angka 17, aku tak tahu kenapa angka ini seolah bagaikan menjadi
misteri khusus bagiku ketika berada di kota ini. dua tahun yang lalu,
aku mendapatkan tempat tinggal di Bantul, tepat pada tanggal 17.
baiklah, ada apa ini? apa aku harus mencoba menyelidikinya melalui
numerologi? aku rasa tidak. lagi pula, aku tak membawa buku karangan
Annemarie Schimmel, The Mystery of Numbers. aku hanya membawa satu buku berwarna putih dari Afrizal Malna, Perjalanan Teater Kedua. dan sebuah tubuh yang sakit-sakitan. tentunya, jiwa yang kacau.
dan saat ini, aku sangat lelah. mataku ingin sekali mengucapkan
sampai jumpa pada langit-langit kamar. sialnya, udara sangat dingin.
kamarku sekarang ini, yang terletak di jalan Kaliurang Km. 5 Gg Kenari
3, hanya sekedar memiliki kasur dan bola lampu yang jelas berada di atas
kepalaku. bahkan tak ada bantal atau guling. terlebih selimut.
perabotan lain pun tak ada. beginilah tempat indekos di kota Jogjakarta.
salah satu kota yang memiliki kamar kos terburuk dan termahal. tapi,
yah, kamar yang ini, lumayanlah. tak terlalu buruk. walau jika
dibandingkan dengan kota semacam Semarang atau Bandung, Jogja termasuk
sangat mahal. kadang bisa aku bilang, kejam. sebanding dengan Surabaya
yang kekejamannya mirip dengan kota ini. rasa-rasanya, kota ini menjadi
semakin tolol saja. entahlah.
tanggal 17, Januari 2017. awal tahun dengan dua angka 17. sangat
menarik. tempat tinggalku berada di Wisma Melati Bangsa. sangat dekat
dengan Universitas Gadjah Mada. mungkin sekitar 2 menit. atau berjarak
150an meter. bisa dibilang, dibandingkan kamar indekos yang aku cari di
internet dan aku telusuri di Sagan. ini termasuk cukup murah dan
memuaskan. aku sempat tergoda untuk mencari kos ekslusif yang mirip
hotel karena aku di sini hanya untuk sebulan. tapi buat apa
membuang-buang uang? lebih baik aku simpan untuk nanti ke Surabaya atau
Bandung lagi. aku sedang bosan, sakit-sakitan, dan kondisi jiwaku dalam
keadaan menyedihkan. membuang uang di sini dengan percuma, benar-benar
idiot. aku tak ingin menambah daftar orang idiot di dunia ini. dan aku
sudah cukup menambah lagi kadar keidotan diriku.
lagi pula, aku sedang miskin. orang yang sedang miskin jangan
berlagak sok kaya dan uangnya bagaikan air terjun dari dimensi lain.
baiklah, aku jadi iri dengan Eric Weiner kalau begini. dan rasa-rasanya
pikiranku sedang dipenuhi berita-berita Wall Street, kejatuhan kedua
Apple, dan mungkin, periode kemunduran Samsung. apakah aku sudah mirip
pengamat ekonomi? oh tidak. menjadi pengusaha pun adalah sejenis
penyelewengan. tapi, tidakkah selama ini, aku hidup persis sebaagi
kapitalis kecil?
ah, yang paling mengerikan dari seluruh bakatku adalah, aku memiliki
bakat untuk menjadi seorang pedagang atau pengusaha. bakat yang
menjengkelkan dan, mungkin untuk saat ini harus aku terima. aku juga
memiliki bakat untuk menjadi politikus. tidakkah itu keterlaluan?
seorang filsuf menjadi pengusaha, atau pedagang? oh ya, George Soros
adalah filsuf dan juga pengusaha. aku tidak sendirian. Steve Jobs dan
Bill Gates, bohemian dan pengusaha. masalahnya, bakatku ini tak ditopang
dengan keinginan yang serius. aku lebih suka menjadi seorang filsuf.
atau ideapacker. orang yang mengembara untuk idea-idea. apakah ini
sejenis pengkhianatan bagi diriku sendiri?
oh, tidak. aku punya banyak kepribadian yang menopang berbagai bakat
yang berbeda. aku hanya tinggal menggesernya, kepribadian mana, yang
akan mengambil alih dan memimpin. kali ini, aku kembali ke Jogja setelah
dua bulan kabur dari kota yang sangat membosankan ini. kota yang
benar-benar sangat membosankan.
kepergianku terasa mirip dengan Max Rodenbeck dalam bukunya Kairo, walau tak sama persis. dan untuk apa aku harus kembali ke kota brengsek ini?
aku ingin menjual semua barang dan buku yang masih tersisa yang aku
tinggal di kota ini. yang jumlahnya masih cukup banyak. dalam dunia
ekonomi, terlebih manajemen, ada sebuah prinsip yang mengharuskan
bersikap pragmatis. yang mana, barang yang sudah tak penting, tak
terlalu berguna, atau menjadi beban, lebih baik harus dibuang atau
dijadikan modal agar kembali berputar dan menghasilkan. walau itu
berarti rugi pada tahap awalnya. lebih baik rugi dalam waktu singkat
dari pada terus merugi dalam waktu sangat lama. sebagai seorang
pragmatis dan ekonom amatir. aku menganut sudut pandang ini. mungkin
terkesan sangat Amerika. lalu apa urusannya?
dan waktu satu bulan, adalah jarak di mana aku sedang menguji diriku
sendiri. apakah aku masih merasa sangat bosan dengan kota ini atau pada
akhirnya aku mampu sedikit hidup dan agak tenang. jika kondisi jiwaku
masih saja kacau. yah, aku harus kembali angkat kaki. kota ini mungkin
hanya diperuntukkan bagi orang-orang waras.
satu bulan adalah waktu lain yang ingin aku manfaatkan untuk
mengenang tempat-tempat yang pernah aku datangi dan sukai. atau yang
belum sempat aku injak. aku memilih tinggal di pusat kota dan dekat UGM
agar aku bisa menggunakan sepeda sepuasku atau berjalan kaki, membaca
buku di Malioboro, Tugu, atau sekitar UGM. aku juga sangat mudah ke
perpus kota, Bentara, atau toko buku. aku ingin sedikit bersenang-senang
dengan kota ini. bersenang-senang adalah hal yang sangat langka bagi
otakku yang terus berpikir. rasa-,rasanya aku ingin melihat Merapi
meletus. mungkin akan menyenangkan.
mencari kos-kosan, membuatku semakin sadar dengan kota ini. tak ada
tempat yang cukup elegan di Jogja. bahkan jalan Sagan yang sangat
terlihat istimewa hanyalah tempat bobrok, berisikan gang sempit, rumah
berdempet, kecil, atau kadang terkesan suram. begitu juga di sekitar
UKDW, Kaliurang, atau bahkan Prawirotaman atau Tirtodipuran. hanya
sekitar jalan Suroto atau Kota Baru-lah, yang cukup bagus. lainnya
hanyalah kampung. Barbasari, Seturan, Godean, Gejayan, Condong Catur,
Sanata Dharma, tak jauh beda. walau ada beberapa yang lumayan di
sela-sela tempat itu. selebihnya, buruk. atau menyedihkan.
Jogja adalah kota kecil yang sebentar lagi habis. apa boleh dibuat.
dan yang sampai sekarang ini membuat aku jengkel adalah betapa kejamnya
harga sewa kamar indekos di sini. dengan fasilitas yang seringkali
kosongan. ya, kosongan. jadi, orang sudah mirip kambing yang harus tidur
di atas lantai dengan karpet yang seadanya. seolah-olah karpet tipis
yang super dingin itu sudah sangat mahal dan mewah untuk menghibur
seorang yang sedang kelelahan, sakit, atau yang baru datang dari luar
kota dan ingin segera tidur. dan hampir semua kos di Jogja adalah
kosongan. sebentuk penghinaan terhadap kemanusiaan, dan tentunya,
apalagi kalau tidak sangat rakus dan terkesan bermata uang?
bagaimana seorang harus membeli kasur, bantal, lemari sendiri jika
baru sampai di kota ini? inilah omong kosong Jogja. omong kosong paling
tak berperasaan dan sungguh kejam. bahkan kamar seharga 400 ribu pun
sangat suram dan mirip kandang babi. kosongan pula. 500 ribu, kecil dan
kosongan. 600 ribu, kecil dan kosongan. bahkan ada yang 700 ribu kecil
dan juga kosongan. aku berharap, seluruh kos di Jogja terbakar. ya,
terbakar. aku bersumpah, aku akan sangat bergembira.
banyak kos di Bandung, cukup lebar, kadang lebih bagus, dan terisi
oleh lemari, kasur, dan rak buku, bisa lebih murah dari kota ini.
apalagi Semarang, 200 ribu bisa mendapatkan kos senilai 500-700 ribu
dengan lemari dan kasur yang selalu tersedia. kota-kota kecil lebih
istimewa lagi. 500 ribu, kau bagai mendapatkan kamar berbintang. Jogja?
kota terpelit yang pernah aku tinggali. angkringan dan kamar kos, hal
yang nyaris sinonim.
kamar kosongan akan menjadi kenangan yang paling aku benci dari kota
ini. sedikit saja furniture, harga langsung melambung. tidakkah ini
sejenis kota Kapitalis? atau kota iblis? seandainya ada kamar kos
dikisaran 800-2juta. jelas masih tak sebanding dan terlalu mahal jika
melihat isinya dibandingkan beberapa kota lain. kota berbudaya ini,
semakin keranjingan dengan uang. masyarakat berlomba-lomba menjadi
rakus. tanah menjadi mahal. begitu juga pendidikan dan ramah tamah.
Jogja semakin berubah menjadi kota mahal yang buruk rupa.
sepertinya aku sudah lelah dan ingin segera mengatupkan mata. demam
tubuhku sudah sedikit tak terlalu mengerikan. hanya saja, aku terserang
flu. dan untuk mendapatkan tempat ini, aku beruntung ditemani seseorang
laki-laki seniman yang, kalau dilihat-lihat, nyaris tak jelas bentuknya.
tak jauh beda dengan bentukku yang buram.
550ribu sebulan. tak terlalu buruk dengan lingkungan yang bisa
dikatakan lumayan. dan, sebelum aku menikmati mimpiku. ingin aku
menghajar beberapa nyamuk yang tanpa rasa hormat birahi dengan kedua
kakiku.
pada akhirnya, aku kembali di angka 17. angka yang aneh dan misterius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar