Senin, 06 Maret 2017

SURABAYA: GRAMEDIA








bagaimana cara termudah melihat kegairahan intelektual sebuah kota? datangilah toko buku terbesar dan beragam perpustakaannya. sebuah tempat untuk melihat bagaimana kehidupan intelektual sebuah kota, terdapat di tempat-tempat semacam itu. sepi dan ramainya toko buku dan perpustakaan adalah cetak kasar dari mental masyarakat yang menghuni sebuah kota. dan malam ini, aku berada di sebuah toko buku Gramedia yang berada di Tunjungan Plaza. ssbuah toko buku yang banyak dibicarakan dan dianggap besar di berbagai dunia maya. terlebih Google.

aku mendatanginya dengan wajah kusut dan perasaan yang kembali terhimpit dalam kebosanan. setelah mendatangi dua tempat, Perpustakaan Umum Kota Surabaya dan Wisma Jerman, aku sudah putus harapan. mungkin kota ini sebanding dengan Bandung dan Jakarta dalam kadar sejarah, ekonomi, dan seberapa penting tempat ini bagi Indonesia. bahkan pernah sempat dipertimbangkan jadi pengganti Batavia. dan salah satu kota yang pernah menggeser kebesaran si Cantik Dari Timur. kota perdagangan yang sibuk. melahap nyaris seluruh pemukiman kampung dan desanya untuk dimasukkan menjadi sebuah kota. dan, Surabaya, adalah sebuah kota yang kehilangan para petani dan dunia pedesaanya dengan sangat cepat dan kini nyaris mirip Jakarta yang bisa aku bilang, setiap inci Surabaya adalah sebuah kota. tapi aku akan mengatakan berulang-ulang, bahwa aku tak ingin banyak berurusan dengan sejarah. itu milik orang lain. aku ingin melihat sebuah kota dalam kilasan, secara kasar, karena awal pertemuan yang mendadak dan tanpa kedalaman adalah hal yang sangat penting. 

kita ssmua adalah turis. entah dalam kadar paling minimal atau yang paling parah. dan kita adalah manusia-manusia yang lebih suka mencerna, memberi penilaian dari kesan pertama kita melihat sesuatu. karena itulah, kesan pertama bagiku adalah hal yang sangat penting. lebih penting dari yang selama ini orang anggap. 

jangan menilai orang atau sesuatu dari sampulnya. celotehan kuno yang ada benarnya pun ada salahnya. menilai sekilas menunjukkan siapa kita, apa yang kita inginkan, harapkan, memberikan kita pemahaman apa yang telah kita lihat tidaklah sempurna dan masih bercelah. penilaian pertama sangat penting. tak perlu ada kedalaman dalam menilai. karena dalam ketidakdalaman itulah ada kritik paling keras yang tak banyak orang memahaminya.

ketika aku atau kita melihat pengemis berjalan dan meminta-minta uang di jalanan. kita akan langsung menganggapnya bahwa pengemis itu warga asli kota yang kita datangi atau tinggali. pihak pemerintah kota mungkin akan membantah bahwa para pengemis itu dari kota lain. entah para pengemis dari mana asalnya, itu adalah celah yang nyata bahwa pemerintah kota itu tak kebal dan mudah sekali berwajah buruk. sama halnya ketika memasuki sebuah kota, kita tak melihat sama sekali pembaca buku atau pesepeda dan lainnya. mungkin mereka punya alasan sibuk, membaca ebook, atau bersepeda di hari libur. entah alasannya apa pun, ketika perpustakaan sepi, koleksi buku buruk, dan toko buku besar mirip hunian mayat. komitmen terhadap dunia itu berada di tingkatan rendah. buku, sepeda, dan lainnya kalah dengan prioritas lainnya. dan penilaian sekilas sudah memberikan banyak hal, apa yang disembunyikan oleh masyarakat dan diri kita sendiri.

ketika seseorang membela dirinya bahwa buku mahal atau dia sedang sibuk mencari uang untuk keluarga. dia hanya perlu melihat banyak tokoh besar dan buku yang ditulis hasil dari jerih payah orang-orang yang rela menghancurkan dirinya, cintanya, pernikahanya, demi ilmu pengetahuan. dan pembelaan yang rendah semacam itu sudah membuktikan seberapa jauh masyarakat mau mengorbakan dirinya demi ilmu pengetahuan. orang bisa membeli pulsa internet ratusan ribu dan harga gadget bisa mencapai lima sampai sepuluh juta rupiah, tapi mengeluh harga buku mahal padahal jarang membeli buku, adalah sejenis pembelaan yang sangat tak terdidik. orang bisa membeli mobil dan memenuhi jalanan dengan kemacetan tapi membuat perpustakaan mini yang kurang dari sepuluh juta, yang sudah mampu mengisi rak tempat tidur, ternyata tak sanggup, apakah hal semacam itu, jauh dari perhitungan masuk akal? 

cara berpikirku adalah menilai banyal hal sekaligus. mengaitkannya. membandingkanya. dan memperetelinya satu persatu. kenapa orang bisa mudah membeli mobil dan membangun rumah mahal dari pada membangun perpustakaan pribadi yang menghabiskan uang tak seberapa? kenapa perpustakaan berisi koleksi yang buruk sedangkan setiap hari mal, cafe, dan ekonomi sebuah kota berderap semakin tinggi? kenapa fisik sebuah kota yang diperindah, yang menghabiskan dana begitu besar, tak berlaku kapada perpustakaan yang ada? pertanyaan-pertanyaan sepela yang jawabannya bisa sangat meresahkan jika kita memikirkannya dalam-dalam.

dan karena aku bosan dengan isi Gramedia yang mirip dengan Gramedia lainnya di kota lain. aku memutuskan membaca National Geographic Indonesia edisi Maret 2017. membaca tulisan Visi Baru Viking, Kearifan Pohon, Metropolis. dan tulisan mengenai macaca atau yaki, Berjuang Untuk Bertahan.
Hampir tiga jam lamanya aku di Gramedia. Suasana masih luar biasa sepi. Hanya ada beberapa orang yang lewat. Perempuan Tionghoa. Perempuan berjilbab. Laki-laki dengan kekasihnya. Beberapa yang berusia paruh baya, yang kalau ditotal jumlahnya luar biasa sedikit. Mendekati setengah sepuluh, aku pun melangkahkan kaki keluar bersama beberapa orang lainnya. Menuruni satu persatu eskalator yang sepi dan bangunan besar yang tak seberapa dikunjungi. Kalau boleh aku bilang, Tunjungan Plaza kalah ramai jika dibandingkan dengan Ciputra Mall di Semarang yang bisa dibilang lebih kecil. Dan banyak orang Tionghoa di kota ini.

'Di Surabaya berkumpul penduduk mulai dari yang kaya sampai yang amat miskin, mulai dari pejabat dan pengusaha sampai gelandangan yang tidak memiliki pekerjaan,' tulis Purnawan Basundoro dalam bukunya Merebut Ruang Kota. Dan jelas yang ada di depan samping belakang kanan kuriku adalah orang-orang kaya yang memiliki status sosial tinggi. Setelah keluar dari Gramedia, menuruni eskalator. Kini aku berada di depan pintu masuk plaza bersama puluhan orang lainnya. Kebanyakan berkelamin perempuan. Bertampang bersih. Sadar mode. Baik yang berjilbab atau Tionghoa dan yang lainnya. 

Aku mengambil tempat duduk di dekat kaca. Membaca Ridicoulous Man karya Dostoyevsky. Dan mulai mengamati. 

Nyaris hampir semua orang yang ada di sini, menunggu jemputan mobil. Entah yang berbau aplikasi atau memang jemputan dari keluarga sendiri. Ciri-ciri masa depan kota ini sudah cukup jelas seandainya Risma turun dan tak lagi pegang kendali. Hanya dengan melihat sekilas saja, aku cukup sadar bahwa masyarakat Indonesia, seandainya memiliki uang dan kemudahan akan lebih memilih mobil dari pada motor. Memesan Go-Car daripada Go-Jek. Dan kelak, Surabaya akan dipenuhi oleh luar biasa banyak mobil dan mobil. Kemacetan yang terjadi di masa depan akan lebih dikarenakan gaya hidup, gengsi, kebiasaan, dan pengetahuan yang rendah. Dan Surabaya yang aku lihat hari ini, akan dengan segera mudah terhapus. Yah, kota yang cukup indah ini akan jadi kota dengan sejarah terkonyol yang pernah aku lihat.

Di sekitar pintu masuk plaza ini. Berkeliaran dua anak kecil, laki-perempuan, yang berjualan sesuatu dengan raut memelas, tanpa alas kaki, dan berjalan ke sana kemari dari satu orang ke satu orang lainnya. Sangat banyak sekali yang menghindar dan acuh. Salah satunya diriku karena alasan yang sudah aku jelaskan berulang-ulang. Kota ini, menurutku, tak kebal dengan kemiskinan, pengamen, dan gelandangan. Hari ini mungkin reklame, papan nama, spanduk nyaris lenyap dari kota ini semenjak Risma pegang kendali. Begitu juga bau kemiskinan dan gelandangan yang sulit terdeteksi. Walaupun begitu, aku masih bisa melihat pemulung, pengamen, gelandangan, dan pengemis dalam cara baru seperti anak-anak kecil tadi. Mengemis berkedok jualan. Walau jumlahnya luar biasa sedikit. Kelak akan meledak menjadi luar biasa banyak ketika Risma sudah lengser. Begitu juga keindahan kota akan surut di masa ia tak lagi memimpin.

Setelah sekitar setengah jam aku mengamati. Aku pun berjalan. Melewati jalan Tunjungan. Naik ke jembatan penyeberangan. Lalu bergerak menuju Taman Aspari. Taman kecil yang aku lihat pertama kali dan betapa ingin aku menikmati membaca di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar