Sabtu, 21 Januari 2017

JOGJA: 17 JANUARI 2017








angka 17, aku tak tahu kenapa angka ini seolah bagaikan menjadi misteri khusus bagiku ketika berada di kota ini. dua tahun yang lalu, aku mendapatkan tempat tinggal di Bantul, tepat pada tanggal 17. baiklah, ada apa ini? apa aku harus mencoba menyelidikinya melalui numerologi? aku rasa tidak. lagi pula, aku tak membawa buku karangan Annemarie Schimmel, The Mystery of Numbers. aku hanya membawa satu buku berwarna putih dari Afrizal Malna, Perjalanan Teater Kedua. dan sebuah tubuh yang sakit-sakitan. tentunya, jiwa yang kacau.

dan saat ini, aku sangat lelah. mataku ingin sekali mengucapkan sampai jumpa pada langit-langit kamar. sialnya, udara sangat dingin. kamarku sekarang ini, yang terletak di jalan Kaliurang Km. 5 Gg Kenari 3, hanya sekedar memiliki kasur dan bola lampu yang jelas berada di atas kepalaku. bahkan tak ada bantal atau guling. terlebih selimut. perabotan lain pun tak ada. beginilah tempat indekos di kota Jogjakarta. salah satu kota yang memiliki kamar kos terburuk dan termahal. tapi, yah, kamar yang ini, lumayanlah. tak terlalu buruk. walau jika dibandingkan dengan kota semacam Semarang atau Bandung, Jogja termasuk sangat mahal. kadang bisa aku bilang, kejam. sebanding dengan Surabaya yang kekejamannya mirip dengan kota ini. rasa-rasanya, kota ini menjadi semakin tolol saja. entahlah.

tanggal 17, Januari 2017. awal tahun dengan dua angka 17. sangat menarik. tempat tinggalku berada di Wisma Melati Bangsa. sangat dekat dengan Universitas Gadjah Mada. mungkin sekitar 2 menit. atau berjarak 150an meter. bisa dibilang, dibandingkan kamar indekos yang aku cari di internet dan aku telusuri di Sagan. ini termasuk cukup murah dan memuaskan. aku sempat tergoda untuk mencari kos ekslusif yang mirip hotel karena aku di sini hanya untuk sebulan. tapi buat apa membuang-buang uang? lebih baik aku simpan untuk nanti ke Surabaya atau Bandung lagi. aku sedang bosan, sakit-sakitan, dan kondisi jiwaku dalam keadaan menyedihkan. membuang uang di sini dengan percuma, benar-benar idiot. aku tak ingin menambah daftar orang idiot di dunia ini. dan aku sudah cukup menambah lagi kadar keidotan diriku. 

lagi pula, aku sedang miskin. orang yang sedang miskin jangan berlagak sok kaya dan uangnya bagaikan air terjun dari dimensi lain. baiklah, aku jadi iri dengan Eric Weiner kalau begini. dan rasa-rasanya pikiranku sedang dipenuhi berita-berita Wall Street, kejatuhan kedua Apple, dan mungkin, periode kemunduran Samsung. apakah aku sudah mirip pengamat ekonomi? oh tidak. menjadi pengusaha pun adalah sejenis penyelewengan. tapi, tidakkah selama ini, aku hidup persis sebaagi kapitalis kecil? 

ah, yang paling mengerikan dari seluruh bakatku adalah, aku memiliki bakat untuk menjadi seorang pedagang atau pengusaha. bakat yang menjengkelkan dan, mungkin untuk saat ini harus aku terima. aku juga memiliki bakat untuk menjadi politikus. tidakkah itu keterlaluan? seorang filsuf menjadi pengusaha, atau pedagang? oh ya, George Soros adalah filsuf dan juga pengusaha. aku tidak sendirian. Steve Jobs dan Bill Gates, bohemian dan pengusaha. masalahnya, bakatku ini tak ditopang dengan keinginan yang serius. aku lebih suka menjadi seorang filsuf. atau ideapacker. orang yang mengembara untuk idea-idea. apakah ini sejenis pengkhianatan bagi diriku sendiri?

oh, tidak. aku punya banyak kepribadian yang menopang berbagai bakat yang berbeda. aku hanya tinggal menggesernya, kepribadian mana, yang akan mengambil alih dan memimpin. kali ini, aku kembali ke Jogja setelah dua bulan kabur dari kota yang sangat membosankan ini. kota yang benar-benar sangat membosankan. 

kepergianku terasa mirip dengan Max Rodenbeck dalam bukunya Kairo, walau tak sama persis. dan untuk apa aku harus kembali ke kota brengsek ini? 

aku ingin menjual semua barang dan buku yang masih tersisa yang aku tinggal di kota ini. yang jumlahnya masih cukup banyak. dalam dunia ekonomi, terlebih manajemen, ada sebuah prinsip yang mengharuskan bersikap pragmatis. yang mana, barang yang sudah tak penting, tak terlalu berguna, atau menjadi beban, lebih baik harus dibuang atau dijadikan modal agar kembali berputar dan menghasilkan. walau itu berarti rugi pada tahap awalnya. lebih baik rugi dalam waktu singkat dari pada terus merugi dalam waktu sangat lama. sebagai seorang pragmatis dan ekonom amatir. aku menganut sudut pandang ini. mungkin terkesan sangat Amerika. lalu apa urusannya?

dan waktu satu bulan, adalah jarak di mana aku sedang menguji diriku sendiri. apakah aku masih merasa sangat bosan dengan kota ini atau pada akhirnya aku mampu sedikit hidup dan agak tenang. jika kondisi jiwaku masih saja kacau. yah, aku harus kembali angkat kaki. kota ini mungkin hanya diperuntukkan bagi orang-orang waras.


 
satu bulan adalah waktu lain yang ingin aku manfaatkan untuk mengenang tempat-tempat yang pernah aku datangi dan sukai. atau yang belum sempat aku injak. aku memilih tinggal di pusat kota dan dekat UGM agar aku bisa menggunakan sepeda sepuasku atau berjalan kaki, membaca buku di Malioboro, Tugu, atau sekitar UGM. aku juga sangat mudah ke perpus kota, Bentara, atau toko buku. aku ingin sedikit bersenang-senang dengan kota ini. bersenang-senang adalah hal yang sangat langka bagi otakku yang terus berpikir. rasa-,rasanya aku ingin melihat Merapi meletus. mungkin akan menyenangkan.

mencari kos-kosan, membuatku semakin sadar dengan kota ini. tak ada tempat yang cukup elegan di Jogja. bahkan jalan Sagan yang sangat terlihat istimewa hanyalah tempat bobrok, berisikan gang sempit, rumah berdempet, kecil, atau kadang terkesan suram. begitu juga di sekitar UKDW, Kaliurang, atau bahkan Prawirotaman atau Tirtodipuran. hanya sekitar jalan Suroto atau Kota Baru-lah, yang cukup bagus. lainnya hanyalah kampung. Barbasari, Seturan, Godean, Gejayan, Condong Catur, Sanata Dharma, tak jauh beda. walau ada beberapa yang lumayan di sela-sela tempat itu. selebihnya, buruk. atau menyedihkan.

Jogja adalah kota kecil yang sebentar lagi habis. apa boleh dibuat. dan yang sampai sekarang ini membuat aku jengkel adalah betapa kejamnya harga sewa kamar indekos di sini. dengan fasilitas yang seringkali kosongan. ya, kosongan. jadi, orang sudah mirip kambing yang harus tidur di atas lantai dengan karpet yang seadanya. seolah-olah karpet tipis yang super dingin itu sudah sangat mahal dan mewah untuk menghibur seorang yang sedang kelelahan, sakit, atau yang baru datang dari luar kota dan ingin segera tidur. dan hampir semua kos di Jogja adalah kosongan. sebentuk penghinaan terhadap kemanusiaan, dan tentunya, apalagi kalau tidak sangat rakus dan terkesan bermata uang? 

bagaimana seorang harus membeli kasur, bantal, lemari sendiri jika baru sampai di kota ini? inilah omong kosong Jogja. omong kosong paling tak berperasaan dan sungguh kejam. bahkan kamar seharga 400 ribu pun sangat suram dan mirip kandang babi. kosongan pula. 500 ribu, kecil dan kosongan. 600 ribu, kecil dan kosongan. bahkan ada yang 700 ribu kecil dan juga kosongan. aku berharap, seluruh kos di Jogja terbakar. ya, terbakar. aku bersumpah, aku akan sangat bergembira.

banyak kos di Bandung, cukup lebar, kadang lebih bagus, dan terisi oleh lemari, kasur, dan rak buku, bisa lebih murah dari kota ini. apalagi Semarang, 200 ribu bisa mendapatkan kos senilai 500-700 ribu dengan lemari dan kasur yang selalu tersedia. kota-kota kecil lebih istimewa lagi. 500 ribu, kau bagai mendapatkan kamar berbintang. Jogja? kota terpelit yang pernah aku tinggali. angkringan dan kamar kos, hal yang nyaris sinonim.

kamar kosongan akan menjadi kenangan yang paling aku benci dari kota ini. sedikit saja furniture, harga langsung melambung. tidakkah ini sejenis kota Kapitalis? atau kota iblis? seandainya ada kamar kos dikisaran 800-2juta. jelas masih tak sebanding dan terlalu mahal jika melihat isinya dibandingkan beberapa kota lain. kota berbudaya ini, semakin keranjingan dengan uang. masyarakat berlomba-lomba menjadi rakus. tanah menjadi mahal. begitu juga pendidikan dan ramah tamah.

Jogja semakin berubah menjadi kota mahal yang buruk rupa. 



sepertinya aku sudah lelah dan ingin segera mengatupkan mata. demam tubuhku sudah sedikit tak terlalu mengerikan. hanya saja, aku terserang flu. dan untuk mendapatkan tempat ini, aku beruntung ditemani seseorang laki-laki seniman yang, kalau dilihat-lihat, nyaris tak jelas bentuknya. tak jauh beda dengan bentukku yang buram.

550ribu sebulan. tak terlalu buruk dengan lingkungan yang bisa dikatakan lumayan. dan, sebelum aku menikmati mimpiku. ingin aku menghajar beberapa nyamuk yang tanpa rasa hormat birahi dengan kedua kakiku. 

pada akhirnya, aku kembali di angka 17. angka yang aneh dan misterius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar