Selasa, 07 Maret 2017

MALANG: ALUN-ALUN TUGU










Berjalan. Lagi dan lagi. Hanya untuk sekedar tak jatuh dalam kebosanan tanpa ujung. Aku berjalan dari alun-alun melewati jalan Sugiyopranoto. Lapar. Tadi tak ada warung yang buka. Terus berjalan di atas trotoar kecil yang hilang tepat di depan mobil yang parkir. Lalu menyeberangkan diri dan terus berjalan, menurun, di jalan Majapahit. Pohon-pohon tua cukup besar untuk menghapus neraka baru kota malang yang menyengat. Antara Surabaya dan Malang, udara panasnya nyaris tak jauh beda. Aku tahu itu konyol. Hanya saja perutku luar biasa lapar. Tak ada anda-tanda rumah makan yang bukan. Akhirnya, karena tak tahan ingin kencing. Aku masuk ke area Dewan Kesenian Malang yang sangat kecil dan berantakan. Yah, begitulah seni di negara ini. Pengetahuan umum bersama yang seringkali tampak tersisihkan. 

Anak-anak muda yang terkesan buram dan tak terlihat elegan. Wajah-wajah kusut dan kurang perhatian. Bergerombol mengitari sebuah meja. Dan ada beberapa yang di pendopo yang tampak seperti emperan toko. Aku pura-pura bertanya, kita harus pandai-pandai berkilah di jalan, ada acara apa akhir-akhir ini? Salah seorang perempuan menjawabnya, teater. Itu pun Minggu depan. Aku sudah tak di sini. Hari ini pun aku ingin segera meninggalkan kota terkutuk ini sesegera mungkin. Lalu aku bertanya toilet, yang lokasinya berada di belakang.
Habis dari dewan kesenian yang bobrok dan tak jelas itu. Aku meneruskan langkahku melewati sebuah jembatan dengan aliran air deras berwarna kecoklatan. Aku sedang melewati sungai Brantas yang sampai di Surabaya menjadi Kali Mas. Sungai yang dinaungi pohon-pohon menjulang dan lebat. dan rumah-rumah tak beraturan yang juga terlihat lebat dan bertumpuk-tumpuk. Tanpa pepohonan, kota Malang bisa langsung kita depak saja sebagai salah satu kota paling sialan di Jawa. 

Aku pun meneruskan berjalan. Menanjak. Trotoar berisi pepohonan, jalur hijau, yang sangat teduh dan nyaman. Kota baru buatan Belanda ini cukup bagus. Tapi hanya cukup. Tak salah juga jika kota ini dulu sempat dijuluki dan disamakan dengan Paris dan Swiss. Tapi, kenyataannya, hari ini, kota ini adalah neraka di ketinggian. Ya, Malang adalah neraka di ketinggian. 

Julukan kota bunga dan taman pun tak layak. Surabaya jauh lebih indah dari pada Malang. Bahkan Semarang masih lebih baik dari pada kotak ini. Entah mengapa, aku kecewa dengan kota ini. Tidak hanya panas menyengat tapi sampah masih berkeliaran di banyak tempat. Trotoar yang hilang dan jalan yang terlampau sempit. Yang paling menjengkelkan adalah panas kota ini.
Neraka di Ketinggian.

Susahnya mencari makan di sekitar daerah ini ditambah panas yang tanpa ampun, membuat kota ini langsung aku coret dari daftar keinginanku tinggal. Ditambah macet dan ruang-ruang intelektual yang terlampau sedikit, membuatku ingin secepat mungkin lenyap dari tempat ini. Malang adalah kota yang tak layak huni.

Alun-alun Tugu berbentuk melingkar atau bundar. Pohon trembesi menghiasi tempat ini. Pohon yang bersejarah. Dah yah, bisa ditebang kapan saja tentunya. Sekali pandang, aku melihat kembaran Tugu Muda Semarang. Tugu yang persis sama. Taman yang hampir mirip. Kolam ikan, yang walau lebih indah dan lebar, arsitekturnya sangat mendekati. Bedanya Balai Kota tidak langsung di depan taman. Juga gedung DPR. 

Suasana sangat sepi ketika aku memasuki lingkaran dalam taman. Hanya ada beberapa orang selfie, duduk, turun dari bus wisata, dan mengambil beragam jenis foto. Pada akhirnya, aku memutuskan membaca buku dan mengambil gambar. Tak lama kemudian, matahari menyengat dari arah Stasiun Kota. Tak ada pesepeda. Terlebih pembaca buku. Tak butuh waktu lama, aku pun melangkah pergi. Menjauhkan diri segera dari kota brengsek ini.

Neraka di Ketinggian. Tak ada yang istimewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar