Selasa, 07 Maret 2017

MALANG: GRAMEDIA








Aku berada di Gramedia seperti orang dungu yang tersesat dan harus segera sadar diri. hei bung, tak ada apa-apa di sini! melihat Gramedia yang luar sepi di malam minggu adalah hal yang biasa. masalahnya, aku sedang berada di Gramedia terbesar Malang, sangat dekat dengan Alun-Alun, Ramaya, McD, dan lain sebagainya. tapi, kali ini benar-benar sepi. hanya terlihat beberapa orang saja. seolah-olah menandakan masa depan Gramedia yang akan berakhir.

lokasi tempat ini mirip Semarang. harusnya tak seburuk ini. masih setengah tujuh. mungkin sebentar lagi.

aku melihat-lihat rak buku. ada Emile Zola, Dostoyevsky, Geroge Orwell,dan banyak lainnya, yang jujur saja aku sudah bosan melihatnya. aku berkeliling ke sana kemari. melihat sebentar National Geographic. akhirnya memilih buku Jalan Pulang, yang setalah aku baca beberapa halaman, bukan buku perjalanan yang sesuai denganku. hingga akhirnya aku tak tahu harus berbuat apa. 

perlahan-lahan Gramedia cukup ramai. kasir pun terlihat melayani pembeli. tapi hanya beberapa tak banyak. aku melihat dua perempuan berjilbab bingung mencari buku sastra era 70-an. terlihat ragu memegang Mangun Wijaya. dan sangat jelas tak berpengalaman dengan buku-buku. kami berbincang sebentar. setelah menemukan buku Pasar milik Kuntiwojoyo, mereka pun pergi. 

aku juga melihat perempuan berjilbab cantik tengah memegang buku Pram, hanya sebentar, lalu menaruhnya kembali. perempuan lainnya tengah asyik terjebak dalam dunia Korea. beberapa yang lain terjerumus di rak agama. seorang laki-laki menatap tajam rak sejarah. sendirian. lalu disusul seorang perempuan. kini menjadi dua orang. hanya sebanyak itu. dan laki-laki Tionghoa berkacamata sedang tenggelam dalam buku komputer. anak-anak berlarian di antara rak khusus anak-anak. perempuan muda megang buku WHY. jika diteruskan lagi, aku lebih memilih hari kiamat sekarang. pembaca Indonesia benar-benar sangat dalam.

di depan mataku, di kota-kota besar di Jawa, aku tengah menyaksikan keruntuhan toko buku Gramedia. toko buku yang seringkali terlihat sepi dari pada ramai. lebih ramai Pizza Hut, McD, dan tentunya KFC. sungguh mengenaskan.

walaupun pada akhirnya tempat ini semakin terisi. itupun hanya sedikit. sangat sedikit menurutku. orang-orang hanya sekedar membaca. atau ingin tahu buku apa saja yang baru lalu pergi mencari toko buku lain yang lebih murah. pada akhirnya, Gramedia hanya sekedar menjadi perpustakaan. tak lebih. tak banyak yang membelinya. kecuali buku sekolah, pelajaran, atau beragam aksesori, tas, pernik, yang tak berkaitan dengan buku. 

masa keemasan Gramedia sudah berakhir. benarkah begitu?

Gramedia adalah titik tolak bagiku mengenai perkembangan intelektual sebuah masyarakat dan kota. jika Gramedia sangat sepi. kemungkinan besar sedikit pembaca di sekitar masyarakat itu. atau masyarakat memilih tempat-tempat lain yang lebih terjangkau. tapi setidaknya, Gramedia adalah acuan, entah sampai kapan, bahwa buku masih terlihat berharga di kota ini. begitu juga kota lainnya. orang di toko buku belum berarti membeli. harusnya, Gramedia tak seburuk yang aku lihat jika masyarakat memang mencintai buku. entahlah, aku sudah mulai bosan. belum dua jam berselang, aku sudah tak betah. 

kakiku melangkah. menjauh. dan kota ini, dalam satu hari saja, sudah tak menarik buatku. aku menuju Alun-Alun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar