bangun siang, suasana
hati langsung buruk. menyebalkan. belum ada satu minggu di kota ini,
perasaan hampa sudah sangat menelanku. memikirkan mencari uang setiap
hari, benar-benar terasa konyol. sama saja sekedar menjadi pegawai atau
karyawan. hidup terjerat dalam lingkaran keseharian semacam itu.
kehidupan yang bodoh. idiot. sama dengan mati. tak jauh beda.
beberapa hari ke depan,
kota ini akan meriah dengan sangat banyak acara. tapi entah mengapa,
kota ini masih begitu sangat membosankan. terus menerus hanya sekedar
seperti ini. aku tak tahu, orang macam apa yang kuat hidup dalam
perintah orang lain setiap harinya. di sekolah, kampus, rumah, dan
tempat kerja. tiba-tiba aku begitu dingin. tubuhku mendingin. begitu
juga kecemasanku yang kembali lagi.
aku bosan.
aku membawa satu buku lama, Berakhirnya Masa Kelimpah-Mewahan karya
Paul R. Ehrlich dan Anne H. Ehrlich. buku langka, yang jarang dibaca
orang. dan nyaris susah untu diterbitkan lagi. sebelum meninggalkan
kamar, aku sempat membaca ulang dari awal dan mataku tertuju pada
kalimat di halaman ke 4: pertumbuhan penduduk hanyalah satu dari tiga
faktor penentu yang sekaligus mengancam integritas sistem-sistem
lingkungan yang menunjang kita. faktor-faktor lainnya -meningkatnya
kemewahan dan digunakannya teknologi yang keliru untuk mendukung
kemewahan itu -tak mudah ditentukan dengan tindakan perorangan.
keseluruhan masyarakat terkukung dalam suatu gaya hidup yang untuk
berubah memerlukan waktu beberapa puluh tahun, sama seperti ia butuh
beberapa puluh tahun untuk berkembang.
dan saat keluar dengan
motorku menuju jl Gejayan, pertumbuhan penduduk terlihat tak terkendali
beserta kemewahan yang menyertainya. jalanan sangatlah macet. begitu
juga saat pulang. aku juga salah seorang penyumbang besar kemacetan itu.
entah atas alasan apa pun. karena aku masih hidup, tentunya. Jogja,
seperti itulah kenyataannya.
suasana mendung.
perasaanku sangat runyam. dan tubuhku merespon dengan lelah. mataku
bahkan ingin sekali ditidurkan. aku memutuskan untuk makan setelah
sebentar mampir di sebuah bank. sekarang ini, aku sedang berada di Kedai
Angkring AB. terletak di jl Sagan Utara. tepat di depan sebuah rumah
bernomor 12. aku sering datang ke sini saat perutku sedang kelaparan.
boleh dibilang, tempat
ini sangatlah murah. berada di pusat kota tak menjadikannya begitu
mahal. rasa penyetnya tak kalah dengan warung makan SS atau Cowek Ireng.
enam ribu sampai sepuluh ribu rupiah, sudah membuat perut kekenyangan.
penyet tahu tempe hanya dihargai enam atau tujuh ribu dengan nasi yang
cukup banyak. salah satu tempat kesukaanku. dan tempat makan yang sangat
cocok untuk mahasiswa dan sejenisnya.
awalnya tempat ini
sangat teduh dengan banyak pepohonan yang menaunginya. sayangnya, kini
banyak pohonnya telah ditebang beberapa hari yang lalu. dari tempat ini,
IFI sangatlah dekat. tak ada lima menit jalan kaki. aku
sering makan sambil membaca buku di sini. melihat kendaraan yang lewat
tiada henti. dan merenungkan dunia yang berputar terus-menerus. yah,
setidaknya, terkadang ada beberapa orang tolol yang mengendarai mobilnya
hingga membuat macet. kedua mobil bertemu di tengah jalan yang sempit.
di mana keduanya tak mau mengalah. bahkan seringkali membuat jengkel
seorang yang membantu. mereka yang membuat masalah tapi tak mau sekedar
berterimkasih. sangat banyak orang jenis seperti itu. dan menjengkelkan.
udara menjadi sangat
dingin. Jogja semakin padat. dan saat aku kembali membuka-buka halaman
buku Paul R. Ehrlich, aku sadar. dia cukup benar dalam hal-hal tertentu
yang aku amati. kitalah manusia, yang membuat masalah setiap hari tapi
tak merasa membuat masalah itu. dan kekayaan beserta otak terpelajar
yang mandul, telah menghasilkan Jogja yang semrawut. kedai kecil ini,
terkadang bisa menumbuhkan berbagai macam perenungan. yah, seperti yang
aku renungkan kali ini.
dunia semakin tampak aneh dan asing di mataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar