jalanan Jogja di siang hari memang brengsek. yah, seperti itulah kota
yang mulai rusak dan sekarat. macet dan panas benar-benar sangat
menjengkelkan. dari sekitar UGM hingga ke Imogiri Timur, terik matahari
benar-benar membuat kulit terasa terpanggang. kemacetan menggurita di
bundaran UGM, jalan Suroto, kisaran UKDW dan berlanjut hingga membuatku
malas menuliskannya. pohon-pohon yang semakin sedikit dan banyak
ditebang, membuat kondisi jalanan beraspal semakin sengsara. kota kecil
yang hampir tamat.
hari ini, 16 februari 2017, aku berada di IVAA atau Indonesia Visual
Arts Archive yang secara asitektur mengingatkanku pada Kedai Kebun.
cukup nyaman dan teduh dipandang. warna cokelat kayu yang sangat
dominan, ventilasi angin yang menyegarkan, beserta penataan penerimaan
cahaya, membuat tempat ini sejujurnya lebih menyenangkan dari pada
Langgeng. sayangnya, setelah masuk dan sedikit mengamati, tempat ini tak
terlalu terawat. banyak debu dan semacamnya, terlebih di lantai atas.
ciri-ciri kekurangan pendanaan sudah langsung terlihat.
di depan pintu masuk, disediakan teh beserta gula dan gelas. sedikit
cemilan. rasa-rasanya, itu sudah menunjukkan kalau tempat ini mulai
menderita kemiskinan. sebuah tempat yang seharusnya bisa lebih baik
kalau benar-benar didukung oleh banyak pihak. terlebih,sebuah tempat
yang jarang ada di negara ini. tempat yang mencoba mendokumentasikan
segala hal yang berbau seni: visual terkhusus. mirip kisah PDS HB Jassin
yang sekarat di bidang sastra. atau mungkin, tebakanku yang salah.
untuk saat ini, aku lagi tak ingin bertanya-tanya.
tempat ini terlalu menjorok ke dalam dan sangat kurang strategis. dan
jika sangat tak populer, itu memang sangat wajar. hanya para seniman
dan yang tertarik dan berkaitanlah yang tahu letak dan keberadaannya.
seperti halnya anak muda yang tadi aku tanyai di jalan yang benar-benar
tak tahu apa-apa. dan yang lebih tahu selalu para tukang tambal ban.
sungguh mengagumkan peradaban otak baru generasi muda kita! bahkan
banyak anak seni pun jarang atau malas untuk ke sini dengan berbagai
macam hal yang bisa dijadikan alibi. IVAA terletak di jalan Ireda, dan
masuk ke gang kecil Hiperkes. mengingatkanku akan keterpencilan WALHI di
Kotagede. seolah-olah sedang bersembunyi dari kota yang mulai
menggelisahkan.
aku bersama temanku, naik motor, ke Imogiri untuk mengantarkan buku
pak Narto ke rumah pak Adi. lalu secepat kilat sampai di tempat ini.
sekali waktu, aku langsung nyaman dan bertengger di lantai atas setelah
menemukan buku yang menarik, Raden Saleh: The beginning of Modern Indonesia Painting dan sebuah buku tebal dari Martin Suryajaya, Sejarah Estetika.
banyak buku seni yang sangat menarik di sini. rasa-rasanya aku akan
betah jika tinggal di sini atau sekitarnya. menghabiskan waktu untuk
sekedar membaca, menulis, mencari gagasan atau yah, hanya mengigau dan
melamun.
ada buku-buku soal Affandi, sejarah seni, dan katalog. dan tentunya,
lampu sempat mati sebentar. lalu, hampir setengah jam, acara belum
dimulai. yah, yang jelas, itu menandakan bahwa aku masih di Indonesia.
jam karet adalah seni paling populer dan sangat digandrungi masyarakat
Jawa, dan hampir menjadi budaya bangsa ini. oh ya, kamu harus memiliki
kesabaran dan mencoba menghapus pola pikir Barat dan Asia Timur mengenai
ketepatan waktu. ketepatan waktu mungkin dipandang sebagai aib. di mana
orang dirasa kurang sabar dan menganggap segala sesuatunya terlalu kaku
dan terburu-buru. seandainya kau tinggal di sini. kau bisa mati
perlahan-lahan dalam kerjaan yang terbengkalai atau kebosanan yang
lamban. dan jika kau berpikir untuk mencari cara untuk menghabiskan
waktu segila-gilanya dan semalas-malasnya. Jogja mungkin tujuan yang
harus dimasukkan ke dalam daftar paling menarik dari seluruh kota di
Jawa. dan tujuan yang paling menarik untuk bunuh diri dalam kejenuhan
pada akhirnya.
waktu terus bergerak, dan acara seolah-olah bagai diabaikan dengan
begitu bebasnya. kapan acara diskusi akan dimulai? entahlah. Jogja
ditambah seni, paduan berbahaya bagi kemalasan dan keterlambatan.
aku menatap baling-baling kipas angin yang terus berputar tanpa
lelah. mengarahkan mata ke jendela, prohon kresen yang membawakan angin
segar dan teduh. langit sudah agak mendung. aku membolak-balikkan buku
Martin dengan agak malas. buku tebal ini, sedikit menyinggung karya seni
modern atau tokoh-tokoh seni secara langsung dan lebih menjelaskan
pandangan para filsuf mengenai keindahan atau estetika. rasa-rasanya,
aku saat ini lebih tertarik dengan biografinya Raden Salah.
hampir mendekati jam 16:00, acara dimulai. untung aku orang Indonesia!
diskusi atau bisa dibilang perbincangan kali ini, lebih memandang kesenian antara Bali dan Jogja dari Pameran Arus Bawah yang
kebanyakan berkaitan dengan Bali. di Bali, keindahan sangat penting
sehingga berkaitan erat antara ritual, agama, dan kesenian. tapi bagi
salah seorang yang bicara, menganggap orang Bali pun seringkali tak tahu
asal mula atau sejarah yang mereka buat: kue ritual dan lainnya.
Dewo, dengan lukisan Without Predator, secara filosofis sangat
erat dengan konsep ekologi dan gerakan lingkungan hari ini. sedikit
saja makhluk hidup di hilangkan dari lingkaran kehidupan. akan terjadi
masalah besar.setidaknya, dia salah satu yang cukup punya pemikiran di
antara yang lainnya dan cukup pandai dalam menjelaskan gagasan dan pikirannya.
Seni, Bali, dan Identitas Etnis. sekaranglah aku di sini.
dikelilingi banyak anak muda. suara menggema dari pembicara diiringi
layar yang bermunculan dengan karya-karya mereka. dengan bahasa
teraduk-aduk, membuat tawa cukup renyah menguar di sekeliling. bisa
dibilang proses kreatif mereka menarik. yang jelas, unsur seni abstrak
masih kuat menguasai anak-anak dari Bali atau yang pernah berkaitan
dengan Bali.
banyak dari mereka, sejak kecil, unsur seni sudah masuk di dalam
kehidupan. logat Bali mereka sangat kental. ada yang membuatku ingin
tertawa, seperti cerita Putu, yang memutuskan kuliah di ekonomi, dirasa
sulit, dan memutuskan ke Jogja, mengambil seni. seni adalah pelarian.
sebagian orang menganggap seni jalan termudah untuk mengekspresikan diri
dari pada bidang keilmuan lain yang kaku. dan yang paling menarik dari
semuanya adalah kebingungan dalam menyusun atau menggunakan bahasa untuk
mewakili perasaan mereka atau objek yang ingin dibicarakan. secara
garis besar, mereka semua anak muda gelisah yang mudah bosan dengan
teknik dan bentuk kesenian mereka.
kenapa orang Bali pindah ke Jogja? pertanyaan dari seorang perempuan
kecil, mungil, dan cukup cantik. sebuah pertanyaan yang menarik.
orang Bali baru lihat seni sesungguhnya, setelah mereka keluar dari
Bali. seni, lebih dekat dengan ritual dan dekat dengan kehidupan mereka.
ada yang tak betah karena pasar seni membuat keadaan semakin
membingungkan. mana seni yang sesungguhnya, yang syarat dengan wacana
atau sekedar jualan. dan banyak yang tertarik ke Jogja karena Jogja
lebih menarik. dan dianggap sebagai pusat kesenian sesungguhnya.
pertanyaanku, apakah pernah ada yang bosan dengan Jogja? anehnya
tidak ada! dan pertanyaan, atau penjelasan selalu terbatas dan dibatasi.
suatu hal yang menjengkelkan dan sangat terlihat jelas dunia
intelektualitas Jogja. aku bosan di kota ini dan mereka tidak bosan! oh,
mengagumkan!
pertanyaan lainnya, dari seorang perempuan berbaju hitam,
mempertanyakan apakah sejak kecil mereka dipaksa keluarga atau
bagaimana, dalam mengenal kesenian? jawaban mereka karena dipaksa
lingkungan. bukan keluarga. pengaruh lingkungan luar biasa kuat bagi
mereka. sejak kecil mereka sudah masuk dalam dunia itu. entah dalam
ritual, upacara, tari, atau lainnya. lingkungan memengaruhi arah
kesenian mereka dengan begitu kuatnya. ritual seolah menuntut mereka
untuk menguasai minimal satu kesenian, tarian, atau alat musik. dan
semua tergantung daerah, terkadang.
kenapa melukis? jawaban salah satunya, karena yang paling mudah dan menyerah juga pada akhirnya.
dalam hitung jari, aku sudah meninggalkan kota yang tak memuaskan
ini. entah kenapa, orang-orang sudah puas dengan kota yang tak menarik
ini kecuali hanya sekedar makan dan sedikit melupakan dunia.
dengan usia kalian yang masih muda, kemudian sudah dapat suatu ciri
khas dan mungkin posisi sekarang mereka atau teman-teman ini ada di
mana? guna evaluasi pribadi dan lainnya. sebuah pertanyaan dari seorang
perempuan dengan tubuh yang agak gemuk. jawaban mereka, masih tetap
bereksplorasi dan belum menemukan ciri khas. sangat susah bagi mereka
mencari ciri khas bagi mereka. mereka hanya ingin tetap sekedar berkarya
dan semacam itu. dan ada yang masih sangat labil. pernah ada yang ingin
mau masuk ketentaraan dan bolak-balik memikirkan itu. secara
keseluruhan masih tak terlalu memiliki ciri khas atau karakter. di
antara mereka, ada yang tak mau membatasi diri dengan ciri khas. bahkan
ada yang tak mau memikirkannya. dan tak terlalu tahu banyak mengenai
objek yang mereka pamerkan.
kualitas wacana, dan kedalaman filosifis di balik para seniman muda
sangatlah buruk. yah, itulah sebabnya aku bosan dengan kota ini. siapa
pun yang terjerumus di kota ini, tiba-tiba jadi tolol.
karya dulu baru konsep. seperti itulah yang akhirnya dikatakan
kurator mereka, Sita, seorang perempuan cantik yang sama gelisahnya
dengan mereka. dia menjelaskan kegelisan mereka dan kesinisan salah satu
dari mereka yang tak mau disebut seniman Bali. sejujurnya, semuanya
sudah kuduga dari awal. hanya saja pembicaraan terlalu dibatasi dan apa
yang kukatakan selalu sedikit ditangkap.
pertanyaan lagi, pameran barengan itu zona nyaman atau beban? jawaban
di antara mereka, ragu-ragu, susah jawab, dan kesulitan
mengekspresikannya. ada yang nyaman. tak berpikir soal itu. tak ada
beban dan santai saja. dan antara keduanya, nyaman dan beban. ketika
membawa nama Bali, ada yang berkata sangat asyik saja atau malah dapat
pengalaman baru. sebuah tantangan dan mencoba menjadi berbeda saat
berada di pameran kelompok. intinya, biasa saja walau coba ditutupi.
apa sih perspektif kesenian mengenai arus bawah? pertanyaan
lain dari teman laki-laki mereka. dijawab Sita, yang juga pernah
bertanya keseniman, apa itu Bali dan semacamnya kepada mereka. apakah
keseniman Bali itu? jawabannya sangat beragam. bahkan ada yang bingung,
Bali itunya di mana ya? dinamakan arus bawah, yaitu aliran air yang
mengalir di bawah permukaan. yang kedua, aliran bawah sadar atau
perspektif berbeda dari permukaan dan di kedalaman diri mereka.
mereka malah tak ingin identitas ke-Balian mereka terhadirkan di
dalam karya dan diri mereka. aku bilang, baiklah, kita generasi muda
itu, terpecah dan ingin menghapus identitas etnis dan kelokalan kita.
tentunya di dalam pikiran otakku ini.
pameran mereka, secara garis kasarnya karena dipaksa untuk pameran
bersama. ah, dan info, bakal banyak ada pameran orang-orang Bali dan
Seniman Bali bulan ini. aku sudah tak ada di sini. setengah enam,
diskusi ini diakhiri. dan seperti kebanyakan diskusi lainnya, sangat
tidak memuaskan. ah, selalu saja tak memuaskan. apa yang pernah
memuaskan di kota ini selain setengah-setengah?
pada akhirnya, aku memutuskan untuk melihat-lihat rak buku. oh Jogja, kenapa kau begitu membosankan!
aku menemukan sebuah buku dari Dewan Kesenian Jakarta, Seni Rupa Indonesia: dalam Kritik dan Esai.
cukup menarik. aku coba bertanya ke beberapa orang yang sedang asyik
berdiri dan mengobrol, beberapa di antaranya dari IVAA sendiri. ada yang
bilang tak begitu paham buku itu ada di pasaran atau tidak. dan yang
lainnya, aku bertanya perihal apakah ada buku karya seni atau sejarah
seni secara kronologis dari zaman dulu hingga modern sekarang ini,
jawabannya ragu-ragu. itu sudah membuktikan bahwa, wacana,
intelektualitas, kedalaman filosofis tak terlalu dianggap di kota ini.
dan, itu anehnya, terjadi di IVAA, yang membentuk dirinya sebagai tempat
arsip kesenian. oh tidak!
sebelum pergi dan
melangkahkan kaki keluar ruangan, aku dihadang oleh dua orang perempuan
yang menginginkanku besok datang kembali ke IVAA. ada diskusi lagi
menyoal identitas, seni, dan ke-Balian. satu di antaranya dari Kedai
Kebun. pada akhirnya mengobrol dan aku utarakan sudut pandangku mengenai
Jogja. mengenai Jogja yang bukan tempat intelektual. kenapa orang bisa
betah di kota ini. mengenai beragam diskusi yang membosankan. atau
keinginanku mengelilingi Jawa dan kota luar Jawa, untuk melihat para
pembaca buku dan pesepeda. kejujuranku menyangkut ranah seni di kota
ini, membuatnya sedikit mengkerut. sejujurnya nyaris siapa pun yang aku
ajak bicara soal topik semacam itu. para seniman tak terbiasa mendengar
kenyataan kota ini dan apa yang sebenarnya terjadi saat dilihat oleh
orang luar. dan apa yang terjadi di dalam kesenian itu sendiri, sering
dihindari untuk dibicarakan lebih lanjut.
kota ini
terlalu banyak menyimpan ketakutan, kepura-puraan, dan ketidakberanian
menyelami diri sendiri secara mendalam. pada akhirnya, seni dan budaya,
yang paling menjamur dan dibangga-banggakan pun, menjadi hal yang sangat
membosankan dan terkesan dangkal. siapa pun yang memiliki cukup banya
uang dan tahu apa yang aku maksud, pasti akan segera meninggalkan kota
ini atau terpaksa hidup di kota ini karena sudah tak ada lagi kota yang
bisa lebih menarik dari kota ini. ah, pada akhirnya, orang-orang pun
sekedar terpaksa untuk hidup di kota ini atau tak memikirkan banyak hal
sehingga mereka cukup betah dan nyaman.
dan seni, tak lagi cukup menarik kecuali hanya sekedar penghilang rasa jenuh yang juga tak akan hilang untuk setelahnya.