Kamis, 09 Maret 2017

JOGJA: KUNCI 2








lagi-lagi si anjing! ah, setidaknya kali ini dia jinak dan kemungkinan besar sudah membauiku kemarin hari. yah, anjing yang baik. anjing terlihat baik di lingkungan manusia ketika ia terlihat jinak. tidakkah memang begitu?

perpustakaan kunci yang sangat kecil dan agak menyedihkan, dalam luas dan kerapiannya, terlihat padat, sesak, dan bertumpukan, membuatku berpikir, ah, bagaimana ini? aku ke sini hanya untuk membeli sebuah buku sebelum besok aku pergi lagi. aku berpikir diskusi mengenai ratu kidul sudah berakhir atau dalam tahap akhir, dan ketika tiba di sini, mungkin tinggal sisa-sisa. dan, ternyata, aku masih mendapatkan tahap terakhirnya. lalu perbincangan, pertanyaan, dan hal yang menarik tentang mitos baru di Ngawi dan sebagainya.
oh ya, kebanyakan muka-muka asing non Indonesia yang memenuhi tempat ini. bahasa inggris menjadi alat ucap dalam perbincangan. adakalanya tertatih tergantung siapa yang mengucapkannya. muka lokal jelas belepotan. muka bule, bicaranya seperti kereta api. yang jelas, aku banyak mrngerti perbincangannya. banyak tawa. hal lucu. dan informasi-informasi yang aneh. 

dari mitos lama. politik. dan pembangunan bandara. bisnis. hingga suara adzan yang menggema hingga kemari. sebenarnya ingin bertanya, saat Antariksa melempar tantangan kepada orang-orang yang berwajah lokal mengenai Ratu Selatan yang akhirnya menuntun perbincangan pada penjelasan mengenai Ratu Selatan. Nyi Roro Kidul. dan Nyi Blorong. dan film soal Suzanna. ah.

entah mengapa, aura suasanya begitu menyenangkan. aku butuh penguasaan percakapan bahasa inggris lebih baik lagi. sekarang aku sekedar lebih banyak mendengarkan.

jam setengah delapan, semuanya selesai. tapi aku masih ada urusan yang belum selesai. aku butuh buku Lawrence Lessig. aku malah mendapatkan karya Elizabeth Pisani, Indonesia Etc.; Exploring the Improbable Nation. buku yang sangat membuatku tertarik sejak dulu. dan kipas angin masih berputar kencang. membuat tubuhku yang tadinya panas menjadi kedinginan. suara-suara masih memenuhi ruangan ini. tapi entah mengapa, terbesit pikiran, apakah aku masih bagian dari dunia dan sekitarku?

gagasan mengenai masuk ke dalam kunci, mungkin terasa konyol bagi diriku yang hari masih tak stabil. malahan, tanpa aku rencanakan, aku berbincang dengan seorang perempuan bule, yang tadi menjadi pembicara. sial, kalau sudah begitu, aku bisa ngobrol dengan santai dan bahasa inggrisku mengalir cukup lancar. dan untuk saat ini, apakah aku harus pergi mengelilingi Indonesia, atau aku berhenti sebentar dan berpikir ulang tentang sesuatu yang sedikit normal?

entahlah, diriku adalah perjalanan tanpa ujung dan kepastian. mungkin hanya kebosanan yang paling sangat dalamlah yang kelak akan menghentikan langkahku. atau malah aku akan terus hidup dengan kekonyolan-kekonyolan yang ada dalam diriku dan sekitarku.

JOGJA: KUNCI










Aku disambut oleh salak anjing yang cukup keras. Seekor anjing hitam besar mendekatiku dengan gigi yang terlihat begitu elegan dan sangat mengancam. Bagi seorang yang terbiasa dengan senyum licik sok manis para kucing yang terlihat jinak, lugu, dan bisa kita tendang kapan saja kalau kita marah. Seekor anjing besar tepat di depan mata, yang bisa menggigit, mencakar, dan mencabik, benar-benar sebuah masalah. Sial pikirku, lagi-lagi anjing. Besar lagi. Terlebih akhir-akhir ini, tubuh gemukku tampak menggiurkan. 

Bukannya aku membenci para anjing. Hanya saja, kebanyakan spesies mereka karena terlalu bodohnya hanya mau berteman dengan orang yang dikenalnya saja. Atau yang terbiasa dengan dirinya. Dan tentunya, kalau tiba-tiba aku diserang, aku tak bisa menganiaya balik anjing itu seperti halnya yang sering aku lakukan terhadap para kucing yang badannya lebih kecil dan sangat lemah di depan manusia semacam aku yang kadang berwajah iblis. Tapi anjing, adalah makhluk yang tak begitu adil. Terlalu besar untuk bisa dianiaya dengan tangan kosong. Kenapa para anjing tidak berevolusi lagi menjadi lebih kecil sehingga kalau mencoba mengancam diriku bisa aku banting dengan cara kuno atau modern? 

Mungkin aku salah satu makhluk yang pikirannya sangat dibenci oleh para pencinta binatang. Tapi, aku juga sering memberi makan para binatang, menyayanginya, atau mengutukinya dan menyantapnya. Oh, ternyata aku lebih monster dari pada anjing yang kadang membuatku jengkel. Aku berjalan agak ketakutan, memasuki pintu lembaga Kunci dan sangat senang melihat anjing yang tadi menyalak keras dan mengancam berubah menjadi jinak. Itu baru namanya anjing baik. Ya, anjing baik yang awalnya menjengkelkan. 

Kini aku sedang membaca Memuliakan Penyalinan karya Marcus Boon. Dan ada beberapa buku di sekitarku; The Rebel Sell milik Joseph Heath and Andrew Potter. Budaya Bebas dari Lawrence Lessig. Grand Illusion yang diterbitkan Forum Lenteng. Albert Camus dengan Perlawanan, Pemberontakan, Kematian. Walau suasana perpustakaannya sangat berantakan, tak tertarik, dan sangat tak elegan. Setidaknya, isi buku-bukunya sangat bagus bagi diriku ini.
Dan yang paling penting, aku terbebas dari teror anjing. 

Ada buku-buku dari Virginia Woolf. Meditation milik Marcus Aurelius. Moby Dick karya Herman Melville. Istanbul, sejenis memoar dari Orhan Pamuk. Taring Padi. Nouse dari Jean Paul Satre. Rimbaud, biografi yang ditulis oleh Graham Robb. Dan buku kecil warna putih, dengan garis yang membentuk semacam abstraksi pulau dengan titik di pinggir, Place of Place, karya kreatif dari Kyung-soo Chun. Isi di dalamnya pun hampir sama saja dengan sampulnya. Hanya agak berbeda pola. Penemuan yang aneh tapi menarik. 

Aku menemukan juga Slavoj Zizek, Violence. Dan penemuan yang paling penting adalah 3 jilid buku Hannah Arendt, Asal Usul Totalitarianisme. Aku juga menemukan buku yang diedit oleh Toril Moi, The Kristeva Reader. Gadis Arivia dengan Feminisme: Sebuah Kata Hati. Alvin Toffler, Kejutan Masa Depan. Buku Charles Mackay, Extraordinary Popular Delusions and the Madness of Crowds. Anonymous Writers Club. Orientalism milik Edward Sa'id. Dan buku-buku filsafat yang membuatku terhibur. Bagaimana tidak terhibur?

Aku melihat dua buah karya dari Gilles Deleuze dan Felix Guattari yang berjudul, A Thousand Plateaus dan Anti-Oedipus. Ada tiga buku Nietzsche yang aku temukan, Zarathustra, Excel homo, dan The Will To Power. Ada banyak buku karangan Baudrillard. Buku milik Adorno, Aesthetic Theory. Bring and Times, sebuah karya besar dari Martin Heidegger. Kata-Kata Jean Paul Satre. Tentunya, banyak lainnya. Dan akan menjadi kebodohan aneh jika aku mencatat semuanya. Setidaknya, buku-buku di sini cocok dengan duniaku. Ah, aku juga betah dengan sisi semrawut ruang depan lembaga ini. 

Suasana kekeluargaannya begitu terlihat. Ada banyak orang di sini. Muda dan tua. Tapi aku lagi tak ingin banyak omong. Kecuali hanya sekedar mengeluarkan suara sebentar saja. Aku sudah cukup menggeledah isi perpustakaan milik Kunci dan tahu garis besar yang dimilikinya. Aku pun melanjutkan membaca Memuliakan Penyalinan. Buku yang bagiku sangat layak untuk aku baca dan bawa pulang. 

Adzan Maghrib dengan sangat cepatnya meneror kupingku. Waktu rasa-rasanya begitu cepat kalau sudah nyaman di sebuah perpustakaan tertentu. Perpustakaan yang terletak di jalan Ngadinegaran, Mantrijeron, nomor 100, yang berisi berbagai pohon mangga dan arsitektur yang lebih pada rumah hunian. Dan sialnya, aku masih teringat dengan anjing besar hitam yang masih berkeliaran di sekitarku. Bagaimana perasaan orang lain yang tak begitulah terbiasa dengan sesosok aniing, yang ingin masuk ke tempat ini? Pastinya campuran antara ngeri dan jengkel. Terlebih bagi makhluk yang sangat mudah mengkafirkan orang lain. Jelas, tempat ini sudah murtad. 

Hari ini adalah Selasa. Tepatnya 7 Maret 2017. Aku membeli buku karya Marcus Boon, Memuliakan Penyalinan, dan kembali menembus belukar jalan Jogja yang cukup menjengkelkan. 

Mungkin, aku harus terpaksa terjerumus terus menerus dalam kota yang membosankan ini. Ya, kota yang membosankan. 

Sial, pada akhirnya aku kembali lagi di Jogja.

Selasa, 07 Maret 2017

JULUKAN BARU BAGI KOTA-KOTA BESAR DI JAWA









Sekarang aku ada di dalam kereta Logawa. Kereta mulai bergerak. Perlahan, aku meninggalkan celah kosong lagi dalam diriku. Setelah ini, lalu apa?
Selama ini aku bagaikan berlari dari pikiran-pikiranku. Mencoba untuk kabur dari kebosanan dan meninggalkan dunia buku-buku. Aku berharap,  setelah perjalananku berakhir, aku tak lagi peduli dengan banyak hal lainnya. Tapi, malah ada ide tercetus untuk membaca di dalam perjalanan. Perjalanan mengelilingi Indonesia. Mungkin aku memang tolol. Apakah aku harus memperpanjang kehidupanku lagi? 

Entah untuk apa setiap perjalanan yang aku lewati. Aku semakin tak tahu. Segalanya semakin tak pasti. Tak satupun pun kota yang mampu menghidupkan diriku. Tak ada satu pun kota yang menggairahkan bagiku. Semuanya nyaris sama. Monoton. Tak ada kejutan yang patut aku beri tempat dalam diriku. Dan sejak kemarin, aku telah memikirkan kota-kota yang sudah aku masuki. Selama ini aku telah memberikan nama sinis bagi kota-kota yang bagiku buruk dan tak menyenangkan. Kota-kota tak layak dan digunakan hanya untuk sekedar mempertahankan hidup yang konyol. 

Masihkah ada kota yang layak aku beri tepuk tangan, walau hanya sebentar?


KAMPUNG BESAR NERAKA
JAKARTA

Jakarta adalah kota terburuk yang pernah aku masuki. Kota yang bagiku ssndiri, layak dihapus di peta. Kota yang nyaris tak memiliki apa-apa untuk dikagumi. Hal yang membuatku cukup jengkel, perasan superior penduduk Jakarta yang tak sadar diri dan tak tahu situasi. Jakarta adalah kota buruk dan menjijikkan . Aku menyebutnya sebagai kampung besar neraka. Lebih menyenangkan melihat pedesaan dari pada melihat Jakarta. Dengan penduduk yang tak becus mengurus kota itu. Peragaan tolol orang-orang berpendidikan. Kekumuhan yang menyedihkan. Sampah. Tak ada trotoar. Panas. Politik yang kacau dan gila. Apa aku harus menjelaskan panjang lebar dan mengutuk warga Jakarta dan para pemimpinnya yang goblok? 

Jakarta adalah kampung. Dan merasa warganya, menjadi bagian orang-orang dari metropolis. Sungguh kekonyolan yang ngawur.


KOTA ORANG-ORANG GILA
BANDUNG

Bandung kota indah peninggalan Hindia-Belanda yang kini jadi suram. Panas. Sampah. Macet. Kebanggaan yang menjengkelkan. Hampir semua gedung ikonik dibangun oleh Belanda. Apa yang patut dibanggakan? Membanggakan pendiri kota yang jadi bawahan Belanda? Kota besar dengan sedikit pembaca. Gairah intelektual yang muram. Dan keindahan yang tak lagi sejuk. Penderita gangguan jiwa yang banyak dan terus bertambah. Kota indah akhirnya menjadi buruk. Hanya orang-orang gilalah yang menempati kota semacam itu.
Kota besar, dengan penduduk kelas menengah atas berpendidikan yang terlalu banyak diisi oleh orang-orang tolol. Bandung adalah cerminan para terpelajar yang gila dan rusak. 


KOTA SISA PEMBUANGAN
BOGOR

Bogor, kota yang dari banyak buku sejarah sangat indah dan sejuk itu, dan tempat asal mula ilmu pengetahuan dan kebun raya Bogor terbentuk. Kini menjadi kota penuh macet. Panas. Jumlah angkutan kota yang menggila. Penduduk yang berlebih. Sampah dan sampah. Kebun Raya yang sekarat. Ruang intelektual yang minim.  Jalanan sempit. Trotoar entah pergi dan terbang ke mana. Bangunan yang beraturan. Dan sekedar kota buangan dari Bandung, Jakarta, dan sekitarnya. Merebaknya gangguan jiwa, membuat Bogor sangat pantas aku sebut sebagai kota sisa pembuangan. Terjepit kegilaan kota-kota lainnya. Membuat Bogor hanya sekedar kota sisa pembuangan dari kota lainnya.


KOTA YANG MEMBOSANKAN
JOGJAKARTA

Tak ada kota yang paling kejam dari pada kota ini. Kota yang harusnya bisa menjadi setara dengan Paris dalam segi intelektual dan seni. Atau tak kalah dari beberapa bagian China, India, atau Eropa. Tapi apa? Kekonyolan penduduk Indonesia ditambah warga kota yang sangat keterlaluan lamban. Seni yang biasa saja. Sastra yang sekarat dan rusak. Dan terlalu banyak omong kosong di dalamnya yang menyebalkan. Kota kecil yang membusuk itulah Jogja. Panas. Trotoar tak ada. Macet. Gairah intelektual yang sangat rendah. Pembaca buku yang minim. Pencinta lingkungan yang konyol. Apa yang bisa diharapkan dari kota gagal ini kecuali sekedar hidup dan lari dari kenyataan?


NERAKA DARI TIMUR
TASIKMALAYA

Tasikmalaya, memasuki pusat kota ini bagaikan sedang berada dalam kondisi sehabis perang. Bangunan seolah mau ambruk. Jalanan dihabisi parkir. Sampah luar biasa. Coretan tembok, vandalisme, yang tak jelas. Kemacetan yang mulai menyedihkan. Ruang publik yang tak menggairahkanku. Predikat Surga Dari Timur sudah tak layak. Neraka Dari Timurlah yang lebih tepat. 


KOTA NERAKA
SEMARANG

Semarang, kota yang mau tenggelam di sisi utaranya. Gundul dan longsor bagian atasnya. Aku pernah merasakan suhu lingkungan antara 48-53 derajat celcius di kota ini. Sungguh luar biasa panas. Dari arah timur hingga barat, jalan protokol, jarang ada pohon dan trotoar. Udaranya benar-benar meremukkan. Sisi Utara yang runtuh, amblas, dan tenggelam membuat pemandangan tampak berantakan, tak teratur, dan banjir rob. Banjir yang mengerikan sering terjadi. Bagian atas kota juga sudah tak lagi menyenangkan. Jarang ada ruang seni dan intelektual. Kota hanya sekedar untuk hidup dan sedikit bersenang-senang. Dan udara panasnya sungguh-sungguh gila.


NERAKA BERIKUTNYA
SURAKARTA

Surakarta, yang akan semakin kelebihan penduduk. kemacetan sudah terlihat di mana-mana. Mobil yang jumlahnya semakin mengerikan. Sampah tak beraturan di segala tempat. Mal dan bangunan besar lainnya sekali mengambil banyak tempat dan sumber daya. Sebentar lagi, Surakarta tak lagi menarik.


JAKARTA MASA DEPAN
SURABAYA

Surabaya, kota yang cukup indah di masa kepemimpinan Risma. Walau begitu, masa depannya sudah terlihat jelas dari semakin sesaknya kota itu akibat urbanisasi dan pertumbuhan penduduk. Kesadaran masyarakat yang rentan. Sampah yang ada di sudut-sudut. Mudahnya membuang sampah jika tak ditegasi. Jumlah kendaraan yang kelak akan merepotkan jalanan lebarnya. Panas. Nyamuk. Dan jika Surabaya tak lagi punya pemimpin yang tepat, masa depan kota itu sesuram Jakarta.


NERAKA DI KETINGGIAN
MALANG

Malang, kota yang dalam satu hari saja sudah menyebalkan dan membosankan. kemacetan di sekitar Singo Sari sebagai pintu masuknya saja sudah cukup menjengkelkan. lalu tak adanya troroar bagus, kecuali beberapa gelintir. pohon yang tak terlalu teduh dan sedikit. panas yang luar biasa mengerikan. panas kota Malang nyaris setara dengan Surabaya dan Semarang. jadi kota yang katanya indah di zaman dahulu kala itu, bagiku sendiri, telah menjadi Neraka di Ketinggian. itulah sebutan yang layak bagi kota itu. kota dengan kemacetan dan panas yang sama-sama mengerikannya.



adakah kota-kota yang menggairahkan secara intelektual di Jawa? aku bilang tidak ada. semuanya membosankan dan nyaris tak layak ditinggal. kota-kota yang masih cukup lumayan hanya sekedar Jogja dengan seni dan budayanya yang biasa tapi cukup sedikit menghibur. Bandung dan Surabaya yang hijau, cukup indah di sisi lainnya, dan teduh. yah, hanya itu aku kira yang layak untuk dipikirkan sementara. yang lainnya, aku coret dengan kekejaman yang tak perlu aku menyebutnya lagi.

SURABAYA: WIFI ID CORNER/SPEEDY








Beberapa hari aku menjadikan tempat ini sebagai hotel. Dan hari ini, terakhir aku berada di sini. AC yang berjumlah tiga buah tak mampu mengusir nyamuk-nyamuk keparat. Surabaya, memang kota sarang nyamuk. Memang seperti itu. Di tempat-tempat tertentu nyamuk berkeliaran tiada tahau diri. Bahkan, malam terakhirmu, tangan dan kakiku bentol-bentol karena gigitan nyamuk luar biasa banyaknya. Aku tak bisa tidur cukup pulas. Tapi aku sudah menikmati cukup banyak waktu untuk memulihkan diri. 

Satpam cukup baik walau pernah menegurku karena tidur beberapa kali tanpa ijin  lebih dulu. Hal yang bagiku wajar karena dia hanyalah sosok pembantu atau penjaga yang bertanggung jawab terhadap tempat yang ia jaga. Setidaknya, WiFi Id, adalah hotel mewah bagi para backpacker yang ingin mengirim uang. Seorang ideapacker macam aku, benar-benar sangat membantu. Tempat yang selalu ramai. Dan ada orangnya terus hingga pagi hari.
Aku bangun. Mandi. Lalu segera pergi dari tempat ini menuju Stasiun Gubeng. Aku sedang bergerak menuju Jogjakarta lagi. Kota yang padahal ingin coba aku jauhi.

SURABAYA: MUSEUM SURABAYA








Sesampainya di Purabaya, aku langsung memesan gojek menuju Stasiun Gubeng untuk membeli tiket kereta. Keluar dari kota Malang, aku bagaikan terbebas dari kemalangan yang paling besar dari perjalananku. Mempercepat keluar dari kota itu bagaikan pembebasan bersejarah. Kota yang buruk memang layak untuk ditinggalkan secepat mungkin. Jangan berlama-lama di kota yang bagimu menyebalkan dan mengerikan.

Setelah dari Gubeng, aku langsung menuju Museum Surabaya. Ada pameran Greenpeace di sana. Aku tahu, aku sudah kelelahan. Tapi setidaknya, Surabaya membuat aku sedikit bersemangat. 

Hari Minggu, jalan cukup ramai. Dan Museum tampak sepi seperti mayat. Sekitar 4 sore aku sampai. Melihat galeri pameran Greenpeace yang terlalu sedikit dan tak menarik. Hanya satu dua orang saja yang terlihat. Saat ingin melihat isi museum, aku pun sudah tak sanggup. Museumnya juga terbuka lebar dan mirip seperti gerai jualan properti. Aku hanya cukup melihat dari jauh. Sesekali merebahkan diri di lantai dan tiduran. Aku sangat lelah hari ini.

Tak lama kemudian aku keluar. Sesuatu yang tak menarik tak cocok untuk dipertahankan lama. Lebih baik aku membaca di pinggiran jalan Tunjungan. Aku mencari tempat yang cocok, depan Musuem di sebuah kursi, dan mulai membaca. Membaca gaya bebas. Sesukaku. Selama yang aku mau. Kadang membaca sambil tiduran. Kaki di angkat ke atas. Selonjoran. Miring ke kiri. Atau gaya bebas biasanya, kaki satu menyilang di kaki lainnya. Peduli amat dengan orang yang melihatku. Trotoar juga sepi. Satu dua orang yang melintas. Kendaraan memang banyak. Tapi aku lagi menikmati bacaanku. Hingga hampir jam 6 malam aku berada di situ. Membaca dan terus membaca. Aku selalu menyukai membaca di ruang publik. Menguji mentalku. Dan mengkritik publik luas akan tiadanya orang yang membaca di jalan-jalan atau ruang publik. Tak lama kemudian, aku pun jalan kaki menuju Tunjungan Plaza. Menuju tempat Gramedia. Menghabiskan waktuku. Dan akhirnya berteduh di WIFI Corner Id. 

Dan, tak ada pembaca di jalanan yang aku lihat. Sedikit pesepeda. Terlalu banyak masa depan suram bagi kota indah ini.

MENINGGALKAN MALANG









Meninggalkan tebing neraka pastilah sangat menyenangkan. Tapi tidak saat meninggalkan Malang. Kota Neraka di Ketinggian. Memasuki Singo Sari kemacetan memanjang seperti sehari yang lalu. Dan kemacetannya tak bisa dipaparkan oleh akal sehat. Hanya imajinasi dan metafisika lah yang mampu mengurainya. 

Hanya dua hari, aku sudah keluar dari kota ini. Buru-buru keluar dan ingin segera pergi. Nyaris sama ketika aku berada di Jakarta, Bogor, dan Tasikmalaya. Aku tak mampu bertahan lama di kota-kota itu. Jakarta adalah pengecualian karena letaknya jauh antara satu tempat dan tempat lainnya. Sehingga membutuhkan waktu cukup lama untuk melihat berbagai isinya. Surabaya dan Bandung, setidaknya aku masih bisa bertahan lima sampai tujuh hari. Malang, satu hari saja, sejujurnya aku sudah benar-benar tak tahan. Kota yang baru aku tinggalkan itu benar-benar sadis dari segi lingkungan dan pusat intelektual. 

Aku merasa benar-benar tersiksa di kota yang tak lagi menarik itu.

Panas. Macet. Sampah di alun-alun. Beberapa di pinggir jalan. Dan tak adanya trotoar membuat aku ingin segera pergi. Jogja setidaknya memiliki banyak galeri, ruang budaya, dan sebagainya. Dalam hal panas, Malang dan Jogja tak jauh beda. Tapi dari segi otak dan pikiran, Malang mengerikan. 

Setelah melihat sejenak dua alun-alun, perpustakaan, Gramedia, aku sudah merasa tak betah. Dan sekarang ini aku ada di dalam bus menuju Surabaya. Aku akan membeli tiket kereta dari sana. Jauh lebih murah. Terpaut setengah harga. 

Malang-Jogja, 140 ribu. Surabaya-Malang, 74-99 ribu. Perbedaan yang cukup besar. Lagian, bus ke Surabaya hanya 14 ribu. Dan aku masih memiliki Go-Pay sebanyak 29 ribu rupiah. Jika terdampar, aku lebih baik terdampar di Surabaya. Aku tak Sudi terdampar di kota Malang terlalu lama. Benar-benar tak rela. Satu hari sudah lebih dari cukup.

Kian hari, kota-kota di Indonesia tidak hanya semakin membosankan tapi juga semakin menakutkan. Kota membuat orang letih. Menjadi budak kehidupan. Dan tak lagi nyaman. Kota adalah rumah yang tak lagi membuat kita betah tinggal di dalamnya. Terkurung terus menerus. Dan merasa tertekan dari berbagai arah.

MALANG: ALUN-ALUN TUGU










Berjalan. Lagi dan lagi. Hanya untuk sekedar tak jatuh dalam kebosanan tanpa ujung. Aku berjalan dari alun-alun melewati jalan Sugiyopranoto. Lapar. Tadi tak ada warung yang buka. Terus berjalan di atas trotoar kecil yang hilang tepat di depan mobil yang parkir. Lalu menyeberangkan diri dan terus berjalan, menurun, di jalan Majapahit. Pohon-pohon tua cukup besar untuk menghapus neraka baru kota malang yang menyengat. Antara Surabaya dan Malang, udara panasnya nyaris tak jauh beda. Aku tahu itu konyol. Hanya saja perutku luar biasa lapar. Tak ada anda-tanda rumah makan yang bukan. Akhirnya, karena tak tahan ingin kencing. Aku masuk ke area Dewan Kesenian Malang yang sangat kecil dan berantakan. Yah, begitulah seni di negara ini. Pengetahuan umum bersama yang seringkali tampak tersisihkan. 

Anak-anak muda yang terkesan buram dan tak terlihat elegan. Wajah-wajah kusut dan kurang perhatian. Bergerombol mengitari sebuah meja. Dan ada beberapa yang di pendopo yang tampak seperti emperan toko. Aku pura-pura bertanya, kita harus pandai-pandai berkilah di jalan, ada acara apa akhir-akhir ini? Salah seorang perempuan menjawabnya, teater. Itu pun Minggu depan. Aku sudah tak di sini. Hari ini pun aku ingin segera meninggalkan kota terkutuk ini sesegera mungkin. Lalu aku bertanya toilet, yang lokasinya berada di belakang.
Habis dari dewan kesenian yang bobrok dan tak jelas itu. Aku meneruskan langkahku melewati sebuah jembatan dengan aliran air deras berwarna kecoklatan. Aku sedang melewati sungai Brantas yang sampai di Surabaya menjadi Kali Mas. Sungai yang dinaungi pohon-pohon menjulang dan lebat. dan rumah-rumah tak beraturan yang juga terlihat lebat dan bertumpuk-tumpuk. Tanpa pepohonan, kota Malang bisa langsung kita depak saja sebagai salah satu kota paling sialan di Jawa. 

Aku pun meneruskan berjalan. Menanjak. Trotoar berisi pepohonan, jalur hijau, yang sangat teduh dan nyaman. Kota baru buatan Belanda ini cukup bagus. Tapi hanya cukup. Tak salah juga jika kota ini dulu sempat dijuluki dan disamakan dengan Paris dan Swiss. Tapi, kenyataannya, hari ini, kota ini adalah neraka di ketinggian. Ya, Malang adalah neraka di ketinggian. 

Julukan kota bunga dan taman pun tak layak. Surabaya jauh lebih indah dari pada Malang. Bahkan Semarang masih lebih baik dari pada kotak ini. Entah mengapa, aku kecewa dengan kota ini. Tidak hanya panas menyengat tapi sampah masih berkeliaran di banyak tempat. Trotoar yang hilang dan jalan yang terlampau sempit. Yang paling menjengkelkan adalah panas kota ini.
Neraka di Ketinggian.

Susahnya mencari makan di sekitar daerah ini ditambah panas yang tanpa ampun, membuat kota ini langsung aku coret dari daftar keinginanku tinggal. Ditambah macet dan ruang-ruang intelektual yang terlampau sedikit, membuatku ingin secepat mungkin lenyap dari tempat ini. Malang adalah kota yang tak layak huni.

Alun-alun Tugu berbentuk melingkar atau bundar. Pohon trembesi menghiasi tempat ini. Pohon yang bersejarah. Dah yah, bisa ditebang kapan saja tentunya. Sekali pandang, aku melihat kembaran Tugu Muda Semarang. Tugu yang persis sama. Taman yang hampir mirip. Kolam ikan, yang walau lebih indah dan lebar, arsitekturnya sangat mendekati. Bedanya Balai Kota tidak langsung di depan taman. Juga gedung DPR. 

Suasana sangat sepi ketika aku memasuki lingkaran dalam taman. Hanya ada beberapa orang selfie, duduk, turun dari bus wisata, dan mengambil beragam jenis foto. Pada akhirnya, aku memutuskan membaca buku dan mengambil gambar. Tak lama kemudian, matahari menyengat dari arah Stasiun Kota. Tak ada pesepeda. Terlebih pembaca buku. Tak butuh waktu lama, aku pun melangkah pergi. Menjauhkan diri segera dari kota brengsek ini.

Neraka di Ketinggian. Tak ada yang istimewa.

MALANG: ALUN-ALUN MERDEKA









Seandainya pada awal abad dua puluh aku berada di sini. pastilah aku berasal dari golongan pribumi. Yang dianggap sebagai kelas rendah di mata bangsa Eropa. Seandainya aku hidup di masa Jepang. Mungkin aku akan disiksa di lapangan terbuka ini. Ada yang tak berubah dari penjelasan sejarah masa lalu bahwa alun-alun ini dulunya kawasan orang-orang pribumi. Bagian Eropa, yang sangat elit dan tertutup berada di alun-alun Bunder beserta balai kota dan lain sebagainya. 

Lebih tepatnya, kawasan yang ditinggalkan karena bangsa Eropa, terlebih Belanda, yang lebih muda menginginkan kawasan yang murni Eropa dan tidak dikotori oleh percampuran silang atau bebas dari orang-orang asli yang menurut mereka harus selalu ada di bawah. Lalu dibangunlah apa yang kini disebut alun-alun Bundar. Karena bentuknya Bundar, orang-orang menyebutnya seperti itu.

Bangun dari tidur sejenak di WiFi Id Corner. Aku sebenarnya malas untuk beranjak. Jarak antara alun-alun dan Wifi Id hanya sekitar 300 meter. Hanya beberapa menit jalan kaki. Setelah mengemasi barang. Selesai mengunduh aplikasi permainan. Lalu mandi. Aku pun bergegas ke alun-alun. Melihat ada apa di sana. 

Aku berjalan melewati Gereja Hati Yesus yang terlihat lebih besar dari pada gereja Imanuel. Terus berjalan melewati Gramedia. Sarinah. Menyeberang. Dan menemukan sebuah masjid kehijauan bernama masjid Agung Jami' Malang. Masjid yang pada awalnya bukan bagian dari alun-alun ini. Ada banyak pesepeda di depan masjid. Hari Minggu, sepeda baru terlihat. Di hari biasa, sepeda dikurung bahkan dirantai. Sungguh mengerikan nasib sepeda di negara ini.

Alun-alun begitu ramai dengan anak kecil yang mengayuh BMXnya. Skateboard ada di kaki. Para manula yang tengah melakukan senam kecil. Anak-anak yang berkeliaran sendiri, dengan teman, atau keluarganya. Para orang tua yang melepas lelah sehabis bersepeda. Mereka yang sedang berolahraga atau jogging. Seorang tua yang sedang membaca koran. Para penjaja makanan. Petugas perempuan yang mengingatkan salah seorang perokok untuk tidak merokok di tempat ini dan disuruh pindah ke area khusus. Mereka juga memberi arahan kepada pengguna sepeda baru untuk memarkirkan sepedanya di tempat yang ditunjuk. Ada anak-anak balita yang digendong orang tuanya. Sedang bermain ayunan. Para remaja yang jumlahnya membludak. Sejauh mata memandang, kebanyakan yang terlihat adalah para pengguna jilbab. Dan burung-burung dara yang terbang sesuka hati mereka tak bisa dibunuh atau ditangkap. Aku masih merasa ngantuk.

Pada akhirnya aku mencari sebuah kursi dan mulai membaca kembali Merebut Ruang Kota. Tak ada pembaca buku di sini. Dan tentunya, tak ada wajah-wajah yang enak dipandang seperti yang diutarakan oleh John C. Dyke, 'semua orang pribumi menampilkan pemandangan indah'. Hal semacam itu, tak banyak ada di sekitar kawasan ini. 

Hal yang paling melegakan di tempat ini adalah keberadaan toilet. Pohon-pohon-pohin beringin yang sangat besar dan lebih mudah dikenali dari para yang lainnya. Di depan tempatku duduk sekarang, seorang ayah membukakan makanan untuk kedepannya putrinya. Makanan itu berlogo KFC. Makanan orang Malang. Makan kebanyakan orang Indonesia perkotaan. Makanan yang menjadi ciri khas pola berpikir kita. Makanan kesukaan adalah kebiasaan hidup kita sehari-hari. 

Angin bertiup. Udara menjadi cukup segar. Aku ingin mencari tempat makan yang biasa. Tak perlu bergaya modern dan terkesan Eropa dan keren. Aku tak butuh hal semacam itu. Kemudian, aku akan berjalan menuju alun-alun Bundar. Setelah itu pergi dengan segera dari tempat ini.

Kota yang membuatku bosan dalam satu hari.

MALANG: WIFI ID CORNER







aku menghabiskan malamku di tempat ini. udara begitu dingin. hampir jam 5 pagi, di ruangan terbuka, tubuhku terasa membeku. hidungku pun sudah mulai pilek. tukang sapu sudah mulai kelihatan. begitu juga berbagai macam jenis kendaraan. tiba-tiba sudah hari minggu. 5 Maret.

masih terlihat 6 netter di sekitar sini. 7 termasuk diriku. gema lonceng gereja bergetar beberapa kali. pagi yang langka. bangun pagi adalah salah satu bagian paling langka dalam hidupku. suara kicau burung. dan mata yang sebenarnya masih terserang kantuk. rasa-rasanya, kini, tinggal aku seorang diri di sini. tidur hingga pagi mungkin akan sangat menenangkan. seandainya bisa.
udara pagi kota ini benar-benar sampai ke tulang.

tadi malam, aku benar-benar sangat malas mengelilingi kota ini walau mungkin hanya di sekitar Alun-Alun Merdeka lalu jalan sedikit ke Alun-Alun Bundar. dari Gramedia, aku ke Sarinah, yang ternyata tak apa-apa. beberapa perabot dan pakaian-pakaian diskon. McD dan KFC luar biasa ramai dengan anak muda. di situlah tempat nongkrong anak-anak muda modern. 

lalu di sinilah aku. dari jam 10 malam hingga pagi hari. merasa bosan. ingin cepat-cepat keluar dari kota ini segera. banyak orang hilir mudik di depanku. jogging dan membeli makanan. aku juga malas untuk mandi. sepertinya hanya cuci muka, melihat Alun-Alun sebentar, lalu balik kembali ke Surabaya untuk memesan kereta.

jalan Raya Malang-Gempol di depanku belum terlalu ramai. aku juga malas untuk bergerak. sangat keterlaluan malas. yah, yang aku lakukan hanya mengunduh game. memainkannya. mencoba menghilangkan perasaan jenuh ini. mungkin aku harus mandi. mengemas ransel. dan mulai berjalan kembali.

MALANG: GRAMEDIA








Aku berada di Gramedia seperti orang dungu yang tersesat dan harus segera sadar diri. hei bung, tak ada apa-apa di sini! melihat Gramedia yang luar sepi di malam minggu adalah hal yang biasa. masalahnya, aku sedang berada di Gramedia terbesar Malang, sangat dekat dengan Alun-Alun, Ramaya, McD, dan lain sebagainya. tapi, kali ini benar-benar sepi. hanya terlihat beberapa orang saja. seolah-olah menandakan masa depan Gramedia yang akan berakhir.

lokasi tempat ini mirip Semarang. harusnya tak seburuk ini. masih setengah tujuh. mungkin sebentar lagi.

aku melihat-lihat rak buku. ada Emile Zola, Dostoyevsky, Geroge Orwell,dan banyak lainnya, yang jujur saja aku sudah bosan melihatnya. aku berkeliling ke sana kemari. melihat sebentar National Geographic. akhirnya memilih buku Jalan Pulang, yang setalah aku baca beberapa halaman, bukan buku perjalanan yang sesuai denganku. hingga akhirnya aku tak tahu harus berbuat apa. 

perlahan-lahan Gramedia cukup ramai. kasir pun terlihat melayani pembeli. tapi hanya beberapa tak banyak. aku melihat dua perempuan berjilbab bingung mencari buku sastra era 70-an. terlihat ragu memegang Mangun Wijaya. dan sangat jelas tak berpengalaman dengan buku-buku. kami berbincang sebentar. setelah menemukan buku Pasar milik Kuntiwojoyo, mereka pun pergi. 

aku juga melihat perempuan berjilbab cantik tengah memegang buku Pram, hanya sebentar, lalu menaruhnya kembali. perempuan lainnya tengah asyik terjebak dalam dunia Korea. beberapa yang lain terjerumus di rak agama. seorang laki-laki menatap tajam rak sejarah. sendirian. lalu disusul seorang perempuan. kini menjadi dua orang. hanya sebanyak itu. dan laki-laki Tionghoa berkacamata sedang tenggelam dalam buku komputer. anak-anak berlarian di antara rak khusus anak-anak. perempuan muda megang buku WHY. jika diteruskan lagi, aku lebih memilih hari kiamat sekarang. pembaca Indonesia benar-benar sangat dalam.

di depan mataku, di kota-kota besar di Jawa, aku tengah menyaksikan keruntuhan toko buku Gramedia. toko buku yang seringkali terlihat sepi dari pada ramai. lebih ramai Pizza Hut, McD, dan tentunya KFC. sungguh mengenaskan.

walaupun pada akhirnya tempat ini semakin terisi. itupun hanya sedikit. sangat sedikit menurutku. orang-orang hanya sekedar membaca. atau ingin tahu buku apa saja yang baru lalu pergi mencari toko buku lain yang lebih murah. pada akhirnya, Gramedia hanya sekedar menjadi perpustakaan. tak lebih. tak banyak yang membelinya. kecuali buku sekolah, pelajaran, atau beragam aksesori, tas, pernik, yang tak berkaitan dengan buku. 

masa keemasan Gramedia sudah berakhir. benarkah begitu?

Gramedia adalah titik tolak bagiku mengenai perkembangan intelektual sebuah masyarakat dan kota. jika Gramedia sangat sepi. kemungkinan besar sedikit pembaca di sekitar masyarakat itu. atau masyarakat memilih tempat-tempat lain yang lebih terjangkau. tapi setidaknya, Gramedia adalah acuan, entah sampai kapan, bahwa buku masih terlihat berharga di kota ini. begitu juga kota lainnya. orang di toko buku belum berarti membeli. harusnya, Gramedia tak seburuk yang aku lihat jika masyarakat memang mencintai buku. entahlah, aku sudah mulai bosan. belum dua jam berselang, aku sudah tak betah. 

kakiku melangkah. menjauh. dan kota ini, dalam satu hari saja, sudah tak menarik buatku. aku menuju Alun-Alun.

MALANG: PERPUSTAKAAN UMUM KOTA








dalam sekilas saja, perpustakaan ini lebih mirip perpustakaan daerah pada umumnya. dan tak begitu nyaman digunakan untuk membaca kecuali di beberapa bagiannya. isinya murip dengan Grahatama Pustaka Jogja. dan sialnya, aku jadi teringat Kunci. lembaga kebudayaan yang memiliki perpus bagus, dengar-dengar, yang malah tak pernah aku lihat. benar-benar manusia konyol.

aku mengambil beberapa buku dari rak; Orang Indonesia dan Orang Prancis yang disusun oleh Bernard Dorleans. Dua majalah National Geographic Traveler. Eksotisme Jawa karangan John Joseph Stockdale. Imagined Communities milik Benedict Anderson. dan The World Is Flat kepunyaan Thomas L. Friedman. sedangkan buku lainnya, mirip beberapa perpustakaan umum yang pernah aku masuki. banyak buku Komunitas Bambu di bagian sejarahnya. hal semacam itu wajar. tapi, mengingat ini perpustakaan kota, itu yang cukup mencengangkan.jika perpus ini ada di Semarang, pastinya akan jadi perpustakaan daerah. perpustakaan kota yang cukup besar. Surabaya saja memiliki perpus yang sangat kecil. dan entah mengapa, wajah-wajah yang ada di tempat kini membuatku agak malas memandang ke segala arah. sedikit wajah-wajah cantik dan tampan. dan cara berpajaiannya pun masih terkesan tradisional, atau lebih tepatnya desa/kampung. sedikit yang terlihat modern atau modis. hanya satu dua saja yang terlihat enak untuk dipandang. 

hal yang paling membuatku sebal adalah penjaga loker. sial itu orang, luar biasa galak. mengingatkanku saat di DISPUSIPDA Bandung. benar-benar menjengkelkan dan tak nyaman. totebagku tidak dibolehkan masuk. aku ingin benar-benar melempar itu orang ke jalan raya yang ada di depan dan menendangnya sejauh dan sebanyak mungkin yang aku bisa. masak, tempat laptop yang aku bawa pun tak diperbolehkan. aku pun geram. sangat geram. lalu berjalan menaiki tangga sambil mengomel tak karuan agar didengar orang-orang yang sedang jalan. penjaga loker sialan! para perempuan pun dia damprat tanpa ampun. benar-benar penjaga loker yang kejam. 

tempat ini cukup ramai. tapi sedikit yang terlihat membaca buku.

'Colombus melaporkan kepada raja dan ratunya bahwa dunia itu bulat, karenya ia dicatat dalam sejarah sebagai orang pertama yang menemukan hal ini. sementara itu, ketika pulang saya hanya menyampaikan penemuan itu kepada istri sambil berbisik: " sayang, saya kira dunia ini datar."' dan aku sendiri ingin mengatakan, sayangnya, negara ini membosankan. dan oh ya, dunia ini tentunya sangat membosankan juga! tak peduli ia datar. bulat. lonjong. segitiga atau bahkan persegi. aku sudah mulai jenuh ketika sampai di Malang. aku memutuskan untul mengobrak-abrik isi perpus yang penampilannya sangat menyedihkan. 

aku menemukan buku Out of Place dari Edward Said dan ingin sekali menbawa pulang. aku pun mendapati buku Mao karya Jung Chang yang pernah aku miliki yang sayangnya dijual oleh adikku dengan harga kiloaan. lebih dari 50-100 buku langkaku dijual olehnya dengan harga kiloan karena dia membutuhkan uang untuk membayar hutang dan bersenang-senang dengan temannya. sempat aku luar biasa geram. sangat geram akan hal itu. tapi kemarahanku hanya sebentat. aku hanya teringat akan masa-masa, saat aku membutuhkan bahan untuk menulis, buku yang pernah aku miliki sudah tak ada. menjengkelkan. 

jika disuruh memilih, aku lebih suka berada di C20 dari pada di tempat ini. buku-bukunya dibungkus plastik yang tak rapat dan terkesan sangat buruk lagi menyedihkan. penampilan buku dan raknya yang tak menarik. dan tak ada sesosok cantik yang bisa aku pandangi. benar-benar ingin keluar dan secepat mungkin meninggalkannya. aku hanya tertahan oleh pengisian baterai yang rasa-rasanya bagai tak selesai. 

aku mencari tempat di pinggir jendela kaca. ada dua perempuan dengan penampilan yang cukup modis yang bisa sedikit menghibur kebosananku. sambil membaca buku Orang Indonesia dan Orang Prancis, aku mulai membaca dan mengamati. perlahan, matahari pun mulai tenggelam dan dunia di luar sana, seolah kedap suara. 

'penelitian Shtulman menandakan bahwa saat kita menjadi melek-sains, kita meredam keyakinan naif kita tetapi tidak pernah benar-benar menghapusnya,' tulis Joel Achenbach dalam tulisannya yang berjudul Era Ketidakpercayaan. Lalu apa yang terjadi dengan Indonesia jika isi perpusnya saja berantakan dan membaca buku termasuk dalam kategori langka? Yang terjadi adalah mempertahankan kelompok, kedekatan dengan teman, atau lebih tepatnya kesukuaan. Itulah yang sering aku lihat dan alami. Melihat kebenaran itu bisa menuju ke jalan depresi bahkan gangguan jiwa. Ditolak lingkungan sosial dan hidup dalam kemiskinan kondisi di mana kita akan sangat dimusuhi. 'kita harus lebih pandai dalam mencari jawaban, karena jelas pertanyaan yang muncul tidak akan semakin sederhana,' kata Joel Achenbach lagi. Dan otakku ini, terlalu banyak pertanyaan yang sangat tak sederhana, yang menggelisahkan orang-orang sezamanku. Tapi apakah aku harus berhenti dan menerima kalah dalam arus komunitas yang menyingkirkan kebenaran?

'justru karena mereka netral, sains menjadi begitu ampuh. Karena sains menyatakan kebenaran sesungguhnya, bukan kebenaran yang kita inginkan. Ilmuwan memang bisa dogmatis seperti orang lain -tetapi mereka mau melepas dogma jika ada penelitian baru. Dalam sains, kita tidak berdosa jika berubah pikiran saat dituntut oleh bukti. Bagi sebagian orang, suku lebih penting dari pada krbrnatan; bagi ilmuwan ternaik, kebenaran lebih penting dari pada suku, " kata Joel sekali lagi. Dan berada di manakah aku berada? Jelas, aku akan menghapus rasa suku jauh-jauh dari diriku. Walaupun begitu, aku bukanlah seorang ilmuwan yang baik. Dan aku terkadang masih sangat kuat dikendalikan oleh emosi. Bagiku sendiri, aku terlalu banyak. Dan aku berpesta terhadap sisi majemuk dalam diriku ini. 

Suara Adzan Maghrib terdengar di kejauhan. Suasana perpus pun semakin sepi. Aku rasa, aku harus meninggalkan tempat ini. Dan menuju tempat yang bisa aku jadikan tolok ukur lainnya; Gramedia.

Senin, 06 Maret 2017

MALANG: MEMASUKI KOTA









Malang cukup dingin. 
Awal pertemuan yang penuh ilusi.

Aku tiba di terminal Arjosari. Mencari makan. Lalu naik angkutan kota warna biru, AG. Melewati perumahan dan sungai kecil yang cukup banyak sampah terlihat di sana-sini. Sebanyak angkutan kota yang kosong melompong. Rasanya bagai berada di Bogor dengan banyak angkutan kota berseliweran tiada henti. 

Malang memiliki banyak pohon. Juga, yah, banyak macet. Sial. 

Jalan jenderal Ahmad Yani dan sebuah jembatan panjang. Trotoar yang dihabisi pepohonan. Retak. Dan pohon-pohon yang akhirnya semakin menciut dikalahkan oleh berbagai bangunan yang ada. Rasa-rasanya aku sedang berada di pinggiran. Hampir 8 kilometer menggunakan Go-Jek. Sayang Go-Jek tak bisa menjemputnya. Dan aku tak tahu, berapa jarak tempuh jika memakai angkutan kota. 

Di sinilah aku berada. Di dalam angkutan kota yang akan cukup lama membuatku terdampar di dalamnya. Dan macet langsung menyergapku tanpa ampun dan malu-malu. Kota brengsek. Ya sama dengan Bandung. Apa pun jenis kotanya. Jika baru pertama menginjakkan kaki di dalamnya sudah langsung terserang macet. Maka kota itu adalah kota brengsek. Malang, rasa-rasanya memenuhi syarat menjadi salah satu kota sialan yang tak begitu layak dikunjungi. Masa kejayaannya sudah habis. Apakah memang seperti itu? Lagian aku belum mencapai pusat kotanya.

Dan udara begitu panas di dalam angkutan ini. Embusan angin sedikit menyelamatkanku. Kemacetan membuatku ingin mengutuk kota ini sebanyak yang aku mau. Mobil-mobil terlihat sangat mencemaskan dan mengancam. 

Sekitar jalan Ahmad Yani 20, laju gerak roda sudah mulai kencang. Awal yang sangat mirip jika berada di Semarang. Sedang trotoar hilang entah ke mana. Rumah-rumah kecil buruk rupa di sisi kiri. Satu dua bangunan besar yang menjulang. Hotel Ibis Style. Menjengkelkan. Masak malah hotel? Lalu lampu merah dan la masih merah yang jika dihitung bisa membuat aku ingin mencopot kepalaku. Pom bensin bagikan berisi orang-orang yang sedang menunggu raskin. Sangat panjang. Jumlah kendaraan mulai banyak lagi. 

Sekarang berada di jalan Letjen Sutoyo. Dan ya kambing muda, macet!

Mobil menggurita. Mobil oh mobil. Para pemakai mobil memang harus mulai dimusnahkan dari muka bumi ini. Penduduk yang terus bertambah, akan membuat jalanan semakin menderita jika semuanya memiliki mobil dan menaikinya setiap hari. Dan masih tak terlihat tanda-tanda trotoar. Dalam sekali pandang, secara keseluruhan aku akan langsung mengatakan, lebih indah Surabaya. Kekurangan Surabaya hanya panas dan nyamuk serta beberapa hal kecil lainnya. Kota ini nyaris terlihat mirip Semarang. Kota yang aku sebut sebagai Neraka. 

Aku mirip dipanggang di dalam sini. Sungguh sangat panas. Di depanku angkutan kota bobrok masih tetap saja difungsikan. Mobil menghabisi 75 persen lebar jalan. Sedikit pohon. Angin pun berembus. Oh pohon terimakasih sudah menyejukkanku. Dan pesepeda pun harus berada di pinggiran walau sesekali menerobos ke tengah. Itu pun jumlahnya sekedar dua ekor. Tak banyak. Aku mengeluarkan tanganku dari jendela. Oh panas. Ya ternyata panas. Kota Malang pun sekarang sudah sangat panas. Neraka baru berikutnya sudah tercipta.

Sial, tak seindah Surabaya atau Bandung. Sudahlah. Aku sudah hilang harapan. Semakin menuju pusat kota, panas menguar kian menakutkan. Sampah berkeliaran dengan bebasnya di jalanan. Gedung-gedung kusam. Dan mobil yang keterlaluan banyaknya! Pohon-pohon hanya sekedar terlihat satu dua dan masih tak ada trotoar layak yang terlihat. Sesekali pesepeda dengan orang tua mengayuh di tengah terik matahari dan kendaraan-kendaraan keparat. 

Gereja Immanuel terlihat. Aku sudah hampir sampai. McD jauh lebih besar dan ikonik. Lucu memang. Dan sampailah aku di Alun-Alun Malang. Pusat sebuah kota yang, sangat mengecewakan. 

Aku menaiki jembatan yang penuh dengan coretan tak jelas. banyak sampah di jembatan ini. dan tentunya, bau pesing yang luar biasa menyengat. Aku pun terus berjalan dengan perasaan ingin mengutuki apa saja.  Terlihat banyak anak-anak pemakai BMX. Orang-orang tua dan segala jenis umur meramaikan Taman Alun-alun atau lebih dikenal sebagai Taman Merdeka. Dan trotoar masih terlihat tak menyenangkan. 

Karena waktu sudah sangat menipis. Aku pun segera memesan Go-Jek. menuju Perpustakaan Kota Umun secepatnya. Dengan begitu aku akan lebih cepat keluar dari kota sialan ini. 

MENINGGALKAN SURABAYA








'setelah mengunjungi semua yang bisa diselidiki di Singa Sari, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Malang,' jelas Thomas Stamford Raffles dalam perjalanannya pada tahun 1815. Sekarang 2017, berarti sudah sangat lama sekali. Dan aku sedang tidak kembali ke Malang atau berusaha meninggalkan Singa Sari. Aku sedang kabur dari Surabaya yang sudah tak menarik. Dan tak terlalu berharap dengan perjalanan John C. Dyke di tahun 1929 dan kegemparannya menjelaskan keindahan kota Malang. Kota buatan kolonial yang agak mirip dengan Bandung. Aku sudah pesimis sejak awal. Mungkin tak jauh beda dengan Bandung dan Surabaya hari ini. 

'Perjalanan saya di Jawa sangat nyaman tetapi mahal. Satu-satunya alat transportasi ialah sebuah kereta,' ungkap Alfred Russel Wallace di tahun 1869. Dan kini alat transportasi sangat beragam dan masih saja mahal. Kecuali jelas ekonomi yang cukup murah, yang aku naik dari Bandung ke Surabaya. Naik tingkatan sedikit saja, harganya sudah melambung tinggi. Dan sekarang aku sedang menuju Malang dengan sebuah bus ber-AC yang tak kebal dari beragam pengamen dan penjual makanan.

Suasana di sekitar Purabaya mirip dengan Semarang atas atau ketika melewati tol. Mirip juga dengan kisaran Bogor, Jakarta, Bandung, dan lainnya. Warna hijau dan beberapa pohon menguasai lahan. Dan pastinya rumah yang bertumpuk-tumpuk. 

Aku menggunakan Gojek untuk sampai di terminal Purabaya yang lebih dekat dengan Sidoarjo. Jalanan cukup sesak walau tak sampai macet. Banyak mal dan universitas berdiri di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang menjulang dan tanaman di berbagai tempat hingga di pinggirannya, membuatku memberikan beberapa tepuk tangan bagi kota ini. Tertata dan rapi. Sedikit sampah terlihat. Kota paling bersih sejauh aku melihatnya dibandingkan beragam kota lainnya. 

Di dekat jl Ahmad Yani, kalau tak salah. Ada sawah kecil dikelilingi bangunan. Seolah menandakan akhir dari pertanian di Jawa kelak. Surabaya nyaris keseluruhan telah menjadi kota. Berbagai bangunan yang baru dibangunan menjulang sangat tinggi. Becak motor juga sudah berkeliaran di mana-mana. Udara yang panas. Nyamuk-nyamuk keparat. Gairah intelektual yang menyedihkan membuat aku mencoret Surabaya sebagai daftar tempat kelak aku tinggal cukup lama.

Bus melewati Pasuruan yang penuh sampah dan diisi bangunan-bangunan yang tak enak dipandang. Lebih mirip dengan Magelang, Kebumen, dan Jogja. Atau lebih tepatnya, Kartosuro. Sukorejo tak jauh berbeda. Beberapa penumpang mulai naik. Begitu juga dengan pengamen tua berambut sedikit gondrong. Banyak pohon mangga, kresen, dan asam di sepanjang jalan. Sawah-sawah yang masih banyak membentang. Dan langit panas yang mulai menggelap. 

Sampai di Purwosari, suasana lebih banyak diisi oleh sawah sebagai latar belakang bangunan-bangunan. Sawah atau ladang? Entahlah. Yang jelas, kondisi rumah di pinggir jalan nyaris serupa dengan kota Pasuruan. Tak banyak bangunan menjulang tinggi. Bisa dibilang, Jawa Timur sedikit memiliki kota besar. Hanya Surabaya dan Malang yang paling besar.

Kondisi bus agak tersendat di jalan Raya Purwosari. Bangunan kusam berada di sisi kanan dan kiri. Sampah dan sampah. Beragam warung makan. Dan penjaja makanan kecil berupa jahe bergerilya di dalam bus. Akhirnya bus mendapati diri berada di tanjakan. Perjalanan menjadi semakin pelan. Masih cukup banyak pohon. Anehnya, jaringan seluler malah lebih kencang ketika meninggalkan Surabaya. Di Surabaya, mencari jaringan data sungguh sangat menyakitkan. Betapa susahnya!

Udara semakin dingin. Di sisi kiri sangat indah. Di sisi kanan seperti tempat yang mau rubuh. Rasa-rasanya aku sudah memasuki daerah pegunungan. Sangat jelas dari balik kaca, pegunungan berjejer dalam selimut putih kabut dan mendung. Dan cerobong asap terlihat dari kejauhan merusak suasana keindahan yang baru saja ingin aku kagumi. Betapa brengseknya industrialisasi. Yah, sayang aku juga hidup di dunia industri. Dilema konyol dan tak pernah selesai dalam diri anak muda seperti aku. 

Kini, bus memasuki jalan Lawang-Malang yang menanjak. Suasananya sangat mirip seperti Ambarawa. Kontur tanah dan lanskapnya sangat mirip. Begitu juga bangunannya. Asap cerobong masih saja mengganggu mataku. Sangat menyebalkan. Kalau dilihat sekilas, Lawang lebih mirip sebagian dari Ungarang dan Ambarawa. Atau aku yang sudah salah menilai?

Suasananya tak jauh beda dengan Pasuruan. Dan yang penting, terlihat masakan Padang. Itu sudah cukup menggiurkan. Suasana perutku sudah pada tahap keroncongan. Aku benar-benar lapar. Waktu mendekati angka 11:- siang hari. Dan yang agak bermasalah, aku melihat pohon Pinus mulai bergoyang. Begitu juga spanduk warung yang aku lihat, dari Soto Ayam Lombok dengan warna kuning yang sangat mencolok. Bus pun kembali menanjak dengan pelan. Merayap di jalan Dr. Wahidin. Oh ya, aku lagi bosan mencatat sampah dan bangunan yang ada. Ada tempat karaoke, les, beberapa bangunan terlantar, dan gapura Puri Kencana Lawang. Puri? Meragukan memang.

Sangat banyak bangunan tua yang dirobohkan. Ditinggalkan. Di sekitar Bedali, sepanjang jalan, semuanya seolah menjelma toko. Persis seperti yang pernah dikatakan oleh Rhadar Panca Dahana mengenai betapa tak kreatifnya kita dalam dunia usaha. 

Sepertinya aku telah memasuki kawasan industri. Aku berada di kawasan Singo Sari.  Yang isi bangunan dan fisiknya tak jauh beda. Perutku sudah mulai melilit, minta diisi dengan segera. 

Ruko-ruko yang sepi. Beberapa dijual. Pusat pakaian murah. Wilayah tinggal tentara. Jalan yang mulai lambat dengan menumpuknya mobil dan kendaraan angkut. Nasib Malang yang terlihat menyedihkan jika dipandang dari jalanan menuju kota itu. Aku bagaikan melihat kembaran Semarang atas.

Pohon mahoni. Angsana. Asam Jawa. Preh. Sesekali durian. Kresen. Mangga. Menguasai sepanjang jalan ini. Ada juga beringin. Pepaya. Dan beragam jenis tanaman hias yang penataannya tak seindah Surabaya. Malang dikenal sebagai Kota Taman atau The Garden City. Aku ingin tahu, apakah kota itu bisa sebaik Surabaya dalam penataan tamannya. 

Sial, Singo Sari terasa lambat dan menyebalkan. Benar-benar macet. Bus bergerak begitu lambat. Kemacetan selalu saja mengurangi kesenangan para pejalan dan pengembara. Dan wahai kambing muda! Aku lapar!

Hari ini hari Sabtu. Aku sampai lupa akan hal itu. 4 Maret 2017. Aku masih sedang bergerak menuju kota Malang. Terjebak di Singo Sari. Tempat Ken Arok berkuasa di abad pertengahan dan memulai kerajaan yang kelak akan menjadi cikal bakal Majapahit. Aku mengagumi masa lalu itu. Tapi jalanan sekarang ini, apa yang harus bisa dikagumi? Heh?

Kalau boleh, aku ingin melempar semua jenis sampah jalanan di depan sana atau mengebomnya agar cepat menyingkir. Aku bukan sedang ingin menuju Jogja atau Bandung. Aku hanya ingin menuju Malang. Tapi kenapa keadaannya nyaris serupa?! Benar-benar kemacetan panjang yang sangat sialan.

Sesampainya di Malang, aku sudah menyiapkan umpatan yang lebih banyak lagi. Sangat banyak. Aku sendiri bahkan tak bisa menghitungnya. 

Deretan penjual topi, sandal, handphone, barang bekas, buah-buahan, motor dan mobil yang berderet terparkir di pasar Singo Sari, membuat aku ingin tidur dan memenuhi panggilan kantukku. Dan bus bergerak sama lambatnya dengan beberapa puluh menit yang lalu. Aku pun menghela nafas. Bosan. Lelah. Kurang tidur. Dan keinginan jahat ingin menghapus peta Singo Sari dan hanya sekedar menjadikannya jalan lebar tanpa perumahan dan penduduk. Igauan konyol yang layak aku kagumi. 

Melihat jalanan yang macet tiada ujung. Aku benar-benar malas dan bosan. Mobil-mobil tak tahu diri yang sangat mengganggu mata dan pikiranku. Lebih baik aku tidur dan mengisi tenagaku kembali. 

Taman Ken Dedes. River Side. Masih juga macet. Aku sudah sampai di bagian Malang. Oh aku sudah sampai di Malang. Terminal Arjosari. Terlambat hampir satu jam. Aku pun berjalan membawa kantukku dan mulai memasuki kota.

SURABAYA: JEMBATAN MERAH








Kota tua yang terasa ditinggalkan. Sangat tak indah. Menyedihkan. Seperti kota tua lainnya, nasibnya nyaris serupa. 

Saat aku memasuki kawasan kota tua dengan alasan ingin melihat jembatan merah. Aku sedikit berharap dengan kota ini. Mungkin aku tak akan lagi melihat kembaran kota tua Jakarta dan kota lama Semarang. Tapi, motor yang aku naiki, melaju sedang, di antara  bangunan-bangunan yang terlihat angker. Dan suasana yang cukup membuatku tak lagi berharap. 

Tak begitu terawat. Bangunan-bangunan yang diabaikan manusia. Bau amis yang menyengat. Beberapa sampah tergeletak di jalanan. Lampu-lampu yang redup. Mirip kota Lama di Semarang saat malam hari. 

Kami menitipkan motor di dekat penjual makanan yang cukup ramai. Berjalan kaki. Memandang sekitar. Sepi. Tak jauh beda dengan jalan Tunjungan. Hanya orang tolol yang berharap tempat ini ramai dan mungkin menyenangkan untuk digunakan membaca. Mengenai pembaca buku, jelas hal yang mustahil. Aku sendiri sudah bosan memikirkan hal itu.

Kami berjalan. Baru berapa langkah sudah dihadang beragam jenis becak, angkutan kota berkarat yang menyedihkan, dan ojek. Aku mengajukan usulan untuk menghitung beberapa banyak kami dipanggil untuk masuk ke dalam becak dan angkutan mereka. Sialnya, aku baru menghitung antara 3-5, lalu melupakannya. Mungkin mereka tidak penting bagi kami. Sementara kami sangat penting bagi kehidupan mereka. Silang sosial yang berat sebelah memang. Aku jadi teringat buku Merebut Ruang Kota.

Dilihat sekilas, kota tua ini tak seburuk kota tua lainnya. Masih cukup bersih dan agak terawat. Yah, setidaknya aku tak akan terjun bebas di sungai yang baunya sangat menjijikkan dan amis. Berwarna kecoklatan dan sangat tak bersih. Persis seperti yang V.S. Naipul gambarkan di tahun 1981. Tahun di mana aku masih belum lahir. Hah..

Kami berjalan sebentar menuju taman Jembatan Merah Plaza. Taman yang ditata cukup baik dan teduh. Menghilangkan sedikit wajah buruk sebuah kota yang tak lagi mendapatkan penghargaan seperti awal dibangun. Pergeseran kota yang berorientasi air, sungai, dan laut, di sisi Barat Sungai Mas digantikan dengan kota-kota baru di sisi Timur Sungai dan semakin berkembang ke bagian lainnya dengan mencaplok berbagai perkampungan dan desa. Sayangnya, aku tak sempat belajar banyak mengenai arsitektur kota. Sungguh menyedihkan.

SURABAYA: C20 LIBRARY & COLLABTIVE









dalam sekali pandang, aku langsung tahu, inilah perpustakaan langka di pusat kota Surabaya. deretan buku-buku Komunitas Bambu di dekat pintu sudah langsung menjelaskan tempat yang kini aku sedang berada di dalamnya. dalam artian banyak, aku bagaikan melihat bayang-bayang Freedom Institu di sini. walau tak sebagus Freedom Institut tapi dalam sekali waktu, aku menyukainya.
aku diantar oleh Go-Car untuk sampai di tempat ini. menunggu cukup lama hanya untuk jarak 1,3 kilometer. waktu tunggu yang aku jalani, sudah cukup membuatku sampai lebih dulu dari pada mobil yang tersesat dan bingung mencariku. walaupun begitu, aku memutuskan tetap memesan Go-Car untuk alasan, bagaimana rasanya hidup di dalam mobil nyaris setiap harinya ketika sedang berada di jalan? dan, setelah beberapa percobaan ditambah yang dahulu, aku semakin tahu. di dalam mobil, orang bagaikan berada di tempat yang paling nyaman sehingga lupa akan waktu, lingkungan, dan tak peduli dengan apa yang dilewati. dalam sekali waktu, tiba-tiba mobil sudah berada dekat dengan tujuan. kenyamanan di dalam mobil merusak kenyataan sehari-hari. macet, panas, hujan, dan segala ketidaknyaman sekitar mendadak lenyap. terlebih jika sedang berada di belakang kemudi, samping, dan bukan sebagai pengemudi. jadi inilah alasannya aku melihat sangat banyak perempuan di Tunjungan Plaza kemarin lebih banyak memesan jasa mobil. entah taksi atau berbasis aplikasi. Blue Bird dan Go-Jek telah saling merangkul. ditambah potongan harga menggunakan Go-Pay dan lainnya, membuat orang lupa diri dan berkata cukup karena nantinya akan jadi masalah.

pokoknya sekarang aku sudah di tempat ini, luasnya nyaris seluas IFI. dan disambut oleh seorang penjaga perempuan berbaju warna ungu dan berkacamata. ada seorang tua gendut. perempuan berjilbab. dan seorang perempuan berpakaian hitam, yang gayanya lebih mirip seniman. siapa mereka? aku lagi tak mau tahu. aku lagi agak malas mengeluarkan suara.

di dalam perpustakaan kecil ini, aku langsung mendapatkan harta karun. sebuah buku berwarna oranye berjudul Darwin's Dangerous Idea karya Daniel C. Dennett. nama yang tak asing bagiku. dan buku yang jarang aku temui di manapun kecuali memang di perpustakaan Freedom Institut. 

ada seorang perempuan berjilbab ungu tengah asyik mencari buku-buku. aku lihat sekilas, kebanyakan buku sejarah mengenai Majapahit,Mataram, dan lainnya. setelah aku tanya dari jurusan apa dia, dia pun menjawabnya 'sejarah'. sekali dalam ssminggu dia berada di sini karena keperluan tugas dan semacamnya. dan yah, hanya dia satu-satu orang luar dari lingkaran tempat ini. aku rasa seperti itu. baiklah, tempat semacam ini memang sangat menyenangkan ketika sepi. tapi juga sedikit ironis.

rasa haus menyerangku. aku membei minum air putih dingin di tempat ini. yang ada tinggal yang dingin, mai bagaiamana lagi? aku cepat-cepat meneguknya. sekali waktu, kepalaku bagaikan terserang ombak. berdenyut dan pusing. panas udara Surabaya, kelelahan, dan air dingin, membuatku bagai jatuh tersungkur dan tak bersemangat. perlu waktu cukup lama untuk memulihkan diri dan sedikit menikmat tempat ini. 

konyol rasanya membuat diriku sendiri menjadi tak berguna semacam ini. walau aku sudah tak terlalu berguna sejak dulu. tapi yang ini benar-benar idiot. di tengah tumpukan dan deratan buku bagus, bisa-bisanya aku malah menjadi seperti ini? sakit kepala yang tak mau berhenti samlai menjelang malam tiba. benar-benar tolol.

aku memaksa diriku mengamati rak-rak. banyak yang bagus. aku bilang, inilah perpustakaa terbaik yang sudah aku masuki ketika berada di Surabaya. kota yang panasnya mengerikan. 

aku mendapatkan buku karya Richard Dawkins, The Ancestor's Tale. Nietzsche dengan Human, All Too Human dan Beyond Good and Evil dijadikan satu. ada Krakatao tulisan Simon Winchester, yang bagus, dan membuat aku ingin mencarinya nanti. buku berbahasa inggirs dengan sampul elegan dari Benedict Anderson, Under Three Flags. bahasa Indonesinta juga ada. karena aku lagi tertarik dengan kajian kota, sedang berada di Surabaya, dan sedang ingin ke Malang. aku mengambil buku milik Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman; Surabaya dan Malang. buku dengan pengarang sama yang buku lainnya sedang ada di dalam tas.

ada juga buku kotarumahkita karya Marco Kusumawijaya. sejak dulu aku ingin memiliki buku ini. tapi tak pernah kesampaian. harga 100 ribu. pertama kali melihatnya di Kedai Kebun. kini ada di C02. aku juga sekilas membaca karya Joss Wibisono, Saling Silang Indonesia-Eropa. dan masih banyak buku bagus lainnya. di antaranya, aku sudah memilikinya. 

aku terpaksa menggeledah isi perpus dan membawa buku-buku ini di depan lampu baca; Kepada Bangsaku; Karya-karya bung karno. sebuah buku bagus milik Jared Diamond, Guns, Germs, and Steel versi bahasa inggris, kecil, dan sangat mudah dibawa di tas. ada juga Memoir dari Bung Hatta. Mengapa Seks Itu Asyik karangan Jared Diamond lagi. Sang Pemula Karya Pramoedya Ananta Toer. dan luar biasa banyak lainnya buku bagus yang membuatku betah.

kepalaku masih berdenyut tak karuan. walau agak sedikit mereda.

aku mengobrol sejenak dengan penjaga perpustakaan mengenai bagaimana aku memasuji kota-kota dan ingin melihat berbagai macam buku. awalnya menarik, sayang dia lagi sibuk kerja jadi tak bisa terarah padaku. akhirnya aku meminta ijin untuk memasuki ruangan yang ada di atas, yang katanya berbayar jika orang butuh ketenangan. wifi di sini juga berbayar. cukup mahal. tapi, rasa-rasanya, semua itu untuk memenuhi kebutuhan akan manajemen perpus ini. 

hari makin gelap. orang berdatangan. lumayan. tapi hanya untuk les, mengobrol, dan hanya aku sendiri yang masih ada di ruangan perpus ini. dinaungi lampu belajar. dan keramangan sekitar yang membuat aku agak hening; bahkan tempat sebagus ini pun sepi dan tak terlalu digemari. yah, apakah era perpustakaan akan berakhir?

aku membaca artikel mengenai sengketa dan kontroversi perpustakaan di lantai atas. mengenai semakin susahnya membiayai berbagai perpustakaan yang ada. keinginan untuk membuka perpustaakan sebagai ruang terbuka yang lebih umum. hingga masalah perubahan dan hukum yang tersangkut di dalamnya. apakah era perpustakaan akan berakhir dan menjadi sekedad kenangan? setidaknya, di negara ini, kematian perpustakaan sudah sangat lama terjadi. perpustakaan sudah sangat lama menjadi ruang publik mirip cafe. apakah itu masalah? ya dan tidak bagiku sendiri. tapi aku juga sangat jengkel karena sedikit menemukan pembaca buku bahkan di perpustakaan itu sendiri. dan kipas angin, berputar-putat tak berarti dan percuma, sekitar dua meter dariku berada. aku pun mematikannya.

aku sedang melihat keruntuhan buku dan dunia intektual tepat di depan mataku dan ketika aku masih muda dunia digital yang kacau dan sangat tak bertanggung jawab memasuki ruang pribadi orang-orang yang tak pernah membaca buku secara utuh dan secara dalam. apa yang akan terjadi dengan masyarakat negara ini kemudian hari? aku tak tahu. tapi aku ingin bilang, negara ini telah menjadi tanah surga yang terbakar. 

Jawa yang tak lagi menjadi surga. dan kota-kota besar di Indonesia yang menyusul menjadi neraka. dunia sekitarku bergerak ke arah yang sangat monoton. semua jenis orang hidup di dalamnya. mempertahankan hidup dan menjalaninya antara enggan dan ingin. dan, kita berakhir dalam keterlupaan yang abadi. buku-buku mengajariku banyak hal. salah satunya, terlalu sedikit dari kita yang akan terus diingat. seperti buku-buku di ruangan ini yang dilupakan dan semakin terpinggirkan.