Sabtu, 21 Januari 2017

BOGOR: KOTA YANG MENUJU BOBROK







Indonesia memiliki satu kemampuan, bahkan sudah jadi etos, mungkin juga nilai, yang bisa kita depankan di hadapan bangsa-bangsa lain (dengan bangga, seharusnya) yakni: korupsi. Serius. Dalam hemat, kapasitas dan kapabilitas bangsa kita dalam soal yang satu ini, sangat diakui dunia, bukan hanya karena kecerdasan, kelicikan, kecermatan, penciptaan varian, mengatasi hambatan, tapi juga jalan pikiran dan jalan perasaan yang begitu integrative dalam melahirkan tindak korupsi. Sehingga korupsi bukan lagi milik golongan atau kelas tertentu, tapi imanen dalam perikehidupan mayoritas bangsa ini.
Radhar Panca Dahana
Inikah Kita-Menuju Diri Baru



Perjalanan meninggalkan Jakarta itu bagaikan hadiah dari surga. Dan beruntunglah mereka yang tak terjebak hidup di dunia yang semengerikan itu. Di mana mereka mampu bertahun-tahun tinggal di dalamnya. Aku nyaris gila hanya sekedar membayangkannya. Bagaimana orang bisa hidup di sebuah lingkungan semacam itu kecuali bukan orang gila atau terlalu pasrah tertelan kegilaan itu sendiri? Kegilaan yang mandul dan hanya cacatnya yang tersisa. Sekarang, aku ada di stasiun Palmerah. Menunggu. Menunggu dalam keramaian. Tangan memegang National Geographic dengan judul Menjarah Masa Depan. Panas yang menyengat. Perempuan-perempuan cantik yang juga kepanasan. Ibu-ibu yang menahan lelah. Anak-anak muda yang jumlahnya sangat banyak. Kakek. Laki-laki paruh baya. Dan mereka-mereka yang wajahnya layu setelah seharian bekerja dalam kengerian dan kerutinan yang menekan. Dan, kereta pun datang. Sialnya kereta arah Depok. Menunggulah aku kembali. Membuka kembali majalah National Geographicku dengan barang bawaan yang tersender di kaki. Tas punggung yang beratnya, akibat Majalah National Geograhic Indonesia yang terlau menggoda untuk dilewatkan, membuat aku terseok-seok di teriknya matahari yang mulai memancarkan habis-habisan cahaya terakhir menuju senja beberapa jam lagi. Makhluk aneh macam aku, yang membaca di tengah kerumunan manusia gurun, pasti diperhatikan oleh banyak orang. Kemana pun aku membaca buku di tengah keramaian orang-orang. Aku bagaikan menjadi orang yang, entah datangnya dari UFO yang tak sengaja nyasar ke planet ini. Atau barang purbakala dari Museum Geologi Bandung yang tiba-tiba terlempar kemari. Dan mungkin juga aku ini salah satu spesies terancam punah terakhir yang belum pernah dilihat sebelumnya di negara ini dan baru akhir-akhir ini menampakkan diri. Membaca di depan publik adalah sebentuk kesadaran terakhir agar orang macam aku tidak segera punah. Karena membaca di depan umum, bagi masyarakat di Jawa, adalah Aib.

Ah, ternyata ada ada juga perempuan, dengan tubuh membulat, membaca buku Chelsea Wives karya Anna Lou di tengah-tengah kerumunan manusia-manusia cantik dan tampan yang menjadikan buku adalah bacaan paling aib di depan publik. Buku adalah aib. Lalu bagaimana negara ini maju jika masyarakatnya menganggap buku lebih rendah dari pada rumah pelacuran dan seonggok sampah di jalan-jalan? Lebih mudah membuka paha di jalan-jalan dari pada membuka buku di jalanan. Lebih mudah berias diri demi ketampanan dan memamerkannya ke setiap perempuan yang lewat dari pada memamerkan buku di ruang-ruang publik yang dipenuhi perempuan. Lebih mudah melihat sampah dari pada buku-buku di jalanan. Dan ketika ada seorang perempuan gendut, bulat, dan dianggap paling jelek di dunia tapi ia sedang membaca dan termenung dalam bukunya di sebuah tempat publik yang ramai. Dia aku anggap lebih cantik dari siapa pun. Tentunya, pasti lebih cantik kekasihku. Tapi setidaknya seperti itu. Buku bukan hal yang menyenangkan untuk dipamerkan. Di Jakarta sendiri, baru dua kali ini, setelah beberapa hari bergentayangan di dalamnya, aku menemukan seorang pembaca buku. Satu orang, lagi-lagi perempuan sedang terlihat membaca di Trans Jakarta. Dan sekarang ini, tak jauh dari pandangan mataku di stasiun ini. Dua pembaca buku terlihat selama aku beberapa hari di Jakarta. Sepeda pun nyaris tak terlihat sama sekali kecuali hitungan jari. Itu sungguh tragedi.

Dan, di mana laki-lakinya? Laki-laki pembaca buku? Maaf, mereka semua kebanyakan tiba-tiba menjadi tolol. Generasi laki-laki tolol yang merasa terbakar ketika memegang buku sudah semakin menjadi hal biasa. Laki-laki bodoh dan tak bertanggung jawab sudah semakin umum di negara ini. Jadi, di negara dengan 17 ribu pulau ini, jangan pernah heran melihat hal semacam itu. Dan jangan pernah heran jika menemukan, jika tak sengaja berjalan ke sana dan ke mari, laki-laki yang kebodohannya lebih mengerikan dari pada tukang parkir, ojek, atau supir bus kota. Kita hidup di sebuah negara yang, seperti kata Radhar Panca Dahana, “Pekerjaan resmi jadi sampiran, korupsi adalah tugas utama.” Kita tak tertarik dengan semangat menggebu Korea Selatan dalam mengejar Jepang yang lebih dulu termodernisasikan. Kita juga tak peduli jika India, Tiongkok, bahkan Bangladesh dan beberapa negara Asia lainnya sedang berlomba-lomba mengejar ilmu pengetahuan, prestasi dan percepatan dalam sains. Bahkan kita tak terlalu menggebu untuk mengejar Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam dan tetangga-tetangga dekat kita lainnya. Kegairahan akan ilmu pengetahuan masih berada dalam tahap paling merisaukan. Kegairahan akan kekayaan dengan jalan segala cara serta bagaimana memamerkan dan menghabiskannyalah yang paling populer. Dan ketika aku sedang bersiap-siap meninggalkan Jakarta sebagai pusat orang-orang bodoh dan gila berada. Aku pun sangat senang. Mana ada orang cerdas dan pintar yang menjadikan Jakarta semenakutkan itu? Entah dia seorang Presiden, menteri, hakim agung atau apalah. Jakarta tempatnya orang gila dan bodoh. Itu terlihat dari wajah Jakarta itu sendiri. Tak heran jika para gubernur jenderal di masa Hindia Belanda berbondong-bondong melakukan perjalanan dan memindahkan kediamannya di Bogor atau Buitenzorg di masa lalu. Tak heran pula jika negara ini salah urus.

Kereta pun datang. Bermacam orang berebutan ingin cepat-cepat masuk ke dalam. Tak ubahnya dengan perebutan daerah kekuasaan ketika bus Trans Jakarta tiba. Jadi, entah di jalanan atau ketika ingin masuk ke dalam bus maupun kereta, semuanya hampir sama saja: saling mendahului, terburu-buru ingin mendapatkan tempat dan ruang dari pada yang lainnya. Atmosfer semacam ini berada hampir di segala macam tempat.

Untuk sampai ke Stasiun Bogor, aku membayar 15 ribu rupiah karena harus transit ke Stasiun Tanah Abang lebih dahulu. Dari Stasiun Tanah Abang yang lebih penuh dan sesak lagi. Akhirnya aku berangkat dalam perjalanan menuju Bogor yang, dalam bayanganku akan sangat cepat, menggembirakan dan lapang. Seperti perjalananku ketika naik kereta KRL dari Bogor ke Jakarta beberapa bulan yang lampau.

Dan kini, di sinilah aku, duduk di sebuah tempat yang setiap transit dari satu stasiun ke satu stasiun lainnya, semakin sesak, padat, udara segar pun menghilang, dan sangat melelahkan. Tiga perempuan dengan baju kerjanya berdiri tepat di depanku. Yang satu, yang cukup cantik, melirikku berkali-kali. Entah karena aku membaca National Geographic yang gambar-gamnbarnya menarik perhatian atau entah karena apa. Begitu juga dengan banyak orang lainnya. Jadi, inilah yang ada di kepalaku; National Geographic Indonesia dengan muka majalah yang bagus dan elegan serta isi yang penuh dengan gambar-gambar yang bagus dan menarik perhatian bisa membuat orang-orang sangat penasaran. Tidakkah hari ini Indonesia sedang terkena ledakan gairah akan National Geographic yang bagaikan ada di mana-mana yang sayangnya, nyaris aku tak pernah melihat ada seseorang membaca National Geographic di jalan-jalan kecuali saat aku melihat tanganku sendiri yang memegang majalah itu. Dan entah kenapa, perjalanan menuju Bogor terasa sangat lama dan melelahkan. Sebuah kereta yang terlalu penuh dan sesak dengan bau nafas serta keringat manusia. Seolah-olah tak ada yang berubah dari tahun 50-an hingga hari ini kecuali kenaikan jumlah penumpang yang semakin mengerikan dan wajah stasiun yang mirip dengan tempat pengungsian.

Aku membuka-buka majalahku dengan mata yang dari menit ke menit semakin limbung. Aku terserang kantuk. Melihat seorang ibu-ibu dan bapak-bapak yang memegang sebuah buku di Jawa yang hari ini tak butuh ilmu pengetahuan adalah sebuah keajaiban. Sayangnya, kenapa yang terlihat memegang buku selalu orang yang beberapa tahun lagi akan mati? Di mana anak mudanya? Apa yang akan diwariskan kelak kepada masa depan negara ini jika anak mudanya, yah, terlihat sedang sibuk memencet, mengelus, dan berbicara mesra dengan gadget mereka masing-masing?



Udara semakin dingin. Terlihat kaca jendela mengembun. Waktu terasa memanjang, dan malam datang semakin menggelisahkan. Apakah aku nanti akan terlantar di kota yang bernama Bogor untuk yang kedua kalinya? Entahlah. Kesadaranku masih samar-samar. Aku jatuh tertidur dengan ketidaktahuan. Kereta semakin lapang dan tak lagi sesak. Untungnya, keadaan di luar jendela terlihat masih dalam keadaan senja. Aku mengira aku sudah kemalaman di kereta ini. Dan itu berarti berbahaya. Aku akan kesusahan untuk melihat suasana kota dan tentunya, aku takut jika nanti pada akhirnya tak menemukan satu bus pun yang akan membawaku ke Bandung.

Aku tiba di Stasiu Bogor yang selalu riuh dan penuh sesak. Menukarkan kartu tiket kereta dan mendapatkan kembalian sebesar 10 ribu rupiah. Lumayan, pikirku. Bisa aku gunakan untuk membayar Go-Jek atau pun angkutan kota. Kaki pun melangkah di tengah kerumunan orang dan orang yang luar biasa banyaknya. Mengingat Bogor kini memiliki lebih dari 1 juta jiwa penduduk. Tak mengherankan jika keadaannya sesesak ini. Dan yang jelas, pengemis, pengamen, sampah, sama banyaknya. Tak hanya Jakarta yang mengalami masalah yang pelik itu. Bogor pun mengalaminya. Juga Bandung. Konflik tempat pembuangan sampah. Pengemis yang semakin berkeliaran ke pusat-pusat kota. Dan konsumsi yang berlebihan tanpa mengindahkan pola pikir sehat dan berkelanjutan. Untuk yang berkelanjutan, pemerintah nyaris tak peduli sama sekali akan hal itu. Entah lewat kurikulum sekolah atau sosialiasi. Kecuali, hal yang benar-benar tindakan paling bodoh wali kota Bogor adalah sekedar membuat tempat pembuangan sampah baru tanpa memasukkan kesadaran ekologis ke dalam muatan mata pelajaran sekolah dan tentunya denda serta payung hukum yang efektif.

Jembatan yang penuh sesak. Pengemis yang sibuk memaparkan ketidakberartian dan kehinaan dirinya sendiri di hadapan banyak orang. Stasiun yang kotor. Terlebih di luar Stasiun, sampah sudah menjadi hal umum. Kendaraan, terlebih angkutan kota berwarna hijau bagaikan menjajah di segala macam ruang dan tempat. Pedagang kaki lima memenuhi setiap pinggiran jalan. Dari mereka yang menjual makanan hingga segala pernik asesoris handphone. Aku pun berjalan. Melewati begitu banyak perempuan cantik yang susah dicari di Jakarta. Bertanyaangkutan kota ke arah Masjid Raya Bogor. Dan ibu-ibu, bapak-bapak, dan lainnya, menyarankanku untuk naik angkutan kota bernomor 03. Aku pun menimbang-nimbang, lebih mahal mana dari pada Go-Jek? Setelah tahu bahwa Go-Jek bertarif 8 ribu hanya sekitar 3 kilometer. Aku pun memutuskan menaiki angkot bernomor 03 dengan tiga perempuan yang sudah ada di dalamnya; satu perempuan dengan usia di bawahku, sekitar 20-an dengan jilbab dan kecantikannya. Ibu-ibu berumur 50-60-an tahun dengan jilbab dan pakaian elegenannya yang aku kira ibu dari perempuan muda di depanku. Dan seorang perempuan yang berada tepat di belakang supir. Dan entah dari mana, tiba-tiba pengamen muncul, berlari, dan nongkrong di angkot yang aku naiki. Mulailah ia mendendang sebentar. Ya hanya sebentar. Seperti kebiasaan pengamen lainnya. Tak perlu waktu lama, terangkatlah wadah untuk mengumpulkan uang dari hasil mengamengnya yang hanya bermodal beberapa menit tadi. Dengan hanya empat orang penumpang, dan dua di antaranya absen. Dapatlah pengaman itu hanya dua penumpang yang bersedia memberikan sumbangan atau lebih tepatnya subsidi. Terbantulah pemerintah kota di Bogor dan yang ada di seluruh Jawa. Tentunya yang ada di pusat. Mungkin kita harus merayakan apa yang dikatakan lagi oleh Radhar Panca Dahana, Mari Menyubsidi Negara.

Jalanan terasa sejuk dan damai. Pohon-pohon tinggi terasa meneduhkan perasaanku yang sangat lelah dan mudah marah di Jakarta. Walaupun Bogor tidak memiliki banyak trotoar yang memadai dan sampah menjadi penduduk kota hujan ini. Bogor masih bisa sedikit menghaluskan perasaanku. Sisa hujan membuat suasana awal dari sebuah malam menjadi terasa agung. Jalanan pun seolah memberikanku jeda dari keributan yang hingar bingar. Di sebuah waktu yang harusnya berisikan kemacetan yang gila, kali ini, Bogor tak mengalaminya. Dan pastinya, dikisaran jam 18:00, Jakarta mengalami kemacetan total yang mengerikan. Bogor yang aku temukan kali ini, tak banyak merasakannya. Masih ada sela dan mudahnya kendaraan berjalan walau kepadatan kendaraan tidak bisa lagi dipungkiri. Keadaan Bogor tak sekeji Jakarta yang menjadi tetangganya. Seandainya Bogor ditata dengan benar. Kota ini, dengan rasa sejuk dan sisa pohon-pohonnya yang sangat rindang, benar-benar akan menjadi kota sangat indah. Sayangnya, aku sedang berada di sebuah negara yang berbagai pejabatnya selalu melakukan yang sama: salah kelola.

Aku diturunkan tepat di depan Carrefour. Untungnya, perempuan muda di depanku tadi cukup cantik sehingga kelelahan dari sebuah perjalanan agak terbilas sudah. Kecantikan bisa membuat perjalanan menjadi menyenangkan. Dan Bogor harus aku akui dari pada kota-kota lainnya, memiliki para gadis dan perempuan muda yang sangat cantik. Dan sangat mudah dijumpai di jalanan, di angkutan kota maupun di tempat-tempat umum. Tidak seperti di Jakarta yang sangat pelit perempuan cantik di jalan-jalan kecuali para pelacur yang terlihat di pinggirannya ketika tengah malam hari.

Aku menyeberang. Tentunya dengan cukup perjuangan seperti di tempat-tempat lainnya walau tak separah ketika menyeberang di Jakarta atau jalanan Jogja. Lalu berjalan kaki di sebuah trotoar yang hilang dan lubang menganga selebar-lebarnya ketika sedang menuju terminal yang sangat sepi yang masih terlihat satu dua bus. Aku bertanya bus jurusan Bandung, terlebih MGI. Jawabannya, yang ada di depanku sekarang ini adalah bus MGI terakhir. Aku pun naik. Membeli air minum. Dan berangkatlah bus menuju Bandung.

Lima menit kemudian; diturunkanlah aku di tempat, yang untungnya tak jauh dari Terminal Bogor. Keberuntungan yang menyebalkan. Karena aku harus berjalan kaki. Aku salah menaiki bus. Dipaksa membayar 10 ribu lagi. Yang pada akhirnya aku bayar 5 ribu rupiah. Dengan muka masam dan berkilah ini dan itu, kernet bus pun menerimanya. Sialan itu bus. Jarak luar biasa dekat dan rasa-rasanya cuma beberapa ratus meter saja dari Terminal aku diharuskan membayar. Baiklah. Tak masalah. Aku berjalan kaki. Menuju terminal. Mencari bus MGI yang jumlahnya lebih banyak lagi. Bertanya kapan bus terakhir akan berangkat. Jam 22:00 adalah jawabannya. Dan ah, aku masih memiliki cukup banyak waktu untuk menikmati kota hujan ini.

Dengan riang gembira aku pun berjalan dengan bersenandung. Aku bergegas mencari makan. Masuklah aku ke warung nasi padang Restoran Trio Permai. Memesan ikan kembung. Nasi kecil yang, ini cukup sialan, disediakan untuk menambah uang bayaran lagi. Berlama-lamalah aku di dalamnya. Mengisi baterai. Mengistirahatkan badan. Di depan sana, beberapa meter dariku, seorang yang sangat cantik terlihat sedang berbincang dan menikmatinya makannya dengan kekasihnya. Sangat cantik. Tak lama kemudian, puluhan remaja Tionghoa yang modis, seksi, cantik, berbondong-bondong memasuki restoran ini dan menempati tempat khusus. Sepertinya mereka anak-anak sekolah yang sedang berwisata dengan guru mereka dan anak laki-laki yang jumlahnya cukup banyak juga. Ah, Bogor tak pernah mengecewakan mata. Banyak perempuan cantik yang menyegarkan pandangan dalam waktu yang kurang dari satu jam saja.

Hampir jam 19:00. Aku pun membayar. 26 ribu rupiah. Luar biasa mahal. Di Jogja, aku bisa mendapatkan itu hanya dengan 12 ribu rupiah. Tak apalah. Sudah terjadi. Yang terpenting tubuhku sudah lumayan enak untuk digunakan berjalan. Aku pun segera menuju Botani Square.


Melewati jembatan penyeberangan yang berisikan banyak sekali pengemis dengan anak-anak kecil mereka yang tergelak di selembar tipis kain. Aku hanya sekedar melewatinya. Seperti banyaknya orang-orang lainnya. Sebuah dilema yang paling menyebalkan untuk hal semacam ini selalu berkaitan dengan belas kasihan, perasaan tak enak, merasa ingin membantu dan pada akhirnya, pemerintah tak ingin melakukan apa-apa dan masyarakat tak akan berinovasi untuk menyelesaikan pemecahannya. Karena kita lebih sering memberikan uang tanpa harus menyelesaikan akar masalahnya yang entah di mana.

Setibanya aku di mal setelah melewati lahan parkir yang cukup gelap. Sampailah aku di dalamnya. Mungkin salah satu atau bahkan satu-satunya yang termegah di Bogor ini. Dengan kecepatan penuh, aku pun melangkahkan kakiku menuju lantai dasar. Dan sebuah kejutan! Ada pameran buku cukup besar di depanku. Buku bertumpuk tak beraturan di banyak tempat. Bogor memang sebuah kejutan sekaligus tak peka terhadap seorang yang sedang kelelahan ini. Yang masih harus hidup beberapa hari lagi di Bandung. Ah buku, kenapa kau harus mengusik mataku. Terlebih uangku sudah dalan kondisi menakutkan! Tapi, yah, setelah bergerak kesana kemari, membongkar-bongkar tumpukan buku, aku pun mendapatkan banyak buku di tanganku. Banyak orang heran dengan laki-laki aneh ini. Dengan penampilan ala seniman tak jelas. Baju merah mencolok dengan syal sulamannya. Tas hijau yang terisi penuh dan berat. Lalu tangan satunya terlalu penuh dengan tas tangan. Tangan satunya lagi kewalahan memegang buku dan buku. Aku pun mengambil tas buku berwarna hitam dari Gramedia. Memasukkan buku-buku National Geographic, buku-buku sastra, menemukan buku sejarah mengenai rempah, buku perjalanan, buku mengenai keimanan kristen, dan beberapa lainnya. Tiba-tiba, tas mulai penuh dan berat. Dan aku mulai kelelahan. Luar biasa. Luar biasa konyol! Dua kali di Bogor selalu seperti ini. Antusiasku hanya bisa dikalahkan oleh ibu-ibu Tionghoa dan anaknya yang memborong luar biasa banyak komik! Ya, Bogor adalah kota pencinta komik dari pada pencinta buku. Tidakkah komik juga adalah buku? Sekaligus seni? Yah, dua-duanya. Tapi yang aku maksud buku adalah hal yang lebih konvensional yang seperti sekarang ini aku pegang dengan tangan yang kesemutan.

Antusias warga Bogor melihat dan membeli buku cukup mengagumkan. Cukup banyak mereka yang berkeliaran di sini. Dari para gadis yang masih remaja dengan gaya berpakaian sangat modis, hingga remaja berjilbab yang tak kalah modisnya. Sampai pada ibu-ibu yang sibuk memeloti buku-buku. Dan, jika bersangkut paut dengan buku. Para perempuanlah yang selalu menjadi mayoritas. Era laki-laki, sepertinya hampir berakhir di negara ini. Dalam artian, mereka akan lebih banyak tergeser jauh. Akhir-akhir ini para perempuanlah yang lebih banyak menghargai buku dan ilmu pengetahuan. Mereka juga memiliiki mentalitas yang lebih kuat saat membaca buku di jalan-jalan. Seandainya jam tidak melebihi angka 21:00, mungkin aku masih akan berkeliaran dan tenggelam dalam tumpukan buku-buku ini. Aku berjalan ke arah kasir. Gramedia adalah salah satu toko buku, di samping Gunung Agung yang memilih para pegawainya dengan cukup ketat dalam penampilan. Semakin hari, para pegawainya hanya diisi oleh perempuan cantik dan laki-laki cukup tampan. Sementara Toga Mas, Social Agency lebih memilih orang-orang yang jelas-jelas bisa untuk bekerja di dalamnya. Entah mereka gendut, cantik, ompong, jelek, hal semacam itu tak penting. Keadaan semacam itu cukup menandai karakter dari masing-masing toko buku yang mana sangat berbasis komersial dan cara bagaimana memikat konsumen dengan daya tarik tubuh. Yang lainnya dengan diskon harga buku dan layanan yang ramah.

Aku menyerahkan tas bukuku setelah beberapa menit antri. Dua pegawai perempuan muda, cantik sibuk dengan bukuku dan di belakangnya, para laki-laki mememasukkannya ke kantong plastik dengan buku sebanyak dan seberat itu, kantong plastik sangat tak cukup menahan berat beban di perjalanan. Aku pun membeli kantong kain berwarna putih seharga 19 ribu rupiah. Setelah buku-buku yang aku beli dimasukkan semuanya, aku pun pergi dengan tatapan mata yang masih melirik, menyorot buku bagus yang mungkin tak sengaja aku temukan. Manusia yang sudah terlanjur kecanduan buku memang berbahaya. Aku pun melangkahkan kakiku keluar dengan kedua tangan yang sama-sama penuh dan berat; buku dan pakaian.



Aku berjalan tertatih melewati Bogor yang hiruk pikuk dengan lampu-lampu redup dan tak terlalu terang. Sela-sela kegelapan masih banyak menyelimuti kota hujan ini. Aku berjalan. Berat. Sangat berat. Kadang kantong kain yang berisi buku-buku bagaikan terseret, terbentur sesuatu atau ketika tangan mulai pegal dan kesemutan, aku sandarkan ke kaki yang sedang berjalan. Berjalan. Ya berjalan. Melewati trotoar yang hilang entah kemana. Melewati mobil yang terparkir dan melenyapkan seperempat dari luas jalan raya. Melewati pedagang-pedagang kaki lima yang ada di mana-mana. Di tengah-tengah trotoar. Di pinggiran trotoar atau sama sekali tak menyisakan trotor. Kembali lagi menaiki tangga dengan tangan terasa pegal, lelah, keringat berceceran di dahi dan leher. Melihat kembali para pengemis yang tadi aku lewati. Para ibu dengan anak-anak kecil mereka bagaikan terserak begitu saja di tengah-tengah kota. Di depanku, seorang laki-laki paruh baya berkemeja putih, tiba-tiba mengulurkan tangannya dan terlihat uang kertas berwarna kebiruan sebesar 50 ribu rupiah. Pengemis itu senang bukan main. Mengucapkan syukur dengan raut muka berbinar-binar tak percaya. Tak percaya, malam seperti ini, malam yang dingin, beku, di mana hati-hati manusia kebanyakan sudah terlanjur hilang, masih ada seseorang yang rela mengeluarkan uang sebesar itu. Banyak orang mengeluarkan seribu rupiah saja sudah luar biasa susah, terasa besar dan mahal. Sementara aku? Aku hanya memandang tak percaya sambil berjalan terseok-seok, melewati mereka-mereka yang terserak dan membutuhkan belas kasihan dari banyak orang untuk hidup, merenungkan kota yang tak lagi kebal dengan kemiskinan.

Di kota mana pun, kemiskinan menjalar hingga ke bagian pusat kota. Dan menjadi miskin itu tak enak. Menyakitkan. Terlebih menjadi seorang pengemis. Hari ini, banyak orang mau merendahkan dirinya sendiri mengemis dalam kondisinya yang paling bugar karena malas dan mengemis hanya untuk cepat kaya. Tapi banyak dari mereka mengemis untuk bertahan hidup. Memiliki sakit parah. Tak ada sanak saudara. Cacat. Sebatang kara dan tak memiliki tempat tinggal. Dibuang oleh keluarga. Atau memang awalnya dilahirkan di jalanan. Tidakkah lebih baik seluruh pengemis ini diberi tempat tinggal-rumah sosial-dan diberi pekerjaan? Ah, pada akhirnya pun, dunia mereka akan kembali di korupsi oleh beberapa pihak atau bahkan di antara mereka sendiri. Tidakkah, sekali lagi, Radhar Panca Dahana sudah menguliti kita, dalam Inikah Kita? Dan Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia?

“Karena, bila kau mendekati kemiskinan, kau akan mendapatkan sebuah pelajaran yang lebih berharga dari yang lain. Kau akan berkenalan dengan kebosanan dan keruwetan hidup yang kejam dan rasa lapar, tetapi kau juga akan berkenalan dengan satu sifat kemiskinan yang dapat melipur sengsara: kemiskinan menghapus masa depanmu,” ujar George Orwell dalam Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London. Dan tentunya, seperti yang kembali ia ketahui bahwa “ … apa yang kamu makan ditentukan oleh kebohonganmu.” Seperti itulah kita hidup. Terlebih di negara ini. Kita makan dari kebohongan kita akan belas kasihan. Kita makan akan kebohongan kita menjadi orang baik yang mengeruk segala hal yang ada di dalam diri orang lain. Kita makan akan kebohongan jabatan yang kita emban. Kita makan akan penyimpangan-penyimpangan yang kita anggap normal setiap hari. Dan seperti itulah sebagian diri juga hidup.

Aku hanya bisa kembali melangkah. Tertatih. Ngilu. Dunia macam apa yang kini aku tinggali? Seolah, kita melakukan semua yang kita yakini sekaligus semua yang tidak kita yakini secara bersamaan. “Salah satu kelemahan kita, menurut penglihatan saya, ialah kita tidak berdaya melakukan pilihan, semuanya kita terima, dan kita biarkan hidup bersama, tanpa menggangu jiwa kita,” tulis Mohctar Lubis. Mohctar Lubis benar. Iya, dia benar mengenai hal itu di negara ini. Dan jika aku terus-menerus mempermasalahkan hal itu di otakku, aku bisa akan lebih cepat di bawa ke rumah sakit jiwa. Hari ini saja aku sudah terlanjur gila memikirkan hal yang bergentayangan tak jelas di kepala. Sayangnya aku tak bisa keluar dari kilasan-kilasan dunia yang aku lihat dari perjalanan-perjalananku. Orang macam apa yang melakukan kejatahan tanpa mau mengakui dan sadar bahwa dirinya jahat dan selalu menganggap dirinya baik? Orang macam apa aku ini?

Aku berjalan di trotoar yang buruk. Kecil. Remang-rermang. Seorang penjual jagung, laki-laki muda, mengipasi barang dagangannya yang tak seberapa. Sebuah bus terdiam menjepit pinggiran Trotoar. Membuat jalanan kian sempit dan menyusahkan kaki, badan dan barang bawaan di kedua tanganku akibat ketololan kepala yang terlalu kecanduan akan buku dan ilmu pengetahuan. Aku berjalan melewati pendagang kaki lima. Kaki-kaki orang. Neon yang memancar. Sederetan papan iklan yang membuyarkan kenyataan. Mengenai papan iklan jelas Bogor kalah dengan Jogja terlebih Jakarta yang sudah benar-benar membuat sakit mata dan lama kelamaan membuat jalanan semakin rabun. Papan iklan adalah monster ilusi yang membuat negara itu kacau dan jatuh pada khayalan konsusmerisme dan konsumerisme. Lalu, lupalah masyakarat dengan mencipta. Karena papan iklan sudah menyediakan segalanya.

Keringat bercucuran tiada henti. Kaos basah. Haus. Kelelahan yang luar biasa. Aku pun segera terduduk di depan bus MGI berwarna biru dikelilingi para laki-laki paruh baya yang menanyakan arah tujuan. Memaksa aku untuk ikut bus yang sebentar lagi akan berangkat ini. Suasana sangat remang-remang. Aku rasa Indonesia tak memiliki terminal yang dilihat dari mata telanjang tak nampak seperti tanah yang tak dihuni, menakutkan, seram, dan membuat siapapun yang tak terbiasa akan sangat ketakutan. Apakah tak ada terminal yang layak dan terang seperti di stasiun-stasiun?

Aku menenggak air minumku. Beberapa perempuan muda terlihat dari kaca bus. Memandangiku beberapa kali. Dan setelah aku membuka tas kantongku, totebag, mengambil salah satu buku untuk mengusir kebosananku, para perempuan itu semakin memusatkan matanya terhadap diriku. Apa yang salah dengan seorang pembaca buku dengan bukunya yang tertumpuk, di terminal yang bagaikan tempat hantu sedang menikmati malam-malamnya? Lagi-lagi, pembaca buku macam aku seperti barang tontonan langka yang harus diberi kagum atau diberi perasaan ngeri.

Aku mengambil Selimut Debu karya Agustinus Wibowo. Membacanya sebentar. Para kernet, sopir dan mereka yang berkepentingan dengan diriku agar terbujuk menaiki bus, mengerubungiku layaknya lalat berisik yang tak bisa meninggalkan diriku sebentar saja. Tapi, seringkali mereka menyenangkan. Terheran-heran melihat diriku membawa cukup banyak buku. Aku pada akhirnya terbujuk rayu mereka. Berharap bus terjebak kemacetan. Atau bus berjalan sangat pelan agar aku tak terjebak di Bandung pada tengah malam. Aku pun melangkahkan kaki yang sudah pegal, tangan kesemutan, keringat masih menetes di sekitar leher dan dahi, menuju pintu bus, menaiki tangganya, dan berjalan tersaruk-saruk ke arah belakang deretan kursi-kursi. Diikuti oleh beberapa pasang mata, yang beberapa di antaranya perempuan yang dari tadi berkepentingan memandangiku. Apakah aku cukup tampan, berpakaian aneh, atau pembaca buku yang hampir punahkah sehingga aku ditatap cukup lama dari arah depan ke belakang? Ah, tak mengapa, lagian, perempuan itu cantik juga. Dan kejutan lagi! Di seberang kursiku, terdapat dua perempuan, cantik, satu berkaca mata satunya tidak, dari Obrolanmereka, masih duduk di bangku sekolah, datang ke Bogor untuk sekedar berwisata. Ah, Bogor memang bisa membuat hati kembali menjadi segar.

Bogor, kota hujan, yang kian terjepit oleh Jakarta dan Bandung, harus mati-matian mengatur dirinya sendiri. Penduduk yang sangat cepat bertambah. Masalah sampah yang seringkali membuat tegang di tempat pembuangannya. Sampah terlihat di mana-mana seolah-olah sudah menjadi bagian dari hidup dan gaya hidup. Pohon-pohon yang kian hilang akibat pembangunan. Kemiskinan yang tak malu-malu di tengah-tengah kotanya. Kota yang lebih sibuk dengan berbelanja dan sekedar bekerja. Kendaraan bermotor yang tak ada habisnya. Setiap hari bertambah dan terus bertambah. Wajah kota yang belum terlalu kacau seperti Jakarta harus cepat-cepat diselamatkan. Kemacetan yang sudah mulai membuat masalah di mana-mana harus segera diatasi. Yah, kalau memang walikota beserta masyarakatnya memang cukup sadar diri. Kota yang sejuk dan menenangkan ini, kelak akan sekedar menjadi Bandung dan Jakarta baru. Itu akan menjadi kisah yang kelak akan paling banyak dibenci dan dianggap konyol oleh generasi yang akan datang. Orang tua mereka mewariskan Bogor yang bukan lagi surga. Tapi neraka.

Aku akan segera meninggalkan Bogor. Di malam yang sedikit sendu dan melankolis. Indah juga menyimpang banyak kengerian masa depan di dalamnya. Malam yang pendek telah menyembunyikan wajah Bogor yang sebenarnya di depanku. Tapi, tidak pikiranku dan apa yang telah aku tahu. Dengan para walikotanya yang hampir menyerah dan hanya bisa melakukan satu dua hal yang masih bisa dilakukan. Sebelum Bima Arya, walikota yang terdahulu sudah nyaris angkat tangan mengurusi kota hujan ini. Kota sejuta masalah. Kota sejuta angkutan kota. Kota yang akhirnya tidak bisa lepas dari Jakarta dan Bandung. Karena Bogor dikepung oleh dua kota gila. Maka, gilalah Bogor hari ini.

Jumlah penduduk yang melebihi 1 juta jiwa di tanah yang sangat sempit.  Membuat kota yang dulu sangat indah, sejuk, dan menjadikannya tempat ilmu pengetahuan terdepan flora fauna, pertanian, dan lainnya ini, hanya akan sekedar jadi kenangan. Bogor yang sangat indah di buku-buku, di masa kejayaannya, kini telah hilang. Pada tahun 2015, kota Bogor, dengan masyarakatnya yang gila kendaraan pribadi, lebih dari 70 persen warga bogor menggunakan kendaraan pribadi, kendaraan bermotor bertambah 40.478 unit. Ya, dengan luas jalanan yang sangat kecil, padat penduduk, angkutan kota yang jumlahnya tak terbilang banyaknya ditambah dari kabupaten Bogor sendiri. Arti dari 40.478 unit itu berarti sangat banyak. Luar biasa banyak. Dan bayangkanlah, setiap tahun akan ada kira-kira8.905 unit mobil dan 31.573 motor baru yang memenuhi jalanan Bogor dan menambahkan beban kemacetan dan kegilaannya. Bayangkanlah lagi, 10 unit motor sedang berjalan di depanmu, bertumpuk, kau nyaris tak bisa melakukan apa-apa. Apa yang bisa dilakukan oleh ribuan mobil itu di jalanan Bogor selain bukan hanyalah simbol dari kegilaan baru? Dan sampah yang 27-30 persen masih tak terangkut, membuat Bogor terasa seperti kota yang tak lama lagi akan tamat. Adipura pada 2015, hanya sekedar keganjilan. Adipura hanya berarti Bogor sedikit bersih. Hanya sedikit.Bahkan Kebun  Raya yang dulu megah itu kini pun sekedar jadi pusat onggokan bergagai jenis sub spesies sampah Nasional. Walau coba dilakukan segala upaya, mengajak warga untuk juga membersihkannya. Kota-kota di Indonesia tak bisa lagi ditangani dengan cara yang lembut. Kelembutan hanya menciptakan masalah-masalah baru. Dan yang lama masih tak terselesaikan. Politik partai, dan yang seringkali kita sebut populisme adalah akar dari segala jenis penyakit di Jawa ini. Penyakit yang juga menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia.

Berurusan dengan masyarakat Jawa yang cara berpikirnya selalu terlambat dan lebih menyukai kedamaian diri sendiri berserta kelambanan-kelambananya. Para guberbur dan walikota yang berharap bisa menyelesaikan masalah kota dan wilayah yang diurusinya dengan jalan rendah hati, bersifat kerakyatan, dan tak enak jika harus memperlakukan mereka yang dibilang orang kecil. Maka tak akan pernah ada kemajuan yang bisa diselesaikan. Jika tak mampu untuk mengubah dan menyadarakan orang-orang yang dianggap kelas menengah bawah. Bagaimana bisa mengubah secara singkat dengan kepemimpinan yang berusia beberapa tahun saja, warga atas-elite yang kesadarannya bahkan seringkali jauh lebih kolot dan buruk dari pada orang kampung dan desa pelosok itu sendiri? Jika tak ada seorang pun yang berani mengubah dengan lembut atau sangat keras warga kelas atas itu dengan segala kebudayaan gaya hidupnya. Apa yang bisa diharapkan dari seluruh walikota yang ada? Apa yang bisa diharapkan? Ketika para walikota dan gubernur lebih mengedepankan citra diri. Mempertahakan kedudukan. Takut dibenci. Takut dimusuhi. Takut tak dianggap demokratis dan bersahabat. Takut dianggap keras dan kejam karena hanya itulah jalan keluar untuk menyelesaikan masalahnya. Dan segala jenis ketakutannya lainnya; takut partainya sendiri. Takut anak istri. Takut dibunuh dan dilengserkan. Takut dikucilkan. Takut dianggap tak manusiawi. Maka, seluruh kota di Jawa akan jatuh pada neraka yang paling dalam. Neraka yang tak berdasar yang tak seorang pun bisa dan mau menyelesaikannya. Di sebuah masyarakat pragmatis, korup, dan hanya ingin enaknyanya sendiri. Semua lapisan masyarakat, menginginkan hal yang enak untuk diri dan kelas mereka sendiri tanpa peduli akan hal yang lebih besar dan kebersamaan. Untuk mengubah masyarakat yang sudah terlanjur gila seperti sekarang ini. Dibutuhkan seorang peminpin yang lebih gila dan siap untuk mati atau bahkan digantung oleh rakyatnya sendiri.

Bus berjalan. Meninggalkan kota yang sekarang mengidap kegilaan yang semakin parah. Jawa Barat, kota yang indah di masa lalu itu. Kini diisi oleh para penderita gangguan jiwa yang jumlahnya terus meningkat dan menjadi yang terbesar. Bogor pun tak kebal dari keadaan semacam itu. Di Bogor, kegilaan bertambah setiap harinya. 10 orang setiap hari mengalami kegilaan. Data dari 2014 itu, yah, tentunya pasti bertambah dan pastinya, kegilaan yang lebih banyak tak terdeteksi. Mengingat ada pengidap gangguan jiwa yang juga menyerang salah satu kantor desa di bagian kabupaten Bogor sendiri beberapa waktu yang lalu. Kota hujan ini, akan menjadi salah satu kota buruk yang meresahkan.

Hari ini, kita sedang hidup di sebuah kota yang sangat gila dengan warganya yang lebih gila lagi. Pada akhirnya, kegilaan telah menjadi umum. Wajar. Dan wajah kegilaan itu tercermin dari masing-masing kota yang aku masuki. Wajah sebuah kota adalah cerminan dari warganya. Cermin yang hingga kini masih tak mau diakui oleh banyak orang. Entah mengapa, kebanyakan dari kita nyaman dengan kebohongan dan kepura-puraan. Kita pandai di dunia semacam itu.

Dan bus semakin melaju. Meninggalkan kota hujan. Menuju pusat kegilaan yang sebenarnya; Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar