Berjalan. Lagi dan lagi.
Hanya untuk sekedar tak jatuh dalam kebosanan tanpa ujung. Aku berjalan
dari alun-alun melewati jalan Sugiyopranoto. Lapar. Tadi tak ada warung
yang buka. Terus berjalan di atas trotoar kecil yang hilang tepat di
depan mobil yang parkir. Lalu menyeberangkan diri dan terus berjalan,
menurun, di jalan Majapahit. Pohon-pohon tua cukup besar untuk menghapus
neraka baru kota malang yang menyengat. Antara Surabaya dan Malang,
udara panasnya nyaris tak jauh beda. Aku tahu itu konyol. Hanya saja
perutku luar biasa lapar. Tak ada anda-tanda rumah makan yang bukan.
Akhirnya, karena tak tahan ingin kencing. Aku masuk ke area Dewan
Kesenian Malang yang sangat kecil dan berantakan. Yah, begitulah seni di
negara ini. Pengetahuan umum bersama yang seringkali tampak
tersisihkan.
Anak-anak muda yang
terkesan buram dan tak terlihat elegan. Wajah-wajah kusut dan kurang
perhatian. Bergerombol mengitari sebuah meja. Dan ada beberapa yang di
pendopo yang tampak seperti emperan toko. Aku pura-pura bertanya, kita
harus pandai-pandai berkilah di jalan, ada acara apa akhir-akhir ini?
Salah seorang perempuan menjawabnya, teater. Itu pun Minggu depan. Aku
sudah tak di sini. Hari ini pun aku ingin segera meninggalkan kota
terkutuk ini sesegera mungkin. Lalu aku bertanya toilet, yang lokasinya
berada di belakang.
Habis dari dewan
kesenian yang bobrok dan tak jelas itu. Aku meneruskan langkahku
melewati sebuah jembatan dengan aliran air deras berwarna kecoklatan.
Aku sedang melewati sungai Brantas yang sampai di Surabaya menjadi Kali
Mas. Sungai yang dinaungi pohon-pohon menjulang dan lebat. dan
rumah-rumah tak beraturan yang juga terlihat lebat dan bertumpuk-tumpuk.
Tanpa pepohonan, kota Malang bisa langsung kita depak saja sebagai
salah satu kota paling sialan di Jawa.
Aku pun meneruskan
berjalan. Menanjak. Trotoar berisi pepohonan, jalur hijau, yang sangat
teduh dan nyaman. Kota baru buatan Belanda ini cukup bagus. Tapi hanya
cukup. Tak salah juga jika kota ini dulu sempat dijuluki dan disamakan
dengan Paris dan Swiss. Tapi, kenyataannya, hari ini, kota ini adalah
neraka di ketinggian. Ya, Malang adalah neraka di ketinggian.
Julukan kota bunga dan
taman pun tak layak. Surabaya jauh lebih indah dari pada Malang. Bahkan
Semarang masih lebih baik dari pada kotak ini. Entah mengapa, aku kecewa
dengan kota ini. Tidak hanya panas menyengat tapi sampah masih
berkeliaran di banyak tempat. Trotoar yang hilang dan jalan yang
terlampau sempit. Yang paling menjengkelkan adalah panas kota ini.
Neraka di Ketinggian.
Neraka di Ketinggian.
Susahnya mencari makan
di sekitar daerah ini ditambah panas yang tanpa ampun, membuat kota ini
langsung aku coret dari daftar keinginanku tinggal. Ditambah macet dan
ruang-ruang intelektual yang terlampau sedikit, membuatku ingin secepat
mungkin lenyap dari tempat ini. Malang adalah kota yang tak layak huni.
Alun-alun Tugu berbentuk
melingkar atau bundar. Pohon trembesi menghiasi tempat ini. Pohon yang
bersejarah. Dah yah, bisa ditebang kapan saja tentunya. Sekali pandang,
aku melihat kembaran Tugu Muda Semarang. Tugu yang persis sama. Taman
yang hampir mirip. Kolam ikan, yang walau lebih indah dan lebar,
arsitekturnya sangat mendekati. Bedanya Balai Kota tidak langsung di
depan taman. Juga gedung DPR.
Suasana sangat sepi
ketika aku memasuki lingkaran dalam taman. Hanya ada beberapa orang
selfie, duduk, turun dari bus wisata, dan mengambil beragam jenis foto.
Pada akhirnya, aku memutuskan membaca buku dan mengambil gambar. Tak
lama kemudian, matahari menyengat dari arah Stasiun Kota. Tak ada
pesepeda. Terlebih pembaca buku. Tak butuh waktu lama, aku pun melangkah
pergi. Menjauhkan diri segera dari kota brengsek ini.
Neraka di Ketinggian. Tak ada yang istimewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar