Senin, 06 Maret 2017

BANDUNG: BANDUNG INDAH PLAZA








'kakiku menolak mematuhi kemauanku, bahkan hampir menolak membawa tubuhku karena tak sanggup lagi menahan tekanan,' keluh Yossi Ghinsberg. aku pun mengeluhkan hal yang sama. kakiku terasa sakit jika aku haruskan untuk melangkah. pergelangan kakiku sudah pada tahap nyeri. dan kepalaku sudah mulai minta diperhatikan. dengan tubuhku yang mudah sakit-sakitan, aku benar-benar merasa lelah. aku hanya mampu berjalan beberapa kilometer perhari. dan hujan seringkali mengancam keberadaanku. oh, semoga aku tidak jatuh sakit. aku berjalan di lngku

aku mulai mempertimbangkan lagi keberadaanku di kota ini. satu bulan rasa-rasanya terlalu lama untuk sebuah kota semacam Bandung. kurang dari seminggu mungkin aku akan sudah jatuh bosan. sebulan? di Bandung? sial, kenapa aku bisa sangat keterlaluan tolol dengan berpikir semacam itu? seminggu di Jogja saja, dengan berbagai macam acara keseniannya, aku harus mati-matian agar tidak mengutuki kota itu. sebulan, di Bandung lagi? hayulah Merah, apa kau ini termasuk orang waras yang sudah terlanjur beranak-pinak memenuhi setiap inci kota? yang jelas, malam ini, aku lelah. 

aku sudah berkali-kali di kota ini. dan aku tahu, kota ini memiliki ragam acara dan gairah intelektual yang tak terlalu semenarik Jogja. apakah aku sedang berlagak bunuh diri di kota ini?

sekarang aku terlantar di Bandung Indah Plaza. tepatnya, di McD. terlantar di tempat mewah, sungguh sangat kejam bagi seorang pengembara terperangkap nyaman di tempat semacam itu. peduli Tuhan! aku hanya ingin menghabiskan satu malam di kota terkutuk ini dan selamat melewati pagi tanpa harus terjangkiti sakit. aku pun mulai berlama-lama. mencari colokan charger tapi selalu penuh. dan yang terpenting, aku tak memesan apa-apa. perutku sudah terlalu kenyang sehabis memakan batagor kuah di seberang tempat ini. 

'maaf, sudah memesan sesuatu?,' seorang laki-laki kurus berkacamata, dengan logat ramah tiba-tiba menanyaiku.

'oh, sudah tadi, di lantai atas. sedang mencari tempat charger tapi sudah penuh semua,' jawabku singkat. dan tentunya sambil tersenyum meyakinkan.

'itu di sana ada,' jawabnya balik. membuatku sedikit tersudut. sial, apa orang ramah ini tak tahu aku sedang dalam keadaan kesal dengan kota ini? aku ingin cepat-cepat mengenyahkannya.

'iya, nanti aku akan ke sana,' seketika, dia pun pergi. meninggalkanku tersudut nyaman di sebuah pojok, sambil mengamati orang-orang yang sedang lewat atau menghabiskan waktunya di tempat makan yang harganya mengerikan. 

halaman 267, Lost In The City karya Yossi Ghinsberg. aku akhirnya membuka buku itu lagi, dan ingin segera menyelesaikannya di tempat ini. 

kota ini dipenuhi gadis Tionghoa. entah mereka masih gadis atau tidak, yang jelas banyak dari mereka belum menikah. bergentayangan di kota ini. hingga seorang perempuan tengah baya, dengan anak dan suaminya, mengenakan baju yang sangat ketat dan minim. dan jika sedang dalam posisi merunduk, bokongnya mencuat keluar hingga aku kehabisan kata lagi untuk melanjutkannya. banyak orang lalu lalang. mengingat ini hari sabtu, banyak mereka yang berpacaran terlihat di mana-mana. melakukan teror secara terang-terangan bagi mereka yang sedang sendiri. atau tidak laku. atau memang sangat jelek sehingga tak seorang pun yang menginginkan. atau sekeluarga, warga Bandung atau yang sekedar kerja atau liburan di kota ini, mereka terlihat di berbagai tempat: dari Gramedia, mal, hingga tempat makan di pinggiran jalan. kota ini, salah satu kota dengan biaya hidup yang sangat mahal.

tak ada angkringan. seandainya ada, itu pun pastinya sedikit. sejauh ini aku belum melihatnya. harga makanan pun jauh lebih mahal dari pada di sekitar Jawa Tengah. yang aku lihat, dan ini hampir di mana pun, adalah para pengemis.

ketika aku melangkahkan kaki terseok-seok di pedestrian jalan R.E. Martadinata. aku melihat nenek berjilbab yang berjalan pelan sambil mendekati satu persatu orang yang sedang berkerumun. menengadahkan tangan dengan gelas plastik bening berharap ada yang akan memberi empati atau sekedar empati. tapi tak seorang pun yang memberikan hal semacam itu. bahkan diriku sendiri. alasanku sudah cukup jelas. dan aku bisa bertahan dengan alasan ini. seorang filsuf nihilis dengan keuangan yang buruk, bosan terhadap apa pun, dan jelas akan langsung bangkrut jika terus-menerus memberikan uangnya hanya karena merasa malu dan sok berperikemanusiaan. tapi, kerumunan orang-orang itu membawa nama Tuhan dan agama dengan atribut yang mereka kenakan secara jelas: jilbab, baju, dan tubuh yang terkesan islami. saat mereka menolak nenek itu. secara lantang mereka juga menolak Tuhan mereka sendiri.

'ada sesuatu yang hilang dalam diri saya. saya gagal untuk mempersembahkan diri saya kepada Tuhan,' ucap Karen Armstrong. dan sudah 2 tahun ini, aku tak lagi memiliki Tuhan. bahkan agama. aku sudah tak lagi terikat dengan norma dan semacamnya. itulah kenapa, orang bisa bebas membunuhku kapan saja mereka mau. tapi, dengan simbol agama yang jelas mereka kenakan, apakah mereka serius bertuhan atau sekedar main-main? entahlah, aku lelah. aku pun menghindari seorang anak kecil yang menawarkan tisu kepadaku di saat aku ingin menyeberang jalan. menghindari lagi nenek-nenek buta yang entah kenapa bisa berdiri dan bertahan sangat lama di depan Gramedia dengan tongkatnya. menghindari berulang-ulang anak kecil yang tergeletak, entah pura-pura atau nyata, di sebuah jembatan penyeberangan. dan terus menghindari berbagai macam orang yang jelas mereka sangat lebih berkesusahan dariku secara ekonomi. tiba-tiba aku jadi teringat dengan perempuan gila kemarin, usia tengah baya, yang berjalan di sekitar Trans Bandung, berbicara dan tertawa terbahak-bahak, memperlihatkan masa depan kota ini secara nyata di depanku.

aku melihat bateraiku sudah berada di kisaran 50%. tempat yang ada colokannya pun sudah kosong. secepat kilat aku berganti tempat. membenamkan charger ke dalam lubang. lalu melanjutkan membaca.

tak sengaja aku membuka akun instagram dan menemukan artikel atau berita yang mengatakan bahwa banyak pengemis di kota Bandung bukanlah berasal dari Bandung. mengemis sebagai profesi. dan apakah penggarukan adalah hal yang sudah tepat? entah di kota mana pun, pengemis sudah menjadi hal rutin di jalan-jalan. entah mereka warga suatu kota itu atau tidak. jika dia terlihat mengemis di sebuah kota itu, aku menganggap dia adalah pengemis milik kota itu. terlepas dia bukan berasal dari kota ini atau kota lain yang aku kunjungi ketika sedang melihat para pengemis. ketika mereka mengemis di jalan-jalan. atau ruang-ruang tertentu di sebuah kota. itu berarti kota itu secara tak langsung mengijinkan, entah dengan alasan apapun. ketidakbecusan birokrasi dan semacamnya, hanyalah sekedar alasan ketidakmampuan. yah, malam semakin larut. aku juga tak ingin lekas beranjak dari tempat ini. tepatnya, apakah aku sedang menunggu untuk diusir? aku pun melanjutkan membaca di saat orang-orang mulai meninggalkan tempat duduknya dan ruangan ini menjadi lebih sepi. 

aku sangat menikmati membaca di ruang terbuka.

waktu terus berjalan. orang-orang semakin menguap. kursi-kursi ditumpuk. lantai dibersihkan. dan musuh terbesarku adalah keinginan kencing yang tertahan. kencing dan buang air besar adalah musuh para pengembara yang sedang menjelajah kota. di hutan atau alam yang tak banyak hunian dan orang-orang, kita bisa kencing dan buang air besar sesuka hati kita. di sebuah kota yang padat, kita akan kesulitan melakukannya. seperti itulah keadaanku hari ini. angka waktu semakin mendekati tengah malam. berarti sudah hampir lima jam aku berada di tempat ini. dan sialnya, tempat colokan cas sudah tak lagi mengalirkan listrik. sungguh sial, tempat ini sangat tahu waktunya mengusir orang.

rasa-rasanya aku harus bergerak ke Braga. berjalan kaki. ya, dengan berjalan kaki. mencoba memaksa mataku untuk tetap menyala. dan mungkin juga kakiku yang cukup memiliki banyak waktu untuk beristirahat. aku harus mencari tempat untuk mengisi bateraiku. menghabiskan sisa halaman buku. dan sedikit melihat Bandung di hari sabtu tengah malam dan awal sebuah minggu. tapi entah mengapa, kakiku terasa sangat enggan untuk berjalan.

2 komentar: