hidup di sebuah kota yang sangat membosankan semacam Jogjakarta. sebuah galeri seni semacam Bentara Budaya Yogyakarta, cukup bisa menghibur diriku. setidaknya, awal dari menginjakkan kaki kembali tak terlalu buruk. aku disuguhi pameran JLN Dua Pekan. cukup menarik tapi sangat biasa. sedikit karya seni yang kini bisa membuatku berdecak kagum. walaupun begitu, seni dan karya seni, selalu bisa membuatku sedikit terhibur dan melupakan lelah. dan yang menarik dari Bentara Budaya Yogyakarta adalah keramahtamahannya. seolah-olah aku bagaikan berada di rumah setelah sekian lama menghilang entah kemana. Bentara adalah satu-satu galeri seni yang paling layak aku kenang.
aku, dan salah seorang
temanku, yang kini menjadi penghuni rumah tuhan, selalu berceloteh atau
bergurau mengenai tempat kesenian ini. bahwa Bentara Budaya Yogyakarta
adalah satu-satunya tempat yang menampung sekian banyak pelarian dan
orang yang sedang kelaparan. dari para seniman tak banyak modal hidup.
hingga para penulis dan mereka yang tak memiliki tempat untuk tinggal.
Bentara Budaya adalah pahlawan bagi mereka yang kekurangan gizi dan
hidup serba pas-pasan. penghuni nyaris tetapnya, yah, siapa lagi kalau
bukan diriku ini dan beberapa orang yang sering terlihat bersamaku.
tidakkah wajahku terlihat sangat miskin?
sangat banyak galeri di
kota ini. tapi Bentara adalah yang paling membuatku sangat nyaman.
melihat orang tertawa, berbincang, berkumpul, atau sekedar berjalan
sesuka hatinya ke sana kemari, seolah-olah ada kebebasan untuk bergerak
dan berekspresi tanpa harus malu di galeri ini. jajanan pasar dan
seringkali soto panas yang sangat nikmat. membuat suasana begitu cair
dan akrab. suasana yang jarang aku dapatkan di berbagai galeri lainnya
yang terkesan sangat berjarak.
selain suasana akrab dan
penyelamat orang-orang kelaparan. hal yang paling membuatku senang dari
tempat ini adalah pemberian katalog atau poster gratis di hampir setiap
acaranya. bagiku, inilah yang paling penting dan membuatku ingin selalu
datang. kenapa begitu penting bagiku? sebagai orang yang belajar,
katalog membantu menjebatani dari apa yang tak sempat dilihat atau
direnungkan saat melihat karya seni. dan tentunya, bagi orang semacam
aku, aku memiliki dokumentasi yang akan aku gunakan untuk menulis
perihal seni di kota Jogja. walaupun begitu, di dalam dunia kesenian,
aku ingin tenggelam dan berjarak.
Bentara Bentara memiliki
letak yang sangat ideal. terletak di tengah kota dan dikelilingi oleh
berbagai universitas besar semacam UGM, UNY, SANATA DHARMA, UAD, dan
lainnya. sangat dekat dengan Tugu, Malioboro, Gramedia, toko buku
Togamas, Perpus kota, dan deretan tempat nongkrong yang sangat banyak.
yang paling menggelisahkan adalah jumlah ribuan mahasiswa dan orang
lewat, tak membuat galeri ini, yang nyaris selalu aku datangi ketika ada
acara, terlihat sangat penuh. kebanyakan hanya di antara kalangan
seniman sendiri dan lebih banyak anak-anak ISI dari pada yang lainnya.
orang semacam aku yang lebih suka mengamati, sedikit terpukul pada
kenyataan bahwa, bahkan kesenian pun sangat sepi peminat. kebanyakan
orang atau mahasiswa lebih menyukai cafe dan sejenisnya. sastra lebih
tragis lagi. acara-acara sastra lebih mirip kuburan di tengah kota
terpelajar dan dipenuhi banyak buku ini. setidaknya, kesenian belum
mengalami hal yang terlalu buruk dibandingkan sastra dan lainnya.
jika berada di antara
para seniman, aku selalu mengambil jarak. walaupun pada akhirnya kadang
gagal dan malah berbincang atau kenal dengan beberapa seniman tertentu.
seandainya aku mau, aku bisa kenal luar biasa banyak seniman. tapi aku
berlaku surut. aku tak ingin banyak dikenali di dunia seni. aku hanya
ingin menikmati berbagai jenis galeri seni dengan beragam acaranya tanpa
harus dibebani oleh perasaan tak nyaman karena berkomentar terlalu
sinis. hal semacam itu, akan ada tempatnya di saat nanti. dengan berlaku
surut, aku bisa mengamati dunia kesenian dengan cukup bebas. aku bisa
belajar banyak di dalamnya. membeli buku-buku seni dan menikmati apa
yang selama ini aku sukai. sesekali aku juga membuat sketsa atau
lainnya. walaupun begitu, aku tahu, aku tak terlalu pandai di bidang ini
kecuali keragu-raguan. aku lebih cocok menjadi sekedar seorang yang
menulis atau membicarakan filosofi seni yang menjadi landasan
orang-orang berkesenian. dan mempertanyakannya. mungkin di situlah
posisiku berada.
beberapa hari di kota
ini, aku sudah disambut oleh beberapa pameran kesenian. aku hanya bisa
mendatangi tiga di antaranya. yang satunya secara tak sengaja. pameran
di Museum Affandi, Taman Budaya Yogyakarta, dan tentunya Bentara.
walaupun begitu, Bentara Budaya Yogyakarta masih sangatlah intim bagiku.
pernah, aku ingin sekali berbincang dengan romo Sindhu, tapi akhirnya
aku surutkan karena aku tak ingin dikenali oleh banyak orang dan
beberapa tokoh yang sudah terkenal. sering melihat Joko Pekik, Nasirun,
dan pernah berbincang dengan Lindu, Andre Tanama, pak Tri dan beberapa
seniman luar. tapi yang jelas, aku akan langsung menjaga jarak sejauh
mungkin dari mereka. jika tidak, aku tak akan memiliki ruang gerak yang
leluasa jika banyak orang mengenaliku di semua tempat aku berada. aku
tak menginginkan hal semacam itu terjadi. dan kebebasan berpikirku akan
hilang dan mati.
kebebasanku menganalisa,
mengamati, dan berpikir adalah hal yang lebih besar dari segalanya. dan
yah, jika berada di berbagai galeri seni, aku mirip orang asing yang
tak nampak dan sangat kecil. dan itu menyenangkan. sangat menyenangkan
menjadi tak terlihat di mana pun.
seperti Afrizal Malna
dalam bukunya Perjalanan Teater Kedua, aku mengamati orang-orang lewat
tubuh, gerak, dan apa yang mereka kenakan, bicarakan, dan teman dekat
mereka untuk berkerumun. itulah yang sangat menarik ketika aku berada di
berbagai pembukaan acara kesenian. mengamati orang-orang dan
merenungkannya. melihat atau mengintip sedikit kepribadian mereka ketika
berada di acara seni. lalu melihat kecenderungan besar dikemudian hari.
dan Bentara Budaya,
dengan orang-orangnya yang sering aku lihat berkali-kali, seolah-olah
bagaikan sebuah rumah tersendiri. sedikit tempat yang membuat aku
terhibur dan melupakan bahwa aku sedang berada di sebuah kota yang
sangat membosankan. mau bagaimana lagi, Jogja memang adalah kota yang
membosankan. itu adalah kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar