Aku berada di Gramedia
seperti orang dungu yang tersesat dan harus segera sadar diri. hei bung,
tak ada apa-apa di sini! melihat Gramedia yang luar sepi di malam
minggu adalah hal yang biasa. masalahnya, aku sedang berada di Gramedia
terbesar Malang, sangat dekat dengan Alun-Alun, Ramaya, McD, dan lain
sebagainya. tapi, kali ini benar-benar sepi. hanya terlihat beberapa
orang saja. seolah-olah menandakan masa depan Gramedia yang akan
berakhir.
lokasi tempat ini mirip Semarang. harusnya tak seburuk ini. masih setengah tujuh. mungkin sebentar lagi.
aku melihat-lihat rak
buku. ada Emile Zola, Dostoyevsky, Geroge Orwell,dan banyak lainnya,
yang jujur saja aku sudah bosan melihatnya. aku berkeliling ke sana
kemari. melihat sebentar National Geographic. akhirnya memilih buku Jalan Pulang,
yang setalah aku baca beberapa halaman, bukan buku perjalanan yang
sesuai denganku. hingga akhirnya aku tak tahu harus berbuat apa.
perlahan-lahan Gramedia
cukup ramai. kasir pun terlihat melayani pembeli. tapi hanya beberapa
tak banyak. aku melihat dua perempuan berjilbab bingung mencari buku
sastra era 70-an. terlihat ragu memegang Mangun Wijaya. dan sangat jelas
tak berpengalaman dengan buku-buku. kami berbincang sebentar. setelah
menemukan buku Pasar milik Kuntiwojoyo, mereka pun pergi.
aku juga melihat
perempuan berjilbab cantik tengah memegang buku Pram, hanya sebentar,
lalu menaruhnya kembali. perempuan lainnya tengah asyik terjebak dalam
dunia Korea. beberapa yang lain terjerumus di rak agama. seorang
laki-laki menatap tajam rak sejarah. sendirian. lalu disusul seorang
perempuan. kini menjadi dua orang. hanya sebanyak itu. dan laki-laki
Tionghoa berkacamata sedang tenggelam dalam buku komputer. anak-anak
berlarian di antara rak khusus anak-anak. perempuan muda megang buku WHY. jika diteruskan lagi, aku lebih memilih hari kiamat sekarang. pembaca Indonesia benar-benar sangat dalam.
di depan mataku, di
kota-kota besar di Jawa, aku tengah menyaksikan keruntuhan toko buku
Gramedia. toko buku yang seringkali terlihat sepi dari pada ramai. lebih
ramai Pizza Hut, McD, dan tentunya KFC. sungguh mengenaskan.
walaupun pada akhirnya
tempat ini semakin terisi. itupun hanya sedikit. sangat sedikit
menurutku. orang-orang hanya sekedar membaca. atau ingin tahu buku apa
saja yang baru lalu pergi mencari toko buku lain yang lebih murah. pada
akhirnya, Gramedia hanya sekedar menjadi perpustakaan. tak lebih. tak
banyak yang membelinya. kecuali buku sekolah, pelajaran, atau beragam
aksesori, tas, pernik, yang tak berkaitan dengan buku.
masa keemasan Gramedia sudah berakhir. benarkah begitu?
Gramedia adalah titik
tolak bagiku mengenai perkembangan intelektual sebuah masyarakat dan
kota. jika Gramedia sangat sepi. kemungkinan besar sedikit pembaca di
sekitar masyarakat itu. atau masyarakat memilih tempat-tempat lain yang
lebih terjangkau. tapi setidaknya, Gramedia adalah acuan, entah sampai
kapan, bahwa buku masih terlihat berharga di kota ini. begitu juga kota
lainnya. orang di toko buku belum berarti membeli. harusnya, Gramedia
tak seburuk yang aku lihat jika masyarakat memang mencintai buku.
entahlah, aku sudah mulai bosan. belum dua jam berselang, aku sudah tak
betah.
kakiku melangkah. menjauh. dan kota ini, dalam satu hari saja, sudah tak menarik buatku. aku menuju Alun-Alun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar