'setelah mengunjungi
semua yang bisa diselidiki di Singa Sari, kami melanjutkan perjalanan
kembali ke Malang,' jelas Thomas Stamford Raffles dalam perjalanannya
pada tahun 1815. Sekarang 2017, berarti sudah sangat lama sekali. Dan
aku sedang tidak kembali ke Malang atau berusaha meninggalkan Singa
Sari. Aku sedang kabur dari Surabaya yang sudah tak menarik. Dan tak
terlalu berharap dengan perjalanan John C. Dyke di tahun 1929 dan
kegemparannya menjelaskan keindahan kota Malang. Kota buatan kolonial
yang agak mirip dengan Bandung. Aku sudah pesimis sejak awal. Mungkin
tak jauh beda dengan Bandung dan Surabaya hari ini.
'Perjalanan saya di Jawa
sangat nyaman tetapi mahal. Satu-satunya alat transportasi ialah sebuah
kereta,' ungkap Alfred Russel Wallace di tahun 1869. Dan kini alat
transportasi sangat beragam dan masih saja mahal. Kecuali jelas ekonomi
yang cukup murah, yang aku naik dari Bandung ke Surabaya. Naik tingkatan
sedikit saja, harganya sudah melambung tinggi. Dan sekarang aku sedang
menuju Malang dengan sebuah bus ber-AC yang tak kebal dari beragam
pengamen dan penjual makanan.
Suasana di sekitar
Purabaya mirip dengan Semarang atas atau ketika melewati tol. Mirip juga
dengan kisaran Bogor, Jakarta, Bandung, dan lainnya. Warna hijau dan
beberapa pohon menguasai lahan. Dan pastinya rumah yang
bertumpuk-tumpuk.
Aku menggunakan Gojek
untuk sampai di terminal Purabaya yang lebih dekat dengan Sidoarjo.
Jalanan cukup sesak walau tak sampai macet. Banyak mal dan universitas
berdiri di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang menjulang dan tanaman di
berbagai tempat hingga di pinggirannya, membuatku memberikan beberapa
tepuk tangan bagi kota ini. Tertata dan rapi. Sedikit sampah terlihat.
Kota paling bersih sejauh aku melihatnya dibandingkan beragam kota
lainnya.
Di dekat jl Ahmad Yani,
kalau tak salah. Ada sawah kecil dikelilingi bangunan. Seolah menandakan
akhir dari pertanian di Jawa kelak. Surabaya nyaris keseluruhan telah
menjadi kota. Berbagai bangunan yang baru dibangunan menjulang sangat
tinggi. Becak motor juga sudah berkeliaran di mana-mana. Udara yang
panas. Nyamuk-nyamuk keparat. Gairah intelektual yang menyedihkan
membuat aku mencoret Surabaya sebagai daftar tempat kelak aku tinggal
cukup lama.
Bus melewati Pasuruan
yang penuh sampah dan diisi bangunan-bangunan yang tak enak dipandang.
Lebih mirip dengan Magelang, Kebumen, dan Jogja. Atau lebih tepatnya,
Kartosuro. Sukorejo tak jauh berbeda. Beberapa penumpang mulai naik.
Begitu juga dengan pengamen tua berambut sedikit gondrong. Banyak pohon
mangga, kresen, dan asam di sepanjang jalan. Sawah-sawah yang masih
banyak membentang. Dan langit panas yang mulai menggelap.
Sampai di Purwosari,
suasana lebih banyak diisi oleh sawah sebagai latar belakang
bangunan-bangunan. Sawah atau ladang? Entahlah. Yang jelas, kondisi
rumah di pinggir jalan nyaris serupa dengan kota Pasuruan. Tak banyak
bangunan menjulang tinggi. Bisa dibilang, Jawa Timur sedikit memiliki
kota besar. Hanya Surabaya dan Malang yang paling besar.
Kondisi bus agak
tersendat di jalan Raya Purwosari. Bangunan kusam berada di sisi kanan
dan kiri. Sampah dan sampah. Beragam warung makan. Dan penjaja makanan
kecil berupa jahe bergerilya di dalam bus. Akhirnya bus mendapati diri
berada di tanjakan. Perjalanan menjadi semakin pelan. Masih cukup banyak
pohon. Anehnya, jaringan seluler malah lebih kencang ketika
meninggalkan Surabaya. Di Surabaya, mencari jaringan data sungguh sangat
menyakitkan. Betapa susahnya!
Udara semakin dingin. Di
sisi kiri sangat indah. Di sisi kanan seperti tempat yang mau rubuh.
Rasa-rasanya aku sudah memasuki daerah pegunungan. Sangat jelas dari
balik kaca, pegunungan berjejer dalam selimut putih kabut dan mendung.
Dan cerobong asap terlihat dari kejauhan merusak suasana keindahan yang
baru saja ingin aku kagumi. Betapa brengseknya industrialisasi. Yah,
sayang aku juga hidup di dunia industri. Dilema konyol dan tak pernah
selesai dalam diri anak muda seperti aku.
Kini, bus memasuki jalan
Lawang-Malang yang menanjak. Suasananya sangat mirip seperti Ambarawa.
Kontur tanah dan lanskapnya sangat mirip. Begitu juga bangunannya. Asap
cerobong masih saja mengganggu mataku. Sangat menyebalkan. Kalau dilihat
sekilas, Lawang lebih mirip sebagian dari Ungarang dan Ambarawa. Atau
aku yang sudah salah menilai?
Suasananya tak jauh beda
dengan Pasuruan. Dan yang penting, terlihat masakan Padang. Itu sudah
cukup menggiurkan. Suasana perutku sudah pada tahap keroncongan. Aku
benar-benar lapar. Waktu mendekati angka 11:- siang hari. Dan yang agak
bermasalah, aku melihat pohon Pinus mulai bergoyang. Begitu juga spanduk
warung yang aku lihat, dari Soto Ayam Lombok dengan warna kuning yang
sangat mencolok. Bus pun kembali menanjak dengan pelan. Merayap di jalan
Dr. Wahidin. Oh ya, aku lagi bosan mencatat sampah dan bangunan yang
ada. Ada tempat karaoke, les, beberapa bangunan terlantar, dan gapura
Puri Kencana Lawang. Puri? Meragukan memang.
Sangat banyak bangunan
tua yang dirobohkan. Ditinggalkan. Di sekitar Bedali, sepanjang jalan,
semuanya seolah menjelma toko. Persis seperti yang pernah dikatakan oleh
Rhadar Panca Dahana mengenai betapa tak kreatifnya kita dalam dunia
usaha.
Sepertinya aku telah
memasuki kawasan industri. Aku berada di kawasan Singo Sari. Yang isi
bangunan dan fisiknya tak jauh beda. Perutku sudah mulai melilit, minta
diisi dengan segera.
Ruko-ruko yang sepi.
Beberapa dijual. Pusat pakaian murah. Wilayah tinggal tentara. Jalan
yang mulai lambat dengan menumpuknya mobil dan kendaraan angkut. Nasib
Malang yang terlihat menyedihkan jika dipandang dari jalanan menuju kota
itu. Aku bagaikan melihat kembaran Semarang atas.
Pohon mahoni. Angsana.
Asam Jawa. Preh. Sesekali durian. Kresen. Mangga. Menguasai sepanjang
jalan ini. Ada juga beringin. Pepaya. Dan beragam jenis tanaman hias
yang penataannya tak seindah Surabaya. Malang dikenal sebagai Kota Taman
atau The Garden City. Aku ingin tahu, apakah kota itu bisa sebaik Surabaya dalam penataan tamannya.
Sial, Singo Sari terasa
lambat dan menyebalkan. Benar-benar macet. Bus bergerak begitu lambat.
Kemacetan selalu saja mengurangi kesenangan para pejalan dan pengembara.
Dan wahai kambing muda! Aku lapar!
Hari ini hari Sabtu. Aku
sampai lupa akan hal itu. 4 Maret 2017. Aku masih sedang bergerak
menuju kota Malang. Terjebak di Singo Sari. Tempat Ken Arok berkuasa di
abad pertengahan dan memulai kerajaan yang kelak akan menjadi cikal
bakal Majapahit. Aku mengagumi masa lalu itu. Tapi jalanan sekarang ini,
apa yang harus bisa dikagumi? Heh?
Kalau boleh, aku ingin
melempar semua jenis sampah jalanan di depan sana atau mengebomnya agar
cepat menyingkir. Aku bukan sedang ingin menuju Jogja atau Bandung. Aku
hanya ingin menuju Malang. Tapi kenapa keadaannya nyaris serupa?!
Benar-benar kemacetan panjang yang sangat sialan.
Sesampainya di Malang,
aku sudah menyiapkan umpatan yang lebih banyak lagi. Sangat banyak. Aku
sendiri bahkan tak bisa menghitungnya.
Deretan penjual topi,
sandal, handphone, barang bekas, buah-buahan, motor dan mobil yang
berderet terparkir di pasar Singo Sari, membuat aku ingin tidur dan
memenuhi panggilan kantukku. Dan bus bergerak sama lambatnya dengan
beberapa puluh menit yang lalu. Aku pun menghela nafas. Bosan. Lelah.
Kurang tidur. Dan keinginan jahat ingin menghapus peta Singo Sari dan
hanya sekedar menjadikannya jalan lebar tanpa perumahan dan penduduk.
Igauan konyol yang layak aku kagumi.
Melihat jalanan yang
macet tiada ujung. Aku benar-benar malas dan bosan. Mobil-mobil tak tahu
diri yang sangat mengganggu mata dan pikiranku. Lebih baik aku tidur
dan mengisi tenagaku kembali.
Taman Ken Dedes. River
Side. Masih juga macet. Aku sudah sampai di bagian Malang. Oh aku sudah
sampai di Malang. Terminal Arjosari. Terlambat hampir satu jam. Aku pun
berjalan membawa kantukku dan mulai memasuki kota.