Kamis, 16 Februari 2017

JOGJA: INDONESIAN VISUAL ART ARCHIVE (IVAA)








jalanan Jogja di siang hari memang brengsek. yah, seperti itulah kota yang mulai rusak dan sekarat. macet dan panas benar-benar sangat menjengkelkan. dari sekitar UGM hingga ke Imogiri Timur, terik matahari benar-benar membuat kulit terasa terpanggang. kemacetan menggurita di bundaran UGM, jalan Suroto, kisaran UKDW dan berlanjut hingga membuatku malas menuliskannya. pohon-pohon yang semakin sedikit dan banyak ditebang, membuat kondisi jalanan beraspal semakin sengsara. kota kecil yang hampir tamat.

hari ini, 16 februari 2017, aku berada di IVAA atau Indonesia Visual Arts Archive yang secara asitektur mengingatkanku pada Kedai Kebun. cukup nyaman dan teduh dipandang. warna cokelat kayu yang sangat dominan, ventilasi angin yang menyegarkan, beserta penataan penerimaan cahaya, membuat tempat ini sejujurnya lebih menyenangkan dari pada Langgeng. sayangnya, setelah masuk dan sedikit mengamati, tempat ini tak terlalu terawat. banyak debu dan semacamnya, terlebih di lantai atas. ciri-ciri kekurangan pendanaan sudah langsung terlihat. 

di depan pintu masuk, disediakan teh beserta gula dan gelas. sedikit cemilan. rasa-rasanya, itu sudah menunjukkan kalau tempat ini mulai menderita kemiskinan. sebuah tempat yang seharusnya bisa lebih baik kalau benar-benar didukung oleh banyak pihak. terlebih,sebuah tempat yang jarang ada di negara ini. tempat yang mencoba mendokumentasikan segala hal yang berbau seni: visual terkhusus. mirip kisah PDS HB Jassin yang sekarat di bidang sastra. atau mungkin, tebakanku yang salah. untuk saat ini, aku lagi tak ingin bertanya-tanya. 

tempat ini terlalu menjorok ke dalam dan sangat kurang strategis. dan jika sangat tak populer, itu memang sangat wajar. hanya para seniman dan yang tertarik dan berkaitanlah yang tahu letak dan keberadaannya. seperti halnya anak muda yang tadi aku tanyai di jalan yang benar-benar tak tahu apa-apa. dan yang lebih tahu selalu para tukang tambal ban. sungguh mengagumkan peradaban otak baru generasi muda kita! bahkan banyak anak seni pun jarang atau malas untuk ke sini dengan berbagai macam hal yang bisa dijadikan alibi. IVAA terletak di jalan Ireda, dan masuk ke gang kecil Hiperkes. mengingatkanku akan keterpencilan WALHI di Kotagede. seolah-olah sedang bersembunyi dari kota yang mulai menggelisahkan.

aku bersama temanku, naik motor, ke Imogiri untuk mengantarkan buku pak Narto ke rumah pak Adi. lalu secepat kilat sampai di tempat ini. sekali waktu, aku langsung nyaman dan bertengger di lantai atas setelah menemukan buku yang menarik, Raden Saleh: The beginning of Modern Indonesia Painting dan sebuah buku tebal dari Martin Suryajaya, Sejarah Estetika. banyak buku seni yang sangat menarik di sini. rasa-rasanya aku akan betah jika tinggal di sini atau sekitarnya. menghabiskan waktu untuk sekedar membaca, menulis, mencari gagasan atau yah, hanya mengigau dan melamun.

ada buku-buku soal Affandi, sejarah seni, dan katalog. dan tentunya, lampu sempat mati sebentar. lalu, hampir setengah jam, acara belum dimulai. yah, yang jelas, itu menandakan bahwa aku masih di Indonesia. jam karet adalah seni paling populer dan sangat digandrungi masyarakat Jawa, dan hampir menjadi budaya bangsa ini. oh ya, kamu harus memiliki kesabaran dan mencoba menghapus pola pikir Barat dan Asia Timur mengenai ketepatan waktu. ketepatan waktu mungkin dipandang sebagai aib. di mana orang dirasa kurang sabar dan menganggap segala sesuatunya terlalu kaku dan terburu-buru. seandainya kau tinggal di sini. kau bisa mati perlahan-lahan dalam kerjaan yang terbengkalai atau kebosanan yang lamban. dan jika kau berpikir untuk mencari cara untuk menghabiskan waktu segila-gilanya dan semalas-malasnya. Jogja mungkin tujuan yang harus dimasukkan ke dalam daftar paling menarik dari seluruh kota di Jawa. dan tujuan yang paling menarik untuk bunuh diri dalam kejenuhan pada akhirnya.

waktu terus bergerak, dan acara seolah-olah bagai diabaikan dengan begitu bebasnya. kapan acara diskusi akan dimulai? entahlah. Jogja ditambah seni, paduan berbahaya bagi kemalasan dan keterlambatan. 

aku menatap baling-baling kipas angin yang terus berputar tanpa lelah. mengarahkan mata ke jendela, prohon kresen yang membawakan angin segar dan teduh. langit sudah agak mendung. aku membolak-balikkan buku Martin dengan agak malas. buku tebal ini, sedikit menyinggung karya seni modern atau tokoh-tokoh seni secara langsung dan lebih menjelaskan pandangan para filsuf mengenai keindahan atau estetika. rasa-rasanya, aku saat ini lebih tertarik dengan biografinya Raden Salah.

hampir mendekati jam 16:00, acara dimulai. untung aku orang Indonesia!
diskusi atau bisa dibilang perbincangan kali ini, lebih memandang kesenian antara Bali dan Jogja dari Pameran Arus Bawah yang kebanyakan berkaitan dengan Bali. di Bali, keindahan sangat penting sehingga berkaitan erat antara ritual, agama, dan kesenian. tapi bagi salah seorang yang bicara, menganggap orang Bali pun seringkali tak tahu asal mula atau sejarah yang mereka buat: kue ritual dan lainnya. 

Dewo, dengan lukisan Without Predator, secara filosofis sangat erat dengan konsep ekologi dan gerakan lingkungan hari ini. sedikit saja makhluk hidup di hilangkan dari lingkaran kehidupan. akan terjadi masalah besar.setidaknya, dia salah satu yang cukup punya pemikiran di antara yang lainnya dan cukup pandai dalam menjelaskan gagasan dan pikirannya.

Seni, Bali, dan Identitas Etnis. sekaranglah aku di sini. dikelilingi banyak anak muda. suara menggema dari pembicara diiringi layar yang bermunculan dengan karya-karya mereka. dengan bahasa teraduk-aduk, membuat tawa cukup renyah menguar di sekeliling. bisa dibilang proses kreatif mereka menarik. yang jelas, unsur seni abstrak masih kuat menguasai anak-anak dari Bali atau yang pernah berkaitan dengan Bali.

banyak dari mereka, sejak kecil, unsur seni sudah masuk di dalam kehidupan. logat Bali mereka sangat kental. ada yang membuatku ingin tertawa, seperti cerita Putu, yang memutuskan kuliah di ekonomi, dirasa sulit, dan memutuskan ke Jogja, mengambil seni. seni adalah pelarian. sebagian orang menganggap seni jalan termudah untuk mengekspresikan diri dari pada bidang keilmuan lain yang kaku. dan yang paling menarik dari semuanya adalah kebingungan dalam menyusun atau menggunakan bahasa untuk mewakili perasaan mereka atau objek yang ingin dibicarakan. secara garis besar, mereka semua anak muda gelisah yang mudah bosan dengan teknik dan bentuk kesenian mereka.

kenapa orang Bali pindah ke Jogja? pertanyaan dari seorang perempuan kecil, mungil, dan cukup cantik. sebuah pertanyaan yang menarik.

orang Bali baru lihat seni sesungguhnya, setelah mereka keluar dari Bali. seni, lebih dekat dengan ritual dan dekat dengan kehidupan mereka. ada yang tak betah karena pasar seni membuat keadaan semakin membingungkan. mana seni yang sesungguhnya, yang syarat dengan wacana atau sekedar jualan. dan banyak yang tertarik ke Jogja karena Jogja lebih menarik. dan dianggap sebagai pusat kesenian sesungguhnya.

pertanyaanku, apakah pernah ada yang bosan dengan Jogja? anehnya tidak ada! dan pertanyaan, atau penjelasan selalu terbatas dan dibatasi. suatu hal yang menjengkelkan dan sangat terlihat jelas dunia intelektualitas Jogja. aku bosan di kota ini dan mereka tidak bosan! oh, mengagumkan!

pertanyaan lainnya, dari seorang perempuan berbaju hitam, mempertanyakan apakah sejak kecil mereka dipaksa keluarga atau bagaimana, dalam mengenal kesenian? jawaban mereka karena dipaksa lingkungan. bukan keluarga. pengaruh lingkungan luar biasa kuat bagi mereka. sejak kecil mereka sudah masuk dalam dunia itu. entah dalam ritual, upacara, tari, atau lainnya. lingkungan memengaruhi arah kesenian mereka dengan begitu kuatnya. ritual seolah menuntut mereka untuk menguasai minimal satu kesenian, tarian, atau alat musik. dan semua tergantung daerah, terkadang.

kenapa melukis? jawaban salah satunya, karena yang paling mudah dan menyerah juga pada akhirnya.

dalam hitung jari, aku sudah meninggalkan kota yang tak memuaskan ini. entah kenapa, orang-orang sudah puas dengan kota yang tak menarik ini kecuali hanya sekedar makan dan sedikit melupakan dunia.

dengan usia kalian yang masih muda, kemudian sudah dapat suatu ciri khas dan mungkin posisi sekarang mereka atau teman-teman ini ada di mana? guna evaluasi pribadi dan lainnya.  sebuah pertanyaan dari seorang perempuan dengan tubuh yang agak gemuk. jawaban mereka, masih tetap bereksplorasi dan belum menemukan ciri khas. sangat susah bagi mereka mencari ciri khas bagi mereka. mereka hanya ingin tetap sekedar berkarya dan semacam itu. dan ada yang masih sangat labil. pernah ada yang ingin mau masuk ketentaraan dan bolak-balik memikirkan itu. secara keseluruhan masih tak terlalu memiliki ciri khas atau karakter. di antara mereka, ada yang tak mau membatasi diri dengan ciri khas. bahkan ada yang tak mau memikirkannya. dan tak terlalu tahu banyak mengenai objek yang mereka pamerkan. 

kualitas wacana, dan kedalaman filosifis di balik para seniman muda sangatlah buruk. yah, itulah sebabnya aku bosan dengan kota ini. siapa pun yang terjerumus di kota ini, tiba-tiba jadi tolol. 

karya dulu baru konsep. seperti itulah yang akhirnya dikatakan kurator mereka, Sita, seorang perempuan cantik yang sama gelisahnya dengan mereka. dia menjelaskan kegelisan mereka dan kesinisan salah satu dari mereka yang tak mau disebut seniman Bali. sejujurnya, semuanya sudah kuduga dari awal. hanya saja pembicaraan terlalu dibatasi dan apa yang kukatakan selalu sedikit ditangkap.
 
pertanyaan lagi, pameran barengan itu zona nyaman atau beban? jawaban di antara mereka, ragu-ragu, susah jawab, dan kesulitan mengekspresikannya. ada yang nyaman. tak berpikir soal itu. tak ada beban dan santai saja. dan antara keduanya, nyaman dan beban. ketika membawa nama Bali, ada yang berkata sangat asyik saja atau malah dapat pengalaman baru. sebuah tantangan dan mencoba menjadi berbeda saat berada di pameran kelompok. intinya, biasa saja walau coba ditutupi. 

apa sih perspektif kesenian mengenai arus bawah? pertanyaan lain dari teman laki-laki mereka. dijawab Sita, yang juga pernah bertanya keseniman, apa itu Bali dan semacamnya kepada mereka. apakah keseniman Bali itu? jawabannya sangat beragam. bahkan ada yang bingung, Bali itunya di mana ya? dinamakan arus bawah, yaitu aliran air yang mengalir di bawah permukaan. yang kedua, aliran bawah sadar atau perspektif berbeda dari permukaan dan di kedalaman diri mereka. 

mereka malah tak ingin identitas ke-Balian mereka terhadirkan di dalam karya dan diri mereka. aku bilang, baiklah, kita generasi muda itu, terpecah dan ingin menghapus identitas etnis dan kelokalan kita. tentunya di dalam pikiran otakku ini.

pameran mereka, secara garis kasarnya karena dipaksa untuk pameran bersama. ah, dan info, bakal banyak ada pameran orang-orang Bali dan Seniman Bali bulan ini. aku sudah tak ada di sini. setengah enam, diskusi ini diakhiri. dan seperti kebanyakan diskusi lainnya, sangat tidak memuaskan. ah, selalu saja tak memuaskan. apa yang pernah memuaskan di kota ini selain setengah-setengah?

pada akhirnya, aku memutuskan untuk melihat-lihat rak buku. oh Jogja, kenapa kau begitu membosankan!

aku menemukan sebuah buku dari Dewan Kesenian Jakarta, Seni Rupa Indonesia: dalam Kritik dan Esai. cukup menarik. aku coba bertanya ke beberapa orang yang sedang asyik berdiri dan mengobrol, beberapa di antaranya dari IVAA sendiri. ada yang bilang tak begitu paham buku itu ada di pasaran atau tidak. dan yang lainnya, aku bertanya perihal apakah ada buku karya seni atau sejarah seni secara kronologis dari zaman dulu hingga modern sekarang ini, jawabannya ragu-ragu. itu sudah membuktikan bahwa, wacana, intelektualitas, kedalaman filosofis tak terlalu dianggap di kota ini. dan, itu anehnya, terjadi di IVAA, yang membentuk dirinya sebagai tempat arsip kesenian. oh tidak!

sebelum pergi dan melangkahkan kaki keluar ruangan, aku dihadang oleh dua orang perempuan yang menginginkanku besok datang kembali ke IVAA. ada diskusi lagi menyoal identitas, seni, dan ke-Balian. satu di antaranya dari Kedai Kebun. pada akhirnya mengobrol dan aku utarakan sudut pandangku mengenai Jogja. mengenai Jogja yang bukan tempat intelektual. kenapa orang bisa betah di kota ini. mengenai beragam diskusi yang membosankan. atau keinginanku mengelilingi Jawa dan kota luar Jawa, untuk melihat para pembaca buku dan pesepeda. kejujuranku menyangkut ranah seni di kota ini, membuatnya sedikit mengkerut. sejujurnya nyaris siapa pun yang aku ajak bicara soal topik semacam itu. para seniman tak terbiasa mendengar kenyataan kota ini dan apa yang sebenarnya terjadi saat dilihat oleh orang luar. dan apa yang terjadi di dalam kesenian itu sendiri, sering dihindari untuk dibicarakan lebih lanjut. 

kota ini terlalu banyak menyimpan ketakutan, kepura-puraan, dan ketidakberanian menyelami diri sendiri secara mendalam. pada akhirnya, seni dan budaya, yang paling menjamur dan dibangga-banggakan pun, menjadi hal yang sangat membosankan dan terkesan dangkal. siapa pun yang memiliki cukup banya uang dan tahu apa yang aku maksud, pasti akan segera meninggalkan kota ini atau terpaksa hidup di kota ini karena sudah tak ada lagi kota yang bisa lebih menarik dari kota ini. ah, pada akhirnya, orang-orang pun sekedar terpaksa untuk hidup di kota ini atau tak memikirkan banyak hal sehingga mereka cukup betah dan nyaman.

dan seni, tak lagi cukup menarik kecuali hanya sekedar penghilang rasa jenuh yang juga tak akan hilang untuk setelahnya. 







 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar