hari ini aku berada di Institut Francais Indonesia. tepatnya 27 januari 2017. seminar Seni Rupa dan Islam, yang
dibawakan oleh Yannick Lintz. seorang direktur departemen kesenian
Islam dari di museum Louvre, Prancis. sayangnya, yah gratis, tapi sepi.
seperti inilah tingkat intelektual di kota pelajar ini. sangat nyeleneh
memang. bagaimana tidak nyleneh? direktur departemen kesenian Islam di
Prancis, tapi yang datang sangat mencengangkan. yah, aku tak tahu ini
konyol atau tidak. rasa-rasanya kebanyakan anak ISI juga tak
berkepentingan. oh, kesenian Indonesia! Jogja! kontemporer! kontemporer!
yah, kontemporer tak lain bukan adalah jangan terlalu sibuk belajar
masa lalu atau yang kuno-kuno. dan terlalu berpikir dalam tentang
sejarah sebuah benda seni dan semacamnya. itulah seni kontemporer bukan?
penjelasan mengenai seni
Islam di museum Louvre sangat universal. dulunya dimulai dari seksi
seni muslim yang akhirnya berubah jadi seksi atau departemen seni Islam.
dan berkisar tidak hanya menyoal kaligrafi, gambar masjid dan hal yang
sudah umum. tapi benda umum, benda keseharian, atau hal-hal yang
berkaitan dengan kebudayaan Islam atau yang dihasilkan dari kerajaan dan
masyarakat Islam. museumnya, yah dari istana raja-raja Prancis. sangat
megah memang. dan pastinya hasil dari menjarah dunia, bukan?'
tapi lagi-lagi aku
berpikir mengenai sedikitnya orang yang ada di ruang auditorium ini.
Jogjakah? ini Jogja? seperti itulah yang seringkali aku tanyakan secara
retoris ke diriku sendiri. dan bahasa Prancis yang berkeliaran di udara
dari Yannick, yang diterjemahkan, pastinya membuat seminar ini sangat
kaku dan kuno. apalagi, manusia muda sering bosan dengan yang kuno-kuno
bukan?
Institut Francais
Indonesia adalah salah satu yang sangat nyaman dan membuatku betah.
terlebih jika sudah berada di perpustakaannya. kemarin aku juga di sini
tapi hanya sebentar. karena sudah kelelahan setelah dari Kotagede. aku
hanya mencari-cari beberapa buku yang mungkin menarik walau tak bisa
membacanya. kebanyakan koleksinya berbahasa Prancis walau ada yang
Inggris dan Indonesia. tapi, kalau aku boleh jujur, IFI memiliki koleksi
buku yang sangat memikat. seperti yang berada di Freedom Institut di
Jakarta yang kini nasibnya merana. yah, banyak perpus bagus memang
nasibnya kalau tidak sepi peminat pastinya gulung tikar. kalau tidak
hanya sekedar untuk tugas dan pekerjaan rumah, mengobrol, yang paling
sering dan heboh atau klasik adalah untuk sekedar mengerat wifi gratis.
seperti itulah manusia Indonesia modern. pengerat wifi gratis. aku salah
satu di antaranya.
tempat yang memiliki
perpustakaan, auditorium, galeri seni, cafe, dan tempat nongkrong ini,
sangat layak dinikmati. letaknya sebenarnya sangat tepat dan mudah
diakses. terletak di jalan Sagan yang sangat dekat dengan Tugu, UGM,
Bentara Budaya, Perpus Kota, dan benar-benar berada di pusat kota. tapi
kenapa begitu sepi kecuali hanya sekedar untuk les dan ujian bahasa?
yah, inilah Jogja sekarang ini. padahal, IFI, Goethe Institut, dan
Bentara Budaya hanya ada di sedikit kota. warga Jogja harusnya bisa
mengaksesnya dan memanfaatkannya secara lebih maksimal. tapi kenapa?
sekali lagi, inilah Jogja.
Jogja hari ini bukan
tempat tumbuh berseminya gagasan, dan sedikit ruang intelektual yang
sangat intens, serta kreativitas yang malu-malu. sangat malu-malu dan
pengecut. dan di ruang seminar ini, sudah menjelaskan dekadensi Jogja di
abad 21 ini. tidakkah Jogja hari ini memang sangat dekaden?
oh tidak! berapa persen anak seni yang ada di sini? rasa-rasanya tidak terlalu banyak. sangat tidak terlalu banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar