Selasa, 07 Februari 2017

JOGJA: INSTITUT FRANCAIS INDONESIA







hari ini aku berada di Institut Francais Indonesia. tepatnya 27 januari 2017. seminar Seni Rupa dan Islam, yang dibawakan oleh Yannick Lintz. seorang direktur departemen kesenian Islam dari di museum Louvre, Prancis. sayangnya, yah gratis, tapi sepi. seperti inilah tingkat intelektual di kota pelajar ini. sangat nyeleneh memang. bagaimana tidak nyleneh? direktur departemen kesenian Islam di Prancis, tapi yang datang sangat mencengangkan. yah, aku tak tahu ini konyol atau tidak. rasa-rasanya kebanyakan anak ISI juga tak berkepentingan. oh, kesenian Indonesia! Jogja! kontemporer! kontemporer! yah, kontemporer tak lain bukan adalah jangan terlalu sibuk belajar masa lalu atau yang kuno-kuno. dan terlalu berpikir dalam tentang sejarah sebuah benda seni dan semacamnya. itulah seni kontemporer bukan? 

penjelasan mengenai seni Islam di museum Louvre sangat universal. dulunya dimulai dari seksi seni muslim yang akhirnya berubah jadi seksi atau departemen seni Islam. dan berkisar tidak hanya menyoal kaligrafi, gambar masjid dan hal yang sudah umum. tapi benda umum, benda keseharian, atau hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Islam atau yang dihasilkan dari kerajaan dan masyarakat Islam. museumnya, yah dari istana raja-raja Prancis. sangat megah memang. dan pastinya hasil dari menjarah dunia, bukan?'

tapi lagi-lagi aku berpikir mengenai sedikitnya orang yang ada di ruang auditorium ini. Jogjakah? ini Jogja? seperti itulah yang seringkali aku tanyakan secara retoris ke diriku sendiri. dan bahasa Prancis yang berkeliaran di udara dari Yannick, yang diterjemahkan, pastinya membuat seminar ini sangat kaku dan kuno. apalagi, manusia muda sering bosan dengan yang kuno-kuno bukan?
Institut Francais Indonesia adalah salah satu yang sangat nyaman dan membuatku betah. terlebih jika sudah berada di perpustakaannya. kemarin aku juga di sini tapi hanya sebentar. karena sudah kelelahan setelah dari Kotagede. aku hanya mencari-cari beberapa buku yang mungkin menarik walau tak bisa membacanya. kebanyakan koleksinya berbahasa Prancis walau ada yang Inggris dan Indonesia. tapi, kalau aku boleh jujur, IFI memiliki koleksi buku yang sangat memikat. seperti yang berada di Freedom Institut di Jakarta yang kini nasibnya merana. yah, banyak perpus bagus memang nasibnya kalau tidak sepi peminat pastinya gulung tikar. kalau tidak hanya sekedar untuk tugas dan pekerjaan rumah, mengobrol, yang paling sering dan heboh atau klasik adalah untuk sekedar mengerat wifi gratis. seperti itulah manusia Indonesia modern. pengerat wifi gratis. aku salah satu di antaranya. 

tempat yang memiliki perpustakaan, auditorium, galeri seni, cafe, dan tempat nongkrong ini, sangat layak dinikmati. letaknya sebenarnya sangat tepat dan mudah diakses. terletak di jalan Sagan yang sangat dekat dengan Tugu, UGM, Bentara Budaya, Perpus Kota, dan benar-benar berada di pusat kota. tapi kenapa begitu sepi kecuali hanya sekedar untuk les dan ujian bahasa? yah, inilah Jogja sekarang ini. padahal, IFI, Goethe Institut, dan Bentara Budaya hanya ada di sedikit kota. warga Jogja harusnya bisa mengaksesnya dan memanfaatkannya secara lebih maksimal. tapi kenapa? sekali lagi, inilah Jogja. 

Jogja hari ini bukan tempat tumbuh berseminya gagasan, dan sedikit ruang intelektual yang sangat intens, serta kreativitas yang malu-malu. sangat malu-malu dan pengecut. dan di ruang seminar ini, sudah menjelaskan dekadensi Jogja di abad 21 ini. tidakkah Jogja hari ini memang sangat dekaden?
oh tidak! berapa persen anak seni yang ada di sini? rasa-rasanya tidak terlalu banyak. sangat tidak terlalu banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar