'kakiku menolak mematuhi
kemauanku, bahkan hampir menolak membawa tubuhku karena tak sanggup
lagi menahan tekanan,' keluh Yossi Ghinsberg. aku pun mengeluhkan hal
yang sama. kakiku terasa sakit jika aku haruskan untuk melangkah.
pergelangan kakiku sudah pada tahap nyeri. dan kepalaku sudah mulai
minta diperhatikan. dengan tubuhku yang mudah sakit-sakitan, aku
benar-benar merasa lelah. aku hanya mampu berjalan beberapa kilometer
perhari. dan hujan seringkali mengancam keberadaanku. oh, semoga aku
tidak jatuh sakit. aku berjalan di lngku
aku mulai
mempertimbangkan lagi keberadaanku di kota ini. satu bulan rasa-rasanya
terlalu lama untuk sebuah kota semacam Bandung. kurang dari seminggu
mungkin aku akan sudah jatuh bosan. sebulan? di Bandung? sial, kenapa
aku bisa sangat keterlaluan tolol dengan berpikir semacam itu? seminggu
di Jogja saja, dengan berbagai macam acara keseniannya, aku harus
mati-matian agar tidak mengutuki kota itu. sebulan, di Bandung lagi?
hayulah Merah, apa kau ini termasuk orang waras yang sudah terlanjur
beranak-pinak memenuhi setiap inci kota? yang jelas, malam ini, aku
lelah.
aku sudah berkali-kali
di kota ini. dan aku tahu, kota ini memiliki ragam acara dan gairah
intelektual yang tak terlalu semenarik Jogja. apakah aku sedang berlagak
bunuh diri di kota ini?
sekarang aku terlantar
di Bandung Indah Plaza. tepatnya, di McD. terlantar di tempat mewah,
sungguh sangat kejam bagi seorang pengembara terperangkap nyaman di
tempat semacam itu. peduli Tuhan! aku hanya ingin menghabiskan satu
malam di kota terkutuk ini dan selamat melewati pagi tanpa harus
terjangkiti sakit. aku pun mulai berlama-lama. mencari colokan charger
tapi selalu penuh. dan yang terpenting, aku tak memesan apa-apa. perutku
sudah terlalu kenyang sehabis memakan batagor kuah di seberang tempat
ini.
'maaf, sudah memesan sesuatu?,' seorang laki-laki kurus berkacamata, dengan logat ramah tiba-tiba menanyaiku.
'oh, sudah tadi, di lantai atas. sedang mencari tempat charger tapi sudah penuh semua,' jawabku singkat. dan tentunya sambil tersenyum meyakinkan.
'itu di sana ada,' jawabnya balik. membuatku sedikit tersudut. sial, apa orang ramah ini tak tahu aku sedang dalam keadaan kesal dengan kota ini? aku ingin cepat-cepat mengenyahkannya.
'iya, nanti aku akan ke sana,' seketika, dia pun pergi. meninggalkanku tersudut nyaman di sebuah pojok, sambil mengamati orang-orang yang sedang lewat atau menghabiskan waktunya di tempat makan yang harganya mengerikan.
halaman 267, Lost In The City karya Yossi Ghinsberg. aku akhirnya membuka buku itu lagi, dan ingin segera menyelesaikannya di tempat ini.
kota ini dipenuhi gadis
Tionghoa. entah mereka masih gadis atau tidak, yang jelas banyak dari
mereka belum menikah. bergentayangan di kota ini. hingga seorang
perempuan tengah baya, dengan anak dan suaminya, mengenakan baju yang
sangat ketat dan minim. dan jika sedang dalam posisi merunduk, bokongnya
mencuat keluar hingga aku kehabisan kata lagi untuk melanjutkannya.
banyak orang lalu lalang. mengingat ini hari sabtu, banyak mereka yang
berpacaran terlihat di mana-mana. melakukan teror secara terang-terangan
bagi mereka yang sedang sendiri. atau tidak laku. atau memang sangat
jelek sehingga tak seorang pun yang menginginkan. atau sekeluarga, warga
Bandung atau yang sekedar kerja atau liburan di kota ini, mereka
terlihat di berbagai tempat: dari Gramedia, mal, hingga tempat makan di
pinggiran jalan. kota ini, salah satu kota dengan biaya hidup yang
sangat mahal.
tak ada angkringan.
seandainya ada, itu pun pastinya sedikit. sejauh ini aku belum
melihatnya. harga makanan pun jauh lebih mahal dari pada di sekitar Jawa
Tengah. yang aku lihat, dan ini hampir di mana pun, adalah para
pengemis.
ketika aku melangkahkan
kaki terseok-seok di pedestrian jalan R.E. Martadinata. aku melihat
nenek berjilbab yang berjalan pelan sambil mendekati satu persatu orang
yang sedang berkerumun. menengadahkan tangan dengan gelas plastik bening
berharap ada yang akan memberi empati atau sekedar empati. tapi tak
seorang pun yang memberikan hal semacam itu. bahkan diriku sendiri.
alasanku sudah cukup jelas. dan aku bisa bertahan dengan alasan ini.
seorang filsuf nihilis dengan keuangan yang buruk, bosan terhadap apa
pun, dan jelas akan langsung bangkrut jika terus-menerus memberikan
uangnya hanya karena merasa malu dan sok berperikemanusiaan. tapi,
kerumunan orang-orang itu membawa nama Tuhan dan agama dengan atribut
yang mereka kenakan secara jelas: jilbab, baju, dan tubuh yang terkesan
islami. saat mereka menolak nenek itu. secara lantang mereka juga
menolak Tuhan mereka sendiri.
'ada sesuatu yang hilang
dalam diri saya. saya gagal untuk mempersembahkan diri saya kepada
Tuhan,' ucap Karen Armstrong. dan sudah 2 tahun ini, aku tak lagi
memiliki Tuhan. bahkan agama. aku sudah tak lagi terikat dengan norma
dan semacamnya. itulah kenapa, orang bisa bebas membunuhku kapan saja
mereka mau. tapi, dengan simbol agama yang jelas mereka kenakan, apakah
mereka serius bertuhan atau sekedar main-main? entahlah, aku lelah. aku
pun menghindari seorang anak kecil yang menawarkan tisu kepadaku di saat
aku ingin menyeberang jalan. menghindari lagi nenek-nenek buta yang
entah kenapa bisa berdiri dan bertahan sangat lama di depan Gramedia
dengan tongkatnya. menghindari berulang-ulang anak kecil yang
tergeletak, entah pura-pura atau nyata, di sebuah jembatan
penyeberangan. dan terus menghindari berbagai macam orang yang jelas
mereka sangat lebih berkesusahan dariku secara ekonomi. tiba-tiba aku
jadi teringat dengan perempuan gila kemarin, usia tengah baya, yang
berjalan di sekitar Trans Bandung, berbicara dan tertawa terbahak-bahak,
memperlihatkan masa depan kota ini secara nyata di depanku.
aku melihat bateraiku
sudah berada di kisaran 50%. tempat yang ada colokannya pun sudah
kosong. secepat kilat aku berganti tempat. membenamkan charger ke dalam
lubang. lalu melanjutkan membaca.
tak sengaja aku membuka
akun instagram dan menemukan artikel atau berita yang mengatakan bahwa
banyak pengemis di kota Bandung bukanlah berasal dari Bandung. mengemis
sebagai profesi. dan apakah penggarukan adalah hal yang sudah tepat?
entah di kota mana pun, pengemis sudah menjadi hal rutin di jalan-jalan.
entah mereka warga suatu kota itu atau tidak. jika dia terlihat
mengemis di sebuah kota itu, aku menganggap dia adalah pengemis milik
kota itu. terlepas dia bukan berasal dari kota ini atau kota lain yang
aku kunjungi ketika sedang melihat para pengemis. ketika mereka mengemis
di jalan-jalan. atau ruang-ruang tertentu di sebuah kota. itu berarti
kota itu secara tak langsung mengijinkan, entah dengan alasan apapun.
ketidakbecusan birokrasi dan semacamnya, hanyalah sekedar alasan
ketidakmampuan. yah, malam semakin larut. aku juga tak ingin lekas
beranjak dari tempat ini. tepatnya, apakah aku sedang menunggu untuk
diusir? aku pun melanjutkan membaca di saat orang-orang mulai
meninggalkan tempat duduknya dan ruangan ini menjadi lebih sepi.
aku sangat menikmati membaca di ruang terbuka.
waktu terus berjalan.
orang-orang semakin menguap. kursi-kursi ditumpuk. lantai dibersihkan.
dan musuh terbesarku adalah keinginan kencing yang tertahan. kencing dan
buang air besar adalah musuh para pengembara yang sedang menjelajah
kota. di hutan atau alam yang tak banyak hunian dan orang-orang, kita
bisa kencing dan buang air besar sesuka hati kita. di sebuah kota yang
padat, kita akan kesulitan melakukannya. seperti itulah keadaanku hari
ini. angka waktu semakin mendekati tengah malam. berarti sudah hampir
lima jam aku berada di tempat ini. dan sialnya, tempat colokan cas sudah
tak lagi mengalirkan listrik. sungguh sial, tempat ini sangat tahu
waktunya mengusir orang.
rasa-rasanya aku harus
bergerak ke Braga. berjalan kaki. ya, dengan berjalan kaki. mencoba
memaksa mataku untuk tetap menyala. dan mungkin juga kakiku yang cukup
memiliki banyak waktu untuk beristirahat. aku harus mencari tempat untuk
mengisi bateraiku. menghabiskan sisa halaman buku. dan sedikit melihat
Bandung di hari sabtu tengah malam dan awal sebuah minggu. tapi entah
mengapa, kakiku terasa sangat enggan untuk berjalan.
fuck
BalasHapusgoblok
tulisan tai
BalasHapusbisa nya cuma ngehina