aku memegang sekaligus membaca katalog data IVAA #2 REKA ALAM: PRAKTIK SENI VISUAL DAN ISU LINGKUNGAN DI INDONESIA (DARI MOOI INDIE HINGGA REFORMASI) berbarengan
dengan saat Tia sedang menjelaskan seniman Bali beserta perubahan karya
dan diri mereka. ini keduakalinya aku ke IVAA, setelah kemarin juga
menempatkan diriku di sini dalam sebuah diskusi perihal ke-Balian.
siang atau tepatnya sore
ini, udara begitu panas. keringat berkucuran di balik bajuku. Tia
tertatih-tatih menjelaskan presentasinya. Sita, aku rasa lebih baik jika
menyangkut berbicara di depan publik. mungkin dia, si Tia, masih baru
dalam hal ini atau tak terbiasa. entah kenapa, aku lebih tertarik
meneruskan membaca REKA ALAM.
Sita lebih bagus dalam
merangkum inti pikiran dari Tia. apa yang dibicarakan tak jauh dari
kemarin. bagaimana kita mengenali Bali dalam seni rupa? bagaimana
identifikasi ini berlangsung di Yogyakarta? semacam itulah. dan sekali
lagi, udara begitu panas. kipas angin di belakangku nyaris tak bisa
berbuat apa-apa. oh Jogja!
identitas. identifikasi.
komodifikasi. komersialisasi. inti dari apa yang ingin dibicarakan
pembicara kedua. dan dia mempermasalahkan istilah yang baginya tumpang
tindih atau mencoba menguraikan hal itu.
diskusi hari ini,
pembicaranya tak terlalu menggairahkan. terbata-bata. sangat tak
interaktif. miskin ekspresi. dan terlalu kaku. lebih baik, si Sita atau
moderetornya saja yang kapan-kapan jadi pembicara. banyak seniman yang
tak memiliki bakat untuk bicara di depan publik. apakah ini sejenis
ketidakpercayaan diri yang sudah umum di manapun?
sekarang sampai pada
penjelasan abstrak ekspresionistik Bali. apakah ada kaitan dengan akar
ke-Balian? dijawab oleh pembicara sendiri, terjadi epigonisme dan karena
pasar. aku melihat sekeliling, wajah-wajah lelah dan mengantuk. juga
diriku sendiri. mungkin butuh Eko Prasetyo di sini untuk membuat aku
tertawa sekaligus berpikir.
perempuan dan laki-laki
jumlahnya nyaris seimbang. dalam hal gender, seni sudah cukup merata
walau masih didominasi laki-laki. dan pembicara sangat membuatku bosan.
dia tak pandai bicara. kelak, jika ingin membuat orang lebih tertarik ke
sini, IVAA harus mulai serius mencari pembicara yang bisa menghidupkan
dan menggairahkan suasana.
kelelompok.
ketidakpercayaan diri. pasar. epigonisme. inti dari yang dikatakan
pembicara kedua, Anzieb. saat dia menyudahi yang ia katakan, Sita pun
mencoba menjelaskan dan membuka pertanyaan. sial, tak ada yang
mengangkat tangan. malah perempuan muda, yang tadi ngobrol denganku yang
jadi anggota baru IVAA lah yang memulainya. setelah ini, mungkin aku.
archive showcase, Melihat Identitas Etnis dalam Seni Rupa: berdiri di antara... apa?,
dibicarakan oleh penanya di depanku. aku nyaris hampir tak ingat ada
itu. dia mewakili salah satu kebosananku bahwa materi dan presentasinya
tak dalam dan hanya sekedar awal. aku menyetujuinya dan mengangguk. lalu
pembicaraan berputar pada masalah identitas. hingga giliranku bertanya,
mencoba berbicara mengenai posisi kesenian di Indonesia kelak jika
Tiongkok, India, dan negara Asia lainnya tumbuh besar menggantikan
posisi Barat, apa yang akan terjadi dengan posisi seniman dan kesenian
di Indonesia yang mana sekarang kita, di hampir semua bidang hanya
konsumen dan epigon? baru berbicara sangat sedikit, Sita sudah memberi
isyarat waktu akan habis. pertanyaanku dijawab secara singkat oleh
Anzieb dalam logika pasar atau komersialisme. jika seniman hanya ingin
populer dan mendapatkan kehidupan nyaman. pada akhirnya seni hanya
sekedar jatuh pada tujuan materi. itulah inti dari menjawab
pertanyaanku. dan aku, semakin ditelan oleh pesimisme Jogja. kota yang
sangat tak memuaskan secara intelektual. aku semakin bosan dengan
berbagai macam ruang diskusi.
acara selesai,
orang-orang membubarkan diri, dan aku bergabung untuk sedikit
berbincang. sekedar obrolan singkat dan perubahan raut muka sudah
menjelaskan banyak hal kepadaku. orang-orang seni pun kebanyakan buta
terhadap wacana terlebih hal yang lebih dalam dan filosofis. dan mereka
memiliki mimik muka ketakutan jika harus dipaksa untuk membicarakan hal
itu. perbincangan intelektual yang tak terlalu dalam sudah membuat
mereka menjadi bertahan dan sangat tak nyaman. tidak di sastra, bidang
budaya, lingkungan hidup, agama dan lainnya. seni mengalami kasus yang
sama di kepala para senimannya. hal yang berkaitan dengan kedalaman
filosofis dan wacana, semakin menjauh dari kota ini. sudah menjadi
sangat umum dan luar biasa jelas dilihat. namun begitu, sedikit yang
berani mengakuinya. kejujuran dalam hal intelektualitas dan diri, sangat
jarang ditemui di mana-mana. kota ini akhirnya menjadi dekaden.
walaupun begitu,
keberanian anggota baru IVAA untuk membicarakan diri sendiri, atau
pembelaan mereka terhadap acara yang mereka buat dengan alasan masih
belajar dan baru memulainya, masih bisa aku beri tepuk tangan. walau
hanya separuh. dan tentunya tak bisa terus menerus seperti itu jika
berkaitan dengan acara publik yang dilihat dan didatangi beragam jenis
orang.
ah, aku semakin malas
berada terlalu lama di kota ini. kota yang uang sewa kosnya sangat
kapitalis dan kejam. ruang publik yang penuh dengan kegelisahan dan
ketakutan. kedamaian semu yang mudah rusak dan hancur. pembaca buku yang
sangat minim. pesepeda yang semakin sangat susah dicari. kemacetan.
panas. kelebihan penduduk. ketololan universitas-universitas besar.
dunia sastra dan seni yang mengalami kasus yang hampir mirip. dan budaya
yang ditelan oleh globalisasi yang tak tanggung-tanggung diterima
dengan besar-besaran. globalisasi tanpa ciptaan dan inovasi yang kokoh.
sekedar konsumen dan epigon.
apakah yang masih tersisa dari Jogja dan yang perlu dibanggakan darinya?
keramahtamahan. dunia yang masih tak seganas Jakarta. biaya hidup cukup murah. banyak galeri seni, acara budaya dan musik, perbincangan sastra, cafe yang menjamur, dan pemandangan alam. itu pun akhirnya, membuat orang yang cukup sadar diri, pasti akan bosan dibuatnya. hidup hanya untuk ke cafe, galeri seni, pameran, diskusi, ke alam, pacaran, kuliah, mencari uang, dan berputar terus hanya di seputar itu. kehidupan yang sangat monoton dan menjengkelkan.
akhirnya aku memutuskan untuk menyelesaikan katalog kecil REKA ALAM. tak
ada tiga jam satu buku kecil telah aku konsumsi dan cerna. itupun
disela oleh berbagai macam hal. dari sekitar jam 15:00-18:00 lebih.
katalog yang sangat menarik dan kelak ingin aku miliki.
aku sudah cukup lama
bosan dengan kesusastraan di kota ini. begitu juga dengan keseniannya.
dengan tertatih aku meminta ijin untuk pulang dan tentunya basa-basi.
dan di kepalaku terngiang-ngiang suatu suara: "seorang filsuf tak akan
mudah diterima di mana pun. bahkan di ruang yang terkesan intelektual di
kota ini".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar