bagaimana cara termudah
melihat kegairahan intelektual sebuah kota? datangilah toko buku
terbesar dan beragam perpustakaannya. sebuah tempat untuk melihat
bagaimana kehidupan intelektual sebuah kota, terdapat di tempat-tempat
semacam itu. sepi dan ramainya toko buku dan perpustakaan adalah cetak
kasar dari mental masyarakat yang menghuni sebuah kota. dan malam ini,
aku berada di sebuah toko buku Gramedia yang berada di Tunjungan Plaza.
ssbuah toko buku yang banyak dibicarakan dan dianggap besar di berbagai
dunia maya. terlebih Google.
aku mendatanginya dengan wajah kusut dan perasaan yang kembali terhimpit dalam kebosanan. setelah mendatangi dua tempat, Perpustakaan Umum Kota Surabaya dan Wisma Jerman, aku sudah putus harapan. mungkin kota ini sebanding dengan Bandung dan Jakarta dalam kadar sejarah, ekonomi, dan seberapa penting tempat ini bagi Indonesia. bahkan pernah sempat dipertimbangkan jadi pengganti Batavia. dan salah satu kota yang pernah menggeser kebesaran si Cantik Dari Timur. kota perdagangan yang sibuk. melahap nyaris seluruh pemukiman kampung dan desanya untuk dimasukkan menjadi sebuah kota. dan, Surabaya, adalah sebuah kota yang kehilangan para petani dan dunia pedesaanya dengan sangat cepat dan kini nyaris mirip Jakarta yang bisa aku bilang, setiap inci Surabaya adalah sebuah kota. tapi aku akan mengatakan berulang-ulang, bahwa aku tak ingin banyak berurusan dengan sejarah. itu milik orang lain. aku ingin melihat sebuah kota dalam kilasan, secara kasar, karena awal pertemuan yang mendadak dan tanpa kedalaman adalah hal yang sangat penting.
kita ssmua adalah turis.
entah dalam kadar paling minimal atau yang paling parah. dan kita
adalah manusia-manusia yang lebih suka mencerna, memberi penilaian dari
kesan pertama kita melihat sesuatu. karena itulah, kesan pertama bagiku
adalah hal yang sangat penting. lebih penting dari yang selama ini orang
anggap.
jangan menilai orang
atau sesuatu dari sampulnya. celotehan kuno yang ada benarnya pun ada
salahnya. menilai sekilas menunjukkan siapa kita, apa yang kita
inginkan, harapkan, memberikan kita pemahaman apa yang telah kita lihat
tidaklah sempurna dan masih bercelah. penilaian pertama sangat penting.
tak perlu ada kedalaman dalam menilai. karena dalam ketidakdalaman
itulah ada kritik paling keras yang tak banyak orang memahaminya.
ketika aku atau kita
melihat pengemis berjalan dan meminta-minta uang di jalanan. kita akan
langsung menganggapnya bahwa pengemis itu warga asli kota yang kita
datangi atau tinggali. pihak pemerintah kota mungkin akan membantah
bahwa para pengemis itu dari kota lain. entah para pengemis dari mana
asalnya, itu adalah celah yang nyata bahwa pemerintah kota itu tak kebal
dan mudah sekali berwajah buruk. sama halnya ketika memasuki sebuah
kota, kita tak melihat sama sekali pembaca buku atau pesepeda dan
lainnya. mungkin mereka punya alasan sibuk, membaca ebook, atau
bersepeda di hari libur. entah alasannya apa pun, ketika perpustakaan
sepi, koleksi buku buruk, dan toko buku besar mirip hunian mayat.
komitmen terhadap dunia itu berada di tingkatan rendah. buku, sepeda,
dan lainnya kalah dengan prioritas lainnya. dan penilaian sekilas sudah
memberikan banyak hal, apa yang disembunyikan oleh masyarakat dan diri
kita sendiri.
ketika seseorang membela
dirinya bahwa buku mahal atau dia sedang sibuk mencari uang untuk
keluarga. dia hanya perlu melihat banyak tokoh besar dan buku yang
ditulis hasil dari jerih payah orang-orang yang rela menghancurkan
dirinya, cintanya, pernikahanya, demi ilmu pengetahuan. dan pembelaan
yang rendah semacam itu sudah membuktikan seberapa jauh masyarakat mau
mengorbakan dirinya demi ilmu pengetahuan. orang bisa membeli pulsa
internet ratusan ribu dan harga gadget bisa mencapai lima sampai sepuluh
juta rupiah, tapi mengeluh harga buku mahal padahal jarang membeli
buku, adalah sejenis pembelaan yang sangat tak terdidik. orang bisa
membeli mobil dan memenuhi jalanan dengan kemacetan tapi membuat
perpustakaan mini yang kurang dari sepuluh juta, yang sudah mampu
mengisi rak tempat tidur, ternyata tak sanggup, apakah hal semacam itu,
jauh dari perhitungan masuk akal?
cara berpikirku adalah
menilai banyal hal sekaligus. mengaitkannya. membandingkanya. dan
memperetelinya satu persatu. kenapa orang bisa mudah membeli mobil dan
membangun rumah mahal dari pada membangun perpustakaan pribadi yang
menghabiskan uang tak seberapa? kenapa perpustakaan berisi koleksi yang
buruk sedangkan setiap hari mal, cafe, dan ekonomi sebuah kota berderap
semakin tinggi? kenapa fisik sebuah kota yang diperindah, yang
menghabiskan dana begitu besar, tak berlaku kapada perpustakaan yang
ada? pertanyaan-pertanyaan sepela yang jawabannya bisa sangat meresahkan
jika kita memikirkannya dalam-dalam.
dan karena aku bosan
dengan isi Gramedia yang mirip dengan Gramedia lainnya di kota lain. aku
memutuskan membaca National Geographic Indonesia edisi Maret 2017.
membaca tulisan Visi Baru Viking, Kearifan Pohon, Metropolis. dan tulisan mengenai macaca atau yaki, Berjuang Untuk Bertahan.
Hampir tiga jam lamanya
aku di Gramedia. Suasana masih luar biasa sepi. Hanya ada beberapa orang
yang lewat. Perempuan Tionghoa. Perempuan berjilbab. Laki-laki dengan
kekasihnya. Beberapa yang berusia paruh baya, yang kalau ditotal
jumlahnya luar biasa sedikit. Mendekati setengah sepuluh, aku pun
melangkahkan kaki keluar bersama beberapa orang lainnya. Menuruni satu
persatu eskalator yang sepi dan bangunan besar yang tak seberapa
dikunjungi. Kalau boleh aku bilang, Tunjungan Plaza kalah ramai jika
dibandingkan dengan Ciputra Mall di Semarang yang bisa dibilang lebih
kecil. Dan banyak orang Tionghoa di kota ini.
'Di Surabaya berkumpul
penduduk mulai dari yang kaya sampai yang amat miskin, mulai dari
pejabat dan pengusaha sampai gelandangan yang tidak memiliki pekerjaan,'
tulis Purnawan Basundoro dalam bukunya Merebut Ruang Kota. Dan
jelas yang ada di depan samping belakang kanan kuriku adalah orang-orang
kaya yang memiliki status sosial tinggi. Setelah keluar dari Gramedia,
menuruni eskalator. Kini aku berada di depan pintu masuk plaza bersama
puluhan orang lainnya. Kebanyakan berkelamin perempuan. Bertampang
bersih. Sadar mode. Baik yang berjilbab atau Tionghoa dan yang lainnya.
Aku mengambil tempat duduk di dekat kaca. Membaca Ridicoulous Man karya Dostoyevsky. Dan mulai mengamati.
Nyaris hampir semua
orang yang ada di sini, menunggu jemputan mobil. Entah yang berbau
aplikasi atau memang jemputan dari keluarga sendiri. Ciri-ciri masa
depan kota ini sudah cukup jelas seandainya Risma turun dan tak lagi
pegang kendali. Hanya dengan melihat sekilas saja, aku cukup sadar bahwa
masyarakat Indonesia, seandainya memiliki uang dan kemudahan akan lebih
memilih mobil dari pada motor. Memesan Go-Car daripada Go-Jek. Dan
kelak, Surabaya akan dipenuhi oleh luar biasa banyak mobil dan mobil.
Kemacetan yang terjadi di masa depan akan lebih dikarenakan gaya hidup,
gengsi, kebiasaan, dan pengetahuan yang rendah. Dan Surabaya yang aku
lihat hari ini, akan dengan segera mudah terhapus. Yah, kota yang cukup
indah ini akan jadi kota dengan sejarah terkonyol yang pernah aku lihat.
Di sekitar pintu masuk
plaza ini. Berkeliaran dua anak kecil, laki-perempuan, yang berjualan
sesuatu dengan raut memelas, tanpa alas kaki, dan berjalan ke sana
kemari dari satu orang ke satu orang lainnya. Sangat banyak sekali yang
menghindar dan acuh. Salah satunya diriku karena alasan yang sudah aku
jelaskan berulang-ulang. Kota ini, menurutku, tak kebal dengan
kemiskinan, pengamen, dan gelandangan. Hari ini mungkin reklame, papan
nama, spanduk nyaris lenyap dari kota ini semenjak Risma pegang kendali.
Begitu juga bau kemiskinan dan gelandangan yang sulit terdeteksi.
Walaupun begitu, aku masih bisa melihat pemulung, pengamen, gelandangan,
dan pengemis dalam cara baru seperti anak-anak kecil tadi. Mengemis
berkedok jualan. Walau jumlahnya luar biasa sedikit. Kelak akan meledak
menjadi luar biasa banyak ketika Risma sudah lengser. Begitu juga
keindahan kota akan surut di masa ia tak lagi memimpin.
Setelah sekitar setengah
jam aku mengamati. Aku pun berjalan. Melewati jalan Tunjungan. Naik ke
jembatan penyeberangan. Lalu bergerak menuju Taman Aspari. Taman kecil
yang aku lihat pertama kali dan betapa ingin aku menikmati membaca di
dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar