Sabtu, 18 Februari 2017

JOGJA: SASTRAWAN ANTI GALERI SENI?







saat di IVAA, aku kembali menimbang-nimbang hal yang sudah lama sangat aku pikirkan dan pernah aku bicarakan dengan beberapa temanku. ketika aku memasuki berbagai macam galeri seni, di pameran seni rupa dan semacamnya. sedikit sekali aku melihat orang-orang yang menyebut dirinya penyair atau sastrawan hadir atau menampakkan diri. apakah mereka terlalu sibuk dan begitu sibuknya, selama dua tahun, aku nyaris jarang melihat mereka berada sama denganku ketika sedang memandangi berbagai macam instalasi atau lukisan di dinding galeri? satu dua kali mungkin aku melihatnya. tapi mengingat para penyair dan sastrawan jumlahnya sangat berlebihan di kota ini, mengingat berbagai macam acara kesenian luar biasa banyak. sangat aneh dan janggal jika aku tak berpikir semacam ini; apakah banyak orang yang hidup dalam ranah sastra terlalu sempit jangkauan berpikir dan kesukaannya sehingga seni saja, yang sejatinya sastra bagian dari seni itu sendiri, nyaris dipisahkan dan tak terlalu dianggap?

di lain sisi, banyak anak seni pun yang jarang terlihat di berbagai macam acara sastra kecuali hanya saat-saat tertentu. seolah-olah, di kota ini, seni dan sastra sangat terpisah jauh. hal yang benar-benar menurutku memalukan. 

di IVAA, Sita yang menjadi moderator sekaligus kurator adalah anak sastra. dan aku tak tahu, apakah dia masuk ke ranah seni karena memang menyukai seni atau memiliki bakat menulis, kedekatan dengan berbagai macam seniman dan semacamnya sehingga bisa menjadi kekecualian. kadang, aku juga sering melihat seorang laki-laki bertato, memegang dan mencari buku-buku sastra di Togamas Kota Baru. atau seringkali dia diundang di beberapa kesempatan mengulas dan membedah buku. dan ada beberapa lukisan yang menggambarkan Nietzsche yang aku sukai yang lahir dari buah pikir dan tangannya. yah, dia adalah Andre Tanama. walaupun begitu, seniman yang terlihat di berbagai acara sastra dan intelektual sangatlah sedikit. begitu juga sastrawan dan penyair yang terlihat di galeri-galeri seni juga sangatlah sedikit. menandakan apakah ini? kekonyolan kota Jogjakah?

menyangkut lingkungan hidup dan kesenian, aku sudah cukup lama paham dan memahaminya. saat Greenpeace mengadakan acara. saat ada masalah-masalah lingkungan hidup dan penggusuran. banyak seniman muda, dari Sigit hingga kelompok Taring Padi, seringkali terlihat. dan buku REKA ALAM, sangat jelas menyoal itu. begitu juga Dwi Cipta dan lain sebagainya dari ranah sastra. jumlahnya cukup banyak. tapi jumlah cukup banyak itu sangat tak seberapa. 

yang paling aku amati dan sorot adalah minimnya pertukaran dua ranah yang paling umum dan besar di kota ini; sastra dan seni. seolah-olah keduanya saling menjauhi. filsafat, seni, sastra, adalah tiga hal yang seharusnya menjadi satu dalam diri seseorang. ketika seseorang menyukai filsafat, dia pasti akan menyukai hampir semua ilmu dan ranah lainnya. begitu juga orang yang menyukai seni dan sastra. karena semuanya sangat berdekatan dan seringkali menjadi satu. hingga pada akhirnya, seseorang yang hidup dalam dunia itu akan menyukai musik, teater, pagelaran budaya, hingga sains. di Jogja, aku melihatnya tak seperti itu. seolah-olah semuanya sudah sangat terkhususkan. dan untuk sekedar memandang yang lainnya, bagaikan terasa janggal, aneh, dan tak biasa. 

banyak anak muda yang hidup dalam ranah kesusastraan di Jogja, entah mereka semua kemana ketika aku sedang berada di galeri seni atau pembukaan pameran kesenian yang paling umum dan konvensional; seni rupa. di dalam sebuah galeri, jelas, sangat mudah untuk melihat, menemukan, dan mengamati seseorang. terlebih wajah-wajah sastrawan muda yang sudah cukup aku kenal di mata dan pikiranku. tapi kemana mereka pergi selama ini? sangat luar biasa sibukkah? keterlaluan sibuknya sehingga aku nyaris malas untuk mereka-reka lagi. yang jelas, sangat jarang ada orang yang hidup di kesusastraan terlihat di berbagai macam galeri seni selama ini. dalam artian, selama aku berada di Jogja. 

seandainya pun ada sastrawan yang tak aku kenal ada di galeri seni. setidaknya ada anak-anak muda yang aku kenal, ada di situ. baiklah. sastra di kota ini pun sangat dekaden dan yah, terfokus pada hal-hal yang terlalu sempit. mungkin aku salah. ya, mungkin aku salah dalam merenungkan hal itu karena keterbatasan data dan pengalamanku. 

dan mungkin, sedikit orang di ranah sastra dan seni sendiri, mau mengamati perkembangan anak muda dan gairah intelektual di dalam kota kecil ini. sehingga antara satu dan lainnya merasa tak berkepentingan untuk sekedar melihat dan mengamati berbagai macam ruang yang ada. mungkin kita tidak suka dengan acara atau topik yang ada. tapi, kita masih bisa mengamati orang-orang dan suasana yang ada di dalamnya. jika memikirkan kota ini, kedangkalan dan dekandensinya sudah luar biasa sangat mengerikan. 

entahlah, mungkin hari ini lebih baik aku membaca Ecce Homo karya Nietzsche. dan mencoba memikirkan ulang atau mencoba tak percaya, kalau kota ini sudah tak lagi menarik dan sangat menjemukan.

JOGJA: INDONESIAN VISUAL ART ARCHIVE 2










aku memegang sekaligus membaca katalog data IVAA #2 REKA ALAM: PRAKTIK SENI VISUAL DAN ISU LINGKUNGAN DI INDONESIA (DARI MOOI INDIE HINGGA REFORMASI) berbarengan dengan saat Tia sedang menjelaskan seniman Bali beserta perubahan karya dan diri mereka. ini keduakalinya aku ke IVAA, setelah kemarin juga menempatkan diriku di sini dalam sebuah diskusi perihal ke-Balian. 

siang atau tepatnya sore ini, udara begitu panas. keringat berkucuran di balik bajuku. Tia tertatih-tatih menjelaskan presentasinya. Sita, aku rasa lebih baik jika menyangkut berbicara di depan publik. mungkin dia, si Tia, masih baru dalam hal ini atau tak terbiasa. entah kenapa, aku lebih tertarik meneruskan membaca REKA ALAM. 

Sita lebih bagus dalam merangkum inti pikiran dari Tia. apa yang dibicarakan tak jauh dari kemarin. bagaimana kita mengenali Bali dalam seni rupa? bagaimana identifikasi ini berlangsung di Yogyakarta? semacam itulah. dan sekali lagi, udara begitu panas. kipas angin di belakangku nyaris tak bisa berbuat apa-apa. oh Jogja!

identitas. identifikasi. komodifikasi. komersialisasi. inti dari apa yang ingin dibicarakan pembicara kedua. dan dia mempermasalahkan istilah yang baginya tumpang tindih atau mencoba menguraikan hal itu. 

diskusi hari ini, pembicaranya tak terlalu menggairahkan. terbata-bata. sangat tak interaktif. miskin ekspresi. dan terlalu kaku. lebih baik, si Sita atau moderetornya saja yang kapan-kapan jadi pembicara. banyak seniman yang tak memiliki bakat untuk bicara di depan publik. apakah ini sejenis ketidakpercayaan diri yang sudah umum di manapun? 

sekarang sampai pada penjelasan abstrak ekspresionistik Bali. apakah ada kaitan dengan akar ke-Balian? dijawab oleh pembicara sendiri, terjadi epigonisme dan karena pasar. aku melihat sekeliling, wajah-wajah lelah dan mengantuk. juga diriku sendiri. mungkin butuh Eko Prasetyo di sini untuk membuat aku tertawa sekaligus berpikir.

perempuan dan laki-laki jumlahnya nyaris seimbang. dalam hal gender, seni sudah cukup merata walau masih didominasi laki-laki. dan pembicara sangat membuatku bosan. dia tak pandai bicara. kelak, jika ingin membuat orang lebih tertarik ke sini, IVAA harus mulai serius mencari pembicara yang bisa menghidupkan dan menggairahkan suasana.

kelelompok. ketidakpercayaan diri. pasar. epigonisme. inti dari yang dikatakan pembicara kedua, Anzieb. saat dia menyudahi yang ia katakan, Sita pun mencoba menjelaskan dan membuka pertanyaan. sial, tak ada yang mengangkat tangan. malah perempuan muda, yang tadi ngobrol denganku yang jadi anggota baru IVAA lah yang memulainya. setelah ini, mungkin aku.

archive showcase, Melihat Identitas Etnis dalam Seni Rupa: berdiri di antara... apa?, dibicarakan oleh penanya di depanku. aku nyaris hampir tak ingat ada itu. dia mewakili salah satu kebosananku bahwa materi dan presentasinya tak dalam dan hanya sekedar awal. aku menyetujuinya dan mengangguk. lalu pembicaraan berputar pada masalah identitas. hingga giliranku bertanya, mencoba berbicara mengenai posisi kesenian di Indonesia kelak jika Tiongkok, India, dan negara Asia lainnya tumbuh besar menggantikan posisi Barat, apa yang akan terjadi dengan posisi seniman dan kesenian di Indonesia yang mana sekarang kita, di hampir semua bidang hanya konsumen dan epigon? baru berbicara sangat sedikit, Sita sudah memberi isyarat waktu akan habis. pertanyaanku dijawab secara singkat oleh Anzieb dalam logika pasar atau komersialisme. jika seniman hanya ingin populer dan mendapatkan kehidupan nyaman. pada akhirnya seni hanya sekedar jatuh pada tujuan materi. itulah inti dari menjawab pertanyaanku. dan aku, semakin ditelan oleh pesimisme Jogja. kota yang sangat tak memuaskan secara intelektual. aku semakin bosan dengan berbagai macam ruang diskusi.

acara selesai, orang-orang membubarkan diri, dan aku bergabung untuk sedikit berbincang. sekedar obrolan singkat dan perubahan raut muka sudah menjelaskan banyak hal kepadaku. orang-orang seni pun kebanyakan buta terhadap wacana terlebih hal yang lebih dalam dan filosofis. dan mereka memiliki mimik muka ketakutan jika harus dipaksa untuk membicarakan hal itu. perbincangan intelektual yang tak terlalu dalam sudah membuat mereka menjadi bertahan dan sangat tak nyaman. tidak di sastra, bidang budaya, lingkungan hidup, agama dan lainnya. seni mengalami kasus yang sama di kepala para senimannya. hal yang berkaitan dengan kedalaman filosofis dan wacana, semakin menjauh dari kota ini. sudah menjadi sangat umum dan luar biasa jelas dilihat. namun begitu, sedikit yang berani mengakuinya. kejujuran dalam hal intelektualitas dan diri, sangat jarang ditemui di mana-mana. kota ini akhirnya menjadi dekaden.

walaupun begitu, keberanian anggota baru IVAA untuk membicarakan diri sendiri, atau pembelaan mereka terhadap acara yang mereka buat dengan alasan masih belajar dan baru memulainya, masih bisa aku beri tepuk tangan. walau hanya separuh. dan tentunya tak bisa terus menerus seperti itu jika berkaitan dengan acara publik yang dilihat dan didatangi beragam jenis orang.

ah, aku semakin malas berada terlalu lama di kota ini. kota yang uang sewa kosnya sangat kapitalis dan kejam. ruang publik yang penuh dengan kegelisahan dan ketakutan. kedamaian semu yang mudah rusak dan hancur. pembaca buku yang sangat minim. pesepeda yang semakin sangat susah dicari. kemacetan. panas. kelebihan penduduk. ketololan universitas-universitas besar. dunia sastra dan seni yang mengalami kasus yang hampir mirip. dan budaya yang ditelan oleh globalisasi yang tak tanggung-tanggung diterima dengan besar-besaran. globalisasi tanpa ciptaan dan inovasi yang kokoh. sekedar konsumen dan epigon.

apakah yang masih tersisa dari Jogja dan yang perlu dibanggakan darinya? 

keramahtamahan. dunia yang masih tak seganas Jakarta. biaya hidup cukup murah. banyak galeri seni, acara budaya dan musik, perbincangan sastra, cafe yang menjamur, dan pemandangan alam. itu pun akhirnya, membuat orang yang cukup sadar diri, pasti akan bosan dibuatnya. hidup hanya untuk ke cafe, galeri seni, pameran, diskusi, ke alam, pacaran, kuliah, mencari uang, dan berputar terus hanya di seputar itu. kehidupan yang sangat monoton dan menjengkelkan.
akhirnya aku memutuskan untuk menyelesaikan katalog kecil REKA ALAM. tak ada tiga jam satu buku kecil telah aku konsumsi dan cerna. itupun disela oleh berbagai macam hal. dari sekitar jam 15:00-18:00 lebih. katalog yang sangat menarik dan kelak ingin aku miliki. 

aku sudah cukup lama bosan dengan kesusastraan di kota ini. begitu juga dengan keseniannya. dengan tertatih aku meminta ijin untuk pulang dan tentunya basa-basi. dan di kepalaku terngiang-ngiang suatu suara: "seorang filsuf tak akan mudah diterima di mana pun. bahkan di ruang yang terkesan intelektual di kota ini".




Kamis, 16 Februari 2017

JOGJA: INDONESIAN VISUAL ART ARCHIVE (IVAA)








jalanan Jogja di siang hari memang brengsek. yah, seperti itulah kota yang mulai rusak dan sekarat. macet dan panas benar-benar sangat menjengkelkan. dari sekitar UGM hingga ke Imogiri Timur, terik matahari benar-benar membuat kulit terasa terpanggang. kemacetan menggurita di bundaran UGM, jalan Suroto, kisaran UKDW dan berlanjut hingga membuatku malas menuliskannya. pohon-pohon yang semakin sedikit dan banyak ditebang, membuat kondisi jalanan beraspal semakin sengsara. kota kecil yang hampir tamat.

hari ini, 16 februari 2017, aku berada di IVAA atau Indonesia Visual Arts Archive yang secara asitektur mengingatkanku pada Kedai Kebun. cukup nyaman dan teduh dipandang. warna cokelat kayu yang sangat dominan, ventilasi angin yang menyegarkan, beserta penataan penerimaan cahaya, membuat tempat ini sejujurnya lebih menyenangkan dari pada Langgeng. sayangnya, setelah masuk dan sedikit mengamati, tempat ini tak terlalu terawat. banyak debu dan semacamnya, terlebih di lantai atas. ciri-ciri kekurangan pendanaan sudah langsung terlihat. 

di depan pintu masuk, disediakan teh beserta gula dan gelas. sedikit cemilan. rasa-rasanya, itu sudah menunjukkan kalau tempat ini mulai menderita kemiskinan. sebuah tempat yang seharusnya bisa lebih baik kalau benar-benar didukung oleh banyak pihak. terlebih,sebuah tempat yang jarang ada di negara ini. tempat yang mencoba mendokumentasikan segala hal yang berbau seni: visual terkhusus. mirip kisah PDS HB Jassin yang sekarat di bidang sastra. atau mungkin, tebakanku yang salah. untuk saat ini, aku lagi tak ingin bertanya-tanya. 

tempat ini terlalu menjorok ke dalam dan sangat kurang strategis. dan jika sangat tak populer, itu memang sangat wajar. hanya para seniman dan yang tertarik dan berkaitanlah yang tahu letak dan keberadaannya. seperti halnya anak muda yang tadi aku tanyai di jalan yang benar-benar tak tahu apa-apa. dan yang lebih tahu selalu para tukang tambal ban. sungguh mengagumkan peradaban otak baru generasi muda kita! bahkan banyak anak seni pun jarang atau malas untuk ke sini dengan berbagai macam hal yang bisa dijadikan alibi. IVAA terletak di jalan Ireda, dan masuk ke gang kecil Hiperkes. mengingatkanku akan keterpencilan WALHI di Kotagede. seolah-olah sedang bersembunyi dari kota yang mulai menggelisahkan.

aku bersama temanku, naik motor, ke Imogiri untuk mengantarkan buku pak Narto ke rumah pak Adi. lalu secepat kilat sampai di tempat ini. sekali waktu, aku langsung nyaman dan bertengger di lantai atas setelah menemukan buku yang menarik, Raden Saleh: The beginning of Modern Indonesia Painting dan sebuah buku tebal dari Martin Suryajaya, Sejarah Estetika. banyak buku seni yang sangat menarik di sini. rasa-rasanya aku akan betah jika tinggal di sini atau sekitarnya. menghabiskan waktu untuk sekedar membaca, menulis, mencari gagasan atau yah, hanya mengigau dan melamun.

ada buku-buku soal Affandi, sejarah seni, dan katalog. dan tentunya, lampu sempat mati sebentar. lalu, hampir setengah jam, acara belum dimulai. yah, yang jelas, itu menandakan bahwa aku masih di Indonesia. jam karet adalah seni paling populer dan sangat digandrungi masyarakat Jawa, dan hampir menjadi budaya bangsa ini. oh ya, kamu harus memiliki kesabaran dan mencoba menghapus pola pikir Barat dan Asia Timur mengenai ketepatan waktu. ketepatan waktu mungkin dipandang sebagai aib. di mana orang dirasa kurang sabar dan menganggap segala sesuatunya terlalu kaku dan terburu-buru. seandainya kau tinggal di sini. kau bisa mati perlahan-lahan dalam kerjaan yang terbengkalai atau kebosanan yang lamban. dan jika kau berpikir untuk mencari cara untuk menghabiskan waktu segila-gilanya dan semalas-malasnya. Jogja mungkin tujuan yang harus dimasukkan ke dalam daftar paling menarik dari seluruh kota di Jawa. dan tujuan yang paling menarik untuk bunuh diri dalam kejenuhan pada akhirnya.

waktu terus bergerak, dan acara seolah-olah bagai diabaikan dengan begitu bebasnya. kapan acara diskusi akan dimulai? entahlah. Jogja ditambah seni, paduan berbahaya bagi kemalasan dan keterlambatan. 

aku menatap baling-baling kipas angin yang terus berputar tanpa lelah. mengarahkan mata ke jendela, prohon kresen yang membawakan angin segar dan teduh. langit sudah agak mendung. aku membolak-balikkan buku Martin dengan agak malas. buku tebal ini, sedikit menyinggung karya seni modern atau tokoh-tokoh seni secara langsung dan lebih menjelaskan pandangan para filsuf mengenai keindahan atau estetika. rasa-rasanya, aku saat ini lebih tertarik dengan biografinya Raden Salah.

hampir mendekati jam 16:00, acara dimulai. untung aku orang Indonesia!
diskusi atau bisa dibilang perbincangan kali ini, lebih memandang kesenian antara Bali dan Jogja dari Pameran Arus Bawah yang kebanyakan berkaitan dengan Bali. di Bali, keindahan sangat penting sehingga berkaitan erat antara ritual, agama, dan kesenian. tapi bagi salah seorang yang bicara, menganggap orang Bali pun seringkali tak tahu asal mula atau sejarah yang mereka buat: kue ritual dan lainnya. 

Dewo, dengan lukisan Without Predator, secara filosofis sangat erat dengan konsep ekologi dan gerakan lingkungan hari ini. sedikit saja makhluk hidup di hilangkan dari lingkaran kehidupan. akan terjadi masalah besar.setidaknya, dia salah satu yang cukup punya pemikiran di antara yang lainnya dan cukup pandai dalam menjelaskan gagasan dan pikirannya.

Seni, Bali, dan Identitas Etnis. sekaranglah aku di sini. dikelilingi banyak anak muda. suara menggema dari pembicara diiringi layar yang bermunculan dengan karya-karya mereka. dengan bahasa teraduk-aduk, membuat tawa cukup renyah menguar di sekeliling. bisa dibilang proses kreatif mereka menarik. yang jelas, unsur seni abstrak masih kuat menguasai anak-anak dari Bali atau yang pernah berkaitan dengan Bali.

banyak dari mereka, sejak kecil, unsur seni sudah masuk di dalam kehidupan. logat Bali mereka sangat kental. ada yang membuatku ingin tertawa, seperti cerita Putu, yang memutuskan kuliah di ekonomi, dirasa sulit, dan memutuskan ke Jogja, mengambil seni. seni adalah pelarian. sebagian orang menganggap seni jalan termudah untuk mengekspresikan diri dari pada bidang keilmuan lain yang kaku. dan yang paling menarik dari semuanya adalah kebingungan dalam menyusun atau menggunakan bahasa untuk mewakili perasaan mereka atau objek yang ingin dibicarakan. secara garis besar, mereka semua anak muda gelisah yang mudah bosan dengan teknik dan bentuk kesenian mereka.

kenapa orang Bali pindah ke Jogja? pertanyaan dari seorang perempuan kecil, mungil, dan cukup cantik. sebuah pertanyaan yang menarik.

orang Bali baru lihat seni sesungguhnya, setelah mereka keluar dari Bali. seni, lebih dekat dengan ritual dan dekat dengan kehidupan mereka. ada yang tak betah karena pasar seni membuat keadaan semakin membingungkan. mana seni yang sesungguhnya, yang syarat dengan wacana atau sekedar jualan. dan banyak yang tertarik ke Jogja karena Jogja lebih menarik. dan dianggap sebagai pusat kesenian sesungguhnya.

pertanyaanku, apakah pernah ada yang bosan dengan Jogja? anehnya tidak ada! dan pertanyaan, atau penjelasan selalu terbatas dan dibatasi. suatu hal yang menjengkelkan dan sangat terlihat jelas dunia intelektualitas Jogja. aku bosan di kota ini dan mereka tidak bosan! oh, mengagumkan!

pertanyaan lainnya, dari seorang perempuan berbaju hitam, mempertanyakan apakah sejak kecil mereka dipaksa keluarga atau bagaimana, dalam mengenal kesenian? jawaban mereka karena dipaksa lingkungan. bukan keluarga. pengaruh lingkungan luar biasa kuat bagi mereka. sejak kecil mereka sudah masuk dalam dunia itu. entah dalam ritual, upacara, tari, atau lainnya. lingkungan memengaruhi arah kesenian mereka dengan begitu kuatnya. ritual seolah menuntut mereka untuk menguasai minimal satu kesenian, tarian, atau alat musik. dan semua tergantung daerah, terkadang.

kenapa melukis? jawaban salah satunya, karena yang paling mudah dan menyerah juga pada akhirnya.

dalam hitung jari, aku sudah meninggalkan kota yang tak memuaskan ini. entah kenapa, orang-orang sudah puas dengan kota yang tak menarik ini kecuali hanya sekedar makan dan sedikit melupakan dunia.

dengan usia kalian yang masih muda, kemudian sudah dapat suatu ciri khas dan mungkin posisi sekarang mereka atau teman-teman ini ada di mana? guna evaluasi pribadi dan lainnya.  sebuah pertanyaan dari seorang perempuan dengan tubuh yang agak gemuk. jawaban mereka, masih tetap bereksplorasi dan belum menemukan ciri khas. sangat susah bagi mereka mencari ciri khas bagi mereka. mereka hanya ingin tetap sekedar berkarya dan semacam itu. dan ada yang masih sangat labil. pernah ada yang ingin mau masuk ketentaraan dan bolak-balik memikirkan itu. secara keseluruhan masih tak terlalu memiliki ciri khas atau karakter. di antara mereka, ada yang tak mau membatasi diri dengan ciri khas. bahkan ada yang tak mau memikirkannya. dan tak terlalu tahu banyak mengenai objek yang mereka pamerkan. 

kualitas wacana, dan kedalaman filosifis di balik para seniman muda sangatlah buruk. yah, itulah sebabnya aku bosan dengan kota ini. siapa pun yang terjerumus di kota ini, tiba-tiba jadi tolol. 

karya dulu baru konsep. seperti itulah yang akhirnya dikatakan kurator mereka, Sita, seorang perempuan cantik yang sama gelisahnya dengan mereka. dia menjelaskan kegelisan mereka dan kesinisan salah satu dari mereka yang tak mau disebut seniman Bali. sejujurnya, semuanya sudah kuduga dari awal. hanya saja pembicaraan terlalu dibatasi dan apa yang kukatakan selalu sedikit ditangkap.
 
pertanyaan lagi, pameran barengan itu zona nyaman atau beban? jawaban di antara mereka, ragu-ragu, susah jawab, dan kesulitan mengekspresikannya. ada yang nyaman. tak berpikir soal itu. tak ada beban dan santai saja. dan antara keduanya, nyaman dan beban. ketika membawa nama Bali, ada yang berkata sangat asyik saja atau malah dapat pengalaman baru. sebuah tantangan dan mencoba menjadi berbeda saat berada di pameran kelompok. intinya, biasa saja walau coba ditutupi. 

apa sih perspektif kesenian mengenai arus bawah? pertanyaan lain dari teman laki-laki mereka. dijawab Sita, yang juga pernah bertanya keseniman, apa itu Bali dan semacamnya kepada mereka. apakah keseniman Bali itu? jawabannya sangat beragam. bahkan ada yang bingung, Bali itunya di mana ya? dinamakan arus bawah, yaitu aliran air yang mengalir di bawah permukaan. yang kedua, aliran bawah sadar atau perspektif berbeda dari permukaan dan di kedalaman diri mereka. 

mereka malah tak ingin identitas ke-Balian mereka terhadirkan di dalam karya dan diri mereka. aku bilang, baiklah, kita generasi muda itu, terpecah dan ingin menghapus identitas etnis dan kelokalan kita. tentunya di dalam pikiran otakku ini.

pameran mereka, secara garis kasarnya karena dipaksa untuk pameran bersama. ah, dan info, bakal banyak ada pameran orang-orang Bali dan Seniman Bali bulan ini. aku sudah tak ada di sini. setengah enam, diskusi ini diakhiri. dan seperti kebanyakan diskusi lainnya, sangat tidak memuaskan. ah, selalu saja tak memuaskan. apa yang pernah memuaskan di kota ini selain setengah-setengah?

pada akhirnya, aku memutuskan untuk melihat-lihat rak buku. oh Jogja, kenapa kau begitu membosankan!

aku menemukan sebuah buku dari Dewan Kesenian Jakarta, Seni Rupa Indonesia: dalam Kritik dan Esai. cukup menarik. aku coba bertanya ke beberapa orang yang sedang asyik berdiri dan mengobrol, beberapa di antaranya dari IVAA sendiri. ada yang bilang tak begitu paham buku itu ada di pasaran atau tidak. dan yang lainnya, aku bertanya perihal apakah ada buku karya seni atau sejarah seni secara kronologis dari zaman dulu hingga modern sekarang ini, jawabannya ragu-ragu. itu sudah membuktikan bahwa, wacana, intelektualitas, kedalaman filosofis tak terlalu dianggap di kota ini. dan, itu anehnya, terjadi di IVAA, yang membentuk dirinya sebagai tempat arsip kesenian. oh tidak!

sebelum pergi dan melangkahkan kaki keluar ruangan, aku dihadang oleh dua orang perempuan yang menginginkanku besok datang kembali ke IVAA. ada diskusi lagi menyoal identitas, seni, dan ke-Balian. satu di antaranya dari Kedai Kebun. pada akhirnya mengobrol dan aku utarakan sudut pandangku mengenai Jogja. mengenai Jogja yang bukan tempat intelektual. kenapa orang bisa betah di kota ini. mengenai beragam diskusi yang membosankan. atau keinginanku mengelilingi Jawa dan kota luar Jawa, untuk melihat para pembaca buku dan pesepeda. kejujuranku menyangkut ranah seni di kota ini, membuatnya sedikit mengkerut. sejujurnya nyaris siapa pun yang aku ajak bicara soal topik semacam itu. para seniman tak terbiasa mendengar kenyataan kota ini dan apa yang sebenarnya terjadi saat dilihat oleh orang luar. dan apa yang terjadi di dalam kesenian itu sendiri, sering dihindari untuk dibicarakan lebih lanjut. 

kota ini terlalu banyak menyimpan ketakutan, kepura-puraan, dan ketidakberanian menyelami diri sendiri secara mendalam. pada akhirnya, seni dan budaya, yang paling menjamur dan dibangga-banggakan pun, menjadi hal yang sangat membosankan dan terkesan dangkal. siapa pun yang memiliki cukup banya uang dan tahu apa yang aku maksud, pasti akan segera meninggalkan kota ini atau terpaksa hidup di kota ini karena sudah tak ada lagi kota yang bisa lebih menarik dari kota ini. ah, pada akhirnya, orang-orang pun sekedar terpaksa untuk hidup di kota ini atau tak memikirkan banyak hal sehingga mereka cukup betah dan nyaman.

dan seni, tak lagi cukup menarik kecuali hanya sekedar penghilang rasa jenuh yang juga tak akan hilang untuk setelahnya. 







 

Selasa, 07 Februari 2017

JOGJAKARTA: BATAS MANUSIAWI (FOTOGRAFI)



PERJALANAN, kadang, membuatku letih.
dan adakalanya, kau terasa bagai ingin berhenti. aku hidup di Jogja sekitar dua tahun. merasa kecewa dengan kota ini karena bagiku sangat membosankan dan tak memuaskanku secara intelektual. akhirnya selama dua bulan aku pergi. lalu kini kembali dengan anggapan kota ini mampu sedikit memulihkan keadaanku. tapi ternyata tidak. lalu apa yang tersisa?

aku persembahan catatan ini -blog mengembaraditanahasing- kepada diriku sendiri dan orang-orang yang mungkin kelak menemukan arti dari catatan-catatan perjalanan kecilku. seorang laki-laki, yang berjuang nyaris sendirian menghadapi beban besar kejiwaannya. lalu mengembara ke berbagai macam tempat. berharap sedikit bisa menekan kegilaan yang ada di dalam. dari proses inilah, aku sadar. di mana batas kemanusiaan, pertemanan, dan hubungan sosial itu berada. seorang bipolar, ditambah dengan yang ada di kepalanya, tak mudah untuk diberi tempat di masyarakatku berada. walau begitu, masih ada beberapa orang yang mau berteman denganku. dari sejarah pendek kehidupanku, aku cukup tahu, apa itu kehidupan dan sejauh mana seseorang masih bisa disebut manusiawi. aku tahu itu. sejauh mana seseorang mau berteman, menolong, dan menganggap yang lainnya ada sebagai manusia.