aku berjalan dari wifi id corner di jalan Kapuas menuju jalan
Diponegoro. tak jauh. hanya sekitar 300an meter. bangun tidur. mandi.
makan di sebelahnya. lalu bergegas ke sini.
aku menggunakan Speedy Corner atau Wifi Id Corner sebagai hotel
khusus. tak perlu membuang-buang banyak uang. cukup tidur di sini,
layaknya berada di hotel. sayangnya tak ada bantal dan kasur di
dalamnya. hanya ada AC dan ruangan yang cukup hangat. sialnya, nyamuk
masih saja merusak kesenangan tidurku. tapi tak apalah. setidaknya aku
bisa tidur beberapa jam dalam sehari sebelum mulai berjalan lagi.
Toga Mas di jalan Diponegoro ini masih sangat sepi ketika aku
memasukinya. aku melihat sekilas isi bukunya. yah, mirip toko buku Toga
Mas lainnya. ada beberapa buku yang masih tersisa seperti kisah hidupnya
Stephen Hawking dan sebuah buku tentang Atlantis yang kemungkinan
besarnya ada di Indonesia. dalam sekali waktu aku sudah bosan. beruntung
ada buku yang menarik perhatianku; Involusi Pertanian dari Clifford Greetz dan Jawa Tempo Doeloe. hampir satu jam aku terfokus pada dua buku itu.
sekitar jam 12an, banyak anak sekolah dan remaja berkeliaran di
tempat ini. walau tak begitu banyak, tapi lebih banyak dari kuburan
mayat tadi malam, Gunung Agung.
aku melihat seorang perempuan tengah baya membeli Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. beberapa remaja membolak-balikkan Dilan.
seorang laki-laki kepala enam sedang terlihat membaca buku Islam. dan
remaja-remaja sekolah yang bagai habis berpesta, dengan dandanan ala
pesorak, lewat di depanku beberapa kali. aku menenggelamkan diriku ke
dalam bukunya Clifford Geertz. lalu berpindah pada Jawa Tempo Doeloe. waktu perlahan-lahan bergerak semakin cepat ke arah jam 1 atau 13:00.
aku harus cepat-cepat ke C02 dan tak mendamparkan diriku di sini
dalam jangka waktu yang cukup lama. masalahnya, aku sudah terlalu asyik
membaca. sialnya seperti itu. Toga Mas adalah tempat ramah yang tak
sekejam Gramedia, yang membuatku bisa berlama-lama menikmati tempat ini
tanpa perlu takut ditegur atau terus diawasi mirip buronan teroris.
di Gramedia, kita bagai terus diawasi seolah kita adalah calon
pembunuh atau pencuri. dan adakalanya, di beberapa tempat di Gramdia,
kadang, aku merasa bagaikan berada dalam pengawasan yang sangat ketat
dan konyol. rasa-rasanya, seperti sedang berada dalam penjara dengan
sipir yang berkeliaran tiada henti. mungkin itulah yang membuat Gramedia
tak lagi banyak digemari. hampir di semua toko buku Gramedia yang aku
masuki, suasanya tak begitu ramai bahkan terkadang luar biasa hening dan
seolah bebas dari manusia yang lewat. era Gramedia, mungkinkah berakhir
akibat ketidakmampuannya menilai psikologis manusia? terlebih
psikologis masyarakat Indonesia yang berdiam di Jawa?
membuat pengunjung merasa tak nyaman dan terancam karena diawasi,
adalah tindakan terburuk dari sebuah toko buku modern di era digital
semacam hari ini.
jika di Gramedia kebanyakan tempat duduk tiba-tiba menghilang. tidak
di Toga Mas yang malah sering menyediakan tempat duduk seandainya masih
ada ruang. bahkan duduk di lantai berlama-lama tepat di depan mata para
penjaga buku, pun tak jadi soal. mereka diam. membuat aku betah
menikmati membaca. buku diskon dengan pelayanan semacam itu, jelas
membuat Gramedia semakin tertekan. hilangnya kursi-kursi dan ruang
khusus membaca, membuat Gramedia menjadi mudah dibenci dan dianggap
sebagai tempat yang sangat menyiksa. terlebih bagi mereka yang mudah
lelah, sakit, atau ingin menikmati membaca di Gramedia itu sendiri.
bagiku sendiri, Gramedia periode lamalah, ketika masih berkuasa dan
terbuka, sangat nikmat dijadikan tempat untuk menghabiskan waktu.
sekarang, Gramedia mirip bagaikan neraka. pengecualian Gramedia jalan
Merdeka Bandung yang masih mau menyediakan kursi duduk. aku tak tahu,
apakah Gramedia di Semarang masih menyediakan hal yang sama atau tidak.
aku rasa, sudah cukup bagiku melihat toko buku ini. aku ingin segera
pergi ke jalan Dr Cipto no 22. tepatnya ke C20, yang websitenya sekilas
memikatku. mungkin aku akan dapat kejutan di sana nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar