Indonesia
memiliki satu kemampuan, bahkan sudah jadi etos, mungkin juga nilai, yang bisa kita depankan di hadapan
bangsa-bangsa lain (dengan bangga, seharusnya) yakni: korupsi. Serius. Dalam
hemat, kapasitas dan kapabilitas bangsa kita dalam soal yang satu ini, sangat
diakui dunia, bukan hanya karena kecerdasan, kelicikan, kecermatan, penciptaan
varian, mengatasi hambatan, tapi juga jalan pikiran dan jalan perasaan yang
begitu integrative dalam melahirkan tindak korupsi. Sehingga korupsi bukan lagi
milik golongan atau kelas tertentu, tapi imanen dalam perikehidupan mayoritas
bangsa ini.
Radhar Panca Dahana
Inikah
Kita-Menuju Diri Baru
Perjalanan
meninggalkan Jakarta itu bagaikan hadiah dari surga. Dan beruntunglah mereka
yang tak terjebak hidup di dunia yang semengerikan itu. Di mana mereka mampu bertahun-tahun
tinggal di dalamnya. Aku nyaris gila hanya sekedar membayangkannya. Bagaimana
orang bisa
hidup di sebuah lingkungan semacam itu kecuali bukan orang gila atau terlalu
pasrah tertelan kegilaan itu sendiri? Kegilaan yang mandul dan hanya cacatnya
yang tersisa. Sekarang, aku ada di stasiun Palmerah. Menunggu. Menunggu dalam
keramaian. Tangan memegang National Geographic dengan judul Menjarah Masa Depan. Panas yang
menyengat. Perempuan-perempuan cantik yang juga kepanasan. Ibu-ibu yang menahan
lelah. Anak-anak muda yang jumlahnya sangat banyak. Kakek. Laki-laki paruh
baya. Dan mereka-mereka yang wajahnya layu
setelah seharian bekerja dalam kengerian dan kerutinan yang menekan. Dan,
kereta pun datang. Sialnya kereta arah Depok. Menunggulah aku kembali. Membuka kembali majalah National Geographicku dengan barang
bawaan yang tersender di kaki. Tas punggung yang beratnya, akibat Majalah National
Geograhic Indonesia yang terlau menggoda untuk dilewatkan, membuat aku
terseok-seok di teriknya matahari yang mulai memancarkan habis-habisan cahaya
terakhir menuju senja beberapa jam lagi. Makhluk aneh macam aku, yang membaca
di tengah kerumunan manusia gurun, pasti diperhatikan oleh banyak orang. Kemana
pun aku membaca buku di tengah keramaian orang-orang. Aku bagaikan menjadi
orang yang, entah datangnya dari UFO yang tak sengaja nyasar ke planet ini.
Atau barang purbakala dari Museum Geologi Bandung yang tiba-tiba terlempar
kemari. Dan mungkin juga aku ini salah satu spesies terancam punah terakhir
yang belum pernah dilihat sebelumnya di negara ini dan baru akhir-akhir ini
menampakkan diri. Membaca di depan publik adalah sebentuk kesadaran terakhir agar
orang macam aku tidak segera punah. Karena membaca di depan umum, bagi
masyarakat di Jawa, adalah Aib.
Ah, ternyata ada ada juga perempuan, dengan tubuh
membulat, membaca buku Chelsea Wives
karya Anna Lou di tengah-tengah kerumunan manusia-manusia cantik dan tampan
yang menjadikan buku adalah bacaan paling aib di depan publik. Buku adalah aib.
Lalu bagaimana negara ini maju jika masyarakatnya menganggap buku lebih rendah
dari pada rumah pelacuran dan seonggok sampah di jalan-jalan? Lebih mudah membuka
paha di jalan-jalan dari pada membuka buku di jalanan. Lebih mudah berias diri
demi ketampanan dan memamerkannya ke setiap perempuan yang lewat dari pada
memamerkan buku di ruang-ruang publik yang dipenuhi perempuan. Lebih mudah
melihat sampah dari pada buku-buku di jalanan. Dan ketika ada seorang perempuan
gendut, bulat, dan dianggap paling jelek di dunia tapi ia sedang membaca dan
termenung dalam bukunya di sebuah tempat publik yang ramai. Dia aku anggap
lebih cantik dari siapa pun. Tentunya, pasti lebih cantik kekasihku. Tapi
setidaknya seperti itu. Buku bukan hal yang menyenangkan untuk dipamerkan. Di
Jakarta sendiri, baru dua kali ini, setelah beberapa hari bergentayangan di
dalamnya, aku menemukan seorang pembaca buku. Satu orang, lagi-lagi perempuan sedang
terlihat membaca di Trans Jakarta. Dan sekarang ini, tak jauh dari pandangan
mataku di stasiun ini. Dua pembaca buku terlihat selama aku beberapa hari di
Jakarta. Sepeda pun nyaris tak terlihat sama sekali kecuali hitungan jari. Itu
sungguh tragedi.
Dan, di mana laki-lakinya? Laki-laki pembaca buku?
Maaf, mereka semua kebanyakan tiba-tiba menjadi tolol. Generasi laki-laki tolol
yang merasa terbakar ketika memegang buku sudah semakin menjadi hal biasa.
Laki-laki bodoh dan tak bertanggung jawab sudah semakin umum di negara ini.
Jadi, di negara dengan 17 ribu pulau ini, jangan pernah heran melihat hal
semacam itu. Dan jangan pernah heran jika menemukan, jika tak sengaja berjalan
ke sana dan ke mari, laki-laki yang kebodohannya lebih mengerikan dari pada
tukang parkir, ojek, atau supir bus kota. Kita hidup di sebuah negara yang,
seperti kata Radhar Panca Dahana, “Pekerjaan resmi jadi sampiran, korupsi
adalah tugas utama.” Kita tak tertarik dengan semangat menggebu Korea Selatan
dalam mengejar Jepang yang lebih dulu termodernisasikan. Kita juga tak peduli
jika India, Tiongkok, bahkan Bangladesh dan beberapa negara Asia lainnya sedang
berlomba-lomba mengejar ilmu pengetahuan, prestasi dan percepatan dalam sains. Bahkan
kita tak terlalu menggebu untuk mengejar Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam
dan tetangga-tetangga dekat kita lainnya. Kegairahan akan ilmu pengetahuan
masih berada dalam tahap paling merisaukan. Kegairahan akan kekayaan dengan
jalan segala cara serta bagaimana memamerkan dan menghabiskannyalah yang paling
populer. Dan ketika aku sedang bersiap-siap meninggalkan Jakarta sebagai pusat
orang-orang bodoh dan gila berada. Aku pun sangat senang. Mana ada orang cerdas
dan pintar yang menjadikan Jakarta semenakutkan itu? Entah dia seorang Presiden,
menteri, hakim agung atau apalah. Jakarta tempatnya orang gila dan bodoh. Itu
terlihat dari wajah Jakarta itu sendiri. Tak heran jika para gubernur jenderal
di masa Hindia Belanda berbondong-bondong melakukan perjalanan dan memindahkan
kediamannya di Bogor atau Buitenzorg di masa lalu. Tak heran pula jika negara
ini salah urus.
Kereta pun datang. Bermacam orang berebutan ingin
cepat-cepat masuk ke dalam. Tak ubahnya dengan perebutan daerah kekuasaan
ketika bus Trans Jakarta tiba. Jadi, entah di jalanan atau ketika ingin masuk
ke dalam bus maupun kereta, semuanya hampir sama saja: saling mendahului,
terburu-buru ingin mendapatkan tempat dan ruang dari pada yang lainnya.
Atmosfer semacam ini berada hampir di segala macam tempat.
Untuk sampai ke Stasiun Bogor, aku membayar 15 ribu
rupiah karena harus transit ke Stasiun Tanah Abang lebih dahulu. Dari Stasiun
Tanah Abang yang lebih penuh dan sesak lagi. Akhirnya aku berangkat dalam
perjalanan menuju Bogor yang, dalam bayanganku akan sangat cepat, menggembirakan
dan lapang. Seperti perjalananku ketika naik kereta KRL dari Bogor ke Jakarta
beberapa bulan yang lampau.
Dan kini, di sinilah aku, duduk di sebuah tempat yang
setiap transit dari satu stasiun ke satu stasiun lainnya, semakin sesak, padat,
udara segar pun menghilang, dan sangat melelahkan. Tiga perempuan dengan baju
kerjanya berdiri tepat di depanku. Yang satu, yang cukup cantik, melirikku
berkali-kali. Entah karena aku membaca National Geographic yang
gambar-gamnbarnya menarik perhatian atau entah karena apa. Begitu juga dengan
banyak orang lainnya. Jadi, inilah yang ada di kepalaku; National Geographic
Indonesia dengan muka majalah yang bagus dan elegan serta isi yang penuh dengan
gambar-gambar yang bagus dan menarik perhatian bisa membuat orang-orang sangat
penasaran. Tidakkah hari ini Indonesia sedang terkena ledakan gairah akan
National Geographic yang bagaikan ada di mana-mana yang sayangnya, nyaris aku
tak pernah melihat ada seseorang membaca National Geographic di jalan-jalan
kecuali saat aku melihat tanganku sendiri yang memegang majalah itu. Dan entah
kenapa, perjalanan menuju Bogor terasa sangat lama dan melelahkan. Sebuah
kereta yang terlalu penuh dan sesak dengan bau nafas serta keringat manusia.
Seolah-olah tak ada yang berubah dari tahun 50-an hingga hari ini kecuali
kenaikan jumlah penumpang yang semakin mengerikan dan wajah stasiun yang mirip
dengan tempat pengungsian.
Aku membuka-buka majalahku dengan mata yang dari menit
ke menit semakin limbung. Aku terserang kantuk. Melihat seorang ibu-ibu dan
bapak-bapak yang memegang sebuah buku di Jawa yang hari ini tak butuh ilmu
pengetahuan adalah sebuah keajaiban. Sayangnya, kenapa yang terlihat memegang
buku selalu orang yang beberapa tahun lagi akan mati? Di mana anak mudanya? Apa
yang akan diwariskan kelak kepada masa depan negara ini jika anak mudanya, yah,
terlihat sedang sibuk memencet, mengelus, dan berbicara mesra dengan gadget
mereka masing-masing?
Udara semakin dingin. Terlihat kaca jendela mengembun. Waktu terasa
memanjang, dan malam datang semakin menggelisahkan. Apakah aku nanti akan
terlantar di kota yang bernama Bogor untuk yang kedua kalinya? Entahlah.
Kesadaranku masih samar-samar. Aku jatuh tertidur dengan ketidaktahuan. Kereta
semakin lapang dan tak lagi sesak. Untungnya, keadaan di luar jendela terlihat
masih dalam keadaan senja. Aku mengira aku sudah kemalaman di kereta ini. Dan
itu berarti berbahaya. Aku akan kesusahan untuk melihat suasana kota dan
tentunya, aku takut jika nanti pada akhirnya tak menemukan satu bus pun yang akan
membawaku ke Bandung.
Aku tiba di Stasiu Bogor yang selalu riuh dan penuh
sesak. Menukarkan kartu tiket kereta dan mendapatkan kembalian sebesar 10 ribu
rupiah. Lumayan, pikirku. Bisa aku gunakan untuk membayar Go-Jek atau pun
angkutan kota. Kaki pun melangkah di tengah kerumunan orang dan orang yang luar
biasa banyaknya. Mengingat Bogor kini memiliki lebih dari 1 juta jiwa penduduk.
Tak mengherankan jika keadaannya sesesak ini. Dan yang jelas, pengemis,
pengamen, sampah, sama banyaknya. Tak hanya Jakarta yang mengalami masalah yang
pelik itu. Bogor pun mengalaminya. Juga Bandung. Konflik tempat pembuangan
sampah. Pengemis yang semakin berkeliaran ke pusat-pusat kota. Dan konsumsi
yang berlebihan tanpa mengindahkan pola pikir sehat dan berkelanjutan. Untuk
yang berkelanjutan, pemerintah nyaris tak peduli sama sekali akan hal itu.
Entah lewat kurikulum sekolah atau sosialiasi. Kecuali, hal yang benar-benar
tindakan paling bodoh wali kota Bogor adalah sekedar membuat tempat pembuangan
sampah baru tanpa memasukkan kesadaran ekologis ke dalam muatan mata pelajaran
sekolah dan tentunya denda serta payung hukum yang efektif.
Jembatan yang penuh sesak. Pengemis yang sibuk
memaparkan ketidakberartian dan kehinaan dirinya sendiri di hadapan banyak
orang. Stasiun yang kotor. Terlebih di luar Stasiun, sampah sudah menjadi hal
umum. Kendaraan, terlebih angkutan kota berwarna hijau bagaikan menjajah di
segala macam ruang dan tempat. Pedagang kaki lima memenuhi setiap pinggiran
jalan. Dari mereka yang menjual makanan hingga segala pernik asesoris
handphone. Aku pun berjalan. Melewati begitu banyak perempuan cantik yang susah
dicari di Jakarta. Bertanyaangkutan kota ke arah Masjid Raya Bogor. Dan
ibu-ibu, bapak-bapak, dan lainnya, menyarankanku untuk naik angkutan kota
bernomor 03. Aku pun menimbang-nimbang, lebih mahal mana dari pada Go-Jek?
Setelah tahu bahwa Go-Jek bertarif 8 ribu hanya sekitar 3 kilometer. Aku pun
memutuskan menaiki angkot bernomor 03 dengan tiga perempuan yang sudah ada di
dalamnya; satu perempuan dengan usia di bawahku, sekitar 20-an dengan jilbab
dan kecantikannya. Ibu-ibu berumur 50-60-an tahun dengan jilbab dan pakaian
elegenannya yang aku kira ibu dari perempuan muda di depanku. Dan seorang
perempuan yang berada tepat di belakang supir. Dan entah dari mana, tiba-tiba
pengamen muncul, berlari, dan nongkrong di angkot yang aku naiki. Mulailah ia
mendendang sebentar. Ya hanya sebentar. Seperti kebiasaan pengamen lainnya. Tak
perlu waktu lama, terangkatlah wadah untuk mengumpulkan uang dari hasil mengamengnya
yang hanya bermodal beberapa menit tadi. Dengan hanya empat orang penumpang,
dan dua di antaranya absen. Dapatlah pengaman itu hanya dua penumpang yang
bersedia memberikan sumbangan atau lebih tepatnya subsidi. Terbantulah
pemerintah kota di Bogor dan yang ada di seluruh Jawa. Tentunya yang ada di
pusat. Mungkin kita harus merayakan apa yang dikatakan lagi oleh Radhar Panca
Dahana, Mari Menyubsidi Negara.
Jalanan terasa sejuk dan damai. Pohon-pohon tinggi
terasa meneduhkan perasaanku yang sangat lelah dan mudah marah di Jakarta. Walaupun
Bogor tidak memiliki banyak trotoar yang memadai dan sampah menjadi penduduk
kota hujan ini. Bogor masih bisa sedikit menghaluskan perasaanku. Sisa hujan
membuat suasana awal dari sebuah malam menjadi terasa agung. Jalanan pun seolah
memberikanku jeda dari keributan yang hingar bingar. Di sebuah waktu yang
harusnya berisikan kemacetan yang gila, kali ini, Bogor tak mengalaminya. Dan pastinya,
dikisaran jam 18:00, Jakarta mengalami kemacetan total yang mengerikan. Bogor
yang aku temukan kali ini, tak banyak merasakannya. Masih ada sela dan mudahnya
kendaraan berjalan walau kepadatan kendaraan tidak bisa lagi dipungkiri.
Keadaan Bogor tak sekeji Jakarta yang menjadi tetangganya. Seandainya Bogor
ditata dengan benar. Kota ini, dengan rasa sejuk dan sisa pohon-pohonnya yang
sangat rindang, benar-benar akan menjadi kota sangat indah. Sayangnya, aku
sedang berada di sebuah negara yang berbagai pejabatnya selalu melakukan yang
sama: salah kelola.
Aku diturunkan tepat di depan Carrefour. Untungnya,
perempuan muda di depanku tadi cukup cantik sehingga kelelahan dari sebuah
perjalanan agak terbilas sudah. Kecantikan bisa membuat perjalanan menjadi
menyenangkan. Dan Bogor harus aku akui dari pada kota-kota lainnya, memiliki para
gadis dan perempuan muda yang sangat cantik. Dan sangat mudah dijumpai di
jalanan, di angkutan kota maupun di tempat-tempat umum. Tidak seperti di
Jakarta yang sangat pelit perempuan cantik di jalan-jalan kecuali para pelacur
yang terlihat di pinggirannya ketika tengah malam hari.
Aku menyeberang. Tentunya dengan cukup perjuangan
seperti di tempat-tempat lainnya walau tak separah ketika menyeberang di
Jakarta atau jalanan Jogja. Lalu berjalan kaki di sebuah trotoar yang hilang
dan lubang menganga selebar-lebarnya ketika sedang menuju terminal yang sangat
sepi yang masih terlihat satu dua bus. Aku bertanya bus jurusan Bandung,
terlebih MGI. Jawabannya, yang ada di depanku sekarang ini adalah bus MGI
terakhir. Aku pun naik. Membeli air minum. Dan berangkatlah bus menuju Bandung.
Lima menit kemudian; diturunkanlah aku di tempat, yang
untungnya tak jauh dari Terminal Bogor. Keberuntungan
yang menyebalkan. Karena aku harus berjalan kaki. Aku salah
menaiki bus. Dipaksa membayar 10 ribu lagi. Yang pada akhirnya
aku bayar 5 ribu rupiah. Dengan muka masam dan berkilah ini dan itu, kernet bus
pun menerimanya. Sialan itu bus. Jarak luar biasa dekat dan rasa-rasanya cuma
beberapa ratus meter saja dari Terminal aku diharuskan membayar. Baiklah. Tak
masalah. Aku berjalan kaki. Menuju terminal. Mencari bus MGI yang jumlahnya
lebih banyak lagi. Bertanya kapan bus terakhir akan berangkat. Jam 22:00 adalah
jawabannya. Dan ah, aku masih memiliki cukup banyak waktu untuk menikmati kota
hujan ini.
Dengan riang gembira aku pun berjalan dengan
bersenandung. Aku bergegas mencari makan. Masuklah aku ke warung nasi padang
Restoran Trio Permai. Memesan ikan kembung. Nasi kecil yang, ini cukup sialan,
disediakan untuk menambah uang bayaran lagi. Berlama-lamalah aku di dalamnya. Mengisi
baterai. Mengistirahatkan badan. Di depan sana, beberapa meter dariku, seorang
yang sangat cantik terlihat sedang berbincang dan menikmatinya makannya dengan
kekasihnya. Sangat cantik. Tak lama kemudian, puluhan remaja Tionghoa yang
modis, seksi, cantik, berbondong-bondong memasuki restoran ini dan menempati
tempat khusus. Sepertinya mereka anak-anak sekolah yang sedang berwisata dengan
guru mereka dan anak laki-laki yang jumlahnya cukup banyak juga. Ah, Bogor tak
pernah mengecewakan mata. Banyak perempuan cantik yang menyegarkan pandangan
dalam waktu yang kurang dari satu jam saja.
Hampir jam 19:00. Aku pun membayar. 26 ribu rupiah.
Luar biasa mahal. Di Jogja, aku bisa mendapatkan itu hanya dengan 12 ribu
rupiah. Tak apalah. Sudah terjadi. Yang terpenting tubuhku sudah lumayan enak
untuk digunakan berjalan. Aku pun segera menuju Botani Square.
Melewati jembatan penyeberangan yang berisikan banyak
sekali pengemis dengan anak-anak kecil mereka yang tergelak di selembar tipis
kain. Aku hanya sekedar melewatinya. Seperti banyaknya orang-orang lainnya.
Sebuah dilema yang paling menyebalkan untuk hal semacam ini selalu berkaitan
dengan belas kasihan, perasaan tak enak, merasa ingin membantu dan pada
akhirnya, pemerintah tak ingin melakukan apa-apa dan masyarakat tak akan
berinovasi untuk menyelesaikan pemecahannya. Karena kita lebih sering
memberikan uang tanpa harus menyelesaikan akar masalahnya yang entah di mana.
Setibanya aku di mal setelah melewati lahan parkir yang
cukup gelap. Sampailah aku di dalamnya. Mungkin salah satu atau bahkan
satu-satunya yang termegah di Bogor ini. Dengan kecepatan penuh, aku pun
melangkahkan kakiku menuju lantai dasar. Dan sebuah kejutan! Ada pameran buku
cukup besar di depanku. Buku bertumpuk tak beraturan di banyak tempat. Bogor
memang sebuah kejutan sekaligus tak peka terhadap seorang yang sedang kelelahan
ini. Yang masih harus hidup beberapa hari lagi di Bandung. Ah buku, kenapa kau
harus mengusik mataku. Terlebih uangku sudah dalan kondisi menakutkan! Tapi,
yah, setelah bergerak kesana kemari, membongkar-bongkar tumpukan buku, aku pun
mendapatkan banyak buku di tanganku. Banyak orang heran dengan laki-laki aneh
ini. Dengan penampilan ala seniman tak jelas. Baju merah mencolok dengan syal
sulamannya. Tas hijau yang terisi penuh dan berat. Lalu tangan satunya terlalu
penuh dengan tas tangan. Tangan satunya lagi kewalahan memegang buku dan buku.
Aku pun mengambil tas buku berwarna hitam dari Gramedia. Memasukkan buku-buku
National Geographic, buku-buku sastra, menemukan buku sejarah mengenai rempah,
buku perjalanan, buku mengenai keimanan kristen, dan beberapa lainnya.
Tiba-tiba, tas mulai penuh dan berat. Dan aku mulai kelelahan. Luar biasa. Luar
biasa konyol! Dua kali di Bogor selalu seperti ini. Antusiasku hanya bisa dikalahkan
oleh ibu-ibu Tionghoa dan anaknya yang memborong luar biasa banyak komik! Ya,
Bogor adalah kota pencinta komik dari pada pencinta buku. Tidakkah komik juga
adalah buku? Sekaligus seni? Yah, dua-duanya. Tapi yang aku maksud buku adalah
hal yang lebih konvensional yang seperti sekarang ini aku pegang dengan tangan
yang kesemutan.
Antusias warga Bogor melihat dan membeli buku cukup
mengagumkan. Cukup banyak mereka yang berkeliaran di sini. Dari para gadis yang
masih remaja dengan gaya berpakaian sangat modis, hingga remaja berjilbab yang
tak kalah modisnya. Sampai pada ibu-ibu yang sibuk memeloti buku-buku. Dan,
jika bersangkut paut dengan buku. Para perempuanlah yang selalu menjadi
mayoritas. Era laki-laki, sepertinya hampir berakhir di negara ini. Dalam
artian, mereka akan lebih banyak tergeser jauh. Akhir-akhir ini para
perempuanlah yang lebih banyak menghargai buku dan ilmu pengetahuan. Mereka
juga memiliiki mentalitas yang lebih kuat saat membaca buku di jalan-jalan.
Seandainya jam tidak melebihi angka 21:00, mungkin aku masih akan berkeliaran
dan tenggelam dalam tumpukan buku-buku ini. Aku berjalan ke arah kasir.
Gramedia adalah salah satu toko buku, di samping Gunung Agung yang memilih para
pegawainya dengan cukup ketat dalam penampilan. Semakin hari, para pegawainya
hanya diisi oleh perempuan cantik dan laki-laki cukup tampan. Sementara Toga
Mas, Social Agency lebih memilih orang-orang yang jelas-jelas bisa untuk
bekerja di dalamnya. Entah mereka gendut, cantik, ompong, jelek, hal semacam
itu tak penting. Keadaan semacam itu cukup menandai karakter dari masing-masing
toko buku yang mana sangat berbasis komersial dan cara bagaimana memikat
konsumen dengan daya tarik tubuh. Yang lainnya dengan diskon harga buku dan
layanan yang ramah.
Aku menyerahkan tas bukuku setelah beberapa menit
antri. Dua pegawai perempuan muda, cantik sibuk dengan bukuku dan di
belakangnya, para laki-laki mememasukkannya ke kantong plastik dengan buku
sebanyak dan seberat itu, kantong plastik sangat tak cukup menahan berat beban
di perjalanan. Aku pun membeli kantong kain berwarna putih seharga 19 ribu
rupiah. Setelah buku-buku yang aku beli dimasukkan semuanya, aku pun pergi
dengan tatapan mata yang masih melirik, menyorot buku bagus yang mungkin tak
sengaja aku temukan. Manusia yang sudah terlanjur kecanduan buku memang
berbahaya. Aku pun melangkahkan kakiku keluar dengan kedua tangan yang
sama-sama penuh dan berat; buku dan pakaian.
Aku berjalan tertatih melewati Bogor yang hiruk pikuk
dengan lampu-lampu redup dan tak terlalu terang. Sela-sela kegelapan masih
banyak menyelimuti kota hujan ini. Aku berjalan. Berat. Sangat berat. Kadang
kantong kain yang berisi buku-buku bagaikan terseret, terbentur sesuatu atau
ketika tangan mulai pegal dan kesemutan, aku sandarkan ke kaki yang sedang
berjalan. Berjalan. Ya berjalan. Melewati trotoar yang hilang entah kemana.
Melewati mobil yang terparkir dan melenyapkan seperempat dari luas jalan raya.
Melewati pedagang-pedagang kaki lima yang ada di mana-mana. Di tengah-tengah
trotoar. Di pinggiran trotoar atau sama sekali tak menyisakan trotor. Kembali
lagi menaiki tangga dengan tangan terasa pegal, lelah, keringat berceceran di
dahi dan leher. Melihat kembali para pengemis yang tadi aku lewati. Para ibu
dengan anak-anak kecil mereka bagaikan terserak begitu saja di tengah-tengah
kota. Di depanku, seorang laki-laki paruh baya berkemeja putih, tiba-tiba
mengulurkan tangannya dan terlihat uang kertas berwarna kebiruan sebesar 50
ribu rupiah. Pengemis itu senang bukan main. Mengucapkan syukur dengan raut
muka berbinar-binar tak percaya. Tak percaya, malam seperti ini, malam yang
dingin, beku, di mana hati-hati manusia kebanyakan sudah terlanjur hilang,
masih ada seseorang yang rela mengeluarkan uang sebesar itu. Banyak orang
mengeluarkan seribu rupiah saja sudah luar biasa susah, terasa besar dan mahal.
Sementara aku? Aku hanya memandang tak percaya sambil berjalan terseok-seok,
melewati mereka-mereka yang terserak dan membutuhkan belas kasihan dari banyak
orang untuk hidup, merenungkan kota yang tak lagi kebal dengan kemiskinan.
Di kota mana pun, kemiskinan menjalar hingga ke bagian pusat
kota. Dan menjadi miskin itu tak enak. Menyakitkan. Terlebih menjadi seorang
pengemis. Hari ini, banyak orang mau merendahkan dirinya sendiri mengemis dalam
kondisinya yang paling bugar karena malas dan mengemis hanya untuk cepat kaya.
Tapi banyak dari mereka mengemis untuk bertahan hidup. Memiliki sakit parah.
Tak ada sanak saudara. Cacat. Sebatang kara dan tak memiliki tempat tinggal.
Dibuang oleh keluarga. Atau memang awalnya dilahirkan di jalanan. Tidakkah
lebih baik seluruh pengemis ini diberi tempat tinggal-rumah sosial-dan diberi
pekerjaan? Ah, pada akhirnya pun, dunia mereka akan kembali di korupsi oleh
beberapa pihak atau bahkan di antara mereka sendiri. Tidakkah, sekali lagi,
Radhar Panca Dahana sudah menguliti kita, dalam Inikah Kita? Dan Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia?
“Karena, bila kau mendekati kemiskinan, kau akan
mendapatkan sebuah pelajaran yang lebih berharga dari yang lain. Kau akan berkenalan
dengan kebosanan dan keruwetan hidup yang kejam dan rasa lapar, tetapi kau juga
akan berkenalan dengan satu sifat kemiskinan yang dapat melipur sengsara:
kemiskinan menghapus masa depanmu,” ujar George Orwell dalam Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London.
Dan tentunya, seperti yang kembali ia ketahui bahwa “ … apa yang kamu makan
ditentukan oleh kebohonganmu.” Seperti itulah kita hidup. Terlebih di negara
ini. Kita makan dari kebohongan kita akan belas kasihan. Kita makan akan
kebohongan kita menjadi orang baik yang mengeruk segala hal yang ada di dalam
diri orang lain. Kita makan akan kebohongan jabatan yang kita emban. Kita makan
akan penyimpangan-penyimpangan yang kita anggap normal setiap hari. Dan seperti
itulah sebagian diri juga hidup.
Aku hanya bisa kembali melangkah. Tertatih. Ngilu.
Dunia macam apa yang kini aku tinggali? Seolah, kita melakukan semua yang kita
yakini sekaligus semua yang tidak kita yakini secara bersamaan. “Salah satu
kelemahan kita, menurut penglihatan saya, ialah kita tidak berdaya melakukan
pilihan, semuanya kita terima, dan kita biarkan hidup bersama, tanpa menggangu
jiwa kita,” tulis Mohctar Lubis. Mohctar Lubis benar. Iya, dia benar mengenai
hal itu di negara ini. Dan jika aku terus-menerus mempermasalahkan hal itu di
otakku, aku bisa akan lebih cepat di bawa ke rumah sakit jiwa. Hari ini saja
aku sudah terlanjur gila memikirkan hal yang bergentayangan tak jelas di
kepala. Sayangnya aku tak bisa keluar dari kilasan-kilasan dunia yang aku lihat
dari perjalanan-perjalananku. Orang macam apa yang melakukan kejatahan tanpa
mau mengakui dan sadar bahwa dirinya jahat dan selalu menganggap dirinya baik?
Orang macam apa aku ini?
Aku berjalan di trotoar yang buruk. Kecil.
Remang-rermang. Seorang penjual jagung, laki-laki muda, mengipasi barang
dagangannya yang tak seberapa. Sebuah bus terdiam menjepit pinggiran Trotoar.
Membuat jalanan kian sempit dan menyusahkan kaki, badan dan barang bawaan di
kedua tanganku akibat ketololan kepala yang terlalu kecanduan akan buku dan ilmu
pengetahuan. Aku berjalan melewati pendagang kaki lima. Kaki-kaki orang. Neon
yang memancar. Sederetan papan iklan yang membuyarkan kenyataan. Mengenai papan
iklan jelas Bogor kalah dengan Jogja terlebih Jakarta yang sudah benar-benar
membuat sakit mata dan lama kelamaan membuat jalanan semakin rabun. Papan iklan
adalah monster ilusi yang membuat negara itu kacau dan jatuh pada khayalan
konsusmerisme dan konsumerisme. Lalu, lupalah masyakarat dengan mencipta.
Karena papan iklan sudah menyediakan segalanya.
Keringat bercucuran tiada henti. Kaos basah. Haus.
Kelelahan yang luar biasa. Aku pun segera terduduk di depan bus MGI berwarna
biru dikelilingi para laki-laki paruh baya yang menanyakan arah tujuan. Memaksa
aku untuk ikut bus yang sebentar lagi akan berangkat ini. Suasana sangat
remang-remang. Aku rasa Indonesia tak memiliki terminal yang dilihat dari mata
telanjang tak nampak seperti tanah yang tak dihuni, menakutkan, seram, dan
membuat siapapun yang tak terbiasa akan sangat ketakutan. Apakah tak ada terminal
yang layak dan terang seperti di stasiun-stasiun?
Aku menenggak air minumku. Beberapa perempuan muda
terlihat dari kaca bus. Memandangiku beberapa kali. Dan setelah aku membuka tas
kantongku, totebag, mengambil salah satu buku untuk mengusir kebosananku, para
perempuan itu semakin memusatkan matanya terhadap diriku. Apa yang salah dengan
seorang pembaca buku dengan bukunya yang tertumpuk, di terminal yang bagaikan
tempat hantu sedang menikmati malam-malamnya? Lagi-lagi, pembaca buku macam aku
seperti barang tontonan langka yang harus diberi kagum atau diberi perasaan ngeri.
Aku mengambil Selimut
Debu karya Agustinus Wibowo. Membacanya sebentar. Para kernet, sopir dan
mereka yang berkepentingan dengan diriku agar terbujuk menaiki bus,
mengerubungiku layaknya lalat berisik yang tak bisa meninggalkan diriku
sebentar saja. Tapi, seringkali mereka menyenangkan. Terheran-heran melihat
diriku membawa cukup banyak buku. Aku pada akhirnya terbujuk rayu mereka.
Berharap bus terjebak kemacetan. Atau bus berjalan sangat pelan agar aku tak
terjebak di Bandung pada tengah malam. Aku pun melangkahkan kaki yang sudah
pegal, tangan kesemutan, keringat masih menetes di sekitar leher dan dahi,
menuju pintu bus, menaiki tangganya, dan berjalan tersaruk-saruk ke arah belakang
deretan kursi-kursi. Diikuti oleh beberapa pasang mata, yang beberapa di
antaranya perempuan yang dari tadi berkepentingan memandangiku. Apakah aku
cukup tampan, berpakaian aneh, atau pembaca buku yang hampir punahkah sehingga
aku ditatap cukup lama dari arah depan ke belakang? Ah, tak mengapa, lagian,
perempuan itu cantik juga. Dan kejutan lagi! Di seberang kursiku, terdapat dua
perempuan, cantik, satu berkaca mata satunya tidak, dari Obrolanmereka, masih
duduk di bangku sekolah, datang ke Bogor untuk sekedar berwisata. Ah, Bogor
memang bisa membuat hati kembali menjadi segar.
Bogor, kota hujan, yang kian terjepit oleh Jakarta dan
Bandung, harus mati-matian mengatur dirinya sendiri. Penduduk yang sangat cepat
bertambah. Masalah sampah yang seringkali membuat tegang di tempat
pembuangannya. Sampah terlihat di mana-mana seolah-olah
sudah menjadi bagian dari hidup dan gaya hidup.
Pohon-pohon yang kian hilang akibat pembangunan. Kemiskinan yang tak malu-malu
di tengah-tengah kotanya. Kota yang lebih sibuk dengan berbelanja dan sekedar
bekerja. Kendaraan bermotor yang tak ada habisnya. Setiap hari bertambah dan
terus bertambah. Wajah kota yang belum terlalu kacau seperti Jakarta harus
cepat-cepat diselamatkan. Kemacetan yang sudah mulai membuat masalah di mana-mana
harus segera diatasi. Yah, kalau memang walikota beserta masyarakatnya memang
cukup sadar diri. Kota yang sejuk dan menenangkan ini, kelak akan sekedar
menjadi Bandung dan Jakarta baru. Itu akan menjadi kisah yang kelak akan paling
banyak dibenci dan dianggap konyol oleh generasi yang akan datang. Orang tua
mereka mewariskan Bogor yang bukan lagi surga. Tapi neraka.
Aku akan segera meninggalkan Bogor. Di malam yang sedikit
sendu dan melankolis. Indah juga menyimpang banyak kengerian masa depan di dalamnya.
Malam yang pendek telah menyembunyikan wajah Bogor yang sebenarnya di depanku.
Tapi, tidak pikiranku dan apa yang telah aku tahu. Dengan para walikotanya yang
hampir menyerah dan hanya bisa melakukan satu dua hal yang masih bisa
dilakukan. Sebelum Bima Arya, walikota yang terdahulu sudah nyaris angkat
tangan mengurusi kota hujan ini. Kota sejuta masalah. Kota sejuta angkutan
kota. Kota yang akhirnya tidak bisa lepas dari Jakarta dan Bandung. Karena
Bogor dikepung oleh dua kota gila. Maka, gilalah Bogor hari ini.
Jumlah penduduk yang melebihi 1 juta jiwa di tanah yang
sangat sempit. Membuat kota yang dulu
sangat indah, sejuk, dan menjadikannya tempat ilmu pengetahuan terdepan flora
fauna, pertanian, dan lainnya ini, hanya akan sekedar jadi kenangan. Bogor yang
sangat indah di buku-buku, di masa kejayaannya, kini telah hilang. Pada tahun
2015, kota Bogor, dengan masyarakatnya yang gila kendaraan pribadi, lebih dari
70 persen warga bogor menggunakan kendaraan pribadi, kendaraan bermotor
bertambah 40.478 unit. Ya, dengan luas jalanan yang sangat kecil, padat
penduduk, angkutan kota yang jumlahnya tak terbilang banyaknya ditambah dari
kabupaten Bogor sendiri. Arti dari 40.478 unit itu berarti sangat banyak. Luar
biasa banyak. Dan bayangkanlah, setiap tahun akan ada kira-kira8.905 unit mobil dan
31.573 motor baru yang memenuhi jalanan Bogor
dan menambahkan beban kemacetan dan kegilaannya. Bayangkanlah lagi, 10 unit
motor sedang berjalan di depanmu, bertumpuk, kau nyaris tak bisa melakukan
apa-apa. Apa yang bisa dilakukan oleh ribuan mobil itu di jalanan Bogor selain
bukan hanyalah simbol dari kegilaan baru? Dan sampah yang 27-30 persen masih
tak terangkut, membuat Bogor terasa seperti kota yang tak lama lagi akan tamat.
Adipura pada 2015, hanya sekedar keganjilan. Adipura hanya berarti Bogor
sedikit bersih. Hanya sedikit.Bahkan Kebun
Raya yang dulu megah itu kini pun sekedar jadi pusat onggokan bergagai
jenis sub spesies sampah Nasional. Walau coba dilakukan segala upaya, mengajak
warga untuk juga membersihkannya. Kota-kota di Indonesia tak bisa lagi
ditangani dengan cara yang lembut. Kelembutan hanya menciptakan masalah-masalah
baru. Dan yang lama masih tak terselesaikan. Politik partai, dan yang
seringkali kita sebut populisme adalah akar dari segala jenis penyakit di Jawa
ini. Penyakit yang juga menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia.
Berurusan dengan masyarakat Jawa yang cara berpikirnya selalu
terlambat dan lebih menyukai kedamaian diri sendiri berserta
kelambanan-kelambananya. Para guberbur dan walikota yang berharap bisa
menyelesaikan masalah kota dan wilayah yang diurusinya dengan jalan rendah
hati, bersifat kerakyatan, dan tak enak jika harus memperlakukan mereka yang
dibilang orang kecil. Maka tak akan pernah ada kemajuan yang bisa diselesaikan.
Jika tak mampu untuk mengubah dan menyadarakan orang-orang yang dianggap kelas
menengah bawah. Bagaimana bisa mengubah secara singkat dengan kepemimpinan yang
berusia beberapa tahun saja, warga atas-elite yang kesadarannya bahkan
seringkali jauh lebih kolot dan buruk dari pada orang kampung dan desa pelosok
itu sendiri? Jika tak ada seorang pun yang berani mengubah dengan lembut atau
sangat keras warga kelas atas itu dengan segala kebudayaan gaya hidupnya. Apa
yang bisa diharapkan dari seluruh walikota yang ada? Apa yang bisa diharapkan?
Ketika para walikota dan gubernur lebih mengedepankan citra diri. Mempertahakan
kedudukan. Takut dibenci. Takut dimusuhi. Takut tak dianggap demokratis dan
bersahabat. Takut dianggap keras dan kejam karena hanya itulah jalan keluar
untuk menyelesaikan masalahnya. Dan segala jenis ketakutannya lainnya; takut
partainya sendiri. Takut anak istri. Takut dibunuh dan dilengserkan. Takut
dikucilkan. Takut dianggap tak manusiawi. Maka, seluruh kota di Jawa akan jatuh
pada neraka yang paling dalam. Neraka yang tak berdasar yang tak seorang pun
bisa dan mau menyelesaikannya. Di sebuah masyarakat pragmatis, korup, dan hanya
ingin enaknyanya sendiri. Semua lapisan masyarakat, menginginkan hal yang enak
untuk diri dan kelas mereka sendiri tanpa peduli akan hal yang lebih besar dan
kebersamaan. Untuk mengubah masyarakat yang sudah terlanjur gila seperti
sekarang ini. Dibutuhkan seorang peminpin yang lebih gila dan siap untuk mati
atau bahkan digantung oleh rakyatnya sendiri.
Bus berjalan. Meninggalkan kota yang sekarang mengidap
kegilaan yang semakin parah. Jawa Barat, kota yang indah di masa lalu itu. Kini
diisi oleh para penderita gangguan jiwa yang jumlahnya terus meningkat dan
menjadi yang terbesar. Bogor pun tak kebal dari keadaan semacam itu. Di Bogor,
kegilaan bertambah setiap harinya. 10 orang setiap hari mengalami kegilaan.
Data dari 2014 itu, yah, tentunya pasti bertambah dan pastinya, kegilaan yang
lebih banyak tak terdeteksi. Mengingat ada pengidap gangguan jiwa yang juga
menyerang salah satu kantor desa di bagian kabupaten Bogor sendiri beberapa
waktu yang lalu. Kota hujan ini, akan menjadi salah satu kota buruk yang
meresahkan.
Hari ini, kita sedang hidup di sebuah kota yang sangat gila
dengan warganya yang lebih gila lagi. Pada akhirnya, kegilaan telah menjadi
umum. Wajar. Dan wajah kegilaan itu tercermin dari masing-masing kota yang aku
masuki. Wajah sebuah kota adalah cerminan dari warganya. Cermin yang hingga
kini masih tak mau diakui oleh banyak orang. Entah mengapa, kebanyakan dari
kita nyaman dengan kebohongan dan kepura-puraan. Kita pandai di dunia semacam
itu.
Dan bus semakin melaju. Meninggalkan kota hujan. Menuju pusat
kegilaan yang sebenarnya; Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar