Sabtu, 18 Februari 2017

JOGJA: INDONESIAN VISUAL ART ARCHIVE 2










aku memegang sekaligus membaca katalog data IVAA #2 REKA ALAM: PRAKTIK SENI VISUAL DAN ISU LINGKUNGAN DI INDONESIA (DARI MOOI INDIE HINGGA REFORMASI) berbarengan dengan saat Tia sedang menjelaskan seniman Bali beserta perubahan karya dan diri mereka. ini keduakalinya aku ke IVAA, setelah kemarin juga menempatkan diriku di sini dalam sebuah diskusi perihal ke-Balian. 

siang atau tepatnya sore ini, udara begitu panas. keringat berkucuran di balik bajuku. Tia tertatih-tatih menjelaskan presentasinya. Sita, aku rasa lebih baik jika menyangkut berbicara di depan publik. mungkin dia, si Tia, masih baru dalam hal ini atau tak terbiasa. entah kenapa, aku lebih tertarik meneruskan membaca REKA ALAM. 

Sita lebih bagus dalam merangkum inti pikiran dari Tia. apa yang dibicarakan tak jauh dari kemarin. bagaimana kita mengenali Bali dalam seni rupa? bagaimana identifikasi ini berlangsung di Yogyakarta? semacam itulah. dan sekali lagi, udara begitu panas. kipas angin di belakangku nyaris tak bisa berbuat apa-apa. oh Jogja!

identitas. identifikasi. komodifikasi. komersialisasi. inti dari apa yang ingin dibicarakan pembicara kedua. dan dia mempermasalahkan istilah yang baginya tumpang tindih atau mencoba menguraikan hal itu. 

diskusi hari ini, pembicaranya tak terlalu menggairahkan. terbata-bata. sangat tak interaktif. miskin ekspresi. dan terlalu kaku. lebih baik, si Sita atau moderetornya saja yang kapan-kapan jadi pembicara. banyak seniman yang tak memiliki bakat untuk bicara di depan publik. apakah ini sejenis ketidakpercayaan diri yang sudah umum di manapun? 

sekarang sampai pada penjelasan abstrak ekspresionistik Bali. apakah ada kaitan dengan akar ke-Balian? dijawab oleh pembicara sendiri, terjadi epigonisme dan karena pasar. aku melihat sekeliling, wajah-wajah lelah dan mengantuk. juga diriku sendiri. mungkin butuh Eko Prasetyo di sini untuk membuat aku tertawa sekaligus berpikir.

perempuan dan laki-laki jumlahnya nyaris seimbang. dalam hal gender, seni sudah cukup merata walau masih didominasi laki-laki. dan pembicara sangat membuatku bosan. dia tak pandai bicara. kelak, jika ingin membuat orang lebih tertarik ke sini, IVAA harus mulai serius mencari pembicara yang bisa menghidupkan dan menggairahkan suasana.

kelelompok. ketidakpercayaan diri. pasar. epigonisme. inti dari yang dikatakan pembicara kedua, Anzieb. saat dia menyudahi yang ia katakan, Sita pun mencoba menjelaskan dan membuka pertanyaan. sial, tak ada yang mengangkat tangan. malah perempuan muda, yang tadi ngobrol denganku yang jadi anggota baru IVAA lah yang memulainya. setelah ini, mungkin aku.

archive showcase, Melihat Identitas Etnis dalam Seni Rupa: berdiri di antara... apa?, dibicarakan oleh penanya di depanku. aku nyaris hampir tak ingat ada itu. dia mewakili salah satu kebosananku bahwa materi dan presentasinya tak dalam dan hanya sekedar awal. aku menyetujuinya dan mengangguk. lalu pembicaraan berputar pada masalah identitas. hingga giliranku bertanya, mencoba berbicara mengenai posisi kesenian di Indonesia kelak jika Tiongkok, India, dan negara Asia lainnya tumbuh besar menggantikan posisi Barat, apa yang akan terjadi dengan posisi seniman dan kesenian di Indonesia yang mana sekarang kita, di hampir semua bidang hanya konsumen dan epigon? baru berbicara sangat sedikit, Sita sudah memberi isyarat waktu akan habis. pertanyaanku dijawab secara singkat oleh Anzieb dalam logika pasar atau komersialisme. jika seniman hanya ingin populer dan mendapatkan kehidupan nyaman. pada akhirnya seni hanya sekedar jatuh pada tujuan materi. itulah inti dari menjawab pertanyaanku. dan aku, semakin ditelan oleh pesimisme Jogja. kota yang sangat tak memuaskan secara intelektual. aku semakin bosan dengan berbagai macam ruang diskusi.

acara selesai, orang-orang membubarkan diri, dan aku bergabung untuk sedikit berbincang. sekedar obrolan singkat dan perubahan raut muka sudah menjelaskan banyak hal kepadaku. orang-orang seni pun kebanyakan buta terhadap wacana terlebih hal yang lebih dalam dan filosofis. dan mereka memiliki mimik muka ketakutan jika harus dipaksa untuk membicarakan hal itu. perbincangan intelektual yang tak terlalu dalam sudah membuat mereka menjadi bertahan dan sangat tak nyaman. tidak di sastra, bidang budaya, lingkungan hidup, agama dan lainnya. seni mengalami kasus yang sama di kepala para senimannya. hal yang berkaitan dengan kedalaman filosofis dan wacana, semakin menjauh dari kota ini. sudah menjadi sangat umum dan luar biasa jelas dilihat. namun begitu, sedikit yang berani mengakuinya. kejujuran dalam hal intelektualitas dan diri, sangat jarang ditemui di mana-mana. kota ini akhirnya menjadi dekaden.

walaupun begitu, keberanian anggota baru IVAA untuk membicarakan diri sendiri, atau pembelaan mereka terhadap acara yang mereka buat dengan alasan masih belajar dan baru memulainya, masih bisa aku beri tepuk tangan. walau hanya separuh. dan tentunya tak bisa terus menerus seperti itu jika berkaitan dengan acara publik yang dilihat dan didatangi beragam jenis orang.

ah, aku semakin malas berada terlalu lama di kota ini. kota yang uang sewa kosnya sangat kapitalis dan kejam. ruang publik yang penuh dengan kegelisahan dan ketakutan. kedamaian semu yang mudah rusak dan hancur. pembaca buku yang sangat minim. pesepeda yang semakin sangat susah dicari. kemacetan. panas. kelebihan penduduk. ketololan universitas-universitas besar. dunia sastra dan seni yang mengalami kasus yang hampir mirip. dan budaya yang ditelan oleh globalisasi yang tak tanggung-tanggung diterima dengan besar-besaran. globalisasi tanpa ciptaan dan inovasi yang kokoh. sekedar konsumen dan epigon.

apakah yang masih tersisa dari Jogja dan yang perlu dibanggakan darinya? 

keramahtamahan. dunia yang masih tak seganas Jakarta. biaya hidup cukup murah. banyak galeri seni, acara budaya dan musik, perbincangan sastra, cafe yang menjamur, dan pemandangan alam. itu pun akhirnya, membuat orang yang cukup sadar diri, pasti akan bosan dibuatnya. hidup hanya untuk ke cafe, galeri seni, pameran, diskusi, ke alam, pacaran, kuliah, mencari uang, dan berputar terus hanya di seputar itu. kehidupan yang sangat monoton dan menjengkelkan.
akhirnya aku memutuskan untuk menyelesaikan katalog kecil REKA ALAM. tak ada tiga jam satu buku kecil telah aku konsumsi dan cerna. itupun disela oleh berbagai macam hal. dari sekitar jam 15:00-18:00 lebih. katalog yang sangat menarik dan kelak ingin aku miliki. 

aku sudah cukup lama bosan dengan kesusastraan di kota ini. begitu juga dengan keseniannya. dengan tertatih aku meminta ijin untuk pulang dan tentunya basa-basi. dan di kepalaku terngiang-ngiang suatu suara: "seorang filsuf tak akan mudah diterima di mana pun. bahkan di ruang yang terkesan intelektual di kota ini".




Tidak ada komentar:

Posting Komentar