Sabtu, 21 Januari 2017

BANDUNG: KOTA ORANG-ORANG GILA








Di Indonesia, tidak semuanya terlihat seperti sebagaimana mestinya dan hal ini berulang kali terbukti sangat mengganggu.
Christoper Lucas
1970



Andre Vltchek, ya, Andre yang itu, menganggap Bandung sebagai kota yang tak layak mendapatkan penghargaan sebagai Kota Kreatif dari Unesco. Yah, aku pun geram, benar-benar geram ketika Bandung mendapatkan hal semacam itu. Itu menghina semua orang yang berakal sehat, di negara ini. Seandainya ada yang masih sehat juga. Dan seorang asing dari Bulgaria bernama, Inna Savova menganggap Bandung sebagai The City of Pigs. Dan tulisannya yang indah itu, membuatku terpingkal-pingkal; You are just a pig and money are not an excuse.  Dan aku harap, warga Bandung mengakuinya. Aku hanya berharap. Tak lebih. Dan aku pun tahu, Ridwan Kamil pun tak akan bisa menyelesaikan masalah Bandung di sebuah kota yang dihuni oleh orang-orang gila, yang tubuhnya hidup di antara abad 21 dan pikirannya di abad ke-13.

Masyarakatnya sendiri, akhir-akhir ini, menganggap kota itu sebagai Bandung Lautan Sampah. Beberapa waktu yang lalu, aku menjuluki Bandung sebagai Kota Bekas. Dan saat aku pikir-pikir kembali, mengingat kota yang harusnya indah dan terpelajar itu terlihat sangat mengerikan, Bandung lebih cocok disebut sebagai Kota Orang-Orang Gila. Ya, tempat orang-orang gila yang tak sadar akan kegilaannya, itulah Bandung. Dan aku sedang menuju kota itu. Meninggalkan Bogor yang samar di belakang sana. Yang kian hari semakin buram dalam kegilaan yang sama.

“Kembalinya Pram mengisyaratkan hidupnya kembali Indonesia,” harap Andre Vltchek dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian! pada tahun 2005. Dan Pram pun memenuhi berbagai macam toko buku, dibaca, didiskusikan, dikagumi. Lalu  apa yang terjadi? Kota-kota di Indonesia semakin runtuh beserta seluruh desa yang masih tersisa dan mereka yang bersembunyi di daerah yang susah dijamah manusia. Kesadaran masyarakat Indonesia merangkak lebih pelan dari pada amuba. Dan bus, dengan keremang-remangannya, merangkak menuju Bandung, kota yang tak jauh beda kengeriannya dengan Jakarta. Hujan pun jatuh. Membasahi kaca. Apakah sastra hanya onggokan tai bagi masyarakat negara ini?

Sesekali menatap perempuan cantik di seberang tempat aku duduk, aku mengambil buku catatanku, lalu menulis beberapa puisi:

ketika hujan
membekas mata
perjalanan adalah
menghapus lelah
dan menambah
lelah lainnya

tak ada yang sama
pada waktu yang terlihat
dunia adalah sementara yang rapuh
tak ada yang abadi dengan perjalanan-
perjalanan.

**

lampu-lampu
yang mengagumi cair
serta malam yang
membawa aku
kepada kemungkinan-
kemungkinan.

akhir yang hilang
bagi jiwa yang
termangu.

**

semua yang lahir
dari atas akhirnya
turun ke bawah

segalanya adalah
bercak di dalam
remang

tak ada yang bisa
kembali dari kematian

tak ada yang akan
datang dari jalan
yang hilang.

Hujan membuatku rentan. Apa yang harus aku lakukan setibanya di Bandung saat hujan deras mengguyur kota itu pada tengah malam? Di mana aku akan bermukim dengan barang bawaan yang sialnya, atau aku terlalu tolol karenanya, sangat berat dengan banyak buku di dalamnya? Sekali lagi, kecanduan buku bisa membuat orang terlihat sinting. Apalagi yang tak kecanduan dengannya di negara ini? Dan perjalanan adalah keanehan-keanehan yang tak terduga.



Aku pun turun di Luewi Panjang. Masih sangat gelap. 00:30. Sisa bau hujan masih menyengat di hidung dan kulitku. Apa yang harus aku lakukan di terminal, yang mana ketika aku baru saja turun sudah langsung diserbu oleh para sopir taksi dan ojek? Aku menolak mereka semua. Masuk ke dalam keramaian cahaya terang dari pedagang kaki lima di terminal kecil yang terkesan angker itu. Kata kekasihku, nanti setelah bertemu dengannya, di terminal ini, pernah terjadi pemerkosaan yang dilakukan oleh sopir dan teman-temannya. Yah, sayangnya aku laki-laki dan kelebihan kadar gilanya. Seandainya ada perempuan yang memperkosaku, aku akan mempersilahkannya dengan lapang dada. 

Aku memesan bakso satu porsi. Mendudukkan diri dengan barang-barang, yang, sialannya,  masih sangat berat. Mengambil salah satu buku dari dalam tas. Dan kini aku sedang membaca Mereka Bilang, Saya Monyet! Dari Djenar Maesa Ayu. Membacanya sebentar saja otakku nyaris pecah karena bosan. Otak macam apa orang Indonesia itu, karya sejelek ini, mereka kagumi nyaris sinting dan idiot?

Jam berganti jam. Orang-orang datang dan pergi. Aku menunggu pagi yang terasa sangat lama. Benar-benar terasa sangat lama. Membaca Djenar dengan perasaan enggan. Tubuh meliuk-liuk karena punggung terasa pegal dan perlahan nyeri makin merambat. Menyaksikan adegan seorang tua, anak muda yang lebih muda dari aku, berjualan mengurusi orang-orang hingga pagi menjelang. Betapa beratnya kehidupan mereka? Dan berat kehidupan itu, membuat mereka masih sangat ramah kepadaku. Benar-benar ramah. Atau apakah mereka menjalaninya dengan riang sementara aku ini, onggokan daging yang lebih sering mengeluh tentang kehidupan ini. 

Buku Djenar yang membosankan pun selesai aku baca. 05:00, aku memanggil Go-Jek. Berdiri di jalan Soekarno-Hatta yang gelap. Menunggu. Menerima panggilan telpon. Ah, ternyata sang Go-Jek muda ada di seberang jalan, sedang bercanda dengan teman-temannya di warung. Aku langkahkah kakiku dengan tiga beban berat memenuhi tubuhku. Tertatih. Menyeberangi jalanan yang masih sunyi kecuali satu dua kendaraan yang lewat. Di Bandung, hal yang paling menyenangkan adalah pagi. Pagi menjelang matahari terbit. Sebuah fajar yang indah di kota Bandung yang sebentar lagi menyeramkan.

Motor pun melaju sedang. Jalanan yang masih sangat sepi memang sangat memuaskan. Kegelapan dan remang jalanan membuat sisi-sisi terjelek kota ini terasa menghilang dan tiba-tiba terhapus. Bandung memiliki banyak daerah kumuh dengan beragam kemiskinannya. Tapi, kegelapan dan remang pagi membuat semua kenyataan itu menciut. Tak begitu nampak.

Motor meliuk-liuk. Melewati berbagai macam tempat yang tak begitu aku kenal. Aku sudah lelah. Aku malas untuk mencatat di buku jurnalku. Aku hanya mengandalkan suasana hatiku kali ini. Bandung bagian selatan tak enak jika dipandang di siang hari. Bahkan ketika pagi datang pun, sekitar jam 05;00 lebih, di beberapa bagian tertentu,  kota ini sudah mengerikan. Setidaknya, kali ini aku tak terlalu menemukannya. Jalanan masih cukup lancar. Motor menuju jalan Pangarang, ke Hotel Nandya. Aku mencari hotel murah nyaman untuk memulihkan kelelahanku. Dan aku benar-benar sudah lelah dan ingin tidur.

Memasuki gang atau jalan Pangarang, situasi kampung sangat kental mengingatkanku dengan Jakarta. Nyaris mirip. Bahkan sekitar Braga atau Alun-Alun pun, dunia di sekitar situ, nyaris terasa hampir runtuh dan bobrok. Kian hari, Bandung tak mampu menutupi kantong-kantong kemiskinan dan kekumuhannya. Terlebih bagi mereka yang senang menjelajah dan berjalan kaki akan terkaget melihat wajah Bandung yang lain itu. Mereka yang terbiasa dengan keindahan jalan Asia Afrika, Braga, dan Dago yang tersisa. Akan sangat sangat kecewa dengan penemuan yang benar-benar menggelisahkan di kota sebesar dan seelit Bandung. Trotoar yang rusak, hilang, bahkan tak ada. Gedung-gedung yang bagaikan terhantam bom. Sampah di mana-mana. Terlebih, yang paling mengesalkan adalah puntung rokok hampir ada di setiap tempat. Perokok adalah salah satu yang paling susah memiliki kesadaran lingkungan kebersihan, membuang abu dan sisa rokoknya di sembarang tempat. Tempat-tempat sampah yang dulunya menghiasi jalan Merdeka, entah hilang ke mana. Bahkan tanaman gantung untuk meminimalisir polusi pun rusak di sana-sini. Di hampir semua tempat, dari Masjid Raya hingga deretan Mal, kebersihan nyaris tak mungkin. Bahkan taman Balai Kota hingga taman Lansia, sampah seolah menjadi bagian dari warga kota. Tak heran jika Inna Savova geram. Aku sejujurnya juga merasa geram. Tapi, mengingat orang-orang Bandung lebih gila dari kota-kota lainnya, sudah bukan tahap geram lagi yang aku miliki. Tapi tahap pengakuan. Bahwa Bandung adalah kota gagal dan gila. Di mana kota yang memiliki universitas teknologi, kota pendidikan ini, dengan sederet orang kaya terpelajar, nyaris tak bisa melakukan apa-apa. Yah, karena mereka memang tak ingin melakukan apa pun kecuali kesenangan diri sendiri. Berbelanja habis-habisan. Menaiki mobil yang jumlahnya mengenaskan hingga membuat jalanan seperti tempat kebodohan sedang merumput aspal. Itulah Bandung. Kota bekas, yang bukan buatan sendiri, yang keindahannya dihancurkan di sana-sini.

Keindahan jalan RE. Martadinata, atau Riau pun akan hancur jika matahari sudah naik di ufuk timur. Bahkan, kemacetan sudah menjadi kewajaran di jalan ini. Anak-anak berangkat sekolah diantar oleh orang tua mereka dengan mobil. Coba bayangkan, apa jadinya jika anak-anak kecil, yang jumlahnya satu, di antar dengan mobil, mobil dan mobil? Satu anak dengan mobil. Lalu, berapa ratus atau ribu anak yang diantar dengan mobil? Lalu ketika pulang, mobil dan mobil lagi sebagai penjemput yang kadang benar-benar bagaikan ketololan permanen warga Bandung. Apa susahnya menggunakan motor atau angkutan kota? Efek kemanjaan dan gengsi, atau ketakutan-ketakutan, tak ubahnya membuat Bandung identik dengan Jakarta.

“... ilusi diperlukan, dan ‘kebenaran” mungkin hanya kesepakatan sosial dalam berkhayal,” celoteh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggirnya. Dan tepatnya, seperti itulah Bandung. Yang mengiklankan dirinya indah, dan di dalam khayalan kita, Bandung seolah-olah kota yang molek, warisan Moii Indie Raden Saleh atau lekukan kanvas Sudjodjono. Sebagai kota yang mengawali kesenian modern Indonesia, Bandung sangat jelas tak lagi terkesan dengan seni keindahannya. Melainkan seni kehancuran yang dipercepat.  



Go-Jek menurunkanku tepat di depan hotel. Aku memasukinya. Terlihat sepi dengan orang-orang yang terjatuh tertidur di kursi dan sofa. Aku membangunkan resepsionis, mengagetkannya, memesan hotel untuk jam 12;00 hingga besok, menitipkan barang bawaan yang jumlahnya mengerikan, mencuci muka, membuang hajat, memesan Go-jek, lalu kembalilah aku di jalanan menuju jalan Trunojoyo. Di pagi hari, sebelum jam beranjak ke angka 05:30, jalanan masih lumayan sepi.Walaupun begitu, pohon-pohon yang meneduhkan kawasan elit ini, belum mampu mengusir sampah yang terlihat di berbagai tempat. Sampah adalah makanan sehari-hari orang Bandung. Tapi yang lebih mencemaskan bukan itu. Bukan sampah. Bukan kekotorannya. Bukan kemacetan. Bukan sungai yang buruk. Bukan pohon-pohon yang semakin hilang. Bukan kota yang sesak dan padat. Bukan kendaraan dan polusi yang terus bertambah. Bukan kesehatan yang semakin mencemaskan. Bukan bangunan kumuh dan gedung yang menjulang kontras. Bukan miskin kaya yang bagaikan jurang sosial. Bukan kecanduan akan belanja. Bukan  kriminalitas. Bukan kerusuhan sosial. Bukan pula rasisme. Bukan pula minat baca yang minim dan tiadanya perpustakaan layak. Tapi, inti dari kota ini, Bandung, kota yang mendapatkan dirinya disetarakan dengan Paris di masa lampau, yang kini mendapatkan julukan baru berupa Bandung Lautan Sampah, Bandung Kota Babi, Bandung Kota Bekas, dan kini, aku akan menambahkannya, Bandung Kota Orang-Orang Gila. Kegilaanlah yang menjadi masalah serius kota ini. Karena, hampir semua orang Bandung, gila. Kegilaan yang akhirnya merusak dan mengacaukan kota yang seharusnya indah.

Kegilaan kota Bandung, seukuran jumlah penduduk Cimahi. Itu hal yang luar biasa mengerikan. Pada tahun 2007, tercatat 600 ribu warga Bandung mengidap gangguan jiwa. Sekarang, jumlah itu pastinya berlipat ganda. Itu pun yang baru terdeteksi. Tak ubahnya dengan Jakarta, kegilaan orang-orang Bandung membuat kota itu juga rusak. Apa yang akan terjadi dengan sebuah kota jika penduduknya mengidap gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat? Apalagi jika hampir semua penduduknya mengalami masalah kejiwaan akut semacam itu?

Orang-orang akan lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Tak peduli dengan yang lain selain dirinya sendiri. Agama akan diabaikan. Otak pun dibuang. Kewarasan logika disingkirkan. Percakapan menjadi semakin susah. Semua orang membentengi diri sendiri.  Kepekaan terhadap lingkungan sekitar sudah tak lagi digubris. Pertemanan dan kepedulian sosial semakin langka. Pendidikan tinggi tak lagi menjamin perasaan peduli terhadap sesama dan lingkungan. Dan pada akhirnya, kota pun rusak. Karena semua orang mencari kebahagiaan yang susah dicari di era sekarang ini. Pencarian yang membawa sekat yang sedemikian parahnya hingga segala bentuk atau apapun itu yang mengurangi perasaan bahagia yang jumlahnya sedikit itu, akan diabaikan atau dipangkas habis-habisan. Jadilah semacam kota mirip Jakarta. Dan kini, seperti inilah Bandung.

Di dalam kegilaan yang menekan, penuh rasa sakit, kesepian, perasaan diabaikan, kengerian yang tak mudah dijelaskan, kebingungan yang jumlahnya tak terkira, kerentanan jiwa dan pikiran itu, membuat orang mudah tersulut. Jadilah rasisme. Jadilah pencurian dan kriminalitas. Jadilah penyakit fisik. Jadilah sampah yang menumpuk. Jadilah sungai yang kotor. Jadilah kemacetan yang memperjelas kesintingan itu. Jadilah, sebuah kota yang indah, menjadi semengerikan ini. Dan semakin hari, kegilaan itu bertambah. Pada tahun 2015, rawat inap pasien Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat, yah, kota Bandung menyumbangkan orang gilanya sebanyak 11.363 jiwa. Diikuti kabupaten Bandung, 2.561 jiwa penduduknya tercatat pasien gila. Itu semua baru pertengahan tahun. Akhir Agustus. Sekarang sudah Agustus 2016. Sudah satu tahun lamanya. Dan pertambahan itu, pasti terjadi. Kegilaan ini, sayangnya, tidak berujung pada kretaivitas, pemecah solusi, atau bertambahnya penemuan agung dan mengagumkan di bidang ilmu pengetahuan. Kegilaan kota Bandung lebih bersifat merusak. Dan mataku ini, juga otakku yang tak henti bekerja, tak mudah untuk dibohongi.

Kenyataan ini sejujurnya agak menjengelkan. Karena fakta itu, mungkin, hampir semua perempuan cantik, laki-laki tampan di Bandung, mengidap gangguan jiwa yang terdeteksi maupun yang belum. Jadi saat aku berjalan kaki, di trotoar-trotoar Bandung, melihat perempuan cantik lewat, kemungkinan besar dia penderita gangguan jiwa atau berpotensi. Tidakkah itu menyebalkan, heh?

Sampailah aku di kompleks sekitar sekolah Aloysius. Menunggu seseorang. Dalam gelap. Seperti orang aneh yang datang entah dari mana. Tak lama kemudian, muncullah ia, pujaan hatiku. Berjalanlah kami; melewati trotoar yang sedang dalam masa perbaikan, yang tentunya menjengkelkan. Kaki masuk ke area kendaraan bermotor yang sudah agak terlihat ribut, berisik, dan tak sabaran. Sebisa mungkin, di jalan Merdeka ini, aku tak telalu banyak mengeluh seperti ketika di Jakarta. Ada sampah tergeletak di jalan, jangan sekali-kali bilang, halo, apakabar, bung sampah, mau aku bantu berdiri? Atau, trotoar menyempit, sedikit hilang, atau retak di sana-sini, jangan sekali-sekali mengatakan, kun faya kun, jadilah! Harapan untuk membuat trotoar halus, mulus, nyaman untuk saat ini, di jalan Merdeka, masih terasa tak mungkin. Dan jangan sekali berlagak menjadi penganut setia Harry Potter saat merasa jengah dengan kemacetan di jalanan. Tiba-tiba membawa sapu ijuk, ditunggangi, lalu berharap terbang menembus kemacetan. Jelas, itu akan dianggap sinting di tengah kesintingan normal yang ada. Sialnya lagi, dianggap tukang sampah atau orang gila yang sudah sering dan terbiasa menggelandang di jalanan ini. Dan jangan menambah beban kegilaan di Bandung dengan ikut-ikutan menjadi gila! Hanya saran. Tak perlu diwujudkan. Seandainya kamu sudah terinfeksi kegilaan Bandung. Maka bersabarlah atau suruh saja tetanggamu menamparmu dengan knalpot atau setrika. Menyadarkanmu yang sudah terinfeksi kegilaan kota ini luar biasa susah. Bahkan Ridwan Kamil harus menyempatkan geleng-geleng kepala setiap hari.

Kami berdua pun menikmati suasana halaman Bandung Indah Plaza di pagi hari yang nyaris tak ada satu pun orang di tempat ini selain kita berdua. Duduk di kursi dengan payung yang lebar. Membicarakan banyak hal. Mengambil gambar. Sesekali membuka buku Cendikiawan dan Politik ketika dia sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Suasana lebih nyaman. Seperti biasa, Bandung lebih indah di pagi hari. Di mana ketika orang-orang belum begitu banyak mengotori jalanan. Suara cicit burung-burung menyegarkan jiwa yang lelah terhadap kota jika melintasi pepohonan yang rimbun. Dan kebisingan, kesemrawutan, kemacetan dan panas yang belum menampakkan diri. Dalam dunia semacam itu, Bandung menjadi indah walau hanya sebentar.

“Secara keseluruhan di Jawa tidak ada warna yang menyegarkan pandangan,” tulis Geoffrey Gorer di tahun 1935. Dan sialnya, hari ini, hal semacam itu nyaris sempurna. Di masaku ini, Jawa adalah penyakit. Bobrok di sana-sini. Diperas habis-habisan. Dan jadilah kota ini, Bandung, yang diawal buku Wisata Paris van Java karya Her Suganda, mengatakan “jejak perjalanan kota Bandung di masa lalu memiliki dimensi yang penting. Baik dimensi ekonomi, pemerintahan, maupun pertahanan. Justru pada dimensi yang terakhir ini, Bandung merupakan kota terakhir yang membuat Belanda harus menyerahkan seluruh Hindia (nama lain dari Nusantara) kepada Jepang”. Dan sekarang, kota ini harus menyerahkan dirinya kepada kegilaan warganya yang benar-benar tak lagi pandang bulu. Sejujurnya, memasuki Bandung pertamakali terasa benar-benar mengecewakan. Harapan akan Bandung yang indah, seketika buyar. Dan kini, aku duduk-duduk santai di jalan merdeka,  merasa beruntung tak mengalamiapa yang pernah dirasakan Christopher Lucas saat dulu, 1970, merasa depresi  di Jakarta –maaf kawan, kau pun senasib denganku mengenai hal itu! - dan salah satu kenalananya menceritakan hal semacam ini; “Dua polisi sialan merampas mobil saya dan sekarang mobil itu digunakan oleh seorang walikota Bandung!”. Coba bayangkan, seandainya aku hidup di tahun sekitar itu? Apa yang bakal terjadi dengan diriku yang tak memiliki apa-apa ini?

Jam merambat ke angka 08:00. Kami berdua siap-siap memasuki Gramedia yang berada di seberang jalan. Tentunya, kali ini, Bandung sudah tak lagi indah. Menyeberang pun butuh perjuangan. Perjuangan hati dan pikiran. Melihat orang tua yang berjualan di depan Gramedia. Terkadang anak-anak kecil yang menawarkan tisu, koran, gerabah kecil berupa teko-tekoan, atau pengemis yang sudah mulai merambah kawasan ini. Sekarang ini, pusat Bandung pun tak kebal melihat itu semua. Dan jalan yang nyaris kurang ajar ini, saat matahari makin menanjak, tidak hanya panas, macet, tapi juga kadang dilewati oleh orang gila yang berjalan dengan santai di tengah kerumunan kemacetan yang merajalela. Aku salut kepadamu bung! Kau salah satu di antara mereka yang lebih sadar diri. Dan baiklah, aku pun masuk ke Gramedia. Memegang-megang majalah baru National Geographic Indonesia. Berjalan ke arah deretan buku-buku asing dan sastra. Berlama-lama di deretan rak kristiani. Tak lama kemudian, kelantai lebih atas lagi untuk melihatbuku-buku yang lebih menyegarkan. Dan sampai sekarang pun aku masih tertarik dengan buku Abad Bapak Saya dan Geger Pecinan. Dan entah mengapa, lama kelamaan aku semakin akrab dengan toko buku ini. Peneduh kota yang tak cepat membuat orang benar-benar sekarat.

Mendekati angka 12;00, suasana semakin ramai. Gramedia ini, lebih banyak diisi oleh para perempuan dari pada laki-laki. Dari mulai anak kecil, remaja, dewasa hingga mereka yangmenua. Yang semuanya, ke tempat Bandung Indah Plaza atau ke toko buku ini, dengan menggunakan mobil, motor, dan bisa jadi, angkutan kota. Karena tak jarang, banyak yang menggunakan angkutan kota sebagai berpergian. Walau seringkali menjengkelkan dan mirip yang dikeluhkan Andre Vltchek. Dan anehnya, menurut Ridwan Kamil, kota ini kekurangan perempuan! Dan mengimbau warga Bandung, perempuannya, untuk tak menikahi orang selain warga Bandung. Tetaplah menikah di antara warga Bandung sendiri karena laki-laki terlampau banyak! Betapa anehnya! Tidakkah itu akan mempersempit wawasan warga Bandung itu sendiri? Suatu ketika akan mudah memecah negara ini dengan alasan sepele semacam itu, heh?

Setelah itu, kami berdua menuju Braga, melihat lukisan-lukisan di pinggir jalan. Melihat kemacetan di jalan yang kecil itu. Mobil mobil mobil dan mobil luar biasa banyak.  Kami duduk di salah kursi yang berderet-deret. Kelelahan. Bercanda. Membuat beberapa sketsa pohon. Membuat sketsa dirinya dan gagal.  Lalu berjalan lagi. panas. Bandung semakin panas. Kendaraan bagaikan setan yang tak henti-hentinya habis. Dan aku semakin malas mengamati keadaan. Apakah gedung ini dulu bernama ini. Apakah jalan ini pernah pernah digunakan untuk Belanda untuk alasan tertentu. Apakah  dan apakah lainnya yang membuatku bertambah malas. Dan tentunya, sampah-sampah yang menjengkelkan mata ada di mana-mana. Seperti keparat kecil yang dimuntahkan oleh onggokan tai berwajah moralis.

“Lama setelah mobil, kota, dan pabrik, kelak menjadi debu, konsekuensi akibat pembakaran miliaran ton batu bara dan minyak kemungkinan akan tampak sangat jelas. Di saat kabron dioksida menghangatkan bumi, senyawa itu juga menelus ke lautan dan membuatnya bersifat asam. Suatu saat dalam abad ini lautan mungkin menjadi begitu asam sehingga karang tidak sanggup lagi membentuk terumbu, yang akan tercatat dalam sejarah geologi sebagai “kesenjangan karang”. Kesenjangan karang merupakan ciri khas dari lima kemusnahan massal besar yang telah terjadi. Kepunahan massal yang terakhir, yang diyakini disebabkan oleh dampak asteroid, terjadi 65 juta tahun yang lalu, di akhir periode Kretaseus: kepunahan itu memusnahkan bukan hanya dinosaurus, melainkan juga plesiosaurus, pterosaurus, dan amonit. Besarmnya ukuran bencana yang saat ini menimpa lautan, menurut para pakar, tidak tertandingi sejak saat itu. Bagi para ahli geologi masa depan, begitu kata Zalasiewicz, dampak ulah kita akan tampak begitu tiba-tiba dan sangat luar biasa sebagaimana dampak asteroid,” kata Elizabeth Kolbert dalam tulisannya Era Manusia: Fajar Antroposen.  Dan orang-orang Indonesia adalah salah satu penyumbang kepunahan terbesar, tapi sayangnya mereka menganggap diri tak melakukannya. Dengan kemacetan di depan mata, sampah di mana-mana, sungai rusak, hutan hilang, beragam spesies musnah, lingkungan cemar, segala jenis masalah bermunculan, hampir mayoritas mereka semua tak merasa sebagai bagian masalah dan telah membantu proses mempercepat kepunahan itu. Kebanyakan dari mereka akan selalu merasa sudah menjadi orang baik, tak melakukan kesalahan apapun dan berharap dunia selalu menjadi hal yang nyaman dan baik bagi mereka. Dan, seperti itu juga yang terjadi di Bandung hari ini. Orang-orang yang tak sadar diri gila dan telah merusak kota ini dengan pandangan hidup dan gaya hidup mereka. Kebanyakan orang gila tak mengakui kegilaan mereka sendiri. Yah, sayangnya seperti itu.

Julukan kota cerdas, kota kreatif, dan peraih Adipura tak membuat kota ini mampu menghilangkan sampah-sampahnya yang bertebaran di hampir setiap tempat yang ada. Ah, jadi, suatu nanti, kalau ke berbagai kota lainnya di Jawa atau Indonesia, tak sengaja mendengar, membaca, atau ada sebuah kota yang mendapatkan berbagai macam pujian nasional atau internasional, biasanya, isi di dalam kota itu sendiri, kalau dimasuki, sangat mengecewakan. Jauh dari kenyataan yang ada. Dan Bandung sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Gun Gun Saptari Hidayat, Direktur Umum Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung, warga kota Bandung mengonsumsi sampah sebesar 1.500-1.600 ton. Sebuah kota yang benar-benar memiliki semangat kegilaan akan sampah. Sebuah jumlah, yang aku tak tahu, apakah orang Bandung sendiri akan merasa cemas atau tidak. Oh ya, dan sekian banyak ton itu, hanya 250 ton perhari yang sempat dan masih mampu diolah dan dimanfaatkan. Apakah warga Bandung akan menangis mengetahui hal ini? Sementara sekitar 150-250 ton sampah berceceran di segenap kota Bandung; sungai, jalanan, dan berbagai macam tempat. Biaya pengankutan sampah yang sangat mahal. Banyak sekali mal dan gedung-gedung mewah yang tak membayar pajak atau kebersihan sampah. Tidakkah banyak warga Bandung yang sangat suka hidup di dalam mal, membiayai secara tak langsung mal-mal terus beroperasi dan membuat masalah di kota mereka? Apakah warga Bandung akan merasa sakit dan malu atau bahkan menangis melihat kenyataan semacam ini? Oh, tentunya tidak. Hati nurani dan kepekaan akan membuat warga Bandung hidupnya terepotkan. Biarlah hidup hanya seputar mencari kesenangan dan kebahagiaan saja. Walau pada dasarnya sedikit yang benar-benar mengalami kebahagiaan. Yang lain-lain, hanyalah sesuatu yang tak penting. Bukan berarti semua orang Bandung tak peka dan merasa tak melakukan apa-apa. Ridwan Kamil saja sudah nyaris menyerah seperti itu. Apa yang bisa dilakukan warga Bandung baik hati yang jumlahnya sedikit dibandingkan dengan orang-orang gila yang jumlahnya nyaris memenuhi isi kota?

Kalau dilihat dari sudut pandang Howard Gardner, jelas warga kota Bandung tak memiliki kecerdasan ekologis. Kepekaan akan lingkungan mereka nyaris dalam taraf kerendahan yang paling sulit dibayangkan oleh mereka yang agak sadar diri. Jika ada seorang enviromentalis atau pencinta lingkungan fanatik melewati kota ini, yakinlah, dia akan berkata, “oh my god, oh my god, this is fuck city! Damn! ini kota atau kubangan anjing?!”.Dan persis eperti yang dikatakan oleh Inna Savova bahwa warga kota Bandung bahkan lebih kotor dari pada para babi. Dan mungkin, nyaris sudah kehilangan empati mereka terhadap apa yang ada di sekitar lingkungan mereka.

“Empati merupakan minyak pelumas bagi roda-roda kehidupan sosial. Ketika kita berbagi, mencintai, bekerja sama dan memberi, saat itulah empati bekerja. Ketika empati tidak ada, keakraban hilang dan hubungan-hubungan pun menjadi rusak. Kekerasan, pelecehan, diskriminasi dan keegoisan menjadi hal yang biasa ketika empati telah hilang,” tulis David Howe. Buku yang aku sarankan untuk dibaca oleh orang Bandung yang semakin kehilangan perasaan mereka terhadap pertemanan, keakraban dan dunia di sekitar mereka. Pertemanan seringkali malah menimbulkan rasa sakit dan perasaan rentan. Tidakkah itu juga aku? Yah, di sinilah aku hidup. Di Jawa yang semakin berubah. Menua. Sangat rentan dan kosong.Tapi, banyak orang tak mengakui bahwa mereka sakit. Karena ketika warga kota Bandung sakit. Maka sakitlah kota Bandung itu sendiri. Sebuah wajah kota adalah cerminan dari psikologi, jiwa, pikiran dan pandangan hidup dari orang-orang yang menghuninya. Beserta kegagalan-kegagalan dalam dirinya sendiri. “... di mana kita adalah sangat penting bagi siapa kita,” tegas Eric Weiner.

Atau, seperti yang dikeluhkan oleh Eric Weiner, dalam The Biography of Bliss, “toleransi itu sangat bagus, tetapi toleransi dapat dengan mudah bergeser ke ketidakpedulian, dan itu sama sekali tidak menyenangkan”. Apakah seperti itulah yang terjadidengan Jakarta, Jogja, kota besar lainnya bahkan Bandung yang kini aku lihat dengan wajah muram? Yang jelas, warga kota Bandung sudah semakin kesusahan mengakui diri mereka sebagai orang yang beriman, berbudaya, terpelajar, dan orang yang sungguh-sungguh bahagia. Kota mereka sama sekali tidak mencerminkan hal semacam itu. Kota mereka mencerminkan diri yang sakit. Diri yang abai. Diri, yang pada akhirnya, hidup dalam ketakutan-ketakutan walau memiliki kemewahan harta dan segala jenisnya. Ketakutan-ketakutan itulah yang berujung pada gangguan kejiwaan yang meluas dan pada akhirnya, ketidakpedulian terhadap banyak hal selain keinginan untuk keluar dari perasaan resah, sakit, kesepian dan keadaan yang bagai tak berarti setiap harinya. Dan hasilnya, dari keadaan seperti itu, kota pun mereka tinggalkan dalam keadaan kacau dan rusak.

Lingkungan adalah cerminan dari jiwa dan pikiran kita. Walau sekuat apapun kita mencoba untuk menolak dan membantahnya.

Sampai kapan Jawa akan terus bertahan dalam keadaan semacam ini? Dan tiba-tiba seorang lusuh, tua, keriput, menjulurkantangannya tepat di depanku. Sebuah keadaan, yang akan membuat benteng pertahankan terbaik pun akan runtuh seketika jika kau masih memiliki sedikit hati di kejauhan sana. Dalam hati yang gagal aku keraskan berkali-kali untuk melindungi diri dari kegilaanku sendiri yang sangat gelap. Akhirnya, aku meminta kekasihku untuk memberinya beberapa rupiah, yang aku tak tahu jumlahnya. Dan pengemis itu pun tersenyum, senang, ada secercah harapan dalam dirinya akan kepercayaan terhadap kehidupan yang saat ini tak kumiliki. Harapan dari sorot mata yang hidup dari keadaaan yang lebih buruk dariku. Seorang pengemis yang berbahagia dan seorang laki-laki yang berkecukupan yang sangat tak bahagia. Seperti inilah Jawa hari ini. Dan Braga yang aku lihat, memendam hal yang semacam itu. Braga yang tak lagi kebal terhadap pengamen, pengemis, dan kekumuhan. Juga Braga yang tak lagi kebal terhadap virus yang bernama ketidakbahagiaan orang-orang kaya dan berkecukupan dalam ekonomi.

Kecantikan tak akan menyelamatkanmu dari rasa kesepian. Begitu juga kekayaan, ketampanan, pertemanan, dan segala apa yang kita miliki. Kita adalah makhluk-makhluk modern yang gagal menjadi diri kita sendiri dan mencoba berkata cukup dan berbahagia. Yang bisa kita lakukan hanyalah berpura-pura hidup dan terus-menerus mengatasi perasaan itu dengan segala cara yang kita tahu dan mampu. Walau dengan cara merusak diri kita sendiri, agama yang kita percayai, dan ikatan-ikatan yang kita miliki.

Dan kami pun melangkah pergi. Berjalan menengok sebentar Riau Junction. Mengeluhkan panas kota yang dulunya, katanya indah dan sejuk ini. Kelelahan. Menikmati keakraban yang terakhir lalu kembali ke kota yang tak lagi mampu aku nikmati; Jogja, sebuah kota yang membuatku bosan dan letih.





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar