hal yang memisahkan kita sebenarnya
adalah perasaan kesepian yang mendalam.
- Paul Salopek
hari esok cahaya terang hidup mengambang
- Leo Kristi
Sang Mutiara Priangan dari Timur, seperti itulah Tasikmalaya disebut. apa benar seindah mutiara? semenjak perjalanan dari Jogja menuju Stasiun Tasikmalaya aku pun sudah sangat pesimis. apakah ada kota yang cukup layak dan indah di pulau Jawa? ah, aku bergerak ke arah barat menuju kota Tasik karena ingin melihat Leo Kristi manggung dan bertemu dengan pak Roman Saragih. dan dibalik kedua hal itu, aku ingin melihat kota Tasikmalaya dari dekat. walau hanya sebentar.
sejujurnya, Bandung saja, yang sering disebut Paris van Java pun terkesan cukup berantakan. jika tak ada Belanda di Indonesia, kota tua Bandung atau kawasan jalan Asia-Afrika, hingga Braga sampai Dago tak akan pernah ada. kota Bandung adalah kota bekas. jadi apa yang dikagumi oleh para wisatawan dan masyarakat Bandung sendiri adalah kota yang dibuat, dirancang, dan ditata oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda bukan pemerintah Bandung hari ini yang nyaris tak membangun apa-apa kecuali sedikit. jika seluruh bangunan tua atau kolonial kota Bandung dihapus, apa jadinya kota yang dijuluki Paris van Java itu? apa jadinya pariwisata di Bandung? karena saat berjalan di kota Bandung, aku bagaikan sedang berjalan di sebuah kota yang terpaksa ditinggalkan oleh pihak Belanda. sebuah kota bekas yang dipuja yang kenyataannya bukan hasil dari masyarakat Bandung atau Sunda itu sendiri. kota kebanggaan masyarakat Sunda yang dibangun oleh bangsa lain. dan anehnya dipuja-puja.
kita sering memuja sebuah kota yang pada dasarnya bukan kita sendiri yang membangunnya. dan anehnya, kita menganggap bahwa kota yang kita puja itu milik kita dan bahkan termasuk menjadi bagian identitas kita. itulah ironi Bandung. sedang, Tasikmalaya? salah satu kota terpadat di Indonesia itu?
Kereta Agro Wilis melaju dari Jogja menuju Tasikmalaya. melewati berbagai bangunan kumuh di sepanjang jalan. bangunan milik penduduk yang sangat berantakan. kotor. rusak di sana-sini. dan sangat tak enak untuk dipandang.
entah kenapa, rumah atau berbagai macam bangunan di sepanjang rel kereta menuju Tasikmalaya, terlihat sangat berantakan dan semrawut. kesemrawutan itu sangat terlihat di sepanjang deru kereta yang sedang melewati sebuah kota atau kawasan sub-urban. kadang aku berpikir, apakah kota itu berarti kesemrawutan? apa tak ada orang yang bisa membangun kota yang cukup indah dan layak dipandang di negara ini? itulah sebabnya, aku lebih senang ketika kereta memasuki area pedesaan, yang bagiku terkesan rapi, halaman rumah yang sangat bersih, dengan pepohonan di sana-sini. seolah-olah, desa yang seringkali diejek oleh banyak orang itu, mengejek mataku yang kadang bosan duduk di deretan kursiS eksekutif yang ternyata sudah luntur oleh berbagai macam keringat yang menempel di sana-sini. menghitamkan busa kursi, dan menampilkan kecenderungan yang merusak imajinasi. kadang kemewahan bisa membuat kita bosan setengah mati.
entah bus atau kereta, atau apapun itu, yang namanya eksekutif tak akan seperti yang dibayangkan. bersih, mulus, mewah, nyaman, atau baru. eksekutif, di daratan Indonesia tak ubahnya semacam bekas. ah, kita memang hidup di suatu tempat yang penuh ilusi. berbagai macam hal yang tak sesuai dengan kenyataan yang ada.
kereta terus melaju, menghadirkan keburukan diselingi beberapa keindahan yang dulu banyak dikagumi oleh para penjelajah dan petualang. kadang aku menemukan deretan pepohonan wolf fish
kelapa yang nampak mengagumkan bersandingkan dengan tumbuhan lainnya. terkadang ada pohon jati, pisang, singkong, bambu, waru, gelodokan, turi, petai, talas-talasan, ketapang, mahoni, trembesi, angsana, tanjung, asam jawa, kresen, tebu, pepaya, durian, cabai, putri malu, berbagai macam jenis paku-pakuan, cemara, jambu, enceng gondok dan banyak lainnya. aliran sungai, pegunungan dan sawah-sawah yang menguning dan terlihat sedang dipanen menemani perjalananku. terlalu banyak yang aku tidak tahu dari perjalananku ini. bagiku sendiri, perjalanan adalah ketidaktahuan-ketidaktahuan yang kadang harus aku akui.
ketidahtahuan kadang membuatku sangat frustasi. pulau Jawa, adalah pulau yang asing bagiku. dan perjalananku telah membuktikan banyaknya ketidaktahuanku. momok terbesar bagi warga kota atau anak-anak yang lahir di kota adalah ketika mereka bertemu dengan orang yang banyak tanya dan ingin tahu. karena anak-anak hari ini lebih sering diasuh oleh internet dan gadget dari pada oleh orang tua dan dunia pendidikan mereka, yang seringkali dunia pendidikan pun membuat anak-anak menjadi depresi. sedikit anak-anak dan berbagai macam orang yang terlahir di sebuah perkotaan tahu lingkungan mereka sendiri. lalu pendidikan kita sebenarnya mengajarkan apa? selain mengajarkan depresi, frustasi, dan air mata yang jatuh nyaris setiap hari. pendidikan kita hanya disi dengan pelajaran yang cenderung membosankan, dengan pekerjaan rumah yang menumpuk, ulangan dan ulangan, dan ketakutan-ketakutan yang nyaris setiap hari menumpuk. lalu, les, les, dan ke tempat les. lalu apa sebenarnya gunanya guru dan sekolah jika nyaris hampir semua anak sekolah hari ini harus terus berkutat dengan pelajaran dan pelajaran tanpa ada waktu untuk membaca buku selain pelajaran, bersenang-senang atau mengembangkan hobi yang ia miliki tanpa harus takut dengan pelajaran-pelajaran yang terasa bagaikan monster yang membuat siapapun nyaris tak bisa tidur.
menjadi anak sekolahan di Indonesia mirip menjadi tahanan di rumah sakit jiwa atau penjara paling ketat sedunia. masa-masa yang membuat siapa saja jatuh dalam kegilaan, frustasi dan depresi. karena itulah, generasi hari ini, terlihat sakit secara jiwa dan keseluruhan, mental. semenjak lahir, kita sudah dituntut oleh berbagai hal yang mengerikan. dan kebahagiaan, adalah kerja keras bagaikan kerja rodi dan romusha. dan aku salah satu jenis manusia yang tak bahagia itu. dan aku pun berjalan. dari kota ke kota. mencari para pembaca buku, pengayuh sepeda dan mungkin tempat yang akan cukup nyaman aku tinggali.
wolf fish
sejujurnya sangat wajar, kalau banyak anak remaja dan muda hari ini tak tahu berbagai macam jenis pepohonan, satwa, nama tempat, dan lainya sebagainya. mereka dikungkung untuk hidup dalam sistem maya internet dan kenyataan yang terpisah dari lingkungan sekitarnya. dan aku tak heran, kalau banyak anak sekolahan hari ini tak tahu apa itu kelelawar dan mungkin burung pipit. apalagi bekantan, owa, lutung, atau macaca? dari harimau sumatra, orang utan, hingga merak dan burung layang-layang, siapa yang hari ini perduli dengan itu semua? ironisnya, aku pun tak tahu banyak jenis hewan. aku pun buta dengan banyaknya jenis tetumbuhan. yah, laki-laki yang ironis memang.
wolf fish
apakah kebahagiaan itu seperti yang dikatakan oleh Eric Weiner dalam The Geography of Bliss? bahwa "secara tidak sadar kita menggabungkan geografi dan kebahagiaan." dan apakah Tasikmalaya adalah kota yang cukup membahagiakan buatku? yah, mari kita lihat.
kereta terus melaju. berbagai jenis awan terlihat di ketinggian sana. jendela kaca yang berubah-ubah menampilkan berbagai macam jenis awan yang kadang indah dan kadang lucu. Cumulonimbus, Cumulus, Altostrastus, dan awan Stratus mendominasi langit. sebuah tanda-tanda yang nantinya akan menuju hujan yang luar biasa deras. sesekali terlihat awan tinggi Cirrus dan Cirrocumulus. ketika bosan dan lelah, aku membuka buku yang aku bawa, The God Delusion karya Richard Dawkins yang membuatku mendapatkan banyak kalimat menusuk dan tajam tapi juga terlalu banyak argumen yang dangkal.
memasuki Stasiun Tasikmalaya, hujan jatuh dengan derasnya. aku pun, selama lebih dari 4 jam, dari mulai jam 16;11 hingga 20;30an, terdampar di Stasiun sampai pak Roman datang. terdampar adakalanya bisa menyenangkan. tapi terdampar dengan hujan lebat di Stasiun yang sepi dari manusia, sungguh benar-benar seperti Tom Hanks di film The Terminal.
aku telah memasuki kota yang sering disebut sebagai Sang Mutiara Priangan dari Timur. aku telah ada di sini. tak ada pembaca buku yang aku cari terlihat di Stasiun ini. dan yang kutemukan adalah seorang dari Tegal yang sedang berjualan nasi goreng dan pembeli perempuannya dari Jawa Timur. lalu ada bapak-bapak yang mengeluh tentang kemacetan di beberapa tempat di Tasik. dan sedikit bangga dengan Asia Plaza, sebagai mall terbesar melebihi yang ada di Bandung, Cirebon atau bahkan beberapa tempat di Jakarta. apakah benar memang seperti itu? aku pun bersemangat tapi juga ragu. karena aku berharap akan pergi ke sana, mencari tahu tentang toko buku yang aku ingin masuki; Gramedia.
pak Roman sedang dalam perjalanan ke Tasik. terserang macet. di kota-kota yang tersebar di hampir seluruh Indonesia, terlebih Jawa, kemacetan seolah-olah sedang mengejek segala bentuk kekayaan secara keras dan terang-terangan. kemacetan seringkali membuat aku frustasi. sekaya, sekonglomerat apa pun seseorang, tak ada yang tahan dan nyaman dengan kemacetan. bahkan, orang miskin pun ngeri melihat kemacetan. dan ketika baru sampai di sini, kemacetan sudah menjadi perbincangan di sana-sini oleh orang-orang di sekitar Stasiun yang aku temui. ah, salah satu kota dengan penduduk terbesar di pulau Jawa ini ternyata tak sanggup terhindar dari kemacetan. kemacetan adalah kewajiban yang harus kita sembah setiap hari dengan nada jengkel, menghina dan seringkali uring-uringan. dan aku ingin tahu, seberapa parah kemacetan yang terjadi di kota ini. walau katanya, kemacetan berasal dari liburan sekolah dan dari kota-kota lainnya. yah, yang namanya macet ya macet. tak ada tapi dan tapi.
pak Roman pun datang dengan taksi bernama Budiman. Budiman? mungkin taksi yang baik hati. tak sombong. rajin menabung. tak suka poligami. dan kami pun sampai di hotel bernama Crown.
pertama melihat pak Roman, aku tak menyangka, gaya pakaiannya terkesan sangat gaul seperti anak muda. aku kira akan terlihat seperti kebanyakan bapak-bapak lainnya. memakai pakaian yang orang-orang bilang sebagai hal yang rapi; celana panjang. kemeja. sepatu dan seperti itulah arti dari rapi secara umum. dan yang paling menjengkelkan dari etika kerapian yang aneh ini, apakah ketika seseorang memakai celana panjang, sepatu, kemeja, bahkan dasi, jika orang yang memakainya tak terawat, kusam, banyak jerawat, dan terlihat kumal, masih bisa dibilang rapi? kata rapi, atau kerapian di Indonesia seringkali bermakna sangat sewenang-wenang. kerapian hanya untuk yang berkulit mulus. harum. terlihat gagah, cantik, seksi atau tampan. dan bukan dari jenis miskin yang memakai apa pun masih tak akan pernah terlihat rapi bagi mata-mata yang penuh dengan perhitungan.
pokoknya aku telah bertemu pak Roman. murah hati. kadang cerewet tapi dengan maksud yang baik. dan, berjiwa muda. katanya, "jiwa tua yang sudah habis di masa muda." ungkapan yang menarik. kami pun tertidur, bercerita, dan menonton televisi, yang hingga pagi, akhirnya hanya saluran National Geographic. sedang pak Roman langsung jatuh tertidur setelah menyeduh kopi dan mie gorengnya. sangat kecapaian, wajahnya sangat kelelahan sejak pertama bertemu. aku menikmati saluran National Geographic hingga pagi. sampai tubuh kelelahan.
mendapatkan berbagai macam ilmu dan pengetahuan baru. ada ikan arwana amazon di layar kaca. vikuna, Iguana laut galapagos, burung bobby kaki biru dan burung cikalang yang suka mencuri dan merampok bahkan sesamanya sendiri. ada harimau sumatra, lutung kelabu, rusa tikus, buaya air asin, monyet bekantan, burung bangkai atau yang sering disebut burung nazar tapi bukan penyanyi dangdut atau yang dipenjara karena kasus suap. selain itu, saluran National Geography atau Nat Geo Wild dan lainnya, menyuguhi mataku dengan rusa thomson, singa, cheetah, dan gazzele dari Kenya. ada juga hyena. lalu gabon, kuda nil, kerbau hutan dan gajah Afrika. ikan serigala atau wolf fish dari Guyana. bersamanya ada ikan vampir, lele jaguar, ikan lele macan, lele biru, piranha hitam, kaiman, anakonda, dan ikan lele goliath. dan masih banyak jenis ikan lainnya, kakak merak, ikan lele berbaja zirah, dan berbagai jenis laba-laba. dan dunia laba-laba inilah yang seringkali menarik hatiku.
dalam sekali tayang, aku lebih mudah mencerna acara National Geographic dari pada membaca majalan National Geographic Indonesia. dan tak butuh lama aku mendapatkan pengalaman untuk mengenal secara tak langsung laba-laba solifuge, laba-laba pelompat, laba-laba penjerat, laba-laba golden orb, laba-laba pemancing, laba-laba lonceng penyelam, laba-laba babun, laba-laba cambuk, laba-laba roda mas, bark, hingga laba-laba merak yang suka berdansa ketika musim kawin tiba dan laba-laba mematikan seperti black widow yang terlihat elegan dan tarantula goliath yang sanggup memangsa burung.
jika aku jadi orang tua, aku akan menyediakan saluran National Geographic setiap waktu. karena saluran atau majalah itulah yang mengisi kekosongan kita, manusia modern, untuk lebih mengenal lagi lingkungan kita yang hilang dan pengetahuan kita yang terpenjara karena sistem pendidikan yang salah arah. sayangnya, banyak anak UGM pun, jurusan biologi, merasa enggan untuk sekedar membeli majalah itu. yah, membaca buku dan membeli untuk pengetahuan lebih susah dari pada pergi ke cafe dan berkencan semalaman.
besok paginya...
sejujurnya nyaris tak ada pagi untuk kami berdua. aku dan pak Roman, menikmati tempat tidur hingga sekitar jam 10 an. tiba-tiba ada Leo Kristi dan Istrinya berada di ruangan yang aku gunakan untuk masuk dan keluar. pak Roman tampak bingung. tak ingin terlihat oleh Leo dan istrinya. ingin sekali mencari jalan lainnya. dan kabur secepat mungkin yang bisa kaki harapkan. tapi harapan semacam itu tak kunjung muncul. harapan tinggalan harapan. kami pun pusing dan akhir pak Roman nekat menerobos pasukan. pasukan itu terdiri dari Leo Kristi dan istrinya. Titi Manyar. dan sekumpulan orang yang menjadi bagian dari acara konser rakyat di Tasik. secepat kilat kami pun berjalan, pak Roman terlihat menunduk, memberi salam, berjabat tangan, lalu dengan langkah seribu, kami pun sudah berada di luar hotel. mencari makan.
yah, baru keluar dari hotel, di depan indomart yang terletak di jl. RE Martadinata, ada kecelakaan yang melibatkan mobil warna merah dan dua mobil lainnya. kemacetan pun terjadi. kami berdua pun berjalan di sisi trotoar yang remuk di sana-sini. melangkahkan kaki, dengan panas yang menyengat, bertanya tempat makan khas sunda atau tasik kalau ada, dan orang tua yang ditanyai ternyata menyesatkan kami di jalan Mitra Batik yang tak ada apa-apa kecuali perempatannya dipenuhi oleh berbagai jenis kendaraan yang berjalan suka-suka. warung. ruko yang tampak kusam. toserba yang dipenuhi berbagai jenis orang yang kebanyakan ibu-ibu. dan berbagai penjual makanan dengan gerobaknya di sana-sini. sangat khas Indonesia. yah, tentunya macet adalah kewajiban setiap kota di Indonesia. tak perlu ada kecelakaan atau tabrakan, kemacetan membuat siapa saja yang ada di jalan raya menjadi gila. dan logika yang memuat etika, sopan santun, dan segala jenis aturan pun seakan sirna.
ingat; kemacetan dapat membunuhmu. membuatmu frutasi. gila. marah-marah. dan membuat segala bentuk kemewahan kendaraan jadi percuma. kemacetan, membuat orang beriman pun benar-benar susah menjaga keimanannya yang sopan dan santun. sejujurnya, teroris pun kalah telak dengan jumlah kengerian dan tekanan emosi yang diberikan oleh jalanan di berbagai macam kota di Indonesia.
lalu kami pun berbelok arah, ke kiri, atau ke timur, berjalan kaki menuju nama tempat makan yang susah diucapkan. tepatnya di jalan Cipedes 2 dan papan nama yang bertuliskan Balakecrakan. kata-kata yang memang membuat kuping yang pertamakali mendengarnya terasa suram dan lidah menjadi salah tingkah. yah, akhirnya kami berdua masuk, mengambil nasi, lauk-pauk, sambal, dan melihat-lihat sekeliling. sesekali mengambil gambar. pak Roman yang katanya sedang diet, eh, tahunya, sudah melahap habis nasi yang ada. sementara aku sendiri baru memulainya. luar biasa. aku pun geleng-geleng kepala dibuatnya.
"diet mas arah. baru bilang diet kalau sudah habis dimakan," sambil tertawa lepas dengan tingkah kekanak-kanakan. dan itu lah yang membuat keberadaan pak Roman menarik dan nyaman untuk anak muda semacam aku. yang kadang, susah memakai etika gaya lama.
ketika mata melihat sekeliling, tiba-tiba pak Roman berbicara mengenai beberapa benda kuno yang ada di dinding warung ini. yah, dekorasi atau interior warung makan khas sunda ini diisi dengan barang-barang dapur atau rumah tangga yang cukup klasik. dan bagiku sendiri, serta pak Roman, sangat tak terasa asing. ada teko, berbagai macam gelas, tempat nasi, dan macam-macamnya yang mengingatkan aku di masa kecil. semuanya terbuat dari seng, besi, atau alumunium. cukup banyak orang yang mampir dan melahap makanan untuk ukuran warung yang baru dua tahun buka. tapi sayang, tak ada pembaca buku yang aku lihat. sementara mobil nyaris memenuhi lahan parkir yang sejatinya bernama aspal jalan atau dipaksakan hingga hampir mencapai beranda. kelak, mungkin kita harus memiliki ide parkir yang unik dan kreatif untuk menyiasati suasana parkir yang begitu mengerikan. membuat mobil yang bisa dimasukkan ke dalam koper atau semacam mobil lipat. dan bisa juga dilarang memakai kendaraan jika ke tempat makan. mungkin terdengar konyol. tapi apa boleh buat. dilema parkir Indonesia memang bisa membuat siapa saja pusing dan memilih gantung diri. menyeberang jalan di kota-kota Indonesia pun bagaikan sedang ingin bunuh diri secara sadar.
setelah kenyang, kami pun berjalan, dari jalan Cipedes 2 lalu belok ke kiri, melewati jalan Cipedes Paledang yang berisikan rumah-rumah separuh kuno dan modern yang terlihat tak begitu rapi hingga sampai di jalan RE Martadinata tempat kecelakaan yang tadi kami berdua lihat. tap tap tap. kami melangkah lagi setelah pak Roman memasuki Indomart. di Tasikmalaya, Indomart sangatlah langka. di sepanjang jalan, terdapat berbagai macam pohon dari mulai Mahoni, Kuncup Merah yang aku tahu dari penduduk setempat, dan beberapa jenis pohon lainnya. kami berdua pun akhirnya sampai di hotel, kembali lagi melewati Leo Kristi dan lainnya dengan agak malu-malu dan kaki dilangkahkan sepanjang mungkin.
lalu,
selang beberapa waktu, aku pun dengan perasaan sedikit was-was, meminta tanda ke pada Leo Kristi yang sedang sibuk dengan corat-coretan lagu yang tengah dipersiapkannya. lalu
segera kabur dan masuk ke kamar hotel seolah-olah habis memenangkan
semacam olimpiade.
bangun, mandi, dan bergegas menuju gedung kesenian atau tempat acara akan dimulai. dan becak yang kami naiki, berjalan bagaikan gajah yang sedang terserang sembelit, atau kutu yang berlari sekuat tenaga, dan bekicot yang berjalan tanpa rasa berdosa. dan kursi duduk becak pun nyaris habis untuk satu bokong pak Roman saja. sungguh menakjubkan. dua orang, yang beratnya mungkin bisa lebih dari 1.5 kwintal, dikayuh oleh orang tua yang berusia sekitar 70an. becak pun bergerak. bergerak. pelan. sangat pelan. benar-benar pelan. luar biasa pelan. hingga aku berpikir, ini sebenarnya naik becak atau sedang menyaksikan waktu yang bergerak lambat?
kami pun memasuki jalan Dr. Sukarjo. seorang tokoh perintis berdirinya rumah sakit pertama di Tasikmalaya dan sebagai dokter dengan kewarganegaraan Indonesia pertama di kota itu. yang sayangnya, nama jalan dan kenyataan yang ada di jalan itu sendiri tak sesuai. dengan waktu yang seolah bergerak lambat. bangunan tua di sana-sini. kusam. kumuh. berantakan. jalanan sangat padat. lalu melewati Masjid Agung yang biasa-biasa saja. terus berjalan, pelan, yakinlah, benar-benar pelan. memasuki kawasan yang nampak mengerikan. seperempat jalan dipenuhi dengan berbagai jenis mobil dan sepeda motor. becak yang kami naiki pun terseok-seok dilewati oleh berbagai jenis kendaraan bermesin. keramaian yang benar-benar berantakan berada tepat di jantung kota, yaitu jalan HZ Mustofa. tokoh agama paling terkenal di Tasikmalaya, yang lagi-lagi, kenyataan jalannya tak sesuai dengan agama yang dianut oleh tokoh masyarakat itu. jadi, di Indonesia, nama tempat atau jalan, seringkali mengingkari kenyataan yang ada. ini sungguh terjadi. benar-benar terjadi. percayalah. percayalah.
kami pun melewati berbagai macam bangunan tua yang rusak di sana-sini. trotoar yang diambil alih oleh perluasan pedagang kaki lima. dan kendaraan bermesin yang mirip semut merayap di sana-sini. sampah. sampah. sampah di mana-mana. macet. becak bergerak sedikit. macet lagi. becak yang mirip keong ini, dengan dua penduduk di depannya yang berat badannya mengagumkan, dan orang tua yang hampir mendekati jompo, bagaikan sedang bergerak di arus waktu yang benar-benar lambat. sangat mirip dengan cerita-cerita di science fiksi. dan sungguh, menurutku, wajah kota ini begitu mengerikan dan juga menyesatkan. nama tak sesuai kenyataan. julukan kota yang jauh dari kata benar. dan keindahan yang nyaris tak mungkin. kota yang pernah menjadi sangat penting bagi Jawa Barat dan pergerakan nasional Indonesia ini sekarang begitu kumuh dan seakan habis ditinggalkan dari semacam peperangan. apa ini Sang Mutiara Priangan dari Timur itu?
becak pun berbelok ke kiri, di jalan Penyerutan, dan ketika berada di jalan Tentara Pelajar, kemacetan seolah-olah sudah menjadi tradisi Indonesia baru. akhirnya, sampailah kami di Gelanggang Olahraga Dadaha, dengan rimbun pohonnya, dan lagi-lagi sampah di sana-sini. akhirnya sampai di gedung yang menjulang tinggi dan terlihat angker, kusam, dan seolah hendak roboh. namanya Gedung Kesenian Tasikmalaya. entah kenapa, yang namanya gedung kesenian selalu saja terlihat mengerikan dan tak terawat dengan benar. gedung yang entah masih dipersengketakan oleh pihak pemerintah kabupaten dan kota itu, benar-benar terlihat menakutkan. dan ternyata, ketika aku melihat-lihat sejenak, memang gedung kesenian yang benar-benar remuk dan tak layak pakai. kadang aku pikir, apakah setelah Belanda meninggalkan Indonesia, kita tak bisa membuat sebuah kota yang cukup layak, indah, dan mungkin agak mengagumkan? atau bangunan yang cukup bisa mengistirahatkan jantung sejenak?
singkat cerita. cipika cipiki. dan yang paling berkesan adalah gayanya seorang Albert Go, benar-benar mirip yakuza. seolah-olah aku sedang melihat semacam tokoh di layar televisi. lalu makan di rumah singgah. ngobrol panjang lebar dengan pak Roman, Narto, dan pak Bambang. Hujan turun. deras. sangat deras. hingga seolah-olah menenggelamkan tempat yang kini mirip sungai. hujan membuat kami agak ragu akan banyaknya orang yang nantinya datang. tapi untungnya, hujan mulai mereda. genangan air yang menenggelamkan roda sepeda motor matic dikarenakan aliran air yang terhambat. kami pun berjalan menuju Gedung Kesenian. cepat-cepat ingin menyaksikan Leo Kristi manggung.
aku dan pak Roman pun akhirnya memilih tempat duduk di depan, sisi barat. mengobrol dengan orang-orang yang ada di samping badan kami. di sebelah kananku, terdapat seorang bapak, yang tak salah Deddy Wahyudi. kadang kita saling mengobrol dan singkat cerita, kandung kemihku menjerit. aku pun lari sekencang mungkin mencari toilet. dan, setelah di toilet, ternyata konser sudah dimulai. aku pun terburu-buru, kembali ke dalam, menyaksikan sesosok Leo Kristi yang dikagumi oleh banyak orang. terutama Pak Roman, yang seolah-olah Lombok-Jawa seluas peta yang ada di kertas-kertas.
dan benar saja, mungkin Leo, adalah salah satu orang yang benar-benar paling menarik setelah kedatangan Alif Naaba, pemusik asal Afrika, ke Indonesia lewat Institute Francais Indonesia beberapa bulan yang lalu. sejujurnya, aku jarang sekali mengagumi sebuah konser. banyak konser yang aku lihat terasa menjemukan dan biasa saja. tapi Alif Naaba, dengan gaya musik etniknya yang khas, dengan gerakan tangannya serta keinginannya untuk berkomunikasi dengan pentonton, mampu menyihir dan membuat suasana jadi hidup dan meriah. dan, kali ini, aku melihatnya lagi di sosok tua dengan tubuh tegap, kencang, berisi, dan benar-benar membuatku malu; Leo Kristi. yah, jelaslah, dilihat dari jauh saja perut pak Roman bagaikan hamil 6 bulan. saat aku melihat perutku sendiri, astaga, tanda-tanda buncit pun hampir menguasaiku. sakit terus menerus membuat tubuhku semakin membengkak. dan ketika menyaksikan sendiri sosok Leo Kristi dan ketika diatas panggung, keberadaanku sebagai orang muda terasa benar-benar dipecundangi.
aku nyaris tak habis pikir, sosok setua itu, memiliki kegigihan, daya tahan tubuh, kreativitas, dan kegairahan layaknya anak muda. ketika di panggung, seolah-olah bagaikan hidup walau kadang diselingi dengan kata-kata yang terbata-bata. saat kata-kata kesulitan keluar dari mulutnya. musik beserta alunan nada mampu mendorong keluar segala yang ada dalam dirinya. dan sungguh, aku tak habis pikir, entah 20 atau 30 lagu telah dinyanyikan, nyaris tanpa putus kecuali diselingi oleh keinginannya untuk berbicara dengan penontonnya yang nyaris hampir mirip sebuah keluarga besar yang sedang berkumpul bersama.
sebagai anak muda yang lahir di era akhir abad tahun 80an, tepatnya 1989. aku lebih kenal dengan Efek Rumah Kaca, Dialog Dini Hari, Sisir Tanah dan lainnya. musik-musik yang bagiku sendiri, menyelamatkan anak muda semacam aku, dari konsep musik populer yang dangkal. Atau ketika masih kecil dengan sosok Gombloh, Ebit, Iwan Fals, Roma Irama dan musik melayu yang sangat khas. Jadi, entah kenapa, generasi pemusik modern, aku akui, memiliki kelemahan mendasar perihal ciri khas dan penampilan di saat konser. Tak banyak kulihat pemusik yang memiliki ciri khas yang benar-benar menonjol di dalam tarikan suaranya, lagu-lagunya, nada-nada mereka, dan ketika mereka sedang menggelar konser.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar