saat di IVAA, aku kembali menimbang-nimbang hal yang sudah lama sangat aku pikirkan dan pernah aku bicarakan dengan beberapa temanku. ketika aku memasuki berbagai macam galeri seni, di pameran seni rupa dan semacamnya. sedikit sekali aku melihat orang-orang yang menyebut dirinya penyair atau sastrawan hadir atau menampakkan diri. apakah mereka terlalu sibuk dan begitu sibuknya, selama dua tahun, aku nyaris jarang melihat mereka berada sama denganku ketika sedang memandangi berbagai macam instalasi atau lukisan di dinding galeri? satu dua kali mungkin aku melihatnya. tapi mengingat para penyair dan sastrawan jumlahnya sangat berlebihan di kota ini, mengingat berbagai macam acara kesenian luar biasa banyak. sangat aneh dan janggal jika aku tak berpikir semacam ini; apakah banyak orang yang hidup dalam ranah sastra terlalu sempit jangkauan berpikir dan kesukaannya sehingga seni saja, yang sejatinya sastra bagian dari seni itu sendiri, nyaris dipisahkan dan tak terlalu dianggap?
di lain sisi, banyak anak seni pun yang jarang terlihat di berbagai macam acara sastra kecuali hanya saat-saat tertentu. seolah-olah, di kota ini, seni dan sastra sangat terpisah jauh. hal yang benar-benar menurutku memalukan.
di IVAA, Sita yang menjadi moderator sekaligus kurator adalah anak sastra. dan aku tak tahu, apakah dia masuk ke ranah seni karena memang menyukai seni atau memiliki bakat menulis, kedekatan dengan berbagai macam seniman dan semacamnya sehingga bisa menjadi kekecualian. kadang, aku juga sering melihat seorang laki-laki bertato, memegang dan mencari buku-buku sastra di Togamas Kota Baru. atau seringkali dia diundang di beberapa kesempatan mengulas dan membedah buku. dan ada beberapa lukisan yang menggambarkan Nietzsche yang aku sukai yang lahir dari buah pikir dan tangannya. yah, dia adalah Andre Tanama. walaupun begitu, seniman yang terlihat di berbagai acara sastra dan intelektual sangatlah sedikit. begitu juga sastrawan dan penyair yang terlihat di galeri-galeri seni juga sangatlah sedikit. menandakan apakah ini? kekonyolan kota Jogjakah?
menyangkut lingkungan hidup dan kesenian, aku sudah cukup lama paham dan memahaminya. saat Greenpeace mengadakan acara. saat ada masalah-masalah lingkungan hidup dan penggusuran. banyak seniman muda, dari Sigit hingga kelompok Taring Padi, seringkali terlihat. dan buku REKA ALAM, sangat jelas menyoal itu. begitu juga Dwi Cipta dan lain sebagainya dari ranah sastra. jumlahnya cukup banyak. tapi jumlah cukup banyak itu sangat tak seberapa.
yang paling aku amati dan sorot adalah minimnya pertukaran dua ranah yang paling umum dan besar di kota ini; sastra dan seni. seolah-olah keduanya saling menjauhi. filsafat, seni, sastra, adalah tiga hal yang seharusnya menjadi satu dalam diri seseorang. ketika seseorang menyukai filsafat, dia pasti akan menyukai hampir semua ilmu dan ranah lainnya. begitu juga orang yang menyukai seni dan sastra. karena semuanya sangat berdekatan dan seringkali menjadi satu. hingga pada akhirnya, seseorang yang hidup dalam dunia itu akan menyukai musik, teater, pagelaran budaya, hingga sains. di Jogja, aku melihatnya tak seperti itu. seolah-olah semuanya sudah sangat terkhususkan. dan untuk sekedar memandang yang lainnya, bagaikan terasa janggal, aneh, dan tak biasa.
banyak anak muda yang hidup dalam ranah kesusastraan di Jogja, entah mereka semua kemana ketika aku sedang berada di galeri seni atau pembukaan pameran kesenian yang paling umum dan konvensional; seni rupa. di dalam sebuah galeri, jelas, sangat mudah untuk melihat, menemukan, dan mengamati seseorang. terlebih wajah-wajah sastrawan muda yang sudah cukup aku kenal di mata dan pikiranku. tapi kemana mereka pergi selama ini? sangat luar biasa sibukkah? keterlaluan sibuknya sehingga aku nyaris malas untuk mereka-reka lagi. yang jelas, sangat jarang ada orang yang hidup di kesusastraan terlihat di berbagai macam galeri seni selama ini. dalam artian, selama aku berada di Jogja.
seandainya pun ada sastrawan yang tak aku kenal ada di galeri seni. setidaknya ada anak-anak muda yang aku kenal, ada di situ. baiklah. sastra di kota ini pun sangat dekaden dan yah, terfokus pada hal-hal yang terlalu sempit. mungkin aku salah. ya, mungkin aku salah dalam merenungkan hal itu karena keterbatasan data dan pengalamanku.
dan mungkin, sedikit orang di ranah sastra dan seni sendiri, mau mengamati perkembangan anak muda dan gairah intelektual di dalam kota kecil ini. sehingga antara satu dan lainnya merasa tak berkepentingan untuk sekedar melihat dan mengamati berbagai macam ruang yang ada. mungkin kita tidak suka dengan acara atau topik yang ada. tapi, kita masih bisa mengamati orang-orang dan suasana yang ada di dalamnya. jika memikirkan kota ini, kedangkalan dan dekandensinya sudah luar biasa sangat mengerikan.
entahlah, mungkin hari ini lebih baik aku membaca Ecce Homo karya Nietzsche. dan mencoba memikirkan ulang atau mencoba tak percaya, kalau kota ini sudah tak lagi menarik dan sangat menjemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar