkan. kapan-kapan aku ingin membaca buku di danau kecil yang
terletak di lembah UGM. banyak pohon dan suasananya sangat teduh. entah
mengapa, baru beberapa hari di sini, aku sudah merasa kesepian.
hari minggu seperti ini, aku tak mau terganggu dengan berjualan atau
apalah itu. aku masih sangat tak nyaman. aku ingin sedikit menikmati
Jogja. malam ini, aku gagal untuk memperbaiki sepedaku dan merasakan
Malioboro. tapi tak mengapa, aku mendapatkan banyak game yang bagus. dan
kemarin, aku membeli handphone Lenovo Vibe X2, guna menemaniku mencari
uang dan melepas kebosananku. aku mendapatkan cukup banyak game bagus
hari ini di Telkom: Xenowerk, N.O.V.A 3, Asasin's Creed Pirates, World
of Gunship, dan dua game lama: FIFA 16 dan NBA LIVE. dengan memori
internal 32 giga, rasanya aku bisa memasukkan cukup banyak game di
dalamnya. selain itu, aku masih memiliki OPPO Find 7a, yang aku gunakan
untuk mendokumentasikan apa saja yang layak masuk dalam kameraku. yah,
bisa dibilang, aku orang miskin yang masih beruntung.
bau rokok sering menjengkelkanku. dan rasa kantuk semakin menyerang.
saat aku melihat ke arah timur dari tempatku yang berada di barat,
videotron, puluhan sepeda motor berjajar menandakan pola pikir dan gaya
hidup anak muda hari ini. dan aku merasa, yah, aku hanya minoritas
pesepeda yang semakin terancam punah. dan pendidikan di berbagai
universitas di kota ini. terlihat sangat tidak maju. kesadaran akan
lingkungan masih sangat rendah. tapi apa peduliku?
'semua yang di Dunia Baru lebih buruk daripada yang ada di Dunia
Lama, termasuk alam liarnya,' tulis Weisman mengulang pandangan tokoh
dari Prancis. jika menyangkut alam liar, kota adalah alam liar yang
lain. di mana kita saling memangsa dan mengabaikan. sebuah dunia, di
mana orang mati besok lalu terhapus oleh tetangga sekitarnya.
rasa-rasanya aku terlalu banyak berpikir. ini sangat tidak baik.
puluhan anak muda masih sibuk berinternet ria dan berbincang di sini. tempat
ini menjadi ruang publik yang hidup. bahkan sering aku melihat ada
seseorang yang terjaga hingga pagi hari demi menikmati jaringan data
super murah. di sisi kiriku, ada perempuan cantik dikelilingi oleh
banyak laki-laki. begitu juga di beberapa titik. dan perempuan-perempuan
ini sangat modern, cantik, modis, tapi terlihat gelisah. mungkin sangat
gelisah dan tak bahagia. dan ketika membuka-buka instagram, aku melihat
generasiku berada dalam masa hidup yang kacau dan gagal mencapai
kebahagiaan hidup. dan laki-lakinya? terlihat berantakan dan tak jelas.
kadang lusuh. sedikit yang menyenangkan untuk sekedar dipandang.
dengan banyaknya tempat semacam ini: akses terhadap internet,
informasi, buku, perpustakaan, toko buku, universitas besar, ruang seni,
sastra, dan budaya. dan ribuan anak muda yang sangat aktif hingga
tengah malam sampai pagi hari. kenapa kota ini masih sangat buruk dan
bagaikan tempat yang sangat tertinggal? sebuah kota, yang tak mampu
memaksimalkan potensi yang ia miliki. atau masyarakat yang tak bisa
memanfaatkan apa yang kota miliki?
aku semakin mengantuk. tapi entah kenapa, rasanya malas kembali ke
kamar. aku memandangi bukuku dengan perasaan aneh. beberapa hari
terakhir ini aku membawanya ke manapun. dan membacanya selagi sempat.
terkadang, terpikir olehku, untuk apa lagi aku harus mencari uang?
bekerja untuk mati. dan bermalas-malasan juga untuk mati. menyebalkan
bukan?
di malam hari, atau pagi hari yang awal. Jogja terlihat sedikit
lembut. atau melankolis. segala kesemrawutan dan bising jalanan
seolah-olah ikut tertidur. dan seorang perempuan cantik yang merokok,
tiba-tiba merusak segalanya. apakah aku membenci perempuan perokok?
tidak. aku hanya sedikit kasihan dengan mereka. merokok adalah tanda
kegelisahan. ketergantungan pada sesuatu guna menekan apa yang tidak
menyenangkan di dalam hidup. kecemasan-kecemasan dan dunia yang dirasa
kacau. dan rahim yang akan buruk. serta bayi yang berpotensi mengalami
hal yang tak terlalu baik jika pada akhirnya memutuskan untuk memiliki
anak. keberatanku, berada di seputar ini.
tubuhku sudah mulai memperingatkanku untuk pulang. udara semakin
dingin dan tubuhku semakin tak kuat menanggungnya. terkadang aku
merespon dua orang yang sejak tadi tak henti mengobrol menggunakan
bahasa inggris. yah, masih ada yang harus aku kerjakan besok. hidupku
tidak hanya sekedar ini. tempat ini, aku rasa, akan semakin ramai dan
banyak diisi oleh anak-anak muda yang butuh ruang kebebasan yang lebih
besar. hingga pada akhirnya, waktu terbalik bersama mereka. kegelisahan
yang tak menghasilkan apa pun.
beberapa hari yang lalu,
di tempat ini juga, aku terlibat sebuah perdebatan atau diskusi yang
berujung pada ketidakjelasan. masing-masing mempertahankan gagasan
sendiri tentang dunia. dan di titik tertentu aku berpikir, menyadarkan
seluruh umat manusia terasa konyol. jika untuk menyadarkan satu orang
saja, atau hanya sekedar saling mencari titik temu sudut pandang pun
gagal. dan dunia ini, tak hanya diisi oleh satu orang saja. tapi
milyaran. aku kasihan dengan para aktivis yang merasa bisa mengubah
dunia denga menyadarkan orang-orang seperti hewan bodoh yang belum
pernah belajar di sekolah. pengalamanku berbincang dengan berbagai macam
jenis orang, memperlihatkanku bahwa dunia ini akan terus penuh denga
konflik dan keluhan-keluhan konyolnya. dan Jogja, sedikit memiliki jenis
manusia yang bisa aku ajak bicara panjang lebar. dibagian itulah aku
merasa sangat bosan.
bau rokok elektrik sangat menyengat dan
membuat dadaku terasa sakit. aku benci rokok tipe baru yang sangat
brengsek itu. memang, sudah waktunya aku balik. di dalam dunia yang
pendek ini. rasa-rasanya, kita makhluk yang memang tak terlalu berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar